Analisis Liberalisasi Sektor Migas Terhadap Pengelolaan Migas Di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik

ANALISIS LIBERALISASI SEKTOR MIGAS TERHADAP
PENGELOLAAN MIGAS DI INDONESIA:
PERSFEKTIF EKONOMI POLITIK

KHOERUL IMAM FATWANI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Liberalisasi Sektor
Migas Terhadap Pengelolaan Migas di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik
adalah benar karya saya dengan arahan dari Dosen Pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Khoerul Imam Fatwani
NIM H14100089

ABSTRAK
KHOERUL IMAM FATWANI. Analisis Liberalisasi Sektor Migas Terhadap
Pengelolaan Migas di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik. Dibimbing oleh
DIDIN S. DAMANHURI
Lahirnya Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Migas memberikan
dampak bagi pengelolaan migas dan perekonomian Indonesia. Selain untuk
efisiensi, alasan dikeluarkan Undang-Undang Migas ini adalah untuk terciptanya
persaingan yang sehat dan transparan. Tujuan dari penelitian ini adalah
menganalisis kontribusi sektor migas terhadap perekonomian Indonesia,
menganalisis dampak liberalisasi sektor migas terhadap kinerja industri migas,
serta menganalisis aktivitas perburuan rente pada sektor migas. Penelitian ini
menggunakan periode analisis dari tahun 1992 sampai tahun 2012 dengan
menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif serta menggunakan analisis
ekometrika dengan metode estimasi OLS (Ordinary Least Square) menggunakan

E-views 6. Hasil penelitian menunjukan bahwa kontribusi sektor migas terhadap
PDB Indonesia mengalami. Selain itu, hasil regresi menunjukan bahwa UndangUndang Migas tersebut tidak mempengaruhi kinerja industri migas secara
signifikan. Untuk aktivitas perburuan rente, selama kurun waktu 2004 sampai
2012, BPK sedikitnya menemukan sedikitnya 23 temuan kejanggalan laporan cost
recovery yang berpotensi merugikan negara senilai US$ 3.3 juta.
Kata kunci : aktifitas perburuan rente, cost recovery, liberalisasi, kinerja industri,
sektor migas, Undang-Undang Migas.

ABSTRACT
KHOERUL IMAM FATWANI. Analysis of the Oil and Gas Sector liberalization
On the Management of Oil and Gas in Indonesia: a Political Economy Perspective.
Supervised by DIDIN S. DAMANHURI
Law numbers 22 of 2001 on Oil and Gas have an impact on the
management of oil and gas and Indonesian economy. In addition to efficiency,
reasons issued oil and gas law is to create healthy competition and transparent.
The purpose of this study is to analyze the contribution of oil and gas sector to the
Indonesian economy, analyze the impact of liberalization on the performance of
the oil and gas sector oil and gas industry, and analyzing rent seeking activity in
the oil and gas sector. This study uses the analysis period from 1992 to 2012 by
using qualitative analysis and quantitative analysis approach econometrics with

OLS (Ordinary Least Square) using E-views 6. The results of research showed
that the oil and gas sector's contribution to Indonesia's GDP has decreased. In
addition, the regression results showed that the oil and gas law does not affect
significantly the performance of the oil and gas industry. For rent seeking activity,
during the period 2004 to 2012, BPK least finding irregularities discovered at
least 23 reported cost recovery that could potentially harm the state valued at $ 3.3
million.
Keywords: cost recovery, industry’s performance, Law no. 22 of 2001 on Oil and
Gas, liberalisation, oil and gas Sector, rent seeking activity.

ANALISIS LIBERALISASI SEKTOR MIGAS TERHADAP
PENGELOLAAN MIGAS DI INDONESIA:
PERSFEKTIF EKONOMI POLITIK

KHOERUL IMAM FATWANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada

Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Dengan segala kerendahan hati penulis memanjatkan puji dan syukur
kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala nikmat, cinta dan karunia-Nya
sehingga skripsi ini yang berjudul “Analisis Liberalisasi Sektor Migas terhadap
Pengelolaan Migas di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik” berhasil
diselesaikan. Penulis juga sampaikan penghargaan kepada ibunda tercinta Maryati
dan ayahanda Endang Abdul Malik yang telah mendidik dan membesarkan
penulis sehingga penulis bisa sampai pada tahap ini. Tak lupa penulis ucapkan
terima kasih sebanyak-banyaknya untuk tante Kartini dan Pak Dadang Sugandi
yang mendukung penulis selama ini. Kasih sayang juga penulis sampaikan kepada
adik-adik penulis yaitu Teguh Amarullah, Ardhi Galih Pangestu, Hilwa Fauziah
dan Suci Ramadhani.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam persiapan, pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini baik berupa
bimbingan, dukungan dan masuka, terutama kepada:
1. Prof. Dr. Didin S. Damanhuri selaku pembimbing skripsi, atas semua
masukan, arahan dan pendidikan yang sangat berharga bagi penulis selama
penyusunan skripsi ini. Penulis merasa sangat beruntung dapat dibimbing oleh
pendidik seperti Prof. Didin yang mengajarkan penulis bagaimana cara
mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan cara berpikir sistematis.
2. Prof. Dr. D.S. Priyarsono selaku dosen pembimbing akademik atas segala
bimbingan selama masa perkuliahan di IPB.
3. Dr. Wiewiek Rindayanti dan Dr. Muhammad Findi Alexandi selaku dosen
penguji skripsi dan komdik Departemen Ilmu Ekonomi atas segala masukan
terhadap skripsi ini.
4. Beasiswa Bidik Misi yang mengantar penulis untuk dapat berkuliah di IPB.
5. Teman-teman satu bimbingan skripsi yaitu Erlangga Ryansha, Candri Yuniar
Roisy dan Ikshan. Semua perjuangan kita akan menjadi kenangan tersendiri
untuk penulis.
6. Teman-teman Kaka Foundation yaitu Arya Suryadilaga, Amri Maulana, Ripqi
Waluyo Djati, A.M. Risyad, Muhammad Hamdani, Fachry, Rahmat Hidayat,
Harry lande, Husnul Khatim, Yusuf Zamhuri, Muzakkir, dan Fidzal. Kalian

sudah penulis anggap saudara sendiri.
7. Luqman Azis dan Andri Sukrudin yang membantu penulis dalam proses
penelitian dan wawancara. Semoga pengalaman baik dan buruk menjadi
pembelajaran untuk kita.
8. Keluarga besar HMI Komisariat FEM IPB terutama sdr. Pangrio Nurjaya, Tri
Arifin Darsono, Raditya Anggoro, serta Rifki Maulana yang selalu menjadi
teman bertukar pemikiran dan membantu proses pembentukan berpikir
penulis.
9. Keluarga besar HMI Cabang Bogor dan penghuni Gedung Serbaguna
Mahasiswa Islam. Terkhusus kepada Qiki Qilang Syahbudi, Fadly Sonata
Siregar, Fathurrohman Mangun Yuda, Fuad Habibi Siregar, Arifin, Alex
Yungan Harahap dan Kang Omon atas rasa persaudaraan dan
persahabatannya.

10. Teman-teman Ilmu Ekonomi 47 yang mewarnai kehidupan penulis selama
kuliah dengan persahabatan, kenangan, dan perjuangan untuk mencapai
tujuan. Sukses untuk kita semua.
11. HIPOTESA FEM IPB yang menjadi wadah bagi penulis untuk dapat
berkembang dan menyalurkan pemikiran.
12. Narasumber-narasumber yang ikut menyumbangkan pemikirannya terutama

untuk Mas Komaidi Notonegoro dari Reforminer Institute, Firdaus Ilyas dari
Indonesia Corruption Watch dan Johan Budi dari Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, September 2014
Khoerul Imam Fatwani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

6

Tujuan Penelitian

8

Manfaat Penelitian

8


TINJAUAN PUSTAKA

8

Ekonomi Politik

9

Konsep Ekonomi “Liberalisasi Migas”

11

Teori Persekutuan Segitiga (Triple Alliance Theory)

13

Pengertian dan Konsep Rent Seeking (Perburuan Rente)

14


Konsep Sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) Sektor
Migas di Indonesia

16

Perbedaan Sistem PSC, Sistem Konsesi, dan Service Contract (Kontrak Jasa) 18
Konsep Cost Recovery Pada Sistem PSC

19

Penelitian Terdahulu

20

Kerangka Pemikiran

21

METODOLOGI PENELITIAN


23

Wilayah Penelitian

23

Jenis dan Sumber Data

23

Metode Analisis Data

24

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

26

Republik Indonesia

26

Kondisi Geografis dan Kependudukan

26

Kondisi Perekonomian

27

Sektor Migas dan Industri Migas Nasional

29

HASIL DAN PEMBAHASAN

35

Kontribusi Sektor Migas Terhadap Perekonomian Indonesia Sebelum dan
Sesudah Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang
Migas.

35

Dampak Liberalisasi Sektor Migas terhadap Industri Migas Nasional dan
Pengelolaan Migas di Indonesia.

39

Aktivitas Perburuan Rente dan Dampaknya Pada Pengelolaan Migas di
Indonesia.

44

SIMPULAN DAN SARAN

50

Simpulan

50

Saran

51

DAFTAR PUSTAKA

52

LAMPIRAN

55

RIWAYAT HIDUP

59

DAFTAR TABEL
1. Ranking Perusahaan Minyak Berdasarkan Cadangan Minyak Tahun
2012
2. Ringkasan Generasi PSC di Indonesia
3. PDB Sektor Migas dan PDB Sektor Migas Terhadap PDB Indonesia
Tahun 1992-1999 (Atas Dasar Harga Konstan 1993)
4. PDB Sektor Migas dan PDB Sektor Migas Terhadap PDB Indonesia
Tahun 2000-2012 (Atas Dasar Harga Konstan 2000)
5. Pendapatan Negara Aktual Sektor Migas Tahun 1992-2012 (Miliar
Rupiah)
6. Produksi, Harga, dan Cost Recovery Sektor Migas tahun 1992-2012
7. Proporsi Eksplorasi Terhadap Total Investasi dan Penemuan Minyak
Tahun 1995-2007
8. Hasil Uji Stationeritas
9. Output Uji Heteroskedastisitas
10. Output Uji Autokorelasi
11. Hasil Estimasi Model
12. Temuan BPK-RI atas Kejanggalan Cost Recovery dan Bagi Hasil
Sektor Migas tahun 2004-2012

4
16
35
36
37
38
39
41
42
42
43
46

DAFTAR GAMBAR
1. Realisasi Penanaman Modal Triwulan IV 2012 (triliun rupiah)
2. Realisasi Investasi Asing (PMA) pada Tahun 2012 Berdasarkan
Sektor
3. Alur Perhitungan PSC di Indonesia
4. Mekanisme Pembagian Kontrak Hulu Migas
5. Kerangka Pemikiran
6. PDB Indonesia dari tahun 2000-2012 Atas Dasar Harga Konstan
2000 ( Milyar Rupiah)
7. Laju Pertumbuhan Q to Q Indonesia dari tahun 2004-2012 (persen)
8. Inflasi Indonesia tahun 2000 sampai 2012
9. Jumlah Penduduk Miskin Indonesia (juta jiwa) dan Gini Ratio
Indonesia tahun 2000 sampai 2012
10. Negara-negara Penyumbang Minyak Dunia pada Tahun 2010
11. Sektor Minyak dan Gas Indonesia dari tahun 1885-2008
12. Cadangan Minyak Indonesia Tahun 2010 (MMSTB= Juta Stock Tank
Barel)
13. Cadangan Gas Indonesia Tahun 2012 (TSCF= trillion square cubic
feet)
14. Perkembangan Wilayah Kerja di Indonesia dari tahun 2002 sampai
2012
15. Produsen Minyak Indonesia pada tahun 2012
16. Produsen Gas Indonesia pada tahun 2012
17. Indikator Kinerja Sektor Migas Tahun 1993-2001
18. Indikator Kinerja Sektor Migas Tahun 2002-2012
19. Sebaran Error Model

2
2
18
19
22
27
28
28
28
29
30
31
32
33
33
34
40
40
42

DAFTAR LAMPIRAN
1. Nilai output, input dan jumlah TK Sektor Migas
2. Daftar Informan yang Diwawancarai
3. Daftar Singkatan

55
56
57

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu hal yang membuat Indonesia terkenal di dunia selain kekayaan
budayanya adalah kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah. Negara yang
terletak di sepanjang garis khatulistiwa yang beriklim tropis ini begitu banyak
keistimewaannya. Mulai dari tanahnya yang subur, lautan yang luas, serta
melimpahnya hasil bumi yang berbentuk mineral dan energi, membuat Indonesia
semakin dikagumi oleh negara lain.
Dalam mengatur kekayaan sumber daya alamnya, Indonesia mempunyai
landasan kontitusi yang sangat kuat, yaitu adanya pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945 ayat (2) dan (3).1 Kedua pasal tersebut mengamanatkan bahwa Negara harus
bisa mengatur kekayaan sumber daya alamnya untuk kepentingan seluruh rakyat
Indonesia. Lalu apakah pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ayat (2) dan (3) itu
amanatnya sudah dilaksanakan adalah pertanyaan besarnya.
Jika dikaji secara cermat, sejauh ini ada beberapa kebijakan yang kurang
sejalan dengan amanat konstitusi mengenai pengelolaan hasil bumi di Indonesia.
Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Migas,
yang mana dengan ditetapkan undang-undang tersebut menjadikan 70% energi
nasional dikuasai oleh asing, kontrak kerjasama lebih banyak menguntungkan
pihak asing, dan pengelolaan energi nasional dijalankan dengan prinsip
liberalisasi ekonomi, 2 atau ringkasnya sektor Migas di Indonesia telah di
privatisasi oleh asing. Jadi dapat dikatakan bahwa pasal 33 UUD 1945 ayat (2)
dan (3) realisasinya masih jauh dari semestinya.
Indonesia sendiri bukanlah negara yang anti terhadap investasi asing.
Indonesia begitu terbuka terhadap investasi asing yang mana hal itu merupakan
realisasi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Asing serta dengan adanya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang
bertugas untuk mempromosikan Indonesia agar para investor melakukan investasi
di Indonesia.
Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa realisasi penanaman modal selama
tahun 2012 di Indonesia didominasi oleh investor asing. Dari total investasi
sebesar Rp. 313.2 triliun, Rp. 221 triliunnya disumbangkan oleh investor asing.
Hal tersebut jauh melebihi target yang ditentukan untuk tahun 2012, yaitu sebesar
Rp. 283.5 triliun untuk total investasi dan Rp. 206.8 triliun untuk PMA. Dari total
investasti asing yang masuk ke Indonesia, 18% nya adalah untuk sektor
pertambangan, 12% masuk ke sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi,
11,5% masuk ke industri kimia dasar dan farmasi, 10% masuk ke sektor industri
1

Pasal 33 UUD 1945: (2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. (3) Bumi air dan kekayaan yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
2
Makna dikuasi disini adalah dalam hal penguasaan pengelolaan sektor migas. Pendapat tersebut
disampaikan oleh Enny Sri Hartati (Direktur INDEF) dalam Diskusi Refleksi Akhir Tahun
“Integritas Nasional Dalam Bayang-Bayang Kerapuhan Budaya Bangsa” Rabu (19/12/2012),
Megawati Institute.

2
logam, 7% masuk ke sektor alat angkutan dan transportasi, dan 42% masuk ke
sektor lainnya (lihat Gambar 2).
(Triliun rupiah)
350
300
250

PMDN

200

PMA

150

TOTAL

100
50
0

TW 1

TW II

TW III

TW IV

TOTAL

Gambar 1 Realisasi Penanaman Modal Triwulan IV 2012 (triliun rupiah)

Sumber: Diunduh dari situs resmi Badan Koordinasi Penanaman Modal
http://www4.bkpm.go.id/img/file/Press%20Release%20TW%20IV%202012-IND.pdf

Sektor pertambangan Indonesia memang sangat menarik investasi asing.
Pada sektor minyak dan gas (migas) sendiri, investasi asing yang terus
berdatangan ini disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola
migas secara mandiri sehingga untuk memanfaatkan potensi sektor migas ini
pemerintah yang diwakilkan oleh Ditjen Migas dan BP Migas harus melakukan
kontrak dengan perusahaan-perusahaan domestik maupun asing.
Pertambangan (US$. 4,3
M)
18%

42%
12%

11%
7%

Transportasi, Gudang, dan
Telekomunikasi (US$ 2.8
M)
Industri Kimia Dasar dan
Farmasi (US$ 2.8 M)
Industri Logam Dasar,
Barang Logam, Mesin, dan
Elektronik (US$. 2.5 M)
Industri Alat Angkutan dan
Transportasi (US$ I.8 M)

10%
Lainnya (US$. 10.4 M)

Gambar 2 Realisasi Investasi Asing (PMA) pada Tahun 2012 Berdasarkan
Sektor
Sumber: Diunduh dari situs resmi Badan Koordinasi Penanaman Modal
http://www4.bkpm.go.id/img/file/Press%20Release%20TW%20IV%202012-IND.pdf

Model pengelolan migas di Indonesia saat ini yang digunakan adalah model
kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract). Istilah kontrak bagi hasil
(Production Sharing Contract) ini ditemukan pada pasal 1 angka 19 Undang-

3
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi, yang mana pada
pasal tersebut kerjasama di bidang minyak dan gas bumi dibedakan menjadi dua,
yaitu kontrak bagi hasil dan kontrak-kontrak lainnya.3 Pencetus ide sistem kontrak
bagi hasil ini sebenarnya sudah lama diungkapkan oleh direktur utama Pertamina
yang pertama yaitu Ibnu Sutowo.4
Alasan kenapa Indonesia memakai sistem bagi hasil tersebut adalah industri
minyak dan gas bumi memiliki karakteristik padat modal, padat teknologi dan
penuh ketidakpastian (resiko). Sehingga Indonesia mengundang investor-investor
luar negeri serta perusahan-perusahan minyak multinasional supaya terjadi
transfer teknologi yang nantinya diharapkan Indonesia dapat mengelola minyak
dan gas buminya secara mandiri. Selain itu, sistem kontrak bagi hasil yang
digagas oleh Ibnu Sutowo tersebut menekankan bahwa pengelolaan migas ada di
tangan Indonesia (yang diwakili pemerintah/BUMN) sendiri, kita mau barter atau
mau dijual sendiri, yang penting kita menjadi tuan di rumah sendiri.
Gagasan Ibnu Sutowo tentang sistem kontrak bagi hasil ini ternyata lebih
berhasil dilaksanakan oleh Malaysia. Terbukti Petronas sekarang menjadi
perusahaan migas multinasional yang besar dan mandiri. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 1 tentang ranking perusahaan minyak dunia berdasarkan cadangan
minyaknya. Petronas (Malaysia) menduduki peringkat 20 dunia dengan cadangan
minyak sebesar 7.876 juta barel, jauh diatas Pertamina (Indonesia) yang
menempati urutan 44 dengan cadangan minyaknya yang hanya 1.505 juta barel.
Untuk cadangan minyak sendiri, sebenarnya Indonesia memiliki persediaan
minyak yang cukup bahkan berlebih. Untuk sumur blok Cepu saja yang sekarang
dikelola oleh Exxon Mobil (US) mempunyai cadangan minyak sebesar 1-2
milyar barel. 5 Padahal dulu ketika Exxon Mobil berupaya memperpanjang
kontraknya untuk mengelola sumur blok Cepu ini yang jatuh tempo pada tahun
2010, cadangan minyak yang diketahui adalah hanya sekitar 600 juta barel.
Perundingan perpanjangan kontrak tersebut awalnya tidak disetujui oleh Kwik
Kian Gie yang dulu menjabat sebagai Menko Ekoin, tetapi akibat adanya lobi-lobi
dari perusahaan Exxon Mobil yang diwakilkan oleh Dubes Ralph Boyce ditambah
adanya intervensi Presiden Amerika saat itu, George W. Bush akhirnya
penguasaan sumur blok Cepu tersebut jatuh ke tangan Exxon Mobil sampai tahun
2030. 6

3

Dewi Tuti Muryati, Bambang Sadono dan Doddy Kridasaksana. 2013. Aspek Hukum Kontrak
Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam Kaitannya dengan Investasi Pertambangan Migas
[Laporan Penelitian]. Yayasan Alumni Universitas Dipenogoro, Fakultas Hukum Universtitas
Semarang. Hal 11
4
Ide ini bermula ketika Permina (sebelum terbentuk Pertamina) sedang membutuhkan modal
untuk mengembangkan perusahaan, Ibnu Sutowo yang pada waktu itu menjabat sebagai dirut
Permina melakukan kontrak kerjasama dengan Jepang. Isi perjanjian tersebut adalah terbentuknya
sistem kontrak kerjasama yang mana Permina sebagai perusahaan negara memegang tanggung
jawab pengawasan, pengelolaan dan manajemen secara penuh. Maka lahirlah istilah sistemKontrak Bagi Hasil. Lihat KH Ramadhan. 2008. Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita. National
Press Club of Indonesia: Jakarta. Hal 179-188
5
Sugiaryo. 2011. Globalisasi: Intervensi kekuatan politik dan Ekonomi dalam Pembentukan
Hukum dan Pengusahaan Migas di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM Edisi
Oktober 2011. hal 232
6
Loc.cit

4
Tabel 1 Ranking Perusahaan Minyak Berdasarkan Cadangan Minyak Tahun 2012
Ranking
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
....
43
44

Perusahaan
Saudi Aramco
NIOC
INOC
KPC
PDVSA
ADNOC
LNOC
CNPC
NNPC
Rosneft
Lukoil
Pemex
Sonatrach
Exxon Mobil
CP
British Petroleum
Petrobras
Gazprom
Surgutneftegas
Petronas
CNOOC
Pertamina

Negara

Kepemilikan
Pemerintah (%)
100
100
100
100
100
100
100
100
100
75

Cadangan
Minyak (juta
barel)

Saudi Arabia
Iran
Irak
Kuwait
Venezuela
UEA
Libya
China
Nigeria
Russia
Russia
Mexico
Algeria
US
Qatar
UK
Brazil
Russia
Russia
Malaysia

100

264.200
138.400
115.000
101.500
99.377
52.800
30.700
22.447
21.700
17.513
12.527
12.187
11.400
11.074
10.624
6.541
9.581
9.195
7.929
7.876

China
Indonesia

64
100

1.564
1.505

100
100
100
56
50

Sumber: Benny Lubiantara. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak
Migas. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Hal 149

Apabila dikaji dari kasus tersebut, Pertamina sebagai perusahaan minyak
nasional bisa saja mendapatkan hak pengelolaan sumur blok Cepu tersebut dan
mengelolanya secara mandiri. Tetapi sejak awal berdirinya republik sampai
dengan sekarang, Indonesia (dalam hal ini Pertamina) belum bisa mengelola
migas secara mandiri. Hal ini diakibatkan banyaknya lobi-lobi dan intervensi
pihak asing dalam menguasai pengelolaan migas di Indonesia.
Selain itu masih banyaknya pandangan-pandangan kaum teknokrat
Indonesia yang menganggap Pertamina dirasa belum pantas mengelola migas di
Indonesia dengan alasan masih minimnya teknologi dan modal yang dimiliki.
Menurut Lubiantara:7
“...rupanya kita (Indonesia) masih terpaku pada sistem paron, yang secara
tegas membedakan mana pemilik dan mana penggarap, jangan-jangan
memang tidak pernah terpikirkan kelak suatu saat NOC (National Oil
Company/ Pertamina) sendirilah yang akan menjadi penggarap utama. Jadi
kalau saat ini kontribusi Pertamina masih 25%, tentu bukanlah hal yang
mengherankan”.
Banyaknya intervensi dan lobi-lobi yang datang dari pihak perusahaan
migas multinasional dan intervensi dari pihak keuangan dunia seperti IMF dan
World Bank semenjak krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun
1997/1998 sangat berpengaruh juga terhadap pengelolaan migas nasional. Kondisi
tersebut diperparah oleh karakter industri migas dalam negeri yang sangat tertutup
7

Benny Lubiantara. 2012. Op.cit. Hal 151

5
dan ekslusif, termasuk soal harga dan pengelolaan, serta tidak ada mekanisme
pengawasan yang ketat menjadikan maraknya rent seeking activity 8 (aktifitas
perburuan rente) pada industri migas.9
Aktivitas perburuan rente pada industri migas di Indonesia banyak sekali
macamnya. Salah satu kasus pada sektor migas yang baru-baru saja terungkap
adalah kasus suap yang melibatkan Rudi Rubiandini sebagai Kepala Satuan Kerja
Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas atau yang lebih dikenal SKK
Migas. Rudi tertangkap basah oleh KPK dengan uang US$ 400 ribu, US$ 90 ribu,
dan Sin$ 127 ribu di rumah dinasnya yang diduga berasal dari Direktur PT Kernel
Oil, Simon Gunawan dan Direktur PT Parna Raya, Artha Meris Simbolon agar
Rudi bersedia memberika rekomendasi penurunan formula harga gas.10 Sebagai
kepala SKK Migas, Rudi seharusnya menjaga agar jatah minyak mentah
pemerintah dari pembagian hasil dengan kontraktor bisa memberikan pemasukan
sebesar-besarnya bagi negara. Tetapi ironisnya, jabatan tersebut disalahgunakan
untuk mengejar keuntungan pribadi.
Selain kasus suap tersebut, masih banyak masalah pada sektor migas. Salah
satunya dari segi manipulasi cost recovery,11 yang mana tingginya cost recovery
pada sektor migas menjadi salah satu penyebab Indonesia pada tahun 2011
diduga menanggung kerugian sebesar Rp. 152.96 triliun.12
Adanya manipulasi pada cost recovery tersebut dapat terjadi karena
kurangnya pengawasan yang menyebabkan assymetric information dan moral
hazard di kalangan birokrat industri migas. Sebesar apapun produksi minyak
Indonesia apabila cost recovery-nya sangat tinggi maka negara tidak dapat
menikmati keuntungan dari produksi tersebut. Keuntungan ini jelas mengalir
kepada pelaku-pelaku pemburu rente baik yang individual, birokrat serta
perusahaan-perusahaan minyak multinasional. Istilah ini biasa disebut dengan
goldplatting, yaitu kecenderungan (oknum) perusahaan/birokrat untuk melakukan

8

Dalam literatur ekonomi politik, rente dipahami sebagai keuntungan yang diterima penguasa
melalui kekuasaan yang dimilikinya dan digunakan untuk mengejar kepentingan pribadinya. Lihat
Syamsul Ma’arif. 2011. Proliferasi Birokrasi dan Politisasi Anggaran di daerah. Jurnal Ilmiah
Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.2, No. 2, Juli-Desember 2011. Hal 313 dan Ahmad
Erani Yustika. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Penerbit
Erlangga: Jakarta. Hal 107
9
Firdaus Ilyas. 2013. Korupsi Migas, Kartel Misteri yang Harus Ditembus [berita]. Indonesia
Corruption Watch: 20 Agustus 2013. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2013
http://www.antikorupsi.org/id/content/korupsi-migas-kartel-misteri-yang-harus-ditembus
10
Tempo.co. 2013. Skandal SKK Migas, Jero Wacik Dibidik. Diakses pada tanggal 3 Februari
2014 http://www.tempo.co/read/news/2013/08/26/063507370/Opini-Tempo-Skandal-SKK-MigasJero-Wacik-Dibidik
11
Cost recovery adalah mekanisme biaya dalam kontrak hulu migas, yang mana
perusahaan/kontraktor mengajukan biaya penggantian kepada pemerintah atas semua biaya yang
perusahaan/kontraktor (pada kegiatan industri hulu) terdiri atas biaya penyusutan, investasi nonkapital, dan biaya pengeluaran operasional. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk membayar
lunas secara langsung semua biaya tersebut pada tahun yang sama atau bisa ditangguhkan pada
tahun berikutnya. Lihat : Benny Lubiantara. 2012. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial
Kontrak Migas. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Hal 172
12
Sabir Laluhu. 2013. Sektor Migas Diduga rugikan Negara Rp. 152,96 triliun [berita].
Sindonews.com: 30 September 2013. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2013
http://nasional.sindonews.com/read/2013/09/30/13/789017/sektor-migas-diduga-rugikan-negararp152-96-t

6
investasi yang sebenarnya tidak diperlukan (Unnecesarry investment). 13 Selain
dari segi cost recovery yang dinilai tidak sesuai dengan fakta, KPK juga
mensinyalir ada kejanggalan dalam pencatatan lifting migas. Hal tersebut
disebabkan karena belum terintegrasinya sistem informasi secara online. 14
Sehingga hal tersebut bisa mengurangi transparansi pelaporan lifting migas
kepada masyrakat.
Sebagai negara yang belum mencapai pada tingkat good governance, dalam
hal ini dicirikan dengan adanya kelompok-kelompok kepentingan yang berusaha
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan upaya yang serendahrendahnya sehingga melahirkan sebuah kebijakan yang berkecenderungan
korupsi. 15 Kebijakan tersebut tentunya hanya mementingkan kepentingan
individu dan kelompoknya masing-masing dan tidak berpihak pada masyarakat.
Adanya kepentingan-kepentingan sebagian individu/kelompok (oknum) tadi serta
kepemilikan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, menyebabkan
Indonesia menjadi sasaran perusahaan-perusahan energi multinasional dan
investor asing agar dapat menguasai energi di Indonesia.
Perumusan Masalah
Minyak dan gas bumi merupakan komoditi strategis dan energi yang tak
terbarukan yang memegang peranan penting dalam pembangunan suatu negara,
termasuk Indonesia. Bahkan pada zaman orde baru (1960-1980) sektor migas
memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pembangunan dan perekonomian
Indonesia mengingat sektor migas pada waktu itu menjadi sumber devisa utama
Indonesia. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama, semenjak adanya penurunan
harga minyak dunia yang terjadi pada tahun 1980-an, atau biasa disebut dengan
“boom minyak”.16
Adanya kasus “boom minyak” secara tidak langsung mengubah kebijakan
pengelolaan migas pada waktu itu yang mana mekanisme PSC generasi pertama
(1964-1975) yang digagas Ibnu Sutowo, harus disesuaikan dengan kondisi migas
dunia dan lahirlah PSC generasi kedua (1976-1988) dan PSC generasi ketiga
(1988-sekarang).
Penyesuaian desain kontrak PSC sebenarnya tidak menjadi masalah, yang
penting selama itu tidak merugikan negara. Yang menjadi masalah adalah ketika
kebijakan yang dikeluarkan bertentangan dengan amanat konstitusi, yaitu UUD
1945. Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 untuk
menggantikan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina jelas
menimbulkan pertanyaan besar. Fungsi Pertamina yang awalnya berkedudukan
sebagai manajer dari perusahaan-perusahaan migas (kontraktor) harus digantikan
perannya oleh BP Migas/SKK Migas dan peran Pertamina adalah sebagai
13

Lubiantara, Benny. 2012. Op.cit. hal 173
Sabir Laluhu. 2013. Op.cit.
15
Ahmad Erani Yustika. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan.
Penerbit Erlangga: Jakarta. Hal 107
16
Boom minyak ini terjadi ketika gagalnya mekanisme harga yang ditetapkan oleh OPEC.
Gagalnya mekanisme harga ini disebabkan antara lain maraknya nasionalisasi yang dilakukan oleh
negara-negara timur tengah dan meningkatnya produksi negara-negara non-OPEC sehingga
pasokan minyak bertambah dan harga turun. Lihat Benny Lubiantara. 2012. Op.cit. Hal 205-209
14

7
kontraktor perwakilan negara yang harus dipaksa bersaing dengan kontraktorkontraktor asing (IOC) yang jelas dari segi SDM dan teknologi Pertamina kalah.
Menurut Sri-Edi Swasono:17
“Pertamina sebagai raksasa ekonomi yang tegas mempertahankan prinsip
nasionalistiknya menguasai sumber kekayaan alam strategis menjadi
penghalang bagi kapitalisme-imperialistik global untuk merampok sumbersumber kekayaan alam Indonesia, terutama minyak dan gas.”
Apabila dilihat dari pendapat tersebut, pertanyaan besar tentang
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 mungkin sedikit
terjawab. Bahwa adanya kepentingan yang menunggangi kebijakan tersebut.
Kepentingan-kepentingan masuk dari lobi-lobi dan intervensi kekuatan global
yang salah satunya dari lembaga keuangan yang semenjak terjadinya krisis
moneter 97/98 menguasai dan mengintervensi kebijakan ekonomi Indonesia, yaitu
IMF. IMF melalui letter of intent-nya memaksa tugas Pertamina dicabut dan
digantikan dengan BP Migas/SKK Migas.18
Sudah lebih dari satu dekade Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 ini
berlaku. Kritikan-kritikan tentang kebijakan ini banyak dilayangkan, mulai dari
media-media cetak, jurnal ilmiah, bahkan buku. Tetapi belum ada inisiasi dari
lembaga-lembaga pemerintah, baik dari pihak eksekutif maupun legislatif. Banyak
alasan yang mungkin mendasari hal tersebut, salah satunya adalah proses efisiensi
yang lebih diutamakan dalam pengelolaan migas serta adanya pihak-pihak
birokrat yang merasa diuntungkan dari adanya kebijakan tersebut menjadi alasan
kebijakan liberalisasi ini tetap bertahan.
Adanya Rent seeking behaviour dalam institusi negara menyebabkan para
pejabat publik dalam memutuskan kebijakan yang ditujukan untuk publik
motivasinya adalah mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok yang
berimplikasi merugikan kepentingan publik, baik dalam jangka pendek berupa
kerugian penerimaan negara yang diakibatkan dari praktik perburuan rente
maupun jangka panjang berupa semakin menjamurnya praktik perburuan rente
dikalangan birokrat yang memicu ketidakpercayaan masyarakat dan menimbulkan
distorsi pada kebijakan yang dikeluarkan.
Aktivitas perburuan rente yang negatif ini dapat dikatakan sebagai
penyimpangan-penyimpangan yang merugikan negara dan umumnya akan
menajalar ke semua rantai dari aktivitas ekonomi tersebut. Apalagi sudah
melibatkan sebuah institusi negara dan investor asing. Adanya campur tangan
perusahaan-perusahaan minyak multinasional menyebabkan aktivitas perburuan
rente ini menjalar sampai tingkat jaringan internasional. Keuntungan dari
pengelolaan migas ini yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat, ternyata hanya
dinikmati oleh perusahaan-perusahaan minyak multinasional dan segelintir orang
di Indonesia yang tidak mempunyai rasa nasionalisme. Seperti kasus suap kepala
SKK Migas yang baru akhir-akhir ini terungkap oleh KPK. Hal ini bisa menjadi
tolak ukur bahwa sektor migas merupakan “lahan basah” bagi para pemburu rente.
Mereka tidak merasa segan dan tidak tanggung-tanggung dalam “melelang” isi
perut bumi nusantara ini kepada perusahaan-perusahaan minyak asing tanpa
memperhatikan kepentingan rakyat banyak.
17
18

Sri-Edi Swasono dalam KH Ramadhan. 2008. Op.cit. hal 510
Loc.cit

8
Selain itu, sisi lain dari terungkapnya kasus tersebut harapannya dapat
memberikan celah bagi penegak hukum untuk masuk ke dalam “lingkaran setan”
sektor migas yang mana bisa mengungkap kasus-kasus perburuan rente lainnya
dan mengungkap para birokrat-birokrat serta perusahaan migas yang mencoba
mengambil keuntungan pribadi tanpa memperhatikan nasib rakyat dan masa
depan sektor dan industri migas nasional.
Melihat uraian di atas juga merujuk pada latar belakang yang telah dibuat,
maka perumusan masalah dari penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana kontribusi sektor migas terhadap perekonomian Indonesia
sebelum dan sesudah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Migas.
2. Bagaimana dampak liberalisasi sektor migas terhadap Industri Migas
Nasional dan pengelolaan migas di Indonesia.
3. Bagaimana aktivitas perburuan rente dan dampaknya pada pengelolaan
migas di Indonesia.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dibuat, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Mengetahui kontribusi sektor migas terhadap perekonomian Indonesia
sebelum dan sesudah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Migas.
2. Mengetahui dampak dari liberalisasi sektor migas terhadap Industri
Migas Nasional dan pengelolaan migas di Indonesia.
3. Mengetahui aktivitas perburuan rente dan dampaknya pada
pengelolaan migas di Indonesia.
Manfaat Penelitian

.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Menjadi bahan rujukan pemerintah dalam mengatur pengelolaan migas
di Indonesia agar digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat
Indonesia.
2. Menjadi informasi yang berguna bagi masyarakat untuk mengetahui
bagaimana kondisi migas di Indonesia dilihat dari perspektif ekonomi
politik.
3. Diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya
tentang pengelolaan migas di Indonesia dengan perspektif ekonomi
politik.

TINJAUAN PUSTAKA
Sektor migas merupakan sektor yang strategis dalam pembangunan di
Indonesia. Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, mempunyai potensi
migas yang besar dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh masyarakat
Indonesia. Penelitian ini berkonsentrasi terhadap analisis liberalisasi sektor migas

9
terhadap pengelolaan migas di Indonesia. Kebijakan kontrak bagi hasil yang
diterapkan di Indonesia. Selanjutnya dalam pembahasannya akan lebih diperdalam
dengan analisis ekonomi politik mengenai rent seeking (perburuan rente) pada
sektor migas.
Ekonomi Politik
Apabila dilihat dari sejarahnya, pendekatan ilmu ekonomi yang sekarang
berkembang di masyarakat sebagai alat analisis adalah hasil turunan dari ekonomi
politik. Tetapi dengan semakin berkembangnya pemikiran-pemikiran tentang ilmu
ekonomi ini membuat perbedaan yang cukup mendasar mengenai ilmu ekonomi
murni dengan ilmu ekonomi politik terutama pada konsep kekuasaan yang berlaku
pada masyarakat. Ilmu ekonomi politik menganggap kekuasaan akan
mempengaruhi tingkah laku dari pelaku ekonomi dan faktor kekuasaan ini
dimasukan sebagai salah satu variabel dalam analisis ekonomi. Sedangkan dalam
ilmu ekonomi murni faktor kekuasaan ini dianggap given.19
Ekonomi politik sendiri pada awalnya terbentuk berdasarkan adanya
pemisahan antara ilmu ekonomi dan ilmu politik. Makna ini menegaskan bahwa
secara konseptual ilmu ekonomi dan ilmu politik ini berbeda dan tidak disatukan
antara keduanya dan bukan berarti keduanya terpisah dan tidak mempunyai
hubungan satu dengan yang lainnya. Hubungan antara ekonomi dan politik inilah
sebenarnya muncul istilah ekonomi politik. 20 Untuk melihat lebih jauh lagi
hubungan antara ilmu ekonomi dan politik ini maka harus dipahami terlebih
dahulu mengenai konsep-konsep yang terdapat pada ilmu ekonomi dan ilmu
politik. Pada ilmu politik dapat dilakukan pendekatan-pendekatan tentang politik
sebagai pemerintahan, politik sebagai publik dan politik sebagai alokasi nilai.
Pada pendekatan ilmu ekonomi yang digunakan adalah pendekatan ekonomi
kalkulasi, ekonomi sebagai pemenuhan kebutuhan dan ekonomi sebagai
perekonomian.
Pada pendekatan politik sebagai pemerintahan, politik dipandang sebagai
mekanisme formal dari sebuah negara secara keseluruhan yang mana politik
sendiri adalah kegiatan, proses dan struktur pemerintahan. Hal-hal yang diluar
pemerintahan dianggap bukan sebagai politik sehingga pada pendekatan ini
cenderung melihat politik sebagai organisasi atau badan dan aturan.21
Konsep selanjutnya adalah politik sebagai publik. Pada pendekatan ini
melihat adanya urusan pribadi dan politik terkait dengan urusan publik. Tujuan
dari seorang individu dapat dibedakan menjadi dua hal yaiu tujuan yang bersifat
pribadi dan tujuan yang melibatkan orang banyak. 22 Pada pendekatan ini dapat
dikatakan lebih luas dari pendekatan sebelumnya karena pada pendekatan ini tidak
melihat politik sebagai organisasi/struktur semata tetapi melihat kepentingan yang
mendasari seseorang untuk bertindak maupun membuat aturan.

Ahmad Erani Yustika. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan.
Penerbit Erlangga: Jakarta. Hal 98
20
James A Caporaso dan David P. Levine. 2008. Teori-Teori Ekonomi Politik. Diterjemahkan
oleh: Suraji. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hal 1-2
21
Ibid. hal 4-9
22
Ibid. Hal 11
19

10
Pendekatan politik selanjutnya adalah politik sebagai alokasi nilai.
Pendekatan ini melihat politik dan ekonomi sebagai suatu alat untuk
mengalokasikan nilai-nilai atau dalam hal ini adalah sumber daya langka.
Perbedaanya adalah pada ekonomi, yang digunakan adalah pertukaran secara
sukarela sedangkan pendekatan politik yang ditekankan adalah cara khusus untuk
membuat keputusan dalam mengalokasikan sumber daya tersebut sehingga
pendekatan ini sangat berbeda dengan pendekatan yang pertama, yang mana
politik dipandang sebagai struktur pemerintahan semata.23
Pada pendekatan ilmu ekonomi, pendekatan yang pertama adalah ekonomi
kalkulasi. Ekonomi kalkulasi memandang ekonomi sebagai tindakan individu
untuk memenuhi kebutuhannya dan dalam memenuhi kebutuhannya itu
dihadapkan pada hambatan-hambatan. Pada pendekatan ini masalah efisiensi
menjadi fokus utama dalam ekonomi.24
Selanjutnya pendekatan yang kedua, yaitu ekonomi sebagai pemenuhan
kebutuhan. Berbeda dari pendekatan yang pertama, pendekatan ekonomi sebagai
pemenuhan kebutuhan tidak terlalu melihat efisiensi dalam proses produksi tetapi
melihat keberlanjutan dari proses produksi atau reproduksi ini. Kebutuhan untuk
mempertahankan hidup menjadi hal utama yang mendorong manusia dalam
melakukan produksi guna melakukan pemenuhan kebutuhan. Pendekatan ini lebih
tua usianya dari pendekatan yang pertama dan digunakan oleh Aristoteles sampai
Adam Smith dan Karl Marx. 25 Pendekatan ilmu ekonomi yang terakhir yaitu
ekonomi sebagai perekonomian atau dalam hal ini sebagai sebuah sistem. Dalam
pendekatan ini ekonomi dipandang mempunyai ruang tersendiri dan terpisah
dengan yang lainnya.26
Dengan pendekatan-pendekatan yang telah disebutkan dari ilmu politik dan
ilmu ekonomi maka hal yang wajar apabila ekonomi politik dipandang sebagai
sesuatu yang dipisahkan antara keduanya (ekonomi dan politik) karena dengan
adanya perbedaan pendekatan pada masing-masing ilmu tadi kita tidak dapat
menyatukan keduanya yang nantinya akan membuat definisi dari ekonomi politik
itu menjadi rancu. Maka untuk mendeskripsikan ekonomi politik sendiri dilihat
berdasarkan dari sisi batas-batas pemisahan antara keduanya serta proporsi
dominasi dari keduanya.
Apabila dilakukan pendekatan ekonomi terhadap politik, maka definisi
ekonomi politik menurut Caporaso dan Levine adalah:27
“ilmu yang menelaah hubungan antara wilayah ekonomi dan wilayah
politik, atau antara sub-sistem ekonomi dengan dengan sub-sistem politik.
Dengan kata lain, menurut pendekatan ekonomi terhadap politik, ekonomi
politik bukan lagi sebuah telaah tentang apa yang terjadi ketika wilayah
ekonomi bertemu dengan wilayah politik melainkan ekonomi politik berarti
penerapan penerapan penalaran ekonomi terhadap proses-proses politik.
Dalam perkembangannya, ekonomi politik ini bisa diklasifikasikan menjadi
dua pendekatan. Bagian yang pertama, bahwa ekonomi politik dalam hal ini
menganggap pemerintah adalah individu yang selalu benar dan tidak memiliki
23

Ibid. Hal 22-23
Ibid. Hal 37-39
25
Ibid. Hal 44
26
Ibid. Hal 54-55
27
Ibid. Hal 305

24

11
kepentingan (self interest) sehingga dalam tujuannya pemerintah hanya
beorientasi pada kesejahteraan konvensional. Berbeda dengan pendekatan yang
pertama, pendekatan yang kedua menganggap bahwa pemerintah sebagai institusi
negara
memiliki
kepentingan
sendiri
(self
interest)
dalam
menentukan/mengeluarkan kebijakannya. Pendekatan ini disebut dengan
pendekatan ekonomi politik baru (new political economics). Pada pendekatan ini,
bisa saja pemerintah mengalami kegagalan (government failure) dalam penentuan
kebijakan karena ada kepentingan tersebut. 28 Kepentingan tersebut bisa saja
berupa rasionalitas dari pemerintah itu sendiri untuk memperoleh dukungan dari
pihak lain atau bisa saja memperoleh keuntungan dari pihak lain. Sehingga
muncul teori pihan publik dan perburuan rente.
Pada tulisan ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang kedua.
Yang mana adanya kemungkinan terjadinya kegagalan pemerintah karena adanya
kepentingan untuk mencari keuntungan berupa rente ekonomi (rent seeking).
Konsep Ekonomi “Liberalisasi Migas”
Sebenarnya konsep liberalisasi ini sesuai dengan pendekatan ekonomi
kalkulasi. Yang mana efisiensi menjadi fokus utama dalam kegiatan ekonomi
karena adanya hambatam-hambatan dan alokasi dalam proses produksi. Dan
pendekatan ekonomi kalkulasi ini kebanyakan yang dipakai landasan dan dominan
dalam ilmu ekonomi. Dalam hal ini menurut Caporaso dan Levine ekonomi tidak
lagi dipandang sebagai ilmu ekonomi (economics) tetapi dipandang sebagai
“economizing” (penghematan).29 Karena sifatnya yang sempit inilah, pendekatan
ekonomi kalkulasi tidak memperhitungkan adanya wilayah politis didalamnya.
Inilah yang mendasari bahwa kekuasaan bukan berada pada pemerintah sebagai
institusi negara, tetapi berada pada pasar sebagai pemegang kekuasaan dalam
perekonomian (market mechanism).
Asas efisiensi membuat pasar ini mengurangi peran pemerintah dalam
kontrol terhadap pasar dan bahkan pasar itu sendiri yang mempunyai kontrol dan
memiliki kekuasaan yang tidak terlihat (invisible hand). Tidak terlihatnya faktor
kekuasaan dipandang bukan kebetulan semata, melainkan syarat mutlak yang
menguntungkan bagi para pemegang paham liberalisasi ini yang umumnya
mempunyai modal dan teknologi yang tinggi.30
Hal ini nampaknya sedang terjadi pada pengelolaan migas di Indonesia.
Pada sektor migas, investasi-investasi asing yang masuk ke Indonesia begitu besar,
hal tersebut dikarenakan belum mampunya negara Indonesia (dalam hal ini
Pertamina) untuk mengelola hasil buminya (migas) secara mandiri karena adanya
hambatan berupa modal dan teknologi. Oleh karena itu, untuk memanfaatkan
potensi migas agar lebih efisien, Indonesia mengundang para investor asing agar
mau berinvestasi pada sektor migas dengan sistem kontrak bagi hasil. Hal ini jelas
tidak dapat dikatakan solusi terbaik, mengingat fokus dari liberalisasi ini adalah
28

Ahmad Erani Yustika. 2012. Op.cit. hal 102
Pendapat tersebut didasari pada konsep ekonomi kalkulasi yang menganggap sumber daya
selalu terbatas dan tujuan yang hendak dicapai selalu dapat dipastikan. Sehingga harus adanya
penyesuaian diri dengan kondisi perubahan dan pengembangan. Lihat Caporaso dan Levine. 1992.
Op.cit. Hal 39-40
30
James A Caporaso dan David P. Levine. 2008. Op.cit. Hal 389

29

12
proses alokasi (sumber daya) secara efisien tanpa memperhatikan proses distribusi.
Selain itu amanat konstitusi (UUD 1945) mengisyaratkan bahwa kekayaan bumi
Indonesia dipegang oleh negara bukan oleh pasar.
Menurut Hafsari: 31
“Dalam kebijakan luar negeri, liberalisme erat kaitannya dengan
pembukaan pasar luar negeri melalui cara-cara politis, menggunakan
tekanan ekonomi, diplomasi, dan intervensi militer. Pembukaan pasar
merujuk pada perdagangan bebas. Konsep liberalisme secara umum
berkaitan dengan tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel
pengelolaan perdagangan seperti WTO dan Bank Dunia. Ini
mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai titik
minimum. Liberalisme melalui ekonomi pasar bebas berhasil menekan
intervensi pemerintah (seperti paham Keynesianisme), dan melangkah
sukses dalam pertumbuhan ekonomi keseluruhan”.
Pada era globalisasi yang akan segera dihadapi oleh dunia, paham
liberalisme akan semakin memperkuat para kapitalis-kapitalis dan perusahaan
multinasional untuk menguasai perekonomian lewat teknologi dan modalnya.
Apabila kita menganggap bahwa modal dan teknologi ini sebagai hambatan, maka
mereka (MNC) melihatnya sebagai suatu keuntungan agar menancapkan sayapnya
secara kuat. Apabila kita memandang pasar sebagai sumber kekuasaan dalam
perekonomian, ketika pasar tersebut dikuasai oleh MNC karena segala kelebihan
yang dipunyainya, maka dapat dikatakan liberalisasi ini secara tidak sadar tengah
membangun organisasi sosial yang tengah menggantikan negara sebagai lembaga
ekonomi utama dan unit politik masyarakat dunia.32
Apabila dilihat dari pengertian liberalisasi sebagai pembukaan jalur modal
dan kapital luar negeri untuk masuk ke sektor migas di Indonesia, hal tersebut
sudah lama terjadi pada saat Pertamina lahir dengan sistem kontrak bagi hasilnya.
Tetapi pada era Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang migas, makna
liberalisasi ini dapat diartikan sebagai pembebasan pengelolaan migas di
Indonesia oleh perusahaan dalam negeri maupun luar negeri dengan tidak harus
melakukan kontrak dengan Pertamina (seperti era Undang-Undang Nomor 8 tahun
1971) tetapi melalui BP Migas (SKK Migas) baik dalam bentuk kontrak bagi hasil
atau kontrak lainnya. Dengan begitu liberalisasi ini memberikan makna bebas
mengelola bukan bebas menguasai. Hal ini sering menjadi perdebatan di berbagai
kalangan.
Makna “bebas mengelola” ini dinilai merupakan permainan kata semata
karena apabila diganti dengan makna “bebas menguasai” maka hal itu akan dinilai
inkonstitusi atau bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3. Peran BP
migas juga dinilai hanya sebagai lembaga “jadi-jadian” agar sektor migas ini tetap
dikuasai oleh negara. Namun karena kedudukannya yang bukan entitas bisnis
melainkan lembaga perwakilan pemerintah, kontrak kerjasama yang pada konsep
awalnya dilakukan antar entitas bisnis (melalui Pertamina) atau B to B menjadi B
to G.33
31

F. H Hafsari. 2010. Hambatan Eksternal Nasionalisasi Industri Migas di Indonesia [skripsi].
FISIPOL (Hubungan Internasional) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, hal 25
32
Puji Rianto. 2004. Globalisasi, Liberalisasi Ekonomi dan Krisis Demokrasi [jurnal]. Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8, Nomor 2, November 2004 (161-180). Hal 164
33
Hasil wawancara dengan Komaidi Notonegoro (peneliti Reforminer Institute): 16 Juli 2014

13
Teori Persekutuan Segitiga (Triple Alliance Theory)
Peter Evans pada tahun 1979 memperkenalkan sebuah teori dependensi
dalam tesis doktoralnya yang mana pada waktu itu Evans berargumen bahwa
perekonomian brazil didominasi oleh persektuan yang melibatkan antara
pemerintah, pemegang modal dalam negeri dan perusahaan multinasional. Evans
melihat bagaimana ketergantungan pembangunan ekonomi brazil terhadap elit
dalam negeri (dalam hal ini pemerintah dan kapitalis pribumi) yang merupakan
ketergantungan internal dan terhadap perusahaan multinasional sebagai
ketergantungan eksternal. Sehingga Evans menamakannya sebagai “dependent
development”.34
Semenjak teori itu diperkenalkan, banyak pengembangan yang telah
dilakukan terhadap teori itu, seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh
Robinson pada tahun 1986,35 yang mana Robinson membagi pemeran ekonomi di
Indonesia menjadi empat pemeran utama yaitu:
1. Perusahaan dalam negeri (dibawahi oleh pemerintah atau elit militer).
2. Perusahaan yang dimiliki etnis China.
3. Perusahaan yang dimiliki pribumi.
4. Perusahaan multinasional asing.
Menurut teori ini pemerintah pada dasarnya melakukan persekutuan dengan
pengusaha lokal (borjuis) adalah untuk mengurangi peran perusahaan asing dalam
mendominasi perekonomian. Oleh karena itu pemerintah berusaha memperkuat
posisi kaum borjuis dengan regulasinya dan tetap mengundang perusahaan asing
karena pemerintah masih memerlukan perusahaan asing dalam keperluan modal
dan teknologi.36
Pada sektor migas, teori ini terbukti dengan munculnya Pertamina sebagai
perusahaan milik negara yang pada waktu itu didirikan oleh Ibnu Sutowo dan
mengalami penguatan posisi dengan munculnya regulasi berupa Undang-Undang
Nomor 44 tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang
mengakhiri sistem konsesi di sektor migas. Setahun setelah regulasi tersebut
keluar, yaitu pada tahun 1961 PERMINA (sebelum menjadi Pertamina) berubah
status menjadi perusahaan milik negara dengan nama PN PERMINA. Kemudian
setelah melakukan merger dengan PN PERTAMIN, pada tahun 1968 terbentuklah
PN PERTAMINA.37
PN PERTAMINA muncul dengan konsep bagi hasil (PSC) dan untuk
memperkuat posisi dan konsepnya itu pemerintah mengeluarkan regulasi baru
berupa Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina sehingga posisi
Pertamina dan konsepnya itu kuat dan legal. Setelah 30 tahun bertahan, regulasi
tersebut berhasil membawa Pertamina menjadi salah satu perusahaan minyak
milik negara terbesar dan menjadi anggota OPEC. Selain itu, sektor migas juga
34

Peter Evans dalam Akira Suehiro. 2008. Catch-Up Industrualization. University of Hawaii
Prses. Hal 161
35
Ibid. Hal 162
36
Muhammad Findi Alexandi. 2008. Negara dan Pengusaha Pada Era Reformasi di Indonesia:
Ekonomi Politik Kebijakan Persaingan Usaha Pada Industri Tepung Terigu Nasional (Periode
1999-2008). Disertasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia: Depok. Hal.
37
37
Profil Badan Usaha Milik Negara dalam KPK. 2011. Laporan Studi Prakarsa Anti Korupsi.
Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK. Hal 8

14
menjadi sektor penyumbang terbesar dalam pembangunan ekonomi di Indonesia
dan pada masa Orde Baru Indonesia berhasil menikmati “bonanza minyak”.
Ketergantungan antara ketiga komponen tadi (pemerintah, pengusaha
lokal/borjuis, dan perusahaan multinasional) ternyata membawa dampak negatif
terhadap pembangunan ekonomi Indonesia. Sektor migas dijadikan sektor primer
dalam membangun perekonomian, padahal sektor migas ini merupakan sektor
ekstraktif dan tidak dapat diperbarui. Eksploitasi secara