Analisis dayasaing dan faktor-faktor yang memengaruhi ekspor komoditas kakao olahan Indonesia

ANALISIS DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMENGARUHI ALIRAN EKSPOR KOMODITAS KAKAO
OLAHAN INDONESIA

AHMAD FADHLI FIRSYA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dayasaing dan
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Aliran Ekspor Komoditas Kakao Olahan
Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Ahmad Fadhli Firsya
NIM H14080028

ABSTRAK
AHMAD FADHLI FIRSYA. Analisis Dayasaing dan Faktor-faktor yang
Memengaruhi Aliran Ekspor Komoditas Kakao Olahan Indonesia. Dibimbing
oleh YETI LIS PURNAMADEWI.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dayasaing dan faktor-faktor
yang memengaruhi aliran ekspor kakao olahan Indonesia pada lima negara tujuan
ekspor Indonesia. Metode yang digunakan untuk analisis daya saing kakao olahan
Indonesia, yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA). Hasil dari analisis
RCA secara umum menunjukkan bahwa mentega, lemak, dan minyak kakao
Indonesia memiliki dayasaing yang relatif lebih baik dibandingkan dengan pasta
dan bubuk kakao pada masing-masing negara tujuan ekspor. Untuk menganalisis
faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor kakao olahan Indonesia digunakan
analisis ekonometrika dengan pendekatan Gravity Model. Variabel yang
signifikan memengaruhi aliran ekspor kakao pasta kakao Indonesia adalah GDP
pengimpor, GDP Indonesia, populasi pengimpor, populasi Indonesia, harga

ekspor pasta kakao Indonesia, nilai tukar rill rupiah, jarak ekonomi, dan bea
keluar biji kakao. Sedangkan pada komoditas mentega, lemak, dan minyak kakao
seluruh variabel tersebut berpengaruh signifikan. Sementara itu, pada komoditas
bubuk kakao terdapat dua variabel yang tidak signifikan memengaruhi aliran
ekspor bubuk kakao Indonesia yaitu GDP pengimpor dan jarak ekonomi.
Kata Kunci: Kakao, Ekspor, RCA, Model Gravitasi, Data Panel.

ABSTRACT
AHMAD FADHLI FIRSYA. Analysis of Competitiveness and the Factors
Affecting Indonesian Cocoa Exports. Supervised by YETI LIS PUNAMADEWI.
This study aims to analyze the competitiveness and factors that affect the
flow of Indonesian cocoa exports in five export destinations of Indonesia.. The
method used for the analysis of the competitiveness of Indonesian cocoa is the
Revealed Comparative Advantage (RCA). The results of the RCA analysis
generally indicate that Indonesian cocoa butter, fat, and oil has a better relatively
competitiveness compared with the cocoa paste and cocoa powder on each export
destination. To analyze the factors that affect the flow of Indonesian cocoa exports
used econometric analysis with the Gravity Model approach. Significant variables
that affecting the flow of Indonesian cocoa paste export are importer GDP, the
GDP of Indonesia, importer population, the population of Indonesia, the export

price of Indonesian cocoa paste, the real exchange rate of the IDR, economic
distance, and the duties of cocoa beans. While for the commodity cocoa butter, fat,
oil throughout these variables have a significant effect. Meanwhile, in commodity
cocoa powder there are two variables that do not significantly affect the flow of
Indonesian cocoa powder exports are importer GDP and economic distance.
Keywords: Cocoa, Export, RCA, Gravity Model, Panel Data

ANALISIS DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMENGARUHI ALIRAN EKSPOR KOMODITAS KAKAO
OLAHAN INDONESIA

AHMAD FADHLI FIRSYA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Tak lupa salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi dan
Rasul termulia Muhammad SAW beserta keluarganya dan sahabatnya yang setia
hingga akhir zaman.
Skripsi yang berjudul “Analisis Dayasaing dan Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Aliran Ekspor Komoditas Kakao Olahan Indonesia”, ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen
Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk
menganalisis dayasaing dan faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor
komoditas kakao olahan Indonesia.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak Firdaus dan Ibu
Syamsiah serta adik-adik tercinta dari penulis, Muhammad Haekal Firsya dan

Nada Ulfa Firsya atas segala doa dan dukungan yang selalu diberikan. Selain itu,
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran dan motivasi dalam
menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Alla Asmara, S.Pt. M.Si selaku dosen penguji utama dan Dr. Muhammad
Findi A, SE, M.E selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas saran dan
kritik yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini.
3. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr yang juga telah memberikan arahan dan saran
dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademik Departemen Ilmu Ekonomi
FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.
5. Keluarga KAREMATA FEM IPB, Ryan, Dudi, Dewa, Ari, Ardhi, Mia,
Tazkia, Nurul, Nia, Trisa, Triana, Linda, Garin, Baskara, Indra, dan yang
lainnya baik dari angkatan perintis sampai angkatan 11.
6. Teman satu bimbingan, Adnan, Andra, Ina, dan Tere yang telah membantu
dalam memberi masukan dan doa.
7. Teman kontrakan DR D-15, Aji, Arif, Agung, Bayu, Busrol, Pardi, dan
Samsu.
8. Fridayanti Dwi Mumpuni atas waktu, saran, kesabaran, motivasi, dan doanya.

9. Teman-teman Ilmu Ekonomi 45 atas dukungan dan motivasinya.
10. Semua Pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014
Ahmad Fadhli Firsya

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xii


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

5

Tujuan Penelitian

6

Manfaat Penelitian

7


Ruang Lingkup Penelitian

7

TINJAUAN PUSTAKA

7

Konsep Dayasaing

7

Konsep Perdagangan Internasional

9

Konsep Aliran Perdagangan Ekspor

11


Model Gravitasi (Gravity Model)

15

Studi Penelitian Terdahulu

16

Kerangka Pemikiran

21

Hipotesis Penelitian

23

METODE PENELITIAN

23


Jenis dan Sumber Data

23

Metode Analisis

24

Definisi Operasional

32

PRODUKSI DAN EKSPOR KAKAO OLAHAN INDONESIA SERTA
PERKEMBANGAN EKONOMI NEGARA TUJUAN UTAMA
Produksi dan Ekspor Kakao Olahan Indonesia

33
33

Aliran Ekspor Kakao Olahan Indonesia dan Perekonomian Negara Importir 34

HASIL DAN PEMBAHASAN

37

Analisis Dayasaing Kakao Olahan Indonesia di Negara Tujuan Utama

45

Estimasi Model Aliran Perdagangan Ekspor Kakao Olahan Indonesia

50

SIMPULAN DAN SARAN

60

Simpulan

60

Saran

61

DAFTAR PUSTAKA

63

LAMPIRAN

65

RIWAYAT HIDUP

78

DAFTAR TABEL
1 Perkembangan ekspor komoditas primer perkebunan tahun 2008 - 2011
2 Produksi negara penghasil kakao terbesar di dunia (ton)
3 Ekspor kakao olahan Indonesia ke negara tujuan utama tahun 20062012
4 Impor total kakao olahan oleh negara tujuan ekspor Indonesia 20082012
5 Selang nilai statistik Durbin-Watson serta keputusannya
6 Luas areal perkebunan dan produksi kakao tahun 2006-2013
7 Perkembangan luas areal perkebunan kakao Indonesia berdasarkan
status pengusahaannya tahun 2009-2013
8 Perkembangan produktivitas kakao berdasarkan status pengusahaannya
tahun 2006-2012
9 Produksi kakao di daerah sentra produksi di Indonesia
10 Perkembangan ekspor kakao olahan Indonesia berdasarkan kode HS 4
digit pada negara tujuan utama ekspor tahun 2012
11 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Amerika tahun 2009-2012
12 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Australia tahun 2009-2012
13 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Belanda tahun 2009-2012
14 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Cina tahun 2009-2012
15 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Jerman tahun 2009-2012
16 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Amerika
17 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Australia
18 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Belanda
19 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Cina
20 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Jerman
21 Hasil estimasi model aliran ekspor pasta kakao Indonesia ke negara
tujuan utama
22 Hasil estimasi model aliran ekspor mentega, lemak dan minyak kakao
Indonesia ke negara tujuan utama
23 Hasil estimasi model aliran ekspor bubuk kakao Indonesia ke negara
tujuan utama

2
2
4
4
32
33
34
34
35
37
38
38
39
39
39
45
46
48
48
49
51
54
57

DAFTAR GAMBAR
1 Pendapatan domestik bruto atas harga konstan 2000 menurut lapangan
usaha tahun 2004-2013
2 Volume ekspor produk kakao berdasarkan kode HS 4 digit tahun 20002012
3 Volume aliran ekspor kakao olahan dunia dan Indonesia tahun 20002012
4 Pangsa pasar kakao olahan Indonesia di negara tujuan utama tahun
2008-2012
5 Kurva Perdagangan Internasional

1
3
5
6
10

6 Dampak depresiasi mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
pada net ekspor
7 Analisis keseimbangan parsial atas biaya transportasi
8 Kerangka Pemikiran
9 Pohon Industri Kakao
10 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan GDP riil perkapita
negara pengimpor tahun 2005-2012
11 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan Populasi negara
pengimpor tahun 2005-2012
12 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan harga ekspor
kakao olahan Indosia di negara importir tahun 2005-2012
13 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan nilai tukar riil
Indonesia tahun 2005-2012
14 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan jarak ekonomi
importir tahun 2005-2012
15 Harga pasta kakao negara eksportir di Belanda (USD/kg)
16 Harga Ekspor mentega, lemak, dan minyak kakao negara eksportir di
Belanda
17 Harga bubuk kakao negara eksportir di Jerman (USD/kg)

14
16
22
36
40
41
42
43
44
47
47
49

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di Amerika
berdasarkan kode HS 4 digit dengan metode RCA tahun 2005-2012
2 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di Australia
berdasarkan kode HS4 digit dengan metode RCA tahun 2005-2012
3 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di Belanda
berdasarkan kode HS4 digit dengan metode RCA tahun 2005-2012
4 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di Cina
berdasarkan kode HS4 digit dengan metode RCA tahun 2005-2012
5 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di Jerman
berdasarkan kode HS4 digit dengan metode RCA tahun 2005-2012
6 Variabel-variabel dalam model aliran ekspor kakao olahan Indonesia
kode HS 1803 tahun 2005-2012 (dalam bentuk LN)
7 Variabel-variabel dalam model aliran ekspor kakao olahan Indonesia
kode HS 1804 tahun 2005-2012 (dalam bentuk LN)
8 Variabel-variabel dalam model aliran ekspor kakao olahan Indonesia
kode HS 1805 tahun 2005-2012 (dalam bentuk LN)
9 Uji Chow pada kakao dengan kode HS 1803 (Pasta Kakao)
10 Uji Chow pada kakao dengan kode HS 1804 (Mentega, Lemak, dan
Minyak Kakao)
11 Uji Chow pada kakao dengan kode HS 1805 (Bubuk Kakao)
12 Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor
pasta kakao (HS 1803) Indonesia ke negara tujuan utama
13 Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor
mentega, lemak, dan minyak kakao (HS 1804) Indonesia ke negara
tujuan utama

65
66
67
68
69
70
71
72
73
73
73
74

75

14 Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor
bubuk kakao (HS 1805) Indonesia ke negara tujuan utama
15 Uji Normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi aliran
ekspor pasta kakao (HS 1803) Indonesia ke negara tujuan utama
16 Uji Normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi aliran
ekspor mentega, lemak, dan minya kakao (HS 1804) Indonesia ke
negara tujuan utama
17 Uji Normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi aliran
ekspor bubuk kakao (HS 1805) Indonesia ke negara tujuan utama

76
77

77
77

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara agraris dikarenakan besarnya
peranan dan kontribusi sektor pertanian bagi perekonomian Indonesia. Pertanian
dalam konteks ini diartikan luas yang terdiri dari pertanian, perkebunan,
kehutanan, perburuan, dan perikanan. Dengan cakupan yang luas tersebut sektor
pertanian memiliki andil yang besar dalam kontribusi terhadap pembentukan
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Pada kurun waktu Tahun 2004-2013
sektor pertanian merupakan sektor ketiga terbesar setelah sektor industri
pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran (Gambar 1).
800000.00
700000.00

Milliar Rupiah

600000.00

1. Pertanian, Peternakan,
Kehutanan dan Perikanan
2. Pertambangan dan
Penggalian
3. Industri Pengolahan

500000.00
4. Listrik, Gas & Air Bersih
400000.00
5. Konstruksi
300000.00
200000.00
100000.00
0.00

6. Perdagangan, Hotel &
Restoran
7. Pengangkutan dan
Komunikasi
8. Keuangan, Real Estate &
Jasa Perusahaan
9. Jasa-jasa

Keterangan:

*
Angka Sementara
**
Angka Sangat Sementara
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014 (diolah)
Gambar 1 Pendapatan domestik bruto atas harga konstan 2000 menurut lapangan
usaha tahun 2004-2013
Berkembangnya sektor pertanian Indonesia tidak lepas dari beberapa
komoditas unggulan pertanian tersebut, salah satunya adalah kakao. Kakao
merupakan salah satu komoditas unggulan sub sektor perkebunan dari 15
komoditas unggulan nasional yang dicanangkan untuk dikembangkan secara
besar-besaran di Indonesia. Berdasarkan nilai ekspornya kakao merupakan salah
satu komoditas perkebunan yang memiliki kontribusi terbesar ketiga setelah
minyak sawit dan karet. Pada kurun waktu 2008-2011 nilai ekspor kakao
menunjukan pertumbuhan yang positif. Nilai ekspor kakao terbesar terjadi pada
tahun 2010 yakni mencapai 1.643,7 juta US$ (Tabel 1).

2

Tabel 1 Perkembangan ekspor komoditas primer perkebunan tahun 2008 2011
Nilai Ekspor Komoditas Primer Perkebunan
(juta US$)
No Komoditas Perkebunan
2008
2009
2010
2011*
1 Karet
6023.3
3241.5
7326.6
11135.8
2 Minyak Sawit
12375.0
10368.0
13469.0
17261.0
−εinyak sawit (CPO)
6561.0
671.0
9085.0
10961.0
−εinyak sawit lainnya
5814.0
3658.0
4384.0
63.0
3 Kelapa
900.5
494.5
702.6
1060.7
4 Kopi
991.5
824.0
814.3
963.4
5 Teh
159.0
171.6
178.5
152.1
6 Lada
185.7
140.3
245.9
195.9
7 Tembakau
133.2
172.6
195.6
137.5
8 Kakao
1268.9
1413.5
1643.7
1172.0
9 Jambu Mete
77.8
82.7
71.6
67.7
10 Cengkeh
7.3
5.6
12.6
15.1
11 Kapas
0.7
0.7
1.0
1.0
12 Tebu (molasses)
72.4
61.8
69.2
60.1
Tebu (gula hablur)
0.8
0.6
22196.1
16977.4 24730.06
32222.3
Total
Keterangan: * Angka Sementara
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2013
Selain karena nilai ekspornya yang tinggi kakao menjadi komoditas
unggulan karena Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kakao terbesar
di dunia. Berdasarkan data FAOSTAT pada tahun 2007-2012 Indonesia
merupakan negara produsen kakao terbesar ke dua setelah Pantai Gading (tabel 2).
Pada kurun waktu tersebut produksi kakao Indonesia menunjukkan
kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya. Adapun produksi kakao olahan
Indonesia tertinggi terjadi pada tahun 2012 dengan volume yang mencapai sekitar
900.000 ton. Dengan jumlah produksi kakao nasional di atas 700.000 ton, kakao
tersebut tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri namun
juga untuk diekspor.
Tabel 2 Produksi negara penghasil kakao terbesar di dunia (ton)
Negara
Pantai Gading
Indonesia
Ghana
Nigeria
Cameroon
Brazil

2007
2008
2009
2010
2011
2012
1 229 908 1 382 441 1 223 153 1 301 347 1 559 441 1 713 505
740 006
803 593
809 583
844 626
712 200
972 336
614 500
680 781
710 638
632 037
700 020
913 192
360 570
367 020
363 510
399 200
400 000
397 740
212 619
229 203
235 500
264 077
272 000
265 852
201 651
202 030
218 487
235 389
248 524
138 454

Sumber: FAOSTAT, 2013

3

Selama ini Indonesia telah mengekspor kakao ke berbagai Negara.
Komoditi ekspor kakao terbesar disumbang oleh cocoa beans, whole or broken,
raw or roasted atau yang dapat didefinisikan sebagai biji kakao yang volumenya
mencapai sekitar 70% dibandingkan komoditi kakao (olahan) lainnya. Selama
kurun waktu 2000-2012 nilai ekspor cocoa beans berfluktuasi meskipun masih
mengungguli produk turunan ekspor kakao lainnya. Volume ekspor biji kakao
terbesar terjadi pada tahun 2006 yang mancapai sekitar 500.000 ton (Gambar 2).
Volume ekspor biji kakao yang besar tersebut belum mampu diikuti
produk turunan kakao (olahan) baik produk akhir maupun setengah jadi yaitu
cocoa butter, cocoa paste, cocoa powder, chocolate dan lainnya. Pada (Gambar 2)
terlihat secara grafis ekspor produk turunan kakao menunjukan kecenderungan
pertumbuhan yang statis. Kondisi demikan mengindikasikan bahwa belum
optimalnya ekspor produk turunan kakao olahan Indonesia.

Jumlah Ekspor (kg)

600000000

500000000

COCOA BEANS, WHOLE OR
BROKEN, RAW OR ROASTED

400000000

COCOA SHELLS, HUSKS, SKINS
AND OTHER COCOA WASTE

300000000

COCOA PASTE,WETHER, OR
NOT DEFATTED
COCOA BUTTER, FAT AND OIL

200000000
COCOA POWDER, NOT
CONTAINING ADDED SUGAR
OR OTHER SWEETENING

100000000

2012

2011

2010

2009

2008

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

0

CHOCOLATE AND OTHER FOOD
PREPARATIONS CONTAINING
COCOA (+)

Tahun

Sumber : UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Gambar 2 Volume ekspor produk kakao berdasarkan kode HS 4 digit tahun 20002012
Dalam upaya meningkatkan industri pengolahan kakao di dalam negeri,
pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan kebijakan pajak ekspor yang
kemudian disebut dengan Bea Keluar (BK) pada komoditi biji kakao. Kebijakan
tersebut
tertuang
dalam
Peraturan
Menteri
Keuangan
(PMK)
No.67/PMK.011/2010 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan BK dan
Tarif BK. Kebijakan pengenaan bea keluar terhadap ekspor biji kakao bertujuan
untuk menjamin pasokan bahan baku bagi industri pengolahan kakao di dalam
negeri. Oleh karena itu pengenaan bea keluar atas biji kakao dimaksudkan untuk
merangsang tumbuhnya industri pengolahan kakao di Indonesia yang pada
gilirannya akan meningkatkan ekspor kakao olahan Indonesia.

4

Adapun negara tujuan utama ekspor kakao olahan Indonesia adalah
Amerika, Australia, Belanda, Cina, dan Jerman. Pada kurun waktu tahun 20062012 ekspor produk kakao olahan Indonesia yang diserap oleh kelima negara
tersebut rata-rata mencapai 42.8% dari seluruh total ekspor produk kakao olahan
Indonesia. Adapun persentase ekspor tertinggi kakao olahan Indonesia yang
diserap oleh kelima negara tersebut terjadi pada tahun 2012, yakni mencapai 51,5
persen dari seluruh total ekspor produk kakao olahan Indonesia ke berbagai
negara (tabel 3).
Tabel 3 Ekspor kakao olahan Indonesia ke negara tujuan utama tahun 2006-2012
Ekspor Indonesia
ke negara tujuan
Volume Ekspor (1000 ton)
Tahun
utama
Amerika Australia Belanda Cina Jerman
(%)
2006
19.9
8.8
8.8
3.3
1.3
40.6
2007
25.1
9.5
6.8
3.2
2.4
41.4
2008
24.1
8.7
7.7
5.7
3.5
41.5
2009
16.4
5.8
4.6
4.1
3.2
38.7
2010
24.2
6.8
2.2
5.9
3.5
41.9
2011
37.1
6.3
3.2
6.3
14
44
2012
45.8
8.1
3.4
7.9
24.7
51.5
Rata-rata
27.5
7.7
5.3
5.2
7.5
42.8
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Jika dikalkulasikan, pada tahun 2008-2012 persentase rata-rata lima
negara tujuan utama ekspor kakao olahan Indonesia tersebut mampu menyerap
mencapai 36.8% dari seluruh total impor dunia (tabel 4). Selain itu, tren impor
lima negara tersebut menunjukkan kecenderungan yang meningkat setiap
tahunnya. Kondisi demikian mengindikasikan bahwa kebutuhan kakao olahan
pada negara-negara tersebut semakin meningkat, sehingga secara tidak langsung
akan memberi peluang bagi Indonesia sebagai negara pengekspor kakao olahan
untuk meningkatkan volume ekspornya pada lima negara tersebut.
Tabel 4 Impor total kakao olahan oleh negara tujuan ekspor Indonesia 2008-2012
Pangsa
Volume Impor (1000 ton)
terhadap total
Negara
impor dunia
Amerika Australia Belanda China
Jerman
(%)
2008
282.6
43.3
148.7
34.6
184.6
34.4
2009
267.7
41.2
142.1
34.5
198.8
35.5
2010
305.5
43.1
175.4
44.7
237.6
37.2
2011
278.3
48.7
240.4
53.3
251.9
38
2012
253.6
45.4
209
58.4
283
38.9
Rata-rata
277.5
44.3
183.1
45.1
231.2
36.8
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)

5

Sebagai salah satu negara produsen kakao terbesar dunia, Indonesia dapat
dikatakan masih tergolong baru dalam Industri pengolahan kakao. Hal demikian
tercermin dari rendahnya ekspor kakao olahan dibandingkan ekspor dalam bentuk
biji. Adanya kebijakan bea keluar atas ekspor biji kakao diharapkan dapat
berpengaruh pada berkembangnnya industri pengolahan kakao di Indonesia yang
pada akhirnya mampu meningkatkan ekspor kakao nya dalam bentuk olahan.

Perumusan Masalah
Kakao merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting bagi
perekonomian Indonesia. Seperti yang telah dipaparkan pada latar belakang di
bagian sebelumnya, kakao merupakan penyumbang devisa terbesar ketiga setelah
sawit dan karet dari ekspor yang dilakukan oleh Indonesia. Meskipun demikian,
komoditas ekspor kakao selama ini masih didominasi dalam bentuk biji dan
belum mampu diimbangi oleh produk turunan lainnya. Sehingga pemerintah
berkewajiban mendorong terjadinya hilirisasi atau peningkatan nilai tambah
komoditas kakao melalui produk turunan kakao tersebut.
Pada gambar 3 menunjukkan volume aliran ekspor kakao olahan Indonesia
dan dunia dari tahun 2000 hingga 2012. Pada gambar tersebut terlihat bahwa tren
ekspor kakao olahan Indonesia menunjukkan kecenderungan yang statis setiap
tahunnya. Adapun peningkatan ekspor kakao olahan Indonesia mulai terlihat pada
kurun waktu 2010-2012. Hal berbeda terjadi pada volume ekspor kakao olahan
dunia yang menunjukkan kecenderungan peningkatan setiap tahunnya pada
periode tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat
peluang bagi Indonesia sebagai salah satu eksportir kakao olahan dunia untuk
meningkatkan volume ekspornya.
2500000

2000000

Ton

1500000
Dunia
1000000

Indonesia

500000

0

Sumber: UN COMTRADE, 2014 (diolah)
Gambar 3 Volume aliran ekspor kakao olahan dunia dan Indonesia tahun 20002012

6

Dalam perkembangannya, pangsa pasar kakao olahan Indonesia pada
masing-masing negara tujuan utama menunjukkan tren yang berbeda setiap
tahunnya (Gambar 4). Pangsa pasar kakao olahan Indonesia di Amerika
menunjukkan tren meningkat pada tahun 2008-2012. Sedangkan pangsa pasar
ekspor kakao olahan Indonesia di negara Belanda terus mengalami penurunan
drastis dari tahun 2008-2012. Selain itu, pangsa pasar kakao olahan Indonesia di
Jerman juga mengalami penurunan pada tahun 2008-2010. Adapun pangsa pasar
kakao olahan Indonesia di negara Australia dan Cina mengalami fluktuasi setiap
tahunnya.

Pangsa Ekspor (%)

25.00
20.00
Amerika
15.00

Australia
Belanda

10.00

China
Jerman

5.00
0.00
2008

2009

2010

2011

2012

Sumber : UN COMTRADE, 2014 (diolah)
Gambar 4 Pangsa pasar kakao olahan Indonesia di negara tujuan utama tahun
2008-2012
Potensi aliran ekspor kakao olahan dunia di masa mendatang sepatutnya
dapat menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan perdagangan
ekspor kakao olahannya. Namun kecenderungan peningkatan aliran kakao dunia
tersebut justru tidak diikuti oleh peningkatan peningkatan aliran ekspor kakao
olahan Indonesia secara konsisten khususnya di lima pasar utama ekspor kakao
olahan Indonesia yaitu Amerika, Australia, Belanda, Cina, dan Jerman.
Kecenderungan fluktuasi kelima negara tersebut menimbulkan ketidakpastian
tentang aliran ekspor Indonesia di masa mendatang. Berdasarkan kondisi tersebut,
maka pengembangan dayasaing diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan
perluasan pasar produk kakao olahan Indonesia.
Dayasaing kakao olahan Indonesia di pasar Internasional yang menjadi
andalan ekspor Indonesia tentunya akan memengaruhi perkembangan ekspor dan
nilai ekspor. Sehingga pada penelitian ini akan dianalisis posisi dayasaing kakao
olahan Indonesia. Selain itu penelitian ini juga melakukan analisis faktor-faktor
yang memengaruhi permintaan ekspor kakao olahan Indonesia ke negera-negara
tujuan utama yaitu Amerika, Australia, Belanda, Cina, dan Jerman.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan fenomena permasalahan tersebut, maka
dalam penelitian ini dirumuskan beberapa permasalahan, diantaranya:

7

1.
2.
3.

Mengkaji perkembangan luas lahan, produksi dan ekspor kakao olahan
Indonesia serta perekonomian negara tujuan utama ekspor.
Menganalisis posisi dayasaing hasil kakao olahan Indonesia di negara
tujuan ekspor.
Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi volume aliran ekspor
kakao olahan (kode HS 4 digit) Indonesia ke Amerika, Australia, Belanda,
Cina, dan Jerman.

Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan di atas, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.
Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan
tentang perdagangan komoditas kakao Indonesia.
2.
Bagi pihak-pihak lain, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi unutk
penelitian sselanjutnya yang berkaitan dengan perdagangan.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menganalisis mengenai dayasaing serta faktor-faktor yang
memengaruhi ekpor komoditas kakao olahan Indonesia. Periode waktu yang
dianalisis dalam penelitian ini dari tahun 2005-2012. Komoditi hasil olahan kakao
yang diteliti berdasarkan Harmony System (HS) 4 digit dengan kode Harmony
system sebagai berikut :
1.
Pasta kakao tidak dihilangkan lemaknya atau dihilangkan lemaknya (HS
1803).
2.
Mentega, lemak, dan minyak kakao (HS 1804).
3.
Bubuk kakao tidak mengandung tambahan pemanis atau lainnya (HS
1805)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Dayasaing
Dayasaing menurut Porter (1995) didefinisikan sebagai kemampuan suatu
perusahaan dalam suatu industri untuk menghadapi berbagai lingkungan.
Dayasaing ditentukan oleh keunggulan bersaing suatu perusahaan dan sangat
tergantung pada tingkat sumberdaya relatif yang dimilikinya. Penelitian Porter
tentang keunggulan bersaing negara-negara mencakup tersedianya peranan
sumberdaya dan melihat lebih jauh kepada keadaan negara yang memengaruhi
dayasaing perusahaan-perusahaan internasional pada industri yang berbeda.
Dayasaing merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar
luar negeri dan kemampuan untuk bertahan di dalam pasar tersebut. Pengertian
dayasaing juga mengacu pada kemampuan suatu negara untuk memasarkan

8

produk yang dihasilkan negara relatif terhadap kemampuan negara lain (Porter,
1990).
Pada dasarnya tingkat dayasaing suatu negara dalam perdagangan
internasional ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor keunggulan komparatif
(comparative advantage) dan faktor keunggulan kompetitif (competitive
advantage). Lebih lanjut, faktor keunggulan komparatif dapat dianggap sebagai
faktor yang bersifat alamiah dan faktor keunggulan kompetitif dianggap sebagai
faktor yang bersifat acquired atau dapat dikembangkan/diciptakan (Tambunan,
2001).
Teori Keunggulan Komparatif
Teori keunggulan komparatif dari David Ricardo merupakan
penyempurnaan dari teori keunggulan absolut Adam Smith. Teori keunggulan
komparatif (The Law of Comparative Advantage) mula-mula dikemukakan oleh
David Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki
keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan
negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih bisa
berlangsung, selama rasio harga antarnegara masih berbeda jika dibandingkan
dengan tidak ada perdagangan.
Ricardo menganggap keabsahan teori nilai berdasarkan teori tenagakerja
(labour theory of value) yang menyatakan bahwa hanya satu faktor produksi yang
penting yang menentukan nilai suatu komoditas yaitu tenaga kerja. Nilai suatu
komoditas adalah proporsional (secara langsung) dengan jumlah tenaga kerja
yang diperlukan untuk menghasilkannya. Menurut teori keunggulan komparatif
suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional apabila
melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut
dapat berproduksi relatif lebih efisien serta mengimpor barang dimana negara
tersebut berproduksi relatif kurang/tidak efisien.
Perdagangan internasional dapat meningkatkan output dunia karena
memungkinkan setiap negara memproduksi sesuatu yang keunggulan
komparatifnya ia kuasai. Dengan kata lain, perdagangan antara dua negara akan
menguntungkan kedua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan
mengekspor produk yang keunggulan komparatifnya ia kuasai.
Menurut Simatupang (1991), konsep keunggulan komparatif merupakan
ukuran dayasaing (keunggulan) potensial. Artinya, dayasaing akan dicapai apabila
perekonomian tidak mengalami distorsi. Dengan kata lain, komoditas yang
memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara
ekonomi. Suatu Negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu
secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara lain.

Teori keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif adalah suatu keunggulan yang dapat
dikembangkan, keunggulan ini harus diciptakan untuk dapat memilikinya. Jadi,
keunggulan kompetitif suatu komoditas atau sektor ekonomi terbentuk dengan
kinerja yang dimilikinya sehingga dapat unggul dari komoditas atau sektor

9

ekonomi lainnya. Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh
Porter (1990) dengan empat faktor utama yang menentukan dayasaing yaitu
kondisi faktor, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, serta kondisi
strategis, struktur perusahaan dan persaingan.
Selain keempat faktor tersebut, ada dua faktor yang memengaruhi interaksi
antara keempat faktor tersebut yaitu peran pemerintah dan peran kesempatan.
Secara bersama-sama faktor-faktor tersebut membentuk sistem dalam peningkatan
keunggulan dayasaing yang disebut Porter’s Diamond Theory (Tarigan, 2005).
Konsep Perdagangan Internasional
Perdagangan Internasional merupakan perdagangan yang dilakukan oleh
penduduk suatu Negara dengan penduduk Negara lain atas dasar kesepakatan
bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu
dengan individu), antar individu dengan pemerintah suatu Negara atau pemerintah
suatu Negara dengan pemerintah Negara lain. Perdagangan internasional
tercermin dari kegiatan ekspor dan impor suatu Negara menjadi salah satu
komponen dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) dari sisi
pengeluaran suatu Negara.
Perdagangan Internasional sebenarnya sudah ada sejak dahulu, namun
dalam ruang lingkup dan jumlah yang terbatas, dimana pemenuhan kebutuhan
setempat (dalam negeri) yang tidak dapat diproduksi, dipenuhi secara barter
(pertukaran barang dengan barang lainnya yang dibutuhkan oleh kedua belah
pihak, dimana masing-masing negara tidak dapat memproduksi barang-barang
tersebut untuk kebutuhannya sendiri). Hal ini terjadi karena setiap negara dengan
negara mitra dagangnya mempunyai beberapa perbedaan, diantaranya perbedaan
kandungan sumberdaya alam, iklim, penduduk, sumberdaya manusia, spesifikasi
tenagakerja, konfigurasi geografis, teknologi, tingkat harga, struktur ekonomi,
sosial dan politik, dan sebagainya. Dari perbedaan tersebut, maka atas dasar
kebutuhan yang saling menguntungkan, terjadilah proses pertukaran, yang dalam
skala luas dikenal sebagai perdagangan internasional.
Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk
memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian
halnya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan
perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain
motif mencari keuntungan, Krugman (2003) mengungkapkan bahwa alasan utama
terjadinya perdagangan internasional:
1. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.
2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai
skala ekonomi (economic of scale).
Menurut Sukirno (2004) keuntungan dari melakukan perdagangan
internasional adalah :
1. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi dalam negeri. Beberapa
barang tidak dapat diproduksi sendiri di dalam negeri karena faktor alam
maupun pengetahuan dan teknologi.
2. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi karena faktor-faktor produksi
yang dimiliki setiap negara dapat digunakan dengan lebih efisien dan

10

setiap negara dapat menikmati lebih banyak barang yang dapat diproduksi
di dalam negeri.
3. Memperluas pasar-pasar industri dalam negeri. Dengan perluasan pasar,
kapasitas produksi dapat terus ditingkatkan dengan pasar yang luas
sehingga efisiensi dari skala ekonomi dapat tercapai.
4. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara mempelajari teknik
produksi dan manajemen yang lebih baik dari negara lain dan mengimpor
alat-alat dengan teknologi yang lebih canggih dari negara lain untuk
meningkatkan efisiensi.
Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu
komoditas (misal pakaian jadi) ke negara lain (misal negara B) apabila harga
domestik negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih
rendah dibandingkan dengan harga domestik negara B (Gambar 5). Struktur harga
yang terjadi di negara A lebih rendah karena produk domestiknya lebih besar
daripada konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi excess supply
(memiliki kelebihan produksi). Dengan demikian, negara A mempunyai
kesempatan menjual kelebihan produksinya ke Negara lain. Di lain pihak, di
negara B kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada
produksi domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di negara B
lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli pakaian jadi dari
negara lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara
negara A dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengan
harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama. Gambar 2.1 memperlihatkan
sebelum terjadinya perdagangan internasional harga di negara A sebesar PA,
sedangkan di negara B sebesar PB. Penawaran pasar internasional akan terjadi
jika harga internasional lebih tinggi dari PA sedangkan permintaan di pasar
internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari PB. Pada saat
harga internasional (P*) sama dengan PA maka negara B akan terjadi excess
demand (ED) sebesar B. Jika harga internasional sama dengan PB maka di Negara
A akan terjadi excess supply (ES) sebesar A. Dari A dan B akan terbentuk kurva
ES dan ED yang akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional
sebesar P*. Dengan adanya perdagangan tersebut, maka negara A akan
mengekspor komoditas (pakaian jadi) sebesar X sedangkan negara B akan
mengimpor komoditas (pakaian jadi) sebesar M, dimana di pasar internasional
sebesar X sama dengan M yaitu Q*.
DA

DB

SA

A

ES
PB

X

P*

M

PA
O

SB

ED
QA
Negara A

O

Q*
Perdagangan

B

O

QB
Negara B

Sumber: Salvatore (1997)
Gambar 5 Kurva Perdagangan Internasional

11

Keterangan:
PA : Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional.
OQA : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara A (pengekspor)
tanpa perdagangan internasional.
A
: Kelebihan penawaran (excess supply) di negara A (pengekspor) tanpa
perdagangan internasional.
X
: Jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A.
PB : Harga domestik di negara B (pengimpor) tanpa perdagangan internasional.
OQB : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara B (pengimpor)
tanpa perdagangan internasional.
B
: Kelebihan permintaan (excess demand) di negara B (pengimpor) tanpa
perdagangan internasional.
M : Jumlah komoditas yang diimpor oleh negara B.
P* : Harga keseimbangan antara kedua negara setelah perdagangan
internasional.
OQ* : Keseimbangan penawaran dan permintaan antar kedua negara dimana
jumlah yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M).

Konsep Aliran Perdagangan Ekspor
Aliran perdagangan ekspor dari suatu negara ke negara tujuannya dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor penawaran maupun permintaan. Adanya aliran
perdagangan berupa ekspor ke negara-negara tujuan ekspor dapat dikarenakan
penawaran ekspor dari eksportir maupun permintaan ekspor dari negara importir.
Penawaran ekspor dan permintaan ekspor dapat diturunkan dari pengertian
penawaran atau permintaan komoditas pada suatu pasar.
Arti dari penawaran dijelaskan dalam Lipsey, Courant, dan Ragan (1999)
yaitu jumlah komoditas yang dijual oleh penjual atau supplier dalam suatu waktu
dan pada suatu pasar. Jika dalam penawaran ekspor, maka arti tersebut akan
menjadi jumlah komoditas yang dapat dijual oleh suatu negara. Semakin banyak
jumlah yang diproduksi, maka penawaran ekspor suatu negara juga meningkat.
Jumlah komoditas yang diproduksi tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan
atau kapasitas supplier (dalam hal ini adalah negara) dalam memproduksi
komoditas atau output.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa kemampuan suatu
negara dalam memproduksi output merupakan faktor penting yang memengaruhi
jumlah penawaran ekspor. Output yang dihasilkan suatu negara dapat disebut
dengan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP).
Seperti yang dijelaskan oleh Dornbusch, Fischer, dan Startz dalam bukunya
Makroekonomi (2008) bahwa GDP adalah nilai akhir dari semua barang dan jasa
yang diproduksi oleh suatu negara pada suatu waktu. GDP ini merupakan nilai
ouput total yang telah diproduksi (output akhir). Selanjutnya dijelaskan bahwa di
sisi produksi, output ini akan dibayarkan sebagai pembayaran atas faktor-faktor
yang digunakan selama proses produksi, seperti tenaga kerja dan modal.
GDP merupakan faktor penting dalam penawaran ekspor. Hal ini terkait
dengan meningkatnya GDP maka pembayaran untuk tenaga kerja dan modal akan
meningkat sehingga akan mendorong produktivitas dari tenaga kerja dan modal

12

tersebut. Peningkatan produktivitas ini maka barang yang diproduksi akan
meningkat sehingga output nasional akan meningkat kembali, kemudian
penawaran ekspor juga meningkat.
Selain GDP, Lipsey dan Steiner (1975) menyatakan terdapat beberapa
faktor yang dapat memengaruhi penawaran dari suatu komoditas diantaranya
adalah:
1. Tujuan dari perusahaan. Tujuan dari perusahaan akan menentukan berapa
banyak suatu komoditas yang akan ditawarkan. Sebagai contoh sebuah
perusahaan obat–obatan yang lebih memilih untuk memproduksi obatobatan dibandingkan memproduksi racun tikus karena obat dinilai lebih
dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga obat merupakan komoditas yang
akan lebih banyak diproduksi dan ditawarkan oleh perusahaan tersebut.
2. Teknologi yang digunakan untuk produksi. Tingkat teknologi memiliki
peranan yang sangat penting di dalam menentukan banyaknya jumlah
barang yang dapat ditawarkan. Semakin modern teknologi yang
digunakan, maka akan meningkatkan efisiensi perusahaan dalam
berproduksi. Menurut Sukirno (1985), Dalam hubungannya dengan
penawaran suatu barang, kemajuan teknologi menimbulkan dua akibat,
yaitu produksi dapat ditambah dengan lebih cepat dan ongkos produksi
semakin murah, dan dengan demikian keuntungan menjadi lebih besar.
3. Harga barang itu sendiri. Dalam penawaran, harga suatu barang akan
berpengaruh secara positif. Dalam hal ini jika harga suatu barang lebih
tinggi, maka perusahaan atau produsen akan meningkatkan penawarannya
karena barang tersebut dinilai akan memberikan keuntungan yang lebih
tinggi ketika biaya faktor produksi tidak berubah.
4. Harga barang lain (subtitusi atau komplementer) Sebagai contoh, beberapa
petani jagung seharusnya dapat memilih untuk beralih beternak babi atau
menanam kedelai ketika harga jagung turun, namun nyatanya petani
tersebut memilih untuk menanam gandum.
5. Biaya faktor produksi. Perubahan pada biaya faktor produksi akan
memengaruhi penawaran akibat adanya perubahan dari keuntungan yang
akan diperoleh.
Menurut Sukirno (1985), hukum penawaran pada dasarnya menyatakan
bahwa semakin tinggi harga suatu barang, maka akan semakin banyak jumlah
barang tersebut yang akan ditawarkan oleh para penjual, sebaliknya semakin
rendah harga sesuatu barang, maka semakin sedikit jumlah barang yang
ditawarkan oleh para penjual.
Untuk permintaan ekspor juga sama halnya dengan penawaran ekspor,
bahwa pengertian dari permintaan ekspor dapat diambil dari pengertian
permintaan. Pengertian dari permintaan (Lipsey, Courant, dan Ragan, 1999)
adalah jumlah suatu komoditas yang akan dibeli oleh rumah tangga sedangkan
permintaan ekspor dapat berarti jumlah suatu komoditas ekspor yang diminta oleh
suatu negara tertentu.
Lipsey dan Steiner (1975) menyatakan bahwa jumlah permintaan suatu
komoditas ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu:
1. Selera dari suatu masyrakat. Tinggi rendahnya suatu permintaan
ditentukan oleh selera atau kebiasaan dari pola hidup suatu masyarakat.

13

2. Rata-rata pendapatan rumah tangga, dimana jika ada kenaikan pendapatan
rata-rata rumah tangga akan menyebabkan jumlah komoditas yang diminta
lebih banyak pada setiap harga tertentu. Jika dalam konteks perdagangan
internasional, maka pendapatan rumah tangga merupakan pendapatan
suatu negara.
3. Populasi, dimana jika ada kenaikan jumlah populasi maka permintaan
akan suatu komoditas juga meningkat pada tingkat harga tertentu.
4. Harga dari komoditi itu sendiri. Apabila harga dari suatu komoditi
mengalami kenaikan maka permintaan akan komoditi tersebut akan
berkurang. Begitu pula sebaliknya, jika harga dari suatu komoditi
mengalami penurunan makan permintaan akan menigkat.
5. Harga dari komoditas lainnya. Adanya komoditas lain yang mempunyai
kaitan erat dengan suatu barang dapat dikatakan sebagai barang subtitusi
atau barang komplementer. Adanya perbedaan harga pada komoditas lain
tersebut akan memengaruhi harga pada suatu komoditi.
Sukirno (1985) mengungkapkan bahwa hukum permintaan pada
hakekatnya merupakan suatu hipotesa yang menyatakan semakin rendah harga
dari suatu barang, maka semakin banyak permintaan atas barang tersebut.
Sebaliknya, semakin tinggi harga suatu barang, maka akan semakin sedikit
permintaan atas barang tersebut.
Gross Domestik Produk juga dapat diartikan sebagai pendapatan yang
diterima oleh suatu negara. Pendapatan ini dapat diukur dari nilai total barang dan
jasa yang diproduksi suatu negara. Kemudian dijelaskan pula dalam Dornbusch,
Fischer, dan Startz (2008) bahwa dari sisi konsumsi, output atau GDP ini akan
digunakan dalam kegiatan konsumsi dan investasi oleh pemerintah dan para
sektor swasta seperti eksportir. Oleh karena itu, GDP merupakan faktor yang juga
penting dalam hal permintaan ekspor, jika GDP meningkat maka pendapatan juga
meningkat, sehingga konsumsi suatu negara juga meningkat.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa populasi memiliki hubungan yang
positif dengan permintaan. Namun, dalam penelitian Kien dan Hashimoto (2005)
populasi dapat berdampak positif maupun negatif terhadap perdagangan. Hal
tersebut tergantung dari faktor mana yang lebih dominan antara efek penyerapan
atau skala ekonomi suatu populasi. Populasi yang besar menandakan besarnya
pasar domestik yang besar dan sumber penyerapan atas barang dan jasa yang
ditawarkan. Jika penyerapan dari pasar domestik lebih besar, maka akan
mengurangi perdagangan internasional. Dalam kasus tersebut hubungan populasi
terhadap perdagangan adalah negatif. Di lain sisi, pasar domestik memberi
peluang untuk mencapai skala ekonomi. Besarnya populasi secara tidak langsung
akan menciptakan pasar tenaga kerja yang besar. Ketika ada peningkatan tenaga
kerja sebagai faktor produksi maka biaya tenaga kerja dapat ditekan sehingga
produktivitas meningkat. Ketika peningkatan produktivitas lebih besar dari
peningkatan konsumsi pasar domestik, makan akan menciptakan peluang untuk
meningkatkan perdagangan internasional.
Selain GDP, harga dan populasi, nilai tukar juga memengaruhi permintaan
ekspor dari suatu negara (Mankiw, 2007). Kurs merupakan perbandingan nilai
tukar mata uang suatu negara dengan negara lain. Nilai tukar mata uang memiliki
peranan sentral dalam hubungan perdagangan internasional karena kurs dapat
membandingkan harga barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara.

14

Kurs terdiri dari dua jenis yaitu, kurs nominal (nominal exchange rate)
dan kurs riil (real exchange rate). Kurs nominal adalah harga relatif dari
matauang dua negara. Sebagai contoh, jika antara dolar Amerika Serikat dan yen
jepang adalah 120 yen per dolar maka orang Amerika Serikat dapat menukar 1
dolar untuk 120 yen di pasar uang. Sebaliknya, orang Jepang yang ingin memiliki
dolar akan membayar 120 yen untuk setiap dolar yang dibeli. Ketika orang-orang
mengacu pada “kurs” diantara kedua negara, mereka biasanya mengartikan kurs
nominal (Mankiw,2007).
Kurs riil adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Kurs
riil menyatakan tingkat dimana suatu negara dapat memperdagangkan barangbarangnya di negara lain dengan kata lain nilai tukar nominal yang sudah
dikoreksi dengan harga relatif yaitu harga-harga dalam negeri dibandingkan
dengan harga-harga luar negeri. Nilai tukar riil ini dapat pula disebut dengan
Terms of Trade (TOT). Rumus dari nilai tukar dinyatakan dalam persamaan
berikut:
Nilai Tukar Riil = Nilai Tukar Nominal x Harga Barang Dalam Negeri
Harga Barang Luar Negeri
Jika nilai tukar riil rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terdepresiasi,
maka harga barang Indonesia di luar negeri akan menjadi relatif lebih murah
daripada harga barang yang diperdagangkan di pasar dunia. Hal tersebut
menyebabkan konsumen dunia akan meningkatkan permintaannya terhadap
komoditas ekspor Indonesia. Permintaan yang meningkat ini akan meningkatkan
harga dari komoditas tersebut. Maka dari itu dari sisi produsen, dalam jangka
panjang, jika ada kenaikan harga akan memberikan sinyal untuk terus berproduksi
hingga keuntungannya maksimal. Hal ini tentunya akan meningkatkan penawaran
ekspor. Sebaliknya, Apabila mata uang domestik terapresiasi maka harga impor
bagi penduduk domestik relatif menjadi lebih murah sedangkan bagi para
eksportir hal ini akan berdampak pada kenaikan harga produk mereka sebab
harganya menjadi relatif lebih mahal.
Pada Gambar 6 memperlihatkan pengaruh dari nilai tukar riil (e) terhadap
net ekspor (NX). Terjadinya depresiasi atau penurunan harga barang domestik di
mata dunia ditunjukkan pada penuruan e dari e1 menjadi e2. Penurunan harga
barang domestik ini mengakibatkan ekspor meningkat sehingga net ekspor (NX)
juga meningkat dari NX(e1) menjadi NX(e2).
e

e1
e2
NX
NX(e2)
NX(e1)
Sumber: Mankiw, 2007.
Gambar 6 Dampak depresiasi mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
pada net ekspor

15

Model Gravitasi (Gravity Model)
Gravity model pertama kali digunakan dalam analisis perdagangan
internasional oleh Tinberger (1962) yang menganalisis arus perdagangan di
negara-negara Eropa. Menurut Feenstra et al (1998), gravity model dapat
menjelaskan aliran perdagangan internasional dengan baik. Selanjutnya menurut
Alonso (1987) dalam Yuniarti (2007), ditemukan hubungan yang kuat dengan
menggunakan fungsi gravity dengan mengganti massa dengan populasi dan
kekuatan gravitasi dengan beberapa ukuran interaksi antara dua lokasi.
Model gravitasi didasarkan pada hukum gravitasi Newton, yang
menyatakan bahwa gaya gravitasi antara dua benda secara langsung dipengaruhi
secara proporsional oleh massa dari kedua benda dan sebaliknya secara
proporsional dipengaruhi oleh jarak kuadrat antara keduanya. Dalam konteks
perdagangan, model ini menyatakan bahwa intensitas perdagangan antara negaranegara akan berhubungan secara positif dengan pendapatan nasional masingmasing negara, dan berhubungan terbalik dengan jarak diantara keduanya.
Gravity model menyajikan suatu analisis yang lebih empiris dari pola
perdagangan dibandingkan model yang lebih teoritis. Model ini pada bentuk
dasarnya menjelaskan perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan interaksi
antar Negara dalam ukuran ekonominya seperti PDB dan nilai tukar. Alasan yang
melatar belakangi penggunaan gravity model adalah bahwa negara yang lebih
besar dan kaya banyak melakukan perdagangan luar negeri dibandingkan dengan
negara yang lebih kecil dan miskin di mana ada pengaruh dari jarak, namun bukan
sebagai hambatan. Sesuai dengan perumusan Newton terhadap model gravitasi
fisika yaitu “interaksi antara dua objek adalah sebanding dengan massanya dan
berbanding terbalik dengan jarak masing-masing”.
Fij = G

dimana :
Fij
Mi,j
Dij
G

Mi x M j
Dij2

= Volume aliran perdagangan
= Ukuran ekonomi untuk kedua negara
= Jarak antara kedua negara
= Konstanta

Jarak adalah faktor geografi yang menjadi variabel utama dalam gravity
model untuk aliran perdagangan. Dalam kaitannya dengan perdagangan, jarak
memberikan pengaruh dalam masalah biaya angkut (transportasi) produk dari titik
produksi ke titik konsumsi. Biaya angkut tersebut juga memberikan dampak
secara langsung maupun tidak langsung bagi perdagangan internasional. Variabel
jarak tersebut dapat dimodifikasi menjadi economics distance atau jarak ekonomi.
Jarak ekonomi dalam model gravitasi berpengaruh negatif terhadap aliran
perdagangan. Semakin jauh jarak, maka aliran perdagangan akan semakin rendah
karena menunjukkan biaya transportasi yang tinggi. Variabel ini menghitung jarak
geografis antara dua negara, juga memasukkan GDP negara mitra dagang atau
yang disebut weighted-average economics distance (Li et al., 2008). Adapun
rumus yang digunakan dalam menghitung jarak ekonomi yaitu:

16

Jarak Ekonomi = Jarak Geografis antarnegara X (∑ GDPj)
GDPj
Salvatore (1997) menjelaskan pengaruh biaya transportasi terhadap
perdagangan internasional seperti dalam Gambar 7. Sebelum dilakukan
perdagangan internasional, negara 1 akan memproduksi komoditas X sebanyak 50
unit dengan harga $5, sementara negara 2 akan memproduksi komoditas X
sebanyak 50 unit dengan harga $11. Setelah dilakukan perdaga