Manajemen Risiko Pembibitan Sapi Potong Peranakan Ongole Di Bojonegoro Jawa Timur.

MANAJEMEN RISIKO PEMBIBITAN SAPI POTONG
PERANAKAN ONGOLE DI BOJONEGORO JAWA TIMUR

SURAHMAN

DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ABSTRAK
SURAHMAN. Manajemen Risiko Pembibitan Sapi Potong Peranakan Ongole Di
Bojonegoro Jawa Timur. Dibimbing oleh EKO RUDDY CAHYADI dan M.
SYAEFUDIN ANDRIANTO
Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi karakteristik peternak dan
usaha ternak, mengetahui risiko utama yang perlu diatasi dan untuk menganalisis
faktor yang memicu terjadinya risiko-risiko tersebut. Teknik pengambilan contoh
yang digunakan yaitu probability sampling. Bentuk analisis data yang digunakan
analisis deskriptif dan metode logit. Karakteristik peternak berusia rata-rata 46
tahun dengan pengalaman beternak 20 tahun, 84.42% pendidikan sekolah dasar.

Mayoritas peternak menyatakan 93% usaha tani tanaman pangan sebagai
komoditas utama dengan pendapatan rata-rata Rp 1 175 508. Karakteristik usaha
ternak 91% adalah pembibitan, 8% penggemukan dan 1% perdagangan.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui 17 risiko yang dialami oleh peternak.
Risiko yang perlu diatasi yaitu kesulitan memperoleh pakan, sapi sakit dan
kegagalan inseminasi buatan. Risiko kesulitan memperoleh pakan dipengaruhi
oleh pendidikan formal, pendapatan keluarga dan jumlah sapi. Risiko sapi sakit
dipengaruhi oleh jumlah sapi, kebersihan dan perawatan sapi. Risiko kegagalan
inseminasi buatan dipengaruhi oleh jumlah sapi, rasio sapi betina dan pemeriksaan
sapi.
Kata kunci: manajemen risiko, metode logit, pembibitan sapi potong ongole
ABSTRACT
SURAHMAN. Risk Management of Ongole Cattle Breeding in Bojonegoro East
Java. Supervised by EKO RUDDY CAHYADI and M. SYAEFUDIN
ANDRIANTO
The purpose of this research to identify the characteristics of breeders and
cattle breeding business, knowing the major risks to resolved and to analyze the
factors that trigger these risks. The sampling technique used in this research is the
probability sampling. Data analysis used descriptive analysis and logit methods.
Characteristics of breeders was averagely age 46 years with 20 years of

experience breeding, 84.42% of primary school education. The majority of
breeders assumed 93% agriculture effors as the main commodity with an average
income of 1 175 508 rupiah. However 91% was breeding in cattle breeding
business, 8% for increasing the weight cattle, and 1% for selling the cattle. Based
on the results revealed 17 risks faced by breeders. The selected priority of risks is
the difficulty to have feeding stock, cattle sick and failure of insemination. The
risk of difficulty to have feeding stock affected by formal education, family
income and the number of cattle. The risk of cattle sick affected by the number of
cattle and the frequency of bathing cattle. The risk of failure of artificial
insemination affected by the number of cattle, the ratio of female cattle and cattle
examination.
Key words: logit method, ongole cattle breeding, risk management

MANAJEMEN RISIKO PEMBIBITAN SAPI POTONG
PERANAKAN ONGOLE DI BOJONEGORO JAWA TIMUR

SURAHMAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Manajemen

DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini telah berhasil disusun dan diajukan
sebagai penelitian skripsi. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah
“Manajemen Risiko dan Rantai Pasokan” yang dilaksanakan sejak bulan
September-Oktober 2014 dengan judul “Manajemen Risiko Pembibitan Sapi
Potong Peranakan Ongole di Bojonegoro Jawa Timur”. Dengan selesainya masa
studi hingga penyusunan skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan
dan terima kasih kepada:
1. Bapak dan ibu tercinta, Syafiuddin dan Sukrawani atas segala kasih sayang,

pengorbanan, dan motivasinya yang tak terbatas sampai saat ini, serta saudara
penulis Imam Ardiyansyah, Isnawati, Sulis Meriyatul Jannah yang telah
memberikan semangat persaudaraan,
2. Bapak Dr Eko Ruddy Cahyadi, SHut, MM dan Bapak M. Syaefudin Andrianto,
STP, MSi selaku dosen pembimbing skripsi atas kesempatan penelitian, nasihat
dan bimbingan yang diberikan,
3. Bidik Misi yang telah memberikan biaya kuliah selama menempuh pendidikan
di Institut Pertanian Bogor,
4. LPPM IPB atas segala fasilitas dan kesempatan penelitian institusi IPB 2014,
5. Ibu Farida Ratna Dewi, SE, MM selaku dosen pembimbing akademik atas
segala saran dan arahannya selama masa perkuliahan dan Bapak Dr Ir Jono M
Munandar, MSc selaku dosen penguji atas segala masukan dan koreksinya,
6. Bapak Asep Adipurna SE, Gian Hendra, SKPm dan Siti Nuraini Syafitri
Sativa, SLkom selaku tim peneliti yang telah banyak membantu,
7. Bapak Jamil dari Badan Pusat Kesehatan Hewan Kecamatan Kasiman
Bojonegoro, Bapak Marijan, Bapak Masto dan Bapak Darwanto yang telah
membantu selama pengumpulan data di lapangan,
8. Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, dan almamater
tercinta Institut Pertanian Bogor,
9. Keluarga Besar Mahasiswa Madura (GASISMA) yang telah banyak membantu

selama di Bogor. Teman kosan “Musafir” Acep Suracep, Aji Suraji, Hamdan,
Naldi, Andre, Fatur, Irpan dan Lucky. Teman tercinta satu bimbingan skripsi
Wandes Markus Hutabarat, Dwinapriyanti, Nifriyanti, Gina Syaada, Siti
Nazlifah, Nur Maulana Yusuf dan sahabat-sahabat Manajemen 48 yang penuh
kasih sayang.
Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi
penulis pribadi dan pembaca serta memberikan kontribusi terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu ekonomi dan manajemen terkait
risiko pembibitan sapi potong. Penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dalam penyusunan penelitian ini. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun sangat diharapkan.
Bogor,

Maret 2015
Surahman

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Manajemen Rantai Pasokan
Manajemen Risiko Rantai Pasokan
Penelitian Terdahulu
METODE
Kerangka Pemikiran
Hipotesis
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Teknik Pengambilan Contoh
Pengolahan dan Analisis
Analisis Deskriptif
Metode Logit
Operasional Definisi
HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Peternak
Karakteristik Usaha Ternak
Pemetaan Risiko
Parameter Penduga terjadinya Risiko
Implikasi Manajerial
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xi
xi
1
1
2
2
2
2

3
3
3
4
5
5
6
7
7
7
8
8
8
9
10
10
11
12
15
17

18
18
18
19
24
27

DAFTAR TABEL
Peubah terikat dan bebas
Karakteristik peternak
Peubah risiko berdasarkan pemetaan risiko
Penduga parameter dan uji signifikan untuk kesulitan memperoleh
pakan
5. Penduga parameter dan uji signifikan untuk sapi sakit
6. Penduga parameter dan uji signifikan untuk kegagalan inseminasi
buatan

1.
2.
3.

4.

8
10
13
15
16
16

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Struktur rantai pasokan
Diagram pemetaan risiko
Kerangka pemikiran
Tren populasi sapi peternak contoh

Peta risiko pembibitan sapi

3
3
6
11
12

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Konsumsi dan defisit daging sapi, 2008-2012
Volume ekspor dan impor daging sapi Indonesia, 2008-2012
Sebaran geografis produksi daging sapi di Indonesia, 2012
Populasi dan produksi dapi potong Kabupaten Bojonegoro
Sebaran distribusi pendapatan peternak di Kabupaten Bojonegoro

25
25
25
25
26

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebijakan pemerintah untuk swasembada daging menjadi tantangan dalam
sektor pertanian khususnya subsektor peternakan. Pada tahun 2008 ke 2012 ratarata komsumsi daging sapi nasional tidak diimbangi dengan produksi daging sapi
dalam negeri. Rata-rata komsumsi daging sapi sebesar 456 586.4 ton sedangkan
rata-rata produksi daging sapi nasional 324 458.6 ton dengan selisih 132 217.8 ton
(Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional 2013). Lebih lanjut terkait
data produksi dan konsumsi danging sapi nasional tahun 2008-2012 dapat dilihat
pada Lampiran 1.
Tingginya konsumsi daging sapi nasional yang tidak diimbangi dengan
produksi daging sapi dalam negeri menjadi salah satu faktor pemicu bagi
pemerintah untuk melakukan impor daging sapi. Pada tahun 2008 jumlah impor
sebesar 2 744 ton, tahun 2009 sebesar 3 787 ton, tahun 2010 sebesar 4 322 ton,
tahun 2011 sebesar 3 598 ton dan tahun 2012 terjadi peningkatan yang sangat
signifikan sebesar 39 417 ton (BPS 2013). Lebih lengkap data impor daging sapi
Indonesia tahun 2008-2012 tersedia pada Lampiran 2. Tren impor daging sapi
Indonesia menunjukkan peningkatan volume yang sangat tinggi dengan
peningkatan sebesar 13.36% dari tahun 2008 ke tahun 2012. Pemerintah
menargetkan produksi dan populasi sapi akan terjadi peningkatan konsumsi
pada lima tahun ke depan sebesar 5.25% pertahunnya (Kementerian Pertanian
2011).
Melihat tingginya angka komsumsi daging sapi yang terjadi saat ini, perlu
adanya peningkatan produksi daging sapi dalam negeri untuk mengimbangi
kebutuhan daging sapi nasional. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan
meningkatkan populasi sapi dalam negeri. Jika dilihat dari tren perkembangan
populasi sapi dalam negeri tahun 2008-2012 terjadi peningkatan sebesar 3%
(Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional 2013). Oleh karena itu, untuk
meningkatkan jumlah populasi sapi dalam negeri dibutuhkan adanya pembibitan
sapi lokal secara berkesinambungan melalui perbaikan pengelolaan peternakan
sapi ditingkat peternak.
Berdasarkan sebaran geografis produksi daging sapi nasional, wilayah
terbesar sebagai sentra pembibitan sapi lokal terletak di Pulau Jawa yang salah
satunya adalah Provinsi Jawa Timur (dapat dilihat pada Lampiran 3). Sebagai
wilayah penyangga ketersediaan daging sapi nasional, Provinsi Jawa Timur
memiliki sentra pengembangan ternak sapi potong diberbagai tempat. Salah satu
wilayah yang menjadi pusat pengembangan pembibitan sapi lokal adalah
Kabupaten Bojonegoro. Populasi sapi di Kabupaten Bojonegoro mengalami
peningkatan dari tahun 2009 sampai tahun 2012, kemudian mengalami penurunan
pada tahun 2012 ke tahun 2013 (tersaji pada Lampiran 4). Populasi tahun 2009
sebanyak 167 624 ekor, tahun 2010 sebanyak 182 937 ekor, tahun 2011 sebanyak
190 879 ekor, tahun 2012 sebanyak 201 992 ekor dan tahun 2013 sebanyak 160
037 ekor (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur 2014).
Salah satu wilayah yang saat ini menjadi sentra pegembangan ternak sapi
potong di Kabupaten Bojonegoro adalah Desa Sekaran. Fokus sentra ternak sapi

2
potong di Desa Sekaran mengembangkan sapi potong Peranakan Ongole (PO).
Populasi sapi di Desa Sekarang pada tahun 2014 sebanyak 952 ekor (SPR 2014).
Kegiatan ternak kebanyakan dilakukan oleh peternak kecil dengan tingkat
pendidikan yang masih rendah serta sulitnya memperoleh pakan yang menjadi
faktor pemicu tejadinya risiko. Oleh karena itu, perlu adanya analisis risiko dalam
pembibitan sapi di Kabupaten Bojonegoro khususnya di Desa Sekaran agar
kualitas dan kuantitas sapi dapat ditingkatkan.
Perumusan Masalah
Berdasarkan gambaran latar belakang di atas perumusan masalah dari
penelitian ini adalah :
1. Apa saja karakteristik peternak dan usaha ternak pada pembibitan sapi potong
Peranakan Ongole?
2. Risiko-risiko utama apa saja yang dialami oleh peternak pada pembibitan sapi
potong Peranakan Ongole yang paling diprioritaskan untuk diatasi?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi kerentanan peternak sehingga mengalami
risiko-risiko tersebut?
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.

Tujuan penelitian ini adalah :
Untuk mengidentifikasi karakteristik peternak dan usaha ternak.
Untuk menganalisis risiko-risiko utama yang dialami oleh peternak yang
paling diprioritaskan untuk diatasi.
Untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi kerentanan peternak sehingga
mengalami risiko-risiko tersebut.
Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi Pemerintah
Kabupaten Bojonegoro dalam mengembangkan sapi potong Peranakan Ongole di
Desa Sekaran dan juga sebagai masukan bagi para peternak sapi potong
Peranakan Ongole dalam menjalankan kegiatan ternaknya. Kemudian dapat
dijadikan sebagai sumber referensi bagi peneliti lain untuk melakukan
penelitian lanjutan terkait manajemen risiko pembibitan sapi potong.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Produk yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sapi potong Peranakan
Ongole yang merupakan komoditas utama di Desa Sekaran Kabupaten
Bojonegoro dalam sub-sektor peternakan.
2. Tempat penelitian berdasarkan program penelitian institusi yang dilakukan
oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut
Pertanian Bogor di Desa Sekaran Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur.
3. Manajemen risiko difokuskan pada risiko pembibitan on farm yang memiliki
prioritas paling tinggi dan pengaruh paling penting dalam kegiatan
pembibitan.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Manajemen Rantai Pasokan
Hadiguna (2010) mendefinisikan rantai pasok sebagai jejaring fisik dan
aktivitas yang terkait dengan aliran bahan dan informasi di dalam perusahaan.
Menurut Siagian (2007) rantai pasokan mencakup keseluruhan interaksi antara
pemasok, perusahaan manufaktur, distributor, dan konsumen. Marimin dan Nurul
(2010) manajemen rantai pasok merupakan serangkaian pendekatan yang
diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat
penyimpanan lainnya secara efisien. Prinsip manajemen rantai pasokan pada
dasarnya merupakan sinkronisasi aktivitas yang terkait dengan aliran
material/produk, seperti pada Gambar 1.

Supplier

Manufacturing

Distribution
Center

Whole
Saler

Retailer

End
Customer

Aliran Produk
Aliran Biaya
Aliran Informasi

Gambar 1 Struktur rantai pasokan
Menurut Tunggal (2009), ada dua anggota supply chain yaitu primary
members (anggota primer) dan secondary members (anggota sekunder). Tujuan
manajemen rantai pasok untuk memenuhi kebutuhan para konsumen dengan
menjual barang pada saat yang tepat, barang yang sesuai dengan kebutuhan, dan
dengan harga yang logis (Prawirosentono 2007).
Manajemen Risiko Rantai Pasokan
Djohanputro (2008) mengartikan risiko sebagai ketidakpastian yang telah
diketahui tingkat probabilitas kejadiannya. Proses manajemen resiko operasional
adalah proses penanganan resiko yang dimulai dari proses pengenalan risiko
operasional sampai mengendalikan risiko operasional (Muslich 2007). Risiko
selalu terkait dengan dua dimensi pemetaan. Kedua dimensi yang dimaksud
adalah probabilitas terjadinya risiko dan dampaknya bila risiko terjadi. Diagram
pemetaan risiko seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.

Dampak risiko

Tinggi

Seadang

Risiko II
Risiko yang berbahaya yang
jarang terjadi
Risiko IV
Risiko tidak berbahaya

Rendah
Rendah

Risiko I
Mengancam
pencapaian
tujuan perusahaan
Risiko III
Risiko yang terjadi secara
rutin

Sedang

Probabilitas risiko

Gambar 2 Diagram pemetaan risiko

Tinggi

4

Kunci tahap pemetaan menurut Scandizzo (2005) adalah mengidentifikasi
kegiatan kunci, menganalisis pemicu risiko yaitu people, process, system, dan
external, menganalisis faktor-faktor risiko (kuantitas, kualitas, kondisi kritis,
kegagalan), mengidentifikasi risiko, mengidentifikasi dan menganalisis kerugian,
mengidentikasi dan menganalisis Key Risk Indicators (KRIs). Marimin dan Nurul
(2010) risiko rantai pasok sebagai kerugian yang dikaji dari sisi kemungkinan
terjadinya, sisi kemungkinan penyebabnya, dan sisi akibatnya dalam rantai
pasok sebuah perusahaan dan lingkungannya.
Penelitian Terdahulu
Emhar et al (2014) menyatakan aliran rantai pasokan daging sapi di
Kabupaten Jember meliputi aliran produk, aliran keuangan dan aliran informasi
serta adanya peningkatan pemasaran menjadi saluran distribusi daging sapi yang
paling efisien, sedangkan penelitian Priyanti et al (2012) menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan populasi dan produksi daging sapi potong di wilayah sentra
produksi sapi di Indonesia seperti Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Arfa’i (2009) menyampaikan bahwa strategi pengembangan sapi potong
yang efektif ditunjang dengan peningkatan modal usaha, pengembangan kawasan
sentra pembibitan, peningkatan skala usaha, dan optimalisasi fungsi kelompok
melalui penguatan fungsi koperasi. Hal yang sama disampaikan oleh Wardoyo
dan Risdianto (2011) bahwa manajemen pembibitan sapi membutuhkan sarana
prasarana yang memadai agar mencapai efesien dan efektif serta menurut Ridwan
(2006) dan Saputra et al (2009) strategi pengembangan usaha ternak sapi perlu
diarahkan pada pengembangan agribisnis dengan upaya meningkatkan kapasitas
produksi melalui subsistem hulu ke hilir. Selain itu, juga perlu adanya pemilihan
lokasi pembibitan sapi yang tepat seperti akses yang memadai, dekat dengan
konsumen dan faktor keamanan, Rival (2009).
Peran yang paling penting dalam usaha pembibitan sapi yaitu adanya
pengembangan sapi potong melalui strategi pengembangan produk dan strategi
perluasan pasar dengan program pengelolaan usaha yang baik, Aisyah et al (2013)
dan Ariansyah et al (2013). Disisi lain Simarmata et al (2008) menerangkan
konsep kebijakan peternakan masa depan fokus pada pemberdayaan peternak,
akses permodalan, strategi pemuliaan hewan, membangun pusat-pusat peternakan
dan kemitraan dengan sektor swasta seperti perbankan, pemerintah, dan pelaku
usaha pembibitan itu sendiri, Susanti et al (2012).
Syahrir (2009) dan Basuni (2012) menjelaskan sistem usaha tani lahan
sawah di Kabupaten Cianjur dapat meningkatkan produksi padi sebagai pakan
ternak, sedangkan menurut Pelitawati (2006) dan Malau (2007) penggunaan lahan
kebun kelapa sawit, tegalan dan sawah mempunyai kemampuan menyediakan
hijauan makanan ternak yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lahan
lainnya. Hartono (2012) dan Gunawan dan Sulatiyah (2010) memaparkan potensi
limbah pertanian dapat mendukung pengembangan ternak sapi potong sebagai
pakan ternak. Pemaparan yang sama disampaikan oleh Qomarudin dan Purnomo
(2011) dan Kalangi et al (2014) bahwa hijauan rumput seperti jerami sebagai
suplemen bagi sapi dengan manajemen pemberian pakan pagi, sore, dan malam.

5
McGregor et al (2012) adanya pemberian pakan secara terbatas akan
mempengaruhi pertumbuhan sapi. Tersedianya hijauan di daerah pengembangan
usaha pembibitan dapat dimanfaatkan sebagai pakan untuk meningkatkan bobot
badan dan karkas sapi, Muhibrah (2007) dan Indrayani (2011), sedangkan sapi
yang mudah beradaptasi dengan lingkungan yaitu sapi potong Peranakan Ongole,
Saiya (2012). Hasil ini juga disampaikan Santi (2008) bahwa sapi lokal
menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam beradaptasi. Selain itu,
kelompok ternak di pedesaan cenderung lebih fokus pada usaha pembibitan dan
penggemukan, Sodiq dan Budiono (2012).
Pada penelitian Rosana (2009) yang dilakukan di Kabupaten Ogan Ilir
menggambarkan sebagian besar usaha pembibitan sapi potong dilakukan oleh
peternak yang memiliki umur paruh baya, pendidikan yang minim, pendapatan
rendah, pengalaman beternak yang kurang dan tingkat pengetahuan yang terbatas.
Hal ini juga ditegaskan oleh Nurfitri (2008) dan Yusuf (2010) bahwa mayoritas
peternak memiliki kompetensi yang rendah dalam pengelolaan usaha sapi potong
di basis lahan kering.
Soini et al (2012) memaparkan tingginya tingkat keanekaragaman sapi
lokal yang berkembang di Eropa ditentukan tipe peternak yaitu peternak yang
berorientasi pada produksi, produk, layanan dan hobi, sedangkan Hartwig et al
(2014) menyatakan sebagian besar perpindahan tempat usaha sapi potong dapat
mempengaruhi kinerja pembibitan. Selain itu, persilangan sapi lokal dengan sapi
luar menghasilkan anakan yang lebih baik dari postur tubuh dan karkas badan,
Mostert et al (2006). Oleh karena itu agar usaha pembibitan sapi memperoleh
bibit yang baik perlu ditunjang dengan teknologi yang ada saat ini, Grobler et al
(2014) dan Lee et al (2014).
Penelitian ini dilakukan untuk melengkapi penelitian sebelumnya yang
terkait dengan usaha pembibitan sapi potong. Selain untuk menggali lebih dalam
tentang manajemen risiko pembibitan sapi potong di tingkat peternak juga
mengetahui pengaruh risiko-risiko yang terjadi. Salah satu yang digalih lebih
lanjut yaitu terkait karakteristik peternak dan usaha ternak yang diduga sebagai
penyebab terjadinya risiko-risiko pembibitan sapi potong.

METODE
Kerangka Pemikiran
Komoditas sapi saat ini mengalami tantangan daya saing yang sangat
kompetitif dalam memenuhi kebutuhan pasar, baik itu dari kualitas ataupun
kuantitas. Tingginya konsumsi daging sapi nasional yang tidak diimbangi
produksi daging sapi dalam negeri menuntut pemerintah untuk mengembangkan
pembibitan sapi di berbagai wilayah. Salah satu sentra yang berperan penting
dalam pembibitan sapi potong di Indonesia yaitu Desa Sekarang Bojonegoro Jawa
Timur. Sebagian besar pembibitan di wilayah ini dikelola oleh peternak kecil
dengan pendidikan yang masih rendah. Minimnya pengetahuan peternak membuat
usaha pembibitan sapi potong belum efisien. Kemudian kualitas dan kuantitas sapi
cenderung menurun yang menyebabkan harga jual sapi murah dan keuntungan
yang diperoleh sedikit. Oleh karena itu, perlu adanya analisis manajemen risiko

6
ditingkat peternak dengan mengidentifikasi karakteristik peternak dan usaha
ternak, mengidentifikasi risiko yang terjadi pada usaha pembibitan sapi dan
memetakan risiko-risiko tersebut berdasarkan tingkat kejadian dan dampak yang
dirasakan. Risiko-risiko yang dipetakan kemudian dianalisis dengan metode logit
dan deskriptif. Tujuan dari analisis risiko ini untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi penyebab terjadinya risiko-risiko pembibitan sapi. Tahap
selanjutnya dilakukan evaluasi risiko dan rekomendasi manajerial melalui
peningkatan daya saing yang berkelanjutan. Adapun kerangka penelitian pada
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Tantangan daya saing sapi potong di Indonesia
Pembibitan sapi potong yang belum efisien
Menurunnya mutu dan kualitas sapi potong
Rendahnya pendapatan peternak
Analisis manajeman risiko pembibitan sapi potong

Karakteristik peternak
dan usaha ternak

Identifikasi risiko
pembibitan sapi

Pemetaan risiko
pembibitan sapi

Analisis risiko pembibitan sapi
Analisis Deskriptif

Analisis Logit
Evaluasi risiko

Peningkatan daya saing pembibitan sapi yang berkesinambungan

Gambar 3 Kerangka pemikiran

Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini terdiri dari tiga berdasarkan risiko pembibitan
sapi seperti kesulitan mencari pakan, sapi sakit dan kegagalan inseminasi buatan.
Peubah yang mempengaruhi risiko adalah karakteristik peternak (usia peternak,
pendidikan formal, pengalaman beternak, lama pelatihan dan pendapatan
keluarga) dan karakteristik usaha ternak (jumlah sapi tahun sebelumnya, rasio sapi
betina tahun sebelumnya, sapi dikandangkan secara khusus, pemeriksaan sapi,
kebersihan dan perawatan sapi). Hipotesis dari ketiga risiko-risiko tersebut
sebagai berikut ini.
1. Risiko kesulitan memperoleh pakan
Ho : tidak ada pengaruh antara kesulitan memperoleh pakan dengan usia
peternak, pendidikan formal, pengalaman beternak, pendapatan
keluarga, jumlah sapi dan sapi dikandangkan secara khusus.

7
H1 :

ada pengaruh antara kesulitan memperoleh pakan dengan usia
peternak, pendidikan formal, pengalaman beternak, pendapatan
keluarga, jumlah sapi dan sapi dikandangkan secara khusus.
2. Risiko sapi sakit
Ho : tidak ada pengaruh antara sapi sakit dengan usia peternak, pendidikan
formal, pengalaman beternak, lama pelatihan, jumlah sapi, sapi
dikandangkan secara khusus, pemeriksaan sapi, kebersihan dan
perawatan sapi.
H1 : ada pengaruh antara sapi sakit dengan usia peternak, pendidikan
formal, pengalaman beternak, lama pelatihan, jumlah sapi, sapi
dikandangkan secara khusus, pemeriksaan sapi, kebersihan dan
perawatan sapi.
3. Risiko kegagalan inseminasi buatan
Ho : tidak ada pengaruh antara kegagalan inseminasi buatan dengan usia
peternak, pendidikan formal, jumlah sapi, rasio sapi betina,
pemeriksaan sapi dan sapi dikandangkan secara khusus.
H1 : ada pengaruh antara kegagalan inseminasi buatan dengan usia
peternak, pendidikan formal, jumlah sapi, rasio sapi betina,
pemeriksaan sapi dan sapi dikandangkan secara khusus.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Ngantru Desa Sekaran Kecamatan
Kasiman Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Waktu penelitian dimulai dari
bulan September sampai bulan Oktober 2014.
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Menurut Hasan (2009) data berdasarkan cara memperolehnya ada dua
yaitu data primer dan data sekunder. Data primer pada penelitian ini diperoleh
dari wawancara kepada peternak sapi potong Peranakan Ongole. Data sekunder
diperoleh dari data statistik yang dimiliki Dinas Kabupaten Bojonegoro, artikel,
literatur, penelitian terdahulu dan informasi lainnya. Metode pengumpulan data
pada penelitian ini dilakukan dengan tiga kegiatan yaitu studi literatur/pustaka,
wawancara, dan observasi.
Teknik Pengambilan Contoh
Pengambilan contoh pada penelitian pembibitan sapi potong Peranakan
Ongole dilakukan dengan probability sampling. Probability sampling adalah cara
pengambilan contoh yang memberikan kesempatan yang sama untuk diambil
kepada setiap elemen populasi melalui hasil survey (Sugiyono 2010). Populasi
peternak sapi potong di Desa Sekaran Bojonegoro sebanyak 157 peternak
(sumber: SPR 2014). Contoh minimal sebanyak 61 peternak dengan taraf
kesalahan 10%, sedangkan contoh yang digunakan pada penelitian ini sebanyak
109 peternak, secara sistematis dapat dilihat pada Persamaan 1.
n=

=

= 61…………………………….(1)

8

Pengolahan dan Analisis
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Excel 2010,
Minitab 16 dan IBM SPSS Statistics version 19. Bentuk analisis data yang
digunakan adalah sebagai berikut ini:
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif adalah alat analisis yang digunakan untuk
menggambarkan atau menganalisis suatu stastistik hasil penelitian, tetapi
tidak digunakan untuk membuat kesimpulan, Arikunto (2007). Analisis deskriptif
berfungsi untuk menggambarkan atau mendeskripsikan obyek yang diteliti
sebagaimana adanya. Analisis data secara deskriptif dilakukan untuk
menggambarkan keadaan umum usaha pembibitan sapi dan aspek-aspek risiko
yang memiliki nilai prioritas.
Metode Logit
Model logit adalah model regresi non-linear yang menghasilkan sebuah
persamaan dimana peubah terikat bersifat kategorial, Gujarati (2012). Persamaan
regresi model logit diperoleh dari penurunan persamaan probabilitas dari kategorikategori yang akan diestimasi. Sebuah fungsi dikatakan model logit apabila fungsi
tersebut adalah fungsi distribusi normal, yang secara sistematis dapat dilihat pada
Persamaan 2.
dimana

……..…..(2)

Persamaan di atas menjelaskan hubungan antara koefisien dengan tingkat
signifikan yang diperoleh dari hasil olah data analisis logit pada taraf nyata
sebagai berikut :
1. *** < 0.001 adanya bukti yang sangat kuat untuk menolak hipotesa nul.
2. ** < 0.01 maka adanya bukti yang sedang untuk menolak hipotesa nul.
3. * < 0.1 maka adanya bukti yang lemah untuk menolak hipotesa nul.
Peubah bebas merupakan peubah yang mempengaruhi peubah lain,
sedangkan peubah terikat adalah peubah yang dipengaruhi atau menjadi akibat
karena peubah bebas. Peubah ini tergantung dari peubah bebas terhadap
perubahnya (Hidayat 2007). Dalam penelitian ini peubah terikat dan peubah bebas
yang digunakan terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Peubah terikat dan bebas
Peubah
Terikat
Bebas

Nama Peubah
Risiko pembibitan sapi meliputi risiko kesulitan memperoleh
pakan, risiko sapi sakit dan risiko kegagalan inseminasi buatan (Y)
Usia peternak (X1)
Pendidikan formal (X2)
Pengalaman beternak (X3)
Lama pelatihan (X4)
Pendapatan keluarga (X5)
Jumlah sapi (X6)
Rasio sapi betina (X7)
Sapi dikandangkan secara khusus (X8)
Pemeriksaan ternak (X9)
Kebersihan dan perawatan sapi (X10)

Sumber: Data diolah (2015)

Skala Pengukuran
Biner
Rasio
Ordinal
Rasio
Rasio
Rasio
Rasio
Rasio
Biner
Ordinal
Ordinal

9
Penentuan peubah di atas berdasarkan beberapa penelitian terkait usaha
sapi potong yang memperkuat tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini.
Dijelaskan dalam penelitian Tomatala (2008) dan Wiyatna (2012) bahwa
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peternak melalui peningkatan
pelatihan majerial dapat meningkatkan usaha sapi potong. Dekayanti (2008)
memaparkan sumberdaya peternakan yang mendukung upaya pengembangan
usaha penggemukan sapi potong adalah peternak dengan karakteristik umur,
tingkat pendidikan, lama beternak.
Pada penelitian Paggasa (2008) menerangkan ternak/sapi yang
digembalakan memiliki bulu agak kusam, pucat dan agak kurus sehingga rentan
terserang penyakit. Hal ini dapat dipahami bahwa sapi yang dikandangkan
memiliki peluang sakit sangat kecil. Menurut Murtidjo (1990) perkembangbiakan
sapi potong dapat dilakukan dengan metode Inseminasi Buatan (IB), metode ini
lebih dikenal dengan istilah kawin suntik.
Menurut Soltief (2009) dan Sutisna (2008) usia produktif peternak antara
15-55 tahun dapat menunjang keberhasilan pelaksanaan program pengembangan
kawasan sentra sapi potong. Dalam penelitian ini juga disampaikan bahwa
pengalaman beternak dan tingkat pendidikan peternak juga mempengaruhi
pengetahuan peternak tentang pembibitan sapi potong.
Soekartawi (2005) menjelaskan bahwa petani yang lebih berpengalaman
akan lebih cepat menyerap inovasi teknologi pertanian dibandingkan dengan
petani yang belum atau kurang berpengalaman. Kristianto (2009) menjelaskan
semakin tinggi usia peternak maka semakin banyak pengalaman yang dimiliki
oleh peternak mitra.
Operasional Definisi
Risiko pembibitan sapi potong merupakan risiko usaha ternak yang
memiliki pengaruh dan dampak yang sangat signifikan terhadap pelaksanaan
pembibitan sapi. Berdasarkan uraian peubah di atas terdapat tiga risiko utama
yaitu risiko kesulitan memperoleh pakan, risiko sapi sakit dan risiko kegagalan
inseminasi buatan. Peubah lain yang mempengaruhi risiko-risiko tersebut
dijelaskan berdasarkan karakteristik peternak dan karakteristik usaha ternak
sebagai berikut ini.
- Usia peternak yaitu lama hidup peternak sejak dia lahir sampai tahun 2014
dengan satuan waktu tahun.
- Pendidikan formal yaitu lama belajar disekolah formal yang pernah diikuti
oleh peternak dengan satuan waktu tahun.
- Pengalaman beternak yaitu lama mengelola pembibitan sapi potong dengan
satuan waktu tahun.
- Lama pelatihan yaitu lamanya kursus atau pembibinaan ternak yang pernah
diikuti oleh peternak dalam satuan waktu hari.
- Pendapatan keluarga yaitu banyaknya uang yang diterima oleh setiap
keluarga peternak baik dari usaha pertanian ataupun non-pertanian dengan
satuan waktu bulan.
- Jumlah sapi yaitu banyaknya sapi yang dikelola oleh peternak pada tahun
sebelumnya/tahun lalu (2013) dengan satuan waktu tahun.

10
- Rasio sapi betina yaitu banyaknya sapi betina dari jumlah total sapi
keseluruhan pada tahun sebelumnya/tahun lalu (2013) dengan satuan tahun.
- Sapi dikandangkan secara khusus yaitu kandang permanen yang dimiliki
oleh peternak sebagai tempat pembibitan dengan satuan jumlah/unit.
- Pemeriksaan ternak merupakan frekuensi melakukan pemeriksaan kesehatan
sapi dengan satuan yang telah ditentukan yaitu satu minggu sekali, satu
bulan sekali, saat melihat gejala sakit dan tidak pernah memeriksakan sapi.
- Kebersihan dan perawatan sapi merupakan frekuensi memamdikan sapi
dengan satuan waktu yang telah ditentukan yaitu setiap hari, setiap minggu,
ketika sapi akan dijual dan tidak tentu.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Peternak
Secara umum karakteristik peternak sapi potong di Kabupaten Bojonegoro
Jawa Timur ditentukan oleh beberapa faktor utama yaitu usia peternak, jenis
kelamin, tingkat pendidikan peternak, jumlah anggota keluarga, pendapatan
keluarga peternak, pelatihan yang pernah diikuti oleh peternak, mata pencaharian
utama, komoditas usaha tani, pengalaman beternak, kepemilikan ternak, dan
motivasi beternak. Berdasarkan hasil penelitian diketahui karakteristik tersebut
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik peternak
Karakteristik
Usia (tahun)
Jumlah anggota keluarga (orang/rumah)
Lama beternak (tahun)
Pendapatan (rupiah/bulan)

Min
25
1
1
175 000

Mean
46
4
20
1 175 508

Max
85
7
64
7 416 666

St.dev
13
1
13
1 203 988

Sumber: Data diolah (2015)
Hasil dari olah data menunjukkan jenis kelamin peternak laki-laki 90.82%
dan perempuan 9.18%. Kemudian persentase peternak berdasarkan tingkat
pendidikan yaitu 11.92% tidak sekolah, 84.42% menyelesaikan pendidikan
sekolah dasar atau tidak tamat SD, 1.83% dengan pendidikan SLTP dan 1.83%
memiliki pendidikan SLTA. Selain itu, pengalaman peternak yang pernah
mengikuti pelatihan sebesar 16.52% dari seluruh responden yang diwawancara,
seperti pelatihan biogas, biorang, dan sistem identifikasi dan pencatatan ternak
yang dilaksanakan oleh LPPM IPB. Kemudian mengenai motivasi peternak
menunjukkan bahwa 46% menggambarkan peran peternak dalam membangun
usaha tani, 29% sebagai budaya yang telah melekat di Desa Kasiman, 24% usaha
ternak sebagai suatu hobi dan 1% karena warisan dari orang tua.
Mayoritas peternak yang ada di Kecamatan Kasiman 93% peternak
menyatakan usaha pertanian tanaman pangan adalah komoditas utama (seperti
padi, jagung, dan kacang ijo) dan ternak sapi hanya dipersepsikan sebagai
komoditas tambahan oleh 54% peternak. Kepemilikan ternak sendiri sebesar
88.99%, milik orang lain 3.66% dan kerjasama sebesar 7.35%.

11
Sebagian besar peternak menyatakan 93.6% pekerjaan pokok mereka
sebagai petani/peternak, 2.8% sebagai buruh swasta dan kurang dari 1% sebagai
buruh tani, pedagang, pengrajin kayu dan pencari minyak. Sedangkan ternak sapi
hanya dipersepsikan sebagai komoditas tambahan oleh 54% peternak. Peternak
yang menyatakan pekerjaan sampingan sebagai petani/peternak sebesar 61%,
16.9% sebagai buruh tani, 9.1% bekerja dibidang jasa, 5.2% sebagai pengrajin
kayu, 2.6% sebagai pedagang, dan 1.3% sebagai buruh swasta, wirausaha, pencari
minyak.
Karakteristik Usaha Ternak
Sapi merupakan ternak ruminansia yang paling banyak dikembangbiakkan
di Indonesia. Sapi potong memiliki banyak bangsa seperti sapi Peranakan Ongole,
Brahman, Limosin dan Angus. Masing-masing memiliki keunggulan dan
karakterisrik yang spesifik. Bangsa sapi potong yang paling tinggi populasinya
diantara bangsa-bangsa sapi di Indonesia yaitu bangsa sapi Ongole, khususnya
peranakan Ongole.
Jenis sapi yang dikembangkan pada Desa Sekaran adalah sapi peranakan
Ongole. Berdasarkan hasil penelitian karakteristik usaha ternak yang dikelola oleh
peternak dapat dibedakan menjadi tiga yaitu jenis usaha ternak pembibitan sebesar
91%, penggemukan sapi sebesar 8%, dan 1% termasuk dalam kategori
perdagangan. Selain itu juga dapat digambarkan tren populasi sapi peternak
contoh pada tahun 20013-2014 pada Gambar 4.
Populasi sapi potong Peranakan Ongole
178
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0

122

72
32 28

38 32
21 17

Dewasa Dewasa Bakalan Bakalan
Jantan Betina Jantan Betina
2013

48

46

24

Pedet
Jantan

Pedet
Betina

2014

Gambar 4 Tren populasi sapi peternak contoh
Berdasarkan Gambar 4 diperoleh jumlah total sapi pada tahun 2013 adalah
283 ekor dan pada tahun 2014 sebanyak 375 ekor. Sebagian besar jumlah sapi
dewasa betina lebih banyak daripada jumlah sapi dewasa jantan. Pada tahun 2013
jumlah sapi betina dewasa 43% dari total jumlah sapi keseluruhan, sedangkan
pada tahun 2014 sebesar 47% dari total keseluruhan sapi yang ada. Selain itu pada
tahun 2014 terjadi peningkatan kuantitas sapi dewasa betina sebesar 45%. Hal ini

12
membuktikan bahwa Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro sangat cocok
untuk dijadikan sebagai sentra pembibitan sapi lokal.
Pemetaan Risiko
Pembangunan peternakan sapi potong saat ini dilakukan secara bersama
oleh pemerintah, masyarakat (peternak skala kecil) dan swasta. Pemerintah
menetapkan aturan main dengan memfasilitasi dan mengawasi aliran dan
ketersediaan produk baik jumlah maupun mutunya, untuk memenuhi halal, aman,
bergizi dan sehat. Selain itu, pihak swasta, petani dan peternak berperan penting
dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan melalui produksi, importasi,
pengolahan, pemasaran dan distribusi produk sapi potong (Bamualim et al.
2008).Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas
sapi potong dengan menggunakan bibit sapi potong yang berkualitas, karena hal
ini merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai
strategis dalam upaya pengembangan peternakan sapi potong secara berkelanjutan
(Deptan 2006).
Pangatur (2013) meneliti tentang risiko pada pasokan komoditas daging
sapi di Jawa Timur. Penelitian ini menganalisis aliran rantai pasok daging sapi
yang dilakukan melalui identifikasi risiko dengan menggunakan metode Failure
Model and Effects Analysis (FMEA). Dari proses identifikasi risiko didapatkan 35
risiko, kemudian risiko tersebut dilakukan penilaian dengan menggunakan metode
FMEA dan dilakukan evaluasi risiko dengan menggunakan Framework Rapid
Agricultural Risk Assessment. Hasil evaluasi terdapat enam risiko utama yaitu
risiko harga jual bibit/pedet yang murah, risiko ketidakpastian keuntungan, risiko
ketidakpastian harga jual sapi, risiko tingginya harga pakan, dan risiko sapi tidak
terjual. Pada penelitian ini yang dilakukan di Kabupaten Bojonegoro terkait risiko
yang dialami peternak dapat diidentifikasi berdasarkan tingkat keparahan/severity
(S) dan tingkat kejadian/occurrence (O) yang tersaji dalam Gambar 5.

Gambar 5 Peta risiko pembibitan sapi

13

Berdasarkan Gambar 5 pemetaan risiko yang dialami oleh peternak
menggambarkan risiko-risiko yang terjadi dalam kegiatan pembibitan sapi potong.
Risiko utama yang diprioritaskan berada pada kuadran satu yaitu kekeringan,
kesulitan memperoleh pakan, sapi sakit dan sakit yang dialami oleh keluarga
peternak. Risiko kekeringan memiliki dampak yang sangat besar terhadap usaha
pembibitan sapi potong. Akan tetapi risiko ini tidak menjadi pokok bahasan utama
dalam penelitian ini karena risiko ini bersifat kovariat, artinya risiko ini dapat
dialami oleh semua peternak. Terjadinya risiko kekeringan tidak mempengaruhi
peternak dalam memperoleh pakan, karena peternak yang memiliki pendapatan
yang lebih tinggi memiliki kemampuan membeli pakan di tempat yang lain.
Tingginya skala ekonomi juga mempengaruhi kerentanan risiko sapi sakit. Selain
memungkinkan terjadinya penularan penyakit sapi yang sangat cepat juga
menghambat keberhasilan inseminasi buatan. Di sisi lain risiko orang sakit juga
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan usaha pembibitan sapi
potong, salah satunya mengakibatkan tidak terurusnya sapi. Oleh karena itu pada
penelitian ini hanya dibatasi pada risiko yang terkait langsung dengan usaha
pembibitan sapi potong, seperti kesulitan memperoleh pakan, sapi sakit dan
kegagalan inseminasi buatan.
Risiko-risiko yang terpetakan dalam empat kuadran pada Gambar 5
dikelompokkan berdasarkan nilai kejadian dan keparahan sesuai dengan kuadran
pemetaan risiko. Nilai dari setiap risiko-risiko pembibitan sapi potong dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Peubah risiko berdasarkan pemetaan risiko
No
1
2
3
4
5
6
7
8

9
10
11
12
13
14
15
16
17

Peubah Risiko
Kuadran I
Kekeringan/kemarau panjang
Kesulitan memperoleh pakan
Orang sakit
Sapi sakit
Kuadran II
Sapi mati
Salah memberi harga jual sapi
Harga jual sapi jatuh
Kecelakaan yang dialami
peternak/keluarga peternak
Kuadran III
Kegagalan inseminasi buatan
Belanja upacara adat/selamatan
Kuadran IV
Kelahiran/keluarga baru
Rumah rusak
Peningkatan suku bunga pinjaman
Kehilangan pekerjaan
Sapi kerdil/bobot sapi tidak naik
Kenaikan harga pakan
Ditipu orang

Sumber: Data diolah (2015)

Occurrence

Severity

Jenis Risiko

0.35
0.17
0.12
0.10

2.57
2.16
2.31
2.09

Risiko bencana alam
Risiko umum
Risiko umum
Risiko ternak

0.03
0.02
0.03
0.04

2.67
2.50
2.33
2.25

Risiko ternak
Risiko ternak
Risiko ternak
Risiko umum

0.55
0.28

1.84
1.90

Risiko ternak
Risiko umum

0.03
0.02
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01

2.00
2.00
2.00
2.00
2.00
1.00
1.00

Risiko umum
Risiko umum
Risiko ekonomi
Risiko ekonomi
Risiko ternak
Risiko ekonomi
Risiko ekonomi

14
Risiko-risiko di atas dikelompokkan berdasarkan jenis risiko itu sendiri.
Terdapat empat jenis risiko yaitu risiko umum, risiko bencana alam, risiko ternak
dan risiko ekonomi. Risiko umum yaitu risiko yang sifatnya universal yang
dialami oleh semua peternak meliputi orang sakit, kecelakaan, kelahiran, belanjat
upaca adat, rumah rusak dan kesulitan memperoleh pakan. Risiko bencana alam
adalah peristiwa yang disebabkan karena faktor alam dan perubahan iklim yang
seperti kemarau panjang. Risiko ternak yaitu risiko yang berhubungan langsung
dengan usaha pembibitan sapi potong seperti kegagalan inseminasi bauatan,
kesulitan melahirkan, sapi kerdil, kerugian menjual pedet, sapi sakit, sapi mati,
harga jual sapi jatuh dan salah memberi harga. Risiko ekonomi yaitu risiko yang
berkaitan dengan aktivitas ekonomi peternak, kebijakan pemerintah, perubahan
harga dan kekuatan daya tawar pasar meliputi kehilangan pekerjaan nonpertanian, peningkatan suku bunga pinjaman, kenaikan harga pakan.
Risiko orang sakit lebih mengacu pada penyakit yang diderita oleh
keluarga peternak yang memiliki tingkat keparahan yang serius seperti serangan
jantung, demam berdarah, kanker dan lain-lain. Risiko kecelakaan lebih mengarah
pada peristiwa yang memiliki dampak besar seperti tabrakan motor, jatuh ke
jurang, tersiram air panas dan lain-lain. Selain itu bergabungnya anggota keluarga
yang baru dan belanja upacara adat seperti syukuran, perayaan pernikahan dan
ritual adat juga termasuk dalam risiko umum. Risiko lain yaitu rumah rusak yang
mengakibatkan kerugian besar terhadap keluarga peternak . Risiko kesulitan
memperoleh pakan disebabkan oleh kemarau panjang yang dapat mengurangi
hijauan pakan diladang atau sawah.
Jenis risiko kedua yaitu risiko bencana alam seperti kemarau panjang yang
menyebabkan kekeringan yang terjadi di wilayah kasiman selama tiga tahun
terakhir. Risiko yang paling penting yaitu risiko ternak yang berhubungan
langsung dengan usaha pembibitan sapi potong. Risiko kegagalan inseminasi
buatan dikenal dengan risiko kawin buatan. Risiko lain adalah sapi kerdil atau
bobot sapi tidak naik, sapi sakit, sapi mati, harga jual sapi jatuh dan salah
memberi harga saat menjual.
Risiko kehilangan pekerjaan non-pertanian dapat diartikan bahwa peternak
kehilangan pekerjaan utama seperti diberhentikan dari pabrik, perusahaan atau
dari kantor tempat mereka bekerja. Risiko peningkatan suku bunga pinjaman yang
disebabkan perubahan kenaikan harga atau inflasi, sedangkan risiko kenaikan
harga pakan yang disebabkan karena kelangkaan persediaan pakan dan risiko lainlain seperti ditipu orang.
Risiko-risiko tersebut dipetakan berdasarkan kudran risiko. Kuadran satu
memiliki dampak dan frekuensi yang sangat tinggi. Peluang terjadinya risiko di
kuadran ini memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan usaha
pembibitan sapi. Risiko yang ada dalam kuadran ini adalah kekeringan, kesulitan
memperoleh pakan, sapi sakit dan sakit yang dialami oleh keluarga peternak.
Risiko kekeringan disebabkan oleh kemarau panjang yang terjadi pada bulan juni
sampai oktober.
Menurut Anatan dan Ellitan (2008) risiko rantai pasokan yang berbahaya
dan jarang terjadi menjadi suatu ancaman terhadap pelaksanaan operasional usaha
ternak. Oleh karena itu dibutuhkan manajemen yang baik dalam mengintegrasikan
aktivitas rantai pasokan (Heizer dan Render 2010). Kondisi ini terjadi pada
kuadran dua dengan definisi pada wilayah pemetaan ini memiliki dampak risiko

15
paling tinggi dengan peluang kejadian sangat rendah. Risiko yang terjadi pada
kuadran ini seperti sapi mati. Salah satu pemicu terjadinya risiko ini adalah
kerentanan sapi sakit. Selain menyebabkan kematian terhadap sapi juga dapat
menghambat keberhasilan inseminasi buatan.
Parameter Penduga terjadinya Risiko
Pada pemerataan risiko terdapat beberapa risiko-risiko pada pembibitan
sapi potong. Akan tetapi hanya beberapa risiko yang akan dianalisis lebih lanjut
yang memiliki pengaruh dan dampak langsung terhadap pembibitan sapi potong.
Risiko-risiko yang dianggap penting yaitu risiko yang memiliki pengaruh yang
sangat besar terhadap usaha ternak seperti kesulitan memperoleh pakan, sapi sakit,
dan kegagalan inseminasi buatan. Dari analisis logit berdasarkan uji parameter
dan signifikan diketahui beberapa peubah dalam model yang memiliki interpretasi
penting dalam risiko-risiko tersebut.
1. Kesulitan memperoleh pakan
Hasil uji Hosmer dan Lemeshow Goodness-of-fit diperoleh nilai sebesar
33.909 dan probabilitas signifikan 0.000 dengan taraf nyata 10% sehingga
dapat disimpulkan model diterima, sedangkan nilai R2 sebesar 0.403 yang
menunjukkan bahwa 40% keragaman risiko kesulitan memperoleh pakan
dapat dijelaskan dalam model ini.
Tabel 4 Penduga parameter dan uji signifikan untuk kesulitan memperoleh
pakan
No
1
2
3
4
5
6

Peubah
Usia peternak
Pendidikan formal
Pengalaman beternak
Pendapatan keluarga
Jumlah sapi (data tahun lalu)
Sapi dikandangkan secara khusus
Konstanta

Coefficient

S.E

-0.025
-2.062
0.011
-1.393
-0.413
-1.559
22.074

0.029
0.837
0.022
0.441
0.206
1.344
6.554

P-value
0.377
0.014*
0.610
0.002**
0.045*
0.246
0.001

Sumber: Data diolah (2015)

2.

Peubah yang signifikan terkait risiko kesulitan memperoleh pakan
adalah pendidikan formal peternak, pendapatan keluarga, dan jumlah sapi
pada tahun sebelumnya. Model menjelaskan peternak yang memiliki jumlah
sapi yang banyak dapat mengurangi risiko kesulitan memperoleh pakan.
Tingginya kuantitas sapi dapat mempermudah peternak dalam menyediakan
pakan secara efisien. Hal ini dapat dipahami bahwa peternak yang memiliki
sapi banyak dicerminkan dengan pendapatan yang tinggi. Peternak yang
memiliki pendapatan yang lebih besar mempunyai kemampuan daya beli
pakan di tempat yang lain. Disisi lain pendidikan peternak sangat penting
untuk mengurangi risiko ini. Semakin tinggi tingkat pendidikan peternak akan
semakin kecil peluang risiko kesulitan mencari pakan. Peternak yang
memiliki tingkat pendidikan pada umumnya memiliki akses informasi dan
pengetahuan yang lebih luas tentang berbagai jenis pakan.
Sapi sakit
Hasil uji Hosmer dan Lemeshow Goodness-of-fit diperoleh nilai sebesar
6.572 dan probabilitas signifikan 0.083 dengan taraf nyata 10% sehingga
dapat disimpulkan model diterima, sedangkan nilai R2 sebesar 0.301 yang

16
menunjukkan bahwa 30% keragaman risiko sapi sakit dapat dijelaskan dalam
model ini.
Tabel 5 Penduga parameter dan uji signifikan untuk sapi sakit
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Peubah
Usia peternak
Pendidikan formal
Jumlah sapi (data tahun lalu)
Sapi dikandangkan secara khusus
Lama pelatihan
Pemeriksaan sapi
Pengalaman beternak
Kebersihan dan perawatan sapi
Konstanta

Coefficient

S.E

P-value

-0.045
1.622
0.215
1.116
-0.767
0.760
-0.016
-0.581
-5.609

0.042
1.297
0.122
1.305
1.035
1.035
0.034
0.331
5.192

0.285
0.211
0.077*
0.392
0.458
0.462
0.637
0.079*
0.280

Sumber: Data diolah (2015)

3.

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui peubah yang signifikan terkait
risiko sapi sakit adalah jumlah sapi pada tahun sebelumnya, kebersihan dan
perawatan sapi. Kedua peubah menjelaskan tingginya skala ekonomi peternak
dapat meningkatkan risiko sapi sakit. Jumlah sapi yang banyak cenderung
lebih cepat kemungkinan terjadinya penularan penyakit. Untuk mengurangi
risiko sapi sakit ternak harus dimandikan secara rutin agar kebersihan dan
kesehatan ternak tetap terjaga. Sapi yang sering dimandikan memiliki kondisi
yang lebih sehat dibandingkan dengan sapi yang jarang dimandikan. Hal ini
perlu adanya perhatian terhadap kebersihan kandang dan pakan sapi yang
menjadi sumber utama datangnya penyakit. Jenis penyakit yang sering
menular pada sapi yaitu anthraks atau radang limpa, sedangkan penyakit
lainnya yang sering terjadi pada sapi adalah penyakit mulut dan kuku, surra,
Sarwono dan Arianto (2001) dan Sitepoe (2009). Menurutnya pencegahan
yang dapat dilakukan yaitu dengan menjaga kebersihan kandang, membasmi
serangga penyebar penyakit dan penyemprotan pestisida.
Kegagalan inseminasi buatan
Hasil uji Hosmer dan Lemeshow Goodness-of-fit diperoleh nilai sebesar
14.587 dan probabilitas signifikan 0.068 dengan taraf nyata 10% sehingga
dapat disimpulkan model diterima, sedangkan nilai R2 sebesar 0.118 yang
menunjukkan bahwa 11% keragaman risiko kegagalan inseminasi buatan
dapat dijelaskan dalam model ini.
Tabel 6 Penduga parameter dan uji signifikan untuk kegagalan inseminasi
buatan
No
1
2
3
4
5
6

Peubah
Usia peternak
Pendidikan formal
Jumlah sapi (data tahun lalu)
Rasio sapi betina (data tahun lalu)
Pemeriksaan sapi
Sapi dikandangkan secara khusus
Konstanta

Coefficient
0.004
0.504
-0.892
271.558
-1.111
0.803
2.404

S.E
0.018
0.500
0.502
145.007
0.543
0.684
2.098

P-value
0.798
0.314
0.075*
0.061*
0.041*
0.240
0.252

Sumber: Data diolah (2015)
Hasil uji signifikan terkait kegagalan inseminasi buatan terdapat tiga
peubah yang mempengaruhi yaitu jumlah sapi pada tahun sebelumnya, rasio

17
sapi betina tahun sebelumnya, dan pemeriksaan sapi. Model di atas
menjelaskan semakin banyak sapi yang dikelolah oleh peternak akan
mengurangi peluang risiko kegagalan inseminasi buatan. Akan tetapi
tingginya rasio sapi betina dapat meningkatkan peluang kegagalan inseminasi
buatan. Menurut Sitepoe (2009) keberhasilan bunting sapi betina saat birahi
muncul. Selain itu banyaknya sapi pejantan dapat merangsang birahi sapi
betina. Oleh karena itu, inseminasi buatan dilakukan ketika tanda-tanda birahi
sapi betina diketahui. Tanda sapi betina birahi yaitu umur sapi akil baliq,
selalu mengeluarkan suara, kemaluan berwarna merah, selalu kencing,
bengkak bibir kemaluannya dan mengeluarkan klitorisnya. Pada model
menjelaskan sapi betina lebih banyak dibandingkan dengan sapi jantan
sehingga peluang risiko kegagalan inseminasi buatan lebih tinggi. Upaya lain
untuk mengurangi risiko tersebut perlu dilakukan pemeriksaan secara rutin
agar kesehatan ternak tetap terkontrol. Peternak yang memiliki skala ekonomi
tinggi dapat memeriksa sapi secara rutin dibandingkan dengan peternak yang
memili