Analisis Kesetimbangan Energi Perkotaan Kawasan Padat Pinangsia Jakarta Menggunakan Model Single-layer Urban Canopy

ANALISIS NERACA ENERGI PERKOTAAN KAWASAN
PADAT PINANGSIA JAKARTA MENGGUNAKAN
MODEL SINGLE-LAYER URBAN CANOPY

MUZILMAN MUSLIM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Neraca Energi
Perkotaan Kawasan Padat Pinangsia Jakarta Menggunakan Model Single-layer
Urban Canopy adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Muzilman Muslim
NIM G251100021

*

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
MUZILMAN MUSLIM. Analisis Kesetimbangan Energi Perkotaan Kawasan Padat
Pinangsia Jakarta Menggunakan Model Single-layer Urban Canopy. Dibimbing oleh
YONNY KOESMARYONO dan TANIA JUNE.

Perubahan karakter fisik permukaan dan morfologi perkotaan karena urbanisasi
memicu perubahan sifat dinamika dan termodinamika lapisan terbawah atmosfer,
sehingga kesetimbangan radiasi, energi, aliran udara dan siklus hidrologi terganggu,

Material permukaan perkotaan menyerap lebih banyak radiasi matahari dan lebih
sedikit air karena beralbedo rendah, bersifat termal yang baik, dan kedap air
Ketidakseimbangan proses pertukaran radiasi dan energy menyebabkan perubahan
iklim lokal seperti meningkatnya suhu di kawasan padat perkotaan dibanding
kawasan pinggiran sekitarnya.
Bangunan perkotaan umumnya berkerapatan tinggi dengan ketinggian yang
bervariasi, sehinnga cenderung menghambat sirkulasi udara yang menghasilkan aliran
turbulens. Pelepasan energy panas dari material infrastruktur perkotaan dalam bentuk
fluks gelombang panjang malam hari terhambat. Energy panas lebih lama
terperangkap di area padat pusat kota, menyebabkan suhu pusat kota meningkat
dibanding perkampungan pinggirannya. Unsur kunci yang mendiskripsikan karakter
permukaan perkotaan yang berperan merubah prilaku unsur-unsur iklim skala lokal
mencakup: (a) kekasaran permukaan, (b) fraksi permukaan kedap air, (c) faktor sky
view, (d) admitansi termal, (e) albedo, dan (f) fluks panas antropogenik.
Parameterisasi karakter permukaan dan efek iklim skala lokal yang mempengaruhi
area seluas 102-104 m2 dimodelkan menggunakan model Single-Layer Urban Canopy
(SLUC).
Objek pengamatan adalah unit terkecil sistem perkotaan (urban street canyon)
terdiri dari bangunan beratap datar, dan dua sisi dinding saling berhadapan yang
terpisahkan oleh jalan beraspal, dan lapisan terbawah atmosfer (lapisan kanopi) di

atasnya. Proses pertukaran radiasi dan energi antara permukaan perkotaan dan lapisan
kanopi yang diparameterisasi pada model SLUC menggunakan pendekatan prinsip
kesetimbangan energy perkotaan. Studi dan pengamatan dilaksanakan di area padat
Jakarta dengan pengambilan data dilakukan in situ di kawasan Pinangsia selama satu
bulan pada transisi musim panas ke musim hujan menggunakan stasiun cuaca
otomatis (AWS). Studi memiliki dua tujuan utama yaitu: (1) menganalisis komponen
neraca energy area padat Pinangsia Jakarta, (2) memperkirakan penyebab pemanasan
dan pendinginan area padat Jakarta menggunakan model Single-Layer Urban
Canopy.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa intensitas UHI malam hari maksimum
mencapai 2,5 ºC. Hasil model menunjukkan bahwa model mensimulasikan penurunan
nokturnal pendinginan kota dengan baik. Variasi pendinginan suhu dinding dan jalan
hanya 0,14 ºC, tetapi kurang tepat untuk suhu atap dengan penyimpangan relatif besar

(6.41°C). Kecepatan angin dalam canyon pengamatan adalah 0,021 m/det, dan di
atas atap 1,058 m/det. Kecepatan angin demikian kurang efektif memindahkan fluks
panas yang diemisikan dari kedua permukaan. Model memperkirakan bahwa laju
pendinginan rata-rata permukaan canyon (atap, dinding, dan jalan) relatif rendah
yaitu 0.31 °C/jam. Laju pendinginan permukaan berhubungan dengan jenis material
bangunan dan sifat tutupan permukaan, dan juga kecepatan angin dalam canyon.

Secara umum model telah menunjukkan dengan baik pengaruh geometri
perkotaan (ditunjukkan oleh nilai parameter canyon aspect ratio: h/w) terhadap
variasi fluks radiasi langsung masuk, radiasi gelombang panjang, dan fluks emisi
panas sensible yang dilepaskan oleh permukaan perkotaan. Ditunjukkan bahwa makin
besar nilai h/w maka radiasi gelombang pendek masuk yang diterima dinding dan
jalan semakin rendah. Akibatnya mempengaruhi jumlah fluks panas yang dilepaskan
oleh kedua permukaan dan panas yang disimpan pada material permukaan (tidak
dihitung). Sebaliknya emisi gelombang panjang lebih banyak terperangkap dalam
canyon perkotaan sehingga permukaan canyon tetap hangat hingga menjelang pagi.
Fluks radiasi gelombang pendek diterima atap maksimum (412 W.m-2) untuk semua
nilai h/w, dan minimum terjadi pada dinding (412 W.m-2). Ini dapat dimengerti
karena permukaan atap tidak terhalang apapun untuk menerima radiasi gelombang
pendek, tidak seperti permukaan jalan dan dinding yang menerima bayangan dari sisi
timur dan barat canyon. Ini menentukan jumlah panas yang disimpan di material
dinding dan jalan, yang mempengaruhi kuat lemahnya fluks panas yang diemisikan
oleh kedua permukaan.
Fluks panas sensibel dominan pada siang hari, tetapi panas laten sangat lemah
(sama dengan nol). Nilai positif panas sensibel siang hari berhubungan dengan
keberadaan permukaan padat kedap air. Sementara fluks panas laten yang sangat
rendah menunjukkan terbatasnya permukaan lembab di area padat perkotaan. Secara

umum model dapat menunjukkan kedua sifat ini, meskipun nilai fluks panas sensible
pada transisi pagi hari masih dibawah perkiraan dan tidak mampu mempertahankan
nilai posistifnya pada malam hari. Disimpulkan bahwa penyebab pemanasan dan
pendinginan kota Jakarta adalah kerapatan bangunan (geometri perkotaan), sifat
material permukaan kota, dan kecepatan angin dalam canyon.
Kata kunci: canyon aspect ratio, kesetimbangan energy perkotaan, morfology
perkotaan, single-layer urban canopy

SUMMARY
MUZILMAN MUSLIM. Energy Balance Analysis of Densely Urban Areas
Pinangsia Jakarta Using Single-layer Urban Canopy Model. Supervised by
YONNY KOESMARYONO and TANIA JUNE.

Changes in physical characteristics and morphology of the urban surface
due to urbanization has caused a nature change of dynamics and thermodynamics
of the atmosphere, thus the imbalance of radiation and energy, air flow and
hydrological cycle has disrupted. This imbalance has led to local climate
variations such as rising temperature in dense urban area is more than in the
surrounding areas. Urban surface materials is a good thermal conductor, worth the
low albedo, and is impermeable urban surfaces lead to absorb more solar radiation

and less water. Changes in the physical properties of the surface cover potential to
change the nature of the solar radiation properties, thermal surface, moisture, and
aerodynamic properties of the urban area.
Density and height of buildings tend to inhibit air circulation which results
in turbulence flow. Release of heat energy in the form of longwave radiation from
the surface of the material city at night was slow. Longer heat energy trapped in
the crowded downtown area of the city, hence caused change climate in urban
area. Key elements which describe the character of the local-scale urban surfaces
include: (a) surface roughness, (b) the fraction of impermeable surface, (c) sky
view factor, (d) thermal admittance, (e) albedo, and (f) anthropogenic heat flux.
Parameterization surface properties and climate effects inflicted on a local scale
covers an area of approximately 102-104 m2, modeled using Single-Layer Urban
Canopy (SLUC) model.
Object of observation is the smallest unit of urban systems (urban canyon)
which consists of a roof and two walls opposite side of the building, separated by
apaved road, as well as lower atmosphere layers (canopy layer) that surrounded
him. The principle of energy balance method applied to model the process of
exchange of energy and momentum between the surface and a layer of urban
atmosphere. The studies and observations were conducted in a heavily populated
area in Jakarta with the weather data collected in situ at Pinangsia region for a

month in the dry-wet transition season, using automatic weather station (AWS).
This study has two main objective that include the following: (1) to identify the
components of energy balance in a heavily populated area of Jakarta, and (2) to
analyze the causes of heating and cooling in Jakarta city by using a SLUC model.
Nocturnal heat island intensity observation maximum at 2.5 ºC. Model of
single-layer urban canopy has been applied to model the energy exchange
between the surface of the city (represented by urban canyon) with the urban
canopy layer. This study showed that the model could simulate nocturnal
variations of urban cooling well. The model simulate variations cooling the city
with an average error of wall temperature and the road was only 0.14°C, but less
appropriate for the temperature of the roof, where the error was relatively large
(6.41°C). Wind speed observations in the canyon was 0,021 m/sec, and the roof
above 1,058 m/sec. Wind speed thus not effectively transfer the heat flux emitted

from both surfaces. The model predicts that the average cooling rate of the
building (roof, walls, and roof) was relatively low at 0.31 °C/hour. Surface
cooling rate associated with the type of building materials and properties of the
surface cover of the city, and also the speed of the wind in the canyon.
The effects of urban geometry was also simulated well by the model. It was
shown that the bigger the canyon aspect ratio value, the lower the shortwave

radiation would be on wall surfaces and roads; thus, sensible heat emitted by the
surface would decline. Consequently affects the amount of sensible flux released
by both sides, and heat flux stored in the both building and the street meterial (not
counted). On the contrary, the flux of long wave emission was more highly
prevented, making the temperature of canyon remain warm until morning.
Shortwave radiation flux (S) received by the roof was maximum (412 W.m-2) for
all values of h/w, and the minimum value occurs at the wall (130,89 W.m-2). This
can be understood because the roof surface does not get any hindrance to receive
short-wave radiation, unlike the wall and the road to get a shadow effect from the
left east and west canyon. It determines the amount of heat stored in the wall
material and the road, thereby affecting the strong and weak sensible heat flux
emitted from both the wall and the road surface.
The model of sensible heat flux was dominantly and had a positive value
during the day, while that of latent heat flux was equal to zero. Meanwhile, latent
heat flux value is far below the value of sensible flux, and showed a lack of moist
surfaces in urban areas. In general, the model can exhibit both properties,
although the value of sensible flux in the morning day time transition period is
still underestimate, and are notable to maintain the value posistive at night.
It is concluded that the cause of warming and cooling city of Jakarta are the
density and material characteristics of buildings were the main cause of heating in

this heavily populated area of Jakarta. Meanwhile, the low wind speed in the
urban canyon was less effective in cooling this heavily populated area of Jakarta.
Keywords: canyon aspect ratio, single-layer urban canopy, urban energy balance,
urban morphology

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS NERACA ENERGI PERKOTAAN KAWASAN
PADAT PINANGSIA JAKARTA MENGGUNAKAN
MODEL SINGLE-LAYER URBAN CANOPY

MUZILMAN MUSLIM


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :
Dr Ir Sobri Effendy, MSi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayahNya penyusunan karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Penelitian ini
bertemakan pemanasan perkotaan, dengan judul Analisis Neraca Energi Perkotaan
Kawasan Padat Pinangsia Jakarta Menggunakan Model Single-layer Urban

Canopy telah dilaksanakan sejak bulan April 2012 hingga Maret 2013.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak atas perhatian dan dukungannya bagi penulis dari sejak
pengamatan lapang hingga penyusunan karya ilmiah ini. Utamanya penulis
sampaikan kepada Ketua dan Anggota komisi pembimbing Prof Dr Ir Yonny
Koesmaryono, MS dan Dr Ir Tania June, MSc atas segala arahan, masukan dan
bimbingannya. Kepada Ibu Mila dan Pak Nandar; Kepala dan staf Laboratorium
Hidroklimatologi Balai Penelitian Iklim Pertanian Bogor yang telah mengizinkan
penulis menggunakan AWS. Bapak Igwan; owner bangunan yang mengizinkan
penulis mendirikan tower setinggi 15 m di atas bangunannya untuk penempatan
sensor cuaca. Bapak Paulus dan Pak Nyoman; Ketua RW 01 dan Komandan
Babinsa Kelurahan Pinangsia Kecamatan Taman Sari Jakarta Barat yang telah
mengizinkan dan membantu mengamankan pengamatan lapang. Secara khusus,
penulis ingin menyampaikannya kepada Bapak; Dr Mohammad Noor, MA, Drs
Ramlan Siregar, MSi, Drs El Amry Bermawi Putera, MA, dan Dr Eko Sugianto
MSi, atas segala perhatian, dukungan dan kemudahan yang diberikan sehingga
memungkinkan studi ini terselesaikan. Tak lupa pula kepada kolegaku di IPB dan
UNAS; Faiz, SSi, Ir Idris Kusuma, MT yang telah meluangkan waktunya untuk
penulis berdiskusi masalah numerik, dan Dr Firdaus Syam, MA yang telah
menyemangati penulis dengan nasihat-nasihat religiusnya. Akhirnya, setinggitingi penghargaan dan ungkapan terima kasih penulis persembahkan kepada
keluargaku tercinta; ibunda Fatimah dan ayahanda Tengku Muhammad Arsyad
Ali Asbany (alm) atas besarnya kasih sayang dan doa restunya, istri dan ketiga
anak-anakku; Isyqa, Razi, dan Miza atas segala pengorbanan dan kesabaran yang
telah kalian ikhlaskan selama ini.
Akhirnya, penulis bermohon kepada Allah SWT mudah-mudahan membalas
semua kebaikan yang telah diberikan untuk penulis. Semoga, karya ilmiah ini
bermanfaat bagi dunia pendidikan dan masyarakat luas umumnya. Amiiin Ya
Rabbal Alamiin.

Bogor, Juli 2014

Muzilman Muslim

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vii

DAFTARGAMBAR

viii

DAFTARLAMPIRAN

ix

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
3
3
3
4

2. TINJAUAN PUSTAKA
Iklim Kawasan Perkotaan
Karakteristik Permukaan Perkotaan
SuhuUdaradanPermukaan
Kesetimbangan Energi Perkotaan

5
5
6
7
9

3. METODEPENELITIAN
Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Peralatan Penelitian
Deskripsi Model SLUC
Lokasi Peneltian dan Waktu Penelitian
Parameterisasi Proses Fisika
Prosedur Penelitian
Analisis Data Pengamatan

11
11
12
13
15
18
23
24

4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Neraca Energi Area Padat Pinangsia
Pengaruh Geometri Canyon Perkotaan
Variasi Diurnal Suhu Permukaan Canyon
Variasi Pendinginan Canyon
Variasi Nokturnal Suhu Canyon
Analisis Keakuratan Model SLUC

27
30
28
30
32
33
34

5. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

36
36
36

DAFTAR PUSTAKA

37

LAMPIRAN

41

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Deskripsi umum area pengamatan
Insturmentasi, variabel dan ketinggian pengamatan
Parameter model SLUC
Uji statistik suhu permukaan model

11
16
18
35

DAFTAR GAMBAR
Skema urban street canyon
Lokasi titik pengamatan
AWS dan unitakuisisi data Model CEA520
Unit sensor cuaca
Skema kopel Model Perkotaan dan Model Atmosfer
Peta lokasi pengamatan
Lokasi dan posisi penyamplingan data
Data hasil pengamatan

10
12
12
13
14
15
17
17

Variasi diurnal model kesetimbangan energi permukaan

27

10 Variasi diurnal model kesetimbangan energi permukaan

29
31
33

1
2
3
4
5
6
7
8
9

11 Variasi diurnal suhu permukaan
12 Variasi nokturnal suhu permukaan dinding
13 Intensitas UHI area padat Pinangsia Jakarta malam hari

34

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Data cuaca pengamatan
Diagram alirkegiatan penelitian

41
42

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi khususnya dibeberapa negara
berkembang di Asia telah mendorong arus migrasi penduduk desa membanjiri
perkotaan. Lebih dari 70% penduduk dunia adalah kaum urban yang memadati
kota-kota terutama di Asia hingga tahun 2050 mendatang (UN, 2011), sehingga
kota-kota besar banyak tumbuh di kawaan ini. Diperkirakan, dari 24 kota
megapolitan dunia, 16 diantaranya akan muncul di kawasan Asia pada tahun
2015, menjadikan pertumbuhan kota kawasan ini tercepat di dunia (Hung, et al.
2005). Jakarta sebagai kota metropolitan ke enam terbesar dunia saat ini telah
berpenduduk 9,6 juta jiwa dengan kepadatan rata-rata 14.470 jiwa per km2 (BPS
Provinsi DKI Jakarta, 2007). Pada 2025 mendatang Jakarta diperkirakan akan
menjadi salah satu megapolitan dunia berpopulasi 12,1 juta jiwa.
Kegiatan pemerintahan kota Jakarta awalnya terpusat di suatu kawasan
berjarak lebih kurang 2 kilo meter dari bandar Sunda Kelapa yang kini dikenal
sebagai kompleks Kota Tua Jakarta. Lahan perkotaan digunakan antara lain untuk
pemukiman, perkantoran, industri, pelayanan umum, pasar, sarana transportasi,
tempat hiburan dan rekreasi, dan taman kota. Namun akibat urbanisasi, kota
Jakarta (dulu Batavia) terus berkembang ke arah Selatan, Timur, dan Barat,
menyebabkan luas lahan alami terus menurun signifikan. Sebaliknya, luas lahan
terbangun dan terbuka meningkat pesat. Area terbuka terus dipadati bangunan dan
infrastruktur perkotaan lainnya. Berdasarkan citra satelit Swargana dan Susanto
(2005) menemukan bahwa dalam waktu 19 tahun (1983 hingga 2002) luas ruang
terbuka hijau (RTH) di Jakarta menurun sebesar 35 %, yakni dari 22.181,9 Ha
(1983) menjadi 46.592,9 Ha (2002). Sebaliknya, lahan perkotaan (area terbangun)
dan lahan terbuka meningkat hampir sebanding dengan penurunan lahan alami,
yakni masing-masing 37,5 % dan 3,3 %. Jadi modifikasi lahan alami menjadi area
terbangun di kota Jakarta sebesar 40,8 %. Pada tahun 2009 lalu pemerintah DKI
Jakarta bahkan mengidentifikasi bahwa luas ruang terbangun telah meningkat
menjadi 67%.
Wajah permukaan kota Jakarta secara spasial dan vertikal telah berubah
menjadi ”ngarai perkotaan”yang terbentuk karena ketinggian dan kerapatan
bangunan yang bervariasi, menghasilkan kombinasi yang amat rumit antara
geometri tiga dimensi dan material perkotaan. Sifat fisis material perkotaan sangat
menentukan bagaimana permukaan merespon energi matahari, apakah
dipantulkan, diemisikan, atau diserap. Umumnya permukaan perkotaan tertutupi
oleh material kedap air yang menghambatproses infiltrasi air hujan ke bawah
permukaan, sehingga mereduksi kapasitas penyerapan air. Akibatnya permukaan
lembab sangat terbatas di area perkotaan. Proses evapotranpirasi dari permukaan
perkotaan dengan demikian menjadi rendah. Sebaliknya, panas yang tersimpan
pada material perkotaan sangat tinggi, yang menyebabkan pelepasan emisi panas
ke lapisan atmosfer perkotaantinggi.
Di samping sebagai penyerap panas,kota juga sebagai penghasil panas.
Aktivitas perkotaan menghasilkan emisi panas buangan (anthropogenic heat) dari
berbagai sumber. Hasil pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor, buangan

2

panas dari sistem pendingin udara (AC), pabrik, pembangkit listrik, dan hasil
metabolisme manusia adalah sumber-sumber potensialnya. Di Jakarta sendiri
jumlah kendaraan bermotor terus meningkat. Pada periode Januari-April 2012
lalujumlah kendaraan bermotor telah mencapai 13.346.802 unit, dengan tingkat
pertumbuhan diperkirakan berkisar antara 10%-12% tiap tahun (Dirlantas Polda
Metro Jaya, 2012). Sumber potensial lainnya adalah manusia, di mana jumlah
penduduk Jakarta mendekati10 juta jiwa, dan meluasnya penggunaan AC adalah
sumber-sumber utama menyebabkan fluks panas antropogenik kota Jakarta
signifikan tinggi. Dicurigai, hal tersebut telah memicu terbentuknya fenomena
pemanasan kota yang dikenal dengan istilah Urban Heat Island (UHI) (Oke,
1982).
Iklim perkotaan adalah hasil interaksi antara permukaan perkotaan dengan
lapisan atmosfer terbawah. Proses interaksi berlangsung secara radiatif,
termodinamik, dan aerodinamik yang dapat merubah suhu permukaan dan lalu
suhu udara, kelembaban, curah hujan, kualitas udara, fluks energi permukaan,
ketinggian lapisan pencampuran, angin lapisan batas, dan turbulen di area
perkotaan (Arya, 2001 hlm. 336; Oke, 1978 hlm. 262). Perubahan dapat terjadi
dalam skala makro, lokal (meso), dan mikro. Perpaduan antara iklim makro
dengan kondisi khas permukaan perkotaan menghasilkan kombinasi iklim skala
lokal berbeda. Ukuran dan bentuk perkotaan mengendalikan efek perkotaan dalam
skala meso. Sedangkan efek perkotaan skala mikro akan mempengaruhi
kesetimbangan energi perkotaan.
Namun mengetahui faktor penyebab dan proses fisis yang menyebabkan
variabilitas iklim perkotaan padaskala mikro maupun lokal sangat sulit dilakukan
karena kompleksitas permukaan baik geometri maupun sifat material perkotaan,
ditambah lagi dengan adanya sumber panas antropogenik dan polusi udara. Areal
perkotaan yang mencapai luas umumnya beberapa kali 103 meter2 menyebabkan
pengamatan dan pemecahan masalah tidak mungkin dilakukan di tiap titik. Maka
diperlukan pendekatan dan asumsi lebih realistik dan sederhana untuk
mendeskripsikan permukaan riil perkotaan yang kompleks, agar proses fisika
yang mungkin terjadi sebagai hasil interaksi antara permukaan perotaan dan
lapisan batas atmosfer dapat pecahkan menggunakan model numerik dan fisik
yang relatif rumit untuk penyelesaiannya.

Perumusan Masalah
Kompleksitas bentuk tiga dimensi permukaan dan material perkotaan
menyebabkan pertukaran radiasi matahari,energi panas, dan siklus air antara area
padat perkotaan dengan lapisan terbawah atmoser terganggu. Ketidakseimbangan
pertukaran radiasi dan energi antara permukaan perkotaan dan lapisan atmosfer,
terhambatnya aliran udara, dan minimnya permukaan lembab mempengaruhi
jumlah fluks panas diserap dan dilepaskan permukaan perkotaan, menyebabkan
suhu permukaan dan udara di area padat perkotaan meningkatkan. Maka
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut ;

3

a. Bagaimana permukaan area padat kota Jakarta mempengaruhi komponen
neraca radiasi dan energi pada siang dan malam hari?
b. Bagaimana permukaan area padat kota Jakarta menyebabkan variasi suhu
permukaan dan udara?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis komponen neraca radiasi dan energi kawasan padat Pinangsia
Jakarta pada siang dan malam hari,
2. Menganalisis penyebab pemanasan dan pendinginan kawasan padat Pinangsia
Jakarta menggunakan model Single-layer Urban Canopy (SLUC).

Hipotesis
1. Ho : Komponen fluks panas sensibel dominan dan bernilai positif pada siang
hari, dan fluks panas laten lebih rendah dari fluks panas sensibel
H1 : Komponen fluks panas sensibel tidak dominan dan bernilai negatif pada
siang hari, dan fluks panas laten lebih tinggi dari fluks panas sensibel
2. Ho : Geometri perkotaan mempengaruhi komponen radiasi, energi, dan suhu
permukaan
H1 : Geometri perkotaan tidak mempengaruhi komponen radiasi, energi dan
suhu premukaan
3. Ho : Model SLUC mensimulasikan variasi nokturnal pendinginan permukaan
dinding, dan jalan dengan baik
H1 : Model SLUC tidak mensimulasikan variasi nokturnal pendinginan
permukaan dinding, dan jalan dengan baik

Manfaat Penelitian
Tingginya urbanisasi di kota besarakan menimbulkan masalah lingkungan
di kawasan perkotaan. Studi ini sangat penting dilakukan dan berguna untuk
menigkatkan pemahaman masyarakat luas bahwa perubahan kondisi lingkungan
perkotaan menyebabkan perubahan pola unsur-unsur iklim di kawasan perkotaan,
seperti tidak seimbangnya pertukaran fluks radiasi panas antara permukaan
perkotaan dan lapisan atmosfer. Dampak yang ditimbulkannya bersifat negatif
bagi kehidupan masyarakat perkotaan secara luas.
Oleh sebab itu pengembangan tata ruang kota seharusnya direncanakan dan
dilaksanakan berimbang antara pengembangan ruang terbangun dan keberadaan
ruang terbuka hijau. Penataan kepadatan dan ketinggian bangunan serta luas ruang
terbuka hijau hendaknya dikendalikan secara proporsional, agar pengaruhnya bagi
lapisan atmosfer perkotaan dapat diminimalkan sekecil mungkin.
Penulis berharap metode yang dibahas dalam penelitian ini dapat dijadikan
sebagai salah satu alat analisis dalam penyusunan rencana pengembangan tata

4

ruang kota yang lebih komprehensif, mencakup utamanya aspek; efisiensi
penggunaan energi perkotaan, dan kenyamanan manusia.

Ruang Lingkup Penelitian
a. Ruang lingkup wilayah
Penelitian dilakukan di kotaJakarta, dengan titik fokus pengamatan adalah area
padat Pinangsia yang terletak di selatan kompleks Kota Tua Jakarta, dan
kawasan hijau pinggiran kota Jagakarsa yang terletak dibagian selatan Jakarta.
b. Ruang lingkup substansi
Lingkup substansi adalah permasalahan pemanasan kota terkait; (i) perubahan
tutupan lahan, (ii) faktor-faktor yang mempengaruhi iklim perkotaan, dan (iii)
konsep kesetimbangan energi dan radiasi.
c. Ruang lingkup pembahasan
Lingkup pembahasan meliputi; (i) karakteristik fisik permukaan perkotaan (ii)
faktor-faktor penyebab pemanasan kota Jakarta dan pembentukan UHI, (iii)
konsep kesetimbangan radiasi dan energi perkotaan, dan (iv) deskripsi model
SLUC, (v) parameterisasi proses fisika

5

TINJAUAN PUSTAKA
Iklim Kawasan Perkotaan
Iklim atau cuaca perkotaan merupakan produk alamiah dari kondisi
atmosfer skala lokal.Dapat pula dikatakan bahwa ikim atau cuaca merupakan
fenomena alam tertentu hasil interaksi antara lapisan atmosfer dengan permukaan.
Kedua sistem alam ini adalah suatu kopel yang saling mempengaruhi. Perubahan
pada satu sisi kopel akan memicu perubahan sisi kopel lainnya. Permukaan
perkotaan adalah bagian permukaan bumi yang paling aktif berubah. Sementara
itu sistem atmosfer senantiasa bersirkulasi dalam rentang waktu sangat singkat
hingga tahunan. Kedinamisan sifat lapisan atmosfer perkotaan sangat dipengaruhi
oleh kondisi permukaan, dimana interaksi keduanya berlangsung secara spesifik
dan kompleks. Area perkotaan skala meso atau lokal yang meliputi luasan 102
hingga 104 m2, iklim dipengaruhi oleh posisi lintang, topografi, dan keberadaan
badan air. Sedangkan dalam skala mikro (ketinggian manusia dan bangunan),
karakter iklim dipengaruhi oleh tutupan permukaan, ukuran perkotaan, jumlah
penduduk, panas antropogenik, dan emisi polutan (Westerberg et al.2007).
Karakteristik permukaan perkotaan yang unik dan kompleks menyebabkan
area kota lebih panas, sedikit angin, lebih kering dibanding area pinggirannya
(Oke, 1987). Perbedaan variasi iklim kedua areamenunjukkan adanya perbedaan
proses pertukaran energi, massa, dan momentum yang menyebabkan sifat
kealamian kondisi lapisan batas berubah. Perubahan kondisi lapisan batas
disebabkan oleh: kekasaran permukaan meliputi; ukuran, bentuk danjarak pisah
antar bangunan, dan keberadaan area vegetasi, sifat radiasi, karakter termal
material perkotaan, dan kelembaban permukaan, tata ruang, dan pola emisi gas
buang (Grimmondet al.2004). Pengaruh permukaan terhadap iklim di kawasan
perkotaan umumnya ditunjukkan oleh terhambatnya pelepasan radiasi gelombang
panjang dari permukaan pada malam hari yang mempengaruhi laju pendinginan
nokturnal, mudahnya penyerapan radiasi matahari siang hari yang mempengaruhi
pola diurnal pemanasan, dan terhambatnya laju aliran udara yang mereduksi
kecepatan angin (Oke,1982; 1987; Oke et al. 1991). Pada level permukaan jalan
perkotaan, variasi iklim berbeda dengan area terbuka. Penyebabnya adalah
perbedaan kesetimbangan energi, aliran udara, karakter termal, konsentrasi
polutan dan lain-lain (Nunez dan Oke, 1977; Oke,1987; Nakamura dan Oke,
1988).
Penyelidikan kondisi meteorologis di kawasan perkotaan adalah dasar fisik
untuk memahami karakter iklim di area tersebut, khususnya yang terjadi pada
lapisan kanopi yaitu sub lapisan terbawah atmosfer yang berada setinggi
bangunan dan pepohonan. Lapisan di mana pusat kesetimbangan energi
permukaan berlangsung. Unsur-unsur utama meteorologis yang digunakan dalam
studi iklim perkotaan meliputi suhu udara, kelembaban udara, kecepatan dan arah
angin, curah hujan, dan tentunya radiasi matahari sebagai sumber energi utamanya
(Rinneret al. 2010).

6

Karakteristik Permukaan Perkotaan

Perubahan Sifat Fisik Permukaan
Urbanisasi memodifikasi tutupan alami permukaan menjadi tutupan non
alami. Pembangunan infrastruktur perkotaan seperti gedung tinggi, jalan dan
trotoar, area parkir dan lainnya menggunkan material padat buatan merubah wajah
perkotaan secara spasial maupun vertikal. Perubahan sifat fisis tutupan dan
geometri permukaan akan merubah sifat radiatif dan termal, siklus air, dan
aerodinamika permukaan akan mempengaruhi penyimpanan dan pelepasan fluks
panas dari permukaan perkotaan. Ketidaksetimbangan penerimaan dan pelepasan
radiasi matahari mempengaruhi sifat termodinamika dan dinamika lapisan
atmosfer perkotaan, mengakibatkan perubahan iklim termal skala lokal di lapisan
batas atmosfer (Offerle, et al. 2003; Harman, 2003; Harman dan Belcher, 2006).
Material infrastruktur perkotaan yang umumnya bernilai albedo rendah,
berkapasitas panas dan konduktivitas termal tinggi menghasilkan admitansi termal
tinggi, sehingga permukaan perkotaan lebih mudah menyerap dan menyimpan
energi panas dibanding material alami perkampungan (Oke 1987; Trusilova,
2006; Oleson, 2010; Rinner dan Husain, 2011). Fraksi energi matahari yang
diterima permukaan perkotaan, akan tersimpan sebagai fluks panas sensibel di
dalam material permukaan siang hari dan melepaskannya kembali ke atmosfer
pada malam hari (Grimmound, 2007; Oleson, 2010; Rinner dan Husain, 2011).
Selain itu, material perkotaan yang bersifat kedap air efektif mereduksi kapasitas
serapan air dan ketersediaan permukaan lembab, sehingga proses evapotranspirasi
di area kota umumnya rendah, dan fluks panas laten rendah. Variasi spasial nilai
albedo, emisivitas dan termal inersia, menyebabkan pantulan berulang radiasi dan
emisi gelombang pendek, dan pantulan radiasi gelombang panjang yang
menghasilkan pola pemanasan dan pendinginan di area perkotaan dan sekitarnya.
Geometri dan Morfologi Perkotaan
Geometri canyon perkotaan adalah faktor penting yang menentukan jumlah
energi matahari yang mencapai tanah di perkotaan (Offerle et al. 2003). Geometri
perkotaan yang meliputi dimensi dan jarak antar bangunan mampu mengontrol
dan mempengaruhi suhu perkotaan, fluks pertukaran (penyerapan dan pelepasan)
radiasi matahari, laju dan arah aliran angin. Ditegaskan, ketinggian bangunan dan
lebar jalan antar bangunan menentukan jumlah radiasi matahari dan energi panas
terperangkap di dalam struktur bangunan perkotaan. Radiasi matahari yang jatuh
pada permukaan vertikal seperti dinding bangunan dan permukaan horizontal
seperti jalan, dan area parkir akan mengalami pantulan dan penyerapan berulang,
sehingga meningkatkan penyerapan radiasi di kedua sisi permukaan. Dengan
mekanisme serupa, radiasi gelombang panjang yang diemisikan permukaan
perkotaan dapat diradiasikan kembali ke permukaan, sehingga radiasi gelombang
panjang yang dilepaskan ke atmosfer tereduksi. Rasio antara ketinggian bangunan
dan lebar jalan yang memisahkan kedua sisi dinding bangunan adalah parameter
penting yang menentukan tingkat jebakan radiasi oleh canyon perkotaan (Oke,
1981; Oke et al. 1991). Geometri perkotaan mereduksi kecepatan angin dan

7

meningkatkan gaya friksi pada angin atmosfer, sehingga mereduksi kecepatan
angin rata-rata dan percampuran turbulen di lapisan kanopi (Harman, 2003). Ini
berakibat pelepasan radiasi gelombang panjang oleh canyon perkotaan malam hari
terganggu, sehingga menghambat proses pendinginan kota (Oke, 1976).Souch dan
Grimmond, (2006) mengatakan bahwa penyebab utama suhu kawasan pusat
perkotaan lebih tinggi dibanding suhu area pinggiran kota adalah karena geometri
perkotaan.
Morfologi perkotaan (Oke, 1973; Grimmound, 2009) sebagai pengendali
utama penyerapan radiasi dan pelepasan energi panas, menentukan pembagian
energi di area perkotaan kedalam bentuk komponen fluks panas sensibel dan fluks
panas laten (Oke, 1982; Oke, 1987; Oke et al. 1991), dan menentukan evolusi
suhu permukaan (Harman dan Belcher, 2006). Para ahli iklim perkotaan
umumnya mencirikan morfologi perkotaan sebagai bentuk tiga dimensi ngarai
perkotaan (urban canyon) yakni; tinggi, lebar dan kepadatan bangunan (Nunez
dan Oke, 1977). Struktur tiga dimensinya meliputi susunan geometrikal dinding
bangunan dan permukaan horizontal antara dua sisi bangunan, seperti jalan dan
trotoar, area parkir, dan lain-lain yang saling berkombinasi sehingga mereduksi
albedo permukaan disebabkan karena jebakan radiasi (Oke 1981, Oke et al. 1991).
Kombinasi faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi kesetimbangan neraca
radiasi dan energi, kelembaban, dan aerodinamis permukaan, yang mempengaruhi
sifat dinamika dan termodinamika lapisan batas (Otte et al. 2004), mengakibatkan
suhu di area padat pusat kota meningkat (Offerle, et al. 2006).
Kerapatan dan ketinggian bangunan dan elemen permukaan perkotaan
lainnya, menentukan luasan pandangan langit. Faktor pandangan langit ini
dinyatakan dengan parameter sky viewfactor (SVF) (Nunez dan Oke, 1977). Area
padat bangunan memiliki nilai SVF yang kecil sehingga pelepasan panas oleh
blok-blok bangunan terhambat. Disamping itu, bangunan juga memberikan efek
bayangan,yang mampu menurunkan emisi panas konvektiv. Rendahnya nilai SVF
menyebabkan intensitas pemanasan kota (heat island) meningkat, dan sebaliknya
area teduh dapat mereduksi penyerapan radiasi matahari yang menghasilkan efek
pendinginan kota (cool island).

Suhu Udara Dan Permukaan
Suhu permukaan adalah unsur paling penting dalam memahami iklim perkotaan
khususnya efek pemanasan kota. Suhu permukaan menyebabkan suhu udara
meningkat, khususnya di lapisan antara permukaan dan lapisan kanopi perkotaan.
Selain membantu menentukan panas yang terperangkap dalam canyon perkotaan,
suhu permukaan juga menentukan fluks panas yang diradiasikan oleh struktur
termal permukaan kota. Sifat termal dan sifat radiatif material perkotaansangat
menentukan variasi suhu permukaan.Menurut literatur iklim perkotaan, suhu
udara di kota-kota besar dunia mengalami peningkatan secara gradual dibanding
area pinggiran kota. Fenomema UHIini ditemukan pertama kali oleh Luke
Howardpada tahun 1833 setelah ia mengamati dan mempelajari suhu udara kota
London (Oke, 1982; Voogt dan Oke, 2003). Istilah UHI sendiri pertama
digunakan oleh Manley pada tahun 1958 (Hafner dan Kidder, 1999) untuk
menggambarkan suhu area pusat perkotaan lebih tinggi dariarea pinggiran.UHI

8

terbentuk karena perbedaan sifat fisik material permukaan perkotaan, seperti sifat
radiatif dan termal, pantulan dan penyerapan berulang sinar matahari oleh
permukaan perkotaan (karena geometri perkotaan), sumber panas antropogenik,
dan rendahnya evapotranspirasi dari di area perkotaan (Oke, 1982). UHI teramati
dengan jelas pada malam yang cerah dan kecepatan angin rendah. Dampaknya
besar pada perubahan iklim lokal perkotaan, sehingga model-model iklim skala
lokal dan regional harus mampu mengidentifikasinya (Trusilova, 2006).
Faktor-faktor penyebab suhu pusat kota meningkat menurut Oke (1982);
Oke (1987); Oke et al. (1991) adalah: a) geometri ngarai jalan (street canyon);
menghambat pelepasan radiasi gelombang panjang akibat proses pertukaran yang
kompleks antara bangunan dan atmosfer, b) sifat termal material; meningkatkan
penyimpanan panas sensibel pada struktur bangunan, c) panas antropogenik;
tambahan panas dari aktivitas perkotaan (lalu lintas, industri, dan buangan panas
AC) dan metabolisme manusia d) efek rumah kaca; meningkatkan pantulan emisi
gelombang panjang dari polutan di atmosfer perkotaan, e) geometri ngarai radiasi;
menghasilkan pantulan ganda radiasi gelombang pendek antara permukaan
canyon yang mereduksi albedo efektif sistem, f) evapotranspirasi; penguapan dari
permukaan kota menurun sehingga panas laten rendah, dan g) efek bayangan;
mengurangi transfer panas turbulen dari permukaan jalan. Menurut Taha (1997)
faktor pemicu peningkatan suhu udara perkotaan adalah; geometri kota, sifat
termal material kota, dan adanya emisi panas antropogenik. Namun penyebab
terjadinya UHI berbeda tiap kota, umumnya dikarenakan; berkurangnya
ketersediaan permukaan lembab, perubahan sifat material permukaan dan reduksi
pendinginan permukaan karena jebakan radiasi (Arnfield, 2003).
Sifat radiatif dan termal material permukaan menentukan penyimpanan dan
pelepasan fluks panas pada dan dari permukaan kota, dan mengontrol
kesetimbangan neraca radiasi dan energi di area perkotaan (Harman, 2003;
Harman dan Belcher, 2006; Offerleet al. 2003). Material permukaan perkotaan
yang kedap air efektif mereduksi kapasitas serapan air dan ketersediaan
permukaan lembab (Oke, 1982). Selain itu, geometri perkotaan mengendalikan
kecepatan angin dan meningkatkan gaya friksi pada angin atmosfer sehingga
kecepatan angin rata-rata dan percampuran turbulen di lapisan kanopi perkotaan
tereduksi. Morfologi kota sebagai pengendali utama penyerapan radiasi dan
pelepasan energi panas menentukan pembagian energi di area perkotaan (Oke,
1973; Grimmound, 2009), dan menentukan evolusi suhu permukaan (Harman dan
Belcher, 2006). Reduksi kecepatan angin berakibat pelepasan radiasi gelombang
panjang oleh permukaan kota malam hari terganggu, sehingga menghambat
proses pendinginan kota (Oke, 1976). Kombinasi faktor-faktor tersebut akan
mempengaruhi kesetimbangan neraca radiasi dan energi permukaan, kelembaban
dan aerodinamis kota, yang memicu gangguan sifat dinamika dan termodinamika
lapisan batas (Otte et al. 2004), sehingga meningkatkan suhu di area padat pusat
perkotaan (Offerle, et al. 2006).
Studi iklim perkotaan terkait fenomena UHI telah dilakukan di banyak kota
besar di dunia, baik secara pengamatan maupun permodelan. Hasilnya suhu area
pusat kota umum menunjukkan peningkatan dibanding area pinggirannya dengan
nilai bervariasi sesuai letak geografis kota. Studi yang dilakukan antara lain oleh
Ichinose et al. (1999) menemukan bahwa dalam rentang waktu 135 tahun
urbanisasi menyebabkan suhu udara kota Tokyo meningkat sebesar 2,8 oC. Wong

9

dan Yu (2005) mencatat beda suhu maksimum antara area perkotaan Singapore
dan area pinggiran sebesar 4,01 C. Sementara Chow dan Roth (2006)
menemukan kuat pemanasan di kawasan komersial padat Singapore terjadi 3-4
jam setelah matahari terbenam, dengan intensitas maksimum hampir 7oC, yang
terjadi pada musim selatan-barat periode May-Agustus.
Sementara itu Mas’at (2008) mengamati iklim perkotaan Jakarta,
menemukan bahwa suhu udara pusat kota berbeda ± 0,8 oC dibanding area
pinggiran kota, dan suhu udara rata-rata kota Jakarta meningkat 0,17 oC selama 23
tahun terakhir. Selanjutya Tokairin et al. (2009) mempelajari perubahan medan
meteorologis kota Jakarta akibat efek urbanisasi menggunakan model Mesoscale
Meteorological (MM5). Data penggunaan lahan tahun 1970 dan 2000 digunakan
sebagai masukan model. Hasilnya; a) kasus tahun 2000, angin laut meningkat
lebih awal dibanding 1970, b) suhu rerata maksimum siang hari tahun 2000
adalah 0,6 oC lebih tinggi 0,9 oC dibanding tahun 1970. Disimpulkan; kenaikan
suhu kota Jakarta adalah akibat pertumbuhan kota karena urbanisasi.
Studi iklim perkotaan dengan metode permodelan menggunakan prinsip
kesetimbangan energi perkotaan telah berkembang kearah model kuantitatif
berdasarkan proses fisika (Masson 2000; Martilli et al. 2002; Best 2005). Mills
(1997), Masson (2000), dan Kusaka et al. (2001) mengembangkan model SLUC
yaitu model kesetimbangan energi perkotaan yang pertama menggunakan unit
terkecil sistem perkotaan urban street canyon (Nunez dan Oke, 1977). Masson
(2000) mengembangkan skema permukaan perkotaan untuk model atmosfer skala
meso mengunakan konsep geometri urban canyon dengan parameterisasi proses
fisika yang relatif lebih lengkap. Kusaka et al. (2001) mengembangkan model
SLUC dengan mempertimbangkan orientasi canyon dan perubahan sudut elevasi
matahari.

Kesetimbangan Energi Perkotaan
Proses pertukaran radiasi, energi, dan air yang terjadi antara kopel
permukaan-lapisan batas, lebih mudah difahami dengan konsep kesetimbangan
energi permukaan. Konsep ini diturunkan dari prinsip dasar fisika yaitu hukum
kekekalan energi (hukum Pertama Termodinamika). Energi dapat dipindahkan
dari suatu tempat ke tempat lainnya (dalam hal ini dari permukaan perkotaan ke
lapisan atmosfer) dengan mekanisme berbeda yaitu secara konduksi, konveksi,
dan radiasi. Dalam perambatannya energi berinteraksi dengan sistem (materi),
mengakibatkan energi terbagi menjadi fraksi energi diserap, ditransmisikan,
dipantulkan dan diemisikan. Pembagian ini ditentukan oleh sifat fisika dari sistem.
Prinsip dasar keseimbangan energi adalah bagaimana hukum kekekalan
energi berprilaku pada lapisan batas perkotaan. Pertukaran energi antara
permukaan dan atmosfer menentukan evolusi lapisan batas, dan dengan demikian
mempengaruhi perilaku termodinamika (suhu permukaan dan kelembaban), dan
dinamikanya (aliran udaralokal dan, secara tidak langsung, konsentrasi polutan).
Agar prinsip kontinuitas terpenuhi, maka dimungkinkan menghitung semua input
dan output energi dalam bentuk persamaan keseimbangan energi. Disebabkan
kompleksitas permukaan perkotaan maka penyelesaian masalah kesetimbangan
energi perkotaan memerlukan pendekatan yang lebih realistis. Salah satu skema

10

pendekatan permukaan perkotaan adalah model urban street canyonyang
menggunakan unit terkecil sistem perkotaan (Nunez dan Oke, 1977;Masson,
2000; Harman dan Belcher, 2006) seperti ditunjukkan Gambar-1.

Gambar 1 Skema urban street canyon, terdiri dari sisi atap datar, dua sisi
paralel dinding bangunan dan jalan panjang tak hingga dengan he
tinggi bangunan dan we lebarjalan. Hst, Hrf, Hw1 danHw2, dan Hc
masing-masing fluks panas sensibel jalan, atap,dinding 1 dan 2, dan
kanopi. H∗,ū(z∗),dan Ӫ (z∗):panas sensibel, kecepatan angin dan suhu
potensial pada ketinggian acuanz∗.Sumber: reproduksi dari Harman
dan Belcher (2006)
Model terdiri dari tiga komponen, yaitu: model perpindahan panas dalam
substrat material bangunan dan permukaan tanah; termodinamika dan dinamika
lapisan batas atmosfer; dan kesetimbangan energi sub lapisan kekasaran yang
menengahi pertukaran energi antara permukaan tanah dan lapisan batas atmosfer.
Kesetimbangan energi permukaan didefinisikan disini adalah kesetimbanngan
energi volume udara yang berada di dalam canyon hingga ketinggian acuan z∗,
dimana turbulensi telah mencampur semua fluks sehingga homogen secara
horizontal (Harman dan Belcher, 2006).

11

METODE PENELITIAN
Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Jakarta terletak di dataran rendah yang memilki ketinggian ± 7 meter di atas
permukaan laut. Berdasarkan klasifikasi iklim Köppen, Jakarta memiliki iklim
tropis monsoon (Af) sebagaimana daerah lainnya di Indonesia. Perbedaan musim
hujan dan kemarau nyata, dimana musim hujan terjadi antara November-Maret,
namun kondisi basah hampir di sepanjang tahun. Sedangkan musim kemarau
berlangsung antara Mei-September. Curah hujan rata-rata tahunan 164 mm,dan
puncaknya terjadi pada bulan Januari dengan rata-rata curah hujan bulanan
mencapai 460 mm. Sedangkan pada musim kemarau curah hujan terendah terjadi
pada bulan Juli dengan rata-rata curah hujan bulanan 50 mm. Suhu bervariasi
pada kisaran antara 23,7 oC (minimum) hingga 34,2 oC (maksimum), dengan suhu
rata-rata tahunan 27 oC. Kelembaban relatif berkisar antara 80-90%, dan arah
angin dipengaruhi oleh angin musim.
Titik pengamatan Pinangsia adalah kawasan bisnis padat yang terletak lebih
kurang 500 m di selatan komplek Kota Tua Jakarta dan 2 km dari pelabuhan
Sunda Kelapa. Area seluas lebih kurang 160.000 m2 tersebut dipadati bangunan
pertokoan dan perkantoran tua setinggi 3-4 lantai, yang mengapit jalan beraspal
selebar 10 m berorientasi utara-selatan dan timur-barat. Ruang terbuka hijau dan
badan air sangat terbatasdan tidak tersedia area parkir yang memadai. Sedangkan
kawasan pinggiran kota yaitu kawasan Jagakarsa, adalah kawasan penyangga
yang kaya vegetasi dan badan air. Namun kawasan saat ini telah tumpang tindih
dengan pemukiman dengan kepadatan rendah. Deskripsi umum area pengamatan
diberikan dalam Tabel-1.

Tabel 1Deskripsi umum area pengamatan
Area
Pengamatan

Pinangsia

Jagakarsa

Deskripsi Umum Permukaan
Kawasan bisnis yang padat lalu lintas, dengan total luas area +/160.000 m2. Area didominasi bangunan tua berlantai 3-5yang
terbuat dari material; bata, plesteran, beton, keramik, asbes, seng,
semen.Jalan beraspal berarah utara-selatan dan timur-barat,
panjang +/- 3,2 km dan lebar 10 m, diapit oleh bangunan
pertokoan dan perkantoran dengan ketinggian 12-30 m. Sangat
minim vegetasi dan badan air.
Kawasan resapan air yang hijau dan pemukiman penduduk
kerapatan rendah.Permukaan didominasi material tembus air
seperti tanah, kerikil, dan vegetasi, rumput dan semak. Berlokasi
di ujung Selatan Jakarta yang berbatasan langsung dengan kota
Depok. Jalan beraspal dan tanah di area pemukiman dengan lebar
antara 5-10 m dengan lalu lintas yang sepi

12

Lokasi titik pengamatan dan penyamplingan data yaitu di kawasan padat
Pinangsia, Jakarta Barat dan di kawasan hijau Jagakarsa, Jakarta Selatan
ditampilkan pada Gambar-2 berikut ini.

(a)

(b)

Gambar 2 Lokasi titik pengamatan(a) area padat kota Pinangsia, (b)
kawasan pinggiran kota Jagakarsa yang terbuka dan hijau

Peralatan Penelitian
Peralatan utama yang digunakan untuk penyamplingan data cuaca adalah
stasiun cuaca otomatis AWS (automatic weather station) sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar-3 berikut ini.

Gambar 3 AWS dan unitakuisisi data Model CEA520. Sumber: http://www.
cimel.fr/?weather-station=automatic-weather-station&lang=en

Sistem AWS produksi Cimel Elektronique Perancis ini terdiri dari tiga unit
utama yaitu; unit akuisisi data, terdiri dari seperangkat sensor cuaca (6 jenis
sensor), unit penyimpanan data (datalogger), unit catu daya (baterai kering dan
panel surya), dan dudukan datalogger dan sensor. Gambar-4 memperlihatkan
jenis sensor cuaca yang digunakan oleh AWS Cimel Elektronique sebagai berikut;

13

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

Gambar 4 Unit sensor cuaca;(a) sensor suhumodel CES601, (b) sensor
kelembaban relatif model CES191,(c) sensor kecepatan angin
model CES155, (d) sensor arah angin model CES157, (e) sensor
radiasi matahari model CES180, dan (f) sensor curah hujan model
CES189. Sumber: http://www. cimel.fr/?weather-station=automaticweather-station&lang=en

Peralatan lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kompas, alat
ukur panjang (meteran), dan perangkat lunak: Microsoft Office Excell 2007, dan
Matlab versi R2010a.

Deskripsi Model SLUC
Penelitian ini menggunakan model Single-Layer Urban Canopy (SLUC)
(Gambar-5) yaitu gabungan model Town Energy Budget (TEB) Masson (2000)
dengan model atmosfer (Kusaka et al. 2001; Trusilova, 2006; Ryu et al. 2011).
Model TEB adalah model penyerderhanaan geometri perkotaan menggunakan
unit terkecil perkotaan berbasis fisika yang direpresentasikan oleh empat
permukaan berbeda, yaitu dua permukaan horizontal (atap bangunan, dan jalan),
dan dua permukaan vertikal (dua permukaan dinding bangunan yang mengapit
jalan) (Masson, 2000).
Model SLUC memperlakukan canyon perkotaan sebagai permukaan tunggal
atap dan street canyon sebagai permukaan tunggal dinding dan jalan. Level teratas
(ketinggian atap bangunan) model SLUC merupakan syarat batas terbawah model
atmosfer skala meso. Pada level terbawah ini, fluks: radiatif, panas, kelembaban,
dan momentum dari permukaan atap dan street canyon (dinding dan jalan)
dihitung secara poporsional terhadap fraksi area horizontal pada model atmosfer
(Masson, 2000). Model dikembangkan untuk memparameterisasi interaksi proses
dinamika dan termodinamika antara permukaan perkotaan dengan lapisan
atmosfer yang memperhitungkan penyerapan/pantulan radiasi oleh permukaan
dinding dan jalan, jebakan radiasi langsung datang, fluks panas dan uap air dari

TEB
model

Hblg

Gin= 0

Roughness sublayer

Atmospheric
model

Satm , Latm Patm

Urban canopy layer

Atmospheric Forcing
Tatm, qatm

uatm

Inertial
sublayer

14

Wroad

Gambar 5 Skema kopel model perkotaan dan model atmosfer. TSroof: suhu
permukaanatap, TSroad: suhu jalan, dan TSwall: suhu dinding. Suhu
lapisan material atap (Troof-1...Troof-n), jalan (Troad-1...Troad-n), dan
fluks panas tanah nol (Gin=0). Tibd: Suhu internal bangunan, dan Qftraffic: fluks panas lalu lintas. Hbld: ketinggian bangunan dan Wroad:
lebar jalan. Sumber: Modifikasi dari Lemonsu, et al. (2003) dan
Olesson, et al. (2008)
ketiga permukaan canyon, fraksi vegetasi, tambahan fluks panas antropogenik
dari kanopi perkotaan ke atmosfer (panas sensibel dari lalu lintas; pada level jalan,
panas senssibel dari industri; pada level atap. Fluks panas keluar dari permukaan
padat perkotaan dan vegetasi dirata-ratakan menjadi pertukaran energi dan
momentum antara kanopi perkotaan dan atmosfer, serta profil angin eksponensial
(Chen, et al. 2011). Fluks dihitung untuk tiap permukaan: atap, jalan, dan dinding,
kemudian karakteristik perkotaan dirata-ratakan secara spasial pada model
atmosfer (Masson, 2000).
Model canyon perkotaan digerakkan oleh mo