Manajemen Ruang Terbuka Biru Dalam Mewujudkan Masyarakat Rendah Karbon Di Kota Depok
MANAJEMEN RUANG TERBUKA BIRU DALAM MEWUJUDKAN
MASYARAKAT RENDAH KARBON DI KOTA DEPOK
MENISA PUTRI SAVIRA
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Manajemen Ruang
Terbuka Biru dalam Mewujudkan Masyarakat Rendah Karbon di Kota Depok adalah
benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Menisa Putri Savira
NIM A44110010
ABSTRAK
MENISA PUTRI SAVIRA. Manajemen Ruang Terbuka Biru dalam Mewujudkan
Masyarakat Rendah Karbon di Kota Depok. Dibimbing oleh KASWANTO
Penyumbang terbesar emisi karbon pada lanskap adalah pembangunan
perkotaan. Hilangnya ruang terbuka kota termasuk didalamnya Ruang Terbuka Biru
(RTB) adalah salah satu masalah yang ditimbulkan dari kebutuhan pembangunan
kota yang semakin mendesak. Didasari oleh masalah tersebut, penelitian ini
bertujuan untuk menyusun manajemen RTB dalam mewujudkan Masyarakat Rendah
karbon (MRK) khususnya di Kota Depok. Metode survey, wawancara, kuisoner dan
Anallythical Hierarchy Process(AHP) digunakan dalam menyusun manajemen RTB
di Kota Depok. Hasil akhir penilitian ini menghasilkan rencana pengelolaan RTB di
Kota Depok dan penerapan manajemen RTB dalam MRK. Melalui manajemen RTB
ini diharapkan fungsi RTB di Kota Depok dapat teroptimalisasikan dan MRK dapat
terwujud sehingga dalam pembangunannya Kota Depok mampu mengurangi emisi
karbon pada RTB dan berkonstribusi dalam perbaikan iklim yang dimulai dari skala
kota.
Kata Kunci : AHP, Masyarakat Rendah Karbon, Perubahan Iklim, Ruang Terbuka
Biru, Situ
ABSTRACT
MENISA PUTRI SAVIRA .Blue Open Space Management Towards Low Carbon
Society in Depok City. Supervised by KASWANTO
In present time, the biggest contributor to carbon emissions is urban
landscape development. The loss of open spaces in the urban landscape, including the
blue open space (BOS), is one of the problems caused by the increasing demand of
urban development. The BOS is decreasing gradually and starting to be neglected.
Some of the BOS are not managed properly, and tend to be disorganized landscape.
By those issues, this research aimed to develop BOS management towards Low
Carbon Societies (LCS), particularly in Depok City, West Java. Survey methods,
interviews, questionnaires and analysis processusing Analytical Hierarchy Process
(AHP) are used in preparing the BOS management in Depok City.The research final
results produce the BOS management plan and the LCS implementation
strategies for Depok City. The BOS management plan is expected to optimize the
original function of urban landscape, while the LCS strategy is arranged for long
term of urban landscape development. In addition, Depok City would be able to
reduce carbon emissions and contributes to urban climate change improvement.
Keyword : Analytical Hierarchy Process, Blue Open Space, Climate Change, Low
Carbon Society, Situ
MANAJEMEN RUANG TERBUKA BIRU DALAM MEWUJUDKAN
MASYARAKAT RENDAH KARBON DI KOTA DEPOK
MENISA PUTRI SAVIRA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Arsitektur Lanskap
pada
Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu-Wa-Ta’-ala atas
segala karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Manajemen Ruang
Terbuka Biru dalam Mewujudkan Masyarakat Rendah Karbon di Kota Depok” ini
berhasil diselesaikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun manajemen
Ruang Terbuka Biru (RTB) dalam rangka mewujudkan Masyarakat Rendah Karbon
(MRK) di Kota Depok. Dalam penyusunan manajemen RTB, penulis menggunakan
metode survey, wawancara, kuisoner dan Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil
akhir penelitian ini menghasilkan rekomendasi manajemen RTB dan rekomdasi
pelaksanaan MRK di Kota Depok. Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi
rekomedasi bagi pemerintah Kota Depok dalam mengelola RTB dan dapat menjadi
salah satu cara untuk menyelesaikan masalah lingkungan di Kota Depok khususnya
masalah yang berkaitan dengan perubahan iklim kota karena peningkatan jumlah
karbon.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Kaswanto, SP. MSi sebagai
pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis
hingga menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
Prof. Dr. Ir Hadi Susilo Arifin selaku dosen pembimbing akademik, para pakar
responden AHP dari BAPEDDA, BIMASDA, dan FKH Kota Depok, dan kepada
Pemerintah Kota Depok yang sudah ikut mendukung penulis dalam penyusunan
skripsi ini. Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada orang tua dan semua pihak
yang telah banyak membantu sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis, pemerintah Kota Depok
dan masyarakat pada umumnya.
Bogor, September 2015
Menisa Putri Savira
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
Kerangka Pikir
3
TINJAUAN PUSTAKA
4
Pengelolaan Lanskap
4
Ruang Terbuka Biru
4
Lanskap Danau/Situ
5
Siklus Hidrologi
7
Daerah Tangkapan Air/Water Catchment
8
Manajemen Ruang Terbuka Biru
8
Rencana Pengelolaan Lanskap
9
Masyarakat Rendah Karbon
10
METODE
11
Waktu dan Lokasi Penelitian
11
Alat dan Bahan
14
Metode Penelitian
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
18
Inventarisasi Situ di Kota Depok
18
Pengelolaan Situ di Kota Depok
28
Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok
37
Evaluasi Fungsi Ekologi, Ekonomi, Sosial Budaya Situ di Kota Depok
45
Rencana Pengelolaan RTB di Kota Depok
48
Rencana Pengelolaan Lanskap RTB di Kota Depok
61
Rekomendasi MRK dalamManajemen RTB di Kota
66
SIMPULAN
69
Simpulan
70
Saran
71
DAFTAR PUSTAKA
71
GLOSARIUM
74
RIWAYAT HIDUP
100
DAFTAR TABEL
1 Inventarisasi Kondisi Situ di Kota Depok tahun 2009
2 Jadwal Kegiatan Penelitian
3 Alat dan Bahan
4 Data, jenis data, unit, dan sumber data
5 Metode Penelitian
6 Skala Kepentingan Saaty (1993)
7 Responden Pakar AHP
8 Kondisi kualitas air situ di Kota Depok
9 Jenis Pengelolaan dan Pemeliharaan Situ di Kota Depok oleh OPD
10 Jadwal Pemeliharaan pada Situ Rawa Besar, Situ Cilodong,
dan Situ Tipar/Cicadas
11 Aktivitas Pemeliharaan Situ
12 Perubahan Luas Situ di Kota Depok
13 Perhitungan Daya Dukung Kawasan RTB
14 Pekerjaan Pengelolaan RTB di Kota Depok
15 Penghitungan HOK Selama SatuTahun
16 Kebutuhan Tenaga Kerja
17 Rekomendasi Jadwal Pemeliharaan Lanskap RTB di Kota Depok
18 Rekomendasi Pengadaan Alat dan bahan
19 Anggaran Biaya Beban KerjaTahunan
20 Rekomendasi Biaya Pengadaan Alat dan Bahan Pemeliharaan
21 Penghitungan Anggaran Biaya Total Selama Satu Tahun
12
14
15
15
16
17
18
25
30
32
32
33
59
62
63
64
64
65
65
66
66
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pikir Penelitian
2 Lokasi Penelitian
3 Skema Tahapan Penelitian
4 Peta Situ Rawa Besar
5 Peta Situ Cilodong
6 Peta Situ Tipar/Cicadas
7 Peta Ketinggian Kota Depok
8 Peta Topografi Kota Depok
9 Situasi Perairan Situ Rawa Besar
10 Kondisi Hidrologi Situ Cilodong
11 Kondisi Hidrologi Situ Tipar/Cicadas
12 Kondisi Sosial Ekonomi Situ Rawa Besar
13 Kondisi Sosial Ekonomi Situ Cilodong
14 Kondisi Sosial Ekonomi Situ Tipar
15 Pola Manajemen Situ di Kota Depok
16 Perubahan run off akibat perubahan lahan menjadi kedap air
17 Eutrofikasi di Situ Tipar
18 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan usia
19 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan
tingkat pendidikan
20 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan jenis pekerjaan
21 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan tingkat
pendapatan
22 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan moda
transportasi
23 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan sumber
informasi
24 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan tujuan
berkunjung
25 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan lama kunjungan
26 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan jenis aktivitas
27 Persepsi pengunjung terhadap fasilitas situ di Kota Depok
28 Preferensi pengunjung terhadap fasilitas tambahan pada situ di Kota Depok
29 Persepsi pengunjung terhadap fungsi vital dari situ di Kota Depok
30 Persepsi pengunjung terhadap alternatif situ sebagai tempat rekreasi/wisata
31 Kesediaan membayar tiket masuk bagi pengunjung situ di Kota Depok
32 Penilaian pengunjung terhadap fungsi ekologi situ di Kota Depok
33 Penilaian pengunjung terhadap fungsi ekonomi situ di Kota Depok
34 Penilaian pengunjung terhadap fungsi sosial budaya situ di Kota Depok
35 Hierarki AHP Manajemen RTB untukMewujudkan MRK di Kota Depok
36 Sintesis prioritas alternatif dan prioritas komponen pakar MRK
37 Sintesis prioritas alternatif dan prioritas komponen birokrat
3
11
14
18
19
20
21
22
23
24
24
28
28
28
29
34
35
37
38
38
39
40
40
41
42
42
43
43
44
44
45
46
47
47
50
51
52
38 Sintesis prioritas alternatif praktisi
39 Sintesis prioritas komponen praktisi
40 Sintesis tergabung
41 Grafik sensitivitas kinerja dan sensitivitas dinamis manajemen RTB untuk
mewujudkan MRK di Kota Depok
42 Grafik sensitivitas gradient terhadap manajemen RTB untuk mewujudkan
MRK di Kota Depok
43 Sintesis prioritas alternatif keseluruhan
44 Zonasi tata ruang situ di Kota Depok
45 Rekomendasi struktur organisasi pengelola RTB di Kota Depok
46 Skenario MRK dalammanajemen RTB di Kota Depok
52
53
53
54
55
55
57
62
70
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuisoner karakteristik pengunjung situ di Kota Depok
2 Kuisoner AHP untuk responden pakar
76
81
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan perkotaan dan perubahan iklim kota merupakan dua hal
yang saling berhubungan secara timbal balik. Pembangunan kota merupakan
penyumbang terbesar emisi karbon dalam lanskap dan pada akhirnya
menyebabkan perubahan iklim kota yang berdampak langsung pada
meningkatnya efek rumah kaca di perkotaan (UNEP 2013). Untuk mengurangi
efek rumah kaca di perkotaan, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan membentuk Masyarakat Rendah Karbon (MRK). Melalui pembentukan
MRK, diharapkan efek rumah kaca secara global dapat menurun 50% hingga
tahun 2050 (NIES 2014). Salah satu prinsip MRK menurut National Institute for
Environmental Studies (2006) adalah hidup berdampingan dengan alam
(coexistence with nature). Namun, pembangunan kota-kota besar di Indonesia
sering mengabaikan prinsip ini sehingga MRK sulit untuk diwujudkan.
Salah satu kota besar dengan pembangunan perkotaan yang tinggi di
Indonesia adalah Kota Depok. Kota Depok adalah kota yang menjadi buffer atau
penyangga bagi Kota Bogor dan Kota Jakarta. Pembangunan Kota Depok masih
mengabaikan prinsip coexistence with nature. Hal ini terlihat dari banyaknya alih
fungsi lahan untuk menunjang kegiatan perkotaan dan pada akhirnya
meningkatkan efek rumah kaca di kawasan kota. Salah satu lahan yang dialih
fungsikan untuk menunjang kebutuhan lahan yang tinggi di Kota Depok adalah
Ruang Terbuka Biru (RTB) yang merupakan sebuah cekungan-cekungan, lembahlembah yang sangat potensial sebagai wadah untuk menampung air dan dapat
berbentuk situ/setu (Arifin et al 2014). Mengacu pada dokumen Rencana Tata
Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Depok 2000-2010, situ di Kota Depok
berjumlah 26 situ. Namun, kondisi situ di Kota Depok ini sangat memprihatinkan.
Sebanyak 3 dari 26 situ yang kondisinya paling memprihatinkan adalah Situ Rawa
Besar, Situ Cilodong, dan Situ Cicadas/Tipar.
Situ-situ tersebut sebenarnya memliki fungsi ekonomi, fungsi sosial
budaya, dan fungsi ekologis. Puspita et al. (2005) menyebutkan bahwa secara
ekologis, fungsi situ adalah sebagai habitat tumbuhan dan hewan, menjaga fungsifungsi hidrologis, serta menjaga sistem dan proses-proses alami. Melihat dari
fungsi ekologis tersebut, situ sangat berpotensi untuk mengurangi emisi karbon
pada lanskap dan secara tidak langsung dapat menurunkan efek rumah kaca
apabila situ dikelola dengan baik. Namun, Kota Depok belum memiliki sistem
pengelolaan RTB yang dapat mengoptimalkan fungsi-fungsi situ secara
keseluruhan. Oleh karena itu, dibutuhkan penyusunan manajemen RTB di Kota
Depok agar optimalisasi fungsi-fungsi situ di Kota Depok dapat tercapai. Selain
untuk optimalisasi fungsi-fungsi situ, melalui manajemen RTB ini diharapkan
MRK di Kota Depok dapat terwujud sehingga dalam pembangunannya Kota
Depok mampu mengurangi emisi karbon pada lanskap dan berkonstribusi dalam
menurunkan efek rumah kaca yang dimulai dari skala kota.
2
Perumusan Masalah
Isu lingkungan seperti pemanasan global dan efek rumah kaca mendorong
kota-kota besar untuk mewujudkan MRK sebagai salah satu upaya dalam
berkonstribusi mengurangi emisi karbon dan menurunkan efek rumah kaca di
kawasan perkotaan. Dalam mewujudkan MRK melalui manajemen RTB di Kota
Depok diperlukan beberapa perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi eksisting dan pengelolaan situ di Kota Depok
2. Bagaimana kondisi fungsi vital situ di Kota Depok dan Apakah fungsi
ekonomi, ekologi dan sosial budaya tiga situ di Kota Depok berjalan
secara optimal
3. Komponen penting apa yang diperlukan untuk menyusun rencana
manajemen RTB dalam mewujudkan MRK di Kota Depok
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Identifikasi dan inventarisasi kondisi umum pada tiga situ di Kota Depok
2. Identifikasi dan evaluasi pola manajemen serta fungsi vital RTB
(ekologi-ekonomi-sosial budaya) pada tiga situ di Kota Depok
3. Menyusun rencana manajemen RTB pada tiga situ dalam mewujudkan
MRK di Kota Depok
4. Menyusun rekomendasi MRK dalam manajemen RTB di Kota Depok
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu rekomendasi bagi
pemerintah dalam melakukan manajemen RTB di Kota Depok dan dapat menjadi
solusi untuk menyelesaikan masalah lingkungan maupun masyarakat yang
berkaitan dengan RTB. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat mengurangi
efek rumah kaca di kawasan perkotaan dan dapat mewujudkan masyarakat rendah
karbon di Kota Depok melalui manajemen RTB.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi oleh ruang lingkup kawasan dan
ruang lingkup kajian. Ruang lingkup kawasan penelitian ini dibatasi oleh
pemilihan tiga situ di Kota Depok sebagai sampel lokasi penelitian yaitu Situ
Rawa Besar, Situ Cilodong, dan Situ Cicadas/Tipar. Ruang lingkup kajian dibatasi
oleh kajian pada aspek fisik, biofisik, sosial-budaya, kependudukan, pola
manajemen situ dan komponen pembentuk fungsi vital RTB (fungsi ekonomiekologi-sosial budaya) pada sampel lokasi penelitian serta kajian mengenai
prinsip yang membentuk MRK.
3
Kerangka Pikir Penelitian
Ruang Terbuka Biru (RTB) salah satunya berbentuk setu/situ (Puspita et al
2005). Setiap kota umumnya memiliki RTB termasuk Kota Depok. Pembangunan
Kota Depok yang tidak berdampingan dengan lingkungan mengakibatkan alih
fungsi RTB di Kota Depok sangat tinggi. Akibatnya pembangunan di Kota Depok
turut menyumbang emisi karbon dan meningkatkan efek rumah kaca di kawasan
perkotaan. Didasarkan pada masalah tersebut, kerangka pikir penelitian
manajemen RTB dalam mewujudkan MRK di Kota Depok dijelaskan pada
Gambar 1.
RTB Kota Depok
Tiga Situ di Kota Depok
Fungsi Vital Situ
Fungsi Ekonomi
Fungsi Ekologi
Fungsi Sosial Budaya
Pembangunan kota yang tidak
berdampingan dengan lingkungan
Alih fungsi RTB
Penurunan fungsi vital
RTrtRTB
Peningkatan emisi karbon dan
efek rumah kaca di Kota Depok
Dibutuhkan manajemen RTB
di Kota Depok
Pembentukan Masyarakat
Rendah Karbon (MRK) di Kota
Manajemen RTB dalam Mewujudkan Masyarakat Rendah
Karbon di Kota Depok
Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Lanskap
Pengelolaan adalah proses merencanakan, mengorganisasikan,
memimpin, dan mengendalikan pekerjaan anggota organisasi dengan
menggunakan semua sumber daya organisasi untuk mencapai sasaran organisasi
yang sudah ditetapkan (Stoner et al. 1996). Proses dalam melakukan sebuah
pengelolaan akan terdiri dari empat proses yaitu mengatur objek, melakukan
perencanaan operasional, pelaksanaan dan
memonitor pelaksanaan hingga
perencanaan ulang. Dalam lanskap, proses dari perencanaan hingga pelaksanaan,
dan pekerjaan berhari-hari dalam melakukan pengelolaan merupakan bagian
yang menyita energi, waktu, hingga uang yang cukup banyak. Proses
pengelolaan lanskap merupakan bagian yang sangat penting karena mencakup
keseluruhan proses dan membutuhkan perhatian secara menyeluruh secara
objektif (Parker dan Bryan 1989).
Pengelolaan lanskap adalah upaya terpadu dalam penataan dan
pemanfaatan, pemeliharaan, pelestarian, pengendalian, dan pengembangan
lingkungan hidup sehingga tercipta lanskap yang bermanfaat bagi manusia dan
makhluk hidup lainnya (Arifin dan Arifin 2005). Selain itu, Dariati (2011)
mengungkapkan bahwa pengelolaan adalah tindakan yang dilakukan untuk
mengamankan dan menyelamatkan suatu lanskap secara efisien dan terarah,
dalam upaya pelestarian dan keberlanjutannya, meliputi sumber daya fisik dan
biofisik, lingkungan binaan yang sesuai dengan undang-undang yang
berlaku. Pengelolaan dalam arti luas meliputi aspek administrasi, penanganan
masalah, cara penanggulangan, pengembangan, dan pengendaliannya.
Menurut Dariati (2011), pengelolaan meliputi kegiatan-kegiatan:
preservasi, proteksi, perawatan, pemeliharaan, dan rehabilitasi, dengan
penjelasan sebagai berikut:
1. Preservasi : Proses melestarikan sesuatu yang unik dan dilaksanakan jika
sudah ada ancaman
2. Proteksi : Proses melindungi suatu lanskap terhadap gangguan-gangguan yang
dapat merusak.
3. Perawatan : Perawatan adalah proses memelihara lanskap yang ada agar tetap
baik dan bersifat statis.
4. Pemeliharaan : Pemeliharaan adalah proses memelihara lanskap dengan
berusaha meningkatkan mutunya dan bersifat dinamis.
5. Rehabilitasi : Rehabilitasi adalah memperbaiki lanskap yangrusak.
Pengelolaan lanskap berkelanjutan adalah usaha manusia dalam mengubah/
mengatur, dan menata ekosistem/lanskap agar manusia memperoleh manfaat
yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksinya/keberadaannya
(dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan energi).
Ruang Terbuka Biru (Blue Open Space)
Ruang terbuka biru merupakan bagian dari ruang terbuka publik
yang disebut ruang terbuka non-hijau (RTNH) yang dapat berupa permukaan
sungai, danau maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai genangan retensi.
5
Di bumi, air bergerak dengan berbagai cara dan pada retensi (area penyimpanan)
air akan menetap dan tinggal untuk sementara waktu. Beberapa retensi
dapat berupa retensi alam seperti daerah-daerah cekungan, danau, atau
tempat yang rendah maupun retensi buatan manusia seperti tampungan, sumur,
embung dan waduk (Kodoatie dan Sjarief 2008).
Ruang terbuka biru (RTB) merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau
(RTH) dimana RTB memiliki fungsi yang penting baik dalam fungsi ekologi,
ekonomi maupun fungsi sosial budaya. Fungsi vital RTB adalah sebagai wadah
penampung air untuk mencegah bajir dan menjadi lumbung air pada musim
kemarau tiba. Aturan mengenai RTB sudah sangat jelas. Beberapa aturan yang
mengatur tentang RTB adalah UU Nomor 23/1997 tentang Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Air, UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, serta Permendagri
Nomor 1/2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan.
Lanskap Danau/Situ
Perairan situ dan embung merupakan salah satu ekosistem perairan
tergenang yang umumnya berair tawar dan berukuran relatif kecil. Istilah “situ”
biasanya digunakan masyarakat Jawa Barat untuk sebutan “danau kecil”. Di
beberapa daerah, situ terkadang disebut juga
“embung”. Ukuran
situ/embung yang relatif kecil menyebabkan keberadaannya terancam oleh
tingginya laju sedimentasi. Aktifitas masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS)
dan wilayah tangkapan air situ/embung sangat berpengaruh pada proses
pendangkalan situ/embung (Puspita et al. 2005).
Situ adalah wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk
secara alami maupun buatan, sumber airnya berasal dari mata air, air hujan,
dan/atau limpasan air permukaan (Puspita et al. 2005). Sedangkan embung
secara definitif merupakan kolam berbentuk persegi empat (atau hampir persegi
empat) yang menampung air hujan dan air limpasan di lahan sawah tadah hujan
yang berdrainase baik. Pada PP No. 77 Tahun 2001 tentang irigasi, embung
disebut juga waduk lapangan dan didefinisikan sebagai tempat/wadah
penampung air irigasi pada waktu terjadi surplus air di sungai atau pada saat
hujan.
Puspita et al. (2005) mengungkapkan bahwa situ alami dan buatan
memiliki perbedaan utama yang terletak pada proses pembentukannya. Situ
alami adalah situ yang terbentuk karena proses alam sedangkan situ buatan
adalah situ yang terbentuk karena aktivitas manusia (baik disengaja ataupun
tidak). Sementara embung pada dasarnya merupakan perairan tergenang yang
sengaja dibangun untuk menampung air hujan dan air limpasan, dan terutama
dibangun pada daerah yang kekurangan air atau berpotensi besar mengalami
kekeringan. Dalam perkembangannya, seringkali masyarakat sudah tidak dapat
membedakan antara situ alami, situ buatan, dan embung; karena setelah kurun
waktu beberapa tahun kondisi ekologis ketiga macam ekosistem tergenang itu
terlihat sama.
6
1. Fungsi Ekologis Situ/Embung (Puspita et al. 2005)
Habitat bagi berbagai jenis tumbuhan dan hewan
Ekosistem situ dan embung merupakan tempat hidup, mencari makan, dan
berkembang biak berbagai jenis tumbuhan dan hewan. Bahkan beberapa jenis
diantaranya merupakan jenis hewan dan tumbuhan yang endemik dan dilindungi.
Pengatur fungsi hidrologis
Keberadaan situ dan embung sangat erat kaitannya dengan air dan siklus
hidrologis di bumi. Secara alami situ dan embung merupakan cekungan yang
dapat menampung air tanah dan limpasan air permukaan. Dengan demikian
keberadaan situ dan embung dapat mencegah terjadinya bencana banjir pada
musim penghujan dan mencegah terjadinya kekeringan pada musim kemarau.
Situ dan embung juga dapat mencegah meluasnya intrusi air laut ke daratan
karena situ dan embung merupakan pemasok air tanah. Selain pemasok air tanah,
situ/embung juga merupakan pemasok air bagi kantung-kantung air lain seperti
sungai, rawa, dan sawah. Dengan demikian pembangunan embung dapat menjadi
sumber air bagi sumur-sumur pantek atau bor di sekitarnya. Embung yang sudah
kering juga dapat dijadikan sumur bor yang menghasilkan air.
Menjaga sistem dan proses-proses alami
Keberadaan ekosistem situ dan embung dapat menjaga kelangsungan
sistem dan proses-proses ekologi, geomorfologi dan geologi yang terjadi di alam.
Sebagai contoh, dataran banjir di sekitar situ banyak dijadikan lahan pertanian
karena tanahnya subur; kesuburan ini disebabkan adanya proses penambahan
unsur hara dari hasil sedimentasi. Situ dan embung juga secara tidak langsung
berperan sebagai penghasil oksigen melalui proses fotosintesa oleh berbagai jenis
fitoplankton yang hidup di dalamnya.
2.
Fungsi Ekonomis Situ/Embung (Puspita et al. 2005)
Penghasil berbagai jenis sumber daya alam bernilai ekonomis
Ekosistem situ kaya akan berbagai jenis sumber daya alam (hewan
ataupun tumbuhan) bernilai ekonomis, baik yang bersifat liar maupun yang
dibudidayakan; selain itu situ/embung juga dapat berperan sebagai sumber
plasma nutfah. Ikan, udang, dan katak merupakan beberapa jenis hewan bernilai
ekonomis yang dapat ditemukan di situ/embung. Berbagai jenis tumbuhan air
yang hidup di situ/embung ada yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias
dan ada juga yang dapat dijadikan bahan makanan bagi manusia dan ternak.
Selain itu tumbuhan kayu yang hidup di sekitar ekosistem situ/embung juga dapat
dijadikan bahan bangunan ataupun arang.
Penghasil energi
Situ yang memiliki volume air cukup besar juga dapat dimanfaatkan
sebagai PLTA. PLTA ini merupakan sumber energi yang dapat dimanfaatkan
langsung oleh masyarakat untuk mendukung kehidupan sehari-hari masyarakat.
7
Sarana wisata dan olah raga
Situ dengan pemandangan alam yang indah menjadi salah satu potensi
bagi kegiatan wisata. Selain itu perairan situ atau embung yang relatif luas juga
dapat dijadikan areal kegiatan olahraga air seperti memancing, mendayung, dan
ski air.
Sumber air
Embung dan situ yang merupakan penampung air hujan dan limpasan air
permukaan dapat dijadikan sumber air bagi masyarakat setempat baik untuk
kebutuhan air minum, pengairan sawah (irigasi), maupun peternakan. Keberadaan
embung dalam jangka panjang diharapkan dapat menaikkan muka air tanah
sehingga pada daerah di sekitarnya dapat dibuat sumur.
3. Fungsi Sosial Budaya Situ/Embung (Puspita et al. 2005)
Keberadaan situ dan embung dapat sangat mempengaruhi kondisi sosial
budaya masyarakat sekitar. Sebagai contoh, kondisi dan sumber daya hayati situ
yang dapat dimanfaatkan, baik melalui kegiatan penangkapan maupun kegiatan
budidaya, secara langsung akan mempengaruhi mata pencaharian masyarakat
setempat. Selain mata pencaharian, kondisi budaya masyarakat sekitar juga
dapat sangat dipengaruhi oleh keberadaan situ.
Siklus Hidrologi
Keberadaan air di kawasan danau/situ tidak terlepas dari sebuah proses
alam yang berjalan secara terus-menerus. Proses tersebut adalah siklus hidrologi.
Aliran air yang masuk ke danau/situ berasal dari air hujan, aliran permukaan
tanah, baik yang melewati sungai-sungai kecil maupun dari lahan di pinggiran
danau/situ, serta berasal dari aliran bawah permukaan tanah (interflow) dan air
tanah (groundwater flow). Air yang keluar dari danau/situ berasal dari outlet,
evaporasi maupun aliran air tanah. Proses-proses yang saling berkaitan antar satu
sama lain yaitu proses hujan (presipitasi), penguapan (evaporasi), transpirasi,
infiltrasi, perkolasi, aliran limpasan (run off) dan aliran bawah tanah. Prosesproses tersebut merupakan sebuah siklus yang berjalan secara terus-menerus
dalam sebuah siklus hidrologi (Kodoatie dan Sjarief 2008).
Air yang menjadi bagian dari siklus hidrologi merupakan sumber air yang
abadi. Keberadaannya harus dijaga dan dilestarikan. Air adalah sumberdaya alam
yang sangat berpengaruh bagi manusia beserta makhluk hidup lainnya. Air
memiliki peran yang sangat penting. Oleh karena itu, air akan mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh berbagai kondisi dan komponen. Definisi dari air adalah sebuah
sumberdaya terbarukan. Perubahan pola tata ruang dan tata lahan akan
mempengaruhi jumlah air yang mampu diserap oleh permukaan hutan maupun
permukaan tanah. Pembukaan lahan yang berlebihan akan meningkatkan suhu
sehingga penguapan air akan meningkat. Pengendalian yang buruk terhadap
limbah yang masuk ke dalam badan air akan mematikan flora dan fauna akuatik
yang hidup di tepi maupun di badan air (Ubaidillah dan Maryanto 2003).
8
Daerah Tangkapan Air/ Water Catchment
Daerah Tangkapan Air (DTA) merupakan suatu ekosistem dengan
unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan
sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam (Asdak 1995).
Menurut direktori istilah pekerjaan umum Kementrian Pekerjaan Umum
DTA/water catchment adalah suatu daerah yang dibatasi oleh pembatas
topografi berupa punggung- punggung bukit atau gunung yang menampung air
hujan yang jatuh di atasnya dan kemudian mengalirkannya melalui anak sungai
dan sungai ke laut atau ke danau.
Daerah Tangkapan Air merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan
satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke
danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah
topografis yang dapat berupa punggung-punggung bukit atau gunung dan batas
di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Catchment area dapat dikatakan menjadi suatu ekosistem dimana terdapat
banyak aliran sungai, daerah hutan dan komponen penyusun ekosistem lainnya
termasuk sumber daya alam. Namun, komponen yang terpenting adalah air, yang
merupakan zat cair yang terdapat di atas ataupun di bawah permukaan tanah,
termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut
yang berada di darat (Kodoatie dan Sjarief 2008).
Manajemen Ruang Terbuka Biru
Manajemen RTB erat kaitannya dengan pengelolaan sumber daya air.
Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 Pengelolaan sumber daya air adalah
upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi
penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya
air, dan pengendalian daya rusak air. Rencana pengelolaan sumber daya air
adalah hasil perencanaan secara menyeluruh dan terpadu yang diperlukan untuk
menyelenggarakan pengelolaan sumber daya air.
Dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang pengelolaan sumber
daya air, pengelolaan sumber daya air didasari oleh asas kelestarian,
keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan,
kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Sumber daya air dikelola
secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan
mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar
besar kemakmuran rakyat.Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan
hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras dalam
pengelolaannya.
Menurut Ayres (1997) dalam Basuki (2005), permasalahan yang sering
terjadi dalam pengelolaan kawasan perairan tergenang termasuk situ dan
ekosistemnya antara lain:
1. Polusi air
2. Bahan-bahan pencemar yang mengancam danau
3. Pemakaian air, konservasi air, reklamasi danau dan waduk
4. Perubahan lingkungan perairan
9
Permasalahan-permasalahan tersebut memperburuk kondisi situ sehingga
situ memerlukan pengelolaan secara berkelanjutan dengan tetap memperbaiki
fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya yang dimiliki oleh situ. Pengelolaan
secara lintas sektoral dan kemitraan dengan masyarakat juga penting untuk
dilakukan.
Dalam upaya mengelola dan mempertahankan situ atau danau-danau
dangkal perlu dipahami karakteristik sistem perairan tersebut mengingat
perairan situ merupakan suatu ekosistem tersendiri yang terdiri dari komponekomponen biotik, abiotik dan saling berinteraksi serta sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor dari luar system perairan. Oleh karena itu dalam memperbaiki situ
tidak hanya memperhatikan satu komponen saja seperti komponen fisik, tetapi
juga mempertimbangkan keseimbangan ekologi (Ubaidillah dan Maryanto 2003).
Rencana Pengelolaan Lanskap
Rencana pengelolaan sebuah lanskap merupakan bagian dalam kegiatan
pengelolaan pada umumnya. Kraus dan Curtis (1982) menyebutkan bahwa
pengelolaan atau manajemen merupakan suatu proses dari konsep, teori, dan
analisis tujuan, yang dengan itu menejer merencanakan, mengatur, memimpin
dan menjalankan tujuan tersebut melalui usaha manusia secara sistematis,
koordinatif, dan saling kerja sama. Rencana pengelolaan adalah sebuah blue print
dalam menjalankan sebuah fungsi organisasi, baik untuk keseharian maupun
untuk jangka panjang. Rencana pengelolaan merupakan metode standar untuk
melakuka berbagai hal dalam sebuah organisasi seperti pendanaan, pemeliharaan
pekerjaan, pemilihan tenaga kerja beserta hak dan kewajibannya sesuai dengan
organisasi yang sedang beroperasi. Dalam lanskap, rencana pengelolaan ini
dijadikan acuan dalam melakukan kegiatan pengelolaan selanjutnya.
Menurut Arifin dan Arifin (2005), dalam proses mencapai efektivitas di
dalam pemeliharaan, hendaknya diperhatikan beberapa hal prinsip dalam
pemeliharaan taman. Prinsip pemeliharaan tersebut adalah :
1. Penetapan tujuan dan standar pemeliharaan,
2. Pemeliharaan harus dilaksanakan secara ekonomis, baik waktu, tenaga
kerja, peralatam maupun bahan,
3. Operasional pemeliharaan hendaknya didasarkan pada rencana
pemeliharaan tertulis yang bersifat logis,
4. Jadwal pekerjaan pemeliharaan taman harus didasarkan pada kebijakan
dan prioritas yang benar dalam pemeliharaan taman,
5. Pemeliharaan pencegahan perlu ditekankan,
6. Pengelola pemeliharaan taman harus diorganisir dengan baik,
7. Sumber dana yang cukup dapat mendukung program pemeliharaan yang
telah ditetapkan,
8. Penyediaan tenaga kerja yang cukup sangat penting untuk melaksanakan
fungsi pemeliharaan
9. Program pemeliharaan harus dirancang untuk melindungi lingkungan
alami,
10. Pengelola pemeliharaan taman harus bertanggung jawab terhadap
keamanan umum dan para operator taman,
11. Pemeliharaan dijadikan pertimbangan utama dalam perancangan dan
10
pembangunan taman,
12. Para operator pemelihara harus bertanggungjawab terhadap pengelola
pemeliharaan taman.
Masyarakat Rendah Karbon
Dalam mengatasi masalah lingkungan yang terjadi dewasa ini, Masyarakat
Rendah Karbon (MRK) dapat menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan
masalah lingkungan. Pengertian dari MRK menurut National Institute for
Environmental Studies (2006) adalah sebagai berikut :
1. Melakukan tindakan yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan
(sustainable development - SD), meyakinkan bahwa kebutuhan pembangunan
dari seluruh lapisan masyarakat dapat terpenuhi dengan baik.
2. Melakukan kontribusi nyata secara global untuk mempertahankan kestabilan
udara dalam atmosfir terkait konsentrasi CO2 dan gas rumah kaca lainnya,
pada level yang tidak membahayakan bagi lingkungan dan makhluk hidup di
dalamnya.
3. Mendemonstrasikan efektifitas penggunaan energi secara baik dan
menggunakan sumber energi yang rendah-karbon dan berteknologi ramah
lingkungan
Dalam mewujudkan MRK, prinsip-prinsip MRK (National Institute for
Environmental Studies 2006) adalah minimalisasi karbon di semua sektor
kehidupan (carbon minimization in all sectors), hidup sederhana yang mampu
mewujudkan kualitas hidup yang makin baik (simpler life style that realizes
richer QOL, quality of life), dan hidup berdampingan dengan alam (coexistence
with nature). National Institute for Environmental Studies (2006) menyebutkan
bahwa beberapa cara awal yang dapat dilakukan untuk mewujudkan konsep
MRK adalah
1. Mengidentifikai dan memahami keperluan penurunan konsentrasi gas rumah
kaca pada tahun 2050 berdasarkan studi ilmiah,
2. Mengevaluasi ulasan-ulasan mengenai tingkat konsentrasi gas rumah kaca di
negara maju maupun negara berkembang,
3. Menyeleraskan pembangunan berkelanjutan melalui objektif iklim,
4. Melakukan penelitian untuk menyusun metodologi dalam mewujudkan
konsep MRK,
5. Mengidentifikasi kesenjangan antara tujuan pengembangan skenario MRK di
negara berkembang dengan realitas yang terjadi pada saat ini,
6. Mengidentifikasi peluang kerjasama dan mencari cara terbaik untuk
melakukan kerja sama dengan berbagai negara baik di tingkat global dan
regional untuk memperkenalkan konsep MRK.
Keenam cara diatas ditempuh untuk mencapai dua tujan utama MRK yaitu (1)
untuk menunjukkan dan meningkatkan manfaat dari transisi masyarakat ke MRK
melalui pembangunan berkelanjutan, (2) mengembangkan rekomendasi untuk
memperkecil kesenjangan yang terjadi antara skenario bisnis dan masyarakat
rendah karbon. Tujuan pertama dapat menunjukkan bahwa masyarakat rendah
karbon berhubungan dengan kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan,
ekonomi, pembangunan, dan energi. Konsep MRK juga melibatkan berbagai
macam pemangku kepentingan (termasuk pemimpin bisnis, pembuat kebijakan,
11
akademisi dan LSM) dalam membantu meningkatkan kesadaran masyarakat
terhadap konsep masyarakat rendah karbon dan menyebarkan informasi mengenai
masyarakat rendah karbon. Tujuan kedua menunjukkan bahwa sektor-sektor besar
dapat ikut serta dalam berkonstribusi mewujudkan konsep masyarakat rendah
karbon. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk ikut berkonstribusi dalam
penerapan MRK adalah 1) melakukan eksplorasi mengenai pengertian dan
manfaat MRK serta contoh yang dapat diterapkan, dan 2) menyusun kebijakan
dalam penerapan MRK dengan melakukan pertimbangan terhadap waktu dan
aksi-aksi yang dapat dikerjakan dengan cepat.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Depok dengan memilih tiga dari dua puluh
enam situ sebagai sampel yang mewakili populasi situ di Kota Depok. Situ yang
menjadi lokasi penelitian berada di tiga kecamatan berbeda. Lokasi pertama
adalah Situ Rawa Besar, terletak di Kecamatan Pancoran Mas, Kelurahan Depok.
Lalu Situ Cilodong yang terletak di Kecamatan Sukmajaya, Kelurahan Kalibaru,
dan lokasi terakhir adalah Situ Tipar/Cicadas, Kecamatan Cimanggis, Kelurahan
Mekarsari (Gambar 2). Situ Tipar/Cicadas selanjutnya akan disebut Situ Tipar.
Pemilihan lokasi penelitian ini didasari oleh hasil fisibilitas studi dan status situ di
Kota Depok pada tahun 2009 dengan mengacu pada status situ dengan luasan
terbesar dan kondisi yang terburuk (Tabel 1).
c
a
b
Gambar 2 Lokasi Penelitian (a) Situ Rawa Besar, (b) Situ Cilodong, dan
(c) Situ Tipar
12
Tabel 1 Inventarisasi Kondisi Situ di Kota Depok Tahun 2009
Kecamatan/
Kelurahan
I. Cimanggis
1. Harjamukti
Nama Situ
Luas
(ha)
Kedalaman
(m)
-
-
2. Buperta
7,20
2-4
2. Mekarsari
3. Tipar/Cicadas
11,32
2-3
3. Tugu
4. Pedongkelan
6,25
2-5
4. Cisalak Pasar
5. Gadog
1,30
1-5
5. Curug
6. Rawa Kalong
8,25
1-3
6. Tapos
7. Patinggi
5,50
1
7. Jatijajar
8. Jatijajar
6,50
1-4
8. Cilangkap
9. Cilangkap
6,00
1-2
1. Gede
Jumlah Situ
II. Pancoran Mas
1. Rangkepan Jaya
1. Asih pulo *)
2,00
2-3
2. Depok
2. Rawa Besar
17,0
1-2
3. Bojong Pondok
Terong
3. Citayam
6,00
2-4
4. Pancoran Mas
4. Pitara
0,20
1-4
5. Pancoran Mas
0,60
1-4
Jumlah Situ
III. Sawangan
1. Sawangan
2. Pengasinan
Jumlah Situ
Keterangan/Kondisi Permasalahan
Sudah dikembangkan menjadi pondok
pesantren
Kondisi situ terawat, perlu pengerukan,
retaining wall & saluran gendong
Pencemaran limbah domestik &
industri, banyak sampah & gulma air,
pendangkalan situ
Sebagian situ untuk keramba,
pencemaran limbah domestik &
industri, pendangkalan situ & gulma air
Sebagian situ untuk keramba,
pencemaran limbah domestik &
industri, RPH, pendangkalan situ &
gulma air
Sebagian situ untuk keramba,
pencemaran limbah domestik &
industri, banyak gulma air
Eksploitasi penangkapan ikan oleh
masyarakat sekitar & pendangkalan situ
Sebagian situ untuk keramba & saung
apung, pencemaran limbah domestik,
banyak sampah & gulma air
Sebagian lahan situ untuk keramba,
pencemaran limbah domestik,
pendangkalan situ & banyak sampah
9
Perlu retaining wall, perbaikan
inlet/outlet & pengerukan
Pencemaran limbah domestik, air
hitam, banyak sampah & gulma air.
Perlu pengembangan untuk wisata dan
pembebasan lahan sempadan sebesar 50
m
Penggunaan sebagian badan air untuk
keramba, sempadan menjadi rumah
masyarakat sekitar
Air bersih, tidak pernah kering, ada
mata air, banyak sampah, batas tidak
jelas
Tercemar limbah domestic,
pendangkalan, masih terdapat mata air
5
1. Bojong
Sari/Sawangan
8,25
3–4
Ditumbuhi eceng gondok dan gulma air
2. Pengasinan
6,00
1–4
Sudah direhabilitasi, terawat, air bersih,
sarana rekreasi, sempadan
dimanfaatkan untuk usaha tanaman hias
2
13
Tabel 1 Inventarisasi Kondisi Situ di Kota Depok Tahun 2009 (lanjutan)
Kecamatan/
Kelurahan
IV. Beji
1. Beji
Nama Situ
Luas
(Ha)
Kedalaman
(m)
Keterangan/Kondisi Permasalahan
1. Pladen
1,50
0,3 – 1
2. Pondok
Cina
2. Kenanga
2,80
1–4
Tercemar, air hitam, tidak pernah
kering, limbah domestik berserakan di
bantaran situ
-
3. Puspa
4. Mahoni
2,00
4,50
1–4
1–4
5. Agathis
5
2,00
1–4
1. Cilodong
9,50
1–3
2. Sukamaju
2. Bahar
1,25
1,5-2
3. Sukmajaya
(Studio
Alam,TVRI)
4. Bhakti Jaya
3. Studio Alam
7,50
1–2
4. Pengarengan
2,00
3
Sebagian situ untuk keramba,
pendangkalan, alih fungsi lahan oleh
masyarakat & gulma air
-
-
Telah diurug menjadi perumahan
kumuh masyarakat, dilalui pipa gas
alam
Jumlah Situ
V.Sukmajaya
1. Kalibaru
Jumlah Situ
VI. Cinere
1. Cinere
Di kampus UI, situ tidak terawat,
kontribusi limbah domestik dari Pasar
Kemiri, dimanfaatkan masyarakat
untuk rekreasi & memancing
-
Pencemaran limbah domestik,
pendangkalan, gulma air (teratai),
akan dibangun perumahan di sekitar
sempadan
Pencemaran limbah & sampah
domestik, gulma air
Pencemaran limbah domestik,
pendangkalan & gulma air
4
1. Krukut
Jumlah Situ
1
Total Situ
26
Total Luas
125,42 ha
Sumber : Diolah dari basis data SLHD Kota Depok, 2004, LGSP-USAID-Pemkot Depok, Mei 2006 &
Lampalhi Kota Depok, Oktober 2006
*) Situ Asih Pulo direhabilitasi oleh masyarakat Situ Asih Pulo dan LSM Lempalhi Kota Depok pada
tahun 2005-2006
Dari hasil inventarisasi situ di Kota Depok pada tahun 2009 tersebut, penentuan
lokasi penelitian dilakukan berdasarkan 3 situ yang memiliki luas paling besar dan
kondisi yang terburuk pada tahun 2009. Situ Rawa Besar memiliki luas 17 ha dengan
kondisi air situ sudah tercemar oleh limbah domestik, air berwarna hitam, banyak
sampah dan gulma air serta perlu pengembangan untuk wisata dan pembebasan lahan
sempadan sebesar 50 m. Situ Tipar memiliki luas 11,32 ha dengan kondisi situ tercemar
limbah domestik dan industri, banyak sampah dan gulma air, serta mengalami
pendangkalan situ. Situ Cilodong memiliki luas 9,5 ha dan kondisi situ tercemar limbah
domestik, mengalami pendangkalan, banyak terdapat gulma air dan terancam
mengalami alih fungsi lahan karena akan dibangun perumahan di sekitar situ.
Berdasarkan hasil inventarisasi situ yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka ketiga situ
14
tersebut ditetapkan menjadi tiga sampel lokasi penelitian yang mewakili populasi situ di
Kota Depok.
Penelitian dilakukan pada awal bulan februari hingga juli 2015 (Tabel 2).
Tahapan penelitian terdiri dari empat tahap yaitu tahapan persiapan, inventarisasi,
analisis tapak, dan rekomendasi. Keempat tahapan penelitian ini dijelaskan selanjutnya
pada Gambar 3 di bawah ini.
Tahap I
Persiapan
o
o
o
Penyusunan perizinan
Survey lokasi penelitian
Pengumpulan data awal
Tahap II
Inventarisasi
o
o
Inventarisasi Kondisi Umum
Penyebaran kuisoner
Tahap III
Analisis
o
o
o
o
o
Analisis kondisi umum
Analisis fungsi vital RTB
Analisis pola manajemen
Analisis karakteristik pengunjung
Analisis AHP
Tahap IV
Rekomendasi
o
Penyusunan rekomendasi alternatif
manajemen RTB
Penyusunan rekomendasi rencana
pengelolaan RTB
Penyusunan rekomendasi MRK
o
o
Gambar 3 Skema tahapan penelitian
Tabel 2 Jadwal kegiatan penelitian
Kegiatan
Tahun 2015
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Persiapan dan
pengenalan
tapak
Inventarisasi
Analisis
Penyusunan
rencana
pengelolaan
Penyusunan
laporan akhir
Perbaikan
laporan akhir
Alat dan Bahan
Penelitian ini menggunakan peralatan baik perangkat keras (hardware)
maupun perangkat lunak (software). Alat yang digunakan adalah kamera digital
dan beberapa software seperti Microsoft Word, Microsoft Excel, AutoCad 2007,
15
Adobe PhotoShop CS5, GIS dan Expert Choice v.11 (Tabel 3). Penelitian ini juga
menggunakan berbagai jenis data yang dijelaskan lebih lanjut pada Tabel 4.
Tabel 3 Alat dan bahan
Alat dan Bahan
Alat
Kamera Digital
Bahan
Peta dasar
Kuesioner
Hasil penilaian pakar
Software
Microsoft Word
Microsoft Excel
Adobe PhotoShop CS5 dan GIS
Expert Choice v.11
Fungsi
Melakukan survei pengambilan gambar
Menunjang data spasial
Mendapatkan data responden
Menunjang data analisis AHP
Membantu proses pengolahan data
Membantu proses pengolahan data
Membantu proses pengolahan gambar
Membantu proses pengolahan data AHP
Tabel 4 Data, jenis data, unit, dan sumber data
Data
Fisik
Biofisik
Kependudukan
Analythical
Hierarchy
Proccess
(AHP)
Jenis Data
Letak Tapak ( Geografis dan
Administratif)
Topografi
Unit
Spasial
%
Aksesibilitas dan Sirkulasi
Foto
Penutupan dan Penggunaan Lahan
m²
Utilitas dan Fasilitas
Vegetasi
Satwa
Spasial
Keragaman Horizontal
(fungsi)
Keragaman Jenis
Iklim
Hidrologi
°C, mm
Lembar
Demografi Penduduk
- Jumlah penduduk dan
jenis kelamin
- Jenis pekerjaan penduduk
- Tingkat Pendapatan
penduduk
Preferensi Masyarakat
- Keinginan dan kebutuhan
masyarakat terkait situ
dan terhadap pengelolaan
situ
Ekonomi Masyarakat
- Pendapatan
- Willingness to pay
Penilaian Pakar
- Alternatif kebijakan
dalam manajemen RTB
- Komponen terpenting
dalam manajemen RTB
Jiwa
%
%
Sumber Data
Bappeda, Studi
Pustaka
Bapedda, Studi
Pustaka
Bapedda, Survei
Lapang
Citra satelit,
Survei lapang
Survei Lapang
Studi Pustaka dan
Survei Lapang
Studi Pustaka dan
Survei lapang
BMKG
Bappeda, Survei
Lapang
Masyarakat
Setempat,
Pemerintah
30 Orang Sampel
Wawancara,
Kuisoner
30 Orang Sampel
Wawancara,
Kuisoner
3 Orang Pakar
Kuisoner AHP
16
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang disesuaikan dengan
tujuan penelitian yang akan dicapai. Dalam proses penelitian ini, ada
empat metode penelitian yang utama dilakukan yaitu metode survey, metode
studi pustaka, metode penyebaran kuisoner dan wawancara terstruktur, dan
metode analisis menggunakan Analythical Hierarchy Proccess (AHP). Setiap
metode dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian yang berbeda-beda. Metode
penelitian lebih lanjut dijelaskan pada Tabel 5.
Tabel 5 Metode Penelitian
No
1
Metode
Survey, Studi Pustaka
Tujuan
Identifikasi dan inventarisasi
umum tiga situ di Kota Depok
2
Survey, Studi Pustaka, Wawancara
Evaluasi fungsi ekologi, fungsi ekonomi,
dan fungsi sosial tiga situ di Kota Depok
3
Survey, Studi Pustaka, Wawancara,
Kuisoner, Analytical Hierarchy Process
(AHP)
Menyusun rencana manajemen RTB dan
rekomendasi MRK pada tiga situ di Kota
Depok
kondisi
Survey
Survey dilakukan pada data fisik, biofisik, data kependudukan dan data
pengelolaan tapak. Data fisik yang didapatkan dari hasil survey lapang adalah data
batas administratif tapak serta data aksesibilitas dan sirkulasi. Data biofisik yang
didapatkan melalui survey adalah data vegetasi, satwa, dan hidrologi. Data
demografi penduduk dan preferensi masyarakat didapatkan melalui survey dengan
teknik wawancara dan kuisoner. Struktur pengelolaan lanskap, proses pengelolaan
lanskap, dan pengamatan fungsi vital RTB dalam aspek ekologi, ekonomi, dan
sosial-budaya juga diamati pada kegiatan survey.
Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk menunjang dan melengkapi data hasil
survey. Studi pustaka juga dilakukan dalam melihat perbandingan pengelolaan
situ di sekitar Kota Depok seperti pengelolaan situ di Kota Bogor dan Kota
Jakarta. Selain itu, studi pustaka digunakan dalam menentukan kriteria
pengelolaan situ dan prinsip-prinsip pembentuk Masyarakat Rendah Karbon
(MRK). Penyusunan komponen hierarki pada AHP pada akhirnya disusun
berdasarkan studi pustaka yang sudah dilakukan terkait dengan pengelolaan situ
yang ideal dan prisnip-prinsip pembenuk MRK.
Wawancara dan Kuisoner
Wawancara dan kuisoner dilakukan secara terstruktur. Wawancara dan
pembagian kuisoner dilakukan kepada pengunjung situ di Kota Depok sebanyak
30 orang pengunjung yang dipilih secara acak di tiga lokasi penelitian.
Wawancara dan pembagian kuisoner pengunjung ini dilakukan untuk mengetahui
karakteristik pengunjung situ di Kota Depok dan untuk mengetahui hasil evaluasi
keberadaan fungsi vital RTB berdasarkan persepsi dan preferensi pengunjung situ
di Kota Depok.
17
Analytical Hierarchy Process (AHP)
Metode analisis AHP merupakan suatu model pendukung keputusan
yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini
akan menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks
menjadi suatu hirarki, menurut Saaty (1993), hirarki didefinisikan sebagai suatu
representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur
multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor,
kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari
alternatif. Metode AHP ini digunakan untuk menyusun rencana manajemen
RTB di Kota Depok dalam mewujudkan MRK. Dalam proses AHP, software
Expert Choice v.11 digunakan dalam membantu pengolahan data yang telah
didapatkan untuk selanjutnya ditarik kesimpulan hasil.
Tahapan AHP
Menurut Marimin (2008) tahapan AHP adalah sebagai berikut :
1. Mendefinisikan struktur hierarki yang akan dipecahkan.
2. Memberikan pembobotan elemen pada setiap level dari hierarki
3. Menghitung prioritas terbobot (weighted priority)
4. Menampilkan urutan peringkat dari alternatif alternatif yang dipertimbangkan
5. Menghitung konsistensi rasio
Metode AHP melakukan analisis prioritas elemen dengan metode
perbandingan berpasangan antar dua elemen. Prioritas ini ditentukan berdasarkan
pandangan para pakar dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pembobotan mengacu pada skala kepentingan Saaty (1993) yang dijelaskan pada
Tabel 6.
Tabel 6 Skala Kepentingan Saaty (1993)
Tingkat Kepentingan
1
3
5
7
9
Definisi
Kedua kriteria sama penting (equal importance)
Kriteria (A) sedikit lebih penting (moderate importance) dibanding
dengan kriteria (B)
Kriteria (A) lebih penting (strong importance) dibanding dengan
kriteria (B)
Kriteria (A) sangat lebih penting (very strong importance)
dibanding dengan kriteria (B)
Kriteria (A) mutlak lebih penting (extreme importance) dibanding
dengan kriteria (B)
Jika dalam pengisian terdapat keraguan antara 2 skala maka diambil
nilai tengah, misalkan Anda ragu-ragu antara skala 3 dan 5 maka
pilih skala 4 dan seterusnya
Dalam proses analisis AHP, dilakukan pembagian kuisoner pakar.
Kuisoner pakar ini diberikan kepada responden pakar sesuai dengan bidang ahli
dan pengetahuan mereka terhadap RTB dan MRK. Responden pakar dibagi
dalam beberapa bidang ahli yaitu ahli MRK, birokrat, dan praktisi. Penentuan
responden ditentukan oleh beberapa kriteria seperti (1) Responden harus
menguasai bidang yang ditentukan secara akademik dan mengetahui jelas setia
MASYARAKAT RENDAH KARBON DI KOTA DEPOK
MENISA PUTRI SAVIRA
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Manajemen Ruang
Terbuka Biru dalam Mewujudkan Masyarakat Rendah Karbon di Kota Depok adalah
benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Menisa Putri Savira
NIM A44110010
ABSTRAK
MENISA PUTRI SAVIRA. Manajemen Ruang Terbuka Biru dalam Mewujudkan
Masyarakat Rendah Karbon di Kota Depok. Dibimbing oleh KASWANTO
Penyumbang terbesar emisi karbon pada lanskap adalah pembangunan
perkotaan. Hilangnya ruang terbuka kota termasuk didalamnya Ruang Terbuka Biru
(RTB) adalah salah satu masalah yang ditimbulkan dari kebutuhan pembangunan
kota yang semakin mendesak. Didasari oleh masalah tersebut, penelitian ini
bertujuan untuk menyusun manajemen RTB dalam mewujudkan Masyarakat Rendah
karbon (MRK) khususnya di Kota Depok. Metode survey, wawancara, kuisoner dan
Anallythical Hierarchy Process(AHP) digunakan dalam menyusun manajemen RTB
di Kota Depok. Hasil akhir penilitian ini menghasilkan rencana pengelolaan RTB di
Kota Depok dan penerapan manajemen RTB dalam MRK. Melalui manajemen RTB
ini diharapkan fungsi RTB di Kota Depok dapat teroptimalisasikan dan MRK dapat
terwujud sehingga dalam pembangunannya Kota Depok mampu mengurangi emisi
karbon pada RTB dan berkonstribusi dalam perbaikan iklim yang dimulai dari skala
kota.
Kata Kunci : AHP, Masyarakat Rendah Karbon, Perubahan Iklim, Ruang Terbuka
Biru, Situ
ABSTRACT
MENISA PUTRI SAVIRA .Blue Open Space Management Towards Low Carbon
Society in Depok City. Supervised by KASWANTO
In present time, the biggest contributor to carbon emissions is urban
landscape development. The loss of open spaces in the urban landscape, including the
blue open space (BOS), is one of the problems caused by the increasing demand of
urban development. The BOS is decreasing gradually and starting to be neglected.
Some of the BOS are not managed properly, and tend to be disorganized landscape.
By those issues, this research aimed to develop BOS management towards Low
Carbon Societies (LCS), particularly in Depok City, West Java. Survey methods,
interviews, questionnaires and analysis processusing Analytical Hierarchy Process
(AHP) are used in preparing the BOS management in Depok City.The research final
results produce the BOS management plan and the LCS implementation
strategies for Depok City. The BOS management plan is expected to optimize the
original function of urban landscape, while the LCS strategy is arranged for long
term of urban landscape development. In addition, Depok City would be able to
reduce carbon emissions and contributes to urban climate change improvement.
Keyword : Analytical Hierarchy Process, Blue Open Space, Climate Change, Low
Carbon Society, Situ
MANAJEMEN RUANG TERBUKA BIRU DALAM MEWUJUDKAN
MASYARAKAT RENDAH KARBON DI KOTA DEPOK
MENISA PUTRI SAVIRA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Arsitektur Lanskap
pada
Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu-Wa-Ta’-ala atas
segala karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Manajemen Ruang
Terbuka Biru dalam Mewujudkan Masyarakat Rendah Karbon di Kota Depok” ini
berhasil diselesaikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun manajemen
Ruang Terbuka Biru (RTB) dalam rangka mewujudkan Masyarakat Rendah Karbon
(MRK) di Kota Depok. Dalam penyusunan manajemen RTB, penulis menggunakan
metode survey, wawancara, kuisoner dan Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil
akhir penelitian ini menghasilkan rekomendasi manajemen RTB dan rekomdasi
pelaksanaan MRK di Kota Depok. Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi
rekomedasi bagi pemerintah Kota Depok dalam mengelola RTB dan dapat menjadi
salah satu cara untuk menyelesaikan masalah lingkungan di Kota Depok khususnya
masalah yang berkaitan dengan perubahan iklim kota karena peningkatan jumlah
karbon.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Kaswanto, SP. MSi sebagai
pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis
hingga menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
Prof. Dr. Ir Hadi Susilo Arifin selaku dosen pembimbing akademik, para pakar
responden AHP dari BAPEDDA, BIMASDA, dan FKH Kota Depok, dan kepada
Pemerintah Kota Depok yang sudah ikut mendukung penulis dalam penyusunan
skripsi ini. Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada orang tua dan semua pihak
yang telah banyak membantu sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis, pemerintah Kota Depok
dan masyarakat pada umumnya.
Bogor, September 2015
Menisa Putri Savira
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
Kerangka Pikir
3
TINJAUAN PUSTAKA
4
Pengelolaan Lanskap
4
Ruang Terbuka Biru
4
Lanskap Danau/Situ
5
Siklus Hidrologi
7
Daerah Tangkapan Air/Water Catchment
8
Manajemen Ruang Terbuka Biru
8
Rencana Pengelolaan Lanskap
9
Masyarakat Rendah Karbon
10
METODE
11
Waktu dan Lokasi Penelitian
11
Alat dan Bahan
14
Metode Penelitian
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
18
Inventarisasi Situ di Kota Depok
18
Pengelolaan Situ di Kota Depok
28
Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok
37
Evaluasi Fungsi Ekologi, Ekonomi, Sosial Budaya Situ di Kota Depok
45
Rencana Pengelolaan RTB di Kota Depok
48
Rencana Pengelolaan Lanskap RTB di Kota Depok
61
Rekomendasi MRK dalamManajemen RTB di Kota
66
SIMPULAN
69
Simpulan
70
Saran
71
DAFTAR PUSTAKA
71
GLOSARIUM
74
RIWAYAT HIDUP
100
DAFTAR TABEL
1 Inventarisasi Kondisi Situ di Kota Depok tahun 2009
2 Jadwal Kegiatan Penelitian
3 Alat dan Bahan
4 Data, jenis data, unit, dan sumber data
5 Metode Penelitian
6 Skala Kepentingan Saaty (1993)
7 Responden Pakar AHP
8 Kondisi kualitas air situ di Kota Depok
9 Jenis Pengelolaan dan Pemeliharaan Situ di Kota Depok oleh OPD
10 Jadwal Pemeliharaan pada Situ Rawa Besar, Situ Cilodong,
dan Situ Tipar/Cicadas
11 Aktivitas Pemeliharaan Situ
12 Perubahan Luas Situ di Kota Depok
13 Perhitungan Daya Dukung Kawasan RTB
14 Pekerjaan Pengelolaan RTB di Kota Depok
15 Penghitungan HOK Selama SatuTahun
16 Kebutuhan Tenaga Kerja
17 Rekomendasi Jadwal Pemeliharaan Lanskap RTB di Kota Depok
18 Rekomendasi Pengadaan Alat dan bahan
19 Anggaran Biaya Beban KerjaTahunan
20 Rekomendasi Biaya Pengadaan Alat dan Bahan Pemeliharaan
21 Penghitungan Anggaran Biaya Total Selama Satu Tahun
12
14
15
15
16
17
18
25
30
32
32
33
59
62
63
64
64
65
65
66
66
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pikir Penelitian
2 Lokasi Penelitian
3 Skema Tahapan Penelitian
4 Peta Situ Rawa Besar
5 Peta Situ Cilodong
6 Peta Situ Tipar/Cicadas
7 Peta Ketinggian Kota Depok
8 Peta Topografi Kota Depok
9 Situasi Perairan Situ Rawa Besar
10 Kondisi Hidrologi Situ Cilodong
11 Kondisi Hidrologi Situ Tipar/Cicadas
12 Kondisi Sosial Ekonomi Situ Rawa Besar
13 Kondisi Sosial Ekonomi Situ Cilodong
14 Kondisi Sosial Ekonomi Situ Tipar
15 Pola Manajemen Situ di Kota Depok
16 Perubahan run off akibat perubahan lahan menjadi kedap air
17 Eutrofikasi di Situ Tipar
18 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan usia
19 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan
tingkat pendidikan
20 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan jenis pekerjaan
21 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan tingkat
pendapatan
22 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan moda
transportasi
23 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan sumber
informasi
24 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan tujuan
berkunjung
25 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan lama kunjungan
26 Karakteristik pengunjung situ di Kota Depok berdasarkan jenis aktivitas
27 Persepsi pengunjung terhadap fasilitas situ di Kota Depok
28 Preferensi pengunjung terhadap fasilitas tambahan pada situ di Kota Depok
29 Persepsi pengunjung terhadap fungsi vital dari situ di Kota Depok
30 Persepsi pengunjung terhadap alternatif situ sebagai tempat rekreasi/wisata
31 Kesediaan membayar tiket masuk bagi pengunjung situ di Kota Depok
32 Penilaian pengunjung terhadap fungsi ekologi situ di Kota Depok
33 Penilaian pengunjung terhadap fungsi ekonomi situ di Kota Depok
34 Penilaian pengunjung terhadap fungsi sosial budaya situ di Kota Depok
35 Hierarki AHP Manajemen RTB untukMewujudkan MRK di Kota Depok
36 Sintesis prioritas alternatif dan prioritas komponen pakar MRK
37 Sintesis prioritas alternatif dan prioritas komponen birokrat
3
11
14
18
19
20
21
22
23
24
24
28
28
28
29
34
35
37
38
38
39
40
40
41
42
42
43
43
44
44
45
46
47
47
50
51
52
38 Sintesis prioritas alternatif praktisi
39 Sintesis prioritas komponen praktisi
40 Sintesis tergabung
41 Grafik sensitivitas kinerja dan sensitivitas dinamis manajemen RTB untuk
mewujudkan MRK di Kota Depok
42 Grafik sensitivitas gradient terhadap manajemen RTB untuk mewujudkan
MRK di Kota Depok
43 Sintesis prioritas alternatif keseluruhan
44 Zonasi tata ruang situ di Kota Depok
45 Rekomendasi struktur organisasi pengelola RTB di Kota Depok
46 Skenario MRK dalammanajemen RTB di Kota Depok
52
53
53
54
55
55
57
62
70
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuisoner karakteristik pengunjung situ di Kota Depok
2 Kuisoner AHP untuk responden pakar
76
81
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan perkotaan dan perubahan iklim kota merupakan dua hal
yang saling berhubungan secara timbal balik. Pembangunan kota merupakan
penyumbang terbesar emisi karbon dalam lanskap dan pada akhirnya
menyebabkan perubahan iklim kota yang berdampak langsung pada
meningkatnya efek rumah kaca di perkotaan (UNEP 2013). Untuk mengurangi
efek rumah kaca di perkotaan, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan membentuk Masyarakat Rendah Karbon (MRK). Melalui pembentukan
MRK, diharapkan efek rumah kaca secara global dapat menurun 50% hingga
tahun 2050 (NIES 2014). Salah satu prinsip MRK menurut National Institute for
Environmental Studies (2006) adalah hidup berdampingan dengan alam
(coexistence with nature). Namun, pembangunan kota-kota besar di Indonesia
sering mengabaikan prinsip ini sehingga MRK sulit untuk diwujudkan.
Salah satu kota besar dengan pembangunan perkotaan yang tinggi di
Indonesia adalah Kota Depok. Kota Depok adalah kota yang menjadi buffer atau
penyangga bagi Kota Bogor dan Kota Jakarta. Pembangunan Kota Depok masih
mengabaikan prinsip coexistence with nature. Hal ini terlihat dari banyaknya alih
fungsi lahan untuk menunjang kegiatan perkotaan dan pada akhirnya
meningkatkan efek rumah kaca di kawasan kota. Salah satu lahan yang dialih
fungsikan untuk menunjang kebutuhan lahan yang tinggi di Kota Depok adalah
Ruang Terbuka Biru (RTB) yang merupakan sebuah cekungan-cekungan, lembahlembah yang sangat potensial sebagai wadah untuk menampung air dan dapat
berbentuk situ/setu (Arifin et al 2014). Mengacu pada dokumen Rencana Tata
Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Depok 2000-2010, situ di Kota Depok
berjumlah 26 situ. Namun, kondisi situ di Kota Depok ini sangat memprihatinkan.
Sebanyak 3 dari 26 situ yang kondisinya paling memprihatinkan adalah Situ Rawa
Besar, Situ Cilodong, dan Situ Cicadas/Tipar.
Situ-situ tersebut sebenarnya memliki fungsi ekonomi, fungsi sosial
budaya, dan fungsi ekologis. Puspita et al. (2005) menyebutkan bahwa secara
ekologis, fungsi situ adalah sebagai habitat tumbuhan dan hewan, menjaga fungsifungsi hidrologis, serta menjaga sistem dan proses-proses alami. Melihat dari
fungsi ekologis tersebut, situ sangat berpotensi untuk mengurangi emisi karbon
pada lanskap dan secara tidak langsung dapat menurunkan efek rumah kaca
apabila situ dikelola dengan baik. Namun, Kota Depok belum memiliki sistem
pengelolaan RTB yang dapat mengoptimalkan fungsi-fungsi situ secara
keseluruhan. Oleh karena itu, dibutuhkan penyusunan manajemen RTB di Kota
Depok agar optimalisasi fungsi-fungsi situ di Kota Depok dapat tercapai. Selain
untuk optimalisasi fungsi-fungsi situ, melalui manajemen RTB ini diharapkan
MRK di Kota Depok dapat terwujud sehingga dalam pembangunannya Kota
Depok mampu mengurangi emisi karbon pada lanskap dan berkonstribusi dalam
menurunkan efek rumah kaca yang dimulai dari skala kota.
2
Perumusan Masalah
Isu lingkungan seperti pemanasan global dan efek rumah kaca mendorong
kota-kota besar untuk mewujudkan MRK sebagai salah satu upaya dalam
berkonstribusi mengurangi emisi karbon dan menurunkan efek rumah kaca di
kawasan perkotaan. Dalam mewujudkan MRK melalui manajemen RTB di Kota
Depok diperlukan beberapa perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi eksisting dan pengelolaan situ di Kota Depok
2. Bagaimana kondisi fungsi vital situ di Kota Depok dan Apakah fungsi
ekonomi, ekologi dan sosial budaya tiga situ di Kota Depok berjalan
secara optimal
3. Komponen penting apa yang diperlukan untuk menyusun rencana
manajemen RTB dalam mewujudkan MRK di Kota Depok
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Identifikasi dan inventarisasi kondisi umum pada tiga situ di Kota Depok
2. Identifikasi dan evaluasi pola manajemen serta fungsi vital RTB
(ekologi-ekonomi-sosial budaya) pada tiga situ di Kota Depok
3. Menyusun rencana manajemen RTB pada tiga situ dalam mewujudkan
MRK di Kota Depok
4. Menyusun rekomendasi MRK dalam manajemen RTB di Kota Depok
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu rekomendasi bagi
pemerintah dalam melakukan manajemen RTB di Kota Depok dan dapat menjadi
solusi untuk menyelesaikan masalah lingkungan maupun masyarakat yang
berkaitan dengan RTB. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat mengurangi
efek rumah kaca di kawasan perkotaan dan dapat mewujudkan masyarakat rendah
karbon di Kota Depok melalui manajemen RTB.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi oleh ruang lingkup kawasan dan
ruang lingkup kajian. Ruang lingkup kawasan penelitian ini dibatasi oleh
pemilihan tiga situ di Kota Depok sebagai sampel lokasi penelitian yaitu Situ
Rawa Besar, Situ Cilodong, dan Situ Cicadas/Tipar. Ruang lingkup kajian dibatasi
oleh kajian pada aspek fisik, biofisik, sosial-budaya, kependudukan, pola
manajemen situ dan komponen pembentuk fungsi vital RTB (fungsi ekonomiekologi-sosial budaya) pada sampel lokasi penelitian serta kajian mengenai
prinsip yang membentuk MRK.
3
Kerangka Pikir Penelitian
Ruang Terbuka Biru (RTB) salah satunya berbentuk setu/situ (Puspita et al
2005). Setiap kota umumnya memiliki RTB termasuk Kota Depok. Pembangunan
Kota Depok yang tidak berdampingan dengan lingkungan mengakibatkan alih
fungsi RTB di Kota Depok sangat tinggi. Akibatnya pembangunan di Kota Depok
turut menyumbang emisi karbon dan meningkatkan efek rumah kaca di kawasan
perkotaan. Didasarkan pada masalah tersebut, kerangka pikir penelitian
manajemen RTB dalam mewujudkan MRK di Kota Depok dijelaskan pada
Gambar 1.
RTB Kota Depok
Tiga Situ di Kota Depok
Fungsi Vital Situ
Fungsi Ekonomi
Fungsi Ekologi
Fungsi Sosial Budaya
Pembangunan kota yang tidak
berdampingan dengan lingkungan
Alih fungsi RTB
Penurunan fungsi vital
RTrtRTB
Peningkatan emisi karbon dan
efek rumah kaca di Kota Depok
Dibutuhkan manajemen RTB
di Kota Depok
Pembentukan Masyarakat
Rendah Karbon (MRK) di Kota
Manajemen RTB dalam Mewujudkan Masyarakat Rendah
Karbon di Kota Depok
Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Lanskap
Pengelolaan adalah proses merencanakan, mengorganisasikan,
memimpin, dan mengendalikan pekerjaan anggota organisasi dengan
menggunakan semua sumber daya organisasi untuk mencapai sasaran organisasi
yang sudah ditetapkan (Stoner et al. 1996). Proses dalam melakukan sebuah
pengelolaan akan terdiri dari empat proses yaitu mengatur objek, melakukan
perencanaan operasional, pelaksanaan dan
memonitor pelaksanaan hingga
perencanaan ulang. Dalam lanskap, proses dari perencanaan hingga pelaksanaan,
dan pekerjaan berhari-hari dalam melakukan pengelolaan merupakan bagian
yang menyita energi, waktu, hingga uang yang cukup banyak. Proses
pengelolaan lanskap merupakan bagian yang sangat penting karena mencakup
keseluruhan proses dan membutuhkan perhatian secara menyeluruh secara
objektif (Parker dan Bryan 1989).
Pengelolaan lanskap adalah upaya terpadu dalam penataan dan
pemanfaatan, pemeliharaan, pelestarian, pengendalian, dan pengembangan
lingkungan hidup sehingga tercipta lanskap yang bermanfaat bagi manusia dan
makhluk hidup lainnya (Arifin dan Arifin 2005). Selain itu, Dariati (2011)
mengungkapkan bahwa pengelolaan adalah tindakan yang dilakukan untuk
mengamankan dan menyelamatkan suatu lanskap secara efisien dan terarah,
dalam upaya pelestarian dan keberlanjutannya, meliputi sumber daya fisik dan
biofisik, lingkungan binaan yang sesuai dengan undang-undang yang
berlaku. Pengelolaan dalam arti luas meliputi aspek administrasi, penanganan
masalah, cara penanggulangan, pengembangan, dan pengendaliannya.
Menurut Dariati (2011), pengelolaan meliputi kegiatan-kegiatan:
preservasi, proteksi, perawatan, pemeliharaan, dan rehabilitasi, dengan
penjelasan sebagai berikut:
1. Preservasi : Proses melestarikan sesuatu yang unik dan dilaksanakan jika
sudah ada ancaman
2. Proteksi : Proses melindungi suatu lanskap terhadap gangguan-gangguan yang
dapat merusak.
3. Perawatan : Perawatan adalah proses memelihara lanskap yang ada agar tetap
baik dan bersifat statis.
4. Pemeliharaan : Pemeliharaan adalah proses memelihara lanskap dengan
berusaha meningkatkan mutunya dan bersifat dinamis.
5. Rehabilitasi : Rehabilitasi adalah memperbaiki lanskap yangrusak.
Pengelolaan lanskap berkelanjutan adalah usaha manusia dalam mengubah/
mengatur, dan menata ekosistem/lanskap agar manusia memperoleh manfaat
yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksinya/keberadaannya
(dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan energi).
Ruang Terbuka Biru (Blue Open Space)
Ruang terbuka biru merupakan bagian dari ruang terbuka publik
yang disebut ruang terbuka non-hijau (RTNH) yang dapat berupa permukaan
sungai, danau maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai genangan retensi.
5
Di bumi, air bergerak dengan berbagai cara dan pada retensi (area penyimpanan)
air akan menetap dan tinggal untuk sementara waktu. Beberapa retensi
dapat berupa retensi alam seperti daerah-daerah cekungan, danau, atau
tempat yang rendah maupun retensi buatan manusia seperti tampungan, sumur,
embung dan waduk (Kodoatie dan Sjarief 2008).
Ruang terbuka biru (RTB) merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau
(RTH) dimana RTB memiliki fungsi yang penting baik dalam fungsi ekologi,
ekonomi maupun fungsi sosial budaya. Fungsi vital RTB adalah sebagai wadah
penampung air untuk mencegah bajir dan menjadi lumbung air pada musim
kemarau tiba. Aturan mengenai RTB sudah sangat jelas. Beberapa aturan yang
mengatur tentang RTB adalah UU Nomor 23/1997 tentang Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Air, UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, serta Permendagri
Nomor 1/2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan.
Lanskap Danau/Situ
Perairan situ dan embung merupakan salah satu ekosistem perairan
tergenang yang umumnya berair tawar dan berukuran relatif kecil. Istilah “situ”
biasanya digunakan masyarakat Jawa Barat untuk sebutan “danau kecil”. Di
beberapa daerah, situ terkadang disebut juga
“embung”. Ukuran
situ/embung yang relatif kecil menyebabkan keberadaannya terancam oleh
tingginya laju sedimentasi. Aktifitas masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS)
dan wilayah tangkapan air situ/embung sangat berpengaruh pada proses
pendangkalan situ/embung (Puspita et al. 2005).
Situ adalah wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk
secara alami maupun buatan, sumber airnya berasal dari mata air, air hujan,
dan/atau limpasan air permukaan (Puspita et al. 2005). Sedangkan embung
secara definitif merupakan kolam berbentuk persegi empat (atau hampir persegi
empat) yang menampung air hujan dan air limpasan di lahan sawah tadah hujan
yang berdrainase baik. Pada PP No. 77 Tahun 2001 tentang irigasi, embung
disebut juga waduk lapangan dan didefinisikan sebagai tempat/wadah
penampung air irigasi pada waktu terjadi surplus air di sungai atau pada saat
hujan.
Puspita et al. (2005) mengungkapkan bahwa situ alami dan buatan
memiliki perbedaan utama yang terletak pada proses pembentukannya. Situ
alami adalah situ yang terbentuk karena proses alam sedangkan situ buatan
adalah situ yang terbentuk karena aktivitas manusia (baik disengaja ataupun
tidak). Sementara embung pada dasarnya merupakan perairan tergenang yang
sengaja dibangun untuk menampung air hujan dan air limpasan, dan terutama
dibangun pada daerah yang kekurangan air atau berpotensi besar mengalami
kekeringan. Dalam perkembangannya, seringkali masyarakat sudah tidak dapat
membedakan antara situ alami, situ buatan, dan embung; karena setelah kurun
waktu beberapa tahun kondisi ekologis ketiga macam ekosistem tergenang itu
terlihat sama.
6
1. Fungsi Ekologis Situ/Embung (Puspita et al. 2005)
Habitat bagi berbagai jenis tumbuhan dan hewan
Ekosistem situ dan embung merupakan tempat hidup, mencari makan, dan
berkembang biak berbagai jenis tumbuhan dan hewan. Bahkan beberapa jenis
diantaranya merupakan jenis hewan dan tumbuhan yang endemik dan dilindungi.
Pengatur fungsi hidrologis
Keberadaan situ dan embung sangat erat kaitannya dengan air dan siklus
hidrologis di bumi. Secara alami situ dan embung merupakan cekungan yang
dapat menampung air tanah dan limpasan air permukaan. Dengan demikian
keberadaan situ dan embung dapat mencegah terjadinya bencana banjir pada
musim penghujan dan mencegah terjadinya kekeringan pada musim kemarau.
Situ dan embung juga dapat mencegah meluasnya intrusi air laut ke daratan
karena situ dan embung merupakan pemasok air tanah. Selain pemasok air tanah,
situ/embung juga merupakan pemasok air bagi kantung-kantung air lain seperti
sungai, rawa, dan sawah. Dengan demikian pembangunan embung dapat menjadi
sumber air bagi sumur-sumur pantek atau bor di sekitarnya. Embung yang sudah
kering juga dapat dijadikan sumur bor yang menghasilkan air.
Menjaga sistem dan proses-proses alami
Keberadaan ekosistem situ dan embung dapat menjaga kelangsungan
sistem dan proses-proses ekologi, geomorfologi dan geologi yang terjadi di alam.
Sebagai contoh, dataran banjir di sekitar situ banyak dijadikan lahan pertanian
karena tanahnya subur; kesuburan ini disebabkan adanya proses penambahan
unsur hara dari hasil sedimentasi. Situ dan embung juga secara tidak langsung
berperan sebagai penghasil oksigen melalui proses fotosintesa oleh berbagai jenis
fitoplankton yang hidup di dalamnya.
2.
Fungsi Ekonomis Situ/Embung (Puspita et al. 2005)
Penghasil berbagai jenis sumber daya alam bernilai ekonomis
Ekosistem situ kaya akan berbagai jenis sumber daya alam (hewan
ataupun tumbuhan) bernilai ekonomis, baik yang bersifat liar maupun yang
dibudidayakan; selain itu situ/embung juga dapat berperan sebagai sumber
plasma nutfah. Ikan, udang, dan katak merupakan beberapa jenis hewan bernilai
ekonomis yang dapat ditemukan di situ/embung. Berbagai jenis tumbuhan air
yang hidup di situ/embung ada yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias
dan ada juga yang dapat dijadikan bahan makanan bagi manusia dan ternak.
Selain itu tumbuhan kayu yang hidup di sekitar ekosistem situ/embung juga dapat
dijadikan bahan bangunan ataupun arang.
Penghasil energi
Situ yang memiliki volume air cukup besar juga dapat dimanfaatkan
sebagai PLTA. PLTA ini merupakan sumber energi yang dapat dimanfaatkan
langsung oleh masyarakat untuk mendukung kehidupan sehari-hari masyarakat.
7
Sarana wisata dan olah raga
Situ dengan pemandangan alam yang indah menjadi salah satu potensi
bagi kegiatan wisata. Selain itu perairan situ atau embung yang relatif luas juga
dapat dijadikan areal kegiatan olahraga air seperti memancing, mendayung, dan
ski air.
Sumber air
Embung dan situ yang merupakan penampung air hujan dan limpasan air
permukaan dapat dijadikan sumber air bagi masyarakat setempat baik untuk
kebutuhan air minum, pengairan sawah (irigasi), maupun peternakan. Keberadaan
embung dalam jangka panjang diharapkan dapat menaikkan muka air tanah
sehingga pada daerah di sekitarnya dapat dibuat sumur.
3. Fungsi Sosial Budaya Situ/Embung (Puspita et al. 2005)
Keberadaan situ dan embung dapat sangat mempengaruhi kondisi sosial
budaya masyarakat sekitar. Sebagai contoh, kondisi dan sumber daya hayati situ
yang dapat dimanfaatkan, baik melalui kegiatan penangkapan maupun kegiatan
budidaya, secara langsung akan mempengaruhi mata pencaharian masyarakat
setempat. Selain mata pencaharian, kondisi budaya masyarakat sekitar juga
dapat sangat dipengaruhi oleh keberadaan situ.
Siklus Hidrologi
Keberadaan air di kawasan danau/situ tidak terlepas dari sebuah proses
alam yang berjalan secara terus-menerus. Proses tersebut adalah siklus hidrologi.
Aliran air yang masuk ke danau/situ berasal dari air hujan, aliran permukaan
tanah, baik yang melewati sungai-sungai kecil maupun dari lahan di pinggiran
danau/situ, serta berasal dari aliran bawah permukaan tanah (interflow) dan air
tanah (groundwater flow). Air yang keluar dari danau/situ berasal dari outlet,
evaporasi maupun aliran air tanah. Proses-proses yang saling berkaitan antar satu
sama lain yaitu proses hujan (presipitasi), penguapan (evaporasi), transpirasi,
infiltrasi, perkolasi, aliran limpasan (run off) dan aliran bawah tanah. Prosesproses tersebut merupakan sebuah siklus yang berjalan secara terus-menerus
dalam sebuah siklus hidrologi (Kodoatie dan Sjarief 2008).
Air yang menjadi bagian dari siklus hidrologi merupakan sumber air yang
abadi. Keberadaannya harus dijaga dan dilestarikan. Air adalah sumberdaya alam
yang sangat berpengaruh bagi manusia beserta makhluk hidup lainnya. Air
memiliki peran yang sangat penting. Oleh karena itu, air akan mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh berbagai kondisi dan komponen. Definisi dari air adalah sebuah
sumberdaya terbarukan. Perubahan pola tata ruang dan tata lahan akan
mempengaruhi jumlah air yang mampu diserap oleh permukaan hutan maupun
permukaan tanah. Pembukaan lahan yang berlebihan akan meningkatkan suhu
sehingga penguapan air akan meningkat. Pengendalian yang buruk terhadap
limbah yang masuk ke dalam badan air akan mematikan flora dan fauna akuatik
yang hidup di tepi maupun di badan air (Ubaidillah dan Maryanto 2003).
8
Daerah Tangkapan Air/ Water Catchment
Daerah Tangkapan Air (DTA) merupakan suatu ekosistem dengan
unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan
sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam (Asdak 1995).
Menurut direktori istilah pekerjaan umum Kementrian Pekerjaan Umum
DTA/water catchment adalah suatu daerah yang dibatasi oleh pembatas
topografi berupa punggung- punggung bukit atau gunung yang menampung air
hujan yang jatuh di atasnya dan kemudian mengalirkannya melalui anak sungai
dan sungai ke laut atau ke danau.
Daerah Tangkapan Air merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan
satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke
danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah
topografis yang dapat berupa punggung-punggung bukit atau gunung dan batas
di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Catchment area dapat dikatakan menjadi suatu ekosistem dimana terdapat
banyak aliran sungai, daerah hutan dan komponen penyusun ekosistem lainnya
termasuk sumber daya alam. Namun, komponen yang terpenting adalah air, yang
merupakan zat cair yang terdapat di atas ataupun di bawah permukaan tanah,
termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut
yang berada di darat (Kodoatie dan Sjarief 2008).
Manajemen Ruang Terbuka Biru
Manajemen RTB erat kaitannya dengan pengelolaan sumber daya air.
Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 Pengelolaan sumber daya air adalah
upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi
penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya
air, dan pengendalian daya rusak air. Rencana pengelolaan sumber daya air
adalah hasil perencanaan secara menyeluruh dan terpadu yang diperlukan untuk
menyelenggarakan pengelolaan sumber daya air.
Dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang pengelolaan sumber
daya air, pengelolaan sumber daya air didasari oleh asas kelestarian,
keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan,
kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Sumber daya air dikelola
secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan
mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar
besar kemakmuran rakyat.Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan
hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras dalam
pengelolaannya.
Menurut Ayres (1997) dalam Basuki (2005), permasalahan yang sering
terjadi dalam pengelolaan kawasan perairan tergenang termasuk situ dan
ekosistemnya antara lain:
1. Polusi air
2. Bahan-bahan pencemar yang mengancam danau
3. Pemakaian air, konservasi air, reklamasi danau dan waduk
4. Perubahan lingkungan perairan
9
Permasalahan-permasalahan tersebut memperburuk kondisi situ sehingga
situ memerlukan pengelolaan secara berkelanjutan dengan tetap memperbaiki
fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya yang dimiliki oleh situ. Pengelolaan
secara lintas sektoral dan kemitraan dengan masyarakat juga penting untuk
dilakukan.
Dalam upaya mengelola dan mempertahankan situ atau danau-danau
dangkal perlu dipahami karakteristik sistem perairan tersebut mengingat
perairan situ merupakan suatu ekosistem tersendiri yang terdiri dari komponekomponen biotik, abiotik dan saling berinteraksi serta sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor dari luar system perairan. Oleh karena itu dalam memperbaiki situ
tidak hanya memperhatikan satu komponen saja seperti komponen fisik, tetapi
juga mempertimbangkan keseimbangan ekologi (Ubaidillah dan Maryanto 2003).
Rencana Pengelolaan Lanskap
Rencana pengelolaan sebuah lanskap merupakan bagian dalam kegiatan
pengelolaan pada umumnya. Kraus dan Curtis (1982) menyebutkan bahwa
pengelolaan atau manajemen merupakan suatu proses dari konsep, teori, dan
analisis tujuan, yang dengan itu menejer merencanakan, mengatur, memimpin
dan menjalankan tujuan tersebut melalui usaha manusia secara sistematis,
koordinatif, dan saling kerja sama. Rencana pengelolaan adalah sebuah blue print
dalam menjalankan sebuah fungsi organisasi, baik untuk keseharian maupun
untuk jangka panjang. Rencana pengelolaan merupakan metode standar untuk
melakuka berbagai hal dalam sebuah organisasi seperti pendanaan, pemeliharaan
pekerjaan, pemilihan tenaga kerja beserta hak dan kewajibannya sesuai dengan
organisasi yang sedang beroperasi. Dalam lanskap, rencana pengelolaan ini
dijadikan acuan dalam melakukan kegiatan pengelolaan selanjutnya.
Menurut Arifin dan Arifin (2005), dalam proses mencapai efektivitas di
dalam pemeliharaan, hendaknya diperhatikan beberapa hal prinsip dalam
pemeliharaan taman. Prinsip pemeliharaan tersebut adalah :
1. Penetapan tujuan dan standar pemeliharaan,
2. Pemeliharaan harus dilaksanakan secara ekonomis, baik waktu, tenaga
kerja, peralatam maupun bahan,
3. Operasional pemeliharaan hendaknya didasarkan pada rencana
pemeliharaan tertulis yang bersifat logis,
4. Jadwal pekerjaan pemeliharaan taman harus didasarkan pada kebijakan
dan prioritas yang benar dalam pemeliharaan taman,
5. Pemeliharaan pencegahan perlu ditekankan,
6. Pengelola pemeliharaan taman harus diorganisir dengan baik,
7. Sumber dana yang cukup dapat mendukung program pemeliharaan yang
telah ditetapkan,
8. Penyediaan tenaga kerja yang cukup sangat penting untuk melaksanakan
fungsi pemeliharaan
9. Program pemeliharaan harus dirancang untuk melindungi lingkungan
alami,
10. Pengelola pemeliharaan taman harus bertanggung jawab terhadap
keamanan umum dan para operator taman,
11. Pemeliharaan dijadikan pertimbangan utama dalam perancangan dan
10
pembangunan taman,
12. Para operator pemelihara harus bertanggungjawab terhadap pengelola
pemeliharaan taman.
Masyarakat Rendah Karbon
Dalam mengatasi masalah lingkungan yang terjadi dewasa ini, Masyarakat
Rendah Karbon (MRK) dapat menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan
masalah lingkungan. Pengertian dari MRK menurut National Institute for
Environmental Studies (2006) adalah sebagai berikut :
1. Melakukan tindakan yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan
(sustainable development - SD), meyakinkan bahwa kebutuhan pembangunan
dari seluruh lapisan masyarakat dapat terpenuhi dengan baik.
2. Melakukan kontribusi nyata secara global untuk mempertahankan kestabilan
udara dalam atmosfir terkait konsentrasi CO2 dan gas rumah kaca lainnya,
pada level yang tidak membahayakan bagi lingkungan dan makhluk hidup di
dalamnya.
3. Mendemonstrasikan efektifitas penggunaan energi secara baik dan
menggunakan sumber energi yang rendah-karbon dan berteknologi ramah
lingkungan
Dalam mewujudkan MRK, prinsip-prinsip MRK (National Institute for
Environmental Studies 2006) adalah minimalisasi karbon di semua sektor
kehidupan (carbon minimization in all sectors), hidup sederhana yang mampu
mewujudkan kualitas hidup yang makin baik (simpler life style that realizes
richer QOL, quality of life), dan hidup berdampingan dengan alam (coexistence
with nature). National Institute for Environmental Studies (2006) menyebutkan
bahwa beberapa cara awal yang dapat dilakukan untuk mewujudkan konsep
MRK adalah
1. Mengidentifikai dan memahami keperluan penurunan konsentrasi gas rumah
kaca pada tahun 2050 berdasarkan studi ilmiah,
2. Mengevaluasi ulasan-ulasan mengenai tingkat konsentrasi gas rumah kaca di
negara maju maupun negara berkembang,
3. Menyeleraskan pembangunan berkelanjutan melalui objektif iklim,
4. Melakukan penelitian untuk menyusun metodologi dalam mewujudkan
konsep MRK,
5. Mengidentifikasi kesenjangan antara tujuan pengembangan skenario MRK di
negara berkembang dengan realitas yang terjadi pada saat ini,
6. Mengidentifikasi peluang kerjasama dan mencari cara terbaik untuk
melakukan kerja sama dengan berbagai negara baik di tingkat global dan
regional untuk memperkenalkan konsep MRK.
Keenam cara diatas ditempuh untuk mencapai dua tujan utama MRK yaitu (1)
untuk menunjukkan dan meningkatkan manfaat dari transisi masyarakat ke MRK
melalui pembangunan berkelanjutan, (2) mengembangkan rekomendasi untuk
memperkecil kesenjangan yang terjadi antara skenario bisnis dan masyarakat
rendah karbon. Tujuan pertama dapat menunjukkan bahwa masyarakat rendah
karbon berhubungan dengan kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan,
ekonomi, pembangunan, dan energi. Konsep MRK juga melibatkan berbagai
macam pemangku kepentingan (termasuk pemimpin bisnis, pembuat kebijakan,
11
akademisi dan LSM) dalam membantu meningkatkan kesadaran masyarakat
terhadap konsep masyarakat rendah karbon dan menyebarkan informasi mengenai
masyarakat rendah karbon. Tujuan kedua menunjukkan bahwa sektor-sektor besar
dapat ikut serta dalam berkonstribusi mewujudkan konsep masyarakat rendah
karbon. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk ikut berkonstribusi dalam
penerapan MRK adalah 1) melakukan eksplorasi mengenai pengertian dan
manfaat MRK serta contoh yang dapat diterapkan, dan 2) menyusun kebijakan
dalam penerapan MRK dengan melakukan pertimbangan terhadap waktu dan
aksi-aksi yang dapat dikerjakan dengan cepat.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Depok dengan memilih tiga dari dua puluh
enam situ sebagai sampel yang mewakili populasi situ di Kota Depok. Situ yang
menjadi lokasi penelitian berada di tiga kecamatan berbeda. Lokasi pertama
adalah Situ Rawa Besar, terletak di Kecamatan Pancoran Mas, Kelurahan Depok.
Lalu Situ Cilodong yang terletak di Kecamatan Sukmajaya, Kelurahan Kalibaru,
dan lokasi terakhir adalah Situ Tipar/Cicadas, Kecamatan Cimanggis, Kelurahan
Mekarsari (Gambar 2). Situ Tipar/Cicadas selanjutnya akan disebut Situ Tipar.
Pemilihan lokasi penelitian ini didasari oleh hasil fisibilitas studi dan status situ di
Kota Depok pada tahun 2009 dengan mengacu pada status situ dengan luasan
terbesar dan kondisi yang terburuk (Tabel 1).
c
a
b
Gambar 2 Lokasi Penelitian (a) Situ Rawa Besar, (b) Situ Cilodong, dan
(c) Situ Tipar
12
Tabel 1 Inventarisasi Kondisi Situ di Kota Depok Tahun 2009
Kecamatan/
Kelurahan
I. Cimanggis
1. Harjamukti
Nama Situ
Luas
(ha)
Kedalaman
(m)
-
-
2. Buperta
7,20
2-4
2. Mekarsari
3. Tipar/Cicadas
11,32
2-3
3. Tugu
4. Pedongkelan
6,25
2-5
4. Cisalak Pasar
5. Gadog
1,30
1-5
5. Curug
6. Rawa Kalong
8,25
1-3
6. Tapos
7. Patinggi
5,50
1
7. Jatijajar
8. Jatijajar
6,50
1-4
8. Cilangkap
9. Cilangkap
6,00
1-2
1. Gede
Jumlah Situ
II. Pancoran Mas
1. Rangkepan Jaya
1. Asih pulo *)
2,00
2-3
2. Depok
2. Rawa Besar
17,0
1-2
3. Bojong Pondok
Terong
3. Citayam
6,00
2-4
4. Pancoran Mas
4. Pitara
0,20
1-4
5. Pancoran Mas
0,60
1-4
Jumlah Situ
III. Sawangan
1. Sawangan
2. Pengasinan
Jumlah Situ
Keterangan/Kondisi Permasalahan
Sudah dikembangkan menjadi pondok
pesantren
Kondisi situ terawat, perlu pengerukan,
retaining wall & saluran gendong
Pencemaran limbah domestik &
industri, banyak sampah & gulma air,
pendangkalan situ
Sebagian situ untuk keramba,
pencemaran limbah domestik &
industri, pendangkalan situ & gulma air
Sebagian situ untuk keramba,
pencemaran limbah domestik &
industri, RPH, pendangkalan situ &
gulma air
Sebagian situ untuk keramba,
pencemaran limbah domestik &
industri, banyak gulma air
Eksploitasi penangkapan ikan oleh
masyarakat sekitar & pendangkalan situ
Sebagian situ untuk keramba & saung
apung, pencemaran limbah domestik,
banyak sampah & gulma air
Sebagian lahan situ untuk keramba,
pencemaran limbah domestik,
pendangkalan situ & banyak sampah
9
Perlu retaining wall, perbaikan
inlet/outlet & pengerukan
Pencemaran limbah domestik, air
hitam, banyak sampah & gulma air.
Perlu pengembangan untuk wisata dan
pembebasan lahan sempadan sebesar 50
m
Penggunaan sebagian badan air untuk
keramba, sempadan menjadi rumah
masyarakat sekitar
Air bersih, tidak pernah kering, ada
mata air, banyak sampah, batas tidak
jelas
Tercemar limbah domestic,
pendangkalan, masih terdapat mata air
5
1. Bojong
Sari/Sawangan
8,25
3–4
Ditumbuhi eceng gondok dan gulma air
2. Pengasinan
6,00
1–4
Sudah direhabilitasi, terawat, air bersih,
sarana rekreasi, sempadan
dimanfaatkan untuk usaha tanaman hias
2
13
Tabel 1 Inventarisasi Kondisi Situ di Kota Depok Tahun 2009 (lanjutan)
Kecamatan/
Kelurahan
IV. Beji
1. Beji
Nama Situ
Luas
(Ha)
Kedalaman
(m)
Keterangan/Kondisi Permasalahan
1. Pladen
1,50
0,3 – 1
2. Pondok
Cina
2. Kenanga
2,80
1–4
Tercemar, air hitam, tidak pernah
kering, limbah domestik berserakan di
bantaran situ
-
3. Puspa
4. Mahoni
2,00
4,50
1–4
1–4
5. Agathis
5
2,00
1–4
1. Cilodong
9,50
1–3
2. Sukamaju
2. Bahar
1,25
1,5-2
3. Sukmajaya
(Studio
Alam,TVRI)
4. Bhakti Jaya
3. Studio Alam
7,50
1–2
4. Pengarengan
2,00
3
Sebagian situ untuk keramba,
pendangkalan, alih fungsi lahan oleh
masyarakat & gulma air
-
-
Telah diurug menjadi perumahan
kumuh masyarakat, dilalui pipa gas
alam
Jumlah Situ
V.Sukmajaya
1. Kalibaru
Jumlah Situ
VI. Cinere
1. Cinere
Di kampus UI, situ tidak terawat,
kontribusi limbah domestik dari Pasar
Kemiri, dimanfaatkan masyarakat
untuk rekreasi & memancing
-
Pencemaran limbah domestik,
pendangkalan, gulma air (teratai),
akan dibangun perumahan di sekitar
sempadan
Pencemaran limbah & sampah
domestik, gulma air
Pencemaran limbah domestik,
pendangkalan & gulma air
4
1. Krukut
Jumlah Situ
1
Total Situ
26
Total Luas
125,42 ha
Sumber : Diolah dari basis data SLHD Kota Depok, 2004, LGSP-USAID-Pemkot Depok, Mei 2006 &
Lampalhi Kota Depok, Oktober 2006
*) Situ Asih Pulo direhabilitasi oleh masyarakat Situ Asih Pulo dan LSM Lempalhi Kota Depok pada
tahun 2005-2006
Dari hasil inventarisasi situ di Kota Depok pada tahun 2009 tersebut, penentuan
lokasi penelitian dilakukan berdasarkan 3 situ yang memiliki luas paling besar dan
kondisi yang terburuk pada tahun 2009. Situ Rawa Besar memiliki luas 17 ha dengan
kondisi air situ sudah tercemar oleh limbah domestik, air berwarna hitam, banyak
sampah dan gulma air serta perlu pengembangan untuk wisata dan pembebasan lahan
sempadan sebesar 50 m. Situ Tipar memiliki luas 11,32 ha dengan kondisi situ tercemar
limbah domestik dan industri, banyak sampah dan gulma air, serta mengalami
pendangkalan situ. Situ Cilodong memiliki luas 9,5 ha dan kondisi situ tercemar limbah
domestik, mengalami pendangkalan, banyak terdapat gulma air dan terancam
mengalami alih fungsi lahan karena akan dibangun perumahan di sekitar situ.
Berdasarkan hasil inventarisasi situ yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka ketiga situ
14
tersebut ditetapkan menjadi tiga sampel lokasi penelitian yang mewakili populasi situ di
Kota Depok.
Penelitian dilakukan pada awal bulan februari hingga juli 2015 (Tabel 2).
Tahapan penelitian terdiri dari empat tahap yaitu tahapan persiapan, inventarisasi,
analisis tapak, dan rekomendasi. Keempat tahapan penelitian ini dijelaskan selanjutnya
pada Gambar 3 di bawah ini.
Tahap I
Persiapan
o
o
o
Penyusunan perizinan
Survey lokasi penelitian
Pengumpulan data awal
Tahap II
Inventarisasi
o
o
Inventarisasi Kondisi Umum
Penyebaran kuisoner
Tahap III
Analisis
o
o
o
o
o
Analisis kondisi umum
Analisis fungsi vital RTB
Analisis pola manajemen
Analisis karakteristik pengunjung
Analisis AHP
Tahap IV
Rekomendasi
o
Penyusunan rekomendasi alternatif
manajemen RTB
Penyusunan rekomendasi rencana
pengelolaan RTB
Penyusunan rekomendasi MRK
o
o
Gambar 3 Skema tahapan penelitian
Tabel 2 Jadwal kegiatan penelitian
Kegiatan
Tahun 2015
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Persiapan dan
pengenalan
tapak
Inventarisasi
Analisis
Penyusunan
rencana
pengelolaan
Penyusunan
laporan akhir
Perbaikan
laporan akhir
Alat dan Bahan
Penelitian ini menggunakan peralatan baik perangkat keras (hardware)
maupun perangkat lunak (software). Alat yang digunakan adalah kamera digital
dan beberapa software seperti Microsoft Word, Microsoft Excel, AutoCad 2007,
15
Adobe PhotoShop CS5, GIS dan Expert Choice v.11 (Tabel 3). Penelitian ini juga
menggunakan berbagai jenis data yang dijelaskan lebih lanjut pada Tabel 4.
Tabel 3 Alat dan bahan
Alat dan Bahan
Alat
Kamera Digital
Bahan
Peta dasar
Kuesioner
Hasil penilaian pakar
Software
Microsoft Word
Microsoft Excel
Adobe PhotoShop CS5 dan GIS
Expert Choice v.11
Fungsi
Melakukan survei pengambilan gambar
Menunjang data spasial
Mendapatkan data responden
Menunjang data analisis AHP
Membantu proses pengolahan data
Membantu proses pengolahan data
Membantu proses pengolahan gambar
Membantu proses pengolahan data AHP
Tabel 4 Data, jenis data, unit, dan sumber data
Data
Fisik
Biofisik
Kependudukan
Analythical
Hierarchy
Proccess
(AHP)
Jenis Data
Letak Tapak ( Geografis dan
Administratif)
Topografi
Unit
Spasial
%
Aksesibilitas dan Sirkulasi
Foto
Penutupan dan Penggunaan Lahan
m²
Utilitas dan Fasilitas
Vegetasi
Satwa
Spasial
Keragaman Horizontal
(fungsi)
Keragaman Jenis
Iklim
Hidrologi
°C, mm
Lembar
Demografi Penduduk
- Jumlah penduduk dan
jenis kelamin
- Jenis pekerjaan penduduk
- Tingkat Pendapatan
penduduk
Preferensi Masyarakat
- Keinginan dan kebutuhan
masyarakat terkait situ
dan terhadap pengelolaan
situ
Ekonomi Masyarakat
- Pendapatan
- Willingness to pay
Penilaian Pakar
- Alternatif kebijakan
dalam manajemen RTB
- Komponen terpenting
dalam manajemen RTB
Jiwa
%
%
Sumber Data
Bappeda, Studi
Pustaka
Bapedda, Studi
Pustaka
Bapedda, Survei
Lapang
Citra satelit,
Survei lapang
Survei Lapang
Studi Pustaka dan
Survei Lapang
Studi Pustaka dan
Survei lapang
BMKG
Bappeda, Survei
Lapang
Masyarakat
Setempat,
Pemerintah
30 Orang Sampel
Wawancara,
Kuisoner
30 Orang Sampel
Wawancara,
Kuisoner
3 Orang Pakar
Kuisoner AHP
16
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang disesuaikan dengan
tujuan penelitian yang akan dicapai. Dalam proses penelitian ini, ada
empat metode penelitian yang utama dilakukan yaitu metode survey, metode
studi pustaka, metode penyebaran kuisoner dan wawancara terstruktur, dan
metode analisis menggunakan Analythical Hierarchy Proccess (AHP). Setiap
metode dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian yang berbeda-beda. Metode
penelitian lebih lanjut dijelaskan pada Tabel 5.
Tabel 5 Metode Penelitian
No
1
Metode
Survey, Studi Pustaka
Tujuan
Identifikasi dan inventarisasi
umum tiga situ di Kota Depok
2
Survey, Studi Pustaka, Wawancara
Evaluasi fungsi ekologi, fungsi ekonomi,
dan fungsi sosial tiga situ di Kota Depok
3
Survey, Studi Pustaka, Wawancara,
Kuisoner, Analytical Hierarchy Process
(AHP)
Menyusun rencana manajemen RTB dan
rekomendasi MRK pada tiga situ di Kota
Depok
kondisi
Survey
Survey dilakukan pada data fisik, biofisik, data kependudukan dan data
pengelolaan tapak. Data fisik yang didapatkan dari hasil survey lapang adalah data
batas administratif tapak serta data aksesibilitas dan sirkulasi. Data biofisik yang
didapatkan melalui survey adalah data vegetasi, satwa, dan hidrologi. Data
demografi penduduk dan preferensi masyarakat didapatkan melalui survey dengan
teknik wawancara dan kuisoner. Struktur pengelolaan lanskap, proses pengelolaan
lanskap, dan pengamatan fungsi vital RTB dalam aspek ekologi, ekonomi, dan
sosial-budaya juga diamati pada kegiatan survey.
Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk menunjang dan melengkapi data hasil
survey. Studi pustaka juga dilakukan dalam melihat perbandingan pengelolaan
situ di sekitar Kota Depok seperti pengelolaan situ di Kota Bogor dan Kota
Jakarta. Selain itu, studi pustaka digunakan dalam menentukan kriteria
pengelolaan situ dan prinsip-prinsip pembentuk Masyarakat Rendah Karbon
(MRK). Penyusunan komponen hierarki pada AHP pada akhirnya disusun
berdasarkan studi pustaka yang sudah dilakukan terkait dengan pengelolaan situ
yang ideal dan prisnip-prinsip pembenuk MRK.
Wawancara dan Kuisoner
Wawancara dan kuisoner dilakukan secara terstruktur. Wawancara dan
pembagian kuisoner dilakukan kepada pengunjung situ di Kota Depok sebanyak
30 orang pengunjung yang dipilih secara acak di tiga lokasi penelitian.
Wawancara dan pembagian kuisoner pengunjung ini dilakukan untuk mengetahui
karakteristik pengunjung situ di Kota Depok dan untuk mengetahui hasil evaluasi
keberadaan fungsi vital RTB berdasarkan persepsi dan preferensi pengunjung situ
di Kota Depok.
17
Analytical Hierarchy Process (AHP)
Metode analisis AHP merupakan suatu model pendukung keputusan
yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini
akan menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks
menjadi suatu hirarki, menurut Saaty (1993), hirarki didefinisikan sebagai suatu
representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur
multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor,
kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari
alternatif. Metode AHP ini digunakan untuk menyusun rencana manajemen
RTB di Kota Depok dalam mewujudkan MRK. Dalam proses AHP, software
Expert Choice v.11 digunakan dalam membantu pengolahan data yang telah
didapatkan untuk selanjutnya ditarik kesimpulan hasil.
Tahapan AHP
Menurut Marimin (2008) tahapan AHP adalah sebagai berikut :
1. Mendefinisikan struktur hierarki yang akan dipecahkan.
2. Memberikan pembobotan elemen pada setiap level dari hierarki
3. Menghitung prioritas terbobot (weighted priority)
4. Menampilkan urutan peringkat dari alternatif alternatif yang dipertimbangkan
5. Menghitung konsistensi rasio
Metode AHP melakukan analisis prioritas elemen dengan metode
perbandingan berpasangan antar dua elemen. Prioritas ini ditentukan berdasarkan
pandangan para pakar dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pembobotan mengacu pada skala kepentingan Saaty (1993) yang dijelaskan pada
Tabel 6.
Tabel 6 Skala Kepentingan Saaty (1993)
Tingkat Kepentingan
1
3
5
7
9
Definisi
Kedua kriteria sama penting (equal importance)
Kriteria (A) sedikit lebih penting (moderate importance) dibanding
dengan kriteria (B)
Kriteria (A) lebih penting (strong importance) dibanding dengan
kriteria (B)
Kriteria (A) sangat lebih penting (very strong importance)
dibanding dengan kriteria (B)
Kriteria (A) mutlak lebih penting (extreme importance) dibanding
dengan kriteria (B)
Jika dalam pengisian terdapat keraguan antara 2 skala maka diambil
nilai tengah, misalkan Anda ragu-ragu antara skala 3 dan 5 maka
pilih skala 4 dan seterusnya
Dalam proses analisis AHP, dilakukan pembagian kuisoner pakar.
Kuisoner pakar ini diberikan kepada responden pakar sesuai dengan bidang ahli
dan pengetahuan mereka terhadap RTB dan MRK. Responden pakar dibagi
dalam beberapa bidang ahli yaitu ahli MRK, birokrat, dan praktisi. Penentuan
responden ditentukan oleh beberapa kriteria seperti (1) Responden harus
menguasai bidang yang ditentukan secara akademik dan mengetahui jelas setia