ROKOK DALAM PERSPEKTIF POLITIK EKONOMI

INDUSTRI ROKOK DALAM PERSPEKTIF
POLITIK EKONOMI
Berbicara tentang industri rokok tak akan ada habisnya tanpa putusan yang
jelas. Di satu sisi industri rokok merugikan karena memproduksi rokok yang pada
dasarnya rokok merupakan barang yang mengandung berbagai racun yang tidak
baik bagi tubuh. Namun di sisi lain, industri rokok di Indonesia justru
memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi kemajuan bangsa ini
daripada perusahaan pertambangan yang dikuasai oleh pihak asing. Melihat
kondisi seperti ini, tentunya saya dan pembaca merasa terperangkap pada kondisi
dilematis tentang industri rokok ini.
Pro kontra tentang industri rokok ini sudah marak diperbincangkan,
seorang Staf Peneliti dari Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum UGM
Yogyakarta menekankan pada perspektif UU Kesehatan terhadap rokok atau
Regulasi anti-rokok dirasa tidak menciptakan suasana yang berkeadilan bagi
rakyat. UU kesehatan menganggap bahwa rokok yang berbahan baku produk
tembakau dan mengandung zat adiktif dianggap membahayakan kesehatan,
namun sangat berlebihan jika semua penyakit, kanker, dan kemudian
menyebabkan kematian selalu dikaitkan dengan rokok. Padahal, di sisi lain ada
satu dari sekian banyak orang yang merokok nyatanya bisa hidup sampai tua,
bahkan tidak tervonis kanker. Justru di Ponpes banyak orang yang merokok untuk
inspirasi dalam menghafal Al-Qur’an, akan tetapi ini hanyalah argumen yang

tidak berdasar pada kebenaran ilmiah. Regulasi-regulasi itupun makin marak
muncul seiring perkembangan otonomi daerah, masing-masing daerah makin
gencar untuk menginformasikan tentang UU Antirokok ini.
Dalam perspektif ekonomi dijelaskan bahwa cukai untuk rokok sangatlah
besar. Bahkan pembangunan negeri ini dapat berjalan karena adanya biaya dari
cukai rokok. Sangat ironi bukan? Melihat kenyataan yang ada terkait dengan
lingkungan pertanian,pertanian tembakau lebih bersahabat dengan alam daripada
lingkungan pertambangan. Pada lingkungan tembakau yang rusak adalah tanah
pada

tanaman

tembakau,

sedangkan

untuk

lingkungan


pertambangan

keanekaragaman hayati milik kita dapat berkurang. Cukai antara pertambangan

dengan industri rokok, ternyata jauh lebih besar rokok. Hal ini terjadi karena
sebagian besar industri pertambangan kita dikuasai oleh asing.
Sebagai mahasiswa pertanian, lalu bagaimana nasib petani tembakau
dengan adanya UU antirokok yang dapat mematikan mata pencahariannya?
Meskipun UU tersebut ada, mereka tetap menjadi petani tembakau, semisal mau
dialihkan pemerintah harus menjamin kesejahteraan mereka. Hal ini dikarenakan
harga tembakau yang mahal, 1 kg dapat mencapai 800.000,-, apabila dialihkan
dengan tanaman seperti cabai sudah pernah dicoba namun kenyataan sampai saat
ini harga cabai tidak pernah di atas harga tembakau. Melihat hal ini, upaya untuk
mengurangi konsumsi rokok dengan mengalihkan petani tembakau ke tanaman
lain dapat dikatakan tidak berhasil. Meskipun rokok merusak kesehatan tubuh
tetapi rokok telah menjadi salah satu barang konsumsi masyarakat Indonesia
kesehariannya.
Melihat hal yang ironi ini, upaya dalam diskusi ini untuk mengantisipasi
bahaya rokok yaitu lebih ditekankan


pada pencegahan agar rokok tidak

memasuki dunia anak-anak, remaja, dan kaum wanita. Jangan sampai generasi
bangsa ini teracuni oleh adanya rokok. Menambahkan juga bahwa industri rokok
juga memberikan sebagian cukai untuk mendirikan rumah sakit yang khusus
sebagai penanggulangan perokok. Tapi hal ini masih banyak kendalanya.
Bapak Muhajir, narasumber yang kedua fenomena rokok yaitu komoditas
di ekonomi pasar, barang yang mengandung eksternalitas negatif, sebagai
kepentingan yang diperjuangkan arena politik kepentingan pengusaha rokok,
kepentingan petani tembakau, kepentingan konsumen rokok, dan kepentingan
masyarakat sipil. Situasi problematis tentang rokok yaitu jaringan tembakau luas,
konsumsi rokok di asia tenggara meningkat, kematian akibat tembakau, cukai
rokok di Indonesia rendah, indonesia belum meratifikasi FCTC.