Kinerja Reproduksi Sapi Potong Simmental Peranakan Ongole (Simpo) di Kecamatan Eromoko Kabupaten Wonogiri Naskah Publikasi

(1)

commit to user Naskah Publikasi

KINERJA REPRODUKSI SAPI POTONG SIMMENTAL PERANAKAN ONGOLE (SIMPO) DI KECAMATAN EROMOKO KABUPATEN

WONOGIRI

Oleh:

Muzakky Wikantoto H0508067

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2016


(2)

commit to user

KINERJA REPRODUKSI SAPI POTONG SIMMENTAL PERANAKAN ONGOLE (SIMPO) DI KECAMATAN EROMOKO KABUPATEN

WONOGIRI

Muzakky Wikantoto

Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta

ABSTRAK

Usaha ternak sapi potong di Indonesia sebagian besar masih merupakan usaha peternakan rakyat yang dipelihara secara tradisional sehingga masih banyak permasalahan yang timbul seperti populasi rendah, pasokan sapi bakalan tidak stabil, produktivitas sapi betina yang masih rendah (jarak beranak panjang), service per conception tinggi, asupan nutrien ternak belum mencukupi dan

pengetahuan tentang adopsi teknologi peternakan yang masih

rendah.Kabupaten Wonogiri merupakan salah satu sentra pengembangan ternak sapi potong di Jawa Tengah menempati urutan kedua populasi sapi potong terbanyak, dengan jumlah populasi sebanyak 154.750 ekor. Dari 25 Kecamatan yang ada di Kabupaten Wonogiri, Kecamatan Eromoko memiliki jumlah populasi sapi terbanyak. Tahun 2014 populasi ternak sapi potong di kecamatan Eromoko yaitu sebanyak 13.195 ekor.Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas ternak adalah dengan memperbaiki kinerja reproduksinya. Kinerja reproduksi sapi potong di Kecamatan Eromoko secara umum sudah baik dilihat dari nilai service per conception (S/C) 1,52+0,19 kali, conception rate (CR) 51,67%. Kemampuan deteksi estrus yang baik tidak didukung dengan manajemen perkawinan induk yang optimal menyebabkan keterlambatan pelaksanaan post partum mating (PPM) 5,80+3,30 bulan ,sehingga memperpanjang nilai days open (DO) 6,88+2,39 bulan dan calving interval(CI) 14,85+2,33 bulan.

Kata Kunci : Kecamatan Eromoko, Kinerja reproduksi, Sapi potong


(3)

commit to user

PENDAHULUAN

Indonesia saat ini masih mengalami kekurangan pasokan sapi bakalan karena pertambahan populasi tidak seimbang dengan kebutuhan nasional. Kebutuhan atau permintaan akan daging jauh lebih besar daripada ketersediaan daging dalam negeri. Kebutuhan daging sapi pada tahun 2012 untuk konsumsi dan industri sebanyak 484.000 ton sedangkan ketersediaannya sebesar 399.000 ton (82,52% dicukupi sapi lokal), sehingga terdapat kekurangan penyediaan sebesar 85.000 ton (17,5 %) (Direktorat Jenderal Peternakan, 2013). Beberapa permasalahan yang masih terjadi pada peternakan Indonesia yaitu populasi rendah, pasokan sapi bakalan tidak stabil, produktivitas sapi betina yang masih rendah (jarak beranak panjang, service per conception tinggi), pasokan pakan ternak belum mencukupi dan pengetahuan tentang teknologi peternakan yang masih rendah.

Kabupaten Wonogiri merupakan salah satu sentra pengembangan ternak sapi potong di Jawa Tengah. Berdasarkan data Sensus Pertanian 2013 Kabupaten Wonogiri menempati urutan kedua populasi sapi potong terbanyak di Jawa Tengah, dengan jumlah populasi sebanyak 154.750 ekor. Dari 25 Kecamatan yang ada di Kabupaten Wonogiri, Kecamatan Eromoko memiliki jumlah populasi sapi terbanyak. Tahun 2014 populasi ternak sapi potong di kecamatan Eromoko yaitu sebanyak 13.195 ekor

Kinerja reproduksi sapi potong dapat dilihat dari berbagai parameter, diantaranya adalah umur sapi dara saat birahi, kawin, bunting dan beranak pertama, jarak waktu saat beranak sampai dengan IB pertama (post partum mating), jarak waktu saat beranak sampai terjadi kebuntingan (days open), angka gangguan reproduksi, dan angka keberhasilan pelaksanaan IB (Effendi et al., 2002).

Faktor keberhasilan usaha ternak sapi sangat dipengaruhi oleh kinerja reproduksi ternak (Pramono et al., 2008), sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai kinerja reproduksi sapi potonguntuk mengetahui keadaan yang


(4)

commit to user

sebenarnya terjadi di tingkat peternak di Kecamatan Eromoko Kabupaten Wonogiri.

MATERI METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian tentang kinerja reproduksi sapi potong dilaksanakan di Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri. Waktu penelitian dilaksanakan bulan April 2016.

Variabel Penelitian

Variabel yang diamati adalah kinerja reproduksi sapi potong meliputi:

1. Post partum mating

Post partum mating atau kawin pertama setelah beranak adalah selang waktu sapi betina dari saat melahirkan sampai di kawinkan lagi (hari).

2. Days Open

Days Open adalah jarak antara sapi beranak dengan perkawinan yang menghasilkan kebuntingan.

3. Service per conception (S/C)

Service per conception adalah angka yang menunjukkan jumlah inseminasi yang dibutuhkan oleh seekor ternak betina sampai terjadi kebuntingan.

4. Conception rate (CR)

Conception rate (CR) adalah persentase sapi bunting pada perkawinan yang pertama. .

5. Calving interval (CI)

Calving interval (CI) adalah selang waktu antara dua kelahiran yang berurutan (bulan).


(5)

commit to user

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian adalah:

1. Teknik Wawancara

Teknik ini digunakan untuk memperoleh data primer dengan melakukan wawancara langsung pada responden berdasarkan daftar pertanyaan atau kuesioner yang dibuat sebelumnya.

2. Observasi

Teknik ini dilakukan dengan pengamatan langsung pada objek yang diteliti sehingga didapatkan gambaran yang jelas mengenai objek tersebut.

3. Studi Pustaka

Teknik ini dilakukan dengan studi literatur pada buku maupun sumber yang relevan dan sesuai dengan penelitian.

Metode Analisis Data

Analisis yang digunakan adalah metode deskriptif dimana penelitian dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu dengan pengembangan konsep dan menghimpun fakta yang ada di lapangan (Singarimbun dan Effendi, 1989).

Data primer ditabulasikan untuk dilakukan perhitungan berdasakan parameter. Tahap selanjutnya adalah penghitungan rata-rata dan simpangan baku untuk penentuan kondisi umum obyek yang diamati. Penghitungan rata-rata dan simpangan baku menurut Desinawati dan Isnaini (2010) adalah:

x

� =∑ �

S=�∑(�−�̅) 2


(6)

commit to user

Keterangan :

�� = Rata-rata

S = Simpangan Baku X = total sampel n = banyak sampel

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Peternakan Secara Umum

Hasil penelitian mengenai identitas peternak yang meliputi : umur peternak, pendidikan terakhir peternak, pekerjaan peternak dan pengalaman beternak di Kecamatan Eromoko dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Usia Peternak Sapi Potong di Kecamatan Eromoko

Usia (Tahun) Orang (%)

<30 1 2,71

30-50 16 43,24

>50 20 54,05

Jumlah 37 100

Sumber : Data Primer terolah.

Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata umur responden adalah > 50 tahun dengan rincian umur < 30 tahun sebanyak 1 orang (2,71 %), 30-50 tahun 16 orang (43,24%) dan > 50 tahun sebanyak 20 orang (54,05%). Menurut Sani et al (2010), penduduk yang berumur 15 sampai 64 tahun masih dalam usia kerja produktif. Umur produktif merupakan suatu keuntungan karena pada usia tersebut masih mempunyai kemampuan yang besar dalam mengembangkan dan mengelola usahanya dengan baik sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan produktivitas kerjanya.

Tabel 2. Lama Beternak Sapi Potong di Kecamatan Eromoko.

Lama Beternak (Tahun) Orang (%)

<15 9 24,32

15-30 17 45,95

>30 11 29,73


(7)

commit to user

Jumlah 37 100

Sumber : Data Premier terolah.

Rata-rata lama pengalaman beternak oleh peternak sapi potong di Kecamatan Eromoko berkisar diantara 15-30 tahun dengan prosentase 45,95%. Pengalaman beternak yang dimiliki oleh peternak akan membantu peternak untuk lebih mandiri dan terampil dalam pengelolaan usaha ternaknya. Semakin banyak pengalaman peternak biasanya semakin besar pula kemampuannya dalam beternak (Fanani et al,2013).

Tabel 3. Tingkat Pendidikan Peternak Sapi Potong di Kecamatan Eromoko

Pendidikan Orang (%)

SD 19 51,35

SMP 10 27,02

SMA 7 18,91

PT 1 2,72

Jumlah 37 100

Sumber : Data Premier terolah.

Berdasarkan Tabel 3. peternak kebanyakan lulusan Sekolah Dasar (51,35%). Dengan tingkat pendidikan yang rendah dapat diasumsikan bahwa kemampuan peternak untuk mengetahui dan mengadopsi suatu ketrampilan dalam rangka pengembangan usaha ternak akan mengalami kesulitan dan kendala. Menurut Leksanawati et al, (2010) tingkat pendidikan berpengaruh terhadap tingkat penyerapan informasi dan tingkat pengetahuan serta cara berfikir peternak. Tingkat pendidikan responden yang rendah, ada kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam mengadopsi inovasi. Meskipun demikian pola beternak mereka, kebanyakan berasal dari keturunan atau warisan orang tua dan meniru orang lain yang sudah maju dalam beternak.

Tabel 4. Pekerjaan Peternak sapi Potong di Kecamatan Eromoko

Pekerjaan Orang (%)

Petani 33 89,18

Wiraswasta 3 8,10

PNS 1 2,72

Jumlah 37 100

Keterangan : PNS (Pegawai Negeri Sipil)


(8)

commit to user

Pekerjaan utama peternak umumnya petani yakni sebesar 89,18 %. Masyarakat desa pada umumnya dalam upaya memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya, memiliki mata pencaharian di bidang usaha pertanian tanaman pangan, sebagai petani dengan usaha sampingan memelihara ternak.

Tabel 5. Pakan Sapi Potong di Kecamatan Eromoko

Pakan Orang (%)

K + JP 10 27,02

K + JP + R 2 5,40

K + JP + DP 3 8,10

K + JP + P 5 13,51

K + JP +DP + P 4 10,86

JP + R 3 8,10

JP + R + DP 5 13,51

JP + R + P 3 8,10

JP + DP + P 2 5,40

Jumlah 37 100

Sumber : Data Premier terolah.

Keterangan :

K : Kolonjono P : Pollard

JP : Jerami Padi DP : Dedak Padi

R : Rumput

Pakan yang digunakan oleh peternak sapi potong di Kecamatan Eromoko didominasi oleh rumput dan limbah pertanian. Rata-rata pakan yang digunakan adalah kolonjono dan jerami padi yaitu 27,02%. Pakan tambahan yang digunakan adalah dedak padi dan pollard. Pemberian pakan hijauan 2 sampai 3 kali dalam sehari.

B. Kinerja Reproduksi

Berbagai aspek yang menjadi hal penting diperhatikan dari segi reproduksi antara lain adalah deteksi estrus, post partum mating (PPM), service perconception (S/C), days open, conception rate (CR), calvinginterval (CI).


(9)

commit to user

1. Deteksi Estrus

Tabel 6. Deteksi Estrus Sapi Potong di Kecamatan Eromoko

Deteksi Estrus Orang (%)

S 31 86,11

PV 18 48,64

NMM 14 38,88

TL 9 24,32

L 28 77,78

Sumber : Data Primer terolah.

Keterangan : S : Suara TL : Tingkah Laku

PV : Perubahan Vulva L : Lendir

NMM : Nafsu Makan Menurun

Peternak sapi potong di kecamatan Eromoko memiliki kemampuan yang memadai dalam mendeteksi estrus pada ternak betina. Peternak mendeteksi estrusmelelui suara (86,11%), lendir (77,78%), perubahan vulva (48,54%), nafsu makan menurun (38,88%), dan sebanyak 24,32% medeteksi estrus melalui tingkah lakunya. Kemampuan mendeteksi estrus sangat berpengaruh terhadap keputusan peternak dalam melakukan perkawinan ternak betina yang dimiliki. Deteksi estrus yang dilakukan peternak di Kecamata Eromoko sudah spesifik dengan melakukan pengamatan melalui perubahan vulva.

2. Post Partum Mating

Post partum mating (PPM) adalah jangka waktu yang menunjukkan perkawinan atau inseminasi buatan pertama kali setelah beranak.

Tabel 6. PPM (Bulan) Sapi Potong di Kecamatan Eromoko

Desa PPM (Bulan) Simpangan Baku

Basuhan 5,33 1,13

Sumberharjo 5,55 1,96

Ngunggahan 6,94 3,59

Kecamatan 5,83 2,34


(10)

commit to user

Nilai rata-rata PPM sapi potong di Kecamatan Eromoko yaitu 5,83 + 2,34 bulan. Hampir memiliki nilai yang sama dengan nilai PPM menurut penelitian Wahyudi (2014) yaitu 5,80 + 3,30 bulan. Menurut Salisbury dan Vandenmark (1985) sapi betina seharusnya dikawinkan 60-80 hari atau 2-2,5 bulan setelah beranak , karena diperlukan waktu minimal 50-60 hari atau 1,5-2 bulan untuk mencapai involusi uteriyang sempurna pada sapi.

Panjangnya nilai PPM sebagian besar disebabkan oleh faktor kesengajaan peternak jika dilihat dari kemampuan peternak dalam mendeteksi estrus. Faktor yang sering terjadi ketika proses penelitian dilapangan yaitu peternak melakukan penundaan perkawinan dengan melakukan penundaan penyapihan pedet. Ada anggapan bahwa pedet yang disapih terlalu cepat akan mengakibatkan pertumbuhan pedet terhambat, selain itu juga betina yang dikawinkan ditakutkan menjadi tergangu kebuntingannya dengan adanya pedet yang menyusu. Seperti penelitian Subiharta et al, (2011) di wilayah lain di Jawa Tengah, peternak tetap menunda perkawinan induk sampai pedet disapih meskipun induk dalam keadaan estrusdengan alasan induk masih menyusui anaknya.

3. Service Per Conception

Service per Conception(S/C)adalah angka yang menunjukkan jumlah inseminasi untuk menghasilkan kebuntingan dari sejumlah pelayanan (service) inseminasi yang dibutuhkan oleh ternak betina sampai terjadi kebuntingan..

Tabel 7. S/C Sapi Potong di Kecamatan Eromoko

Desa S/C Simpangan Baku

Basuhan 1,21 0,41

Sumberharjo 1,85 0,59

Ngunggahan 1,56 0,63

Kecamatan 1,52 0,60


(11)

commit to user

Hasil perhitungan Tabel 7. menunjukkan nilai S/C sapi potong di Kecamatan Eromoko 1,52 + 0,60 kali, lebih kecil dibandingkan nilai S/C menurut Wahyudi (2014) yaitu 1,80 + 0,68 kali dan memiliki nilai yang hampir sama menurut Della (2015) yaitu 1,52 + 0,19 kali. Menurut Toelihere (1985), S/C sapi induk berkisar1,6 sampai 2,0. Penundaan PPM dapat meningkatkan S/C. Penundaan dimaksud untuk memperbaiki skor kondisi tubuh induk dan memberi kesempatan involusi uterus. Makin rendah nilai S/C, makin tinggi kesuburan hewan-hewan betina. Sebaliknya makin tinggi nilai S/C, makin rendahlah nilai kesuburan kelompok betina tersebut. Peran inseminator juga berpengaruh terhadap nilai S/C yang dihasilkan.

4. Days Open

Days open (DO) adalah jangka waktu yang dihitung dari beranak sampai awal kebuntingan selanjutnya (tanggal inseminasi buatan atau perkawinan terakhir yang menyebabkan kebuntingan).

Tabel 8. Days Open ( Bulan) Sapi Potong di Kecamatan Eromoko

Desa DO Simpangan baku

Basuhan 6,33 1,13

Sumberharjo 6,60 1,93

Ngunggahan 8,06 3,70

Kecamatan 6,88 2,39

Sumber : Data Primer terolah.

Dari Tabel 12. dapat diketahui bahwa rata-rata DO sapi potong di Kecamatan Eromoko adalah 6,88 + 2,39 bulan. Nilai DO erat kaitannya dengan nilai PPE dan PPM, Bertambah lamanya waktu PPE dan PPM akibat manajemen umur sapih menyebabkan waktu DO lebih lama meskipun nilai rasio S/C sapi potong di kecamatan Eromoko normal.

5. Conception Rate

Conception rate(CR) adalah persentase dari sapi yang bunting pada inseminasi pertama disebut juga sebagai angka konsepsi.


(12)

commit to user

Tabel 8. CR Sapi Potong di Kecamatan Eromoko

Desa CR (%)

Basuhan 75

Sumberharjo 25

Ngunggahan 50

Kecamatan 51,67

Sumber : Data Primer terolah

Rata-rata nilai CR sapi potong di Kecamatan Eromoko tergolong masih sudah baik meskipun belum optimal yaitu 51,67%. Angka konsepsi yang baik apabila telah mencapai 60% atau lebih (Hardjopranjoto, 1995).sedangkan yang dapat dimaklumi untukukuran Indonesia denganmempertimbangkan kondisi alam,manajemen dan distribusi ternak yangmenyebar sudah dianggap baik jika nilai CRmencapai 45-50%. Menurut Toelihere (1985) angka konsepsi ditentukan oleh tiga faktor yaitu kesuburan pejantan dan betina, teknik inseminasi dan faktor lingkungan. Tingkat kesuburan sapi betina dapat dilihat dari rendahnya nilai S/C. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya CR yaitu kerjasama yang baik antara peternak dengan inseminator.

6. Calving Interval

Calving interval(CI)adalah jangka waktu yang dihitung dari tanggal seekor sapi perah beranak sampai beranak berikutnya atau jarak antara dua kelahiran yang berurutan.

Tabel 9. CI (Bulan) Sapi Potong di Kecamatan Eromoko

Desa CI (Bulan) Simpangan Baku

Basuhan 14,33 1,13

Sumberharjo 14,55 1,96

Ngunggahan 16,00 3,56

Kecamatan 14,85 2,33

Sumber : Data Primer terolah

Menurut Hardjopranjoto (1995) efisiensi reproduksi pada sapi dianggap baik apabila jarak antar kelahiran tidak melebihi 12 bulan atau


(13)

commit to user

365 hari. Jarak beranak menjadi panjang disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu pengelolaan post partum yang kurang baik, terjadinya silent heat, penurunan kemampuan reproduksi akibat kemampuan uterus dan ovarium yang menurun serta adanya penyakit yang dialami ternak tersebut. Rata-rata Nilai CI sapi potong di Kecamatan Eromoko 14,85 + 2,33 bulan, lebih pendek jika dibandingkan dengan nilai CI menurut Wahyudi (2014) yaitu 15,67 + 3,30 bulan, lebih panjang jika dibandingkan dengan penelitian Della (2015) di wilayah lain di Jawa Tengah yaitu 14, 44 + 0,66 bulan. Faktor yang mempengaruhi jarak beranak adalah nilai PPE, PPM, dan S/C (Winarti dan Supriyadi, 2010). Nilai PPM pada penelitian ini panjang akibat peternak sering menunda perkawinan dengan menunda penyapihan pedet.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kinerja reproduksi sapi potong di Kecamatan Eromoko secara umum sudah baik dilihat dari nilai S/C dan CR, kemampuan deteksi estrus yang baik tidak didukung dengan mempercepat perkawinan induk menyebabkan keterlambatan pelaksanaan PPM sehingga memperpanjang nilai DO dan CI

Saran

Perlunyapeningkatan perhatian terhadap ternak untuk memperbaiki manajemen beternak. Perbaikan pakan diikuti penyapihan pedet yang ideal (pedet mulai disapih antara umur 2 sampai 3 bulan) merupakan alternatif manajemen reproduksi induk sapi agar mampu menghasilkan keturunan yang bermutu dengan jarak beranak yang dapat diperpendek


(14)

commit to user

DAFTAR PUSTAKA

Desinawati, N., dan N. Isnaini. 2010. Penampilan Reproduksi Sapi Peranakan Simmental di Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Jurnal Ternak Tropika Vol. 11: 41-47

Effendi, P., A. Hidayat, Y. Kusmayadi, W. Pratiwi dan T. Sugiwaka., 2002. Kesehatan Reproduksi. Penerbit Dairy Technology Improvement Project in Indonesia. PT. Presindo. Bandung.

Fanani,S. 2013. Kinerja reproduksi Sapi Perah Peranakan Fresian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Hardjopranjoto, S., 1995. Ilmu Kemajiran Ternak. Airlangga University Press. Surabaya

Leksanawati, A. Y. 2010. Penampilan Reproduksi Induk Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein di Kelompok Ternak KUD Mojosongo Boyolali. Skripsi. Program Studi Peternakan Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Pramono, A., 2008. Calving Interval Sapi Perah di Daerah Istimewa Yogyakarta Ditinjau dari Kinerja Reproduksi dan Imbangan Ransum Yang Diberikan. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Salisbury, G. W. dan N. L. Vandemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Singarimbun, M dan Effendi, S., 1995. Metode Penelitian Survai. LP3EI. Jakarta Subiharta., B. Utomo., Y. Ermawati dan Muryanto. 2011. Kinerja Reproduksi

Sapi Potong Pada Peternakan Rakyat di Daerah Kantong Ternak di Jawa Tengah. Dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011.Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor

Toelihere, M.R , 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.

Wahyudi, R. P. 2014. Penampilan Rerproduksi Sapi Induk Peranakan Ongole dan Silangan Simental dengan Peranakan Ongole di Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Winarti, E. dan Supriyadi. 2010. Penampilan Reproduksi Ternak Sapi Potong Betina di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010. Yogyakarta.


(1)

commit to user 1. Deteksi Estrus

Tabel 6. Deteksi Estrus Sapi Potong di Kecamatan Eromoko

Deteksi Estrus Orang (%)

S 31 86,11

PV 18 48,64

NMM 14 38,88

TL 9 24,32

L 28 77,78

Sumber : Data Primer terolah.

Keterangan : S : Suara TL : Tingkah Laku

PV : Perubahan Vulva L : Lendir

NMM : Nafsu Makan Menurun

Peternak sapi potong di kecamatan Eromoko memiliki kemampuan yang memadai dalam mendeteksi estrus pada ternak betina. Peternak mendeteksi estrusmelelui suara (86,11%), lendir (77,78%), perubahan vulva (48,54%), nafsu makan menurun (38,88%), dan sebanyak 24,32% medeteksi estrus melalui tingkah lakunya. Kemampuan mendeteksi estrus sangat berpengaruh terhadap keputusan peternak dalam melakukan perkawinan ternak betina yang dimiliki. Deteksi estrus yang dilakukan peternak di Kecamata Eromoko sudah spesifik dengan melakukan pengamatan melalui perubahan vulva.

2. Post Partum Mating

Post partum mating (PPM) adalah jangka waktu yang menunjukkan perkawinan atau inseminasi buatan pertama kali setelah beranak.

Tabel 6. PPM (Bulan) Sapi Potong di Kecamatan Eromoko

Desa PPM (Bulan) Simpangan Baku

Basuhan 5,33 1,13

Sumberharjo 5,55 1,96

Ngunggahan 6,94 3,59

Kecamatan 5,83 2,34


(2)

commit to user

Nilai rata-rata PPM sapi potong di Kecamatan Eromoko yaitu 5,83 + 2,34 bulan. Hampir memiliki nilai yang sama dengan nilai PPM menurut penelitian Wahyudi (2014) yaitu 5,80 + 3,30 bulan. Menurut Salisbury dan Vandenmark (1985) sapi betina seharusnya dikawinkan 60-80 hari atau 2-2,5 bulan setelah beranak , karena diperlukan waktu minimal 50-60 hari atau 1,5-2 bulan untuk mencapai involusi uteriyang sempurna pada sapi.

Panjangnya nilai PPM sebagian besar disebabkan oleh faktor kesengajaan peternak jika dilihat dari kemampuan peternak dalam mendeteksi estrus. Faktor yang sering terjadi ketika proses penelitian dilapangan yaitu peternak melakukan penundaan perkawinan dengan melakukan penundaan penyapihan pedet. Ada anggapan bahwa pedet yang disapih terlalu cepat akan mengakibatkan pertumbuhan pedet terhambat, selain itu juga betina yang dikawinkan ditakutkan menjadi tergangu kebuntingannya dengan adanya pedet yang menyusu. Seperti penelitian Subiharta et al, (2011) di wilayah lain di Jawa Tengah, peternak tetap menunda perkawinan induk sampai pedet disapih meskipun induk dalam keadaan estrusdengan alasan induk masih menyusui anaknya.

3. Service Per Conception

Service per Conception(S/C)adalah angka yang menunjukkan jumlah inseminasi untuk menghasilkan kebuntingan dari sejumlah pelayanan (service) inseminasi yang dibutuhkan oleh ternak betina sampai terjadi kebuntingan..

Tabel 7. S/C Sapi Potong di Kecamatan Eromoko

Desa S/C Simpangan Baku

Basuhan 1,21 0,41

Sumberharjo 1,85 0,59

Ngunggahan 1,56 0,63

Kecamatan 1,52 0,60


(3)

commit to user

Hasil perhitungan Tabel 7. menunjukkan nilai S/C sapi potong di Kecamatan Eromoko 1,52 + 0,60 kali, lebih kecil dibandingkan nilai S/C menurut Wahyudi (2014) yaitu 1,80 + 0,68 kali dan memiliki nilai yang hampir sama menurut Della (2015) yaitu 1,52 + 0,19 kali. Menurut Toelihere (1985), S/C sapi induk berkisar1,6 sampai 2,0. Penundaan PPM dapat meningkatkan S/C. Penundaan dimaksud untuk memperbaiki skor kondisi tubuh induk dan memberi kesempatan involusi uterus. Makin rendah nilai S/C, makin tinggi kesuburan hewan-hewan betina. Sebaliknya makin tinggi nilai S/C, makin rendahlah nilai kesuburan kelompok betina tersebut. Peran inseminator juga berpengaruh terhadap nilai S/C yang dihasilkan.

4. Days Open

Days open (DO) adalah jangka waktu yang dihitung dari beranak

sampai awal kebuntingan selanjutnya (tanggal inseminasi buatan atau perkawinan terakhir yang menyebabkan kebuntingan).

Tabel 8. Days Open ( Bulan) Sapi Potong di Kecamatan Eromoko

Desa DO Simpangan baku

Basuhan 6,33 1,13

Sumberharjo 6,60 1,93

Ngunggahan 8,06 3,70

Kecamatan 6,88 2,39

Sumber : Data Primer terolah.

Dari Tabel 12. dapat diketahui bahwa rata-rata DO sapi potong di Kecamatan Eromoko adalah 6,88 + 2,39 bulan. Nilai DO erat kaitannya dengan nilai PPE dan PPM, Bertambah lamanya waktu PPE dan PPM akibat manajemen umur sapih menyebabkan waktu DO lebih lama meskipun nilai rasio S/C sapi potong di kecamatan Eromoko normal.

5. Conception Rate

Conception rate(CR) adalah persentase dari sapi yang bunting pada inseminasi pertama disebut juga sebagai angka konsepsi.


(4)

commit to user

Tabel 8. CR Sapi Potong di Kecamatan Eromoko

Desa CR (%)

Basuhan 75

Sumberharjo 25

Ngunggahan 50

Kecamatan 51,67

Sumber : Data Primer terolah

Rata-rata nilai CR sapi potong di Kecamatan Eromoko tergolong masih sudah baik meskipun belum optimal yaitu 51,67%. Angka konsepsi yang baik apabila telah mencapai 60% atau lebih (Hardjopranjoto, 1995).sedangkan yang dapat dimaklumi untukukuran Indonesia denganmempertimbangkan kondisi alam,manajemen dan distribusi ternak yangmenyebar sudah dianggap baik jika nilai CRmencapai 45-50%. Menurut Toelihere (1985) angka konsepsi ditentukan oleh tiga faktor yaitu kesuburan pejantan dan betina, teknik inseminasi dan faktor lingkungan. Tingkat kesuburan sapi betina dapat dilihat dari rendahnya nilai S/C. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya CR yaitu kerjasama yang baik antara peternak dengan inseminator.

6. Calving Interval

Calving interval(CI)adalah jangka waktu yang dihitung dari tanggal seekor sapi perah beranak sampai beranak berikutnya atau jarak antara dua kelahiran yang berurutan.

Tabel 9. CI (Bulan) Sapi Potong di Kecamatan Eromoko

Desa CI (Bulan) Simpangan Baku

Basuhan 14,33 1,13

Sumberharjo 14,55 1,96

Ngunggahan 16,00 3,56

Kecamatan 14,85 2,33

Sumber : Data Primer terolah

Menurut Hardjopranjoto (1995) efisiensi reproduksi pada sapi dianggap baik apabila jarak antar kelahiran tidak melebihi 12 bulan atau


(5)

commit to user

365 hari. Jarak beranak menjadi panjang disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu pengelolaan post partum yang kurang baik, terjadinya silent heat, penurunan kemampuan reproduksi akibat kemampuan uterus dan ovarium yang menurun serta adanya penyakit yang dialami ternak tersebut. Rata-rata Nilai CI sapi potong di Kecamatan Eromoko 14,85 + 2,33 bulan, lebih pendek jika dibandingkan dengan nilai CI menurut Wahyudi (2014) yaitu 15,67 + 3,30 bulan, lebih panjang jika dibandingkan dengan penelitian Della (2015) di wilayah lain di Jawa Tengah yaitu 14, 44 + 0,66 bulan. Faktor yang mempengaruhi jarak beranak adalah nilai PPE, PPM, dan S/C (Winarti dan Supriyadi, 2010). Nilai PPM pada penelitian ini panjang akibat peternak sering menunda perkawinan dengan menunda penyapihan pedet.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kinerja reproduksi sapi potong di Kecamatan Eromoko secara umum sudah baik dilihat dari nilai S/C dan CR, kemampuan deteksi estrus yang baik tidak didukung dengan mempercepat perkawinan induk menyebabkan keterlambatan pelaksanaan PPM sehingga memperpanjang nilai DO dan CI

Saran

Perlunyapeningkatan perhatian terhadap ternak untuk memperbaiki manajemen beternak. Perbaikan pakan diikuti penyapihan pedet yang ideal (pedet mulai disapih antara umur 2 sampai 3 bulan) merupakan alternatif manajemen reproduksi induk sapi agar mampu menghasilkan keturunan yang bermutu dengan jarak beranak yang dapat diperpendek


(6)

commit to user DAFTAR PUSTAKA

Desinawati, N., dan N. Isnaini. 2010. Penampilan Reproduksi Sapi Peranakan Simmental di Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Jurnal Ternak Tropika Vol. 11: 41-47

Effendi, P., A. Hidayat, Y. Kusmayadi, W. Pratiwi dan T. Sugiwaka., 2002. Kesehatan Reproduksi. Penerbit Dairy Technology Improvement Project in Indonesia. PT. Presindo. Bandung.

Fanani,S. 2013. Kinerja reproduksi Sapi Perah Peranakan Fresian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Hardjopranjoto, S., 1995. Ilmu Kemajiran Ternak. Airlangga University Press. Surabaya

Leksanawati, A. Y. 2010. Penampilan Reproduksi Induk Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein di Kelompok Ternak KUD Mojosongo Boyolali. Skripsi. Program Studi Peternakan Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Pramono, A., 2008. Calving Interval Sapi Perah di Daerah Istimewa Yogyakarta Ditinjau dari Kinerja Reproduksi dan Imbangan Ransum Yang Diberikan. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Salisbury, G. W. dan N. L. Vandemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Singarimbun, M dan Effendi, S., 1995. Metode Penelitian Survai. LP3EI. Jakarta Subiharta., B. Utomo., Y. Ermawati dan Muryanto. 2011. Kinerja Reproduksi

Sapi Potong Pada Peternakan Rakyat di Daerah Kantong Ternak di Jawa Tengah. Dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011.Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor

Toelihere, M.R , 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.

Wahyudi, R. P. 2014. Penampilan Rerproduksi Sapi Induk Peranakan Ongole dan Silangan Simental dengan Peranakan Ongole di Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Winarti, E. dan Supriyadi. 2010. Penampilan Reproduksi Ternak Sapi Potong Betina di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010. Yogyakarta.