Pemetaan Daerah Rawan Longsor Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara

(1)

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR

KABUPATEN KARO

PROVINSI SUMATERA UTARA

HASIL PENELITIAN

OLEH:

ANITA NAOMI LUMBAN GAOL 061201012/ MANAJEMEN HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judu l Skripsi : Pemetaan Daerah Rawan Longsor Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara

Nama : Anita Naomi Lumban Gaol

Nim : 061201012

Program Studi : Manajemen Hutan Departemen : Kehutanan

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

(Rahmawaty, S. Hut, M. Si, Ph. D) (Bejo Slamet, S. Hut, M. P

NIP. 19740721 2001 12 2 001 NIP. 197507092000031002

)

Diketahui Oleh:

Ketua Departemen Kehutanan

NIP. 19641228 200012 1 001 Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS


(3)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Anita Naomi Lumban Gaol, dilahirkan di Medan pada

tanggal 25 Maret 1988 dari orang tua Bapak J. Lumban Gaol dan Ibu E. br. Pangaribuan. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara.

Tahun 2000 penulis lulus dari Sekolah Dasar ST. Petrus Medan dan pada tahun 2003 lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 10 Medan. Tahun 2006 penulis lulus Sekolah Menengah Umum Negeri 17 Medan. Tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi Universitas Sumatera Utara (USU) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif dalam berbagai organisasi di kampus seperti Himpunan Mahasiswa Silva (HIMAS), UKM KMK dan Paduan Suara Transeamus. Penulis juga telah melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Perum Perhutani Banyuwangi Selatan Surabaya Unit II Jawa Timur.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemetaan Daerah Rawan Longsor Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara” ini tepat pada waktunya dan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Sarjana Kehutanan bagi setiap mahasiswa Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Orangtua tercinta Ayahanda J. Lumban Gaol dan Ibunda E. br. Pangaribuan

serta keluarga dan teman-teman atas semua doa dan motivasinya

2. Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D dan Bejo Slamet, S. Hut, M. P, yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan serta saran dan kritik kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini

3. Kantor BKPH Wilayah I Medan yang turut membantu dalam memberikan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini

4. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak.

Medan, September 2010 Penulis


(5)

ABSTRAK

Bencana alam tanah longsor sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat dan menimbulkan kerugian bagi kehidupan masyarakat. Kabupaten Karo merupakan wilayah yang memiliki potensi bencana tanah longsor karena wilayah ini pada umumnya berada pada dataran tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan daerah rawan bahaya longsor di Kabupaten Karo. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta dasar Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 tahun 1992, peta digital kelerengan skala 1:250.000 tahun 2007, peta digital geologi skala 1:250.000 tahun 2000, peta digital tanah skala 1:250.000 tahun 2000, dan peta digital penutupan lahan skala 1:250.000 tahun 2009. Pengolahan dilakukan dengan menumpangsusunkan setiap parameter penentu bahaya longsor. Hasil yang diperoleh adalah sebaran bahaya longsor yang terdiri dari lima kelas yaitu kelas sangat rendah (1.252,01 ha), rendah (349,49), sedang (1.818,91), tinggi (14.895,43), dan sangat tinggi (1.844,10). Identifikasi daerah rawan bahaya longsor di Kabupaten Karo berdasarkan kecamatan adalah Kecamatan Tiga Binanga dengan kelas bahaya sangat tinggi (477,27 ha) dan Kecamatan Mardingding dengan kelas tinggi (2.476,73 ha). Penyebab tanah longsor terutama disebabkan oleh persen kelerengan suatu wilayah yang tinggi dan didukung oleh jenis batuan, tanah, dan penggunaan lahannya yang dipicu oleh curah hujan yang tinggi. Identifikasi lahan berpotensi longsor sangat diperlukan untuk mengetahui sebaran daerah yang rawan longsor dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis.


(6)

ABSTRACT

Natural disasters landslide as one natural phenomenon can occur at any time and cause damage to human life. Karo Regency is an area that has potential for landslides as the region in general plateau. This study aims to identify and map areas vulnerable to landslides in karo regency. Data used in this study is to map the basic way as the earth Indonesia 1:50.000 scale in 1992, digital maps of slope scale 1:250.000 in 2007, digital geological map in scale map scale 1:250.000 in 2000, and digital map of land scale 1:250.000 in 2009. Processing is done by riding each parameter determining landslide hazard. The result is a dange landslides distribution consisting of five classes is very low (1.252,01) ha, low (349,49), medium (1.818,91), high (14.895,43), and very high (1.844,10). Identification of areas prone to landslide hazards in Karo district Binanga based on three subdistricts with a very high danger class(477,27 ha) and Mardingding with a high danger class (2.476,73 ha). Causes of landslides mainly caused by the slope of a high percent of the region and supported by the type of sock, soil and land use that is triggered by high rainfall. The identification of landslide prone land is needed to determine the distribution of slide prone areas using Geographic Information System technology.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR... iv

... ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Pengenalan Gerakan Tanah ... 4

Pengertian Tanah Longsor ... 5

Penyebab Longsoran ... 8

Aplikasi SIG untuk Pemetaan Daerah Rawan Longsor ... 13

METODOLOGI PENELITIAN... 19

Waktu dan Lokasi Penelitian ... 19

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 20

Bahan dan Alat ... 21

Metode Penelitian ... 22

1. Pengumpulan data primer ... 22

2. Pengumpulan data sekunder... 23

3. Analisis Bahaya Longsor ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

Sebaran Titik Sampel Bahaya Longsor Berdasarkan Kecamatan ... 30

Sebaran Bahaya Longsor Berdasarkan Kecamatan ... 31

Kelas bahaya longsor sangat tinggi ... 34

Kelas bahaya longsor tinggi ... 35

Faktor-faktor Penyebab Bahaya Longsor di Kabupaten Karo . 35 Bahaya longsor berdasarkan kelas kelerengan... 35

Bahaya longsor berdasarkan jenis batuan ... 37

Bahaya longsor berdasarkan jenis tanah ... 40

Berdasarkan jenis tutupan lahan... 44

KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

Kesimpulan ... 47

Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48


(8)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Parameter pemetaan rawan longsor ... 24

2. Skor Interval Kelas Lereng ... 25

3. Skor Interval Jenis Geologi ... 25

4. Skoring jenis batuan di lokasi penelitian ... 26

5. Skor Interval Jenis Tanah ... 26

6. Skoring jenis tanah untuk pendugaan bahaya longsor ... 27

7. Skor interval jenis penutupan lahan ... 27

8. Padanan jenis penutupan lahan pada data sekunder peta digital penutupan lahan dengan jenis penutupan lahan yang memiliki skor ... 28

9. Faktor pembobotan yang digunakan untuk penetapan bahaya longsor.. ... 28

10.Skor interval dan tingkat bahaya longsor ... 29

11.Jumlah titik sampel berdasarkan kecamatan ... 31

12.Kelas bahaya longsor berdasarkan kecamatan ... 34

13.Kelas bahaya longsor berdasarkan kelerengan ... 36

14.Tingkat bahaya longsor menurut jenis batuan ... 38

15.Tingkat bahaya longsor menurut jenis tanah ... 41


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Longsoran translasi (a), longsoran rotasi (b), pergerakan blok (c),

dan runtuhan batu (d) ……… .... 7 2. Jenis tanah longsor rayapan tanah (a) dan aliran bahan rombakan

(b)……… ... 8

3. Lereng terjal (a), tanah yang kurang padat dan tebal (b), batuan yang kurang kuat (c), jenis tata lahan

(d)………... 11

4. Getaran yang biasanya diakibatkan oleh gempa bumi (a) dan

adanya material timbunan pada tebing (b)... ... 12 5. Peta wilayah administrasi kecamatan di Kabupaten Karo... ... 19 6. Skema Analisis Pemetaan Bahaya Longsor... ... 29

7. Peta sebaran bahaya longsor di Kabupaten

Karo……….. ... 32 8. Karakteristik longsoran translasi pada Kecamatan Kuta

Buluh(a), rotasi pada Kecamatan Laubaleng (b), dan pergerakan

blok pada Kecamatan Kuta Buluh (c) ……….. ... 33 9. Kelas bahaya longsor sangat tinggi di Kecamatan Tiga Binanga

(a) dan tinggi di Kecamatan Mardingding (b)……….. ... 35 10.Pertanian lahan kering pada Kecamatan Mardingding (a) dan

Kecamatan Munthe (b)………. . 45

11.Jenis penggunaan lahan berupa pemukiman di Kecamatan

Berastagi ………. ... 46


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Titik Sampel Bahaya Longsor Kabupaten Karo ... ... 50

2. Peta Kelas Kelerengan Kabupaten Karo………. . 53

3. Peta Jenis Batuan Kabupaten Karo... . 54

4. Peta Jenis Tanah Kabupaten Karo……….. . 55


(11)

ABSTRAK

Bencana alam tanah longsor sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat dan menimbulkan kerugian bagi kehidupan masyarakat. Kabupaten Karo merupakan wilayah yang memiliki potensi bencana tanah longsor karena wilayah ini pada umumnya berada pada dataran tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan daerah rawan bahaya longsor di Kabupaten Karo. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta dasar Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 tahun 1992, peta digital kelerengan skala 1:250.000 tahun 2007, peta digital geologi skala 1:250.000 tahun 2000, peta digital tanah skala 1:250.000 tahun 2000, dan peta digital penutupan lahan skala 1:250.000 tahun 2009. Pengolahan dilakukan dengan menumpangsusunkan setiap parameter penentu bahaya longsor. Hasil yang diperoleh adalah sebaran bahaya longsor yang terdiri dari lima kelas yaitu kelas sangat rendah (1.252,01 ha), rendah (349,49), sedang (1.818,91), tinggi (14.895,43), dan sangat tinggi (1.844,10). Identifikasi daerah rawan bahaya longsor di Kabupaten Karo berdasarkan kecamatan adalah Kecamatan Tiga Binanga dengan kelas bahaya sangat tinggi (477,27 ha) dan Kecamatan Mardingding dengan kelas tinggi (2.476,73 ha). Penyebab tanah longsor terutama disebabkan oleh persen kelerengan suatu wilayah yang tinggi dan didukung oleh jenis batuan, tanah, dan penggunaan lahannya yang dipicu oleh curah hujan yang tinggi. Identifikasi lahan berpotensi longsor sangat diperlukan untuk mengetahui sebaran daerah yang rawan longsor dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis.


(12)

ABSTRACT

Natural disasters landslide as one natural phenomenon can occur at any time and cause damage to human life. Karo Regency is an area that has potential for landslides as the region in general plateau. This study aims to identify and map areas vulnerable to landslides in karo regency. Data used in this study is to map the basic way as the earth Indonesia 1:50.000 scale in 1992, digital maps of slope scale 1:250.000 in 2007, digital geological map in scale map scale 1:250.000 in 2000, and digital map of land scale 1:250.000 in 2009. Processing is done by riding each parameter determining landslide hazard. The result is a dange landslides distribution consisting of five classes is very low (1.252,01) ha, low (349,49), medium (1.818,91), high (14.895,43), and very high (1.844,10). Identification of areas prone to landslide hazards in Karo district Binanga based on three subdistricts with a very high danger class(477,27 ha) and Mardingding with a high danger class (2.476,73 ha). Causes of landslides mainly caused by the slope of a high percent of the region and supported by the type of sock, soil and land use that is triggered by high rainfall. The identification of landslide prone land is needed to determine the distribution of slide prone areas using Geographic Information System technology.


(13)

ABSTRAK

Bencana alam tanah longsor sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat dan menimbulkan kerugian bagi kehidupan masyarakat. Kabupaten Karo merupakan wilayah yang memiliki potensi bencana tanah longsor karena wilayah ini pada umumnya berada pada dataran tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan daerah rawan bahaya longsor di Kabupaten Karo. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta dasar Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 tahun 1992, peta digital kelerengan skala 1:250.000 tahun 2007, peta digital geologi skala 1:250.000 tahun 2000, peta digital tanah skala 1:250.000 tahun 2000, dan peta digital penutupan lahan skala 1:250.000 tahun 2009. Pengolahan dilakukan dengan menumpangsusunkan setiap parameter penentu bahaya longsor. Hasil yang diperoleh adalah sebaran bahaya longsor yang terdiri dari lima kelas yaitu kelas sangat rendah (1.252,01 ha), rendah (349,49), sedang (1.818,91), tinggi (14.895,43), dan sangat tinggi (1.844,10). Identifikasi daerah rawan bahaya longsor di Kabupaten Karo berdasarkan kecamatan adalah Kecamatan Tiga Binanga dengan kelas bahaya sangat tinggi (477,27 ha) dan Kecamatan Mardingding dengan kelas tinggi (2.476,73 ha). Penyebab tanah longsor terutama disebabkan oleh persen kelerengan suatu wilayah yang tinggi dan didukung oleh jenis batuan, tanah, dan penggunaan lahannya yang dipicu oleh curah hujan yang tinggi. Identifikasi lahan berpotensi longsor sangat diperlukan untuk mengetahui sebaran daerah yang rawan longsor dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis.


(14)

ABSTRACT

Natural disasters landslide as one natural phenomenon can occur at any time and cause damage to human life. Karo Regency is an area that has potential for landslides as the region in general plateau. This study aims to identify and map areas vulnerable to landslides in karo regency. Data used in this study is to map the basic way as the earth Indonesia 1:50.000 scale in 1992, digital maps of slope scale 1:250.000 in 2007, digital geological map in scale map scale 1:250.000 in 2000, and digital map of land scale 1:250.000 in 2009. Processing is done by riding each parameter determining landslide hazard. The result is a dange landslides distribution consisting of five classes is very low (1.252,01) ha, low (349,49), medium (1.818,91), high (14.895,43), and very high (1.844,10). Identification of areas prone to landslide hazards in Karo district Binanga based on three subdistricts with a very high danger class(477,27 ha) and Mardingding with a high danger class (2.476,73 ha). Causes of landslides mainly caused by the slope of a high percent of the region and supported by the type of sock, soil and land use that is triggered by high rainfall. The identification of landslide prone land is needed to determine the distribution of slide prone areas using Geographic Information System technology.


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bencana longsor dan banjir menjadi ancaman utama di Sumatra Utara (Sumut). Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat, Bitra Indonesia (2009), menyatakan sebanyak 19 daerah dari 25 kabupaten dan kota di provinsi Sumut berpotensi longsor. Daerah-daerah yang berpotensi longsor tersebut adalah Kabupaten Nias, Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Labuhan Batu, Asahan, Simalungun, Dairi, Karo, Deli Serdang, Langkat, Nias Selatan, Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat dan Samosir. Penelitian ini akan dilaksanakan di wilayah Kabupaten Karo.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas lereng yang mengakibatkan terjadinya longsor. Menurut Hardiyatmo (2006), faktor tersebut antara lain kondisi geologi dan hidrologi, topografi, iklim, dan perubahan cuaca. Kecepatan gerakan ditentukan oleh kemiringan lereng, semakin besar kemiringan lereng, maka semakin cepat gerakannya. Bila dilihat dari sudut kemiringan atau lereng tanah Kabupaten Karo, kondisi lerengnya yang paling besar adalah landai dengan persentase 35,22%. Kemudian yang kedua adalah karakter curam dengan persentase 34,19%. Hal ini tentu saja memiliki potensi terjadinya longsor pada musim penghujan. Menurut Priyono, dkk, (2006), potensi terjadinya gerakan pada lereng juga bergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lerengnya, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup, dan penggunaan lahan pada lereng tersebut.


(16)

penggunaan lahan antara lain adalah perkebunan, pertanian, perladangan, permukiman, dan lain sebagainya. Aktivitas manusia tersebut dapat memberikan kelebihan beban. Menurut Hardiyatmo (2006), kelebihan beban akibat aktivitas manusia antara lain pembangunan timbunan dan bangunan atau beban berat yang lain di atas lereng. Hal tersebut dapat meningkatkan gerakan massa tanah.

Kondisi longsor sangat mengkhawatirkan jika pemerintah terutama pemerintah daerah tidak segera mengambil langkah-langkah taktis dan strategis di masa sekarang untuk mencegah bencana di masa depan. Dengan kondisi ini, pemerintah daerah dalam hal ini dapat melakukan antisipasi untuk memperkecil dampak bencana longsor dan menghindari banyaknya jatuh korban jiwa. Salah satunya, melakukan pemetaan daerah rawan longsor di Kabupaten Karo.

Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, analisis tingkat bahaya longsor tanah ini dapat digunakan untuk penyusunan sistem informasi penanggulangan bencana yang digunakan sebagai masukan bagi perencanaan dan pembangunan wilayah maupun penyempurnaan tata ruang wilayah. Potensi terjadinya longsoran ini dapat diminimalkan dengan memberdayakan masyarakat untuk mengenali tipologi lereng yang rawan longsor tanah, gejala awal lereng akan bergerak, serta upaya antisipasi dini yang harus dilakukan. Sistem peringatan dini yang efektif sebaiknya dibuat berdasarkan prediksi, bilamana dan dimana longsor akan terjadi juga tindakan-tindakan yang harus dilakukan pada saat bencana datang (Priyono, dkk, 2006)

Sistem informasi geografis dapat digunakan dalam penentuan wilayah yang menjadi prioritas utama untuk penanggulangan bencana. Daerah yang paling rentan terhadap bencana menjadi prioritas utama dalam melakukan


(17)

tindakan mitigasi. Dengan adanya penelitian ini, maka dapat diketahui daerah-daerah yang rawan terhadap longsor sehingga pencegahan lebih dini dapat dilakukan. Jika antisipasi tidak segera dilakukan, kerugian akibat longsor tidak akan terhindarkan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan daerah rawan bahaya longsor di Kabupaten Karo.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil yang bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat, maupun peneliti lain untuk dapat digunakan sebagai masukan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan hutan untuk mencegah secara dini adanya penggunaan lahan pada wilayah yang teridentifikasi rawan bencana longsor di Kabupaten Karo.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengenalan Gerakan Tanah

Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara lempeng itu, maka terbentuk daerah penunjaman memanjang di sebelah Barat Pulau Sumatera, sebelah Selatan Pulau Jawa hingga ke Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah Utara Kepulauan Maluku, dan sebelah Utara Papua. Konsekuensi lain dari tumbukan itu adalah terbentuknya palung samudera, lipatan, punggungan dan patahan di busur kepulauan, sebaran gunung api, dan sebaran sumber gempa bumi. Gunung api yang ada di Indonesia berjumlah 129. Angka itu merupakan 13% dari jumlah gunung api aktif di dunia. Dengan demikian, Indonesia rawan terhadap bencana letusan gunung api dan gempa bumi. Di beberapa pantai, dengan bentuk pantai

sedang hingga curam, jika terjadi gempa bumi dengan sumber berada di

dasar laut atau samudera dapat menimbulkan gelombang Tsunami (Kementrian ESDM, 2008).

Jenis tanah pelapukan yang sering dijumpai di Indonesia adalah hasil letusan gunung api. Tanah ini memiliki komposisi sebagian besar lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur. Tanah pelapukan yang berada di atas batuan kedap air pada perbukitan/punggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal berpotensi mengakibatkan tanah longsor pada musim hujan dengan curah hujan berkuantitas tinggi. Jika perbukitan tersebut tidak ada tanaman keras berakar kuat dan dalam, maka kawasan tersebut rawan bencana tanah longsor (Kementrian ESDM, 2008).


(19)

Gerakan tanah adalah suatu konsekuensi fenomena dinamis alam untuk mencapai kondisi baru akibat gangguan keseimbangan lereng yang terjadi, baik secara alamiah maupun akibat ulah manusia. Gerakan tanah akan terjadi pada suatu lereng, jika ada keadaan ketidaksetimbangan yang menyebabkan terjadinya suatu proses mekanis, mengakibatkan sebagian lereng tersebut bergerak mengikuti gaya gravitasi, dan selanjutnya setelah terjadi longsor, lereng akan seimbang atau stabil kembali (Khadiyanto, 2008).

Pengertian Tanah Longsor

Longsoran (slides) merupakan gerakan material pembentuk lereng yang diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser, di sepanjang satu atau lebih bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa menyatu atau terpecah-pecah. Perpindahan material total sebelum longsoran bergantung pada besarnya regangan untuk mencapai kuat geser puncaknya dan pada tebal zona longsornya (Hardiyatmo, 2006).

Menurut Kementrian ESDM (2008), jenis tanah longsor dibedakan atas 6 jenis, yaitu longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan. Berikut ini akan dijelaskan jenis-jenis longsoran tersebut yaitu:

1. Longsoran Translasi

Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Menurut Hardiyatmo (2006), longsoran translasi merupakan gerakan di sepanjang diskontinuitas atau


(20)

bidang lemah yang secara pendekatan sejajar dengan permukaan lereng, sehingga gerakan tanah secara translasi. Dalam tanah lempung, translasi terjadi di sepanjang lapisan tipis pasir atau lanau, khususnya bila bidang lemah tersebut sejajar dengan lereng yang ada. Longsoran translasi lempung yang mengandung lapisan pasir atau lanau, dapat disebabkan oleh tekanan air pori yang tinggi dalam pasir atau lanau tersebut (Gambar 1a).

2. Longsoran Rotasi

Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung (Gambar 1b). Menurut Hardiyatmo (2006), longsoran rotasi mempunyai bidang longsor melengkung ke atas, dan sering terjadi pada massa tanah yang bergerak dalam satu kesatuan. Longsoran rotasi murni (slump) terjadi pada material yang relatif homogen seperti timbunan buatan (tanggul). 3. Pergerakan Blok

Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata (Gambar 1c). Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu. Menurut Hardiyatmo (2006), longsoran blok translasi terjadi pada material keras (batu) di sepanjang kekar (joint), bidang dasar (bedding plane) atau patahan (faults) yang posisinya miring tajam. Longsoran ini banyak terjadi pada lapisan batuan, dengan bidang longsor yang bisa diprediksi sebelumnya. Longsoran semacam ini sering dipicu oleh penggalian lereng bagian bawah, dan terjadi jika kemiringan lereng melampaui sudut gesek dalam (φ) massa batuan di sepanjang bidang longsor. Sudut gesek dalam yang bertambah dengan kekasaran bidang dasar terjadinya longsor, nilainya dapat berkurang oleh akibat perubahan iklim akibat pelapukan.


(21)

4. Runtuhan Batu

Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas (Gambar 1d). Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga meng-gantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.

(a) (b)

(

(c) (d)

Gambar 1. Longsoran translasi (a), longsoran rotasi (b), pergerakan blok (c), dan runtuhan batu (d)

5. Rayapan Tanah

Rayapan tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat (Gambar 2a). Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.


(22)

6. Aliran Bahan Rombakan

Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air (Gambar 2b). Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.

(a) (b)

Gambar 2. Jenis tanah longsor rayapan tanah (a) dan aliran bahan rombakan (b)

Penyebab Longsoran

Banyak faktor semacam kondisi-kondisi geologi dan hidrologi, topografi, iklim, dan perubahan cuaca dapat mempengaruhi stabilitas lereng yang mengakibatkan terjadinya longsoran. Longsoran jarana terjadi oleh satu sebab saja. Menurut Hardiyatmo (2006), adapun sebab-sebab longsoran lereng alam yang sering terjadi antara lain:

1. Penambahan Beban, Penggalian atau Erosi pada Kaki Lereng

Banyak kejadian longsoran diakibatkan atau dipicu oleh penggalian lereng untuk jalan raya, jalan rel, dan perumahan. Longsoran juga sering terjadi pada galian tempat pengambilan tanah (quarry) dan tambang. Bangunan berat yang didirikan di puncak lereng juga memacu longsoran.


(23)

Longsoran dalam tanah lempung cair sering dipicu erosi tanah oleh aliran sungai di bagian kaki lereng. Pada kondisi tertentu, penggalian tanah berakibat longsornya lereng galian. Longsoran tersebut disebabkan oleh pekerjaan galian yang mengurangi tekanan overburden, sehingga tanah atau batuan mengembang dan kuat gesernya turun.

2. Pembekuan dan Pencairan Es

Dalam tanah berlanau, pembekuan air atau cairnya salju dapat mengakibatkan kenaikan tekanan air pori dan gerakan permukaan tanah. Pengembangan air saat membeku dalam retakan dapat menyebabkan runtuhnya batuan. Longsoran sering terjadi selama musim semi dan musim rontok, ketika temperatur berfluktuasi di sekitar titik beku.

3. Hujan dan Kenaikan Tekanan Air Pori

Kebanyakan longsoran lereng terjadi sesudah hujan lebat atau hujan yang berkepanjangan. Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Ketika hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat


(24)

dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi mengikat tanah.

Kementrian ESDM (2008) juga menjelaskan penyebab terjadinya longsor yaitu antara lain:

1. Lereng Terjal

Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 1800 apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar.

2. Tanah yang Kurang Padat dan Tebal

Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas.

3. Batuan yang Kurang Kuat

Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal. 4. Jenis Tata Lahan

Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah


(25)

menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 3. Lereng terjal (a), tanah yang kurang padat dan tebal (b), batuan yang kurang kuat (c), jenis tata lahan (d)

5. Getaran

Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalu lintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak.

6. Adanya Material Timbunan pada Tebing

Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman, umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah. Hal ini ditunjukkan seperti pada Gambar 4.


(26)

(a) (b)

Gambar 4. Getaran yang biasanya diakibatkan oleh gempa bumi (a) dan adanya material timbunan pada tebing (b)

7. Susut Muka Air Danau atau Bendungan

Akibat susutnya muka air yang cepat di danau, maka gaya penahan lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 2200 mudah terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.

8. Bekas Longsoran Lama

Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memiliki ciri: adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda, umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur, daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai, adanya longsoran kecil terutama pada tebing lembah, adanya tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama, alur lembah dan pada tebingnya memiliki retakan dan longsoran kecil.

9. Adanya Bidang Diskontinuitas (Bidang tidak sinambung) Bidang tidak sinambung ini memiliki ciri:

- Bidang perlapisan batuan

- Bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar


(27)

- Bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan yang tidak melewatkan air (kedap air)

- Bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat.

Bidang-bidang tersebut merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor.

10. Penggundulan Hutan

Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikatan air tanah sangat kurang.

11. Daerah Pembuangan Sampah

Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi ditambah dengan guyuran hujan, seperti yang terjadi di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Leuwigajah di Cimahi. Bencana ini menyebabkan sekitar 120 orang lebih meninggal.

Aplikasi SIG untuk Pemetaan Daerah Rawan Longsor

Menurut Prahasta (2005), SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dalam menangani data yang bereferensi geografis yaitu masukan, keluaran, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), analisis dan manipulasi data. Dengan keempat kemampuannya tersebut, maka SIG dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang rawan terhadap adanya bencana.

Penggunaan SIG dalam rentang manajemen resiko bencana dari pembuatan basis data, inventori, overlay SIG yang paling sederhana hingga tingkat lanjut, analisis resiko, analisis untung rugi, proses geologi, statistik


(28)

spasial, matriks keputusan, analisis sensitivitas, proses geologi, korelasi, auto korelasi dan banyak peralatan dan algoritma untuk pembuatan keputusan spasial yang komplek lainnya. Sekali lagi dapat dikenali, bahwa area dimana resiko dengan potensi bahayanya, proses mitigasi dapat dimulai. SIG dapat digunakan dalam penentuan wilayah yang menjadi prioritas utama untuk penanggulangan bencana berikut penerapan standar bangunan yang sesuai, untuk mengidentifikasi struktur, retrofitting, menentukan besarnya jaminan keselamatan terhadap masyarakat dan bangunan sipil, mengidentifikasi sumber bencana, pelatihan dan kemampuan yang dimiliki secara spesifik terhadap bahaya yang dijumpai dan untuk mengidentifikasi area yang terkena banjir serta relokasi korban ke tempat yang aman. Daerah yang paling rentan terhadap bencana menjadi priorita utama dalam melakukan tindakan mitigasi (Haifani, 2008).

Menurut ESRI (1990), teknik tumpang tindih (overlay) merupakan hal yang terpenting dalam aplikasi SIG untuk memperoleh tematik data spasial (peta) baru beserta data atributnya. Terdapat empat jenis metode overlay yang paling penting yaitu: intersect, union, clip, dan merge. Metode intersect adalah metode yang paling luas penggunaannya untuk analisa data spasial dimana teknik akan mengkombinasikan secara silang data spasial dan non spasial dalam satu tema informasi yang baru. Metode union digunakan ketika dua atau lebih digabungkan sehingga menghasilkan data yang dikehendaki hanya tergabung secara spasial tanpa memperhatikan aspek databasenya. Metode clip adalah tumpang tindih dua data spasial yang akan menghasilkan potongan sesuai poligon yang dikehendaki (area of interest). Metode merge adalah penggabungan dua atau lebih data secara


(29)

spasial dan non-spasial dengan syarat adanya field kunci yang sama dalam data atribut.

Pengidentifikasian bahaya longsor menggunakan beberapa parameter. Menurut Priyono, dkk. (2006), parameter yang mempengaruhi longsoran terbagi atas beberapa jenis faktor yaitu faktor penyebab (kemiringan lereng), faktor pemicu berupa dinamik (hujan dan penggunaan lahan), dan faktor pemicu berupa statis (kedalaman tanah, struktur perlapisan, dan tekstur. Faktor hujan mempunyai bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan dikarenakan hujan dapat mempengaruhi perubahan besar beban massa batuan dan atau tanah secara relatif lebih cepat/dramatik dibandingkan dengan penggunaan lahan. Faktor batuan diberi bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah karena batuan merupakan alas daripada tanah. Perubahan-perubahan yang terjadi pada batuan secara otomatis mempengaruhi kestabilan tanah yang menumpang di atasnya. Sedangkan perubahan-perubahan yang terjadi di tanah belum tentu berpengaruh terhadap batuan yang ada di bawahnya.

Parameter penentu rawan longsor dalam penelitian ini adalah kemiringan lereng, penggunaan lahan, jenis tanah dan batuan di Kabupaten Karo. Parameter ini mengacu pada tulisan Haifani (2008) yang menggunakan keempat parameter tersebut sebagai parameter yang memperngaruhi longsoran. Parameter yang memiliki bobot paling besar adalah kemiringan lereng karena kejadian longsoran selalu dipicu oleh adanya perubahan gaya/energi akibat perubahan faktor yang bersifat dinamis.

Menurut Priyono, dkk (2006), metode penelitian menggunakan pembobotan terhadap masing-masing paramater penentu terjadinya longsor.


(30)

Dalam pemberian harkat untuk masing-masing parameter diklasifikasikan ke dalam lima kelas. Harkat yang paling tinggi, dalam hal ini 5, adalah yang paling besar pengaruhnya terhadap terjadinya longsoran. Harkat yang paling rendah, dalam hal ini 1, adalah yang paling kecil pengaruhnya terhadap terjadinya longsoran. Pembobotan disusun atas dasar pemahaman faktor penyebab dan faktor pemicu terjadinya longsoran. Faktor yang menyebabkan terjadinya longsoran adalah gaya gravitasi yang bekerja pada suatu massa tanah dan atau batuan. Di lapangan, besarnya pengaruh gaya gravitasi terhadap massa tanah dan atau batuan ditentukan oleh besarnya sudut lereng. Oleh karena itu dalam penilaian tingkat kerawanan longsor, faktor lereng diberikan bobot yang paling tinggi dibandingkan dengan faktor-faktor lain. Metode ini hampir sama dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini.

Jenis tanah diklasifikasikan berdasarkan kriteria tertentu yang mempunyai dasar ilmiah. Kriteria itu selain harus berlaku untuk semua jenus tanah yang ada, juga harus mudah untuk dipahami. Untuk menentukan padanan jenis tanah tersebut, dapat dilihat dari jenis ordo masing-masing tanahnya. Menurut Darmawijaya (1990), jenis ordo dibedakan atas 10 ordo berdasarkan ada tidaknya horizon diagnostik atau ciri-cirinya sebagai hasil proses genetik yang dialaminya. Jenis ordo tersebut adalah:

1. Alfisol, disingkat: Alf, mempunyai karakteristik sebagai hasil translokasi lempung silikat tanpa merusak basa berlebihan.

2. Aridisol, disingkat: Id, tidak mempunyai air “tersedia” (available) dengan tekanan kurang dari 15 bar untuk waktu yang terlama dan suhunya cukup panas (lebih dari 50C atau 410F).


(31)

3. Entisol, disingkat: Ent, dicirikan oleh bahan mineral tanah yang belum membentuk horizon pedogenik yang nyata, karena pelapukan baru diawali.

4. Histosol, disingkat: Ist, mempunyai kadar bahan organic sangat tinggi sampai kedalaman 80 cm.

5. Inceptisol, disingkat: Ept, mempunyai sifat tersedianya air untuk tanaman lebih dari setengah tahun atau lebih dari 3 bulan berturut-turut dalam musim kemarau, tekstur lebih halus dari pasir geluhan (loamy sand), dan kemampuan menahan kation fraksi lempung yang sedang sampai tinggi. 6. Mollisol, disingkat: Oll, mempunyai karakteristik terbentuknya mollic

epipedon sedalam lebih dari 25 cm dengan warna kelam dan kejenuhan basa sangat tinggi.

7. Oxisol, disingkat: Ox, mengandung C organik yang tinggi, kpk rendah, kadar lempung yang menurun, dan tekstur geluh pasiran (sandy loam) atau lebih halus.

8. Spodosol, disingkat: Od, mempunyai sifat tambahan berupa lembab atau basah, textur bergeluh atau berpasir (loamy or sandy), kpk tergantung pH, dan mengandung sedikit basa.

9. Ultisol, disingkat: Ult, mempunyai persediaan basa yang rendah, terutama horizon yang lebih rendah dan suhu tanah tahunan tengah lebih tinggi dari 80C (470F).

10.Vertisol, disingkat: Ert, karakteristiknya adalah berat jenis tinggi bila kering, konduktivitas hidrolik lambat bila lembab, kembang-kerutnya


(32)

tanah jika basah-kering, dan pengeringan mendadak membuat lubang retakan terbuka.

Jenis batuan terbagi atas 3 batuan yaitu batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf. Menurut Munir (1996), batuan beku terbagi atas 3 berdasarkan proses pembekuannya yaitu:

1. Batuan Plutonis, yaitu batuan yang terbentuknya berada jauh di dalam bumi (15-50 km), bentuk batuannya besar-besar dan mempunyai kristal yang sempurna dengan bentuk tekstur holokristalin (semua komposisi disusun oleh kristal sempurna), disebut juga batuan beku dalam.

2. Batuan Gang, yaitu batuan yang terbentuknya di antara batuan dalam dan batuan leleran yaitu dalam celah-celah serta rekahan-rekahan dalam kerak bumi.

3. Batuan vulkanis, yaitu batuan yang terbentuk dari magma yang bergerak dari dalam ke permukaan bumi, sebagian besar membeku di dalam sebagai batuan plutonis, dan hanya kurang dari sepersepuluhnya yang membeku di permukaan bumi sehingga batuan ini disebut juga batuan beku atas.


(33)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2010. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Manajemen Hutan Terpadu, Departemen Kehutanan, Universitas Sumatera Utara dan di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Peta adminstrasi Kabupaten Karo disajikan pada Gambar 5.

Peta Negara Indonesia Pulau Sumatera

Kecamatan di Kabupaten Karo Kabupaten Karo


(34)

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Karo merupakan salah satu kabupaten yang secara administrasi berada pada Provinsi Sumatera Utara (Gambar 5). Secara geografis, Kabupaten Karo berada pada 2050’ - 3019’ LU dan 97055’ - 98038” BT. Daerah Kabupaten Karo terletak di daerah Dataran Tinggi Bukit Barisan dengan total luas administrasinya kurang lebih 2.170,55 km2 atau 217.055 ha. Ibukota Kabupaten Karo adalah Kabanjahe yang terletak sekitar 76 km sebelah Selatan kota Medan (Gambar 5). Wilayah Kabupaten Karo berbatasan dengan:

- Kabupaten Langkat dan Deli Serdang di bagian Utara, - Kabupaten Simalungun di bagian Timur,

- Kabupaten Dairi di bagian Selatan, dan

- Provinsi Nangro Aceh Darussalam di bagian Barat.

Ditinjau dari kondisi topografinya, wilayah Kabupaten Karo terletak di Dataran Tinggi Bukit Barisan dengan elevasi terendahnya kurang lebih 140 m di atas permukaan laut (Paya Lahlah, Mardingding) dan yang tertinggi ialah kurang lebih 2.451 m di atas permukaan laut (Gunung Sinabung). Daerah Kabupaten Karo memiliki kondisi topografi yang berbukit dan bergelombang sehingga banyak ditemui lembah dan alur-alur sungai yang dalam dan lereng-lereng bukit yang curam/terjal.

Daerah Kabupaten Karo memiliki iklim tropis basah dengan curah hujan 1.000 - 4.000 mm/tahun. Curah hujan terbesar terjadi pada bulan basah yaitu Agustus sampai dengan Januari dan bulan Maret sampai dengan Mei. Suhu udara di daerah ini adalah 160C - 270C dengan kelembaban udara 82%.


(35)

Secara administratif, Kabupaten Karo memiliki 17 kecamatan, yaitu: Kecamatan Barusjahe, Berastagi, Dolat Rakyat, Juhar, Kabanjahe, Kuta Buluh, Laubaleng, Mardingding, Merdeka, Merek, Munthe, Naman Teran, Payung, Simpang Empat, Tiga Binanga, Tiga Panah, dan Tiganderket. Peta administratif kecamatan yang diperoleh masih memiliki 13 kecamatan. Hal ini dikarenakan terdapat 4 kecamatan yang baru terbentuk dan disahkan oleh Bupati Karo tanggal 29 Desember 2006 sehingga belum termasuk ke dalam peta administratif Kabupaten Karo yang digunakan sebagai data sekunder dalam penelitian ini. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Dolat Rakyat, Merdeka, Naman Teran, dan Tiganderket.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah peta dasar Rupa Bumi Indonesia, peta digital penutupan lahan Kabupaten Karo, peta digital kelerengan, peta digital tanah, dan peta digital geologi yang diperoleh dari Bakosurtanal, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Medan dan Puslittanak.

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah seperangkat komputer beserta perlengkapannya yang berguna untuk proses pengolahan dan analisis data, Software Arc View 3.3, Global Positioning System (GPS) untuk mengetahui titik koordinat pada daerah yang masuk ke dalam kategori kelas kerawanan longsor, serta kamera digital sebagai alat untuk mengambil gambar saat melakukan groundcheck.


(36)

Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data dan informasi yang diperlukan serta menganalisis data sesuai dengan kebutuhan, yaitu pemetaan daerah rawan longsor. Tahapan kegiatannya adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan data primer

Data primer merupakan data yang akan diperoleh saat melakukan penelitian. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diperoleh dengan pengambilan titik di lapangan dengan menggunakan GPS. Titik sampel yang diambil saat melakukan groundcheck adalah titik yang mewakili kelas bahaya longsor pada setiap kecamatan dengan masing-masing kelas diambil 2 titik. Tahapan pengumpulan data primer adalah:

a. Penentuan titik sampel pada peta bahaya longsor yang telah dianalisis. b. Pemindahan titik sampel ke dalam GPS melalui software DNR Garmin. c. Pencarian lokasi titik sampel ke lapangan dengan menggunakan GPS. d. Apabila titik sampel sulit untuk ditemukan saat dilakukan groundcheck,

maka diambil titik baru yang mewakili titik sampel tersebut. e. Diambil gambar pada setiap lokasi titik sampel.

f. Penententukan nilai akurasi hasil groundcheck dengan rumus: Jumlah titik yang benar di lapangan

Jumlah seluruh titik yang diambil

x 100%

g. Menurut Short (1982) dan Estes dalam Danoedoro (1996), nilai akurasi yang mempunyai tingkat ketelitian ≥ 80% sudah dianggap benar.


(37)

2. Pengumpulan data sekunder

Data sekunder diperoleh dari beberapa instansi pemerintah yang dilakukan sebagai persiapan awal penelitian. Data yang dikumpulkan berupa data spasial yang terdiri dari:

a. Peta dasar Rupa Bumi Indonesia tahun 1992 yang di dalamnya terdiri dari jaringan jalan, sungai, dan batas administrasi Kabupaten Karo dengan skala 1 : 50.000 yang diperoleh dari Bakosurtanal.

b. Peta digital kelerengan tahun 2007 dengan skala 1 : 250.000 yang diperoleh dari BPKH Wilayah I Medan (Lampiran 2).

c. Peta digital geologi tahun 2000 dengan skala 1 : 250.000 yang diperoleh dari Puslittanak (Lampiran 3).

d. Peta digital tanah tahun 2000 dengan skala 1 : 250.000 yang diperoleh dari Puslittanak (Lampiran 4).

e. Peta digital penutupan lahan tahun 2009 dengan skala 1 : 250.000 yang telah diklasifikasi oleh BPKH Wilayah I Medan dan diperoleh dari instansi tersebut (Lampiran 5).

3. Analisis bahaya longsor

Analisis bahaya longsor menggunakan pendekatan spasial dengan kecamatan sebagai satuan analisisnya. Menurut Haifani (2008), analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial (parameter penentu rawan longsor) yang akan digunakan sebagai unit analisis untuk menghasilkan unit pemetaan baru. Data spasial tersebut dalam penelitian ini adalah peta kemiringan lereng, peta geologi, peta tanah dan peta penutupan lahan (Tabel 1). Pada akhir proses overlay, hasil sebaran bahaya longsor


(38)

ditumpangsusunkan dengan batas administrasi kecamatan Kabupaten Karo agar diperoleh luasan sebaran bahaya longsor berdasarkan kecamatan.

Tabel 1. Parameter pemetaan rawan longsor

No. Data Spasial Tipe Data

1 Peta Lereng Poligon

2 Peta Geologi Poligon

3 Peta Tanah Poligon

4 Peta Penutupan Lahan Poligon

Secara teknis, proses analisis spasial untuk penentuan rawan longsor menggunakan perangkat lunak ArcView GIS dengan bantuan esktensi Geoprocessing. Menurut Kumajas (2006), tahapan dalam analisis spasial untuk penyusunan data spasial (peta) rawan longsor terdiri dari 4 tahap, yaitu:

1. tahap tumpangsusun data spasial, 2. tahap editing data atribut,

3. tahap analisis tabuler, dan

4. presentasi grafis (spasial) hasil analisis.

Metode yang digunakan dalam tahap analisis tabuler adalah metode tumpang susun dan scoring. Setiap parameter penentu kerawanan longsor diberi skor tertentu, dan kemudian pada setiap unit analisis skor tersebut dijumlahkan. Hasil penjumlahan skor selanjutnya dikalsifikasikan untuk menentukan tingkat kerawanan longsor (Kumajas, 2006).

Menurut Haifani (2008), penelitian untuk menentukan tingkat bahaya longsor menggunakan 4 parameter, yaitu:

1. Lereng

Lereng adalah parameter yang sangat penting dalam setiap pemetaan rawan bencana longsor. Jika lerengnya lebih tinggi, maka ada kemungkinan


(39)

terjadinya longsor. Menurut Peraturan Menhut-II No. 32 (2009), parameter ini dibagi dalam lima kategori yang disajikan pada Tabel 2.

Table 2. Skor Interval Kelas Lereng No. Kriteria kemiringan

lereng

Persen kemiringan lereng (%)

Derajat kemiringan lereng ( 0 )

Skor

1 Datar 0 - < 8 0 - < 4,57 1

2 Landai 8 - < 15 4,57 - < 8,53 2

3 Agak Curam 15 - < 25 8,53 - < 14,04 3

4 Curam 25 - < 45 14,04 - < 24,23 4

5 Sangat curam > 45 > 24,23 5

2. Geologi

Secara geologis, sebagian besar lahan Kabupaten Karo tersusun dari batuan gunung api berupa batuan beku dan batuan sedimen. Batuan ini diklasifikasikan berdasarkan kepekaannya terhadap bahaya longsor. Haifani (2008) mengklasifikasikan skor batuan terkait dengan bahaya longsor seperti yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Skor Interval Jenis Geologi

No. Jenis Geologi Skor

1 Aluvium 1

2 Batu Kapur 2

3 Batu Pasir 3

4 Andesit 3

5 Plutonik-Granit 4

6 Breccia 5

Klasifikasi batuan dipadankan dengan jenis batuan yang ada pada data sekunder peta digital geologi. Menurut Munir (1996), dalam mengklasifikasikan batuan dapat dilakukan dengan menentukan batuan tersebut tergolong batuan beku (batuan plutonis, batuan gang, atau batuan vulkanis) maupun batuan sedimen (klastis, kimia, dan organik) sehingga diperoleh data yang disajikan pada Tabel 4.


(40)

Tabel 4. Skoring jenis batuan di lokasi penelitian

No. Geologi Jenis Batuan Padanan Skor

1 Campuran-Alluvium, fan deposit Batuan sedimen Alluvium 1

2 Metamorfik-Kuarsit Batuan sedimen Batu kapur 2

3 Metamorfik-Marbel Batuan sedimen Batu kapur 2

4 Metamorfik-Shale Batuan sedimen Batu kapur 2

5 Plutonik-Granit Batuan beku Plutonik-Granit 4

6 Sedimen-Alluvium, recent riveri Batuan sedimen Batu pasir 3

7 Sedimen-Campuran (silt/mudstone) Batuan sedimen Batu pasir 3

8 Vulkanik-Alluvium, fan deposit Batuan beku Andesit 3

9 Vulkanik-Alluvium, recent vulka Batuan beku Andesit 3

10 Vulkanik-Andesit Batuan beku Andesit 3

11 Vulkanik-Basalt Batuan beku Andesit 3

12 Vulkanik-Campuran (silt/mudstone) Batuan beku Plutonik-Granit 4

13 Vulkanik-Riolit Batuan beku Plutonik-Granit 4

14 Vulkanik-Tepra butir halus Batuan beku Plutonik-Granit 4

3. Tanah

Jenis tanah sangat menentukan potensi terjadinya longsor. Kejadian longsor pada umumnya terjadi karena besarnya erosi permukaan tanah. Ketika bercampur dengan air hujan, maka dapat memicu terjadinya longsor. Menurut Haifani (2008), jenis tanah diklasifikasikan menjadi 5 (lima) kelas yang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Skor Interval Jenis Tanah

No. Jenis Tanah Skor

1 Tropafluent 1

2 Eutropepts 2

3 Complex troporthent eutropepts hapludalf 2

4 Complex troporthent eutropepts 3

5 Association eutropepts dystropepts 3

Jenis tanah yang memiliki skor akan dipadankan dengan jenis tanah yang ada pada data sekunder peta digital tanah. Menurut Darmawijaya (1990), dalam memadankan jenis tanah tersebut dapat dilakukan dengan melihat jenis ordo masing-masing tanah sehingga diperoleh data yang disajikan pada Tabel 6.


(41)

Tabel 6. Skoring jenis tanah untuk pendugaan bahaya longsor

No. Jenis Tanah Padanan Jenis Ordo Padanan Skor

1 Dystropepts, Distrandepts, Tropudults Inceptisol Eutropepts 2

2 Dystropepts, Distrandepts, Haplorthox Inceptisol Eutropepts 2

3 Dystropepts, Eutrandepts, Distrandepts, Inceptisol Eutropepts 2

4 Dystropepts, Eutropepts, Tropudults Inceptisol Eutropepts 2

5 Dystropepts, Paleudults Inceptisol Eutropepts 2

6 Dystropepts, Troporthens, Tropudults Inceptisol Eutropepts 2

7 Dystropepts, Tropudalts, Tropudults Inceptisol Eutropepts 2

8 Dystropepts, Tropudults, Haplorthox Inceptisol Eutropepts 2

9 Dystropepts, Tropudults, Humitropepts Inceptisol Eutropepts 2

10 Dystropepts, Tropudults, Troportens Inceptisol Eutropepts 2

11 Dystropepts, Tropudults, Tropudalts Inceptisol Eutropepts 2

12 Eutropepts Inceptisol Eutropepts 2

13 Fluvaquents, Tropaquepts Entisol Tropafluent 1

14 Humitropepts, Distrandepts, Hydrandepts Inceptisol Eutropepts 2 15 Hydrandepts, Eutropepts, Troporthents Inceptisol Eutropepts 2

16 Paleudults, Distrandepts, Haplorthox Entisol Tropafluent 1

17 Rendolls, Eutropepts Entisol Tropafluent 1

18 Tropaquepts, Trofopluvents, Pluvaquents Inceptisol Eutropepts 2

19 Tropudults, Dystropepts Entisol Tropafluent 1

20 Tropudults, Dystropepts, Eutropepts Entisol Tropafluent 1

21 Tropudults, Trophumuts, Dystropepts Entisol Tropafluent 1

4. Penutupan lahan

Peta digital penutupan lahan diperoleh dari BPKH Wilayah I yang telah diklasifikasi. Penutupan lahan pada penelitian ini dibagi dalam 7 (tujuh) kelas, yaitu tubuh air, hutan primer, hutan sekunder, kebun, pemukiman, pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering dan semak belukar. Pemberian skornya disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Skor interval jenis penutupan lahan

No. Penutupan lahan Skor

1 Tubuh air 0

2 Hutan Primer 1

3 Hutan Sekunder 2

4 Kebun 3

5 Pemukiman 4

6 Pert. Lhn basah dan kering 5

Skor untuk tipe penutupan lahan yang ada di lokasi penelitian secara lengkap disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 menunjukkan bahwa beberapa tipe


(42)

tutupan lahan dikategorikan dalam satu kelas karena memiliki kedekatan kondisi fisik di lapangan.

Tabel 8. Padanan jenis penutupan lahan pada data sekunder peta digital penutupan lahan dengan jenis penutupan lahan yang memiliki skor

No. Kelas Padanan Skor

1 Hutan lahan kering sekunder Hutan sekunder 2

2 Semak/belukar Pertanian lahan kering 5

3 Hutan lahan kering primer Hutan primer 1

4 Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering 5

5 Pertanian lahan kering campur semak Pertanian lahan kering 5

6 Tanah terbuka Pertanian lahan kering 5

7 Sawah Pertanian lahan basah 5

8 HTI Hutan sekunder 2

9 Tubuh air Tubuh air 0

10 Pemukiman Pemukiman 4

11 Rawa/berair Tubuh air 0

Menurut Haifani (2008), metode yang digunakan dalam menentukan peta rawan longsor adalah model statistik kuantitatif (scoring) dari beberapa parameter dengan bobot yang ditentukan. Metode ini digunakan dalam model spasial untuk besaran skala prioritas. Parameternya pada masing-masing kelas diberi skor 1 sampai 5 kelas. Setiap parameter diberi faktor pembobotan (faktor pengali) seperti pada Tabel 9.

Tabel 9. Faktor pembobotan yang digunakan untuk penetapan bahaya longsor

No. Parameter Bobot Skor

Min Max

1. Lereng 5 5 25

2. Tanah 2 2 6

3. Geologi 1 1 5

4. Penutupan Lahan 1 1 5

Total 9 41

Rumus yang digunakan untuk menghitung tingkat bahaya longsor menurut Haifani (2008) adalah:

([skor lereng]x5) + ([skor geologi]x1) + ([skor tanah]x2) + ([skor penutupan lahan]x1)


(43)

Hasil dari perkalian masing-masing parameter tersebut kemudian diklasifikasikan seperti yang disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Skor interval dan tingkat bahaya longsor

No. Skor Interval Tingkat Bahaya Kelas

1. 9 – 15 Sangat Rendah 1

2. 16 – 22 Rendah 2

3. 28 – 29 Sedang 3

4. 30 – 36 Tinggi 4

5. 37 – 41 Sangat Tinggi 5

Setelah seluruh peta parameter rawan longsor telah diperoleh, maka dilakukan tumpang susun sehingga diperoleh peta daerah yang berpotensi sebagai daerah rawan longsor (Gambar 6).

Gambar 6. Skema Analisis Pemetaan Bahaya Longsor

Overlay dengan Peta Administrasi Kabupaten

Karo

Peta Kecamatan

Peta Jalan Peta Desa


(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Titik Sampel Bahaya Longsor Berdasarkan Kecamatan

Titik sampel merupakan titik yang akan digunakan sebagai acuan dalam melakukan pengecekan hasil yang diperoleh saat di lapangan. Titik sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 106 titik (Lampiran 1). Jumlah titik diperoleh berdasarkan banyaknya jumlah kelas bahaya longsor yang ditemukan pada masing-masing kecamatan. Sebaran titik sampel disajikan pada Gambar 7. Masing-masing kelas diambil 2 titik sebagai pengulangan untuk memperoleh nilai akurasi yang lebih baik. Banyaknya kelas bahaya longsor dan jumlah titik yang diambil disajikan pada Tabel 11.

Setelah dilakukan pengecekan di lapangan, titik sampel yang sesuai dengan peta sebaran bahaya longsor adalah sebanyak 94 titik dan yang tidak sesuai adalah 12 titik, sehingga diperoleh nilai akurasi sebesar 88,68%. Nilai akurasi hasil groundcheck yang diperoleh lebih besar dari 80%. Menurut Short (1982) dan Estes dalam Danoedoro (1996), nilai akurasi yang mempunyai tingkat ketelitian ≥ 80% sudah dianggap akurat. 12 titik yang tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh pada peta tersebar pada Kecamatan Berastagi (2 titik), Kabanjahe (2 titik), Laubaleng (4 titik), Mardingding (1 titik), Merek (1 titik), Munthe (1 titik), dan Simpang Empat (1 titik). Hal ini dikarenakan setiap kecamatan memiliki jumlah kelas bahaya longsor yang berbeda yang ditentukan oleh seluruh parameter penentu rawan longsor yaitu kelas kelerengan, jenis tanah dan batuan, dan penutupan lahan.


(45)

Tabel 11. Jumlah titik sampel berdasarkan kecamatan

Kecamatan Kelas Bahaya Longsor Jumlah Titik Sampel

Barusjahe Sangat tinggi dan tinggi 4

Berastagi Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi,

dan sangat tinggi

10

Juhar Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi,

dan sangat tinggi

10

Kabanjahe Sangat rendah, sedang, dan tinggi 6 Kutabuluh Sedang, tinggi, dan sangat tinggi 6 Laubaleng Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi,

dan sangat tinggi

10

Mardingding Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi,

dan sangat tinggi

10

Merek Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi,

dan sangat tinggi

10

Munthe Sedang, tinggi, dan sangat tinggi 6 Payung Rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi 8 Simpang Empat Sangat rendah, sedang, tinggi, dan sangat

tinggi

8

Tiga Binanga Rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi 8 Tiga Panah Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi,

dan sangat tinggi

10

Total Titik Sampel 106

Sebaran Bahaya Longsor Berdasarkan Kecamatan

Hasil yang diperoleh berupa peta rawan longsor dengan sebaran yang terdiri dari 5 kelas yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi berdasarkan kecamatannya di Kabupaten Karo. Sebaran bahaya longsor berdasarkan kecamatan tersebut tidak merata pada setiap kecamatannya yang disajikan pada Gambar 7. Hal ini sesuai dengan hasil analisis pada peta dan pengecekan di lapangan. Setiap kelas bahaya longsor ditandai dengan warna yang berbeda.


(46)

(47)

Karakteristik longsoran yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah jenis longsoran translasi dan rotasi. Karakteristik longsoran yang ditemukan pada wilayah penelitian adalah longsoran translasi, longsoran rotasi, dan pergerakan blok. Menurut Kementrian ESDM (2008), longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai (Gambar 8a). Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung (Gambar 8b). Sedangkan pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata (Gambar 8c).

(a) (b)

(c)

Gambar 8. Karakteristik longsoran translasi pada Kecamatan Kuta Buluh (a), rotasi pada Kecamatan Laubaleng (b), pergerakan blok pada Kecamatan Kuta Buluh (c)


(48)

Karakteristik longsor pada wilayah penelitian memiliki luasan yang berbeda pada setiap kecamatan. Luas tersebut disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan Tabel 12, karakteristik longsor yang paling banyak ditemukan adalah Kecamatan Tiga Binanga (sangat tinggi), Kecamatan Mardingding (tinggi, rendah, dan sangat rendah).

Tabel 12. Kelas bahaya longsor berdasarkan kecamatan

Kecamatan Kelas Bahaya Longsor

Sangat rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi

(kosong) Total

Ha %

Barusjahe 857,79 241,76 1.099,55 5,45

Berastagi 69,53 2,03 2,40 169,00 32,74 275,72 1,37 Juhar 38,05 4,84 167,39 1.661,15 160,79 2.032,24 10,08

Kabanjahe 101,87 153,52 144,36 399,76 1,98

Kutabuluh 12,30 1.841,40 324,77 2.178,48 10,80 Laubaleng 263,96 89,21 26,73 1.218,39 20,10 1,65 1.620,06 8,03 Mardingding 543,37 131,79 28,21 2.476,73 19,61 4,08 3.203,82 15,89 Merek 8,08 4,04 120,18 1.826,77 153,68 2.112,77 10,48

Munthe 214,28 1.009,01 52,27 1.275,56 6,33

Payung 93,46 268,45 958,83 107,24 1.427,99 7,08 Simpang Empat 80,18 335,96 1.025,86 251,68 0,21 1.693,91 8,40 Tiga Binanga 4,06 182,28 925,93 477,27 1.589,56 7,88 Tiga Panah 146,93 19,81 307,16 780,15 2,15 1.256,21 6,23

Total

Ha 1.252,01 349,49 1.818,91 14.895,43 1.844,10 5,73 20.165,69

100 % 6,21 1,73 9,02 73,87 9,15 0,03 100

Kelas bahaya longsor sangat tinggi

Kecamatan Tiga Binanga merupakan kecamatan yang memiliki tingkat bahaya longsor yang paling tinggi di Kabupaten Karo dengan luas 477,27 ha. Hal ini dikarenakan Kecamatan Tiga Binanga memiliki jenis tanah Dystropepts, Tropudults, Humitropepts, tutupan lahannya adalah pertanian lahan kering, kemiringan lereng di atas 45%, dan jenis batuannya adalah Sedimen-Campuran (silt/mudstone). Hal yang paling berpengaruh dalam tingkat bahaya longsor di


(49)

Kecamatan Tiga Binanga ini adalah kemiringan lerengnya. Kelas bahaya longsor ini dapat dilihat pada Gambar 9a.

Kelas bahaya longsor tinggi

Kecamatan Mardingding merupakan kecamatan yang memiliki luas administrasi yang paling besar bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Kabupaten Karo. Luasnya mencapai 3.203,82 ha dan merupakan kecamatan yang memiliki tingkat bahaya longsor yang tinggi di Kabupaten Karo dengan luas 2.476,73 ha. Hal ini dikarenakan Kecamatan Mardingding memiliki jenis tanah Tropudults, Dystropepts, tutupan lahannya didominasi hutan lahan kering sekunder, jenis batuannya adalah Sedimen-Campuran, dan persen kelerengannya adalah di atas 45%. Kelas bahaya longsor ini dapat dilihat pada Gambar 9b.

a. b.

Gambar 9. Kelas bahaya longsor sangat tinggi di Kecamatan Tiga Binanga (a) dan tinggi di Kecamatan Mardingding (b)

Faktor-faktor Penyebab Bahaya Longsor di Kabupaten Karo Bahaya longsor berdasarkan kelas kelerengan

Tingkat kelerengan suatu tempat sangat berpengaruh besar terhadap adanya longsor terutama terkait dengan kekuatan gelinciran. Menurut Arsyad (2006), kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap longsor. Semakin


(50)

curam suatu lereng, maka semakin besar dan cepat longsor terjadi. Luasan tingkat bahaya longsor menurut kelas kelerengan disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Kelas bahaya longsor berdasarkan kelerengan

Persen kemiringan lereng (%)

Kelas Bahaya Longsor Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat

tinggi

Total

Ha %

0 - < 8 9.030,67 52,12 9.082,80 4,19

8 - < 15 3.496,51 12.955,04 16.451,55 7,58

15 - < 25 213,22 3.150,58 3.363,81 1,55

25 - < 45 3.472,88 64.108,19 67.581,08 31,14 > 45 96.224,26 19.849,70 116.073,97 53,49

(kosong) 4.445,87 4.445,87 2,05

Total

Ha 13.476,55 3.761,86 19.578,51 160.332,46 19.849,70 216.999,10

100 % 6,21 1,73 9,02 73,89 9,15 100

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat dilihat bahwa persen kemiringan lereng di atas 45% memiliki kelas bahaya longsor yang sangat tinggi dengan luas 19.849,70 ha. Menurut Marwanto, dkk (2007), suatu daerah dinyatakan memiliki potensi longsor apabila memenuhi tiga syarat, yaitu lereng cukup curam, memiliki bidang luncur berupa lapisan di bawah permukaan tanah yang semi permeabel dan lunak, dan terdapat cukup air untuk memenuhi tanah di atas bidang luncur tersebut. Dengan persen kemiringan lereng yang tinggi, maka kejadian longsor hanya tinggal menunggu faktor pemicunya yaitu curah hujan atau gempa bumi.

Kelas bahaya longsor yang sangat rendah berada pada persen kemiringan lereng 0 - < 8. Hal ini menandakan bahwa keadaan suatu tempat yang datar memiliki pengaruh yang sangat rendah terhadap kejadian longsor. Wahjono (2003) menyatakan bahwa tanah longsor umumnya dapat terjadi pada wilayah berlereng, makin tinggi kemiringan lerengnya akan semakin besar potensi tanah longsornya.


(51)

Bahaya longsor akan semakin besar apabila lereng tersusun atas perlapisan batuan yang miring searah dengan kemiringan lereng. Menurut Priyono, dkk (2006), luncuran tersebut terjadi di sepanjang bidang perlapisan batuan yang merupakan bidang yang lemah, terutama apabila terjadi tekanan oleh air yang meresap melalui bidang-bidang tersebut.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, jelas terlihat bahwa semakin tinggi persen kelerengan suatu lahan, maka semakin besar potensi longsornya. Hal ini juga diperjelas oleh Wahyunto, dkk, (2003), yang menyatakan bahwa faktor lereng yang terjal sangat menentukan daya tahan lereng terhadap reaksi perubahan energi (tegangan) pada lereng tersebut. Tanah longsor terjadi biasanya diakibatkan oleh wilayah jenuh air dan adanya gaya gravitasi. Penambahan beban volume dan melemahnya daya ikat materi penyusun lereng dengan bahan induk sebagai akibat adanya peresapan/infiltrasi air hujan yang masuk ke dalam materi tersebut dapat menyebabkan tanah longsor.

Bahaya longsor berdasarkan jenis batuan

Jenis batuan merupakan parameter penentu tingkat bahaya longsor. Jenis batuan yang terdapat di Kabupaten Karo didominasi oleh jenis batuan beku dan batuan sedimen. Munir (1996) mengemukakan bahwa batuan beku terbagi atas 3 jenis berdasarkan proses pembentukannya yaitu batuan plutonis (batuan beku dalam), batuan gang (batuan intrusi), dan batuan vulkanis (batuan beku atas).

Jenis batuan yang termasuk ke dalam batuan beku antara lain Andesit dan Plutonik-Granit sebagai batuan beku dalam yang merupakan sinonim dari jenis batuan Vulkanik-Alluvium, fan deposit, Vulkanik-Alluvium, recent vulka, Vulkanik-Andesit, Vulkanik-Basalt, Vulkanik-Campuran, Vulkanik-Riolit, dan


(52)

Vulkanik-Tepra butir halus. Sedangkan jenis batuan sedimen antara lain adalah Alluvium, Batu Kapur, Batu Pasir, dan Breccia (breksi) dengan nama lain yang bersinonim dengan batuan tersebut adalah Campuran-Alluvium, fan deposit, Metamorfik-Kuarsit, Metamorfik-Marbel, Metamorfik-Shale, Sedimen-Alluvium, recent riveri, dan Sedimen-Campuran (silt/mudstone). Luasan bahaya longsor menurut batuan disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Tingkat bahaya longsor menurut jenis batuan

Jenis batuan yang paling berpengaruh terhadap tingkat bahaya longsor adalah Sedimen-Campuran (silt/mudstone) dengan luas 11.154,91 ha dengan kelas bahaya sangat tinggi. Hal ini dikarenakan bahwa batuan Sedimen- Campuran (silt/mudstone) merupakan jenis batuan sedimen (endapan) klastis

Jenis Batuan Kelas Bahaya Longsor Total

Sangat rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi

(kosong) Ha %

Campuran-Alluvium, fan deposit

1.834,23 2.378,86 4.213,09 1,50

Metamorfik-Kuarsit

36.307,60 36.307,60 12,92

Metamorfik-Marbel 16.249,86 16.249,86 5,78

Metamorfik-Shale 7.196,44 7.196,44 2,56

Plutonik-Granit 6.741,31 4.455,73 11.197,05 3,98 Sedimen-Alluvium,

recent riveri

52,12 52,12 0,02

Sedimen-Campuran (silt/mudstone)

3.472,88 40.301,87 11.154,91 51.568,95 106.498,62 37,89

Vulkanik-Alluvium, fan deposit

1.049,62 1.049,62 0,37

Vulkanik-Alluvium,recent vulka

213,22 11,70 224,92 0,08

Vulkanik-Andesit 3.830,73 127,54 3.958,27 1,41

Vulkanik-Basalt 144,39 144,39 0,05

Vulkanik-Campuran (silt/mudstone)

14.417,51 2.152,69 16.570,21 5,90

Vulkanik-Riolit 1.958,80 3.796,22 5.755,03 2,05

Vulkanik-Tepra butir halus

68,02 15.949,53 16.017,56 5,70

(kosong) 282,82 55.365,18 55.648,01 19,80

Total Ha 9.313,50 3.761,86 19.578,51 173.214,09 19.849,70 55.365,18 281.082,86 100 % 3,31 1,34 6,97 61,62 7,06 19,70 100


(53)

dengan partikel liat yang memiliki kisaran ukuran diameter < 1/256 mm. Ukuran diameter batuan ini tergolong kecil bila dibandingkan dengan batuan beku. Batuan beku merupakan jenis batuan yang berbutir kasar.

Jenis batuan endapan klastis sangat berbeda dengan batuan beku, baik dalam bentuk maupun susunan dari butiran-butirannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Munir (1996). Pada batuan beku, butirannya tidak teratur dan terikat kokoh satu sama lain. Sedangkan pada batuan endapan, di partikel-partikelnya terdapat adanya tanda-tanda goresan akibat berlangsungnya pengangkutan. Pada batuan endapan klastis juga dijumpai adanya penyemenan sehingga terjadi pengikatan partikel-partikel satu dengan lainnya, sedangkan pada batuan beku terdiri atas sambungan-sambungan kristal.

Batuan Sedimen-Campuran (silt/mudstone) juga disebut serpih atau batuan sedimen berbutir halus yang terbentuk dari memadatnya dan atau tersementasinya partikel lempung. Menurut Hardiyatmo (2006), beberapa serpih berkelakuan cenderung seperti tanah daripada batuan dan menunjukkan sifat merugikan. Sifat-sifat teknis serpih pada umumnya adalah:

a. Kekuatan serpih bervariasi. Serpih lunak dapat tergaruk dengan pemukul atau dapat digali dengan alat berat tanpa menggunakan bahan peledak. Sedangkan serpih yang keras harus digali dengan menggunakan bahan peledak.

b. Serpih mempunyai struktur berlapis dengan jarak dekat, dan cenderung sangat mudah terpisah di sepanjang bidang lapisannya. Ketika basah, kuat geser pada batas lapisannya sangat rendah.

c. Serpih sering menjadi lunak atau menjadi lempung atau lanau tidak padat sesudah terendam air dalam beberapa hari.


(54)

Berdasarkan sifat-sifat teknis di atas, maka batuan Sedimen-Campuran (silt/mudstone) merupakan salah satu jenis batuan yang memiliki pengaruh besar terhadap tingkat bahaya longsor.

Jenis batuan yang paling kecil pengaruhnya terhadap tingkat bahaya longsor adalah jenis batuan Metamorfik-Shale. Jenis batuan ini termasuk dalam batuan metamorf dan setara dengan batu kapur. Batuan metamorf merupakan batuan yang telah mengalami perubahan dari bentuk asalnya dari batuan yang sudah ada dan pada umumnya masih berkaitan dengan batuan sedimen. Menurut Hardiyatmo (2006), sifat teknis batuan metamorf pada umumnya adalah merupakan material yang keras dan kuat, dan hampir tidak terpengaruh oleh perubahan cuaca. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh bahwa jenis batuan Metamorfik-Shale merupakan batuan yang paling rendah pengaruhnya terhadap tingkat bahaya longsor.

Jenis batuan lainnya pada Tabel 14 merupakan jenis batuan Breksi, Andesit, Plutonik-Granit, dan Alluvium. Menurut Effendi (2008), jenis batuan dengan formasi Breksi dan Andesit dapat menjadi bidang gelincir untuk terjadinya longsor karena sifatnya yang kedap air. Dalam keadaan jenuh air pada musim hujan, ditambah dengan tekstur tanah lempung pasiran, maka pada daerah yang memiliki batuan induk bersifat andesit menjadi rawan longsor. Namun jenis batuan ini bukan merupakan faktor terbesar dalam menentukan tingkat bahaya longsor.


(55)

Bahaya longsor berdasarkan jenis tanah

Jenis tanah merupakan salah satu parameter penentu tingkat bahaya longsor. Menurut Haifani (2008), terjadinya tanah longsor pada umumnya disebabkan oleh keberadaan ketebalan tanah lepas yang besar. Dengan adanya air hujan yang menjenuhi tanah, maka tingkat longsoran akan semakin tinggi. Hasil analisis tingkat bahaya longsor menurut jenis tanahnya disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Tingkat bahaya longsor menurut jenis tanah

Jenis Tanah Kelas Bahaya Longsor

Sangat rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi

(kosong) Total

Ha % Dystropepts, Distrandepts, Tropudults 1.049,62 1.049,62 0,38 Dystropepts, Distrandepts, Tropusults 3.472,88 15.329,39 49.381,64 68.183,92 24,45 Dystropepts, Dystrandepts, Haplorthox 68,02 12.955,04 13.023,06 4,70 Dystropepts, Eutrandepts, Dystrandepts 12.278,78 12.278,78 4,40 Dystropepts, Eutropepts, Tropudults 8.108,67 8.108,67 2,91

Dystropepts, Paleudults 52,12 52,12 0,02

Dystropepts, Troporthens, Tropudults 1.958,80 3.796,22 5.755,03 2,06

Dystropepts, Tropudalts, Tropudults 144,39 144,39 0,05

Dystropepts, Tropudults, Haplorthox 3.159,35 1.595,86 4.755,22 1,71 Dystropepts, Tropudults, Humitropepts 3.035,53 11.154,91 14.190,45 5,09 Dystropepts, Tropudults, Troportens 27.770,68 27.770,68 9,96 Dystropepts, Tropudults, Troportents 3.830,73 127,54 3.958,27 1,42 Dystropepts, Tropudults, Troporthens 3.581,95 2.859,87 6.441,82 2,31 Dystropepts, Tropudults, Tropudalts 2.378,86 2.378,86 0,85

Eutropepts 4.598,63 4.598,63 1,65

Fluvaquents,Tropaquepts 7.196,44 7.196,44 2,58

Humitropepts,Dystrandepts,hydrandepts 1.440,38 2.152,69 3.593,08 1,29

Hydrandepts,Eutropepts,Troporthents 428,24 428,24 0,15

Paleudults,Dystrandepts,Haplorthox 213,22 11,70 224,92 0,08

Rendolls,Eutropepts 11.651,23 11.651,23 4,18

Tropaquepts,Trofopluvents,Pluvaquents 1.834,23 1.834,23 0,66

Tropudults,Dystropepts 24.124,25 24.124,25 8,65

Tropudults,Dystropepts,Eutropepts 2.994,49 2.994,49 1,07

Tropudults,tropohumuts,Dystropepts 698,34 698,34 0,25

(kosong) 282,82 53.177,87 53.460,69 19,17

Total

Ha 9.313,50 3.761,86 19.578,51 173.214,09 19.849,70 53.177,87 278.895,55 100 % 3,34 1,35 7,02 62,12 7,12 19,07 100


(56)

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 15, dapat dilihat bahwa jenis tanah yang paling tinggi pengaruhnya terhadap tingkat bahaya longsor adalah jenis Dystropepts, Tropudults, Humitropepts dengan luas 11.154,91 ha. Jenis tanah ini didominasi oleh Dystropepts yang dipadankan dengan jenis tanah Eutropepts dengan ordo Inceptisol, sedangkan Tropudults dan Humitropepts merupakan jenis tanah pendukung satuan tanah tersebut. Pada umumnya, jenis tanah yang ada pada peta tanah dipadankan dengan jenis Eutropepts karena memiliki ordo yang sama.

Eutropepts merupakan Great-group dari ordo Inceptisol. Jenis tanah ini juga disebut latosol coklat. Menurut Effendi (2008), tanah latosol merupakan jenis yang memiliki tekstur tanah liat, konsistensi yang gembur dan tetap dari atas

sampai bawah, serta struktur lemah sampai gumpal lemah. Menurut Arsyad (2006), tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat

tersuspensi oleh tumbukan butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat yang tersuspensi tersebut. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya aliran permukaan dan memicu adanya longsor.

Meskipun tanah yang mengandung liat memiliki potensi yang besar terhadap bahaya longsor, pada kondisi tertentu tanah ini juga dapat memperlambat jalannya air yang akan menjenuhi permukaan tanah. Menurut Prijono dan Nurrohmah (2009), longsor dengan kedalaman bidang gelincir dangkal dengan ketebalan lapisan liat hanya berkisar antara 10-30 cm di atas susunan batu gamping yang rapat mampu memperlambat distribusi air pada lapisan tanah secara cepat. Tanah yang mengandung liat seperti ini dapat mengurangi volume


(57)

longsoran yang terjadi karena Prijono dan Nurrohmah (2009) juga menyatakan bahwa semakin dalam bidang gelincir tanah, maka volume longsor yang ditimbulkan akan semakin besar.

Menurut Darmawijaya (1990), tanah dengan ordo Inceptisol mempunyai karaktersistik dari kombinasi sifat-sifat tersedianya air untuk tanaman lebih dari setengah tahun atau lebih dari 3 bulan berturut-turut dalam musim kemarau dan tekstur lebih halus dari pasir geluhan (loamy sand) dengan beberapa mineral lapuk. Hal ini berarti bahwa jenis tanah dengan ordo Inceptisol besifat menyimpan air sehingga apabila terjadi hujan, yang merupakan faktor pemicu, maka tanah akan sulit untuk menahan air dan longsor akan mudah terjadi. Hal ini juga didukung oleh jenis tanah Dystropepts yang unsur formatifnya adalah dystr yang berarti tanah tersebut tidak subur dan memiliki sifat basa yang rendah.

Jenis tanah lainnya yang terdapat pada Tabel 15 dipadankan dengan jenis Tropafluent yang memiliki ordo Entisol. Berdasarkan hasil yang diperoleh, jenis tanah dengan ordo Entisol merupakan tanah yang memiliki pengaruh rendah terhadap tingkat bahaya longsor. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 15 yaitu jenis tanah Fluvaquents,Tropaquepts dengan luas 7.196,44 ha. Menurut Budiono (2003), tanah Entisol merupakan tanah yang masih muda perkembangannya dan secara umum, kandungan mineral primernya cukup banyak. Padanan dengan tanah yang berordo Entisol adalah tanah Aluvial atau Regosol. Tanah Aluvial hanya meliputi lahan yang sering atau baru saja mengalami banjir, sehingga dapat dianggap masih muda dan belum ada diferensiasi horison. Suatu hal yang mencirikan pada pembentukan Aluvial ialah bahwa bagian terbesar bahan kasar akan diendapkan tidak jauh dari sumbernya. Hal ini sesuai dengan hasil yang


(58)

diperoleh bahwa jenis tanah Aluvial memiliki pengaruh rendah terhadap tingkat bahaya longsor.

Jenis tanah Regosol berwarna kelabu mengandung bahan yang belum atau masih baru mengalami pelapukan. Hal ini berpengaruh terhadap daya serapnya terhadap air. Menurut Budiono (2003), tekstur tanah juga berpengaruh terhadap daya serap suatu tanah. Tekstur tanah Regosol biasanya kasar, struktur kersai atau remah, konsistensi lepas sampai gembur dan pH 6-7. Makin tua umur tanah, maka struktur dan konsistensinya padat, bahkan sering kali membentuk padas (lapisan tanah yang keras) dengan drainase dan porositas yang terhambat. Dengan tekstur tanah seperti itu, jenis tanah Regosol memiliki pengaruh kecil untuk terjadinya longsor.

Berdasarkan jenis tutupan lahan

Luasan bahaya longsor menurut tutupan lahan di Kabupaten Karo disajikan pada pada Tabel 16.

Tabel 16. Kelas bahaya longsor berdasarkan tutupan lahan

Kelas Tutupan

lahan

Kelas Bahaya Longsor Sangat

rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi

(kosong) Total Ha % HTI 97,09 349,94 765,98 4.290,25 5.503,27 0,02 Hutan lahan

kering primer

910,83 910,83 1,90

Hutan lahan kering sekunder

38,92 237,45 2.675,68 59.585,55 62.537,63 0,32

Pemukiman 0,82 43,79 24,63 55,69 124,95 21,82 Pertanian lahan

kering

10.320,83 2.637,72 15.898,27 28.164,54 14.441,57 56.250,27 127.713,22 0,04

Pertanian lahan kering campur semak

733,78 414,65 8.300,69 117,57 9.566,71 44,56

Rawa/berair 31,21 83,96 115,17 0,04

Sawah 935,86 55,11 182,71 1.338,74 13,81 2.526,26 0,88 Semak/belukar 287,04 23,16 9.448,77 2.688,20 12.447,18 4,34 Tanah terbuka 1.008,21 5.150,02 2.588,53 8.746,78 3,05

Tubuh air 53,95 92,60 146,56 0,05

(kosong) 56.250,27 56.250,27 19,63

Total Ha 13.476,55 3.761,86 19.578,51 173.671,96 19.849,70 56.250,27 286.588,87 100 % 4,70 1,31 6,83 60,60 6,93 19,63 100


(59)

Pertanian lahan kering merupakan jenis tutupan lahan yang paling tinggi pengaruhnya terhadap tingkat bahaya longsor di Kabupaten Karo dengan luas 14.441,57 ha. Dalam melakukan tutupan lahan berupa pertanian lahan kering, pada umumnya masyarakat di Kabupaten Karo membuka lahan hutan. Perambahan hutan ini dilakukan untuk memperoleh lahan pertanian yang lebih luas. Jenis tanaman yang mengisi pertanian lahan kering ini biasanya terdiri dari jagung, pisang, dan singkong. Beberapa contoh gambar pertanian lahan kering disajikan pada Gambar 10.

a. b.

(a)

(b)


(60)

Menurut Effendi (2008), jenis tanaman yang bertajuk kecil dan sangat jarang (kurang rapat) menyebabkan energi butir-butir hujan saat terjadinya hujan lebat memiliki kekuatan perusak yang tinggi dan ini bermakna meningkatnya tingkat erosivitas hujan yang jatuh langsung di atas permukaan tanah. Meningkatnya kemampuan erosivitas hujan ini menyebabkan peluang terjadinya longsor semakin besar pula. Selain itu, tanaman-tanaman tersebut juga memiliki perakaran yang kurang dalam sehingga tidak mampu menembus lapisan tanah yang kedap air, sehingga tidak membantu dalam menjaga kemantapan agregat tanah.

Jenis penggunaan lahan yang paling rendah pengaruhnya adalah permukiman dengan luas 0,826 ha. Hal ini dikarenakan daerah permukiman pada umumnya berada pada lahan dengan persentasi kemiringan yang rendah sehingga kemungkinan terjadi longsor menjadi kecil. Menurut Hardjono (2008), meskipun variabel kedalaman pelapukan dan kedalaman air tanah pada lahan pemukiman mempunyai nilai besar, namun karena lahan ini mempunyai relief yang datar maka kemungkinan terjadinya longsor lahan akan menjadi kecil atau bahkan tidak ada/stabil. Jenis penggunaan lahan ini ditemukan di setiap kecamatan yang di antaranya disajikan pada Gambar 11.


(61)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, daerah rawan bahaya longsor di Kabupaten Karo terdiri dari lima kelas yaitu sangat rendah (1.252,01 ha atau 6,21%), rendah (349,49 ha atau 1,73%), sedang (1.818,91 ha atau 9,02%), tinggi (14.895,43 ha atau 73,87%), dan sangat tinggi (1.844,10 ha atau 9,15%). Daerah rawan bahaya longsor yang paling dominan terdapat pada Kecamatan Tiga Binanga dengan kelas bahaya sangat tinggi (477,27 ha) dan Kecamatan Mardingding dengan kelas bahaya tinggi (2.476,73 ha) karena daerah tersebut memiliki kelas kelerengan, jenis tanah dan batuan, serta penutupan lahan yang memiliki nilai paling dominan dibandingkan dengan kecamatan lainnya.

Saran

Metode dalam penelitian ini tidak menggunakan curah hujan sebagai parameter penentu tingkat bahaya longsor karena hanya dianggap sebagai faktor pemicu bahaya longsor. Dalam penelitian selanjutnya, curah hujan dapat dimasukkan ke dalam parameter penentu untuk mengetahui besarnya pengaruh curah hujan terhadap bahaya longsor.


(1)

1 2 3 4 5

39 98,52015 2,89161 Merek R

40 98,52015 2,88980 Merek ST

41 98,52207 2,88852 Merek SR

42 98,52323 2,88628 Merek SR

43 98,51698 2,87267 Merek R

44 98,51726 2,87213 Merek R

45 98,56717 3,17142 Barusjahe T

46 98,56950 3,16812 Barusjahe T

47 98,57658 3,16421 Barusjahe ST

48 98,57937 3,16385 Barusjahe ST

49 98,44395 3,06548 Munthe T

50 98,42687 3,06287 Munthe S

51 98,41031 3,05506 Munthe S

52 98,41584 3,04257 Munthe T

53 98,37997 3,02914 Munthe ST

54 98,37525 3,02577 Munthe ST

55 98,33615 3,02622 Juhar T

56 98,35288 3,02329 Juhar T

57 98,32303 3,02934 Juhar S

58 98,31596 3,02691 Juhar ST

59 98,31079 3,02517 Juhar R

60 98,31337 3,02656 Juhar ST

61 98,30872 3,02482 Juhar R

62 98,29802 3,02169 Juhar S

63 98,27628 3,02306 Juhar SR

64 98,27214 3,02497 Juhar SR

65 98,40942 3,12733 Payung S

66 98,39553 3,12097 Payung S

67 98,38215 3,12440 Payung T

68 98,37444 3,12725 Payung T

69 98,37074 3,13127 Payung R

70 98,36189 3,13495 Payung R

71 98,37278 3,13377 Payung ST

72 98,37385 3,13770 Payung ST

73 98,25689 3,05123 Tiga Binanga S

74 98,25538 3,05904 Tiga Binanga S


(2)

1 2 3 4 5

81 98,29008 3,15397 Kuta Buluh T

82 98,28750 3,15795 Kuta Buluh T

83 98,28188 3,16830 Kuta Buluh ST

84 98,28004 3,16738 Kuta Buluh ST

85 98,21075 3,25994 Kuta Buluh S

86 98,20881 3,26188 Kuta Buluh S

87 98,13165 3,17329 Laubaleng S

88 98,12644 3,16925 Laubaleng S

89 98,06170 3,12477 Laubaleng T

90 98,06202 3,12464 Laubaleng T

91 98,07235 3,12433 Laubaleng S

92 98,07123 3,12608 Laubaleng T

93 98,06969 3,12965 Laubaleng S

94 98,06860 3,13219 Laubaleng T

95 98,13318 3,16281 Laubaleng ST

96 98,13289 3,16226 Laubaleng ST

97 98,12833 3,18841 Mardingding S

98 98,12636 3,18987 Mardingding S

99 98,13762 3,22441 Mardingding ST

100 98,13549 3,22890 Mardingding ST

101 98,06503 3,15001 Mardingding S

102 98,06362 3,15434 Mardingding R

103 98,06174 3,15979 Mardingding T

104 98,05963 3,16247 Mardingding T

105 98,04795 3,13757 Mardingding SR

106 98,04673 3,13856 Mardingding SR

Keterangan :

SR : Sangat Rendah R : Rendah S : Sedang T : Tinggi ST : Sangat Tinggi

Keterangan :

SR : Sangat Rendah R : Rendah S : Sedang T : Tinggi ST : Sangat Tinggi


(3)

(4)

Lampiran 3. Peta Jenis Tanah Kabupaten Karo


(5)

(6)

Lampiran 5. Peta Kelas Kelerengan Kabupaten Karo