Bahaya Longsor Di Daerah Vulkanik Kabupaten Sukabumi Bagian Utara

BAHAYA LONGSOR DI DAERAH VULKANIK KABUPATEN
SUKABUMI BAGIAN UTARA

SITI HUZAIMAH ASLAMIAH BADRUDJAMAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Bahaya Longsor di
Daerah Vulkanik Kabupaten Sukabumi Bagian Utara adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016
Siti Huzaimah Aslamiah Badrudjaman

NIM A14110065

ABSTRAK
SITI HUZAIMAH ASLAMIAH BADRUDJAMAN. Bahaya Longsor di Daerah
Vulkanik Kabupaten Sukabumi Bagian Utara. Dibimbing oleh BOEDI
TJAHJONO dan BABA BARUS.
Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu wilayah yang sering mengalami
bencana longsor dan sering memberikan dampak kerugian baik materi maupun
korban jiwa. Tujuan penelitian ini adalah melakukan, identifikasi titik longsor,
mengetahui faktor utama penyebab longsor, dan melakukan estimasi persebaran
daerah bahaya longsor. Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Sukabumi
bagian utara pada unit geomorfologi vulkanik: Gede Pangrango, Salak, dan
Talaga. Metode yang dipakai dalam penelitian ini meliputi analisis tumpang tindih
(overlay), analisis regresi logistik ordinal, dan analisis multi kriteria (pembobotan
dan skoring). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 76 titik

longsor yang ditemukan di lapangan dan terjadi pada penggunaan lahan sawah,
kebun campuran, dan permukiman. Secara administratif jumlah kejadian longsor
tertinggi ditemukan di Kecamatan Kadudampit dan terendah di Kecamatan
Cibadak berturut-turut sebesar 15 dan 2 titik longsor. Dalam hal ini penggunaan
lahan sawah memiliki jumlah kejadian longor yang paling tinggi (33 kejadian
longsor) dibandingkan dengan penggunaan lainnya. Dari hasil observasi lapangan
didapatkan bahwa titik longsor terjadi pada lereng-lereng yang telah mengalami
pemotongan oleh aktivitas manusia. Berdasarkan hasil analisis regresi diperoleh
bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap longsor (bobot paling tinggi)
untuk daerah penelitian adalah curah hujan, kemudian diikuti oleh faktor lereng,
jenis tanah, litologi, elevasi, landform, dan penggunaan/penutupan lahan. Untuk
melakukan estimasi bahaya longsor di daerah penelitian dilakukan dengan dua
pendekatan yaitu berdasarkan hasil analisis statistik dan studi literatur. Hasil uji
akurasi berdasarkan kerapatan jumlah kejadian longsor menunjukan bahwa kedua
metode rendah dikarenakan jumlah kejadian longsor terbanyak berada pada kelas
bahaya sedang.
Kata Kunci: Bahaya, Longsor, Sukabumi, Vulkanik, Geomorfologi

ABSTRACT
SITI HUZAIMAH ASLAMIAH BADRUDJAMAN. Landslide Hazard of

Northern Sukabumi district Volcanic area. Supervised by BOEDI TJAHJONO
and BABA BARUS.
Sukabumi regency is one of the most area having high landslide frequency,
causing loss of material and lives. The aim of this research were to identify
landslides location, identify their main cause factor, and to estimate the
distribution of hazard area. The study area comprised of volcanic
geomorphological unit of the northern side of Sukabumi regency i.e. Gede
Pangrango, Salak, and Talaga. The method used in this study were the spatial
overlay analysis, ordinal logistic regression analysis, and multi-criteria analysis
(weighting and scoring). The result showed that there were 76 point landslides
location found in the field, occurred on paddy field, mix garden, and settlements.
Administratively, Kecamatan Kadudampit had the most point of landslide
conversly Kecamatan Cibadak had the lowest one, succesively 15 and 2 points.
The paddy field land use had the most frequent of landslide (33 landslide) in
compared to other land uses. Through field observation, most of landslide
occurred at hillside which were cut by human activities. Based on regression
analysis, the main factors of landslide cause (highest weight) were rainfall,
followed by slope factor, soil type, lithology, elevation, landform, and land
cover/land use. The estimation of landslide hazard area was done based on
statistical result and literature study. The result of accuraccy test based on density

number shows that both of methods are low, since the most number of landslide
located in medium class of hazard.
Keywords: Landslide, hazard, Sukabumi, Volcanic, Geomorphology

BAHAYA LONGSOR DI DAERAH VULKANIK KABUPATEN
SUKABUMI BAGIAN UTARA

SITI HUZAIMAH ASLAMIAH BADRUDJAMAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
skripsi ini. Penelitian ini berjudul “Bahaya Longsor di Daerah Vulkanik
Kabupaten Sukabumi Bagian Utara”.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr Boedi Tjahjono, selaku pembimbing I yang telah memberikan arahan dan
bimbingan selama kegiatan penelitian dan penulisan skripsi.
2. Dr Baba Barus, MSc selaku pembimbing II yang telah memberikan motivasi
dan masukan bagi penulis selama kegiatan penelitian dan penulisan skripsi.
3. Dr DPT Baskoro selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan bagi
penulis.
4. Orang tua tercinta (Bapak Tjetjep Badrudjaman dan Ibu Ratnaningsih) dan
kakakku tersayang (Abdullah Sandi Nubara, Sugih Wibawa Mukti, Harry
Meilan Kuswara, Hady Hardiansyah), atas doa perhatian dan dukungan
kepada penulis.
5. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang

telah memberikan ilmu, bantuan dan dukungan kepada penulis selama
menyelesaikan studi.
6. BPBD Kabupaten Sukabumi dan BPD setempat yang telah memberikan
informasi dan bantuan kepada penulis.
7. Teman seperjuangan di Lab PPJ (Indah, Novi Endang, Wiwid, Yuli, Anis,
Arroyan, Fitri Maktuah, Diendra, Zahra, Roki, Noviana, Meilani, Bang Rizal
Kak Lucy, Ka Papink, Bang Dicky, dan Kak Ardya) atas saran dan motivasi
kepada penulis.
8. Rekan-rekan MSL’48 (Frans, Stevia, Bunga, Eka), Abang dan Kakak
MSL’47, MSL’46, MSL’45 dan Adik Ilmu Tanah yang Tidak Dapat
disebutkan, terimakasih untuk kebersamaan dan dukungannya.
9. Rekan rekan lain dari Institut Pertanian Bogor (Shabira, Puspa, Eca, Mae,
Fely, Dinar, Andri, dan Ignas) yang telah memberikan semangat.
10. Semua pihak yang telah membantu kegiatan penelitian dan penyusunan
skripsi ini.
Akhir kata semoga karya Ilmiah ini bermanfaat Bagi para pembaca dan bagi ilmu
pengetahuan, khususnya di bidang Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.
Bogor, April 2016

Siti Huzaimah Aslamiah Badrudjaman

NIM. A14110065

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Definisi Longsor dan Bahaya Longsor

2

METODOLOGI PENELITIAN

5

Waktu dan Lokasi Penelitian


5

Bahan dan Alat Penelitian

6

Metode Penelitian

6

Tahap Persiapan

6

Tahap Kerja Lapang

7

Tahap Analisis Data


7

KONDISI GEOGRAFIS DAERAH PENELITIAN

13

Lokasi

13

Kondisi Geografis

13

Estimasi Persebaran Spasial Daerah Bahaya Longsor

36

SIMPULAN DAN SARAN


41

Simpulan

41

Saran

41

DAFTAR PUSTAKA

42

LAMPIRAN

45

RIWAYAT HIDUP

65

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.

Data sekunder penelitian
Analisis matriks parameter penentu longsor
Skor masing-masing parameter bahaya longsor
Bobot dan perhitungan masing-masing parameter bahaya longsor
berdasarkan statistik
5. Ranking setiap parameter berdasarkan studi literatur
6. Bobot dan perhitungan masing-masing parameter bahaya longsor
berdasarkan studi literatur
7. Klasifikasi bahaya longsor
8. Sebaran jumlah titik longsor dari setiap unit geomorfologi
9. Jumlah kejadian longsor berdasarkan administrasi
10. Derajat hubungan antara variabel longsor di lapangan
11. Klasifikasi tingkat bahaya longsor berdasarkan hasil analisis statistik
12. Klasifikasi tingkat bahaya longsor berdasarkan hasil studi literatur
13. Jumlah kejadian longsor pada kelas bahaya berdasarkan hasil
analisis statistik
14. Jumlah kejadian longsor pada kelas bahaya berdasarkan studi literatur
15. Kerapatan kejadian longsor/100km2 berdasarkan hasil analisis statistik
16. Kerapatan kejadian longsor/100km2 berdasarkan studi literatur

6
7
8
9
10
10
11
17
17
35
37
37
37
40
40
41

DAFTAR GAMBAR
1. Diagram alir penelitian
2. Luas daerah penelitian berdasarkan kelas kemiringan lereng:
(a) luas dalam % dan (b) luas dalam hektar
3. Peta administrasi lokasi penelitian
4. Luas daerah penelitian berdasarkan jenis tanah: (a) luas dalam %
dan (b) luas dalam ha
5. Luas daerah penelitian berdasarkan sifat batuan: (a) luas dalam %
dan (b) luas dalam ha
6. Kondisi geomorfologi daerah penelitian. (a) unit geomorfologi
Gunung Talaga, (b) unit geomorfologi Gunung Salak, dan (c) unit
geomorfologi Gunung Gede Pangrango dilihat dari citra SRTM
resolusi 30 m
7. Sebaran titik-titik longsor dalam kaitannya dengan unit geomorfologi
8. Grafik hubungan jumlah titik longsor dengan elevasi
9. Kejadian longsor berdasarkan elevasi. (a) Lokasi longsor pada
ketinggian 600 mdpl (Kecamatan Sukabumi)
10. Sebaran titik-titik longsor dalam kaitannya dengan elevasi

12
13
14
15
15

16
18
19

19
20

11. Grafik hubungan jumlah titik longsor dengan jenis batuan
12. Contoh kejadian longsor di lapangan (a) batuan dari endapan lahar
di sekitar kejadian longsor dan (b) longsor di lapangan dari endapan lahar
yang menewaskan 3 korban jiwa yang terjadi pada tanggal 11 Maret 2015
13. Sebaran titik-titik longsor dalam kaitannya dengan litologi
14. Grafik hubungan antara jumlah titik longsor dengan jenis tanah
15. Sebaran titik-titik longsor dalam kaitannya dengan jenis tanah
16. Grafik hubungan jumlah titik longsor dengan curah hujan
17. Sebaran titik-titik longsor dalam kaitannya dengan curah hujan
18. Grafik hubungan jumlah titik dengan kemiringan lereng
19. Longsor akibat pemotongan lereng di tepi jalan
20. Sebaran titik-titik longsor dalam kaitannya dengan kelas lereng
21. Hubungan antara jenis penutupan/penggunaan lahan dengan
jumlah titik longsor
22. (a) contoh sawah yang berada di lokasi penelitian dan (b) contoh longsor
kecil di areal persawahan
23. (a) contoh longsor pada bagian bawah lereng dan (b) contoh longsor
di areal permukiman
24. (a) contoh kejadian longsor di tepi jalan pada kebun campuran
meskipun sudah diberi bangunan penguat lereng (turap), (b) pemotongan
lereng pada kebun campuran untuk jalan, (c) kondisi lereng yang
terpotong untuk jalan di antara perkebunan, dan (d) bekas longsoran
pada hutan yang kini telah diberi penguat lereng berupa turap
25. Sebaran titik longsor dalam kaitannya dengan penutupan/penggunaan
lahan
26. Hubungan antara bentuklahan dengan jumlah titik longsor
27. Sebaran titik longsor dalam kaitannya dengan bentuklahan (landform)
28. Sebaran titik longsor berdasarkan pendekatan statistik
29. Sebaran titik longsor berdasarkan pendekatan studi literatur

21

21
22
23
24
25
26
27
27
28
29
30
30

31
32
33
34
38
39

DAFTAR LAMPIRAN
1. Kelas dimensi longsor
2. Data GPS titik longsor di lapangan
3. Data longsor pada unit vulkanik Gede-Pangrango
4. Data longsor pada unit vulkanik Salak
5. Data longsor pada unit vulkanik Talaga
6. Hasil perhitungan statistik
7. Kenampakan penutupan/penggunaan lahan pada citra dan di lapangan
8. Contoh longsoran pada masing-masing unit geomorfologi
9. Longsor yang telah menewaskan korban jiwa

47
47
50
53
56
58
60
62
64

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Secara geotektonik, Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik
utama dunia (Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik) dan secara klimatologis
Indonesia beriklim tropika basah. Konsekuensi kondisi ini adalah bahwa wilayah
Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap beberapa bencana, seperti
gempa bumi, tsunami, letusan gunungapi, banjir, maupun tanah longsor.
Tanah longsor merupakan proses geomorfik yang sering terjadi di
Indonesia terutama di musim hujan. Tanah longsor adalah perpindahan material
pembentuk lereng berupa bebatuan, bahan rombakan tanah, atau campuran
keduanya yang bergerak ke bawah atau ke luar lereng (Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi, 2005). Menurut Yunianto (2011), tanah longsor
merupakan bencana alam yang dapat diramalkan kedatangannya. Hal ini
dikarenakan longsor erat kaitannya dengan curah hujan. Pada prinsipnya tanah
longsor dapat terjadi apabila kondisi gaya pendorong pada suatu lereng nilainya
lebih besar daripada gaya penahan. Gaya penahan banyak dipengaruhi oleh
kekuatan batuan maupun kepadatan tanah, sedangkan gaya pendorong
dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, kandungan air, besarnya beban lereng,
serta berat jenis tanah dan bebatuan. Dijelaskan oleh Alhasanah (2006), bahwa
secara alamiah faktor penyebab tanah longsor meliputi morfologi permukaan
bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi, curah hujan, dan gempa.
Di Indonesia, Provinsi Jawa Barat dikenal sebagai daerah yang paling
rawan terhadap longsor. Provinsi ini memiliki kondisi geografis yang dominan
berbukit, bergunung, dan berlembah serta mempunyai curah hujan yang tinggi.
Menurut Alhasanah (2006), sejak tahun 1990 hingga tahun 2000, di Provinsi Jawa
Barat telah terjadi 483 kali longsor yang telah menelan korban jiwa sebanyak 249
orang dan 108 orang luka-luka, 529 unit rumah hancur, 3.753 unit rumah rusak,
dan 2.300 unit rumah terancam. Secara statistika, rata-rata bencana longsor yang
terjadi setiap tahun di Jawa Barat sebanyak 64 lokasi, dengan korban jiwa berkisar
2 sampai 35 orang dan 78 unit rumah rusak. Adapun beberapa daerah yang
tergolong rawan longsor di wilayah Jawa Barat menurut PVMBG (2005) adalah
Kabupaten Bandung, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Garut, Purwakarta, Subang,
Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, Majalengka, Kuningan, dan Cirebon.
Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu contoh wilayah yang sering
mengalami bencana longsor (BPBD, 2011). Berdasarkan data pemetaan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), di Kabupaten Sukabumi terdapat 31
kecamatan yang rentan terhadap bencana longsor. Kecamatan-kecamatan tersebut
antara lain Kalapangunggal, Cibadak, Nagrak, Kadudampit, Gunungguruh,
Gegerbitung, Cireunghas, Nyalindung, Cisolok, Bantargadung, Warungkiara,
Curugkembar, Sagaranten, Cidolog, Tegal Buleud, dan Jampang Kulon. Bencana
longsor yang pernah terjadi di wilayah-wilayah tersebut menimbulkan banyak
korban jiwa dan kerugian yang mencapai milyaran rupiah, sehingga longsor
menjadi masalah yang serius di Kabupaten Sukabumi. Sebagai contoh pada
tanggal 28 Maret 2015 pukul 22.30 WIB, longsor terjadi di Kampung Cimerak,
Desa Tegal Panjang, Kecamatan Cireunghas menimbun 11 rumah dengan 11
kepala keluarga (30 Jiwa), dan sebanyak 13 orang meninggal akibat longsor
tersebut (Viva, 2015). Sementara itu beberapa hari sebelumnya, pada tanggal 11

2

Maret 2015, longsor terjadi di Desa Pasawahan Kecamatan Cicurug dengan
memakan korban sebanyak 3 orang. Proses evakuasi melibatkan 197 petugas
gabungan dan alat berat karena kondisi medan yang cukup berat (Republika,
2015).
Mengingat tingginya ancaman longsor di Kabupaten Sukabumi, maka
kajian persebaran lokasi-lokasi daerah rawan longsor dan penyebab utama
kejadian longsor di wilayah ini sangat diperlukan. Informasi yang dihasilkan
diharapkan dapat membantu pemerintah daerah maupun masyarakat dalam
memanfaatkan lahan secara arif (efektif dan efisien) dan dapat menunjang
program mitigasi bencana daerah.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (1) melakukan identifikasi titik longsor di
lapangan dan analisis hubungannya dengan parameter penyebab longsor, (2)
menentukan parameter utama penyebab longsor, serta (3) melakukan estimasi
persebaran spasial daerah bahaya longsor.
Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan tujuan yang telah dipaparkan, diharapkan
penelitian ini dapat memberikan mafaat, kepada:
1. Peneliti, terutama untuk menambah wawasan pengetahuan terkait bencana
longsor.
2. Masyarakat, menambah pemahaman tentang bahaya dan bencana longsor.
3. Pemerintah Kabupaten Sukabumi, untuk pengelolaan daerahnya agar dapat
menekan kerugian atau risiko akibat bencana longsor.

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Longsor dan Bahaya Longsor
Cruden (1991) dalam Alhasanah (2006), mengemukakan bahwa longsor
(landslide) adalah massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun
lereng (percampuran tanah dan batuan) yang bergerak menuruni lereng.
Terjadinya longsoran pada umumnya disebabkan oleh pengaruh gravitasi terhadap
batuan hasil pelapukan yang terletak pada topografi yang mempunyai kemiringan
terjal sampai sangat terjal dan berada di atas batuan yang bersifat kedap air
(impermeable). Lapisan kedap air tersebut dalam hal ini berfungsi sebagai bidang
luncur. Sementara itu Hardiyatmo (2006), mengatakan bahwa longsoran
(landslide) adalah gerakan material pembentuk lereng yang diakibatkan oleh
terjadinya pergeseran di sepanjang satu atau lebih bidang longsor.
Adapun kerusakan yang ditimbulkan oleh longsor tidak hanya kerusakan
secara langsung seperti rusaknya fasilitas umum, lahan pertanian, ataupun adanya
korban manusia, tetapi juga kerusakan secara tidak langsung yang dapat
melumpuhkan kegiatan pembangunan dan aktivitas ekonomi di daerah bencana
dan sekitarnya. Dengan demikian dampak bencana alam dapat meningkat seiring
dengan meningkatnya aktivitas manusia. Oleh karenanya Glade et al. (2005),

3

mengatakan bahwa tanah longsor merupakan ancaman terhadap kehidupan dan
penghidupan di seluruh dunia.
Menurut UN/ISDR (2009) dalam Ikqra (2012) bahaya adalah potensi
kehancuran fisik dan aktifitas manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa atau
terluka, kehancuran harta benda, gangguan sosial dan ekonomi atau degradasi
lingkungan. Dalam hal ini bahaya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu dalam
kondisi yang terpendam (latent) disebabkan oleh kondisi alam (geologi,
hidrometeorologi, dan biologi) dan oleh aktifitas manusia (degradasi lingkungan
dan teknologi). Dengan demikian bahaya longsor adalah suatu potensi terjadinya
longsor dalam waktu dekat yang dapat menimbulkan bencana.
Faktor Penyebab Longsor
Kementrian Pekerjaan Umum (2007), menjelaskan bahwa beberapa faktor
penyebab terjadinya longsor antara lain adalah curah hujan, lereng, tekstur dan
jenis tanah, batuan, jenis tata lahan, getaran, material timbunan pada tebing, bekas
longsoran lama, penggundulan hutan, dan daerah pembuangan sampah.
a. Curah Hujan
Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena air akan
masuk melalui tanah yang merekah dan terakumulasi di dasar lereng, sehingga
dapat menimbulkan gerakan. Bila ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor
dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan dan akar tumbuhan
berfungsi mengikat tanah.
b. Lereng
Menurut Karnawati (2001), kelerengan menjadi faktor yang sangat penting
dalam proses terjadinya longsor. Hal ini disebabkan lereng yang terjal akan
memperbesar gaya pendorong. Wilayah dengan kemiringan lereng antara 0-15%
akan stabil terhadap kemungkinan longsor, sedangkan kemiringan di atas 15%
potensi untuk terjadi longsor (pada saat musim penghujan dan terjadinya gempa
bumi) akan semakin besar.
c. Tekstur dan Jenis Tanah (Karakteristik Tanah)
Jenis tanah yang kurang padat seperti tanah lempung atau tanah liat,
memiliki potensi untuk longsor terutama pada musim penghujan. Menurut Sitorus
(2006), jenis tanah merupakan faktor yang sangat menentukan potensi erosi dan
longsor, karena tanah memiliki sifat meloloskan air (permeabilitas). Sifat ini dapat
menggambarkan kuat atau lemahnya daya ikat (kohesi) tanah, sehingga tanah
yang gembur akan mudah dilalui air hingga masuk ke dalam penampang tanah.
Hal tersebut menyebabkan tanah yang gembur akan lebih berpotensi longsor jika
dibawahnya ada lapisan yang lebih padat (massive).
d. Batuan
Batuan endapan gunungapi dan batuan sedimen berukuran pasir dan
campuran kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Bahan tersebut akan
mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan
terhadap longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.

4

e. Jenis Tata Lahan
Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan atau penggunaan lahan
persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada
lahan persawahan akar tanaman padi tidak mampu untuk mengikat butir tanah dan
membuat tanah menjadi lembek serta jenuhnya air menyebabkan tanah mudah
terjadi longsor. Adapun untuk daerah perladangan penyebab longsor adalah
karena akar tumbuhan tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan
umumnya terjadi di daerah longsoran lama.
f. Getaran
Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan,
getaran mesin, dan getaran lalu lintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya
adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak dan dapat
terjadi longsor.
g. Material Timbunan pada Tebing
Untuk mengembangkan dan memperluas lahan permukiman, umumnya
orang melakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan
pada lembah umumnya belum terpadatkan secara sempurna seperti tanah asli yang
berada di bawahnya, sehingga apabila hujan turun, maka akan terjadi penurunan
tanah yang kemudian diikuti oleh retakan tanah.
h. Penggundulan Hutan
Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul,
dimana kurangnya tutupan vegetasi menyebabkan pengikatan air tanah sangat
kurang.
Jenis-jenis Longsor
Longsor menurut PVMBG (2012) dibedakan menjadi enam jenis, yakni
longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan
tanah, dan aliran bahan rombakan:
1. Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang
gelincir berbentuk rata atau gelombang landai.
2. Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang
gelincir berbentuk cekung.
3. Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang
gelincir yang berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran blok batu.
4. Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain bergerak
ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng terjal dan
menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat
menyebabkan kerusakan yang parah.
5. Rayapan tanah adalah jenis gerakan tanah yang bergerak lambat. Jenis
tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis gerakan tanah ini hampir tidak
dapat dikenali, namun dalam waktu yang cukup lama rayapan ini dapat
ditunjukkan oleh adanya tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah yang menjadi
miring ke bawah.
6. Aliran bahan rombakan terjadi ketika massa tanah bergerak karena terdorong
oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume, dan

5

tekanan air, serta jenis materialnya. Longsor jenis ini sering kali memakan
korban dalam jumlah yang banyak.
Menurut Fransiska (2014) dari keenam jenis longsor tersebut, jenis
longsoran translasi dan longsoran rotasi merupakan jenis longsoran yang banyak
terjadi di Indonesia.
Penelitian Sebelumnya
Identifikasi titik longsor di lapangan sangat penting. Namun, dalam
pelaksanaannya identifikasi tersebut tidak mudah, terutama pada lokasi yang
jauh dan mempunyai relief perbukitan atau pegunungan yang sulit dijangkau.
Dalam hal ini pemanfaatan data penginderaan jauh menjadi sangat penting karena
dapat membantu mengidentifikasi titik longsor secara efisien. Oleh karena itu,
beberapa penelitian telah banyak dilakukan dengan menggunakan penginderaan
jauh dan Sistem Informasi Geospasial (SIG). Penginderaan jauh adalah ilmu
untuk memperoleh informasi suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis
data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek,
daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1997). Adapun SIG
menurut Barus dan Wiradisastra (2000), adalah suatu sistem informasi yang
dirancang untuk bekerja dengan data bereferensi spasial atau berkoordinat
geografis.
Penelitian-penelitian longsor yang memakai data penginderaan jauh dan
SIG telah banyak, namun parameter yang digunakan untuk menilai kerentanan
atau bahaya longsor agak bervariasi. Fransiska (2014) menggunakan parameter
longsor kemiringan lereng, jenis tanah, iklim atau curah hujan, dan
penggunaan/penutupan lahan dengan studi kasus Kabupaten Agam. Ikqra (2012)
menggunakan kemiringan lereng, jenis tanah, penggunaan lahan dan bentuklahan
untuk mengukur tingkat bahaya longsor di Pulau Ternate, sedangkan Silviani
(2013) mengukur tingkat bahaya longsor di DAS Ciliwung Hulu dengan
menggunakan parameter yang disintesis dari berbagai sumber, yaitu curah hujan,
kemiringan lereng, geologi, jenis tanah, dan penggunaan lahan. Parameterparameter tersebut dianalisis dengan menggunakan metode pendekatan MCE
(Multi Criteria Evaluation) dengan pembobotan (weighting) dan scoring dalam
SIG.
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga September 2015 di
Kabupaten Sukabumi bagian utara sebagai tempat studi kasus penelitian. Daerah
penelitian mencakup 24 wilayah kecamatan (Gambar 1), yaitu Parakansalak,
Bojong Genteng, Caringin, Ciambar, Cibadak, Cicantayan, Cicurug, Cidahu,
Cikakak, Cikembar, Cikidang, Cireunghas, Cisaat, Cisolok, Kabandungan,
Kadudampit, Kalapanunggal, Kebon Pedes, Nagrak, Parungkuda, Sukabumi,
Sukalarang, Sukaraja, dan Warung Kiara. Analisis data dilakukan di Divisi
Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

6

Bahan dan Alat Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan pengecekan titik
longsor di lapangan, sedangkan data sekunder diambil dari citra Landsat 8 tahun
2014, citra SRTM resolusi 30x30 m, peta administrasi Kabupaten Sukabumi, peta
digital curah hujan lembar Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta, peta digital
geologi skala 1:100.000, peta sungai, dan peta jalan. Adapun alat yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi GPS, Kompas Geologi, Kamera, Abney Level, alat
tulis dan seperangkat komputer dengan perangkat lunak Microsoft Word 2007,
Microsoft Excel 2007, ArcGIS 10.2.2, Global Mapper 15, SPSS 16, ENVI 4.5,
dan ERDAS IMAGINE 2014. Semua data sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Data sekunder penelitian
No

Data

1.

Citra Landsat TM 8 Akuisisi
9 Juni 2014
Citra SRTM
Peta Geologi Digital Lembar
Jawa Barat
Peta Curah Hujan Kabupaten
Sukabumi
Peta Adimintrasi Kabupaten
Sukabumi
Peta Jenis Tanah Kabupatan
Sukabumi

2.
3.
4.
5.
6.

Skala/Resolusi
Spasial
30x30 m
30x30 m
1:100.000
1:50.000
1:50.000
1:50.000

Sumber
www.earthexplorer.usgs.gov
www.earthexplorer.usgs.gov
Pusat Penelitian dan
Penelitian Geologi
Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah
Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah
Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah

Metode Penelitian
Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan interpretasi geomorfologis melalui citra SRTM30 m yang dibantu dengan peta geologi. Tujuannya adalah untuk menentukan
batas wilayah penelitian yang meliputi bentanglahan vulkanik di Kabupaten
Sukabumi bagian utara. Selain itu, pada tahap ini juga dilakukan analisis
kemiringan lereng dari citra SRTM serta klasifikasi penutupan/penggunaan lahan
dari Landsat TM 8. Hasilnya disajikan dalam bentuk peta tematik, yaitu peta unit
geomorfologi, peta bentuklahan, dan peta penutupan/penggunaan lahan. Sebelum
melakukan kerja lapangan, pada tahap ini dilakukan terlebih dahulu penentuan
parameter longsor melalui analisis matriks yang mengacu pada parameter yang
telah dipakai oleh peneliti-peneliti sebelumnya (Alhasanah, 2006; Damanik, 2015;
Fransiska, 2014; Ikqra, 2012; Mukti, 2012; Silviani, 2013; dan Yunianto, 2011).
Tabel 2 berikut menyajikan bentuk analisis matriks dari berbagai literatur.

7

Tabel 2. Analisis matriks parameter penentu longsor
Parameter Longsor
Penggunaan
/Penutupan Geologi
Lahan

Literatur

Kemiringan
Lereng

Jenis
Tanah

Alhasanah,
2006
Damanik,
2015
Fransiska,
2013
Yunianto,
2011
Mukti,2012
Silviani,
2013
Ikqra, 2012

Iklim
/Curah
Hujan











Total



Bentuk
Lahan

Gangguan
lereng









Elevasi













































7

6




6

7


4

1

3

1

Berdasarkan Tabel 2, maka semua parameter tersebut digunakan dalam
penelitian ini yaitu kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan,
penggunaan/penutupan lahan, geologi, elevasi, bentuklahan, kecuali gangguan
lereng. Hal ini disebabkan data parameter gangguan lereng atau lereng lokal
(pemotongan lereng) tidak dapat digunakan untuk mewakili seluruh keadaan di
lapangan.
Tahap Kerja Lapang
Pada tahap ini dilakukan pencarian dan pengambilan data longsor di
lokasi-lokasi yang pernah mengalami longsor. Orientasi pencarian titik longsor
mengacu pada data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten
Sukabumi dan wawancara dengan penduduk lokal. Lokasi titik longsor diambil
dengan GPS. Data di lokasi longsor yang diambil antara lain bentuklahan, jenis
batuan (litologi), kemiringan lokal di titik longsor, jenis penutupan/penggunaan
lahan, elevasi kejadian longsor, ukuran longsor, frekuensi longsor, serta data
lainnya seperti dampak longsor terhadap penduduk lokal.
Tahap Analisis Data
Data yang diperoleh dari lapangan selanjutnya diplot pada peta-peta
tematik melalui analisis tumpang tindih (overlay) dengan software ArcGIS 10.2.2.
Tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui keterkaitan antara titik longsor
dengan faktor penentu longsor melalui Peta Administrasi, Peta Elevasi, Peta
Litologi, Peta Jenis Tanah, Peta Curah Hujan, Peta Lereng, Peta
Penutupan/penggunaan lahan, dan Peta Bentuklahan.
Analisis regresi logistik dengan software SPSS dilakukan untuk melihat
faktor utama penyebab terjadinya longsor. Parameter yang digunakan untuk
analisis adalah elevasi, litologi, jenis tanah, curah hujan, kemiringan lereng,
penutupan/penggunaan lahan, dan bentuklahan.
Pemetaan Bahaya Longsor
Analisis bahaya (hazard) longsor dilakukan dengan metode Multi Criteria
Evaluation (MCE) yang berbasiskan pada pembobotan dan skoring terhadap

8

parameter yang digunakan, yaitu elevasi, litologi, jenis tanah, curah hujan, lereng,
penutupan/penggunaan lahan, dan bentuklahan. Besarnya skor dapat dilihat pada
Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Skor masing-masing parameter bahaya longsor
No
1

2

3

4

5

6

Parameter
Lereng
Sangat Curam (>40%)
Curam (25-40%)
Agak Curam (15-25%)
Landai (8-15%)
Datar (0-8%)
Elevasi
>2400 mdpl
1800-2400 mdpl
1200-1800 mdpl
600-1200 mdpl
40%). Gambar
2, memperlihatkan proporsi luas di daerah penelitian berdasarkan kelas
kemiringan lereng dan terlihat bahwa kelas kemiringan lereng terluas terdapat
pada kelas agak curam (25%) dan curam (24%).

(a)

(b)

Gambar 2. Luas daerah penelitian berdasarkan kelas kemiringan lereng: (a) luas
dalam % dan (b) luas dalam hektar
Kondisi hidrologi wilayah penelitian dicirikan oleh mata air dan air
permukaan, seperti alian sungai Cimandiri, Cibareno, Cimaja, Cileuleuy,
Cigunung, Cikahuripan, Cipalasari, Cibeureum, Cicurug, dan Citarik. Pola aliran
yang berkembang dari sungai-sungai tersebut adalah pola radial dan pola
dendritik.

14

Gambar 3. Peta administrasi lokasi penelitian

15
Jenis tanah yang terdapat di daerah penelitian pada umumnya adalah jenis
tanah Latosol, Andosol, dan Regosol yang berasal dari hasil erupsi gunungapi.
Proporsi luas jenis tanah di daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa jenis tanah terluas adalah jenis
Latosol dengan luas wilayah 80.415 ha atau 76% dari luas daerah penelitian.

(a)

(b)

Gambar 4. Luas daerah penelitian berdasarkan jenis tanah: (a) luas dalam % dan
(b) luas dalam ha
Secara geologis, daerah penelitian tersusun dari formasi geologi berumur
Holosen, dan Pleistosen. Lokasi penelitian terletak pada daerah endapan vulkanik
dari ketiga gunungapi yang mengacu pada peta geologi digital (PPPG, 1996).
Sementara itu berdasarkan sifat batuan umumnya didominasi oleh batuan breksi
tuff dengan luas wilayah 26.248 ha atau 25% dari luas wilayah total daerah
penelitian (Gambar 5).

(a)

(b)

Gambar 5. Luas daerah penelitian berdasarkan sifat batuan: (a) luas dalam % dan
(b) luas dalam ha

16

HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Titik Longsor dan Hubungan antara Titik-titik Longsor dengan
Parameter Pembentuk Longsor
Identifikasi Titik Longsor
Daerah penelitian secara geomorfologi meliputi wilayah yang tercakup
dalam jajaran pegunungan vulkanik berumur Kuarter yang terdiri dari tiga
gunungapi, dimana kondisi dari dua gunungapi tergolong aktif (Gunung Gede dan
Gunung Salak) dan satu gunungapi tergolong dormant (Gunung Talaga).
Kenampakan geomorfologi dari ketiga unit vulkanik tersebut dapat dilihat pada
Gambar 6.
Gambar 6 menunjukkan bahwa kenampakan geomorfologi dari ketiga unit
vulkanik tersebut pada citra lebih mudah dibedakan dari segi kenampakan
teksturnya. Morfologi daerah vulkanik ini dicirikan oleh relief perbukitan dan
pegunungan serta mempunyai pola aliran radial, sedangkan informasi litologi
dapat diketahui dari peta geologi maupun observasi lapangan sehingga dapat
membantu untuk mengetahui morfogenesis vulkanik daerah penelitian. Tingkat
torehan dan tekstur permukaan lahan yang tampak pada citra membantu
membedakan tahapan perkembangan bentuklahan atau morfokronologi dari setiap
unit geomorfologi. Pada unit geomorfologi Gunung Gede-Pangrango terlihat
bahwa torehan-torehan yang ada umumnya lebih ringan dibandingkan dengan
torehan pada unit geomorfologi pada Gunung Salak dan unit geomorfologi
Gunung Talaga. Hal ini dikarenakan Gunung Gede-Pangrango relatif lebih muda
dan masih aktif, sementara itu Gunung Salak tampak sudah lebih berkembang
tingkat torehannya, apalagi pada Gunung Talaga yang relatif paling terdenudasi
dan sudah lebih banyak mengalami perubahan pada bagian lerengnya

(a)

(b)

(c)

Gambar 6. Kondisi geomorfologi daerah penelitian. (a) unit geomorfologi
Gunung Talaga, (b) unit geomorfologi Gunung Salak, dan (c) unit geomorfologi
Gunung Gede Pangrango dilihat dari citra SRTM resolusi 30 m
Berdasarkan hasil pencarian, identifikasi, dan pengamatan lapangan, titiktitik longsor yang diperoleh data sebanyak 76 titik yang meliputi titik-titik longsor
baru (belum lama terjadi) dan titik-titik longsor lama (terjadi di tahun-tahun
sebelumnya). Dari data tersebut, sebanyak 35 titik longsor berada pada unit
geomorfologi vulkanik Gede-Pangrango, 36 titik longsor berada pada unit
geomorfologi vulkanik Salak, dan 5 titik berada pada unit geomorfologi vulkanik
Talaga. Dari hasil identifikasi, titik-titik longsor ditemukan pada berbagai macam
penggunaan lahan, yaitu di penggunaan lahan permukiman, lahan pertanian, dan

17
kebun campuran. Beberapa titik longsor sangat sulit untuk dijangkau dalam survei
sehingga tidak diperoleh titik koordinatnya. Oleh karena itu, jumlah titik-titik
pengamatan yang diperoleh dalam penelitian ini agak terbatas, yaitu hanya pada
wilayah yang masih dapat dijangkau. Dengan demikian, dimungkinkan masih
terdapat titik-titik longsor lain yang belum ditemukan (karena sulitnya medan
untuk mencapai titik-titik tersebut). Sebaran dari jumlah titik longsor di ketiga
unit geomorfologi vulkanik tersebut disajikan pada Tabel 8, dan secara spasial
dapat dilihat pada Gambar 7.
Tabel 8. Sebaran jumlah titik longsor dari setiap unit geomorfologi
No
1.
2.
3.

Unit Geomorfologi
Gunung Gede-Pangrango
Gunung Salak
Gunung Talaga

Jumlah Titik Longsor
35
36
5

Berdasarkan Gambar 7, dapat dilihat bahwa ukuran longsor pada unit
geomorfologi vulkanik Gede-Pangrango dan Salak relatif lebih bervariasi, dari
kecil hingga besar (Lampiran 7), sedangkan pada unit geomorfologi vulkanik
Talaga hanya ditemukan jenis longsor yang berukuran besar. Umur tubuh
gunungapi yang telah lama mengalami proses denudasi (G. Talaga) tampaknya
dapat menjadi penciri untuk ukuran longsoran yang banyak terjadi di daerah
penelitian. Jika dilihat berdasarkan batas kecamatan (administrasi), maka
persebaran titik longsor paling banyak adalah terdapat di Kecamatan Kadudampit
yang
diikuti oleh Kecamatan Parungkuda, Kecamatan Parakansalak dan
kecamatan-kecamatan lainnya (Tabel 9).
Tabel 9. Jumlah kejadian longsor berdasarkan administrasi
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Kecamatan
Kadudampit
Parungkuda
Parakan Salak
Cicurug
Caringin
Cisolok
Nagrak
Sukaraja
Kabandungan
Sukabumi
Cibadak

Jumlah Titik Longsor
15
11
11
8
8
5
5
4
4
3
2

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa jumlah kejadian longsor tertinggi
terdapat pada Kecamatan Kadudampit dan terendah pada Kecamatan Cibadak
dengan titik longsor masing-masing 15 dan 2 kejadian. Hal ini dikarenakan
Kecamatan Kadudampit memiliki topografi berbukit dan bergunung (Gambar 1),
dan berdasarkan hasil pengamatan lapang, longsor banyak terjadi akibat adanya
aktivitas manusia, seperti pemotongan lereng untuk pembuatan jalan dan
permukiman. Gejala ini mirip dengan pendapat Gerrard (1981) bahwa beberapa
penyebab longsor yang paling utama adalah kondisi topografi (ketinggian/elevasi
dan kemiringan lereng).

18

Gambar 7. Sebaran titik-titik longsor dalam kaitannya dengan unit geomorfologi

19

Dalam halaman berikut akan diuraikan secara singkat hubungan antara
jumlah titik-titik longsor yang diperoleh di lapangan dengan parameter-parameter
penentu longsor, yaitu elevasi, litologi, jenis tanah, curah hujan, lereng,
penggunaan/penutupan lahan, dan bentuklahan (landform).
Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Elevasi
Apabila elevasi daerah penelitian dipilah menjadi dua, yaitu 600 mdpl (pegunungan), maka hasil pemetaan
memperlihatkan bahwa titik-titik longsor yang berada pada elevasi 600 mdpl terdapat
sebanyak 42 kejadian longsor (Gambar 8). Hal tersebut menunjukkan bahwa
semakin tinggi elevasi, maka jumlah kejadian longsor semakin banyak. Menurut
Mukti (2012), hal tersebut cukup wajar dikarenakan semakin bertambahnya
elevasi maka peluang keberadaan kelas kemiringan lereng, terutama dari miring
hingga terjal, semakin besar. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Gerrad (1981),
bahwa pada elevasi tinggi secara umum mempunyai banyak lereng-lereng yang
curam, meskipun pada beberapa tempat di dataran tinggi juga terdapat lereng yang
landai. Titik-titik longsor di daerah penelitian yang berada pada elevasi >1200
tidak diidentifikasi dalam penelitian ini karena sulitnya medan yang untuk
mencapai daerah tersebut sehingga pada grafik tidak ditandai adanya kejadian titik
longsor. Contoh lapangan kejadian longsor berdasarkan elevasi dapat dilihat pada
Gambar 9, sedangkan persebaran titik longsor di daerah penelitian terhadap
elevasi secara spasial dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 8. Grafik hubungan jumlah titik longsor dengan elevasi

(a)

(b)

Gambar 9. Kejadian longsor berdasarkan elevasi. (a) Lokasi longsor pada
ketinggian 600 mdpl (Kecamatan Sukabumi)

20

Gambar 10. Sebaran titik-titik longsor dalam kaitannya dengan elevasi

21

Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Litologi (Sifat Batuan)
Faktor geologi yang memicu terjadinya longsor adalah ditentukan oleh
struktur batuan dan komposisi mineralogi (kepekaan longsor) yang dicirikan oleh
jenis batuan. Jenis batuan yang diacu dalam penelitian ini diambil dari peta
bentuklahan (Landform) dan juga hasil observasi lapangan. Berdasarkan
pengamatan di lapangan terlihat bahwa jumlah kejadian titik longsor banyak
terjadi pada batuan lahar, yaitu sebanyak 62 titik kejadian longsor (Gambar 11).
Batuan lahar adalah formasi batuan hasil endapan proses fluvio-vulkanik yang
umumnya berada pada lereng yang relatif lebih landai. Pada lereng yang lebih
landai tersebut, aktivitas manusia (memanfaatkan lahan) tampak lebih dominan,
sehingga tidak sedikit hasil dari aktivitas tersebut yang kemudian memicu
terjadinya longsor, terutama pada tebing-tebing perlembahan yang digunakan
untuk penambangan, lahan pertanian, atau lahan yang dipotong untuk jalan
(Gambar 12). Adapun untuk kejadian longsor pada jenis batuan tuff terdapat 9
kejadian. Dalam hal ini tuff adalah jenis batuan yang berbutir halus dan pada
umumnya mempunyai kerentanan lebih tinggi terhadap longsor dibandingkan
dengan jenis batuan vulkanik lain. Pada wilayah yang berbatuan lava jumlah
kejadian longsor hanya sebanyak 5 kejadian. Batuan lava (dan juga termasuk
batuan breksi vulkanik) adalah jenis batuan vulkanik yang kompak, sehingga
memiliki sifat tidak mudah longsor. Namun demikian, Darsoatmodjo dan
Soedrajat (2002), menyebutkan bahwa batuan breksi yang kompak apabila berada
di atas lapisan yang mempunyai bidang luncur miring ke arah lereng yang terjal,
maka akan tetap rawan terhadap longsor. Secara spasial persebaran titik longsor
dan kaitannya dengan kondisi litologi dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 11. Grafik hubungan jumlah titik longsor dengan jenis batuan

(a)
(b)
Gambar 12. Contoh kejadian longsor di lapangan (a) batuan dari endapan
lahar di sekitar kejadian longsor dan (b) longsor di lapangan dari endapan
lahar yang menewaskan 3 korban jiwa yang terjadi pada tanggal 11 Maret
2015

22

Gambar 13. Sebaran titik-titik longsor dalam kaitannya dengan litologi

23

Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Jenis Tanah
Berdasarkan hasil observasi lapangan kejadian longsor jauh lebih banyak
terjadi pada tanah-tanah Latosol daripada tanah Andosol, sedangkan pada jenisjenis tanah yang lain tidak teridentifikasi adanya titik longsor (Gambar 14).

Gambar 14. Grafik hubungan antara jumlah titik longsor dengan jenis tanah
Berdasarkan Gambar 14 terlihat bahwa jumlah kejadian titik longsor
terbanyak terdapat pada pada jenis tanah Latosol, yaitu sebanyak 73 kejadian. Hal
ini bisa disebabkan oleh sifat tanah Latosol itu sendiri yang lebih rentan terhadap
longsor daripada tanah lain seperti tanah Andosol. Menurut Dudal dan
Soepraptoharjo (1957), tanah Latosol umumnya mempunyai tekstur lempung
hingga liat, sehingga jika lapisan liat ini berada di lapisan bawah permukaan tanah
maka dapat membentuk suatu lapisan kedap air yang selanjutnya dapat berfungsi
sebagai bidang luncur dan menyebabkan longsor. Hal tersebut sesuai juga dengan
pendapat Sitorus (2006) yang menyatakan bahwa tekstur liat (clay) relatif kedap
air sehingga dapat membentuk bidang luncur terutama pada lahan yang berlereng
agak curam hingga curam. Untuk hasil penelitian ini, keterkaitan antara titik
longsor dengan jenis tanah secara spasial dapat dilihat pada Gambar 15.

24

Gambar 15. Sebaran titik-titik longsor dalam kaitannya dengan jenis tanah

25

Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Curah Hujan
Berdasarkan keterkaitannya dengan curah hujan, jumlah titik longsor pada
kelas curah hujan 2500-3000 mm/tahun hanya sebanyak 3 titik longsor,
sebaliknya jumlah titik longsor terbanyak berada pada kelas curah hujan 40004500 mm/tahun yaitu sebanyak 30 titik longsor (Gambar 16). Secara teori hal
tersebut tampak wajar karena curah hujan adalah pemicu terjadinya longsor,
sehingga semakin tinggi curah hujan suatu area maka semakin banyak jumlah
kejadian longsor yang terjadi. Dalam teori, curah hujan bersifat meningkatkan
kejenuhan tanah serta menaiknya muka air tanah, sehingga jika hujan turun pada
lereng-lereng dengan material penyusun (tanah dan batuan) yang rentan terhadap
longsor, maka akan menurunkan daya kuat geser tanah/batuan tersebut dan
sebaliknya menambah berat massa tanah. Untuk titik