Implementasi Rekayasa Sosial Dalam Pengelolaan Lanskap Ruang Terbuka Biru Bagi Masyarakat Di Bantaran Sungai Ciliwung

IMPLEMENTASI REKAYASA SOSIAL DALAM
PENGELOLAAN LANSKAP RUANG TERBUKA BIRU BAGI
MASYARAKAT DI BANTARAN SUNGAI CILIWUNG

ALIIFAH GHASSANII

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Implementasi
Rekayasa Sosial dalam Pengelolaan Lanskap Ruang Terbuka Biru bagi
Masyarakat di Bantaran Sungai Ciliwung adalah benar karya saya dengan arahan
dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016
Aliifah Ghassanii
NIM A44110009

ABSTRAK
ALIIFAH GHASSANII. Implementasi Rekayasa Sosial dalam Pengelolaan
Lanskap Ruang Terbuka Biru bagi Masyarakat di Bantaran Sungai Ciliwung.
Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN.
Sungai Ciliwung merupakan salah satu Ruang Terbuka Biru (RTB) yang
memiliki pengaruh besar dalam pengembangan kota di Wilayah Jabodetabek.
Namun, tingginya laju pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan
masyarakat akan lahan semakin meningkat, sehingga menimbulkan masalah alih
fungsi lahan dari RTB menjadi lahan permukiman sekitar 76,39% (Arifin, 2013)
dan menyebabkan munculnya pengembangan water back landscape di daerah
bantaran Sungai Ciliwung. Hal tersebut disebabkan karena adanya mindset yang
salah di masyarakat terhadap RTB. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji bagaimana menciptakan lanskap RTB yang lestari dengan melihat dari

aspek sosial masyarakat. Penelitian ini mengacu pada pendekatan kualitatif
dengan menerapkan metode survei lapang, wawancara dan kuesioner, dan diskusi
kelompok terfokus. Hasil penelitian ini berupa strategi pengelolaan RTB dengan
penerapan rekayasa sosial yang efektif, yaitu dengan prioritas urutan media (1)
spanduk (2) leaflet (3) poster dan (4) DVD sebagai upaya untuk merubah mindset
masyarakat terhadap permasalahan RTB saat ini, khususnya di bantaran Sungai
Ciliwung.
Kata kunci : Rekayasa sosial, Ruang Terbuka Biru, Sungai Ciliwung, water back
landscape
ABSTRACT
ALIIFAH GHASSANII. The Social Engineering Implementation of the Blue
Open Space Landscape Management for the Community in Ciliwung Riverside.
Supervised by HADI SUSILO ARIFIN.
Ciliwung river is one of the Blue Open Spaces that has a great impact on
city’s development in Jabodetabek. But ironically, the high rate of population
growth led to the increasing needs of community for land. This resulted in land
use changing from Blue Open Spaces into the built-up area about 76,39% (Arifin
2013) and cause the appearance of water back landscape development, due to the
false mindset that has been spreading arround the community for a long time.
This research aimed to study on how to create a sustainable landscape of Blue

Open Space by the perspective of social aspect. This study used qualitative
approach with several methods such as field survey, interviews and
questionnaires, and Focus Group Discussion. The final result of this study was
explaining the effective social engineering implementation for Blue Open Space
management strategies with the media priorities order are (1) banner (2) leaflet
(3) poster and (4) DVD as an attempt to change the community’s current mindset
on Blue Open Space issues, especially in Ciliwung riverside area.
Keywords : Blue open space, Ciliwung river, social engineering, water back
landscape

IMPLEMENTASI REKAYASA SOSIAL DALAM
PENGELOLAAN LANSKAP RUANG TERBUKA BIRU BAGI
MASYARAKAT DI BANTARAN SUNGAI CILIWUNG

ALIIFAH GHASSANII

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Arsitektur Lanskap
pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas karunia dan rahmat-NYA sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan
dengan sebaik-baiknya. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan
sejak bulan April sampai November 2015 adalah Ruang Terbuka Biru, dengan
judul Implementasi Rekayasa Sosial dalam Pengelolaan Lanskap Ruang Terbuka
Biru bagi Masyarakat di Bantaran Sungai Ciliwung. Penelitian ini merupakan
tindak lanjut dari penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu proyek yang berjudul
“Analisis Ketersediaan Green Water dan Blue Water dalam Manajemen Lanskap
yang Berkelanjutan di Daerah Aliran Sungai Ciliwung” yang diketuai oleh Prof.

Dr Ir Hadi Susilo Arifin, M.S. dengan skema pendanaan dari DIPA IPB tahun
anggaran 2013-2014.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS.
selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, saran, dorongan, serta
nasehat kepada penulis. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada teman-teman
satu bimbingan skripsi, teman-teman satu tim penelitian, teman-teman Arsitektur
Lanskap Angkatan 48, serta semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
Bapak, Ibu, Adik-adik, seluruh keluarga dan teman-teman atas segala doa,
dukungan, dan kasih sayangnya.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi
masyarakat, pihak swasta, maupun pemerintah dalam mensosialisasikan
pentingnya keberadaan Ruang Terbuka Biru. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, April 2016
Aliifah Ghassanii

DAFTAR ISI


DAFTAR TABEL

iv

DAFTAR GAMBAR

iv

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2


Ruang Lingkup Penelitian

2

Kerangka Pikir

2

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian

3

Alat dan Bahan

4

Metode Penelitian


5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Situasional

6

Kondisi Geografis Kota Bogor

6

Kondisi Geografis Kabupaten Bogor

9

Kondisi Geografis Kota Jakarta

11

Kondisi Demografis


12

Analisis Persepsi Masyarakat

16

Persepsi terhadap Ruang Terbuka Biru

16

Persepsi Terhadap Lanskap Muka Air dan Lanskap Belakang Air

17

Persepsi Terhadap Fungsi Sungai Ciliwung bagi Masyarakat

21

Persepsi Terhadap Kondisi Sungai Ciliwung


22

Persepsi Terkait Aktvitas Masyarakat Terhadap Sungai Ciliwung

24

Analisis Preferensi Masyarakat

25

Preferensi Terhadap Partisipasi dalam Pengelolaan Sungai Ciliwung

25

Preferensi tentang Sosialisasi Ruang Terbuka Biru

26

Preferensi terhadap Media Rekayasa Sosial Sebelum

Implementasi Rekayasa Sosial

27

Analisis Efektivitas Implementasi Rekayasa Sosial

32

Efektivitas Terhadap Persepsi dan Preferensi Masyarakat tentang RTB 32
Preferensi Masyarakat terhadap Media Rekayasa Sosial Setelah
Implementasi Rekayasa Sosial

38

Rekomendasi Strategi Pengelolaan RTB bagi Masyarakat di Bantaran
Sungai Ciliwung

42

SIMPULAN DAN SARAN

51

DAFTAR PUSTAKA

51

DAFTAR TABEL

1 Alat dan bahan Penelitian yang digunakan

4

2 Jenis data yang dikumpulkan

5

3 Data umum masing-masing kelurahan di Kota Bogor

7

4 Data umum masing-masing kelurahan di Kabupaten Bogor

9

5 Data umum masing-masing kelurahan di Kota Jakarta

11

6 Karakteristik Masyarakat Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin dan
kepadatan Penduduk

12

7 Karakteristik Masyarakat Sampel Berdasarkan Usia

14

8 Pengetahuan Masyarakat tentang Istilah water front landscape

18

9 Pengetahuan Masyarakat tentang Istilah water back landscape

18

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pikir Penelitian

3

2 Peta Lokasi Penelitian

4

3 Kondisi Umum RTB Kelurahan Katulampa

7

4 Kondisi Umum RTB Kelurahan Sempur

8

5 Kondisi Umum RTB Kelurahan Kedunghalang

8

6 Kondisi Umum RTB Kelurahan Karadenan

10

7 Kondisi Umum RTB Kelurahan Sukahati

10

8 Kondisi Umum RTB Kelurahan Waringin Jaya

11

9 Kondisi Umum RTB Kelurahan Bukit Duri

12

10 Kondisi Umum RTB Kelurahan Kampung Melayu

12

11 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan

16

12 Persepsi Masyarakat tentang istilah RTB

16

13 Persepsi Masyarakat tentang Pengertian Ruang Terbuka Biru

17

14 Penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya konsep WFL

19

15 Penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya konsep WBL

19

16 Persepsi masyarakat terhadap praktik WFL di daerah tempat tinggalnya

20

17 Persepsi masyarakat terhadap praktik WBL di daerah tempat tinggalnya

20

18 Persepsi masyarakat terhadap fungsi Sungai Ciliwung

22

19 Persepsi masyarakat tentang penyebab buruknya kondisi Sungai
Ciliwung saat ini

23

20 Persepsi masyarakat tentang pengaruh aktivitas masyarakat terhadap
sungai

24

21 Persepsi masyarakat tentang organisasi/komunitas masyarakat
setempat terkait sungai di daerah tempat tinggal

25

22 Preferensi masyarakat tentang partisipasi dalam pengelolaan RTB

26

23 Preferensi masyarakat tentang sosialisasi RTB

27

24 Poster yang digunakan dalam penelitian

29

25 Leaflet yang digunakan dalam penelitian

30

26 Spanduk yang digunakan dalam penelitian

31

27 Preferensi masyarakat terhadap media rekayasa sosial

32

28 Perbedaan persepsi masyarakat tentang pengertian RTB sebelum dan
setelah implementasi rekayasa sosial

33

29 Perbedaan persepsi masyarakat tentang istilah WFL sebelum dan
setelah implementasi rekayasa sosial

33

30 Perbedaan persepsi masyarakat tentang istilah WBL sebelum dan
setelah implementasi rekayasa sosial

34

31 Penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya konsep WFL dan
WBL sebelum dan setelah implementasi rekayasa sosial

35

32 Perbedaan persepsi masyarakat terhadap praktik WFL di daerah tempat
tinggalnya sebelum dan setelah implementasi rekayasa sosial

36

33 Perbedaan persepsi masyarakat terhadap praktik WBL di daerah tempat
tinggalnya sebelum dan setelah implementasi rekayasa sosial

36

34 Perbedaan persepsi masyarakat terhadap fungsi Sungai Ciliwung
sebelum dan setelah implementasi rekayasa sosial

37

35 Perbedaan persepsi masyarakat tentang penyebab buruknya kondisi
Sungai Ciliwung saat ini sebelum dan setelah implementasi rekayasa
sosial

38

36 Perbedaan persepsi masyarakat tentang pengaruh aktivitas masyarakat
terhadap Sungai sebelum dan setelah implementasi rekayasa social

39

37 Preferensi masyarakat tentang partisipasi dalam pengelolaan RTB
sebelum dan setelah implementasi rekayasa sosial

39

38 Preferensi masyarakat tentang sosialisasi RTB sebelum dan setelah
implementasi rekayasa social

40

39 Urutan prioritas media rekayasa sosial yang efektif berdasarkan
40
preferensi masyarakat sebelum dan setelah implementasi rekayasa sosial
40 Contoh (a) legibility (b) readibility (c) clarity

44

41 Ukuran standar media informasi ruang luar

46

42 Jarak pandang normal antara pengamat dan media

47

43 ilustrasi lokasi peletakan spanduk (a) di dekat persimpangan jalan
(b) di jalur hijau pinggir sungai pada area perumahan

49

44 ilustrasi peletakan poster meja (a) di rumah Pak RT/RW (b) di kantor
kelurahan (c) ilustrasi penampilan video RTB pada saat penyuluhan

50

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kearifan lokal masyarakat Indonesia telah mempercayai bahwa air adalah
sumber kehidupan (Arifin 2014). Sumber air tersebut dapat berupa tempat atau
wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah
permukaan tanah (Permen PU PR No.6/PRT/M/2015) atau dikenal sebagai Ruang
Terbuka Biru (RTB). Ruang Terbuka Biru merupakan cekungan-cekungan atau
lembah-lembah yang sangat potensial sebagai wadah menampung air dan dapat
berupa aliran-aliran air yang bergerak seperti sungai besar yang dapat menampung
air dengan cepat (Arifin 2014).
Salah satu RTB yang memiliki pengaruh besar dalam keberlanjutan
pembangunan kota di wilayah Jabodetabek adalah Sungai Ciliwung. Sungai ini
membentang dari selatan ke utara melintasi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota
Depok, dan bermuara di Kota Jakarta. Sejak dulu, Sungai Ciliwung telah berperan
menjadi sumber kehidupan utama masyarakat dan merupakan sungai indah berair
jernih yang mengalir di tengah kota. Namun, tingginya pembangunan dan
pertumbuhan penduduk di Jabodetabek menjadikan Sungai Ciliwung mengalami
degradasi baik secara kualitas maupun kuantitas. Kualitas Sungai Ciliwung sudah
memburuk dan tercemar yang disebabkan oleh limbah domestik maupun industri,
sedangkan secara kuantitas debit Sungai Ciliwung tidak lagi stabil karena
berubahnya peruntukan lahan di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung, sehingga
resapan air tidak terjadi lagi (PUSARPEDAL, 2012). Hal ini merupakan akibat
dari besarnya pola perubahan lahan pada periode waktu 30 tahun di DAS
Ciliwung yaitu perubahan dari badan air/RTB menjadi lahan permukiman sebesar
76,39% dari total luasan badan air/RTB yang berubah (Arifin 2013), serta
berkembangnya mindset yang salah di masyarakat terhadap Ruang Terbuka Biru,
yang menganggap lanskap sungai sebagai bagian „belakang‟ (water back
landscape) dalam kehidupan sehari-hari, yakni membangun fasilitas, infrastuktur,
sarana prasarana, gedung dan bangunan yang selalu membelakangi lanskap badan
air sehingga sungai menjadi bagian belakang, bagian kotor dan tempat
pembuangan segala jenis kotoran (Arifin 2014).
Seharusnya RTB kota menjadi bagian yang dipandang (water front
landscape) sehingga RTB dijaga keindahan serta kebersihannya karena memiliki
fungsi penting sebagai penangkap air (water catchment) terbesar untuk mencegah
banjir saat musim hujan dan sebagai penyedia pasokan air saat musim kemarau.
Oleh karena itu, dalam upaya merubah persepsi dan cara pandang masyarakat
terhadap RTB selama ini yang berorientasi pada water back landscape, perlu
dilakukan penelitian yang hasilnya dapat diimplementasikan sebagai solusi dari
masalah pengelolaan RTB saat ini, yaitu dengan melihat bagaimana respon
masyarakat terhadap implementasi rekayasa sosial melalui FGD dan pemaparan
media rekayasa sosial berupa poster, leaflet, spanduk, dan DVD/Video yang
dihasilkan dari penelitian RTB sebelumnya. Implementasi rekayasa sosial yang
dilakukan dari mulai proses sosialisasi dalam jangka waktu yang cukup panjang
dan berulang-ulang serta konsisten, dapat merubah cara pikir dan cara pandang
masyarakat terhadap aturan yang menjadi objek rekayasa sosial, sehingga hasilnya
akan merubah sikap dan perilaku masyarakat yang buruk dan tanpa disadari akan
menjadi kebiasaan (Sumiyanti, 2015). Oleh karena itu, penelitian ini

2

memfokuskan kajiannya pada usulan penerapan strategi rekayasa sosial yang
efektif untuk merubah mindset masyarakat terhadap RTB, sehingga tercipta
persepsi dan cara pandang yang sama terhadap upaya pengelolaan lanskap RTB di
masyarakat.

Tujuan Penelitian
1.
2.
3.

Tujuan penelitian ini yaitu :
Menganalisis persepsi dan preferensi masyarakat terhadap pentingnya
keberadaan RTB di bantaran Sungai Ciliwung.
Menganalisis efektifitas implementasi rekayasa sosial untuk perlindungan
RTB
Menyusun strategi pengelolaan RTB di bantaran Sungai Ciliwung

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini adalah rekomendasi strategi pengelolaan Ruang
Terbuka Biru berdasarkan efektifitas implementasi rekayasa sosial pada
masyarakat di bantaran Sungai Ciliwung. Oleh karena itu, rekomendasi penelitian
ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dan saran bagi masyarakat, pihak
swasta, maupun pemerintah dalam merubah mindset tentang RTB yang ada di
masyarakat dengan sosialisasi/pendekatan menggunakan alat rekayasa sosial yang
efektif.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada kajian mengenai rekomendasi
penerapan rekayasa sosial yang efektif sebagai alat pendukung dalam pengelolaan
lanskap RTB. Bahan-bahan rekayasa sosial yang digunakan dalam penelitian ini
disusun berdasarkan hasil penelitian RTB sebelumnya. Oleh karena itu, lingkup
wilayah yang dijadikan fokus dalam penelitian ini adalah wilayah yang telah
dipilih pada penelitian sebelumnya dengan mempertimbangkan aspek sosial
masyarakat yang tinggal di daerah bantaran Sungai Ciliwung.

Kerangka Pikir Penelitian
Sungai Ciliwung merupakan salah satu Ruang Terbuka Biru (RTB) yang
memiliki pengaruh besar dalam mendukung keberlanjutan pertumbuhan kota di
wilayah Jabodetabek. Namun, seiring dengan tingginya pembangunan dan
pengembangan kota di Jabodetabek, serta perbedaan persepsi dan cara pandang
masyarakat mengenai manfaat dan pentingnya Ruang terbuka Biru (RTB)
menyebabkan munculnya mindset yang salah dan menimbulkan masalah yang
berdampak buruk bagi kehidupan saat ini ataupun masa yang akan datang,
khususnya bagi masyarakat di bantaran Sungai Ciliwung (Gambar 1).

3

Sungai Ciliwung merupakan
Ruang Terbuka Biru kota
yang berfungsi sebagai
water catchment dan
pasokan air bagi kehidupan

Tingginya pembangunan
dan pengembangan kota di
Jabodetabek yang
berorientasi pada daratan
dan mindset water back
landscape

Penelitian RTB/RTH BOPTN; Future Cities Lab (ETH Singapore) 2012-2014
menghasilkan bahan-bahan rekayasa sosial: poster, leaflet, video, spanduk
Implementasi rekayasa sosial pengelolaan RTB
Analisis persepsi dan preferensi masyarakat terhadap RTB
Menyusun rekomendasi strategi pengelolaan RTB

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di daerah bantaran Sungai Ciliwung yang terletak
di Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kota Jakarta. Menurut Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai, yang dimaksud bantaran sungai
adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam yang
terletak di kiri dan/atau kanan palung sungai dan berfungsi sebagai ruang
penyalur banjir sehingga sering disebut pula sebagai bantaran banjir. Oleh karena
itu, di bantaran sungai seharusnya dilarang didirikan bangunan untuk hunian atau
sebagai tempat pembuangan sampah (Yulaelawati, 2008). Lokasi sampel pada
penelitian ini, termasuk pada wilayah yang terletak di daerah sungai yang
memiliki bantaran banjir sempit (bagian tengah) dan bantaran banjir lebar (bagian
hilir), lebar bantarannya diukur selebar muka air pada waktu banjir maksimum
yang melimpah ke kedua sisi sungai (Santosa, 2013).
Pemilihan lokasi kelurahan sampel ditentukan berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya dengan mempertimbangkan aspek sosial masyarakat
serta ditemukannya praktik water back landscape pada lokasi penelitian. Jumlah
lokasi kelurahan sampel yang dipilih sebanyak tiga kelurahan di Kota Bogor
(Kelurahan Katulampa, Kelurahan Sempur, dan Kelurahan Kedunghalang), tiga
kelurahan di Kabupaten Bogor (Kelurahan Karadenan, Kelurahan Waringin Jaya,
dan Kelurahan Sukahati), dan dua kelurahan di Kota Jakarta (Kelurahan Bukit
Duri dan Kelurahan Kampung Melayu). Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan
dari bulan April hingga November 2015 (Gambar 2).

4

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Penelitian ini menggunakan peralatan baik perangkat keras maupun perangkat
lunak. Perangkat keras digunakan saat survey lapang dilakukan, sedangkan
perangkat lunak digunakan saat persiapan bahan dan pengolahan data (Tabel 1).
Tabel 1 Alat dan Bahan Penelitian yang Digunakan
Alat
Kamera digital
Adobe Photoshop CS6
ArcMap 9.3
Microsoft Excel 2013
Bahan
Peta Dasar
Kuesioner
Spanduk, poster, leaflet,
slide presentasi, video

Kegunaan
Perangkat Keras (hardware)
Membantu pengambilan data visual dari kondisi lapang
Perangkat Lunak (software)
Membantu proses pembuatan spanduk, poster dan leaflet
Membantu pembuatan peta lokasi
Membantu proses pengolahan data hasil lapang
Kegunaan
Menunjang data spasial
Memperoleh data persepsi dan preferensi masyarakat
Alat bantu dalam implementasi rekayasa sosial yang
telah dihasilkan dari penelitian RTB sebelumnya

5

Dalam mendukung proses analisis, pada penelitian ini digunakan berbagai
jenis data penunjang yang berkaitan dengan lokasi penelitian. Data yang
dikumpulkan untuk penelitian ini meliputi data umum dan data sosial (Tabel 2).
Tabel 2 Jenis data yang dikumpulkan
Jenis Data
Umum

Sosial

Data
a. Peta DAS Ciliwung
b. Lokasi (letak geografis dan
batas administratif)
c. Kondisi fisik lanskap
a. Demografi penduduk
 Jumlah penduduk
 Kepadatan penduduk
 Rasio jenis kelamin
 Mata pencaharian
 Pendidikan
 Usia
b. Persepsi dan preferensi
masyarakat

Unit
shapefile
lembar
Jiwa
Jiwa/ha
%
%
%
lembar

Sumber Data
Instansi terkait
Instansi terkait,
studi pustaka
Survei lapang
Wawancara dan
kuesioner, studi
pustaka

Wawancara dan
kuesioner, FGD

Metode Penelitian
Metode penelitian dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian
berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, yaitu :
Menganalisis persepsi masyarakat terhadap pentingnya keberadaan RTB di
bantaran Sungai Ciliwung
Analisis persepsi dan preferensi masyarakat terhadap RTB dilakukan
dengan teknik pengumpulan data secara kualitatif, yaitu survei lapang, studi
pustaka, wawancara dan kuesioner. Penelitian diawali dengan survei lapang untuk
memverifikasi hasil penelitian sebelumnya dan cross-checking data pustaka yang
diperoleh. Wawancara dan pengambilan data melalui kuesioner dilakukan dengan
menggunakan metode purposive random sampling, yaitu pengambilan sampel
responden dengan memilih secara acak pihak-pihak yang memiliki pengaruh
besar bagi masyarakat di delapan titik lokasi penelitian (Ketua RT/RW atau
organisasi masyarakat setempat) yang letak RT/RW-nya cukup dekat dengan
Sungai Ciliwung, yaitu di daerah bantaran Sungai Ciliwung dengan jarak sekitar
10-30 meter dari bibir sungai. Wawancara dan kuesioner dilakukan kepada 70
responden, dengan rincian 30 responden di Kota Bogor, 20 responden di
Kabupaten Bogor, dan 20 responden di Kota Jakarta. Responden cukup bervariasi
dalam hal usia, pendidikan, dan jenis pekerjaan. Kuesioner terdiri dari 30
pertanyaan yang terbagi menjadi 3 bagian utama: 1) identitas responden, 2)
persepsi responden terhadap RTB, dan 3) preferensi responden terhadap alat
rekayasa sosial.
Menganalisis efektifitas implementasi rekayasa sosial untuk perlindungan
RTB
Analisis efektifitas implementasi rekayasa sosial untuk perlindungan RTB
dilakukan dengan mengadakan Focus Group Discussion (FGD). Menurut Bungin
(2006), FGD adalah sebuah teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan

6

dengan tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman suatu
kelompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan
tertentu. Kelompok yang terlibat dalam penelitian ini adalah masyarakat bantaran
Sungai Ciliwung pada delapan titik lokasi penelitian yang sebelumnya sudah
diwawancara dan diberi kuesioner sesuai dengan tujuan 1. Di dalam proses FGD,
masyarakat diberikan informasi melalui slide presentasi dan video mengenai
pentingnya keberadaan RTB khususnya Sungai Ciliwung dalam mendukung
keberlanjutan pertumbuhan kota di wilayah Jabodetabek, serta ditunjukkan leaflet,
poster dan spanduk sebagai alat bantu dalam implementasi rekayasa sosial. Pada
akhir FGD, responden diberikan kuesioner kembali untuk mengetahui efektifitas
dari FGD dan alat-alat social engineering yang telah diberikan. Selanjutnya
dilakukan analisis secara deskriptif untuk menggambarkan persepsi dan preferensi
masyarakat terhadap RTB berdasarkan hasil kuesioner sebelum dan setelah FGD.
FGD pada penelitian ini dilakukan sebanyak 4 kali sebagai perwakilan di
setiap wilayah, yaitu 2 kali di Kota Bogor (Kelurahan Sempur dan Kelurahan
Katulampa) dan 2 kali di Kabupaten Bogor (Kelurahan Karadenan dan Waringin
Jaya). FGD dihadiri oleh Ketua RT/RW dan Ketua/anggota organisasi masyarakat
setempat dengan jumlah peserta 4-6 orang di setiap lokasi. Namun, FGD tidak
dilakukan di Kota Jakarta karena ditemukan beberapa kendala, yaitu kondisi
lapang yang tidak kondusif seiring dengan dilaksanakannya relokasi masyarakat
yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung pada lokasi penelitian di Kota Jakarta
(Kelurahan Bukit Duri dan Kelurahan Kampung Melayu).
Menyusun strategi pengelolaan RTB di bantaran Sungai Ciliwung
Strategi pengelolaan RTB di bantaran Sungai Ciliwung disusun
berdasarkan hasil survei, wawancara dan FGD, serta hasil analisis persepsi dan
preferensi masyarakat mengenai RTB. Rekomendasi yang dibuat berupa teknik
pengelolaan RTB dengan melihat dari aspek sosial masyarakat, yaitu berupa
strategi penerapan alat rekayasa sosial yang efektif untuk mengajak dan menarik
minat masyarakat peduli terhadap RTB. Penyusunan strategi didahului dengan
dilakukannya FGD dan pemaparan alat-alat rekayasa sosial berupa leaflet dan
poster, menampilkan video dan slide presentasi, serta penjelasan isi spanduk,
yaitu untuk menguji apakah implementasi rekayasa sosial melalui FGD efektif
dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang RTB dan untuk mengetahui
pendapat masyarakat terkait media mana yang paling efektif dalam upaya
merubah mindset dan respon masyarakat terhadap permasalah RTB saat ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Situasional
Kondisi Geografis Kota Bogor
Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106° 48‟ Bujur Timur dan
6° 26‟ Lintang Selatan. Luas wilayah Kota Bogor adalah sebesar 11.850 ha. Suhu
udara rata-rata tiap bulan di Kota Bogor adalah 26° C dengan curah hujan ratarata 3500-4000 mm/tahun. Secara umum, Kota Bogor memiliki topografi datar
hingga bergelombang dan berada pada ketinggian 190-330 meter di atas

7

permukaan laut (mdpl). Kota Bogor dialiri oleh aliran Sungai Ciliwung dengan
sebaran luas sebesar 3.500,82 ha yang termasuk kedalam wilayah DAS Ciliwung
bagian tengah (BPDAS Citarum Ciliwung, 2013). Daerah bantaran Sungai
Ciliwung di Kota Bogor didominasi oleh permukiman. Hal ini disebabkan karena
bertambahnya kebutuhan akan lahan seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk. Adapun beberapa kecamatan di Kota Bogor yang dilalui oleh aliran
Sungai Ciliwung, diantaranya adalah Kecamatan Bogor Selatan, Kecamatan
Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Utara, dan
Kecamatan Tanah Sereal. Pada penelitian ini telah dipilih tiga sampel kelurahan
yang mewakili tiga kecamatan, yaitu Kelurahan Katulampa, Kelurahan Sempur,
dan Kelurahan Kedunghalang (Tabel 3).
Tabel 3 Data umum masing-masing kelurahan di Kota bogor
No.
1.
2.
3.

Kecamatan
Bogor Timur
Bogor Tengah
Bogor Utara

Kelurahan
Katulampa
Sempur
Kedunghalang

Luas (ha)
491
63
192

Jumlah Penduduk (jiwa)
31.421
8.053
22.508

Sumber : BPS Kecamatan Bogor Tengah, Bogor Timur, dan Bogor Utara (2015)

Kelurahan Katulampa didominasi oleh area permukiman berpenduduk
padat dan perumahan. Diantara permukiman tersebut mengalir Sungai Ciliwung
yang sangat bermanfaat bagi masyarakat setempat, terutama sebagai sumber air
bagi kehidupan sehari-hari. Secara umum, kondisi lanskap sungai/RTB di
Kelurahan Katulampa tergolong cukup baik karena masih terdapat RTH dan areal
pertanian seperti sawah dan kebun, namun sebagian besar pembagunannya masih
berorientasi water back landscape. Berdirinya bangunan Bendung Katulampa di
kelurahan ini menjadikan Kelurahan Katulampa sering dikunjungi oleh peneliti
dari dalam maupun luar negri, terutama saat musim hujan di Kota Bogor.
Bendungan Katulampa ini berfungsi untuk memantau ketinggian air di Sungai
Ciliwung yang akan di alirkan ke Jakarta, serta berfungsi sebagai sistem irigasi
yang mengalirkan air dari Sungai Ciliwung melalui Kali Baru ke areal
perasawahan yang berada di antara Kota Bogor dan Kota Jakarta. Namun seiring
dengan menurunnya luasan areal persawahan, saat ini Kali Baru dimanfaatkan
sebagai ruang aktivitas bagi masyarakat setempat seperti mandi, cuci, kakus
(MCK), memancing, dan bermain (Gambar 3).

a

b

c

Gambar 3 Kondisi Umum RTB Ciliwung di Kelurahan Katulampa (a) sempadan
sungai dipadati oleh bangunan (b) RTH di sekitar bantaran sungai (c) kondisi
pintu air katulampa saat musim hujan

8

Kelurahan Sempur merupakan kelurahan yang berada di pusat Kota Bogor.
Luas wilayah kelurahan yang terletak di daerah bantaran Sungai Ciliwung yaitu
seluas 5 ha dan didominasi oleh permukiman. Letak Sungai Ciliwung di
Kelurahan Sempur terbilang cukup strategis, karena berada diantara permukiman
dan perumahan, serta fasilitas umum seperti jalan raya, lapangan olahraga, dan
taman publik. Secara umum, kondisi lanskap sungai/RTB di Kelurahan Sempur
tergolong cukup baik karena masih terdapat Ruang Terbuka Hijau (RTH) di
sekitar bantaran sungai, namun pengembangannya masih berorientasi water back
landscape. Di area pinggiran sungai terdapat beberapa kolam/tambak ikan milik
warga sebagai bentuk RTB lain di Kelurahan Sempur (Gambar 4). Dalam
kesehariannya, keberadaan sungai dimanfaatkan untuk kegiatan rekreasi seperti
memancing dan duduk/jalan santai di pinggir sungai, kegiatan sosial seperti
gotong royong membersihkan sampah setiap minggu serta kegiatan menambang
pasir untuk mata pencaharian.

a

b

c

Gambar 4 Kondisi Umum RTB Ciliwung di Kelurahan Sempur (a) sempadan
sungai dipadati oleh bangunan (b) RTH di sekitar bantaran sungai (c) kolam atau
tambak ikan milik warga

a

b

c

Gambar 5 Kondisi Umum RTB Ciliwung di Kelurahan Kedunghalang
(a, b) RTH di sekitar bantaran sungai (c) aktivitas warga yang menambang pasir
Kelurahan Kedunghalang merupakan kelurahan yang berbatasan langsung
dengan wilayah Kabupaten Bogor, sehingga letaknya jauh dari pemerintahan
pusat Kota Bogor. Kelurahan Kedunghalang didominasi oleh area permukiman.
Kondisi lanskap RTB di Kelurahan Katulampa masih cukup alami, meskipun
sebagian bantaran sudah dipadati perumahan dan jalan. Secara umum

9

pembangunannya masih berorientasi water back landscape walaupun letak
bangunan rumah penduduk tidak langsung berbatasan dengan tepi sungai. Hal ini
menyebabkan masyarakat setempat jarang beraktivitas di sekitar sungai.
Berdasarkan hasil yang ditemukan di lapang, sungai dimanfaatkan untuk area
menambang pasir sebagai sumber mata pencaharian mereka (Gambar 5).
Kondisi Geografis Kabupaten Bogor
Secara geografis Kabupaten Bogor terletak di antara 6º18'0-6º47'10
Lintang Selatan dan 106º23'45- 107º13'30 Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten
Bogor adalah sebesar 298.838.304 ha. Suhu udara rata-rata tahunan di Kabupaten
Bogor adalah 25° C dengan curah hujan rata-rata 2500-5000 mm/tahun. Secara
umum, wilayah Kabupaten Bogor berada pada ketinggian berkisar antara 15-2500
meter di atas permukaan laut (mdpl), dengan tipe morfologi wilayah yang
bervariasi yaitu dataran tinggi di bagian selatan dan dataran yang relatif rendah di
bagian utara. Menurut BPDAS Citarum Ciliwung tahun 2013, sebagian besar
wilayah Kabupaten Bogor termasuk kedalam wilayah DAS Ciliwung Hulu dan
sebagian kecil termasuk kedalam wilayah DAS Ciliwung Tengah dengan total
sebaran luas sebesar 19.884,08 ha. Daerah bantaran Sungai Ciliwung di
Kabupaten Bogor dipadati oleh permukiman, namun daerah kiri kanan sungai
masih dibiarkan alami dan didominasi oleh deretan pohon bambu. Beberapa
kecamatan di Kabupaten Bogor dilalui oleh aliran Sungai Ciliwung, dua
diantaranya adalah Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojonggede yang telah
dipilih sebagai lokasi titik sampel dalam penelitian ini (Tabel 4).
Tabel 4 Data umum masing-masing kelurahan di Kabupaten bogor
No.
1.
2.
3.

Kecamatan
Cibinong
Cibinong
Bojonggede

Kelurahan
Karadenan
Sukahati
Waringin Jaya

Luas (ha)
404
469
170

Jumlah Penduduk (jiwa)
27.500
27.024
11.884

Sumber : BPS Kecamatan Cibinong dan Bojonggede (2014)

Kelurahan Karadenan memiliki ketinggian wilayah 200 meter di atas
permukaan laut (mdpl). Letak Sungai Ciliwung di Kelurahan Karadenan relatif
dekat dengan permukiman kumuh padat penduduk, sehingga sungai sering
dimanfaatkan sebagai tempat beraktivitas masyarakat setempat. Kondisi lanskap
RTB di Kelurahan Karadenan masih cukup alami, hal ini dibuktikan dengan
banyaknya deretan pepohonan di sekitar bibir sungai dan masih terlihat burung
berterbangan di sore hari. Namun, pembangunan di daerah bantaran Sungai
Ciliwung masih berorientasi water back landscape, meskipun beberapa rumah
penduduk menghadap ke sungai tetapi sungai masih di anggap bagian belakang
dari rumah tinggal mereka. Dalam kesehariannya, keberadaan sungai
dimanfaatkan untuk kegiatan sehari-hari seperti mandi dan mencuci, kegiatan
menambang pasir sebagai mata pencaharian dan sebagai tempat bermain anakanak. Selain itu, tidak adanya fasilitas untuk membuang sampah dari pemerintah
menyebabkan masih ada sebagian warga yang menjadikan sungai sebagai tempat
pembuangan (Gambar 6).

10

a

b

c

Gambar 6 Kondisi Umum RTB Ciliwung di Kelurahan Karadenan (a) view sungai
dari salah satu halaman rumah warga (b,c) RTH di sekitar bantaran sungai
Kelurahan Sukahati merupakan kelurahan yang berbatasan langsung
dengan Kelurahan Karadenan di bagian selatan. Kelurahan ini memiliki
karaktersitik dan kondisi lanskap RTB yang hampir sama dengan Kelurahan
Karadenan, namun penggunaan lahannya lebih di dominasi oleh perumahan
sehingga jarang ditemukan masyarakat yang beraktivitas di sungai. Secara fisik,
sungai di Kelurahan Sukahati lebih lebar dibanding dua sampel kelurahan lainnya
di Kabupaten Bogor. Daerah kiri dan kanan sungai didominasi oleh lahan curam
dan deretan pohon bambu, serta sebagian lahan datar akibat longsor dan
sedimentasi (Gambar 7).

a

b

Gambar 7 Kondisi Umum RTB Ciliwung di Kelurahan Sukahati (a,b) deretan
pohon bambu di kanan dan kiri sungai
Kelurahan Waringin jaya terletak bersebrangan dengan Kelurahan
Karadenan, yakni dibatasi oleh aliran Sungai Ciliwung. Daerah bantaran
sungainya dipatadati oleh permukiman penduduk, tetapi masih terdapat RTH yang
dibiarkan alami di sekitar sungai. Masyarakat yang beraktivitas di sekitar sungai
jarang sekali ditemui di Kelurahan Waringin Jaya, masyarakat setempat lebih
aktif melakukan aktivitas lingkungan di sekitar rumah mereka seperti pembuatan
lubang biopori dan penyuluhan pemilahan sampah. Namun, tidak adanya fasilitas
pembungan sampah di wilayah Kelurahan Waringin Jaya menyebabkan masih
adanya perilaku masyarakat yang menumpuk sampah dipinggir sungai dan
menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan mereka (Gambar 8).
.

11

a

b

c

Gambar 8 Kondisi Umum RTB Ciliwung di Kelurahan Waringin Jaya (a, b) RTH
di sekitar bantaran sungai (c) tumpukan sampah warga di bantaran sungai
Kondisi Geografis Kota Jakarta
Kota Jakarta merupakan wilayah yang berada pada ketinggian rata-rata 7
meter di atas permukaan laut dengan luas wilayah sekitar 661,52 km². Pada
umumnya, Kota Jakarta merupakan kota yang beriklim panas memiliki suhu udara
berkisar antara 23,8-34°C dan curah hujan 237,96 mm/tahun (Perda DKI Jakarta
No. 1 Tahun 2008). Kota Jakarta memiliki sebaran luas DAS Ciliwung terbesar
kedua setelah Kabupaten Bogor, yaitu sebesar 9517,8 ha (BPDAS Citarum
Ciliwung, 2013). Sungai Cilwung mengalir ditengah-tengah Kota Jakarta dan
bermuara di Teluk Jakarta. Daerah bantaran Sungai di Kota Jakarta dikelilingi
oleh permukiman kumuh padat penduduk yang menjadikan sungai sebagai bagian
belakang dari tempat tinggal mereka (water back landscape). Terdapat 21
kecamatan yang dilalui oleh Sungai Ciliwung, dua diantaranya seringkali terjadi
banjir yaitu Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan dan
Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur telah dipilih
sebagai lokasi sampel dalam penelitian ini (Tabel 5).
Tabel 5 Data umum masing-masing kelurahan di Kota Jakarta
No.
1.
2.

Kecamatan
Tebet
(Jakarta Selatan)
Jatinegara (Jakarta
Timur)

Kelurahan
Bukit Duri
Kampung Melayu

Luas (ha)
108

Jumlah Penduduk (jiwa)
41.860

48

30.416

Sumber : BPS Kota Jakarta timur dan Jakarta Selatan (2015)

Kelurahan Bukit Duri dan Kelurahan Kampung Melayu termasuk kedalam
wilayah permukiman yang padat penduduk. Akses menuju permukiman di
Kelurahan Bukit Duri termasuk mudah, karena terdapat fasilitas jalan yang dapat
dilalui oleh kendaraan roda empat, sementara akses menuju permukiman di
Kampung Melayu hanya berupa gang-gang kecil yang dapat dilalui dengan
berjalan kaki atau menggunakan kendaraan roda dua. Kedua kelurahan ini terletak
bersebrangan, yakni dibatasi oleh aliran Sungai Ciliwung. Daerah bantaran Sungai
Ciliwung di di kedua kelurahan sudah dipadati oleh deretan rumah tinggal yang
dibangun membelakangi sungai (water back landscape), oleh karena itu kondisi
lanskap RTB pada kedua kelurahan tersebut sangat buruk. Hal ini dibuktikan
dengan tidak adanya lahan ruang terbuka yang tersisa, kualitas air yang tercemar

12

dan berwarna coklat, serta tumpukan sampah di kiri dan kanan sungai (Gambar 9
dan 10). Namun demikian, keberadaan Sungai Ciliwung masih dimanfaatkan oleh
masyarakat setempat sebagai sumber air untuk mencuci, mandi, dan buang air.
Berdasarkan hasil survey lapang, saat ini sebagian wilayah di Kelurahan
Kampung Melayu sedang dilakukan normalisasi sungai sehingga masyarakat yang
bermukim di bantaran sungai sudah di relokasi ke rumah susun. Sementara untuk
wilayah lainnya termasuk Kelurahan Bukit Duri akan di relokasi kemudian

a

c

b

Gambar 9 Kondisi Umum RTB Ciliwung di Kelurahan Bukit Duri (a) sempadan
sungai dipadati oleh bangunan yang membelakangi sungai (b) salah satu alat
transportasi air untuk menyebrangi sungai (c) lahan kosong di pinggir sungai
dijadikan tempat menumpuk barang bekas dan kandang burung

a

b

c

Gambar 10 Kondisi Umum RTB Ciliwung di Kelurahan Kampung Melayu
(a) sempadan sungai dipadati oleh bangunan yang membelakangi sungai
(b, c) tumpukan sampah di kiri dan kanan sungai
Kondisi Demografis
Karakteristik Masyarakat
Karakteristik demografis masyarakat pada masing-masing sampel
kelurahan dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan perhitungan yang mengacu
pada Standar Nasional Indonesia tentang Tata cara perencanaan lingkungan
perumahan di perkotaan (2004), dapat diketahui bahwa ketiga kelurahan di Kota
Bogor dan Kabupaten Bogor termasuk kawasan dengan kepadatan rendah yaitu
kurang dari 150 jiwa per hektar, sementara dua kelurahan di Kota Jakarta

13

termasuk dalam kawasan dengan kategori kepadatan tinggi hingga sangat padat
yaitu berkisar antara 300 sampai lebih dari 400 jiwa per hektar. Data tersebut
menunjukkan bahwa telah terjadinya persebaran penduduk yang tidak merata pada
ketiga lokasi utama yang menjadi wilayah sampel. Persebaran penduduk yang
tidak merata dapat berpengaruh terhadap kualitas lingkungan hidup, yaitu
eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang akan mengganggu
keseimbangan alam. Salah satunya adalah terjadinya perubahan tata guna lahan
untuk kebutuhan kawasan terbangun.
Arifin (2013) menyebutkan bahwa pola perubahan lahan terbesar pada
periode waktu 30 tahun di DAS Ciliwung adalah perubahan dari badan air/RTB
menjadi lahan permukiman yaitu sekitar 76,39% dari total luasan badan air/RTB
yang berubah. Hal tersebut dikarenakan kebutuhan manusia akan lahan yang
semakin besar sementara jumlah lahan semakin terbatas, sehingga lahan-lahan
yang seharusnya dimanfaatkan sebagai kawasan penyangga seperti daerah
bantaran sunagi terkonversi menjadi kawasan permukiman, khususnya bagi
masyarakat dengan pendapatan menengah kebawah. Hal ini menyebabkan
munculnya konsep water back landscape atau membangun fasilitas, infrastuktur,
sarana prasarana, gedung dan bangunan yang selalu membelakangi lanskap badan
air sehingga sungai menjadi bagian belakang, bagian kotor dan tempat
pembuangan segala jenis kotoran (Arifin 2014). Selain itu, Berkembangnya
bantaran sungai sebagai kawasan permukiman membawa dampak menurunnya
fungsi bantaran sungai sebagai retarding pond, ancaman bencana banjir dan tanah
longsor, menurunnya kualitas lingkungan dan fungsi-fungsi lestari kawasan
(Rahmadi 2009) dan terjadilah pencemaran sungai.
Tabel 6 Karakteristik masyarakat berdasarkan jenis kelamin dan kepadatan
penduduk
Jenis Kelamin (jiwa)
Kota/Kelurahan
Kota Bogor
1. Sempur
2. Katulampa
3. Kedunghalang
Kabupaten Bogor
1. Karadenan
2. Sukahati
3. Waringin Jaya
Kota Jakarta
1. Bukit Duri
2. Kampung Melayu

Laki-laki

Perempuan

Jumlah
Penduduk
(jiwa)

Kepadatan
Penduduk
(jiwa/ha)

Rasio Jenis
Kelamin

4023
15834
11405

4030
15587
11103

8.053
31.421
22.508

127,83
63,99
117,23

99,83
101,58
102,72

14138
14009
6075

13362
13015
5809

27.500
27.024
11.884

68,07
57,62
69,91

105,81
107,64
104,58

21313
15701

20545
14715

41.860
30.416

387,59
633,7

104
107

Sumber : BPS Kota Bogor (2015), BPS Kabupaten Bogor (2014), BPS Kota Jakarta selatan dan
Jakarta Timur (2015)

Berdasarkan Tabel 6, diketahui pula jumlah sebaran penduduk
berdasarkan jenis kelamin dan rasio jenis kelamin. Rasio Jenis Kelamin ini
menjelaskan perbandingan antara banyaknya penduduk laki-laki dengan
banyaknya penduduk perempuan pada suatu daerah dan waktu tertentu. Biasanya
dinyatakan dengan banyaknya penduduk laki-laki untuk 100 penduduk perempuan
(BPS 2015). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa rasio jenis kelamin pada
masing-masing kelurahan menunjukkan jumlah penduduk laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan penduduk perempuan, kecuali di Kelurahan Sempur.

14

Dalam analisis demografi, struktur umur penduduk dapat dibedakan
menjadi tiga kelompok, yaitu (a) kelompok umur muda, dibawah 15 tahun; (b)
kelompok umur produktif, usia 15 – 64 tahun; dan (c) kelompok umur tua, usia 65
tahun ke atas (Tjiptoherijanto 2001). Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui bahwa
struktur penduduk pada lokasi penelitian di Kota bogor, Kabupaten Bogor, dan
Kota Jakarta terkonsentrasi pada penduduk dengan usia produktif yaitu pada
rentang umur 15-64 tahun. Responden dalam penelitian ini rata-rata termasuk
penduduk dengan kelompok usia tersebut. Jumlah responden pada penelitian ini
adalah 70 orang, dengan komposisi responden yang berusia 15-64 tahun sebanyak
65 orang dan diatas 65 tahun sebanyak 5 orang.
Tabel 7 Karakteristik Masyarakat Sampel Berdasarkan Usia
Kelurahan
Kota Bogor
1. Sempur
2. Katulampa
3. Kedunghalang
Kabupaten Bogor
1. Karadenan
2. Sukahati
3. Waringin Jaya
Kota Jakarta
1. Bukit Duri
2. Kampung
Melayu

0-14

Usia (tahun)
15-64
jiwa
%

jiwa

%

1627
7662
4079

20,2
26,7
19,3

5729
19627
16311

9409
9677
3866

26
35,8
32,5

11257
8217

30,2
27

>65
jiwa

%

71,3
68,3
77,2

684
1429
732

8.5
5
3,5

25762
16775
7730

71,1
62,1
65,1

1052
575
288

2,9
2,1
2,4

24795
21080

66,4
69,3

1257
1119

3,4
3,7

Sumber : Laporan profil desa dan Kelurahan Sempur (2014), laporan profil desa dan Kelurahan
Katulampa (2012), laporan profil desa dan Kelurahan Kedunghalang (2014), laporan profil desa
dan Kelurahan Karadenan (2015), laporan profil desa dan Kelurahan Sukahati (2015), laporan
profil desa dan Kelurahan Waringin Jaya (2015), laporan profil desa dan Kelurahan Bukit Duri
(2014), laporan profil desa dan Kelurahan Kampung Melayu (2014)

Penduduk dengan usia produktif seharusnya berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup untuk tinggal di lingkungan yang
lebih layak. Namun, tingginya laju pertumbuhan penduduk menyebabkan
tingginya persaingan untuk memperoleh lapangan pekerjaan, sehingga banyak
masyarakat yang tidak memperoleh pekerjaan dan meningkatnya angka
pengangguran. Menurut BKKBN (2013), Pertumbuhan penduduk dewasa ini
mengalami pertumbuhan relatif cepat, yang berimplikasi pada kondisi biofisik
lingkungan, permasalahan ekonomi, kesenjangan sosial dan ketersediaan lahan
yang cukup untuk menopang kesejahteraan hidup manusia. Sementara lahan yang
tersedia bersifat tetap dan tidak bertambah sehingga menambah beban lingkungan.
Daya dukung alam ternyata makin tidak seimbang dengan laju tuntutan
pemenuhan kebutuhan hidup penduduk. Aktivitas seperti eksplorasi dan
eksploitasi sistematis terhadap sumber daya alam dan lingkungan secara terus
menerus dilakukan dengan alasan faktor ekonomi dan sosial. Sebagai contohnya
adalah munculnya konsep water back landscape seperti yang telah disebutkan
diatas, yaitu dibangunnya perumahan kumuh di area pinggir sungai yang
memberikan pengaruh buruk terhadap sungai dan lingkungan.

15

Mata Pencaharian
Kondisi sosial masyarakat pada ketiga lokasi utama yang menjadi wilayah
sampel menunjukkan mata pencaharian yang beragam. Pada ketiga kelurahan
sampel di wilayah Kota Bogor yaitu Kelurahan Sempur, Kelurahan Katulampa
dan Kelurahan Kedunghalang mayoritas bermatapencaharian sebagai karyawan
perusahaan swasta dan pemerintah, Pegawai Negri Sipil (PNS) dan TNI/POLRI,
sehingga masyarakat sulit ditemui ketika hari kerja. Selain itu, ada masyarakat
yang berprofesi sebagai petani dan buruh tani di Kelurahan Katulampa karena
masih terdapat area yang cukup luas untuk bercocok tanam.
Mata pencaharian pada ketiga kelurahan sampel di wilayah Kabupaten
Bogor sedikit berbeda dengan Kota Bogor. Pada Kelurahan Karadenan dan
Kelurahan Sukahati mayoritas bermatapencaharian sebagai pedagang, pengrajin,
buruh industri, dan sebagian kecil berprofesi sebagai PNS dan Petani. Sementara
di Kelurahan Waringin Jaya mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai
petani, baik pemilik lahan, petani penggarap, maupun buruh tani. Semakin
beragamnya mata pencaharian ini juga menjadi faktor sulitnya memperoleh
responden pada hari-hari tertentu, karena jam kerja setiap profesi yang berbeda.
Namun jika dibandingkan dengan Kota Bogor dan Kabupaten Bogor,
pencarian responden di Kota Jakarta khususnya dalam dua kelurahan yang
menjadi wilayah sampel jauh lebih sulit. Hal tersebut disebabkan oleh mata
pencaharian penduduk di Kelurahan Bukit Duri dan Kelurahan Kampung Melayu
di dominasi oleh pedagang, baik sebagai pedagang kecil di pasar maupun home
industry seperti usaha pembuat tempe, tahu, dan tauge, wartel/warnet, salon,
pemilik warung rumahan/toko/bengkel, percetakan spanduk/souvenir, dan
penyalur gas elpiji. Sehingga semakin sulit memperoleh responden karena
mayoritas masyarakat setiap hari bekerja dengan jam pergi dan pulang yang tidak
menentu.

Pendidikan
Berdasarkan tingkat pendidikan, masyarakat yang menjadi responden pada
tiga lokasi utama wilayah sampel cukup bervariasi. Berdasarkan hasil penyebaran
kuesioner secara acak kepada 70 responden pada tiga lokasi utama penelitian,
sebanyak 18% responden lulusan SD, 16% lulusan SMP, 47% lulusan SMA, dan
19% lulusan Perguruan Tinggi/Akademi (Gambar 11). Hasil tersebut menunjukan
bahwa sebagian besar responden yang menjabat sebagai tokoh masyarakat (ketua
RT/RW maupun anggota organisasi) berpendidikan cukup tinggi, meskipun masih
ada sebagian hanya lulusan SD dan SMP. Tingkat pendidikan tersebut diharapkan
mampu meningkatkan pemahaman serta kepedulian responden terhadap RTB dan
ingin turut berpartisipasi dalam mengelola RTB di daerah bantaran Sungai
Ciliwung. Namun, dalam kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum
paham akan pentingnya keberadaaan sungai dan rendahnya kepedulian terhadap
RTB. Hal tersebut dibuktikan dengan minimnya pastisipasi masyarakat dalam
kegiatan lingkungan yang berkaitan dengan sungai.

16

Gambar 11 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
Analisis Persepsi Masyarakat
Persepsi Terhadap Ruang Terbuka Biru
Ruang Terbuka Biru (RTB) adalah cekungan-cekungan, lembah-lembah
yang sangat potensial sebagai wadah menampung air. Mereka bisa berbentuk
kolam/balong, setu/situ, embung, waduk, dam, atau danau serta aliran-aliran air
yang bergerak mulai dari selokan, saluran irigasi, kanal hingga sungai besar yang
dapat menampung air dengan cepat (Arifin 2014).

Gambar 12 Persepsi Masyarakat tentang Istilah Ruang Terbuka Biru
Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner, tampaknya istilah Ruang
Terbuka Biru (RTB) belum terlalu familiar bagi masyarakat di ketiga lokasi
penelitian. Hal ini terlihat dari jawaban responden yaitu di Kota Bogor (97%),
Kabupaten Bogor (95%) dan Kota Jakarta (95%) mengaku tidak pernah
mendengar istilah RTB. Sisanya mengaku pernah mendengar istilah RTB dari

17

televisi dan mahasiswa, baik di Kota Bogor (3%), Kabupaten Bogor (5%),
maupun Kota Jakarta (5%) (Gambar 12).
Pengertian masyarakat tentang Ruang Terbuka Biru jika dilihat dari
persentase rata-rata sebesar 33% berpendapat bahwa RTB terkait dengan langit,
37% berpendapat terkait dengan air, dan sisanya 30% mengatakan tidak tahu apa
yang dimaksud dengan RTB (Gambar 13). Dari hasil tersebut terlihat bahwa
jumlah persentase responden yang menjawab RTB tidak terkait dengan air lebih
besar dibandingkan dengan yang menyebutkan bahwa RTB tekait dengan badan
air. Hasil tersebut menunjukkan bahwa istilah RTB secara umum merupakan
istilah baru bagi masyarakat, sehingga responden memiliki persepsi yang berbedabeda terkait istilah tersebut.

Gambar 13 Persepsi Masyarakat tentang Pengertian Ruang Terbuka Biru
Responden yang menjawab tidak tahu, memberikan berbagai macam
pendapat tentang pengertian RTB sesuai dengan persepsi masing-masing. Tidak
sedikit yang berpendapat bahwa RTB berkaitan dengan lingkungan, kebersihan
dan keindahan, namun tidak menyebutkan berhubungan dengan badan air.
Responden yang menjawab bahwa RTB berkaitan dengan badan air pun masih
belum bisa dikatakan tahu dan paham tentang RTB, karena banyak yang belum
bisa menyebutkan dan menginterpretasikan seperti apa bentuk-bentuk RTB. Hal
tersebut terlihat dari responden yang menyatakan bahwa Sungai Ciliwung tidak
atau belum termasuk salah satu bentuk RTB karena airnya tidak berwarna biru,
melainkan coklat dan kotor. Pengertian sebagian besar masyarakat yang
menjawab RTB berkaitan dengan air bahwa yang termasuk RTB hanyalah badan
air yang berair jernih dan biasanya identik dengan warna biru.

Persepsi Terhadap Lanskap Muka Air dan Lanskap Belakang Air
Lanskap muka air atau sering disebut water front landscape adalah suatu
paradigma dimana bentang lanskap yang menghadap pada muka badan air, dan
diberikan apresiasi tinggi pada bentang badan air dengan menjaga kebersihannya,

18

keindahannya, kenyamanannya, dan keamanannya. Sementara lanskap belakang
air atau water back landscape adalah membangun segala fasilitas, infrastuktur,
sarana prasarana, gedung dan bangunan yang selalu membelakangi lanskap badan
air sehingga sungai menjadi bagian belakang, bagian kotor dan tempat
pembuangan segala jenis kotoran (Arifin 2014). Menurut Arifin (2015),
fenomena water front landscape (WFL) dan water back landscape (WBL) ini
merupakan dua paradigma yang dipengaruhi oleh persepsi, cara pandang dan
perilaku masyarakat dalam mengelola lingkungannya, untuk itu perlu diketahui
apakah kedua istilah terseb