Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Tabungan Anggota Bmt: Studi Kasus Pada Anggota Inkopsyah Bmt

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
TABUNGAN ANGGOTA BMT: STUDI KASUS PADA
ANGGOTA INKOPSYAH BMT

ZULFI MIRZA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-faktor
yang Memengaruhi Tabungan Anggota BMT: Studi Kasus pada Anggota
Inkopsyah BMT adalah benar karya saya dengan arahan dari Dosen pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Zulfi Mirza
NIM H54100031

ABSTRAK
ZULFI MIRZA. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Tabungan Anggota
BMT: Studi Kasus pada Anggota Inkopsyah BMT. Dibimbing oleh
WIDYASTUTIK dan RANTI WILIASIH.
BMT merupakan Lembaga Keuangan Mikro yang diharapkan mampu
membantu pengembangan Usaha Mikro dan Kecil (UMK), khususnya untuk
mengatasi masalah permodalan. Peran penting pada BMT bagi UMK terletak pada
kegiatan pembiayaan. Pembiayaan yang dilakukan BMT tidak akan berjalan baik
jika BMT tidak memiliki modal yang kuat. Salah satu faktor yang menyebabkan
kegagalan pada BMT adalah rendahnya tabungan anggota. Penelitian ini
menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tabungan anggota BMT tahun
2011-2012 dengan studi kasus pada BMT yang termasuk dalam Inkopsyah. Data
yang digunakan adalah laporan keuangan 34 BMT yang diperoleh dari Inkopsyah
BMT dan data PDRB yang diperoleh dari BPS. Hasil analisis dengan metode

regresi data panel menunjukkan variabel aset, utang dan FDR berpengaruh
signifikan terhadap tabungan anggota BMT. Variabel PDRB tidak berpengaruh
terhadap tabungan anggota BMT.
Kata kunci: aset, FDR, BMT, Inkopsyah, tabungan anggota, utang

ABSTRACT
ZULFI MIRZA. Analysis Factors that Affecting BMT Member’s Savings: Case
Study in Members of Inkopsyah BMT. Supervised by WIDYASTUTIK and
RANTI WILIASIH.
BMT is Microfinance Institutions expected to develop Micro and Small
Enterprises (MSEs), especially in term of capitalization. BMT has significant role
in SMEs in financing activities. BMT‟s financing will not be successful if BMT
does not have an enough capital. One cause of BMT failure is low savings BMT
members. This study analyzes the factors that affect BMT member‟s savings in
2011-2012, the case studies in members of Inkopsyah BMT. The data used in this
study are an annual secondary data from Inkopsyah BMT and BPS. The analysis
result shows that assets, debt and FDR variables have a significant impact to BMT
member‟s savings, while the GDP variable has not impact on BMT member‟s
savings.
Key words: asset, BMT, debt, FDR, Inkopsyah, member‟s savings


ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
TABUNGAN ANGGOTA BMT: STUDI KASUS PADA
ANGGOTA INKOPSYAH BMT

ZULFI MIRZA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala nikmat dan karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Analisis Faktorfaktor yang Memengaruhi Tabungan Anggota BMT: Studi Kasus pada Anggota
Inkopsyah BMT” dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah
kepada Nabi Muhammad shallallahu „alaihi wasallam, kepada sahabatnya dan
pengikutnya hingga akhir zaman.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada orang
tua dan keluarga penulis, yaitu Ibu Maysaroh, Ayah Mardjuki, Kakak Rizal Al
Furqon dan Kakak Umar Hamzah atas do‟a, kepercayaan dan dukungan yang
telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Widyastutik, M.Si dan Ibu Ranti Wiliasih, M.Si yang dengan sabar telah
memberikan penulis bimbingan, saran, waktu, dan motivasi sehingga skripsi
ini dapat diselesaikan;
2. Bapak Dr. Jaenal Effendi selaku dosen penguji utama dan Bapak Salahuddin
El Ayyubi, MA selaku dosen komisi pendidikan atas kritik dan saran yang
diberikan untuk perbaikan skripsi ini;
3. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Ekonomi, khususnya dosen Program
Studi Ilmu Ekonomi Syariah atas pendidikan yang telah diberikan;
4. Pengurus Inkopsyah BMT khususnya kepada Bapak Aswin Fitti Paldi dan

Mas Kris yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini;
5. Teman-teman seperjuangan: Nadiah, Uke, Qinta, Anggoro, dan Tika atas
semangat dan do‟a yang diberikan;
6. Teman-teman Eksyar 47, khususnya Fauzi, Puka, Wito, Riski, Irfan, Evan,
Cornell dan Pramono selaku Pembahas Seminar;
7. Penyemangat yang baik hati: Amir Fadly dan Ratna Rucitra
8. Penghuni Pondok Sadewa 2014-2015 yang baik luar biasa: Hanif, Iman,
Idhan, dan Imam; serta
9. Kepada seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yang
tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2015
Zulfi Mirza

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian


7

Manfaat Penelitian

7

Ruang Lingkup Penelitian

7

TINJAUAN PUSTAKA

7

BMT

7

Tabungan dan Fungsi Intermediasi


9

Tabungan pada BMT

10

Induk Koperasi Syariah BMT

11

Faktor-faktor yang Memengaruhi Tabungan

12

Penelitian Terdahulu

15

Kerangka Pemikiran


17

Hipotesis

17

METODE

18

Jenis dan Sumber Data

18

Metode Analisis Data

18

Pengujian Validitas


20

Pengujian Hipotesis

21

Spesifikasi Model

22

GAMBARAN UMUM

24

Inkopsyah BMT

24

Perkembangan Tabungan, Aset, FDR BMT dan PDRB


26

HASIL DAN PEMBAHASAN

28

Pemilihan Model Estimasi Data Panel

28

Hasil Estimasi Model

28

Hasil Pengujian Validitas

29

Faktor-faktor yang Memengaruhi Tabungan BMT

30

SIMPULAN DAN SARAN

33

DAFTAR PUSTAKA

34

LAMPIRAN

39

RIWAYAT HIDUP

47

DAFTAR TABEL
1. Modal, Tabungan, Modal Luar, dan Debt Ratio Inkopsyah BMT Periode
2010-2013
2. Tabungan, Modal, dan Utang pada 4 BMT Tahun 2011 dan 2012
3. Tabungan Wadiah, Tabungan Mudharabah dan Tabungan Total pada 5
BMT Anggota Inkopsyah BMT Tahun 2011 dan 2012
4. Satuan, simbol dan sumber data
5. Anggota Inkopsyah BMT Menurut Provinsi Tahun 2012
6. PDRB pada 25 Kabupaten/Kota tahun 2011 dan 2012 (miliar rupiah)
7. Hasil estimasi variabel yang memengaruhi tabungan total BMT tahun
2011-2012 dengan teknik REM
8. Hasil uji multikolinieritas

4
5
6
18
25
27
28
30

DAFTAR GAMBAR
1. Perkembangan tabungan Inkopsyah BMT tahun 2010-2013
2. Pertumbuhan tabungan Inkopsyah BMT tahun 2010-2013
3. Kerangka Pemikiran
4. Hasil uji Normalitas

2
4
17
30

DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil Estimasi dengan Pooled Least Square
2. Hasil Estimasi dengan Fixed Effect Model
3. Hasil Estimasi dengan Random Effect Model
4. Hasil Uji Chow
5. Hasil Uji Hausman
6. Tabungan, Aset, Utang, FDR dan PDRB pada BMT Tahun 2011-2012
7. Logaritma Natural Data Tabungan, Aset, Utang dan PDRB
8. Surat Keterangan Validitas Data

39
39
40
40
41
42
44
46

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mayoritas pengusaha di Indonesia merupakan pengusaha dengan skala
usaha mikro dan kecil. Jumlah Usaha Mikro dan Kecil (UMK) pada tahun 2011
lebih dari 55.16 juta unit usaha dan merupakan 99.91% dari total entitas usaha
yang ada di Indonesia. UMK berkontribusi sebesar Rp 1 022.54 triliun atau
43.01% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan tahun 2000
dan mampu menyerap tenaga kerja sebesar 98.88 juta jiwa atau 94.52% dari total
penyerapan tenaga kerja. Pada investasi nasional, UMK telah berkontribusi
sebesar Rp 137.13 triliun atau 25.84% dari total investasi nasional (Kementerian
Koperasi dan UKM, 2012).
Berdasarkan data tersebut, UMK memiliki potensi untuk menjadi kekuatan
ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, UMK perlu mendapat perhatian agar dapat
mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapinya. Salah satu masalah utama
yang dihadapi UMK adalah sulitnya mendapatkan akses permodalan. Hal ini
disebabkan karena pelaku UMK pada umumnya merupakan masyarakat yang
tergolong ekonomi kelas bawah dan kurang terjangkau lembaga keuangan formal.
Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) seperti Baitul Maal wat
Tamwil (BMT) merupakan suatu solusi atas masalah permodalan bagi UMK.
Berdasarkan data Perhimpunan BMT Indonesia dilengkapi data Pusat
Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), data Kementerian Koperasi, serta
beberapa penelitian terpisah, sampai dengan tahun 2010 jumlah BMT yang
beroperasi diperkirakan mencapai 3 900 BMT, total aset yang dikelola BMT
mencapai lebih dari Rp 5 trilyun, nasabah yang dilayani sekitar 3.5 juta orang, dan
jumlah pekerja yang mengelola sekitar 20 000 orang (Permodalan BMT Ventura,
2011). Menurut data PINBUK pusat jumlah BMT diperkirakan telah mencapai
angka 5 500 BMT pada tahun 2011 (Muljadi, 2013). Berdasarkan data di atas,
jumlah BMT yang ada masih relatif kecil jika dibandingkan potensi pasar untuk
pembiayaan UMK sehingga pengembangan BMT merupakan suatu keharusan.
Peran BMT bagi UMK terdapat pada kegiatan penghimpunan dana dan
pembiayaan. Penghimpunan dana yang dilakukan BMT dalam jangka panjang
akan mentransformasi budaya konsumtif menjadi semangat untuk berinvestasi.
Sementara itu, peran penting pada BMT bagi UMK adalah pembiayaan.
Pembiayaan BMT lebih menjangkau lapisan masyarakat bawah dan lebih fleksibel
dalam hal aturan bagi penerima pembiayaan dibanding lembaga keuangan bank.
Selain itu, BMT menggunakan sistem “jemput bola” dengan cara terjun langsung
untuk memberikan pembiayaan bagi UMK.
Pembiayaan yang dilakukan BMT tidak akan berjalan baik jika BMT tidak
memiliki modal yang kuat dan bergantung pada modal dari pihak luar seperti dana
bergulir dari pemerintah yang didapat pada waktu tertentu dan tidak
berkelanjutan. Secara umum, modal BMT dapat dikelompokkan menjadi dua
yaitu modal sendiri dan modal luar. Modal sendiri BMT bersumber dari simpanan
anggota (simpanan wajib, simpanan pokok, dan simpanan sukarela atau
tabungan), dana cadangan, dan hibah, sedangkan modal luar didapat melalui
pembiayaan dari pihak lain seperti bank syariah, BMT lain, dan asosiasi BMT.

2
Terdapat beberapa asosiasi BMT di Indonesia, salah satunya adalah Induk
Koperasi Syariah BMT atau Inkopsyah BMT. Inkopsyah BMT merupakan
asosiasi BMT dengan badan hukum koperasi sekunder yang menghimpun dan
memberikan pembiayaan bagi BMT. Pada awal pembentukannya Inkopsyah BMT
hanya beranggotakan 24 BMT. Pada Agustus tahun 2014 anggota Inkopsyah
BMT telah mencapai 418 BMT. Data per semester Inkopsyah BMT menunjukkan
tabungan yg telah dihimpun Inkopsyah dari BMT anggota sebesar Rp 9.12 miliar
pada Desember 2010. Tabungan Inkopsyah mengalami peningkatan pada periode
Juni 2011 menjadi Rp 11.37 miliar dan meningkat menjadi Rp 26.08 miliar pada
Juni 2013. Dalam rentang waktu empat tahun, tabungan Inkopsyah BMT telah
tumbuh 185.89%. Adapun perkembangan tabungan Inkopsyah BMT pada
Desember 2010 hingga Juni 2013 dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber : Inkopsyah BMT, 2014 (diolah)

Gambar 1. Perkembangan tabungan Inkopsyah BMT tahun 2010-2013
Tabungan Inkopsyah mengalami tren yang positif sejak periode Desember
2010 hingga Juni 2013 (Gambar 1). Tabungan yang dimaksud di atas adalah
jumlah dari simpanan sukarela (tabungan wadiah) dan simpanan sukarela dan
berjangka (tabungan mudharabah). Tren positif pada tabungan Inkopsyah BMT
disebabkan karena peningkatan jumlah anggota Inkopsyah. Peningkatan tabungan
Inkopsyah secara tidak langsung menunjukkan bahwa tabungan yang dihimpun
BMT anggota Inkopsyah secara umum juga mengalami peningkatan.
Kunci keberhasilan suatu BMT dalam kegiatan usahanya adalah partisipasi
anggota. Sebagai koperasi, BMT adalah organisasi yang berbasiskan anggota atau
member based organization, berbeda dengan lembaga bisnis yang pada umumnya
berbasis modal (uang) atau capital based organization. Maju mundurnya suatu
BMT akan bergantung pada intensitas anggota dalam menggunakan layanan yang
ditawarkan BMT. Dengan kata lain, kesuksesan suatu BMT bergantung pada
kinerja anggotanya dalam memanfaatkan pembiayaan serta tingkat partisipasi
anggota dalam mengalokasikan dana untuk meningkatkan modal BMT dalam
berbagai bentuk tabungan.

3
Tabungan dalam BMT merupakan istilah lain dari simpanan sukarela yang
dihimpun dari anggota. Produk tabungan tiap BMT berbeda-beda, bergantung
pada kebutuhan anggota. Beberapa produk tabungan yang umumnya terdapat pada
BMT di antaranya tabungan haji, tabungan kurban, tabungan pendidikan, dan
tabungan berjangka mudharabah. Tiap jenis tabungan memiliki karakteristik yang
berbeda misalnya dalam hal akad yang digunakan, jangka waktu penarikan, dan
keuntungan yang diperoleh (nisbah bagi hasil).
Menurut Ridwan (2011), upaya penghimpunan tabungan anggota harus
dirancang agar dapat menarik minat anggota untuk menabung di BMT serta
menarik minat masyarakat untuk menjadi anggota BMT. Prinsip utama dalam
manajemen penghimpunan dana ini adalah kepercayaan. Kemauan anggota untuk
menabung di BMT sangat dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan anggota terhadap
BMT itu sendiri. Pada tahap selanjutnya, BMT harus membangun sistem agar
loyalitas anggota dapat terwujud.
Secara konseptual, tabungan BMT merupakan akumulasi dari berbagai jenis
simpanan sukarela. Untuk meningkatkan tabungan BMT diperlukan upaya
kongkret dari pengurus BMT. Peningkatan tabungan BMT akan memperkuat
modal BMT yang kemudian dapat digunakan untuk memberikan pembiayaan bagi
UMK. Selain itu, peningkatan tabungan anggota pada jangka panjang akan
menjadikan BMT tidak bergantung pada modal luar. Dengan demikian, nilai self
help BMT sebagai koperasi dapat terwujud dan pemberdayaan masyarakat
ekonomi lemah khususnya UMK juga dapat direalisasikan. Alur pemikiran di atas
memberi indikasi pentingnya upaya untuk menggali potensi tabungan BMT
sebagai sumber pembiayaan bagi masyarakat ekonomi lemah dan UMK. Oleh
karena itu, relevan dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang memengaruhi
tabungan BMT.
Perumusan Masalah
Sebagai lembaga keuangan mikro yang menjalankan fungsi intermediasi,
BMT memerlukan modal untuk memenuhi kebutuhan kegiatan operasionalnya.
Modal utama BMT berasal dari modal sendiri dalam bentuk simpanan pokok,
simpanan wajib dan simpanan sukarela (tabungan). Berdasarkan pembukuan
laporan keuangan, tabungan anggota termasuk kewajiban dan tidak termasuk
sebagai modal, namun karena yang menabung di BMT adalah anggota maka
tabungan anggota dapat pula digolongkan sebagai modal sendiri. BMT dapat
memperoleh modal alternatif dalam bentuk pembiayaan dari lembaga lain melalui
utang. Sumber pendanaan selain simpanan dan tabungan anggota seperti
pembiayaan dari bank atau lembaga lain digolongkan sebagai modal luar.
Inkopsyah BMT sebagai koperasi sekunder yang menghimpun BMT yang
berbentuk koperasi primer dalam kegiatan usahanya menggunakan modal sendiri
dan modal luar. Modal sendiri terdiri dari modal anggota dan serta simpanan
sukarela atau tabungan anggota. Modal anggota bersumber dari simpanan pokok
khusus, simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan penyetaraan, modal
penyertaan, dan cadangan yang merupakan bagian keuntungan yang dijadikan
modal. Modal luar bersumber dari pembiayaan pihak luar seperti bank syariah dan
pemerintah. Pertumbuhan tabungan yang dihimpun Inkopsyah BMT sejak periode
Desember 2010 hingga periode Juni 2013 tersaji pada Gambar 2.

4

Pertumbuhan (persen)

35

29.88

30
25

24.65

24.73
22.46

20
15

15.61

10
5
0

Juni 2011

Des 2011

Juni 2012

Des 2012

Juni 2013

Periode
Sumber : Inkopsyah BMT, 2014 (diolah)

Gambar 2. Pertumbuhan tabungan Inkopsyah BMT tahun 2010-2013
Pada Juni 2011, tabungan yang di himpun Inkopsyah BMT dari anggotanya
mengalami pertumbuhan sebesar 24.65% dari periode sebelumnya yaitu periode
Desember 2010. Pada periode Desember 2011 pertumbuhan tabungan Inkopsyah
BMT menurun menjadi 15.61% kemudian meningkat pada Juni 2012 menjadi
29.88%. Pertumbuhan tabungan kembali mengalami penurunan pada Desember
2012 menjadi 22.46% dan meningkat kembali pada Juni 2013 menjadi 24.73%.
Data ini menunjukkan pertumbuhan tabungan Inkopsyah BMT berfluktuatif.
Artinya, penghimpunan dana yang dilakukan Inkopsyah dari BMT anggota pada
Desember 2010 hingga Juni 2013 masih belum signifikan.
Data modal, tabungan, modal luar dan Debt ratio yang merupakan rasio
utang terhadap modal sendiri (tabungan ditambah modal) Inkopsyah BMT tahun
2010-2013 tersaji pada Tabel 1. Berdasarkan data tersebut, modal dan tabungan
Inkopsyah BMT mengalami peningkatan tiap periodenya. Peningkatan tersebut
disebabkan karena beberapa faktor diantaranya peningkatan jumlah anggota dan
peningkatan keuntungan Inkopsyah BMT yang dialokasikan sebagai cadangan
dan tercatat sebagai modal.
Tabel 1. Modal, Tabungan, Modal Luar, dan Debt Ratio Inkopsyah BMT Periode
2010-2013
Periode
Des 2010
Jun 2011
Des 2011
Jun 2012
Des 2012
Juni 2013

Modal
(juta rupiah)
8 401
12 174
14 355
16 481
18 898
19 920

Sumber : Inkopsyah BMT, 2014

Tabungan
(juta rupiah)
9 121
11 369
13 144
17 071
20 906
26 076

Modal Luar
(juta rupiah)
50 829
73 708
72 844
116 795
116 461
115 915

Debt Ratio
(%)
290.09
313.08
264.89
348.1
292.59
252.01

5
Berdasarkan data pada Tabel 1 modal luar yang berhasil dihimpun
Inkopsyah BMT mengalami penurunan sejak periode Juni 2012 hingga Juni 2013.
Debt ratio Inkopsyah BMT sejak periode Desember 2010 hingga Juni 2013
berfluktuatif dan selalu berada di atas 250%. Debt ratio tertinggi terjadi pada
periode Juni 2012 yakni sebesar 348.1%. Debt ratio Inkopsyah BMT yang tinggi
menunjukkan bahwa Inkopsyah BMT masih mengandalkan modal luar.
Di antara anggota Inkopsyah BMT terdapat BMT yang modal sendirinya
kurang dari modal luar atau utang pada tahun 2011 dan 2012. Data 4 BMT yang
memiliki utang lebih dari modal sendiri disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Tabungan, Modal, dan Utang pada 4 BMT Tahun 2011 dan 2012
BMT

Tahun

Baskara
Muhammadiyah

2011
2012
2011
2012
2011
2012
2011
2012

Laa Tansa
Mardlotillah
Septa Bina
Usaha

Tabungan
Modal
Utang
(juta rupiah) (juta rupiah) (juta rupiah)
14 751.51
3 803.15
21 574.19
16 085.54
4 987.61
26 693.82
579.51
174.23
1 065.39
938.70
243.09
1 405.39
3 116.92
1 030.42
6 371.50
4 683.21
1 101.49
6 396.78
949.53
603.61
1 877.29
884.71
270.91
2 243.92

Debt
Ratio (%)
116.27
126.67
141.35
118.92
153.63
110.58
120.87
194.17

Sumber : Inkopsyah BMT, 2014

Pada tahun 2011, jumlah tabungan BMT Baskara Muhammadiyah sebesar
Rp 14,75 miliar, sedangkan jumlah utangnya sebesar Rp 21.57 miliar. Pada tahun
2012, terjadi peningkatan jumlah tabungan pada BMT Baskara Muhammadiyah
menjadi Rp 16.09 miliar, namun jumlah utangnya pun meningkat menjadi Rp
26.69 miliar. BMT Baskara Muhammadiyah pada tahun 2011 memiliki debt ratio
sebesar 116.27% dan meningkat menjadi 126.67% pada tahun 2012. BMT yang
mengalami peningkatan debt ratio yaitu BMT Baskara Muhammadiyah dan BMT
Septa Bina Usaha, sedangkan pada BMT Laa Tansa dan BMT Mardlotillah debt
rationya menurun (lihat Tabel 2).
BMT yang memiliki debt ratio lebih dari 100% secara tidak langsung
menunjukkan kurangnya minat anggota untuk menabung di BMT tersebut.
Dengan kata lain, permintaan pembiayaan anggota melebihi ketersediaan modal.
Hal ini dapat diantisipasi BMT dengan cara melakukan pinjaman dari pihak luar.
Namun, proporsi modal pinjaman yang lebih dari modal sendiri pada gilirannya
akan memengaruhi keuntungan BMT sehingga diperlukan upaya untuk
meningkatkan tabungan dari anggota.
Menurut Indriani (2010), salah satu penyebab rendahnya tabungan anggota
pada koperasi adalah karena ketiadaan lembaga penjamin tabungan pada koperasi.
Anggota koperasi enggan menyimpan uang pada koperasi karena memiliki risiko
yang tinggi sebab tabungan anggota tersebut tidak dijamin oleh lembaga tertentu
sebagaimana tabungan pada lembaga keuangan bank. Oleh karena itu, anggota
yang memiliki kelebihan uang untuk ditabung akan memilih lembaga keuangan
bank karena tabungan yang ada di bank dijamin oleh pemerintah, dalam hal ini
oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

6
Kondisi ideal pada BMT adalah jika anggota memiliki kepercayaan yang
tinggi pada BMT tersebut. Kepercayaan anggota BMT tercermin pada
peningkatan jumlah tabungan yang dihimpun BMT tiap tahunnya. Namun,
kenyataannya terjadi penurunan jumlah tabungan pada beberapa BMT, di
antaranya 5 BMT anggota Inkopsyah yang disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Tabungan Wadiah, Tabungan Mudharabah dan Tabungan Total pada 5
BMT Anggota Inkopsyah BMT Tahun 2011 dan 2012
Tabungan Wadiah
(Juta Rupiah)
2011
3 030.21
Syariah
Sejahtera
2012
2 335.65
2011
1 378.78
Prima Syariah
2012
1 552.69
2011
956.47
KUBE
Sejahtera 056
2012
1 809.76
2011
966.43
Mulia
2012
719.24
2011
5 432.72
Fajar Mulia
2012
4 108.90
Sumber : Inkopsyah BMT, 2014

BMT

Tahun

Tabungan Mudharabah
(Juta Rupiah)
1 696.53
611.00
334.09
62.30
1 709.42
414.00
161.18
218.15
2 941.66
2 801.75

Tabungan Total
(Juta Rupiah)
4 726.74
2 946.65
1 712.87
1 614.99
2 665.89
2 223.76
1 127.61
937.39
8 374.38
6 910.65

BMT Syariah Sejahtera mengalami penurunan tabungan wadiah dan
tabungan mudharabah pada tahun 2012, dimana tahun 2011 tabungan wadiah dan
tabungan mudharabah masing-masing Rp 3.03 miliar dan Rp 1.69 miliar. Tahun
2012 tabungan wadiah dan tabungan mudharabah BMT Syariah Sejahtera
menurun masing-masing menjadi Rp 2.34 miliar dan Rp 611 juta. Penurunan
kedua jenis tabungan ini juga terjadi pada BMT Fajar Mulia. Pada BMT Prima
Syariah dan KUBE Sejahtera 056 penurunan total tabungan disebabkan oleh
penurunan tabungan mudharabah, sedangkan pada BMT Mulia penurunan
tabungan total disebabkan terjadinya penurunan tabungan dengan akad wadiah.
Penurunan tabungan pada BMT, jika terjadi terus menerus dikhawatirkan
akan mengakibatkan BMT tidak mampu bertahan. Jika permintaan pembiayaan
pada BMT tetap sementara modal sendiri menurun dan modal dari luar telah jatuh
tempo pengembalian, maka usia BMT tersebut tidak akan lama. Di beberapa
daerah telah terjadi penurunan jumlah BMT yang signifikan. Di antaranya
disebutkan dalam penelitian yang dilakukan Hamzah et al. (2013), di Ciamis dan
Tasik Malaya pada tahun 2000 masing-masing berjumlah 42 dan 50 unit, pada
tahun 2008 di Ciamis tersisa 7 unit dan 12 Unit di Tasik Malaya. Di Bandung
pada tahun 2000 terdapat 32 unit BMT dan tahun 2008 tersisa 8 unit.
Mengingat pangsa pasar pembiayaan mikro yang besar merupakan peluang
sekaligus tantangan bagi BMT maka BMT harus mampu meningkatkan modal
sendiri agar pembiayaan yang dilakukan dapat merealisasikan pemberdayaan
masyarakat ekonomi lemah, khususnya pengusaha mikro dan kecil. Berdasarkan
latar belakang dan uraian di atas, permasalahan yang akan dijelaskan lebih lanjut
dalam penelitian ini adalah faktor apa saja yang memengaruhi tabungan anggota
BMT yang tergabung dalam Inkopsyah BMT?

7
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, tujuan yang
ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang
memengaruhi tabungan anggota BMT yang tergabung dalam Inkopsyah BMT.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang
memengaruhi tabungan BMT, dimana penelitian ini merupakan studi kasus pada
BMT yang tergabung dalam Inkopsyah BMT adalah sebagai berikut :
1. Sebagai bahan masukan bagi BMT umumnya dan Inkopsyah BMT
khususnya dalam menentukan kebijakan terkait pengembangan BMT
dalam hal tabungan anggota.
2. Memberikan pemahaman bagi masyarakat, praktisi BMT, dan pemerintah
mengenai faktor-faktor yang memengaruhi tabungan pada BMT.
3. Menjadi sarana bagi penulis untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh
selama perkuliahan dan menjadi bahan rujukan dan pertimbangan untuk
penelitian berikutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini fokus pada pembahasan mengenai faktor-faktor yang
memengaruhi tabungan BMT yang menjadi anggota Inkopsyah pada tahun 2011
dan 2012. BMT yang dibahas dalam penelitian ini berjumlah 34 BMT. Faktorfaktor yang diduga memengaruhi tabungan BMT yang menjadi variabel
independen pada penelitian ini yaitu PDRB, jumlah aset, FDR dan jumlah utang.
Variabel independen tersebut dipilih berdasarkan teori dan penelitian terdahulu.

TINJAUAN PUSTAKA
BMT
Koperasi syariah dikenal sebagai Baitul Maal wat Tamwil (BMT) sejak
berdirinya BMT Bina Insan Kamil di Jakarta pada tahun 1992 (Possumah dan
Baharuddin, 2012). BMT Insan Kamil menjadi pelopor perkembangan BMT di
Indonesia. Keberadaan BMT diharap dapat membantu pengembangan Usaha
Mikro dan Kecil (UMK), khususnya dalam mengatasi masalah permodalan yang
merupakan kendala utama UMK. UMK memiliki peranan penting dalam
perekonomian Indonesia namun sulit berkembang karena kendala modal. Hal ini
disebabkan karena pelaku UMK pada umumnya merupakan masyarakat yang
tergolong ekonomi menengah ke bawah dan tidak terjangkau lembaga keuangan
formal seperti bank. Menurut Imaniyati (2004), BMT merupakan lembaga
keuangan mikro yang tepat untuk mengembangkan UMK, karena selain memiliki
misi komersial, BMT juga memiliki fungsi sosial.
BMT merupakan singkatan dari Baitul Maal Wat Tamwil. Secara bahasa,
baitul maal berarti rumah harta dan baitut tamwil berarti rumah usaha
(pengembangan harta). Baitul maal dikembangkan berdasarkan sejarah

8
perkembangannya, yakni dari masa Nabi sampai abad pertengahan perkembangan
Islam, dimana baitul maal berfungsi untuk mengumpulkan sekaligus menyalurkan
dana sosial. Sedangkan, baitul tamwil merupakan lembaga bisnis yang bermotif
laba (Ridwan, 2011).
Menurut Soemitra (2009), BMT adalah balai usaha mandiri terpadu yang
bergerak pada kegiatan mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi
dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha mikro dan kecil
dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan
ekonominya. BMT juga melakukan kegiatan penerimaan dan penyaluran dana
sosial Islami seperti zakat dan infak. BMT memiliki ciri khusus, yaitu:
1. Staf dan karyawan BMT bertindak aktif, dinamis, berpandangan produktif,
tidak menunggu tetapi menjemput nasabah, baik sebagai penyetor dana
maupun sebagai penerima pembiayaan usaha;
2. Kantor dibuka dalam waktu tertentu dan ditunggui oleh sejumlah staf yang
terbatas, karena sebagian besar staf harus bergerak di lapangan untuk
mendapatkan nasabah penyetor dana, memonitor, dan mensupervisi usaha
nasabah;
3. BMT mengadakan pengajian rutin secara berkala yang waktu dan
tempatnya ditentukan sesuai dengan kegiatan anggota BMT. Pengajian
rutin ini juga dapat menjadi sarana BMT untuk melakukan pendampingan
usaha sekaligus dapat menjadi tempat bagi anggota untuk memberikan
angsuran, simpanan maupun tabungan.
4. Manajemen BMT diselenggarakan secara profesional dan Islami.
Administrasi keuangan dilakukan berdasarkan standar akuntansi keuangan
di Indonesia yang disesuaikan dengan prinsip akuntansi syariah.
Sebagai LKM, kegiatan usaha yang dilakukan BMT adalah kegiatan
penghimpunan dana dan pembiayaan yang dikhususkan bagi para anggota. Bentuk
penghimpunan dana BMT yang umum yakni simpanan pokok dan simpanan
wajib. BMT juga dapat mengembangkan berbagai jenis simpanan sukarela atau
disebut juga sebagai tabungan seperti simpanan haji dan simpanan idul fitri. Akad
yang digunakan dalam simpanan tersebut dapat berupa akad mudharabah (bagi
hasil) dan akad wadiah (titipan). Kegiatan pembiayaan pada BMT dapat berupa
pembiayaan bagi hasil dengan akad mudharabah dan musyarakah, pembiayaan
jual beli dengan akad murabahah, dan pembiayaan nirlaba dengan akad qardhul
hasan. Keberadaan pembiayaan nirlaba bagi BMT menunjukkan identitas BMT
yang berbeda dengan koperasi simpan pinjam konvensional yang berbasiskan
pada bunga.
Menurut Aziz (2005), ada beberapa alasan mengapa harus mendirikan dan
mengembangkan BMT. Alasan tersebut antara lain: pertama, pembangunan
nasional harus dipercepat. Kedua, sebagian besar struktur pengusaha nasional
adalah usaha mikro kecil yang salah satu faktor kesulitannya adalah masalah
permodalan, sementara usaha mikro kecil kurang mengenal dan sulit mengakses
bank. Ketiga, bank kurang tertarik untuk „mencapai‟ usaha mikro, karena biaya
bank terlalu mahal untuk pembiayaan kecil yang banyak jumlahnya. Keempat,
sebagian besar penduduk golongan ekonomi menengah ke bawah, terjerat rentenir
dengan prosedur yang mudah dan sederhana, namun memberatkan akibat
pembebanan bunga pinjaman yang terlalu besar. Untuk itu, BMT didirikan
sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik para rentenir tersebut.

9
Menurut Ridwan (2011), dalam tatanan hukum di Indonesia, badan hukum
yang paling mungkin untuk BMT adalah koperasi. Berdasarkan bidang usaha
yang dijalankan, BMT termasuk sebagai Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS)
atau bisa juga sebagai Koperasi Simpan Pinjam Syariah (KSPS). Kedua jenis
koperasi tersebut sebenarnya memiliki kesamaan, yakni sama-sama bergerak di
bidang keuangan. BMT bergerak di bidang pemupukan modal dari anggotanya
untuk diberikan kembali dalam bentuk pembiayaan kepada anggota yang
memerlukan dana untuk modal usaha atau untuk keperluan konsumsi. Kegiatan
pemupukan modal mendidik anggota BMT untuk hemat dan rajin menabung dan
menghindari anggota dari rentenir.
Tabungan dan Fungsi Intermediasi
Menurut Mankiw (2007), tabungan rumah tangga atau tabungan swasta
(private saving) adalah jumlah pendapatan yang tersisa setelah rumah tangga atau
perusahaan membayar pajak dan konsumsi mereka. Secara matematis, tabungan
rumah tangga dapat dituliskan sebagai berikut :

dimana :
Spr
: tabungan swasta
Y
: pendapatan
T
: pajak
C
: konsumsi
Berdasarkan fungsi tersebut, tabungan memiliki hubungan yang positif
dengan pendapatan, dan memiliki hubungan yang negatif dengan pajak dan
konsumsi. Sebagai contoh, semakin tinggi pendapatan suatu rumah tangga, ceteris
paribus, maka semakin besar pula tabungan yang dilakukan rumah tangga
tersebut. Sementara, jika pajak atau konsumsi meningkat, ceteris paribus, maka
tabungan akan menurun.
Fungsi tabungan tersebut merupakan fungsi turunan dari fungsi Produk
Domestik Bruto (PDB) yang merupakan pendapatan total dalam perekonomian
sekaligus pengeluaran total atas output barang dan jasa dalam perekonomian yang
sama. Dalam asumsi perekonomian tertutup (closed economy), PDB (disimbolkan
dengan Y) terbagi dalam 3 komponen pengeluaran yakni konsumsi (C), investasi
(I), dan pengeluaran pemerintah (G), yang dapat dituliskan sebagai berikut :

Persamaan di atas menyatakan bahwa PDB adalah jumlah konsumsi,
investasi, dan pengeluaran pemerintah. Setiap unit output yang dijual dalam
perekonomian tertutup mewakili konsumsi, investasi, atau pengeluaran
pemerintah. Selanjutnya, berdasarkan fungsi PDB di atas, dapat diturunkan fungsi
terkait pasar keuangan, yakni :

10

Sisi kanan dari persamaan di atas
adalah pendapatan total yang
tersisa dalam perekonomian setelah dipakai untuk konsumsi dan pengeluaran
pemerintah. Inilah yang disebut sebagai tabungan nasional (disimbolkan dengan
S). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tabungan sama dengan investasi,
atau dapat ditulis sebagai berikut :

Lembaga keuangan seperti bank, reksadana, dan BMT, berperan sebagai
lembaga intermediasi yaitu sebagai penghubung bagi pihak yang mengalami
kelebihan atau surplus modal kepada pihak yang membutuhkan atau defisit modal.
Fungsi intermediasi oleh lembaga keuangan tersebut dapat menjelaskan bahwa
tabungan sama dengan investasi karena dana yang dihimpun lembaga keuangan
dalam bentuk tabungan akan disalurkan kembali oleh lembaga keuangan dalam
bentuk pinjaman. Dengan kata lain, lembaga keuangan berdiri diantara dua sisi
.
persamaan
Tabungan pada BMT
Modal inti BMT bersumber dari simpanan pokok, simpanan wajib, dan jika
ada kemudahan juga tabungan atau simpanan sukarela anggota yang semuanya itu
akan mendapatkan bagi hasil dari keuntungan BMT. BMT harus memiliki
pemasukan keuntungan dari hasil usaha pembiayaan berbentuk modal kerja yang
diberikan kepada pelaku UMK yang menjadi anggotanya untuk membayar bagi
hasil kepada anggota, khususnya anggota yang memiliki tabungan.
Pengelola BMT harus “menjemput bola” dalam mencari dan membina
anggota pengguna dana BMT agar mereka memperoleh keuntungan yang besar
dan karenanya BMT juga memperoleh untung yang cukup besar pula untuk
selanjutnya digunakan bagi kepentingan pengembangan BMT itu sendiri. Dari
keuntungan itulah BMT dapat menanggung biaya operasional dalam bentuk gaji
pengelola dan karyawan BMT, biaya operasional lainnya, dan membayar bagi
hasil yang memadai bagi para anggota yang menabung di BMT.
Modal awal BMT merupakan simpanan pokok dan simpanan wajib dari
anggota. Setelah mendapatkan modal awal tersebut, BMT memobilisasi dana
dengan mengembangkannya dalam aneka simpanan sukarela atau tabungan bagi
anggota dan calon anggota. Prinsip syariah tabungan diatur dalam Fatwa Dewan
Syariah Nasional No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan. Menurut fatwa
MUI tersebut, terdapat dua jenis tabungan yaitu tabungan yang tidak dibenarkan
secara syariah yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga (riba), dan
tabungan yang dibenarkan yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah
dan akad wadiah. Berdasarkan kedua akad tersebut, BMT dapat menawarkan
berbagai produk yang sesuai dengan kebutuhan anggota.
Mudharabah merupakan kontrak kerja sama antara pemilik modal (shahibul
maal) dan pengelola dana atau pengusaha (mudharib) atas dasar bagi hasil. Dalam
hal penghimpunan dana, anggota penabung berperan sebagai shahibul maal dan
BMT sebagai mudharib. BMT sebagai mudharib memiliki kewajiban untuk
mengelola tabungan dengan menyalurkan dana yang dikumpulkan tersebut dalam

11
bentuk pembiayaan. Keuntungan yang dihasilkan dibagikan berdasarkan nisbah
atau prosentase yang telah ditentukan di awal kontrak. Jika terjadi kerugian usaha
maka semua kerugian akan ditanggung oleh shahibul maal dan mudharib tidak
akan mendapatkan keuntungan usaha. Beberapa produk tabungan berdasarkan
akad mudharabah yakni (Soemitra, 2009) :
a. Simpanan biasa;
b. Simpanan pendidikan;
c. Simpanan haji;
d. Simpanan umrah;
e. Simpanan kurban;
f. Simpanan Idul Fitri;
g. Simpanan walimah;
h. Simpanan akikah;
i. Simpanan perumahan;
j. Simpanan kunjungan wisata;
k. Simpanan mudharabah berjangka (deposito berjangka waktu 1, 3, 6, dan
12 bulan);
Wadiah secara bahasa berarti titipan, sehingga pada prinsipnya tabungan
dengan akad wadiah merupakan kontrak penitipan uang. Akad wadiah dibagi
menjadi dua, yakni (Soemitra, 2009) :
a. wadiah yad al-amanah yaitu penitipan uang dimana pihak BMT tidak berhak
untuk menggunakan uang tersebut untuk kepentingan BMT. Uang yang
dititipkan dengan akad wadiah yad al-amanah biasa digunakan pada kegiatan
sosial seperti penghimpunan dana zakat dan infak sedekah yang kemudian
disalurkan kepada yang berhak menerimanya sebagaimana telah diatur dalam
ajaran Islam;
b. wadiah yad ad-damanah, yaitu penitipan uang dan BMT diperbolehkan
menggunakan uang tersebut untuk kepentingan BMT yang bermotif
keuntungan. Keuntungan yang dihasilkan BMT atas dana titipan ini dapat
diberikan kepada anggota penabung sebagai bonus yang nilainya ditentukan
oleh pihak BMT. Contoh tabungan dengan akad wadiah yad ad-damanah
adalah giro dan tabungan biasa yang sewaktu-waktu dapat diambil oleh
penyimpan.
Induk Koperasi Syariah BMT
Berdasarkan penjenjangannya, koperasi terdiri dari dua jenis yaitu koperasi
primer dan koperasi sekunder. BMT yang banyak terdapat saat ini termasuk jenis
koperasi primer. Menurut UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, koperasi
primer adalah koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang
perseorangan. Selanjutnya, disebutkan bahwa koperasi primer dapat didirikan oleh
minimal dua puluh orang dengan memisahkan sebagian kekayaan untuk dijadikan
modal awal koperasi. Kegiatan usaha BMT sebagai koperasi primer telah
dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya.
Masyarakat umumnya mendefinisikan koperasi sebagai wadah bagi orangorang yang ekonominya lemah sehingga dengan sendirinya koperasi perlu
melakukan kerja sama antar koperasi untuk mencapai tujuan bersama.
Berdasarkan hal tersebut kerja sama antar koperasi menjadi salah satu asas

12
koperasi yang telah diterima secara luas oleh gerakan koperasi di seluruh dunia.
Kerja sama antar koperasi juga merupakan suatu keniscayaan mengingat tingkat
persaingan usaha di era globalisasi dan pasar bebas. Menurut Hendrojogi (2012),
keuntungan yang dapat diperoleh koperasi dengan melakukan kerja sama antar
koperasi di antaranya adalah peningkatan daya saing (bargaining position) dan
peningkatan skala usaha (economic of scale).
Salah satu bentuk kerja sama antar koperasi yang dilakukan BMT adalah
dengan membentuk Induk Koperasi Syariah BMT (Inkopsah BMT). Inkopsyah
BMT merupakan salah satu asosiasi BMT berbadan hukum koperasi sekunder
dimana menurut UU No. 17 Tahun 2012 koperasi sekunder adalah koperasi yang
didirikan dan beranggotakan badan hukum koperasi. Inkopsyah BMT
berkedudukan di Jakarta dan dapat membuka cabang dan atau perwakilan di
seluruh daerah Republik Indonesia maupun di luar negeri berdasarkan keputusan
Rapat Anggota. Inkopsyah BMT disahkan pada 7 juli 1998 oleh Menteri Koperasi
& UKM sebagai koperasi sekunder tingkat nasional.
Lembaga yang digagas PINBUK ini pertama kali beranggotakan 24 BMT
dari 9 propinsi di Indonesia & beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 12 juta
berasal dari setoran simpanan pokok 6 BMT. Data pada bulan Agustus 2014
menunjukkan total BMT (koperasi primer) yang telah tergabung dalam koperasi
sekunder Inkopsyah BMT berjumlah 418 BMT yang tersebar di seluruh provinsi
di Indonesia dengan total aset Rp 203.77 miliar pada Juni 2013.
Berdasarkan AD/ART Inkopsyah BMT, tujuan yang hendak dicapai dari
didirikannya Inkopsyah BMT adalah untuk meningkatkan posisi tawar, daya saing
anggota dan masyarakat banyak, meliputi: memperluas dan memperbesar pangsa
pasar usaha dan masyarakat lapisan bawah; meningkatkan efisiensi usaha kecil
dan menengah, anggota dan lembaga pendukung; mengorganisir dana sehingga
berkembang dan bisa dijangkau oleh masyarakat lapisan bawah dan menengah,
guna mengembangkan kesempatan kerja; mempertinggi kualitas SDM anggota
menjadi lebih profesional, maju dan Islami dalam bisnis; serta meningkatkan
kesejahteraan anggota.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kegiatan usaha yang dilakukan
Inkopsyah BMT adalah memberikan pelayanan simpanan, pembiayaan atau
penguatan permodalan anggota atau calon anggota berdasarkan prinsip syariah.
Selain itu, Inkopsyah BMT juga memberikan peningkatan pelayanan jasa
manajemen untuk kepentingan anggota dan masyarakat seperti pelatihan,
pendidikan, advokasi, dan sistem manajemen informasi, sistem pembayaran atau
bentuk lainnya serta mengayomi anggota untuk menjadi lembaga yang jujur,
amanah dan profesional.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Tabungan
Menurut U-Tun Way (1972) dalam Mardiansyah (2004), keinginan
seseorang untuk menabung dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kemampuan
(ability), kemauan (willingness), dan kesempatan (opportunity). Secara matematis
pandangan U-Tun Way tentang tabungan dapat ditulis dalam fungsi berikut:

13
dimana:
S
: Tabungan (Saving)
A
: Kemampuan (Ability)
W
: Kemauan (Willingness)
O
: Kesempatan (Opportunity)
Pada persamaan di atas, variabel independen merupakan fungsi dari
variabel-variabel lain yang dapat berupa variabel ekonomi atau variabel non
ekonomi. Sebagai contoh, kemampuan menabung seseorang akan dipengaruhi
oleh faktor pendapatan yang diperolehnya. Semakin tinggi pendapatan maka
semakin banyak pula uang yang dapat ditabungkan. Keinginan menabung
seseorang dipengaruhi oleh insentif dalam bentuk bagi untung dan ada atau
tidaknya jaminan simpanan.
Pendapatan
Menurut Mankiw (2007) yang mewakili pendapat ekonomi modern atau
dikenal dengan aliran Keynessian, tabungan bergantung kepada pendapatan
nasional. Hal ini berbeda dengan pandangan aliran klasik yang menyatakan bahwa
tabungan bergantung pada tingkat bunga. Menurut aliran Keynessian semakin
tinggi pendapatan nasional, maka semakin tinggi tabungan masyarakat. Hal ini
didasarkan pada pemikiran bahwa masyarakat akan menggunakan pendapatannya
untuk kegiatan konsumsi saat ini dan sisanya disimpan untuk keperluan dimasa
yang akan datang (ditabung).
PDB merupakan nilai dari akhir keseluruhan barang/jasa yang dihasilkan
oleh semua unit ekonomi dalam suatu negara termasuk pendapatan warga negara
asing yang ada di negara tersebut. Dalam lingkup yang lebih kecil, Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan instrumen yang dapat digunakan
untuk menghitung pendapatan suatu wilayah baik tingkat provinsi maupun tingkat
kabupaten/kota. Berdasarkan fungsi tabungan Tun Way (1972) dalam
Mardiansyah (2004), pendapatan merupakan variabel turunan dari variabel
kemauan untuk menabung (willingness). Peningkatan pendapatan diduga
meningkatkan jumlah tabungan masyarakat atau peningkatan PDRB suatu daerah
akan meningkatkan jumlah tabungan anggota BMT.
Aset
Keamanan merupakan salah satu motif yang memengaruhi keinginan
menabung. Keamanan yang dimaksud adalah jaminan yang ditawarkan pihak
lembaga keuangan untuk mengantisipasi risiko likuiditas dimana nasabah
penabung merasa aman untuk menyimpan dananya di lembaga keuangan tersebut.
Pada lembaga keuangan bank, pemerintah memungkinkan terwujudnya keamanan
menabung pada bank dengan membentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
LPS hingga saat ini belum memberikan layanan penjaminan simpanan
seluruh lembaga keuangan. BMT yang berbadan koperasi bukanlah lembaga yang
simpanannya dijamin LPS. Sumber daya manusia yang amanah menjadi salah
satu upaya yang dilakukan pihak manajemen BMT untuk memberikan jaminan
kepada nasabah yang menyimpan dananya. Menurut Ridwan (2011), manajemen
yang Islami dituntut untuk menjaga amanah dengan sungguh-sungguh.

14
Dalam praktiknya, masyarakat tetap memerlukan jaminan keamanan bagi
dana yang disimpannya dalam bentuk nyata. Dalam penelitian ini, besarnya aset
yang dimiliki BMT digunakan sebagai bentuk jaminan tabungan anggota.
Semakin besar aset yang dimiliki BMT, maka anggota akan bersedia menyimpan
uangnya di BMT tersebut karena anggota akan merasa aman menyimpan dananya.
Berdasarkan fungsi tabungan Tun Way (1972) dalam Mardiansyah (2004), aset
merupakan variabel turunan dari variabel keinginan menabung.
Financing to Deposit Ratio (FDR)
Kebutuhan pembiayaan anggota pada BMT umumnya melebihi dana yang
dimiliki BMT sehingga BMT akan mengupayakan alternatif modal dalam bentuk
utang. Hal ini erat kaitannya dengan likuiditas BMT sebagai lembaga keuangan.
FDR merupakan salah satu rasio yang dapat digunakan sebagai indikator
likuiditas BMT. FDR diperoleh dari total pembiayaan yang diberikan BMT per
total dana anggota yang masuk dalam BMT. Likuiditas yang diproksikan dalam
FDR dapat dipandang pada dua sisi, yakni likuiditas bagi anggota penabung dan
likuiditas bagi anggota yang menerima atau hendak mengajukan pembiayaan.
Bagi anggota yang menerima atau yang hendak mengajukan pembiayaan,
FDR yang tinggi menunjukkan bahwa BMT mampu memenuhi kebutuhan
pembiayaan anggota. Bagi anggota penabung nilai FDR yang tinggi merupakan
risiko likuiditas yang biasanya dihindari. Semakin tinggi FDR, maka semakin
rendah pula likuiditas BMT tersebut jika ada anggota yang menarik tabungannya.
FDR diduga akan berpengaruh negatif terhadap jumlah dana yang akan ditabung
pada BMT.
Menurut Buchori (2012), FDR dapat dihitung dengan fungsi sebagai
berikut :

Total pembiayaan merupakan penjumlahan dari seluruh pembiayaan yang
diberikan BMT baik dengan akad murabahah, mudharabah, musyarakah, dan
akad lain. Total dana yang diterima BMT meliputi modal dan tabungan. Modal
BMT terhimpun dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana hibah, dan laba
SHU berjalan. Tabungan BMT meliputi tabungan wadiah dan tabungan berjangka
mudharabah.
Nilai FDR dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan BMT
dengan kriteria sebagai berikut (Buchori, 2012) :
- Jika FDR ≤ 94.75%, maka BMT dinyatakan sehat;
- Jika 94.75% < FDR ≤ 98.50%, maka BMT dinyatakan cukup sehat;
- Jika 98.50% < FDR ≤ 102.25%, maka BMT dinyatakan kurang sehat;
- Jika FDR > 102.25%, maka BMT dinyatakan tidak sehat.
Utang
Utang merupakan dana modal yang bersumber dari pinjaman pihak luar.
Pihak luar yang dimaksud dapat berupa individu, bank syariah, koperasi sekunder,
atau lembaga lain selama memiliki kesamaan sistem yakni bagi hasil. Jika BMT
menerima kerja sama permodalan dengan dari bank yang menggunakan sistem

15
riba maka hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip ekonomi Islam yang dijalankan
BMT. Mekanisme keuangan dalam ekonomi Islam harus terbebas dari praktik
bunga atau riba.
Jumlah utang yang diterima BMT diduga berpengaruh negatif terhadap
jumlah tabungan BMT. Hal tersebut dikarenakan semakin besar utang, maka
semakin tinggi risiko likuiditas BMT. Ketika terjadi masalah yang mengakibatkan
tutupnya suatu BMT, pengembalian terhadap utang lebih diutamakan dibanding
tabungan anggota. Semakin besar jumlah utang yang dimiliki BMT, menjadikan
jumlah tabungan anggota yang dihimpun BMT semakin kecil.
Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan Mardiansyah (2004) menganalisis faktor-faktor
penentu penghimpunan dana perbankan syariah beserta peramalannya. Data yang
digunakan dalam analisis faktor yang memengaruhi penghimpunan dana
perbankan syariah meliputi data sekunder yakni data bulanan (sejak Desember
2000 hingga Januari 2003) perbankan syariah (tidak termasuk BPRS) yang
bersumber dari DPS BI (Departemen Perbankan Syariah Bank Indonesia) dan
dilengkapi data dari literatur yang berkaitan. Metode analisis yang digunakan
untuk menguji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penghimpunan dana
perbankan syariah serta peramalannya adalah metode regresi linier berganda.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan, faktor internal yaitu nisbah laba per DPK
bulan sebelumnya dan tingkat pembiayaan bermasalah (NPF) perbankan syariah,
serta faktor eksternal seperti pendapatan nasional riil (GDP), tingkat inflasi dan
rata-rata suku bunga deposito riil perbankan konvensional memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap jumlah DPK yang dapat dihimpun perbankan syariah.
Variabel nisbah laba per DPK perbankan syariah memiliki koefisien regresi
yang paling kecil dibanding variabel lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa
perbankan syariah masih didominasi oleh nasabah emosionalnya daripada nasabah
rasionalnya. Kondisi ini dipertegas juga dengan kecilnya pengaruh suku bunga
deposito pada perbankan konvensional terhadap penghimpunan DPK perbankan
syariah. Berdasarkan peramalan DPK perbankan syariah, maka diramalkan pada
akhir tahun 2004, DPK yang dapat dihimpun perbankan syariah adalah sebesar Rp
9.51 triliun atau mengalami peningkatan sebesar 65.17% dibanding posisi
sebelumnya.
Penelitian yang dilakukan Yuliana (2009), bertujuan untuk mengetahui
pengaruh bagi hasil, inflasi, PDB, dan ROI (Return On Investment) terhadap dana
pihak ketiga Perbankan Syariah tahun 2006-2008. Populasi dari penelitian ini
adalah seluruh bank yang berbasis syariah. Sampel dari penelitian ini ditetapkan
dengan teknik purposive sampling dengan kriteria: 1) termasuk kategori bank
umum syariah dan unit usaha syariah dari bank umum konvensional persero (tbk),
2) menerbitkan laporan keuangan triwulanan 2006-2008. Berdasarkan kriteria
tersebut, terdapat 3 Bank Umum Syariah dan 2 Unit Usaha Syariah. Data yang
digunakan merupakan data sekunder berupa laporan keuangan triwulanan yang
diperoleh dengan teknik dokumentasi. Data-data tersebut dianalisis dengan
metode analisis regresi linier berganda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial variabel bagi hasil
berpengaruh positif dan signifikan terhadap DPK Perbankan Syariah 2006-2008

16
dengan nilai koefisien regresi 0.806 yang berarti setiap peningkatan jumlah bagi
hasil 1%, maka DPK akan meningkat 0.81%. Variabel ROI berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap DPK Perbankan Syariah 2006-2008 dengan nilai
koefisien regresi -0.293 yang berarti jika terjadi peningkatan ROI sebesar 1%
maka DPK akan menurun sebesar 0.29%. Sementara, variabel inflasi dan PDB
tidak berpengaruh signifikan terhadap DPK Perbankan Syariah 2006-2008. Pada
uji F menunjukkan variabel independen bagi hasil, inflasi, PDB dan ROI secara
simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap DPK Perbankan Syariah
2006-2008.
Penelitian yang dilakukan Andriyanti dan Wasilah (2010), menganalisis
faktor-faktor yang memengaruhi jumlah penghimpunan DPK Bank Muamalat
Indonesia (BMI). Metode yang digunakan adalah regresi linier berganda dengan
teknik OLS (ordinary least square). Data yang digunakan merupakan data
sekunder yang diperoleh dari BMI dan Bank Indonesia. Penelitian ini merupakan
studi kasus pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada periode 2003-2009.
Hasil penelitian menunjukkan tingkat bagi hasil (ekivalen rate), inflasi, dan
ukuran bank berpengaruh positif dan signifikan terhadap DPK BMI. Tingkat suku
bunga deposito berjangka pada bank konvensional berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap deposito Mudharabah berjangka 1 bulan pada BMI karena
dengan meningkatnya suku bunga akan menyebabkan peningkatan risiko
displacement fund (pengalihan dana dari bank syariah ke bank konvensional).
Variabel FDR tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel deposito
Mudharabah berjangka 1 bulan pada BMI.
Penelitian yang dilakukan Wulandari (2013) menganalisis faktor-faktor
internal dan eksternal yang memengaruhi total DPK pada Bank Umum Syariah
(BUS), dengan studi kasus pada BUS di Indonesia pada periode 2012-2013.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian yaitu analisis regresi linier
berganda, dengan data berupa laporan keuangan BUS pada periode triwulan I
2011 hingga triwulan II 2013. Adapun BUS yang menjadi sampel dalam
penelitian ini adalah Bank Muamalat Indo