Analisis Perbandingan Sistem Pajak di Indonesia dengan Australia dalam Perspektif Ekonomi Politik

ANALISIS PERBANDINGAN SISTEM PAJAK DI INDONESIA
DENGAN AUSTRALIA DALAM PERSPEKTIF
EKONOMI POLITIK

LIRA WIGIANA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Perbandingan
Sistem Pajak di Indonesia dengan Australia dalam Perspektif Ekonomi Politik
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013
Lira Wigiana
NIM H14090058

ABSTRAK
LIRA WIGIANA. Analisis Perbandingan Sistem Pajak di Indonesia dengan
Australia dalam Perspektif Ekonomi Politik. Dibimbing oleh Prof. Dr. H. Didin S.
Damanhuri, S.E, M.S, D.E.A.
Peranan sektor perpajakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) sebagai sumber penerimaan dalam negeri terus mengalami
kenaikan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Namun demikian,
penerimaan pajak Indonesia masih belum optimal bila dilihat dari tax ratio dan
jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan jumlah WPOP di Indonesia
dibandingkan dengan Australia. Selain itu pembahasan lebih diperdalam dengan
menganalisis bagaimana keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rentseeking serta pengaruhnya terhadap penerimaan pajak. Data yang digunakan
dalam penelitian ini diantaranya berupa jumlah penerimaan pajak, Indeks

Demokrasi, Rangking Kemudahan Membayar Pajak, dan Indeks International
Country Risk Guide (ICRG) tahun 2008-2011. Metode yang digunakan adalah
analisis data panel pada 15 negara anggota G-20, termasuk Indonesia dan
Australia, sehingga diperoleh model yang terbaik dengan Fixed Effect Model
dengan pembobotan (cross section weights) dan white cross section. Hasil
estimasi menunjukkan bahwa sistem pajak yang baik, demokrasi yang mapan,
serta ketidakadaan rent-seeking berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan
positif terhadap penerimaan pajak.
Kata Kunci: Sistem Pajak, Demokrasi, Rent-Seeking, Data Panel

ABSTRACT
LIRA WIGIANA. Tax System in Indonesia Comparison to Australia in
Political Economics Analysis. Supervised by Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri,
S.E, M.S, D.E.A.
Tax plays an important role as a source to finance the development of the
country, although if the tax ratio and the number of individual taxpayers in
Indonesia are compared with other countries, the tax revenue in Indonesia is not
optimal yet. This research aims to know about factor that can increase the number
of individual taxpayers in Indonesia comparison to Australia. Furthermore the
connection between tax system, democracy, and rent-seeking activity; also the

effect to tax revenue are analysed. The method is Panel Data Analysis in 15
countries of G-20 include Indonesia and Australia. Data used in this research are
tax revenue as percentage of GDP, Democracy Index, Paying Taxes Ranking, and
International Country Risk Guide (ICRG) Index from 2008 until 2011. The best
model is Fixed Effect Model with cross section weights and white cross section.
The estimation shows that a good tax system, full democracies, and the absent of
rent-seeking have a significant and positive effect to tax revenue.
Keywords: Tax system, Democracy, Rent-Seeking, Panel Data

ANALISIS PERBANDINGAN SISTEM PAJAK DI INDONESIA
DENGAN AUSTRALIA DALAM PERSPEKTIF
EKONOMI POLITIK

LIRA WIGIANA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi


DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi: Analisis Perbandingan Sistem Pajak di Indonesia dengan Australia
dalam Perspektif Ekonomi Politik
Nama
: Lira Wigiana
NIM:
: H14090058

Disetujui oleh
Dosen Pembirnbing

Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E, M.S, D.E.A.
Pembirnbing


Tanggal Lulus:

23 OCT 2013

Judul Skripsi : Analisis Perbandingan Sistem Pajak di Indonesia dengan Australia
dalam Perspektif Ekonomi Politik
Nama
: Lira Wigiana
NIM
: H14090058

Disetujui oleh
Dosen Pembimbing

Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E, M.S, D.E.A.
Pembimbing

Diketahui oleh
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi


Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT karena atas rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Analisis Perbandingan
Sistem Pajak di Indonesia dengan Australia dalam Perspektif Ekonomi Politik”.
Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul tersebut karena peranan
penerimaan pajak terhadap APBD begitu besar, namun potensi penerimaan pajak
belum optimal. Oleh karena itu penulis menganalisis sistem pajak melalui
perspektif ekonomi politik dengan perbandingan negara lain yang sudah lebih
maju.
Selesainya skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan banyak pihak.
Untuk itu, setulus hati penulis sampaikan terima kasih atas segala bantuan baik
materi maupun non materi yang telah diberikan. Ucapan terima kasih dari penulis
disampaikan kepada Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E, M.S, D.E.A selaku
pembimbing skripsi, Ibu Lukytawati Anggraeni, Ph.D selaku pembimbing
akademik, serta Dr. Muhammad Findi dan Ibu Ranti Wiliasih, M.Si selaku

penguji siding skripsi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
seluruh keluarga, pendamping, dan teman-teman atas segala doa, kasih sayang,
dan motivasi yang begitu besar.
Akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran bagi kemajuan penulisan
berikutnya. Penulis pun berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
memerlukannya.

Bogor, September 2013

Lira Wigiana

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi


DAFTAR LAMPIRAN

xii

PENDAHULUAN

1

Perumusan Masalah

6

Tujuan Penelitian

8

Manfaat Penelitian

8


TINJAUAN PUSTAKA

9

Tinjauan Teori-Teori

9

Pengertian dan Konsep Pajak

9

Fungsi Pajak

10

Sistem Pemungutan Pajak

12


Kepatuhan Pajak

14

Reformasi Pajak

15

Pengertian dan Konsep Demokrasi

16

Keterkaitan Pajak dengan Demokrasi

17

Pengertian dan Konsep Rent-Seeking

18


Penelitian Terdahulu

20

Kerangka Pemikiran

21

METODOLOGI PENELITIAN

23

Wilayah Penelitian

23

Jenis dan Sumber Data

23

Metode Analisis Data

24

Analisis Deskriptif Kualitatif

24

Analisis Data Panel

24

Definisi Operasional

25

GAMBARAN UMUM

27

Republik Indonesia

27

Kondisi Geografis

27

Perekonomian

27

Politik dan Pemerintahan
Negara Persemakmuran Australia

29
30

Kondisi Geografis

30

Perekonomian

31

Politik dan Pemerintahan

32

HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor-Faktor yang dapat Meningkatkan Jumlah WPOP di Indonesia,
dengan Australia sebagai Reason Learn

34
34

Kebijakan Registrasi

34

Kedudukan Institusi Pajak

35

Kebijakan Ekstensifikasi Wajib Pajak

37

Keterkaitan antara Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-Seeking
di Indonesia dibandingkan dengan Australia

39

Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-Seeking terhadap
Penerimaan Pajak

47

Tahap Evaluasi Pemilihan Model

47

Pengujian Asumsi Klasik

47

Tahap Pemilihan Model Terbaik

49

KESIMPULAN DAN SARAN

52

Kesimpulan

52

Saran

52

DAFTAR PUSTAKA

54

LAMPIRAN

56

RIWAYAT HIDUP

66

DAFTAR TABEL
1.1 Penerimaan Pajak dalam Negeri Tahun 2009-2012

2

1.2 Tax Ratio berdasarkan OECD (Organisation for Economic Cooperation
and Development) Model Tahun 2010

2

1.3 Tingkat Rasio antara Wajib Pajak Orang Pribadi Terdaftar dengan
Angkatan Kerja Tahun 2005

4

4

Komparasi Kebijakan Pendaftaran Wajib Pajak Orang Pribadi

35

5

Tugas Dirjen Pajak dan ATO

36

6

Institusi Pajak dan Kebijakan Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi

39

7

Indeks ICRG Indonesia dan Australia Tahun 2002-2011

42

8

Indikasi Kerugian Negara Hasil Audit BPK Semester I 2008Semester I 2010

44

Negara-negara Berkembang dengan Arus Uang Haram Terbesar

45

10 Kerugian akibat Penghindaran Pajak di Indonesia dan Australia

45

11 Nilai Korelasi Antarvariabel Bebas dalam Pengujian Multikolinearitas

48

12 Hasil Pengolahan dengan Weighting Fixed Effect Model untuk Menguji
Heteroskedastisitas

49

13 Hasil Estimasi Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-seeking
terhadap Penerimaan Pajak di 15 Negara G-20 pada Tahun 2008-2011

49

14 Hasil Estimasi Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-seeking
terhadap Penerimaan Pajak di 6 Negara Berkembang G-20 pada
Tahun 2008-2011

50

15 Hasil Estimasi Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-seeking
terhadap Penerimaan Pajak di 7 Negara Maju G-20 pada
Tahun 2008-2011

51

9

DAFTAR GAMBAR
1

Persentase Penerimaan Pajak terhadap Penerimaan Total APBN
Indonesia Tahun 2005-2010

1

2

Hubungan Pendapatan Naional dengan Konsumsi dan Investasi

12

3

Kerangka Pemikiran

22

4

PDRB per Kapita Provinsi-Provinsi di Indonesia Tahun 2008
atas Dasar Harga Berlaku

28

Peta Benua Australia

31

5

6

Indeks Demokrasi Indonesia 2009 dan 2010

40

7

Tax Ratio Indonesia Tahun 2008-2012

42

8

Penanganan TPK berdasarkan Jenis Perkara

43

9

Kriteria Pengujian Autokorelasi: Durbin Watson

48

DAFTAR LAMPIRAN
1

Data Negara Anggota G-20

56

2

Data untuk Analisis Data Panel (1)

57

3

Data untuk Analisis Data Panel (2)

58

4

Hasil Estimasi Pooled Least Square

59

5

Hasil Estimasi Fixed Effect Model

60

6

Hasil Estimasi Random Effects Model

61

7

Hasil Chow Test

62

8

Hasil Haussman Test

62

9

Hasil Uji Normalitas Data

63

10 Fixed Effect Model dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan
White Cross Section

64

11 Kerugian akibat Penghindaran Pajak di Indonesia dan Australia

65

PENDAHULUAN
Pemerintah memerlukan sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan
pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, baik untuk pembiayaan
rutin pemerintah maupun untuk pelaksanaan pembangunan. Salahsatu sumber
pembiayaan tersebut berasal dari sektor pajak. Pemerintah mengalokasikan pajak
diantaranya untuk membiayai pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan
pendidikan. Peranan sektor perpajakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) sebagai sumber penerimaan dalam negeri mengalami kenaikan
yang cukup signifikan dari tahun ke tahun.

Gambar 1 Persentase Penerimaan Pajak terhadap Penerimaan Total APBN
Indonesia Tahun 2005-2010
Sumber: Mukhlis, I., dan Simanjutak, T. H. 2011. Pentingnya Kepatuhan Pajak dalam
Meningkatkan Kesejahteraan Hidup Masyarakat. Proceeding Simposium Nasional Perpajakan III
Road Map Reformasi Perpajakan Indonesia Menuju Good Governance. Hal. 6.

Gambar 1 merupakan penerimaan perpajakan dalam negeri sejak tahun 2005
hingga 2010 menunjukkan persentase penerimaan pajak berada pada kisaran
angka sekitar 70 persen. Hal ini menunjukkan bahwa hampir sebagian besar
penerimaan negara diperoleh dari penerimaan dalam negeri yang bersumber dari
pajak, sedangkan sisanya diperoleh dari penerimaan negara yang berasal bukan
dari pajak, seperti penerimaan Sumberdaya Alam, laba BUMN, surplus Bank
Indonesia, dan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) dalam APBN.
Penerimaan pajak dalam negeri dapat diperoleh dari jenis-jenis pajak seperti
Pajak Penghasilan (PPh migas dan PPh nonmigas), Pajak Pertambahan Nilai (PPN
dan PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB), Cukai, dan pajak lainnya. Berdasarkan jenis-jenis pajak
tersebut, Pajak Penghasilan memiliki porsi terbesar dalam komponen penerimaan
pajak nasional.

2
Tabel 2 Penerimaan Pajak dalam Negeri Tahun 2009-2012 (dalam Triliun
Rupiah)
Uraian
2009
PPh Migas
50,043.70
PPh Nonmigas
267,571.30
PPN dan PPnBM 193,067.50
PBB
24,270.20
BPHTB
6,464.50
Cukai
56,718.50
Pajak Lainnya
3,116.00
Total
601,251.70

2010
58,872.70
298,172.80
230,604.90
28,580.60
8,026.40
66,165.90
3,968.80
694,392.10

2011
65,230.70
366,746.30
298,441.40
29,057.80

2012
58,665.80
454,168.70
350,342.20
35,646.90

68,075.30
4,193.80
831,745.30

72,443.10
5,632.00
976,898.70

Sumber: Diunduh dari situs resmi Direktorat Jenderal Pajak.
http://www.pajak.go.id/content/penerimaan-pajak-dalam-negeri-2009-2012.

Pada Tabel 1 menunjukkan penerimaan pajak terbesar di Indonesia selama
kurun waktu tersebut sebagian besar masih diperoleh dari penerimaan pajak yang
bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh) Nonmigas. Jenis pajak PPh adalah jenis
pajak langsung, sehingga model pengenaannya adalah langsung dipotong dari
penghasilan subjek pajak atau Wajib Pajak. Walau demikian, penerimaan pajak
Indonesia masih belum optimal bila dilihat dari perbandingan tax ratio di
beberapa negara tetangga.
Tabel 2 Tax Ratio berdasarkan OECD (Organisation for Economic Cooperation
and Development) Model Tahun 2010 (dalam persen)
Negara Tax Ratio
Australia
25.60
Thailand
17.00
Malaysia
15.50
Indonesia
14.64
Filipina
14.64
India
10.90
Sumber: Rahmany, F. 17 Oktober 2012. Tax Ratio Indonesia Tinggi, ada Kesalahan
Penghitungan Tax Ratio. http://www.pajak.go.id/node/4292?lang=en.

Tax Ratio dalam arti sempit hanya mencakup pajak pemerintah pusat dibagi
Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Tax Ratio dalam arti luas (OECD) mencakup
pajak pusat, pajak daerah, dan penerimaan SDA (bagi hasil) dibagi PDB. Dalam
Tabel 2 merupakan perbandingan tax ratio pada tahun 2010 dimana tax ratio
Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, atau Australia.
Hal ini berarti penerimaan pajak di Indonesia masih tergolong rendah
dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Ketidakmampuan pemerintah mengoptimalkan penerimaan pajak
menyebabkan utang terus berkelanjutan. Jumlah utang baru, hampir selalu lebih
besar dari cicilan utang. Akumulasi utang mencapai Rp 1.937 triliun pada tahun
2012, artinya setiap penduduk Indonesia menanggung utang Rp 8 juta. 1
Akumulasi utang dan pendapatan rendah akan membawa Indonesia terjebak
1

Prastowo, J dan Budiantoro, S. Maret 2012. Rasio Pajak Rendah, Utang Makin Menumpuk.
Prakarsa Policy Review. No. 2. Hal. 1.

3
dalam perangkap utang (debt trap). Penerimaan pajak Indonesia yang belum
optimal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain dapat dilihat dari
sisi teknis sistem pajak maupun sisi ekonomi politik yang mempengaruhi, seperti
kondisi demokrasi dan rent-seeking behaviour di Indonesia.
Dilihat dari sisi sistem pajak di Indonesia, sebagai upaya dalam
meningkatkan peranan pajak, pemerintah Indonesia sejak tahun 1983 telah
melakukan reformasi perpajakan yaitu dengan mengundangkan UU No.6/1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan UU No.28/2007 yang mengganti sistem perpajakan
dari official assessment menjadi self assessment. Dengan ketentuan sistem self
assessment, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, menyetor, dan
melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya.
Sebagai perbandingan, salah satu negara tetangga sekaligus sesama anggota
G-20 yaitu Australia pun menerapkan self assessment dalam sistem pemungutan
pajaknya. Pemerintah hanya sekedar mengawasi, namun dikarenakan sistem yang
sudah dibangun secara teratur maka para Wajib Pajak kecil kemungkinannya
untuk tidak membayar pajak. Setiap orang yang tinggal di Australia untuk masa
183 hari atau lebih, orang yang telah memiliki visa permanent
resident/Kewarganegaraan Australia, berumur mulai 18 tahun ke atas, serta
memperoleh pendapatan di Australia wajib memiliki nomor pokok Wajib Pajak
Australia/Australian Tax Number, disebut dengan TFN (Tax File Number) atau
bila di Indonesia NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). TFN tersebut wajib
diisikan ke formulir pengajuan kerja, karena perusahaan akan langsung memotong
pajak dari gaji atau pendapatan pekerja tersebut.2
Kebijakan penerapan sistem perpajakan di Australia ditangani oleh dua
departemen atau terpisah menjadi dua bagian fungsi, yakni untuk fungsi kebijakan
ditangani oleh The Treasury dan fungsi administrasi ditangani oleh Australian Tax
Office (ATO). Kebijakan perpajakan di Australia selalu dipantau dan dievaluasi
setiap tahunnya oleh pemerintah sehingga pemerintah Australia selalu
mengamandemen UU Perpajakan setiap tahun, dengan demikian jika terjadi
permasalahan dalam penerapannya dapat segera diselesaikan dan tidak berlarutlarut. 3 Jenis-jenis pajak di Australia meliputi Individual Income Tax (Pajak
Penghasilan Perorangan), Company Income Tax (Pajak Pendapatan Perusahaan),
Payroll Tax (Pajak Gaji), Property Tax (Land Tax) (Pajak Properti dan
Bangunan), Fringe Benefit Tax (Pajak Pendapatan Tambahan/Bonus), Goods &
Services Tax (GST) (Pajak Barang dan Jasa), Excise (Cukai), Transfer Duty
(Perpindahan Jabatan), dan Other Tax (Pajak Lainnya).4
Pada tahun 2012 di Australia terdapat sekitar 23,9 juta TFN yang terdaftar
dan aktif. Dari jumlah ini sekitar 19,3 juta adalah Wajib Pajak Individu dan 1,8
juta adalah Wajib Pajak Badan. Dari 19,3 juta Wajib Pajak Individu, sebanyak
59,2 persen berasal dari migran permanen dan bukan penduduk asli (non-resident)
dengan visa kerja. Oleh karena itu, Australian Tax Office (ATO) sangat fokus

2

Saleh, S. 2011. Sistem Perpajakan di Australia. Sharia Business Solution.
http://sobisy.blogspot.com/2010/07/sistem-perpajakan-di-australia.html.
3
Ibid.
4
Situs resmi Australian Tax Office. http://www.ato.gov.au.

4
pada perbaikan sistem registrasi pajak demi kemudahan orang-orang asing dari
berbagai negara yang akan tinggal dan bekerja di Australia.5
Tabel 3 Tingkat Rasio antara Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) Terdaftar
dengan Angkatan Kerja Tahun 2005

No.

Negara

Penduduk
(Juta)

A. Negara OECD
1 Selandia Baru
2 Yunani
3 Spanyol
4 Finlandia
5 Australia
B. Negara Non OECD
1 Argentina
2 Chile
c. Indonesia (2004)

Angkatan WPOP Angkatan Kerja/ WPOP Terdaftar/
Kerja
Terdaftar
Penduduk
Angkatan Kerja
(Juta)
(Juta)
(Persen)
(Persen)

4,1
11,1
42,7
5,2
20,1

2,1
4,6
20,2
2,6
10,2

5,1
10,72
37,6
4,8
17,04

51,22
43,24
47,31
50,00
50,75

242,9
223,3
286,1
184,2
167,1

38,6
15,1
220,6

15,34
6,3
105,80

0,9
1,6
2,38

39,74
39,1
47,96

42,9
25,4
2,24

Sumber: Siswahyudi. Mei 2008. Analisis Komparasi Regulasi Registrasi Wajib Pajak
Orang Pribadi antara Indonesia dengan Australia. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik.
Vol. 12. No. 1. Hal. 43.

Tabel 3 merupakan hasil survei OECD pada tahun 2006 dengan
menggunakan tenaga kerja sebagai benchmark, menunjukkan bahwa rasio antara
jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) Terdaftar dengan jumlah angkatan
kerja pada negara-negara maju, termasuk Australia, mencapai lebih dari 40
persen, bahkan banyak yang mencapai rasio lebih dari 100 persen. Apabila
Indonesia mengikuti model perhitungan OECD maka tingkat rasionya hanya
mencapai 2,24 persen (masih sangat jauh tertinggal).
Data di atas menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi penerimaan
pajak yang jauh lebih besar apabila berhasil menjalankan program ekstensifikasi
Wajib Pajak. Ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak merupakan
program perpajakan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk
mengoptimalkan penerimaan pajak. Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan
yang berkaitan dengan menambah jumlah Wajib Pajak Terdaftar, sedangkan
intensifikasi pajak adalah kegiatan mengoptimalkan penerimaan pajak dari Wajib
Pajak yang telah terdaftar.6
Ekstensifikasi Wajib Pajak dapat berhasil apabila masyarakat memiliki
kepatuhan dalam membayar pajak. Kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak
sangat tergantung dari cara pemerintah memberikan pelayanan kepada negara.
Rakyat sebagai warga negara memiliki kewajiban untuk membayar pajak,
sebaliknya negara pun memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan publik
yang baik kepada rakyat. Bila para pemimpin negara benar-benar mengurus

5

Commisioner of Taxation. 2012. Annual Report 2011-2012. Australian Tax Office. Hal. 39.
Tunliu, J. J. A. 2010. Pengaruh Intensifikasi dan Ekstensifikasi terhadap Peningkatan
Pendapatan Asli Daerah Guna Mewujudkan Kemandirian Keuangan Daerah [Tesis]. Universitas
Brawijaya. Malang. Hal. 6.

6

5
negara dengan melaksanakan prinsip demokrasi, tentunya rakyat akan mendukung
demi kesejahteraan bersama.
Demokrasi yang berarti kesetaraan dan partisipasi, maka demokrasi
perpajakan dapat dimaknai sebagai terbangunnya sistem perpajakan yang
menggambarkan adanya kesetaraan antara pemerintah dan masyarakat pembayar
pajak, sehingga memungkinkan munculnya partisipasi masyarakat, sejak dari
proses pembuatan kebijakan perpajakan, pengumpulan pajak, dan pemanfaatan
uang pajak. Prinsip dari demokrasi yang paling penting adalah meletakkan
kekuasaan di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa.7
Dalam rangka memperoleh sistem perpajakan yang mencerminkan azas
demokrasi, tentu akan diperlukan perangkat hukum dan penciptaan kondisi
dimana rakyat/Wajib Pajak menyadari kewajiban mereka membayar pajak. Sistem
perpajakan yang baik menurut Adam Smith dalam Irianto (2005),
“…Empat prinsip perpajakan yang harus terpenuhi, yaitu keadilan
(equality), kepastian (certainty), kenyamanan (convinience), dan efisiensi
(efficiency). Hal penting lainnya adalah daerah dituntut untuk melaksanakan
sistem perpajakan secara transparan, akuntabel dan efisien…”8
Indonesia masih harus bekerja keras membangun sistem perpajakan dan
demokrasinya. Saat ini Indonesia masih berada dalam masa transisi demokrasi,
yaitu demokrasi yang belum mapan, belum terkonsolidasi, masih terus mencari
bentuk, dan karenanya demokrasi yang seperti itu menjadi sumber dari labilnya
kehidupan politik. Pemerintah seharusnya lebih banyak belajar dari negara lain
yang telah berhasil menjalankan demokrasi. Salahsatu negara tetangga yang dapat
dijadikan contoh pembelajaran yaitu Australia.9
Australia merupakan salahsatu negara maju dengan tradisi demokrasi yang
lebih mapan. Sistem pemerintahan Australia dibangun di atas tradisi demokrasi
liberal, yakni berdasarkan nilai-nilai toleransi beragama, kebebasan berbicara dan
berserikat, dan supremasi hukum. Lembaga-lembaga Australia dan praktik-praktik
pemerintahannya mencerminkan model Inggris dan Amerika Utara, namun tetap
memiliki ciri khas Australia.10
Demokrasi yang mapan antara lain dicirikan dengan adanya partisipasi
masyarakat yang luas dalam setiap pengambilan kebijakan publik. Kebijakan
publik, terutama yang melibatkan anggaran negara atau kebijakan mengenai
sumberdaya publik/negara harus jelas manfaat dan biayanya. Transparansi publik
dalam hal ini menjadi perhatian utama sekaligus sebagai pencegah timbulnya
kesempatan rent-seeking. Menurut Yustika (2006),
“…Rent-seeking (rent-seeking) dapat didefinisikan sebagai upaya individual
atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan

7

Thoha, M. 2003. Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Radja Grafindo Persada.
Jakarta. Hal. 63.
8
Irianto, E. S. dan Jurdi, S. 2005. Politik Perpajakan: Membangun Demokrasi Negara. UII Press.
Yogyakarta. Hal. 97.
9
Sudibyo, B. Agustus 2012. Reformasi Pajak dalam Kerangka Reformasi Ekonomi-Politik di
Indonesia. Jurnal Akuntansi & Manajemen. Vol. 23. No. 2. Hal 16.
10
Situs resmi Kedutaan Besar Australia.
http://www.indonesia.embassy.gov.au/jaktindonesian/sistem_pemerintahan.html.

6
regulasi pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan
permintaan sumberdaya yang dimiliki...”11
Hal ini berarti rent-seeking sebagai proses di mana individu memperoleh
pendapatan tanpa secara aktual meningkatkan produktivitas, atau malah
mengurangi produktivitas tersebut. Contohnya ialah adanya kasus penggelapan
pajak di lingkungan institusi pajak maupun perusahaan. Salahsatunya kasus
penggelapan pajak pada awal tahun 2010 yang dilakukan oleh salahsatu pegawai
Direktorat Jendral Pajak yang diduga sebagai makelar kasus pajak, Gayus
Tambunan. Ia terbukti menyalahgunakan uang pajak dalam jumlah yang sangat
besar yang seharusnya dibayarkan kepada pemerintah.12
Selain bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, rent-seeking juga dapat
bertujuan untuk menghindari berkurangnya pendapatan. Seperti contohnya ialah
penghindaran pajak oleh masyarakat. Penghindaran pajak merupakan usaha untuk
mengurangi hutang pajak yang bersifat legal, sedangkan penggelapan pajak
adalah usaha untuk mengurangi hutang pajak yang bersifat tidak legal. 13 Jika
dianalogikan pajak dengan karcis tol, jika menggunakan jalan tol namun tidak
membayar karcis tol, maka itulah penggelapan pajak. Jika menghindari untuk
membayar karcis tol dengan cara memilih lewat jalan biasa, maka itulah
penghindaran pajak.
Di negara-negara berkembang banyak terjadi kasus penghindaran pajak. Hal
ini dilakukan dengan cara tidak melaporkan, atau melaporkan namun tidak sesuai
dengan keadaan sebenarnya, atas pendapatan yang bisa dikenai pajak.
Penghindaran pajak ini telah membuat basis pajak atas pajak pendapatan menjadi
sempit dan mengakibatkan begitu besarnya kehilangan potensi pajak yang dapat
digunakan untuk mengurangi beban defisit anggaran negara.14

Perumusan Masalah
Dalam APBN 2012, penerimaan pajak Indonesia diproyeksikan mencapai
Rp 1.033 triliun. Meski terlihat besar, penerimaan tersebut sebenarnya masih
rendah ditinjau dari nilai rasio pajak terhadap PDB. Rasio pajak Indonesia masih
berkisar 12 persen terhadap PDB. 15 Indonesia kini termasuk dalam kategori
negara pendapatan menengah-bawah dan rata-rata rasio pajak pada negara dalam
kategori tersebut adalah sebesar 19 persen. 16 Berdasarkan kategori negara
berpendapatan menengah-bawah, negara ini sebenarnya kehilangan potensi pajak

11

Yustika, A. E. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Bayumedia
Publishing. Jatim. Hal. 147.
12
Puteri, A. Y. 2012. Implikasi Kasus Gayus Tambunan dalam Kesadaran Wajib Pajak [Skripsi].
Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Jatim. Hal. 6.
13
Ibid. Hal. 5.
14
Budiman, J. dan Miharjo, S. 2012. Pengaruh Karakter Eksekutif terhadap Penghindaran Pajak
(Tax Avoidance). S2 Ilmu Akuntansi UGM. Yogyakarta. Hal. 5-6.
15
Prastowo, J. dan Budiantoro, S. Maret 2012. Rasio Pajak Rendah, Utang Makin Menumpuk.
Prakarsa Policy Review. No. 2. Hal. 5.
16
Ibid. Hal. 5.

7
sekitar Rp 512 triliun atau hampir 50 persen.17 Perkiraan konservatif International
Monetary Fund (IMF), potensi pajak yang hilang juga lebih dari 40 persen.18
Kebijakan perpajakan bisa menjadi salahsatu cerminan dari demokratis atau
tidaknya sebuah negara.19 Indonesia saat ini masih dalam masa transisi demokrasi
dimana kondisi politik yang masih labil diperparah oleh belum dewasa dan
matangnya para individu pemeran eksekutif, legislatif, dan yudikatif dari pilarpilar kekuasaan negara pada berbagai tingkatan. Hal ini terbukti dengan
terungkapnya kasus-kasus rent-seeking di struktur elite tersebut yang sangat
merugikan masyarakat.
Berdasarkan laporan lembaga Transparency International pada Corruption
Perceptions Index tahun 2010, Indonesia menempati urutan ke-110 dengan nilai
2,8 dari total 178 negara. Semakin tinggi nilai suatu negara (mendekati 10), maka
semakin bersih negara tersebut dari korupsi. Angka 2,8 mencerminkan di
Indonesia masih banyak terdapat tindak korupsi. Jika dikaitkan dengan kasus
penyuapan, menurut survei yang dilakukan oleh lembaga Transparency
International pada tahun 2008, pihak yang paling mudah disuap di Indonesia
adalah pihak-pihak legislatif dengan nilai 4,1, menyusul di bawahnya adalah
politisi dan polisi dengan nilai masing-masing sama yaitu 3,9 (skala nilai adalah
1-5, dengan ketentuan semakin besar nilai maka semakin mudah disuap).
Reformasi perpajakan selama ini telah mencapai hasil yang baik, namun
masih banyak kekurangan yang harus segera diperbaiki. Pencapaian ukuran
keberhasilan pemungutan pajak masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan
negara-negara lain. Oleh karena itu, studi komparatif guna mempelajari prestasi
negara maju sebagaimana tersebut diatas sangat diperlukan. Negara Australia
dipilih dengan alasan: (i) merupakan negara tetangga sekaligus sesama anggota G20; (ii) rasio jumlah WPOP Terdaftar dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja
mencapai 167,1 persen (Tabel 3); (iii) sumber data tersedia di internet dalam
bahasa Inggris maupun Indonesia.
Melihat uraian di atas juga merujuk pada latar belakang yang telah dibuat,
maka perumusan masalah dari penelitian ini, yaitu:
1. Faktor-faktor apa sajakah yang dapat meningkatkan jumlah WPOP di
Indonesia, dengan Australia sebagai reason learn?
2. Bagaimana keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rentseeking di Indonesia dibandingkan dengan Australia?
3. Bagaimana pengaruh sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking
terhadap penerimaan pajak?

17

Prastowo, J. dan Budiantoro, S. Maret 2012. Rasio Pajak Rendah, Utang Makin Menumpuk.
Prakarsa Policy Review. No. 2. Hal. 5.
18
Website Detikfinance.
http://finance.detik.com/read/2012/03/15/153359/1868373/4/menyakitkan-ri-banyak-ngutang-dankorupsi.
19
Irianto, E. S. 2012. Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Pajak di Indonesia. CV. Aswaja
Pressindo. Yogyakarta. Hal. 17.

8
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dibuat, maka
tujuan dari penelitian ini, yaitu:
1. Mengetahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan jumlah WPOP di
Indonesia, dengan Australia sebagai reason learn.
2. Mengetahui keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rentseeking di Indonesia dibandingkan dengan Australia.
3. Mengetahui pengaruh sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking
terhadap penerimaan pajak.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan akan diperoleh dari hasil penelitian ini adalah:
1. Sebagai suatu kasus, isu, metodologi maupun temuan-temuan dari
penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi pemerintah
dalam
melakukan
penyesuaian-penyesuaian
dalam
rangka
meningkatkan penerimaan pajak yang efektif.
2. Sebagai bahan masukan untuk mengevaluasi kecukupan upaya-upaya
untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan menggunakan
instrumen kebijakan ekstensifikasi Wajib Pajak.
3. Bagi masyarakat umum diharapkan menjadi sebuah wacana untuk
melihat keefektifan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah, dalam
hal ini kebijakan sistem pajak, penyelengaraan demokrasi, dan
fenomena rent-seeking.
4. Diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya
dengan topik penelitian yang serupa, yaitu terkait kebijakan fiskal dan
ekonomi politik.

9

TINJAUAN PUSTAKA
Pajak memiliki peranan yang sangat penting sebagai sumber pendapatan
negara untuk membiayai berbagai pengeluaran negara. Penelitian ini lebih
berkonsentrasi pada analisis upaya meningkatkan penerimaan pajak melalui
instrumen ekstensifikasi Wajib Pajak. Kebijakan publik yang dikeluarkan
pemerintah Indonesia terkait dengan sistem pajak akan dibandingkan dengan
Australia sebagai reason learn. Selanjutnya pembahasan akan lebih diperdalam
dengan analisis ekonomi politik mengenai keterkaitan antara sistem pajak,
demokrasi, dan rent-seeking yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat
penerimaan pajak.

Tinjauan Teori-Teori
Pengertian dan Konsep Pajak
Menurut Soemitro dinyatakan bahwa pajak adalah iuran masyarakat
atau rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi)
yang langsung dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.20 Andriani dalam Soemitro juga menyatakan bahwa pajak adalah iuran
kepada negara (yang dapat dipaksakan) terutama oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang
langsung atau tidak langsung dapat ditunjuk, yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara dalam
penyelenggaraan pemerintahan. 21 Menurut Kamus Ekonomi, Uang, dan Bank,
pajak adalah iuran wajib kepada negara berdasarkan undang-undang, untuk
membiayai belanja negara dan sebagai alat untuk mengatur kesejahteraan dan
perekonomian.22
Pengenaan pajak ini dilaksanakan sebagai sumber penerimaan negara
terbesar. Target penerimaan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu ekstensifikasi pajak dan intensifikasi pajak.
Ekstensifikasi pajak dilakukan dengan meningkatkan jumlah pembayar pajak
(Wajib Pajak), sedangkan intensifikasi pajak yaitu meningkatkan nilai pajak itu
sendiri.
Sumber penerimaan pajak didapat dari dua jenis pajak yaitu pajak
langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang harus
ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak bisa dilimpahkan kepada Wajib
Pajak lainnya. Contoh, pajak langsung yaitu Pajak Penghasilan dan Pajak
Bumi dan Bangunan. Pajak ini langsung terkait dengan penghasilan Wajib Pajak
atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Wajib Pajak.23 Pajak tidak langsung adalah
pajak yang bisa dialihkan ke pihak lain. Misalnya, Pajak Pertambahan Nilai
20

Soemitro, R. 1993. Pajak Penghasilan. Eresco. Bandung. Hal. 258.
Ibid. Hal. 258.
22
Sahrani, A. dan Wijaya, D. 2003. Kamus Ekonomi, Uang, dan Bank. Restu Agung. Jakarta. Hal.
390.
23
Ralona, M. 2006. Kamus Istilah Ekonomi Populer. Niaga Swadaya. Jakarta. Hal. 220.
21

10
dan Pajak Penjualan Barang. Sasaran pajak tidak langsung sebenarnya
konsumen, sedangkan pengusaha terkena pajak hanya bertindak sebagai
pemungut pajak.24 Penelitian ini akan menganalisis kebijakan ekstensifikasi Wajib
Pajak Orang Pribadi (WPOP). Kemudian fokus pajak akan dipersempit dengan
hanya melihat dari sumber penerimaan pajak langsung, khususnya Pajak
Penghasilan (PPh).
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumberdaya
dari sektor privat ke sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa
adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya
kemampuan individu dalam menguasai sumberdaya untuk kepentingan
penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan daerah
dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Definisi pajak menurut Undang-Undang Perpajakan No.28 tahun 2007 adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Dari berbagai definisi tentang pajak di atas,
terdapat beberapa aspek dasar, yaitu:
a) Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang,
b) Sifatnya dapat dipaksakan,
c) Tidak ada kontraprestasi yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar
pajak,
d) Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik pemerintah pusat
maupun daerah; dan
e) Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat
umum.
Fungsi Pajak
Nurmantu (2005) menyatakan bahwa pajak memiliki dua fungsi, yaitu
fungsi budgeter dan fungsi reguland. 25 Pajak berfungsi budgeter, yaitu untuk
mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang
yang berlaku, kemudian pada waktunya akan digunakan untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan, dan bila ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan
pemerintah. Fungsi reguland adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut
digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Sebagai sumber pendapatan negara dan juga pendapatan daerah, pajak
berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara maupun daerah.
Untuk menjalankan tugas-tugas rutin dan melaksanakan pembangunan
membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Pemerintah
mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi
mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya
dalam rangka meningkatkan penanaman modal, diberikan berbagai macam
fasilitas keringanan pajak.
24
25

Ralona, M. 2006. Kamus Istilah Ekonomi Populer. Niaga Swadaya. Jakarta. Hal. 222.
Nurmantu, S. 2005. Pengantar Perpajakan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal. 28.

11
Kedua fungsi pajak di atas merupakan satu kesatuan yang saling
melengkapi, dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Misalnya, walaupun pajak
berfungsi sebagai sumber pendapatan negara dan masyarakat, tetapi harus pula
dipertimbangkan berbagai dampaknya pada masyarakat, baik berupa dampak
sosial, ekonomi, budaya, maupun dampak lainnya, sebaliknya juga demikan.
Apabila fungsi mengatur dari pajak akan dipakai untuk mencapai sasaran di
bidang sosial, ekonomi, budaya, maupun bidang-bidang lainnya, maka perlu
dipertimbangkan pengaruhnya terhadap penerimaan negara dari sektor pajak, di
samping perlu analisis terlebih dahulu terhadap efektifitas penggunaan pajak
untuk mencapai sasaran lain.
Di antara kedua fungsi pajak, fungsi yang utama adalah pajak sebagai
pengisi kas negara, sedangkan fungsi mengatur merupakan fungsi tambahan.
Pajak adalah perpindahan uang dari masyarakat ke kas negara untuk membiayai
pengeluaran umum. Fungsi lainnya berkaitan dengan manfaat dari pungutan
tersebut bagi pemerintah, dalam mewujudkan sasaran pembangunan di bidang
sosial, ekonomi, budaya, maupun bidang-bidang lainnya. Contoh fungsi mengatur
adalah pemberian fasilitas pajak berupa tax holiday bagi badan-badan baru yang
menanam modalnya di bidang produksi yang memperoleh prioritas pemerintah
berdasarkan undang-undang.
Meski demikian, dalam pandangan Burton dan Ilyas (2004) terdapat pula
fungsi lain dari pajak yang saat ini mengemuka, yaitu fungsi demokrasi dan fungsi
redistribusi. 26 Fungsi demokrasi menyatakan bahwa pajak merupakan salahsatu
penjelmaan atau wujud sistem gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintahan
dan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat. Sebagai implementasinya,
pajak memiliki konsekuensi untuk memberikan hak timbal balik yang meskipun
tidak diterima langsung, tetapi diberikan kepada warga negara pembayar pajak.
Demikian selanjutnya, hingga pajak akan berfungsi redistribusi, yaitu
mengimplementasikan unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Bila
pajak diterapkan dengan baik maka dapat dipastikan terjadi beberapa dampak
pajak terhadap perekonomian dan berbagai aspeknya.
Secara umum, struktur perekonomian (tanpa pajak) terdiri dari Pendapatan
Nasional, Konsumsi, dan Tabungan. Bila seluruh tabungan digunakan untuk
investasi, maka tidak akan pernah terjadi inflasi maupun deflasi. Tetapi, tidak
semua tabungan digunakan untuk investasi sehingga berakibat pada kelesuan
ekonomi, deflasi, dan pengangguran, atau sebaliknya, jumlah tabungan lebih
rendah dari jumlah investasi, yang berakibat pada kegairan ekonomi dan inflasi.
Gambar 2 menunjukkan hubungan antara tingkat Pendapatan Nasional (Y)
dengan tingkat konsumsi (C) dan tingkat Investasi (I). Pada tingkat Pendapatan
Nasional sebesar 0Y (S=I), perekonomian dalam keadaan seimbang, tidak ada
inflasi maupun deflasi. Pada tingkat pendapatan 0Y1 (SI), instrumen pajak digunakan untuk mengurangi pengaruh
deflasi dengan menerapkan pajak atas tabungan.
26

Burton, R. dan Ilyas, W. B. 2004. Hukum Pajak. Salemba Empat. Jakarta. Hal. 9

12

Gambar 2 Hubungan Pendapatan Nasional dengan Konsumsi dan Investasi
Sumber: Mankiw, N. G. 2003. Teori Makroekonomi. Erlangga. Jakarta. Hal. 61

Dengan adanya pajak, pemerintah pusat memiliki dana untuk menjalankan
kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga dalam jangka
panjang inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan
mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, serta penggunaan
pajak yang efektif dan efisien. Pajak yang sudah dipungut akan digunakan untuk
membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai
pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya
akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi angka
kemiskinan.
Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Norman D. Nowak dalam Nurmantu (2005), sistem perpajakan
suatu negara terdiri dari tiga unsur, yakni Tax Policy, Tax Law, dan Tax
Administration. Tax Administration selanjutnya dirinci menjadi The Institution
(lembaga), The Persons who work there (para pegawai), dan The Procedure
(prosedur perpajakan). 27 Kebijakan perpajakan (Tax policy) adalah kebijakan
mengenai perubahan sistem perpajakan yang sesuai dengan perkembangan, tujuan
ekonomi, politik, dan sosial pemerintah. Dengan adanya kebijakan perpajakan ini,
pemerintah mengharapkan terjadi peningkatan penerimaan daerah dari sektor
pajak, dalam rangka untuk mencapai kemandirian pembiayaan dan
pembangunan. 28 Tax law atau hukum pajak yaitu suatu kumpulan peraturanperaturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak
dengan rakyat sebagai pembayar pajak. Produk hukum pajak berupa undangundang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri keuangan,
dan surat edaran Direktorat Jenderal Pajak.
27

Nurmantu, S. 2005. Pengantar Perpajakan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal. 106.
Prakosa, K. B. dan Malian, S. 2003. Pajak dan Retribusi Daerah. UII Press. Yogyakarta. Hal.
64.

28

13
Tax administration bertujuan agar sistem perpajakan yang dipilih suatu
negara dapat dilaksanakan sepenuhnya. Administrasi pajak merupakan unsur yang
langsung berkenaan dengan Wajib Pajak. Sistem administrasi pajak menjadi
sorotan utama setelah ditemukannya berbagai penelitian yang menyebutkan
bahwa begitu banyak kelemahan yang terdapat di dalamnya sehingga banyak
praktek-praktek ilegal yang berlangsung di dalam pemungutannya, baik itu oleh
aparatur pajak maupun pemilik kewajiban yaitu Wajib Pajaknya.
Sistem perpajakan dapat disebut sebagai metode atau cara bagaimana
mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak dapat mengalir ke kas
negara. Tjahjono dan Husein (1997) mengemukakan bahwa sistem perpajakan
adalah sebagai berikut:29
a) Official Assesment System
Adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada
pemungut pajak (fiskus) untuk menetukan besarnya pajak yang harus
dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang.
b) Self Assessment System
Adalah susatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh
kepada Wajib Pajak untuk menghitung besarnya pajak yang terutang oleh
Wajib Pajak, sehingga dengan sistem ini Wajib Pajak harus aktif dalam
menghitung, menyetor, dan melapor ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
c) Witholding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga untuk memotong/memungut besarnya pajak yang terutang.
Dasar pijakan sistem perpajakan tersebut adalah asas-asas perpajakan,
yaitu equality, revenue productivity, dan ease of administration. 30 Sebagai dasar
berpijak, sudah seharusnya ketiga asas perpajakan itu dipegang teguh dan dijaga
keseimbangannya agar tercapai sistem perpajakan yang baik. Ketiga asas di atas
dapat dijelaskan sebagai berikut. 31
a) Equality
Asas keadilan mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan merata. Pajak
dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya
untuk membayar pajak tersebut dan juga sesuai manfaat yang diterimanya
dari negara.
b) Revenue Productivity
Revenue productivity principle merupakan asas yang lebih menyangkut
kepentingan pemerintah sehingga asas ini sering dianggap sebagai asas yang
terpenting oleh pemerintah yang bersangkutan. Asas ini menyatakan bahwa
jumlah pajak yang dipungut hendaklah memadai untuk keperluan
menjalankan roda pemerintahan, tetapi hendaknya dalam implementasinya
tetap harus diperhatikan bahwa jumlah pajak yang dipungut jangan sampai
terlalu tinggi sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi.

29

Tjahjono dan Husein. 1997. Perpajakan. Akademika Manajemen Perusahaan YKPN.
Yogyakarta. Hal. 39.
30
Mansury. 1996. Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia Jilid 3. PT Bina Rena
Pariwara. Jakarta. Hal. 56.
31
Rosdiana, H. dan Tarigan, R. 2005. Perpajakan, Teori dan Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta. Hal. 34.

14
c) Certainty Principle (Ease of Administration)
Asas ease of administration meliputi 4 hal, yaitu certainty, efficiency,
convenience of payment, dan simplicity. Asas kepastian antara lain
mencakup kepastian mengenai pihak-pihak yang harus dikenakan pajak,
objek pajak, serta besarnya jumlah pajak yang harus dibayar, dan bagaimana
cara membayar. Asas kenyamanan menyatakan bahwa saat pembayaran
pajak hendaklah dimungkinkan pada saat yang memudahkan bagi pembayar
pajak. Pemungutan pajak dikatakan efisien jika memiliki cost of compliance
yang rendah. Kemudian dalam menyusun suatu undang-undang perpajakan,
harus diperhatikan juga asas kesederhanaan agar masyarakat awam dapat
memahami undang-undang tersebut.
Asas revenue productivity dengan asas equality apabila dilihat dari
kepentingannya berada dalam titik-titik ekstrim yang berbeda. Revenue
productivity merupakan asas yang terkait dengan kepentingan pemerintah,
sementara asas keadilan sangat terkait dengan kepentingan masyarakat. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa suatu pemungutan pajak dikatakan optimal
apabila dalam pemungutannya terpenuhi asas revenue productiviy dengan tetap
menjaga keadilan dalam pemungutannya. Selain itu asas certainty principle (ease
of administration) pun sangat penting karena prosedur pemungutan pajak yang
rumit dapat menyebabkan Wajib Pajak enggan membayar pajak, dan bagi fiskus
akan menyulitkan dalam mengawasi pelaksanaan kewajiban pajak.
Kepatuhan Pajak
Brooks (2001) menyebutkan bahwa terdapat tiga teori yang terkait dengan
tax compliance, yaitu economic theories, psychological theories, dan sociological
theories. 32 Secara garis besar, ekonomi dan psikologi melihat masalah tersebut
dengan fokus perhatian pada aspek individual, sementara sosiologi lebih
menekankan pada sistem sosial di mana individu itu berada. Teori ekonomi
melihat adanya prinsip rasionalitas dan oportunistik yakni usaha untuk
memaksimalkan keuntungan dengan biaya serendah mungkin. Maka, tingkat
kepatuhan pajak berhubungan dengan tingkat keuntungan. Penghindaran pajak,
misalnya, bisa diartikan sebagai cara untuk memperoleh keuntungan sebesarbesarnya. Selain itu ada sejumlah faktor psikologis terkait dengan tingkat
kepatuhan pajak seseorang. Faktor itu adalah sikap, kecenderungan, kepercayaan,
dan nilai-nilai yang ada dalam diri seseorang. Ini juga terkait dengan moral.
Selanjutnya, semua itu akan berpengaruh pada kebiasaan dan kecenderungan
seseorang melakukan sesuatu, termasuk dalam memenuhi kewajibannya dalam
membayar pajak. Sementara itu, pendekatan sosiologis berfokus pada sistem
sosial dimana individu berada.
Ismawan (2001) mengemukakan prinsip administrasi pajak yang diterima
secara luas menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan
sukarela. 33 Kepatuhan sukarela merupakan tulang punggung sistem self
assessment di mana Wajib Pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri
32

Brooks, N. 8 September 2001. Key Issues in Income Tax: Challenges of Tax Administration and
Compliance. Asian Development Bank 2001 Tax Conference.
www.adb.org/Documents/Events/2001/Tax_Conference/tax2001.
33
Ismawan, I. 2001. Memahami Reformasi Perpajakan 2000. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
Hal. 37.

15
kewajiban pajaknya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan
melaporkan pajak tersebut. Kepatuhan sebagai fondasi self assessment dapat
dicapai apabila elemen-elemen kunci telah diterapkan secara efektif. Elemenelemen kunci menurut Ismawan (2001) adalah sebagai berikut.34
a. Program pelayanan yang baik kepada Wajib Pajak.
b. Prosedur yang sederhana dan memudahkan Wajib Pajak.
c. Program pemantauan kepatuhan dan verifikasi yang efektif.
d. Pemantapan law enforcement secara tegas dan adil.
Kepatuhan perpajakan yang dikemukakan oleh Norman D. Nowak dalam
Sony (2006), sebagai ‘suatu iklim’ kepatuhan dan kesadaran pemenuhan
kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi sebagai berikut.35
a. Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.
d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
Reformasi Pajak
Reformasi Perpajakan di Indonesia telah dilakukan pertama kali pada
tahun 1983 dimana saat itu terjadi reformasi atau perubahan sistem mendasar atas
pengelolaan perpajakan Indonesia dari sistem Official Assessment ke sistem Self
Assessment. Perubahan sistem ini bertujuan untuk mengurangi kontak langsung
antara Aparat Pajak dengan Wajib Pajak yang sebelumnya dikhawatirkan dapat
menimbulkan praktek-praktek ilegal untuk menghindari atau mengurangi
kewajiban perpajakan para Wajib Pajak yang bersangkutan. Reformasi perpajakan
secara komprehensif sebagai satu kesatuan dilakukan terhadap tiga bidang pokok
yang secara langsung menyentuh pilar perpajakan, yaitu: 36
a. Bidang Administrasi, yakni melalui reformasi administrasi perpajakan.
Reformasi perpajakan di bidang administrasi dilakukan oleh Dirjen Pajak
dengan melakukan peningkatan pelayanan perpajakan terhadap Wajib Pajak
yang akan memenuhi kewajibannya. Untuk mewujudkannya diperlukan
kerjasama yang baik antara Wajib Pajak dengan Aparat Pajak. Wajib Pajak
diharapkan untuk selalu memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik
sedangkan Aparat Pajak diharapkan untuk selalu bekerja sesuai dengan
moral dan kode etik perpajakan.
b. Bidang Peraturan, dengan melakukan amandemen terhadap UndangUndang Perpajakan.
Dari aspek peraturan perpajakan, Dirjen Pajak terus mengupayakan
pengembangan yuridis formal dan materil perpajakan. Langkah yang
dilakukan yakni melalui penyesuaian dan pembaruan atau amandemen
peraturan dan kebijakan perpajakan sejalan dengan perkembangan yang
terjadi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Reformasi
34

Ismawan, I. 2001. Memahami Reformasi