Balanced Diet Index Development of Adult Females in Indonesia
i
PENGEMBANGAN INDEKS GIZI SEIMBANG BAGI WANITA
DEWASA INDONESIA
SILVIA MAWARTI PERDANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Indeks
Gizi Seimbang bagi Wanita Dewasa Indonesia adalah karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Silvia Mawarti Perdana
NIM I151114111
iv
RINGKASAN
SILVIA MAWARTI PERDANA. Pengembangan Indeks Gizi Seimbang bagi
Wanita Dewasa Indonesia. Dibimbing oleh HARDINSYAH dan EVY
DAMAYANTHI.
Penelitian ini bertujuan mengembangkan indeks gizi seimbang (IGS) bagi
wanita dewasa Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2010. Tujuan khusus
penelitian ini adalah untuk (1) menganalisis pola konsumsi pangan wanita dewasa
Indonesia, (2) mengembangkan beberapa alternatif IGS wanita dewasa Indonesia,
(3) memilih IGS yang paling valid pada wanita dewasa Indonesia, (4) menganalisis
faktor-faktor determinan IGS wanita dewasa Indonesia.
Penelitian ini menggunakan data konsumsi pangan hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2010 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Balitbangkes Kemenkes
RI). Pengumpulan data konsumsi pangan menggunakan metode food recall 1 x 24
jam dengan desain studi cross-sectional dan subjek wanita dewasa yang berjumlah
68486 orang berusia 19-55 tahun. Pengumpulan data di beberapa daerah oleh tim
pengumpul data Riskesdas dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2010. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Juni-November 2013 di Kampus IPB Dramaga, Bogor, Jawa
Barat. Studi ini menggunakan 61759 orang subjek wanita dewasa. Alternatif IGS
dikembangkan berdasarkan kelompok pangan/zat gizi, kuantitas, dan tiga sampai
empat tingkat skor. Mutu gizi konsumsi pangan (MGP) dari 16 zat gizi digunakan
sebagai standar dalam pengujian validitas IGS.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok pangan yang paling
banyak dikonsumsi adalah pangan karbohidrat dengan jumlah konsumsi sebesar
539.5 ± 216.2 g (99.9%), sedangkan kelompok pangan yang paling sedikit
dikonsumsi adalah buah, gula tambahan, dan susu dengan rata-rata konsumsi 31.0 ±
86.0 g (22.0%), 2.4 ± 12.5 g (7.6%), dan 3.1 ± 24.0 g (4.8%). Asupan semua zat
gizi, kecuali natrium, belum memenuhi kebutuhan gizi per hari. MGP wanita
dewasa di Indonesia masih tergolong kurang (44.0 ± 13.2). Alternatif IGS yang
dikembangkan didasarkan pada kelompok pangan/zat gizi dan kuantitas serta
tingkat skor, yang terdiri dari: IGS 3-50, IGS 3-60, IGS 3-61, IGS 3-83, IGS 3-105,
IGS 4-50, IGS 4-60, IGS 4-61, IGS 4-83, dan IGS 4-105. IGS 3-60 adalah indeks
gizi seimbang yang paling valid dan sederhana (korelasi koefisien dengan MGP
sebesar 0.70) yang dikembangkan berdasarkan tiga tingkat skor (nol, lima, dan 10)
dan enam kelompok pangan (pangan karbohidrat, protein hewani, protein nabati,
sayur, buah, dan susu), tanpa mempertimbangkan lemak total, lemak jenuh,
kolesterol, gula tambahan, dan natrium. Susu dimasukkan ke dalam komponen
penilaian karena mempertimbangkan manfaat yang sangat penting bagi wanita
dewasa. Skor rata-rata IGS 3-60 pada wanita dewasa adalah 31.0 ± 12.1.
IGS 3-60 dipengaruhi oleh status kawin, status ekonomi, pendidikan,
pekerjaan, dan usia. Wanita dewasa dengan status kawin 29% lebih tinggi memiliki
skor IGS 3-60 yang tinggi dibandingkan wanita yang tidak kawin. Status ekonomi
menengah hingga tinggi (kuintil 3, 4, dan 5) 39% lebih tinggi memiliki skor IGS 360 yang lebih tinggi dibandingkan status ekonomi rendah (kuintil 1 dan 2).
Pendidikan SMP dan SMA memiliki peluang masing-masing 17% dan 30%
v
memiliki skor IGS 3-60 lebih tinggi dibandingkan pendidikan SD. Pegawai negeri
dan wiraswasta/lainnya memiliki peluang masing-masing 11% dan 5% memiliki
skor IGS 3-60 lebih tinggi dibandingkan subjek yang tidak bekerja/sekolah. Wanita
berusia 30-49 tahun dan 50-55 tahun memiliki peluang masing-masing 23% dan
25% memiliki skor IGS 3-60 lebih tinggi dibandingkan wanita berusia 19-29 tahun.
IGS 3-60 yang dikembangkan berdasarkan tiga tingkat skor dan enam
kelompok pangan (pangan karbohidrat, lauk pauk, sayur, buah, dan susu) dapat
digunakan sebagai salah satu cara sederhana dalam mengevaluasi MGP wanita
dewasa Indonesia karena penilaian hanya didasarkan pada jumlah porsi kelompok
pangan/zat gizi yang dikonsumsi. IGS 3-105 mungkin bisa menjadi lebih valid
dibandingkan IGS 3-60 jika kandungan gizi pangan yang diperhitungkan lebih
lengkap (kolesterol, lemak jenuh, dan natrium) dari pangan Indonesia. Oleh karena
itu, diperlukan studi lebih lanjut.
Diperlukan promosi gizi seimbang untuk meningkatkan kualitas konsumsi
pangan bagi wanita dewasa Indonesia. Promosi gizi seimbang diperlukan, terutama
untuk konsumsi pangan hewani, sayur, dan buah.
Studi lanjutan dapat dilakukan dengan mengembangkan indeks gizi
seimbang untuk kelompok umur yang lain dengan cara menyesuaikan satuan porsi
sesuai kebutuhan gizinya; serta menganalisis hubungan skor IGS 3-60 dengan
outcome gizi dan kesehatan, seperti status gizi generasi yang dihasilkan.
Kata kunci: indeks gizi seimbang, mutu gizi konsumsi pangan, wanita dewasa
vi
SUMMARY
SILVIA MAWARTI PERDANA. Balanced Diet Index Development of Adult
Females in Indonesia. Supervised by HARDINSYAH and EVY DAMAYANTHI.
The objective of this study was to develop a balanced diet index (BDI) in
relation to nutritional quality of the diet (NQ) of adult females in Indonesia. The
specific objectives was (1) analyze food consumption pattern of Indonesia adult
females, (2) develop BDI alternatives of Indonesia adult females, (3) select the
most valid BDI of Indonesia adult females, (4) analyze determinant factors of BDI
of Indonesia adult females.
This study used food consumption data from the Basic Health Research
(Riskesdas) of 2010 collected by the Agency for Research and Health Development
of the Ministry of Health. The food consumption data were collected using 24-h
food recall method through a cross-sectional study design of 68486 adult females
19-55 years on May-August 2010. This study conducted on June-November 2013
in IPB Dramaga, Bogor, West Java. The final sample of this study was 61759 adult
females. Ten alternatives of balanced diet indexes (BDI) were developed based on
food groups, their intake, and three to four scoring system levels. The NQ of 16
nutrients was used as a gold standard in the validity testing.
The results showed that the most food group consumed was carbohydrate
food 539.5 ± 216.2 g (99.9%), whereas the least food groups consumed was the
fruit, added sugar, and milk with average consumption was 31.0 ± 86.0 g (22.0%),
2.4 ± 12.5 g (7.6%), and 3.1 ± 24.0 g (4.8%). The intake of all nutrients, except
sodium, did not meet the nutritional requirements per day. NQ of adult females in
Indonesia was still relatively less (44.0 ± 13.2). Alternatives of BDI was developed
based on the food groups/nutrients, quantity, and the score level, which consists of:
BDI 3-50, BDI 3-60, BDI 3-61, BDI 3-83, BDI 3-105, BDI 4-50 , BDI 4-60, BDI
4-61, BDI 4-83, and BDI 4-105. The simplest and the most valid measurement was
BDI 3-60 (correlation coefficients with the NQ 0.70) which is based on three levels
of scoring system (zero, five, and 10) and six food groups (carbohydrate food,
animal protein food, plant protein food, vegetable, fruit, and milk), without
considering fat, saturated fat, cholesterol, and sodium. The mean score of BDI 3-60
was 31.0 ± 12.1.
BDI 3-60 affected by marital status, economic status, education, occupation,
and age. Adult females who married had 29% higher scores of BDI 3-60 than
others. Medium to high economic status (quintiles 3, 4, and 5) had 39% higher
scores of BDI 3-60 than the low economic status (quintiles 1 and 2). Middle and
high school education had opportunities 17% and 30% higher scores of BDI 3-60
than elementary education, respectively. Civil servants and self-employed/others
had opportunities 11% and 5% higher scores of BDI 3-60 than subjects who did not
work/school, respectively. Females aged 30-49 years and 50-55 years had
opportunities 23% and 25% higher scores of BDI 3-60 than females aged 19-29
years, respectively.
BDI 3-60 which developed based on three levels of scores and six food
groups (carbohydrate food, animal protein food, plant protein food, vegetable, fruit,
and milk) can be used as a simple way of evaluating NQ of adult females in
vii
Indonesia because the assessment was based only on the number of servings of
food groups consumed/nutrients intake. BDI 3-105 might be more valid than BDI
3-60 if more complete calculation of nutrients (cholesterol, saturated fat, and
sodium) of Indonesian food.
Promotion of balanced diet necessary to improve the quality of food
consumption for adult females of Indonesia. Promotion of balanced diet is needed,
especially for the consumption of animal protein food, vegetables, and fruits.
Further study can be done by developing balanced diet index for other age
groups by adjusting the food servings with nutritional requirements; and analyze
the relationship between the score of BDI 3-60 with nutrition and health outcomes,
such as nutritional status of next generation .
Keywords: adult females, balanced diet index, nutritional quality of diet
viii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ix
PENGEMBANGAN INDEKS GIZI SEIMBANG BAGI WANITA
DEWASA INDONESIA
SILVIA MAWARTI PERDANA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Doddy Izwardy, MA
xi
Judul Tesis
Nama
NIM
: Pengembangan Indeks Gizi Seimbang bagi Wanita Dewasa
Indonesia
: Silvia Mawarti Perdana
: I151114111
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS
Ketua
Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
Judui Tesis
Pengembangan Indeks Gizi Seimbang bagi Wanita Dewasa
Indonesia
Silvia Mawarti Perdana
Nama
NfM
1151114111
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
ah MS
Ketua
Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dodik Briawan, MeN
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Lulus :
Tanggal Ujian :
1 B FEB 20':4
1 2 MAR Z0l4
xii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penulisan tesis yang berjudul
“Pengembangan Indeks Gizi Seimbang bagi Wanita Dewasa Indonesia” dilakukan
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program
Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof.
Dr. Ir. Hardinsyah, MS dan Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS selaku komisi
pembimbing atas arahan, masukan, kritikan, dan dorongan untuk menyelesaikan
tesis; Ir. Doddy Izwardy, MA selaku penguji luar komisi pada ujian tesis; dan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI yang
telah memberikan izin untuk menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2010.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas bantuan Beasiswa
Unggulan yang diberikan selama menjalani pendidikan di IPB. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik, Diki Sunaryo, SPt, dan Atika
Primadala Amrin, SGz, MSi atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2014
Silvia Mawarti Perdana
xiii
DAFTAR ISI
DAFAR TABEL ................................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xvi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xvi
PENDAHULUAN
Latar Belakang ............................................................................................. 1
Tujuan .......................................................................................................... 2
Manfaat ....................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA
Masalah Gizi Wanita ................................................................................... 3
Konsep Gizi Seimbang ................................................................................ 4
Indeks Gizi Seimbang (IGS)........................................................................ 6
Mutu gizi konsumsi pangan .................................................................... 6
Indeks keragaman makanan .................................................................... 7
PPH (Pola Pangan Harapan) ................................................................... 9
HEI (Healthy Eating Index) .................................................................... 10
HEI Amerika .................................................................................... 10
HEI Australia ................................................................................... 12
HEI Thailand .................................................................................... 14
Prinsip Pengembangan HEI ......................................................................... 15
Pengelompokan ...................................................................................... 15
Scoring system ....................................................................................... 15
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan HEI ............................................ 16
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................. 18
METODE
Desain, Waktu, dan Tempat ........................................................................ 21
Jumlah dan Cara Penarikan Subjek ............................................................. 21
Jenis dan Cara Pengumpulan Data .............................................................. 22
Pengolahan dan Analisis Data ..................................................................... 23
Definisi Operasional .................................................................................... 29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Sosial Ekonomi ...................................................................... 31
Status Gizi.................................................................................................... 32
Pola Konsumsi Pangan ................................................................................ 33
Alternatif Indeks Gizi Seimbang (IGS) ....................................................... 35
Pengujian Validitas IGS terhadap MGP ...................................................... 42
Faktor-faktor Determinan IGS..................................................................... 43
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ...................................................................................................... 45
Saran ............................................................................................................ 45
xiv
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 46
LAMPIRAN .......................................................................................................... 50
RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. 56
xv
DAFTAR TABEL
1
Komponen HEI-1995 dan skor masing-masing komponen ......................
11
2
Komponen HEI-2005 dan skor masing-masing komponen ......................
12
3
Komponen Aust-HEI dan skor masing-masing komponen ......................
13
4
Komponen THEI dan skor masing-masing komponen .............................
14
5
Jenis dan cara pengumpulan data ..............................................................
23
6
Kategori status gizi dewasa berdasarkan IMT ..........................................
24
7
Perhitungan kebutuhan energi wanita dewasa menurut status gizi ...........
25
8
Angka kecukupan zat gizi wanita dewasa berdasarkan usia .....................
26
9
Alternatif indeks gizi seimbang (IGS) ......................................................
27
10 Penilaian indeks gizi seimbang berdasarkan tiga kategori skor (IGS 3) ...
28
11 Penilaian indeks gizi seimbang berdasarkan empat kategori skor (IGS 4)
28
12 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik sosial ekonomi ........................
31
13 Sebaran status gizi subjek berdasarkan kelompok usia.............................
32
14
Konsumsi pangan (g) per kapita/hari dan tingkat partisipasi konsumsi
(%) pada wanita dewasa Indonesia ...........................................................
33
15 Asupan dan tingkat kecukupan gizi per kapita/hari pada wanita dewasa
menurut kelompok usia ............................................................................
34
16 Skor IGS 3-50 wanita dewasa menurut kelompok usia ................................. 35
17 Skor IGS 3-60 wanita dewasa menurut kelompok usia ............................... 36
18 Skor IGS 3-61 wanita dewasa menurut kelompok usia ................................. 37
19 Skor IGS 3-83 wanita dewasa menurut kelompok usia ................................. 37
20 Skor IGS 3-105 wanita dewasa menurut kelompok usia ............................... 38
21 Skor IGS 4-50 wanita dewasa menurut kelompok usia ................................. 38
22 Skor IGS 4-60 wanita dewasa menurut kelompok usia ................................. 39
23 Skor IGS 4-61 wanita dewasa menurut kelompok usia ................................. 40
24 Skor IGS 4-83 wanita dewasa menurut kelompok usia ................................. 40
25 Skor IGS 4-105 wanita dewasa menurut kelompok usia ............................... 41
26 Kategori MGP pada wanita dewasa menurut kelompok usia ..................
42
27 Uji korelasi Pearson hubungan skor IGS dengan mutu gizi pangan .........
42
28 Kategori skor IGS 3-60 pada wanita dewasa menurut kelompok usia ....... 43
xvi
29 Hasil uji regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi IGS 3-60
pada wanita dewasa ..................................................................................
44
DAFTAR GAMBAR
1 Tumpeng pedoman gizi seimbang ...............................................................
5
2 Komponen HEI-1995 ...................................................................................
10
3 Kerangka pemikiran pengembangan HEI pada wanita dewasa Indonesia ...... 19
4 Kerangka pemikiran faktor determinan HEI wanita dewasa Indonesia ............ 20
5 Alur cleaning data subjek penelitian................................................................. 22
DAFTAR LAMPIRAN
1 Cara pengumpulan data karakteristik, antropometri dan recall pangan
1x24 jam oleh tim Riskesdas 2010................................................................... 50
2 Kebutuhan zat gizi pada wanita dewasa menurut kelompok usia.................... 53
3 Berat badan, tinggi badan, dan IMT wanita dewasa menurut kelompok
usia ................................................................................................................... 53
4 Konsumsi pangan dan asupan gizi pada wanita dewasa menurut kelompok
usia per kapita/hari ........................................................................................... 54
5 Konsumsi pangan (g) dan tingkat partisipasi konsumsi (%) pada wanita
dewasa Indonesia yang mengonsumsi per kapita/hari ..................................... 55
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Negara berkembang menghadapi berbagai jenis transisi, salah satunya
transisi epidemiologi yang menimbulkan masalah gizi ganda (double burden of
communicable and non-communicable diseases) (Kapoor & Anand 2002).
Malnutrisi dan infeksi pada awal kehidupan akan meningkatkan risiko chronic
noncommunicable diseases (NCDs) di tahap kehidupan selanjutnya. Pada usia
dewasa, kombinasi NCDs dan penyakit infeksi dapat berdampak merugikan
(Bygbjerg 2012).
Hasil analisis Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa prevalensi kegemukan
pada wanita dewasa sebesar 32.9% pada tahun 2013 yang meningkat dari
sebelumnya 23.8% pada tahun 2007. Berdasarkan karakteristik, masalah
kegemukan cenderung lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di perkotaan,
berpendidikan lebih tinggi dan pada kelompok status ekonomi yang tertinggi pula
(Balitbangkes 2013).
Wanita dewasa perlu mendapat perhatian terhadap penanganan masalah
gizi ganda karena berperan penting dalam upaya pencegahan penyakit kronis bagi
dirinya dan generasi mendatang. Pemenuhan gizi secara optimal yang dilakukan
ibu selama masa 1000 hari pertama kehidupan (sejak janin dalam kandungan
sampai berusia dua tahun), selain memberi kesempatan bagi anak untuk hidup
lebih lama, lebih sehat, dan lebih produktif, juga menurunkan risiko anak
menderita penyakit degeneratif di usia dewasa. Teori Barker menyebutkan bahwa
gizi memiliki peranan penting dalam membentuk kehidupan. Masalah gizi yang
terjadi pada awal kehidupan anak akan berdampak pada kualitas sumberdaya
manusia. Status gizi dan keadaan kesehatan anak-anak sampai menjadi dewasa
dimulai dari wanita dewasa yang berperan penting dalam menyiapkan generasi
selanjutnya (Koletzko et al. 2011).
Diet merupakan faktor penting dalam pencegahan penyakit degeneratif
(obesitas, diabetes melitus tipe dua, hipertensi, dislipidemia, penyakit jantung
koroner, dan stroke) dan pemeliharaan kesehatan (WHO 2002; WHO 2003).
Bahan pangan dalam pola makan yang kompleks, contohnya sayur dan buah,
memiliki efek protektif yang potensial dalam pencegahan penyakit degeneratif,
seperti kanker, penyakit kardiovaskuler, diabetes melitus, stroke, dan obesitas
(Steinmetz & Potter 1996; Gerber 2001).
Studi yang dilakukan oleh Fung et al. (2004) menunjukkan bahwa pola
makanan barat, khususnya tinggi konsumsi daging yang diproses, dapat
meningkatkan risiko diabetes melitus tipe dua pada wanita. Terdapat bukti yang
cukup kuat, terutama dari studi observasi prospektif, bahwa pola makan yang
tinggi konsumsi buah, sayur, dan whole grains; rendah daging dan refined grains;
serta asupan sumber lemak yang sehat berperan dalam pencegahan CHD, stroke,
dan kanker kolorektal (Schulze & Hoffmann 2006; Miller et al. 2010).
Sejak tahun 1994, Kementerian Kesehatan RI telah mengeluarkan
Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Namun, dewasa ini PUGS belum
sepenuhnya diterapkan dalam pola makan atau diet sehari-hari sehingga
mengakibatkan masih tingginya masalah gizi ganda, khususnya pada kelompok
2
wanita dewasa. Saat ini, Kemenkes sedang menyempurnakan Pedoman Gizi
Seimbang. Penilaian pemenuhan gizi seimbang pada wanita dewasa sangat
diperlukan sebagai bagian upaya penanganan masalah gizi ganda.
Implikasi dari permasalahan di atas adalah diperlukannya Indeks Gizi
Seimbang (IGS) sebagai cara sederhana yang memenuhi kriteria validitas dan
reliabilitas untuk menilai gizi seimbang dalam diet wanita dewasa Indonesia. Hal
ini dilakukan sebagai upaya penanganan masalah gizi ganda mengingat di
Indonesia belum terdapat cara mengukur kualitas diet. Sementara itu, sejak tahun
1995 USDA (U.S. Department of Agriculture) sudah mengembangkan Healthy
Eating Index yang berpedoman pada Dietary Guidelines for Americans. Thailand
dan Australia pada tahun 2007 juga mengembangkan Healthy Eating Index yang
berpedoman pada Dietary Guidelines negara masing-masing. Sampai saat ini
belum ada kajian ilmiah yang membahas penilaian pemenuhan gizi seimbang pada
wanita dewasa.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengembangkan Indeks Gizi Seimbang (IGS) bagi
wanita dewasa Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2010, sedangkan secara
khusus bertujuan:
1. Menganalisis pola konsumsi pangan wanita dewasa Indonesia
2. Mengembangkan beberapa alternatif IGS wanita dewasa Indonesia
3. Memilih IGS yang paling valid pada wanita dewasa Indonesia
4. Menganalisis faktor-faktor determinan IGS wanita dewasa Indonesia
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pola
konsumsi pangan wanita dewasa Indonesia. Selain itu IGS dari hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi cara sederhana dalam mengukur kualitas diet dan
memonitor pola konsumsi pangan wanita dewasa Indonesia yang disesuaikan
dengan pedoman gizi seimbang serta memberikan informasi mengenai faktorfaktor determinan dari IGS wanita dewasa Indonesia.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Masalah Gizi Wanita
Negara berkembang sudah mulai menghadapi masalah kesehatan
masyarakat yang berhubungan dengan masalah gizi ganda (kombinasi antara
penyakit infeksi dan penyakit degeneratif). Prevalensi penyakit degeneratif
meningkat dengan cepat di berbagai negara, termasuk negara berkembang.
Kelompok usia dewasa (20-64 tahun) sebanyak lebih dari 15 juta orang
mengalami kematian setiap tahun, yang sebagian besar dapat dicegah (WHO
1998). Pada tahun 2001, penyakit degeneratif memiliki kontribusi kira-kira 60%
dari 56.5 juta total kematian yang dilaporkan di dunia dan kira-kira 46% dari
beban penyakit secara global. Prevalensi non-communicable diseases diperkirakan
meningkat hingga 57% pada tahun 2020. Hampir separuh dari kematian akibat
penyakit degeneratif disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler (penyakit jantung
koroner dan stroke). Sementara itu, obesitas dan diabetes juga menunjukkan
kecenderungan yang mengkhawatirkan, bukan hanya karena sudah mempengaruhi
populasi dalam jumlah besar, tetapi juga sudah memasuki tahap awal kehidupan
(WHO 2003).
Di negara berkembang, prevalensi penyakit degeneratif semakin
meningkat karena adopsi dari gaya hidup barat yang diikuti dengan beberapa
faktor risiko. Faktor risiko dari masalah gizi ganda tersebut secara global terdiri
dari: underweight; seks tidak aman; tekanan darah tinggi; perilaku merokok;
konsumsi alkohol; sanitasi, higiene, dan air yang tidak bersih dan aman; defisiensi
zat besi; polusi; asupan kolesterol tinggi; dan obesitas. Tekanan darah dan
kolesterol darah yang tinggi berhubungan erat dengan meningkatnya konsumsi
lemak, gula, dan garam. Hal ini menjadi semakin berbahaya, jika digabungkan
dengan perilaku merokok dan konsumsi alkohol yang berlebihan sebagai
penyebab dari timbulnya kanker, penyakit jantung, stroke, dan penyakit
degeneratif lainnya (WHO 2002).
Transisi gizi ke arah pola penyakit degeneratif terjadi secara pesat di
negara berkembang. Data di negara Cina yang ditunjukkan oleh China Health and
Nutrition Survey menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1993 terjadi
peningkatan orang dewasa yang mengonsumsi diet tinggi lemak dari 22.8%
menjadi 66.6%. Salah satu konsekuensi dari transisi gizi adalah menurunnya
undernutrition yang diikuti dengan meningkatnya obesitas (Popkin 2001).
Studi yang dilakukan oleh Subramanian et al. (2009) menunjukkan bahwa
meskipun rasio underweight terhadap overweight pada wanita India menurun dari
3.3 pada tahun 1998-1999 menjadi 2.2 pada tahun 2005-2006, masih terdapat
jumlah wanita underweight yang lebih banyak dibandingkan wanita overweight.
Hanya pada kelompok wanita dengan ekonomi dan pendidikan yang tinggi,
terdapat jumlah wanita overweight yang lebih banyak dibandingkan wanita
underweight. Hasil studi ini mendukung penelitian terdahulu yang menyatakan
bahwa underweight berhubungan terbalik dengan keadaan sosial ekonomi dan
keadaan sosial ekonomi berhubungan positif dengan pre-overweight, overweight,
dan obesitas (Subramanian & Smith 2006). Hasil berbeda ditunjukkan oleh
Mendez et al. (2005) yang menyatakan di banyak negara berkembang (khususnya
4
dengan tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi), prevalensi overweight pada
wanita berusia 20-49 tahun, baik di pedesaan maupun perkotaan, lebih tinggi
dibandingkan wanita underweight. Di Asia dan Afrika, prevalensi overweight
masih rendah tetapi kejadian ini cukup tinggi di daerah perkotaan. Penyebab
utamanya adalah transisi gizi menjadi diet tinggi lemak dan berkurangnya
aktivitas fisik.
Kasus diabetes pada dewasa akan meningkat menjadi dua kali lipat secara
global, dari 143 juta pada tahun 1997 menjadi 300 juta pada tahun 2025 yang
disebabkan oleh faktor diet dan gaya hidup yang lain (WHO 1998). Meskipun
terdapat bukti bahwa obesitas adalah faktor risiko penting terhadap kejadian
diabetes melitus tipe dua, bukti lain menunjukkan bahwa makanan tertentu dan
faktor pola makan memiliki hubungan dengan kejadian diabetes melitus. Risiko
terjadinya diabetes pada wanita karena mengonsumsi makanan dengan pola
makan barat (khususnya tinggi konsumsi daging yang diproses) adalah 1.49 (Fung
et al. 2004).
Hasil analisis Riskesdas 2007 menyebutkan bahwa non-communicable
disease (59.5%) merupakan penyebab mortalitas tertinggi pada seluruh kelompok
usia. Tiga penyakit degeneratif dengan prevalensi tertinggi, terdiri atas: stroke
(26.9%), hipertensi (12.3%), dan diabetes mellitus (10.2%). Sementara itu,
penyakit degeneratif dengan prevalensi tertinggi pada wanita berusia 15-44 tahun
dan 45-54 tahun adalah penyakit hati (9.6%) dan diabetes melitus (16.3%)
(Balitbangkes 2007).
Studi cross-sectional di 57 negara dengan pendapatan rendah hingga
menengah yang dilakukan oleh Corsi et al. (2011) menunjukkan bahwa terdapat
korelasi negatif yang kuat antara kecenderungan menjadi underweight dan
overweight di tingkat global (r=-0.79) dan antar negara (r=-0.51) dengan status
sosial ekonomi. Sementara itu, di tingkat global korelasi underweight dan
overweight pada wanita berusia 25-49 tahun di negara dengan pendapatan rendah
hingga menengah bernilai -0.78.
Usia, jenis kelamin, dan genetik merupakan faktor yang tidak dapat
dimodifikasi dalam kejadian penyakit kronis. Sementara itu, beberapa risiko
lainnya yang dapat dimodifikasi terdiri atas faktor perilaku (diet, aktivitas fisik,
perilaku merokok, dan konsumsi alkohol); faktor biologi (dislipidemia, hipertensi,
overweight, hiperinsulinemia); serta faktor sosial (sosial ekonomi, budaya, dan
lingkungan) (WHO 2003). Diet diketahui memegang peranan dalam faktor risiko
terjadinya penyakit kronis. Makanan berbasis nabati saat ini telah digantikan oleh
makanan hewani yang tinggi lemak dan energi. Bahan pangan seperti daging,
kentang, dan serealia memiliki korelasi positif dengan risiko terjadinya kanker
kolorektal pada wanita (OR = 2.20, 95% CI = 1.08–4.50) (Miller et al. 2010).
Konsep Gizi Seimbang
Slogan “empat sehat lima sempurna” yang diciptakan tahun 1950-an
memiliki tujuan membuat kebiasaan makan masyarakat akan semakin sehat
sehingga berbagai masalah kesehatan, baik karena kekurangan maupun kelebihan
5
gizi, dapat dicegah dan dikurangi. Namun pada kenyataannya, hal ini tidak
terwujud baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Pada tahun 1992
diselenggarakan kongres gizi internasional di Roma yang membahas pentingnya
gizi seimbang untuk menghasilkan manusia yang berkualitas. Salah satu
rekomendasi kongres tersebut adalah anjuran kepada setiap negara untuk
menyusun Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) (Depkes 2005).
Depkes melalui Direktorat Bina Gizi Masyarakat pada tahun 1994 telah
mengeluarkan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Tujuan PUGS adalah
sebagai alat untuk memberikan penyuluhan pangan dan gizi kepada masyarakat
luas, dalam rangka memasyarakatkan gizi seimbang. Yayasan Institut Danone
(2010) mendefinisikan gizi seimbang sebagai susunan makanan sehari-hari yang
mengandung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan
tubuh, dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman atau variasi makanan,
aktivitas fisik, kebersihan, dan berat badan ideal. Visualisasi prinsip gizi seimbang
di berbagai negara disesuaikan dengan budaya dan pola makan setempat.
Gambar 1 Tumpeng pedoman gizi seimbang (Depkes 2005)
Terdapat beberapa alasan penggantian slogan “empat sehat lima
sempurna” dengan pedoman gizi seimbang. Pertama, susunan makanan yang
terdiri atas empat kelompok belum tentu sehat, bergantung pada porsi dan jenis zat
gizinya apakah telah sesuai dengan kebutuhan sedangkan PGS, selain jenis
makanan ditekankan pula proporsi yang berbeda pada setiap kelompok. PGS juga
mencakup aspek kebersihan makanan, aktivitas fisik, dan kaitannya dengan pola
hidup sehat yang lain. Kedua, susu bukan makanan sempurna. Susu adalah sumber
protein hewani yang juga terdapat pada telur, ikan dan daging. Oleh karena itu,
susu ditempatkan dalam satu kelompok dengan sumber protein hewani yang lain.
Ketiga, slogan “empat sehat lima sempurna”yang dipopulerkan oleh Bapak Gizi
Indonesia Prof. Poerwo Soedarmo dan dianggap relevan pada zamannya, sejak
tahun 1990-an dianggap tak sesuai lagi dengan perkembangan iptek gizi (Yayasan
Institut Danone 2010).
PUGS memuat 13 pesan dasar yang diharapkan dapat digunakan
masyarakat sebagai pedoman untuk mengatur makanan sehari-hari yang seimbang
dan aman guna mencapai dan mempertahankan status gizi dan kesehatan yang
optimal. Pesan dasar tersebut meliputi: (1) makanlah aneka ragam makanan; (2)
makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi; (3) makanlah makanan
6
sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi; (4) batasi konsumsi lemak
dan minyak sampai seperempat dari kebutuhan energi; (5) gunakan garam
beryodium; (6) makanlah makanan sumber zat besi; (7) berikan ASI saja kepada
bayi sampai umur enam bulan dan tambahkan MP-ASI sesudahnya; (8) biasakan
makan pagi; (9) minumlah air bersih yang aman dan cukup jumlahnya; (10)
lakukan aktivitas fisik secara teratur; (11) hindari minum minuman berakohol;
(12) makanlah makanan yang aman bagi kesehatan; dan (13) bacalah label
makanan yang dikemas (Depkes 2005).
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan, pasal 60 sampai 62 menjelaskan bahwa penganekaragaman
konsumsi pangan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan
membudayakan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman
serta sesuai dengan potensi dan kearifan lokal yang dilakukan melalui peningkatan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi aneka ragam pangan
dengan prinsip gizi seimbang. Tercapainya penganekaragaman konsumsi Pangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 diukur melalui pencapaian nilai komposisi
pola pangan dan gizi seimbang. Gizi seimbang yang dimaksud dalam UU
Kesehatan No 36 Tahun 2009 didefinisikan sebagai asupan gizi sesuai kebutuhan
seseorang untuk mencegah risiko gizi lebih dan gizi kurang. Hasil analisis
Riskesdas 2010 menyatakan bahwa masalah gizi yang ada di masyarakat berkaitan
dengan masalah asupan zat gizi yang tidak seimbang. Kontribusi konsumsi
karbohidrat terhadap konsumsi energi adalah 61%, sedikit diatas angka yang
dianjurkan PUGS. Kontribusi protein terhadap konsumsi energi hanya 13.3% dan
kontribusi konsumsi lemak terhadap energi sebesar 25.6% (lebih dari anjuran
PUGS).
Indeks Gizi Seimbang
Saat ini belum terdapat alat ukur gizi seimbang secara spesifik, khususnya
di Indonesia. Beberapa alat ukur kualitas diet yang telah dikembangkan hingga
saat ini, yaitu Mutu Gizi Konsumsi Pangan (MGP), Indeks Keragaman Makanan,
Pola Pangan Harapan (PPH), dan Healthy Eating Index (HEI) dari beberapa
negara.
Mutu Gizi Konsumsi Pangan (MGP)
Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2012, pangan adalah segala sesuatu yang
berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,
peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau
minuman. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan
dan kandungan gizi pangan.
Konsep mutu gizi yang semula diartikan sebagai kandungan zat gizi
pangan, berubah menjadi tingkat kecukupan semua zat gizi (nutrient adequacy),
7
yaitu persentase asupan zat gizi terhadap kecukupan atau kebutuhannya.
Kandungan gizi pangan merupakan salah satu ukuran mutu gizi pangan.
Perhitungan kandungan gizi pangan dilakukan dengan menggunakan Daftar
Komposisi Bahan Makanan (DKBM) yang menunjukkan berbagai kandungan zat
gizi dari bahan pangan dalam 100 g bagian yang dapat dimakan (BDD). Asupan
zat gizi tertentu per hari yang diperoleh dari mengonsumsi aneka makanan adalah
penjumlahan dari zat gizi yang sama yang diperoleh dari aneka makanan tersebut
(Hardinsyah & Atmojo 2000). Konsep serupa juga digunakan oleh Jadhav dan
Vali (2010) dalam mengukur mutu gizi pangan/kombinasi beberapa pangan yang
dinyatakan sebagai rasio asupan zat gizi terhadap kebutuhan/kecukupan zat gizi.
Setelah diperoleh kandungan zat gizi tertentu dalam bahan pangan,
kemudian dihitung tingkat kecukupan zat gizi tersebut. Penggunaan nilai tingkat
kecukupan gizi lebih rasional dan mudah digunakan untuk menghitung mutu gizi
makanan (Hardinsyah & Atmojo 2000). Selanjutnya perhitungan MGP dapat
dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
MGP =
Keterangan :
MGP
= Mutu Gizi Pangan
TKGi
= Tingkat kecukupan zat gizi ke-i, yaitu (konsumsi zat gizi ke-i/kecukupan
zat gizi ke-i) x 100
n
= Jumlah zat gizi yang dipertimbangkan dalam penilaian MGP
Hardinsyah (1998) mengembangkan sistem skor makanan untuk penilaian
mutu gizi makanan (MGM) ibu hamil dan anak batita secara cepat dan sederhana
di masyarakat. Studi tersebut menunjukkan bahwa dari empat alternatif skor
makanan, terpilih SM63 yang terdiri dari enam kelompok pangan utama (makanan
pokok, pangan hewani, tahu dan tempe, sayur, buah, dan susu) dan tiga tingkat
skor (nol, satu, dan dua) sebagai skor makanan paling sederhana dan valid sebagai
penduga sederhana MGM pada ibu hamil dan batita.
Penilaian MGP memiliki keunggulan dari segi gizi dan statistik, yaitu
karena zat gizi di dalam tubuh digunakan secara interaktif bukan secara parsial,
sehingga cara ini dapat menghasilkan satu nilai yang dengan mudah dapat
dibandingkan dan dianalisis. Selain itu, MGP yang merupakan peubah kontinyu
dapat menghasilkan nilai rataan, median, dan standar deviasi, serta dapat
digunakan pada analisis regresi. Sementara itu, terdapat dua hal yang harus
dipertimbangkan dalam penilaian MGP, yaitu jumlah dan jenis zat gizi yang perlu
dipertimbangkan serta metode pengumpulan data konsumsi pangan yang
sebaiknya digunakan (Hardinsyah & Atmojo 2000).
Indeks Keragaman Makanan
Keragaman makanan dalam diet merupakan indikator penting dalam
ketahanan pangan. Sebanyak 12 kelompok pangan digunakan untuk membuat
HDDS (Household Dietary Diversity Score), yaitu sereal; umbi-umbian; sayur;
buah; daging; telur; ikan; kacang-kacangan; susu; lemak dan minyak; gula;
bumbu, minuman, dan lainnya. Sementara itu, untuk IDDS (Individual Dietary
Diversity Score) terdiri atas 14 kelompok pangan, yaitu sereal; umbi dan sayur
8
kaya vitamin A; umbi-umbian; sayuran berdaun hijau; sayuran lain; buah kaya
vitamin A; buah lain; organ meat; flesh meat; telur; ikan; kacang-kacangan; susu
dan produk susu; minyak dan lemak (FAO 2007).
Drescher et al. (2007) mengembangkan indikator keragaman makanan
sehat yang mempertimbangkan tiga aspek penting, yaitu jumlah, distribusi, dan
nilai kesehatan makanan yang dikonsumsi. Aspek keragaman makanan secara
internasional diterima sebagai rekomendasi untuk diet yang sehat, karena
dihubungkan dengan dampak kesehatan yang positif seperti mengurangi kejadian
kanker atau mortalitas. Pengukuran keragaman makanan dalam konsumsi individu
membutuhkan alat ukur yang tepat. Ukuran kuantitatif yang menghitung jumlah
jenis makanan dan kelompok pangan yang dikonsumsi sering diterapkan.
Perbandingan dengan Berry-Index dan Count-Index menunjukkan bahwa Healthy
Food Diversity lebih sesuai untuk merefleksikan keragaman makanan yang sehat.
Ukuran untuk mengevaluasi keragaman yang meliputi distribusi jenis
makanan berbeda adalah Berry-Index. Indeks ini diterapkan terutama dalam studi
keragaman pangan ekonomi. Katanoda et al. (2006) menerapkan Berry-Index atau
Simpson-Index untuk mengukur keragaman diet dan perubahan per tahunnya di
Jepang. Berry-Index (BI) didefinisikan sebagai 1-∑si2, dimana si adalah
pembagian produk i dalam jumlah total makanan yang dikonsumsi. Nilai indeks
berkisar dari 0 hingga 1-1/n, sehingga BI = 0 mengindikasikan individu hanya
mengonsumsi 1 produk makanan dan BI = 1-1/n menggambarkan situasi individu
mengonsumsi pembagian yang sama dari semua produk. Nilai indeks tertinggi
didefinisikan sebagai individu mengonsumsi pembagian kelompok pangan yang
direkomendasikan.
Pengembangan keragaman makanan sehat didasarkan pada Berry-Index
sehingga indeks akan meningkat jika distribusi makanan terdiri atas produk yang
lebih sehat. Berdasarkan piramida makanan, pembagian ini dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu 73% makanan nabati, 25% makanan hewani, serta 2% lemak dan
minyak. Konstruksi akhir dari indeks keragaman makanan sehat diperoleh dengan
mengkombinasikan health value (hv = ∑hfi . si) dan keragaman makanan BI = (1∑si2). Healthy Food Diversity (HFD)-Index didefinisikan sebagai HFD = (1-∑si2) hv.
Penetapan American food guidelines (MyPyramid) sebagai dasar penyusunan
HFD-Index akan memberikan hasil yang lebih baik karena memberikan perhatian
pada produk susu rendah lemak. Pengembangan indikator keragaman makanan
sehat bergantung pada pedoman gizi yang digunakan untuk distribusi makanan
yang optimal (Drescher et al. 2007).
Kant et al. (1993) membuat skor keragaman makanan yang menghitung
jumlah kelompok makanan yang dikonsumsi sehari-hari, seperti: susu, daging,
serealia, buah, dan sayur. Nilai satu poin diberikan untuk masing-masing
kelompok makanan yang dikonsumsi, sehingga skor maksimum adalah lima.
Drewnowski et al. (1997) mengembangkan skor keragaman diet yang didasarkan
pada jumlah kumulatif dari 164 makanan berbeda yang dikonsumsi selama
periode 15 hari. Dalam indeks kualitas diet internasional, Kim et al. (2003)
mengintegrasikan komponen keragaman makanan yang dievaluasi dengan dua
cara, yaitu keseluruhan keragaman makanan dikumpulkan melalui jumlah lima
kelompok makanan berbeda yang dikonsumsi setiap hari dan keragaman sumber
protein yang diukur melalui jumlah sumber protein berbeda. Semua indeks
9
keragaman berfokus pada penghitungan kelompok dan sub-kelompok makanan
berbeda, tetapi distribusi kuantitas makanan tersebut tidak diperhitungkan.
Pola Pangan Harapan (PPH)
Pendekatan yang dikenal selama ini untuk perencanaan penyediaan pangan
dalam pembangunan pangan ada dua macam, yaitu pendekatan kecenderungan
(trend) konsumsi/permintaan dan pendekatan kecenderungan produksi. Salah satu
pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis situasi ketersediaan maupun
konsumsi pangan wilayah adalah analisis pola pangan harapan (PPH). Menurut
FAO-RAPA (1989) diacu dalam Hardinsyah et al. (2002), PPH (Desirable
Dietary Pattern) adalah komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi
dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. PPH pertama kali
diperkenalkan oleh FAO-RAPA pada tahun 1988, yang kemudian dikembangkan
oleh Departemen Pertanian Republik Indonesia. Dengan pendekatan PPH dapat
dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangannya (dietary score).
Semakin tinggi skor mutu pangan, menunjukkan situasi pangan yang semakin
beragam dan semakin baik komposisi dan mutu gizinya. Secara umum rumus
yang digunakan untuk menghitung skor PPH adalah sebagai berikut:
SPPH = ∑ (TKEi x Ri)
Keterangan :
SPPH
TKEi
Ri
= Skor Pola Pangan Harapan
= Tingkat kecukupan energi (%) kelompok pangan ke-i
= Rating untuk kelompok pangan ke-i
Tujuan PPH adalah untuk menghasilkan suatu komposisi norma (standar)
pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi penduduk, sekaligus juga
mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutritional balance) yang didukung oleh
cita rasa (palatability), daya cerna (digestibility), daya terima masyarakat
(acceptability), kualitas dan kemampuan daya beli (affortability). PPH berguna
sebagai instrumen sederhana untuk menilai situasi ketersediaan konsumsi pangan
berupa jumlah dan komposisi pangan menurut jenis pangan secara agregat. PPH
dapat digunakan untuk perencanaan konsumsi dan ketersediaan pangan
(Hardinsyah et al. 2002). Sejumlah golongan bahan makanan yang tersusun secara
seimbang akan mampu memenuhi kebutuhan zat gizi. Golongan pangan tersebut
mencakup:
1. Padi-padian, meliputi beras, jagung, terigu, dan hasil olahannya.
2. Umbi-umbian atau pangan berpati, meliputi ubi kayu, ubi jalar, kentang,
talas, sagu, dan hasil olahannya.
3. Pangan hewani, meliputi ikan, daging, telur, susu, dan hasil olahannya.
4. Minyak dan lemak, meliputi minyak kelapa, minyak jagung, minyak
goreng/kelapa sawit, dan margarine.
5. Buah dan biji berminyak, meliputi mete, kelapa, kenari, kemiri, dan
cokelat.
6. Kacang-kacangan, meliputi kacang kedelai, kacang tanah, kacang tunggak,
kacang polong, kacang merah, kacang hijau, dan kacang lainnya.
7. Gula, meliputi gula pasir, gula merah/mangkok, dan sirup.
8. Sayuran dan buah-buahan, meliputi semua jenis sayuran dan buah-buahan.
9. Lain-lain, meliputi bumbu-bumbu.
10
Di Indonesia, PPH telah digunakan sebagai basis perencanaan dan
penilaian kecukupan gizi seimbang pada tingkat makro seperti pada tingkat negara
atau wilayah. Skor PPH juga telah dimasukkan dalam kebijakan pembangunan
pangan sebagai salah satu indikator output pembangunan pangan termasuk
evaluasi penyediaan pangan dan diversifikasi pangan. PPH memiliki keunggulan,
diantaranya: direkayasa sesuai perilaku konsumen dan produsen, sangat relevan
dengan tujuan ketahanan pangan, sesuai anjuran mutu gizi, memenuhi
diversifikasi pangan dan gizi, relatif mudah, dan terdapat keseimbangan
antarkelompok pangan (Hardinsyah et al. 2002).
Healty Eating Index (HEI)
Healty Eating Index (HEI) adalah instrumen yang digunakan untuk menilai
kualitas diet secara menyeluruh dan memonitor pola konsumsi pangan. HEI
merupakan alat ukur yang pertama kali dikembangkan oleh Center for Nutrition
Policy and Promotion USDA untuk mengukur kepatuhan konsumsi pangan yang
dihubungkan dengan angka kecukupan gizi berdasarkan piramida makanan
(USDA-CNPP 1995). Beberapa negara yang telah membuat HEI adalah Amerika,
Australia, dan Thailand. Indeks tersebut memiliki ciri masing-masing,
menyangkut jumlah dan jenis komponen yang diukur, serta pemberian skor pada
masing-masing komponen.
1. HEI Amerika
HEI-1995 adalah HEI pertama yang dibuat pada tahun 1995 oleh USDACNPP dengan menggunakan pedoman Dietary Guidelines for Americans.
Kegunaan dari HEI-1995 ini adalah untuk memonitor perubahan diet Amerika dan
mengukur kesesuaian diet Amerika dengan rekomendasi pola makan sehat. HEI
terdiri atas 10 komponen (Gambar 2) yaitu lima komponen pertama berdasarkan
lima kelompok pangan utama pada USDA Food Guide Pyramid 1992 yaitu
serealia, buah-buahan, sayuran, daging dan susu. Komponen ke-enam sampai
dengan 10 berdasarkan aspek yang tercantum dalam Dietary Guidelines for
American tahun 1995 yaitu lemak total, lemak jenuh, kolesterol, sodium dan
keragaman (USDA-CNPP 1995). Tabel 1 menunjukkan komponen HEI-1995 dan
skor masing-masing komponen
Gambar 2 Komponen HEI-1995
Kelebihan dari HEI-1995 adalah memasukkan aspek keragaman serta
mengukur lemak total dan kolesterol. Sementara itu, kekurangannya adalah tidak
membedakan kelompok pangan berdasarkan kategori “total” dan “whole”, tidak
11
memasukkan minyak dan SoFAAS (solid fat, alcohol, and added sugar), dan skor
ditentukan berdasarkan jumlah absolut (USDA-CNPP 1995).
Tabel 1 Komponen HEI-1995 dan skor masing-masing komponen
No
Komponen
0
1
Buah
0
2
Sayur
0
3
Serealia
0
4
Susu
0
5
Daging (dan kacang0
kacangan)
Natrium
≥ 4.8
Lemak jenuh
≥ 15
Lemak total
≥ 45
Kolesterol
≥ 450
Keragaman
≤6
6
7
8
9
10
5
Skor
8
Poin
10
2-4 takaran saji
(sekitar 1-2 gelas)
3-5 takaran saji
(sekitar 1.5-2.5 gelas)
6-11 takaran saji
(sekitar 6-11 oz eq)
2-3 takaran saji (2-3
gelas)
2-3 takaran saji
(sekitar 5.5-7.0 oz eq)
≤ 2.4 g
≤ 10% energi
≤ 30% energi
≤ 300 mg
≥ 16 makanan
berbeda selama 3 hari
HEI-2005 merupakan revisi dari HEI-1995 sehubungan dengan munculnya
Dietary Guidelines 2005 di Amerika. Revisi ini meliputi peningkatan aspek-aspek
penting dalam kualitas diet, seperti whole grains, berbagai jenis sayuran, jenis
spesifik lemak, dan pengenalan konsep discretionary calories. Tujuan dari
pengembangan HEI ini adalah mengembangkan alat ukur yang memiliki
kesesuaian dengan rekomendasi diet yaitu Dietary Guidelines for Americans 2005
(Guenther et al. 2007).
HEI-2005 memiliki 12 komponen, yaitu total buah; buah utuh (selain jus);
total sayur; sayuran berwarna hijau gelap dan orange, serta legumes; total serealia;
serealia utuh; susu (semua produk susu dan minuman kedelai); daging dan
kacang-kacangan (daging merah, daging unggas, ikan, telur, minuman selain
produk kedelai, kacang, dan seeds); minyak (minyak sayur dan lemak di dalam
ikan, kacang, dan seeds); lemak jenuh; sodium; dan kalori
PENGEMBANGAN INDEKS GIZI SEIMBANG BAGI WANITA
DEWASA INDONESIA
SILVIA MAWARTI PERDANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Indeks
Gizi Seimbang bagi Wanita Dewasa Indonesia adalah karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Silvia Mawarti Perdana
NIM I151114111
iv
RINGKASAN
SILVIA MAWARTI PERDANA. Pengembangan Indeks Gizi Seimbang bagi
Wanita Dewasa Indonesia. Dibimbing oleh HARDINSYAH dan EVY
DAMAYANTHI.
Penelitian ini bertujuan mengembangkan indeks gizi seimbang (IGS) bagi
wanita dewasa Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2010. Tujuan khusus
penelitian ini adalah untuk (1) menganalisis pola konsumsi pangan wanita dewasa
Indonesia, (2) mengembangkan beberapa alternatif IGS wanita dewasa Indonesia,
(3) memilih IGS yang paling valid pada wanita dewasa Indonesia, (4) menganalisis
faktor-faktor determinan IGS wanita dewasa Indonesia.
Penelitian ini menggunakan data konsumsi pangan hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2010 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Balitbangkes Kemenkes
RI). Pengumpulan data konsumsi pangan menggunakan metode food recall 1 x 24
jam dengan desain studi cross-sectional dan subjek wanita dewasa yang berjumlah
68486 orang berusia 19-55 tahun. Pengumpulan data di beberapa daerah oleh tim
pengumpul data Riskesdas dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2010. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Juni-November 2013 di Kampus IPB Dramaga, Bogor, Jawa
Barat. Studi ini menggunakan 61759 orang subjek wanita dewasa. Alternatif IGS
dikembangkan berdasarkan kelompok pangan/zat gizi, kuantitas, dan tiga sampai
empat tingkat skor. Mutu gizi konsumsi pangan (MGP) dari 16 zat gizi digunakan
sebagai standar dalam pengujian validitas IGS.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok pangan yang paling
banyak dikonsumsi adalah pangan karbohidrat dengan jumlah konsumsi sebesar
539.5 ± 216.2 g (99.9%), sedangkan kelompok pangan yang paling sedikit
dikonsumsi adalah buah, gula tambahan, dan susu dengan rata-rata konsumsi 31.0 ±
86.0 g (22.0%), 2.4 ± 12.5 g (7.6%), dan 3.1 ± 24.0 g (4.8%). Asupan semua zat
gizi, kecuali natrium, belum memenuhi kebutuhan gizi per hari. MGP wanita
dewasa di Indonesia masih tergolong kurang (44.0 ± 13.2). Alternatif IGS yang
dikembangkan didasarkan pada kelompok pangan/zat gizi dan kuantitas serta
tingkat skor, yang terdiri dari: IGS 3-50, IGS 3-60, IGS 3-61, IGS 3-83, IGS 3-105,
IGS 4-50, IGS 4-60, IGS 4-61, IGS 4-83, dan IGS 4-105. IGS 3-60 adalah indeks
gizi seimbang yang paling valid dan sederhana (korelasi koefisien dengan MGP
sebesar 0.70) yang dikembangkan berdasarkan tiga tingkat skor (nol, lima, dan 10)
dan enam kelompok pangan (pangan karbohidrat, protein hewani, protein nabati,
sayur, buah, dan susu), tanpa mempertimbangkan lemak total, lemak jenuh,
kolesterol, gula tambahan, dan natrium. Susu dimasukkan ke dalam komponen
penilaian karena mempertimbangkan manfaat yang sangat penting bagi wanita
dewasa. Skor rata-rata IGS 3-60 pada wanita dewasa adalah 31.0 ± 12.1.
IGS 3-60 dipengaruhi oleh status kawin, status ekonomi, pendidikan,
pekerjaan, dan usia. Wanita dewasa dengan status kawin 29% lebih tinggi memiliki
skor IGS 3-60 yang tinggi dibandingkan wanita yang tidak kawin. Status ekonomi
menengah hingga tinggi (kuintil 3, 4, dan 5) 39% lebih tinggi memiliki skor IGS 360 yang lebih tinggi dibandingkan status ekonomi rendah (kuintil 1 dan 2).
Pendidikan SMP dan SMA memiliki peluang masing-masing 17% dan 30%
v
memiliki skor IGS 3-60 lebih tinggi dibandingkan pendidikan SD. Pegawai negeri
dan wiraswasta/lainnya memiliki peluang masing-masing 11% dan 5% memiliki
skor IGS 3-60 lebih tinggi dibandingkan subjek yang tidak bekerja/sekolah. Wanita
berusia 30-49 tahun dan 50-55 tahun memiliki peluang masing-masing 23% dan
25% memiliki skor IGS 3-60 lebih tinggi dibandingkan wanita berusia 19-29 tahun.
IGS 3-60 yang dikembangkan berdasarkan tiga tingkat skor dan enam
kelompok pangan (pangan karbohidrat, lauk pauk, sayur, buah, dan susu) dapat
digunakan sebagai salah satu cara sederhana dalam mengevaluasi MGP wanita
dewasa Indonesia karena penilaian hanya didasarkan pada jumlah porsi kelompok
pangan/zat gizi yang dikonsumsi. IGS 3-105 mungkin bisa menjadi lebih valid
dibandingkan IGS 3-60 jika kandungan gizi pangan yang diperhitungkan lebih
lengkap (kolesterol, lemak jenuh, dan natrium) dari pangan Indonesia. Oleh karena
itu, diperlukan studi lebih lanjut.
Diperlukan promosi gizi seimbang untuk meningkatkan kualitas konsumsi
pangan bagi wanita dewasa Indonesia. Promosi gizi seimbang diperlukan, terutama
untuk konsumsi pangan hewani, sayur, dan buah.
Studi lanjutan dapat dilakukan dengan mengembangkan indeks gizi
seimbang untuk kelompok umur yang lain dengan cara menyesuaikan satuan porsi
sesuai kebutuhan gizinya; serta menganalisis hubungan skor IGS 3-60 dengan
outcome gizi dan kesehatan, seperti status gizi generasi yang dihasilkan.
Kata kunci: indeks gizi seimbang, mutu gizi konsumsi pangan, wanita dewasa
vi
SUMMARY
SILVIA MAWARTI PERDANA. Balanced Diet Index Development of Adult
Females in Indonesia. Supervised by HARDINSYAH and EVY DAMAYANTHI.
The objective of this study was to develop a balanced diet index (BDI) in
relation to nutritional quality of the diet (NQ) of adult females in Indonesia. The
specific objectives was (1) analyze food consumption pattern of Indonesia adult
females, (2) develop BDI alternatives of Indonesia adult females, (3) select the
most valid BDI of Indonesia adult females, (4) analyze determinant factors of BDI
of Indonesia adult females.
This study used food consumption data from the Basic Health Research
(Riskesdas) of 2010 collected by the Agency for Research and Health Development
of the Ministry of Health. The food consumption data were collected using 24-h
food recall method through a cross-sectional study design of 68486 adult females
19-55 years on May-August 2010. This study conducted on June-November 2013
in IPB Dramaga, Bogor, West Java. The final sample of this study was 61759 adult
females. Ten alternatives of balanced diet indexes (BDI) were developed based on
food groups, their intake, and three to four scoring system levels. The NQ of 16
nutrients was used as a gold standard in the validity testing.
The results showed that the most food group consumed was carbohydrate
food 539.5 ± 216.2 g (99.9%), whereas the least food groups consumed was the
fruit, added sugar, and milk with average consumption was 31.0 ± 86.0 g (22.0%),
2.4 ± 12.5 g (7.6%), and 3.1 ± 24.0 g (4.8%). The intake of all nutrients, except
sodium, did not meet the nutritional requirements per day. NQ of adult females in
Indonesia was still relatively less (44.0 ± 13.2). Alternatives of BDI was developed
based on the food groups/nutrients, quantity, and the score level, which consists of:
BDI 3-50, BDI 3-60, BDI 3-61, BDI 3-83, BDI 3-105, BDI 4-50 , BDI 4-60, BDI
4-61, BDI 4-83, and BDI 4-105. The simplest and the most valid measurement was
BDI 3-60 (correlation coefficients with the NQ 0.70) which is based on three levels
of scoring system (zero, five, and 10) and six food groups (carbohydrate food,
animal protein food, plant protein food, vegetable, fruit, and milk), without
considering fat, saturated fat, cholesterol, and sodium. The mean score of BDI 3-60
was 31.0 ± 12.1.
BDI 3-60 affected by marital status, economic status, education, occupation,
and age. Adult females who married had 29% higher scores of BDI 3-60 than
others. Medium to high economic status (quintiles 3, 4, and 5) had 39% higher
scores of BDI 3-60 than the low economic status (quintiles 1 and 2). Middle and
high school education had opportunities 17% and 30% higher scores of BDI 3-60
than elementary education, respectively. Civil servants and self-employed/others
had opportunities 11% and 5% higher scores of BDI 3-60 than subjects who did not
work/school, respectively. Females aged 30-49 years and 50-55 years had
opportunities 23% and 25% higher scores of BDI 3-60 than females aged 19-29
years, respectively.
BDI 3-60 which developed based on three levels of scores and six food
groups (carbohydrate food, animal protein food, plant protein food, vegetable, fruit,
and milk) can be used as a simple way of evaluating NQ of adult females in
vii
Indonesia because the assessment was based only on the number of servings of
food groups consumed/nutrients intake. BDI 3-105 might be more valid than BDI
3-60 if more complete calculation of nutrients (cholesterol, saturated fat, and
sodium) of Indonesian food.
Promotion of balanced diet necessary to improve the quality of food
consumption for adult females of Indonesia. Promotion of balanced diet is needed,
especially for the consumption of animal protein food, vegetables, and fruits.
Further study can be done by developing balanced diet index for other age
groups by adjusting the food servings with nutritional requirements; and analyze
the relationship between the score of BDI 3-60 with nutrition and health outcomes,
such as nutritional status of next generation .
Keywords: adult females, balanced diet index, nutritional quality of diet
viii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ix
PENGEMBANGAN INDEKS GIZI SEIMBANG BAGI WANITA
DEWASA INDONESIA
SILVIA MAWARTI PERDANA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Doddy Izwardy, MA
xi
Judul Tesis
Nama
NIM
: Pengembangan Indeks Gizi Seimbang bagi Wanita Dewasa
Indonesia
: Silvia Mawarti Perdana
: I151114111
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS
Ketua
Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
Judui Tesis
Pengembangan Indeks Gizi Seimbang bagi Wanita Dewasa
Indonesia
Silvia Mawarti Perdana
Nama
NfM
1151114111
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
ah MS
Ketua
Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dodik Briawan, MeN
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Lulus :
Tanggal Ujian :
1 B FEB 20':4
1 2 MAR Z0l4
xii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penulisan tesis yang berjudul
“Pengembangan Indeks Gizi Seimbang bagi Wanita Dewasa Indonesia” dilakukan
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program
Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof.
Dr. Ir. Hardinsyah, MS dan Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS selaku komisi
pembimbing atas arahan, masukan, kritikan, dan dorongan untuk menyelesaikan
tesis; Ir. Doddy Izwardy, MA selaku penguji luar komisi pada ujian tesis; dan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI yang
telah memberikan izin untuk menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2010.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas bantuan Beasiswa
Unggulan yang diberikan selama menjalani pendidikan di IPB. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik, Diki Sunaryo, SPt, dan Atika
Primadala Amrin, SGz, MSi atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2014
Silvia Mawarti Perdana
xiii
DAFTAR ISI
DAFAR TABEL ................................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xvi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xvi
PENDAHULUAN
Latar Belakang ............................................................................................. 1
Tujuan .......................................................................................................... 2
Manfaat ....................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA
Masalah Gizi Wanita ................................................................................... 3
Konsep Gizi Seimbang ................................................................................ 4
Indeks Gizi Seimbang (IGS)........................................................................ 6
Mutu gizi konsumsi pangan .................................................................... 6
Indeks keragaman makanan .................................................................... 7
PPH (Pola Pangan Harapan) ................................................................... 9
HEI (Healthy Eating Index) .................................................................... 10
HEI Amerika .................................................................................... 10
HEI Australia ................................................................................... 12
HEI Thailand .................................................................................... 14
Prinsip Pengembangan HEI ......................................................................... 15
Pengelompokan ...................................................................................... 15
Scoring system ....................................................................................... 15
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan HEI ............................................ 16
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................. 18
METODE
Desain, Waktu, dan Tempat ........................................................................ 21
Jumlah dan Cara Penarikan Subjek ............................................................. 21
Jenis dan Cara Pengumpulan Data .............................................................. 22
Pengolahan dan Analisis Data ..................................................................... 23
Definisi Operasional .................................................................................... 29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Sosial Ekonomi ...................................................................... 31
Status Gizi.................................................................................................... 32
Pola Konsumsi Pangan ................................................................................ 33
Alternatif Indeks Gizi Seimbang (IGS) ....................................................... 35
Pengujian Validitas IGS terhadap MGP ...................................................... 42
Faktor-faktor Determinan IGS..................................................................... 43
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ...................................................................................................... 45
Saran ............................................................................................................ 45
xiv
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 46
LAMPIRAN .......................................................................................................... 50
RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. 56
xv
DAFTAR TABEL
1
Komponen HEI-1995 dan skor masing-masing komponen ......................
11
2
Komponen HEI-2005 dan skor masing-masing komponen ......................
12
3
Komponen Aust-HEI dan skor masing-masing komponen ......................
13
4
Komponen THEI dan skor masing-masing komponen .............................
14
5
Jenis dan cara pengumpulan data ..............................................................
23
6
Kategori status gizi dewasa berdasarkan IMT ..........................................
24
7
Perhitungan kebutuhan energi wanita dewasa menurut status gizi ...........
25
8
Angka kecukupan zat gizi wanita dewasa berdasarkan usia .....................
26
9
Alternatif indeks gizi seimbang (IGS) ......................................................
27
10 Penilaian indeks gizi seimbang berdasarkan tiga kategori skor (IGS 3) ...
28
11 Penilaian indeks gizi seimbang berdasarkan empat kategori skor (IGS 4)
28
12 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik sosial ekonomi ........................
31
13 Sebaran status gizi subjek berdasarkan kelompok usia.............................
32
14
Konsumsi pangan (g) per kapita/hari dan tingkat partisipasi konsumsi
(%) pada wanita dewasa Indonesia ...........................................................
33
15 Asupan dan tingkat kecukupan gizi per kapita/hari pada wanita dewasa
menurut kelompok usia ............................................................................
34
16 Skor IGS 3-50 wanita dewasa menurut kelompok usia ................................. 35
17 Skor IGS 3-60 wanita dewasa menurut kelompok usia ............................... 36
18 Skor IGS 3-61 wanita dewasa menurut kelompok usia ................................. 37
19 Skor IGS 3-83 wanita dewasa menurut kelompok usia ................................. 37
20 Skor IGS 3-105 wanita dewasa menurut kelompok usia ............................... 38
21 Skor IGS 4-50 wanita dewasa menurut kelompok usia ................................. 38
22 Skor IGS 4-60 wanita dewasa menurut kelompok usia ................................. 39
23 Skor IGS 4-61 wanita dewasa menurut kelompok usia ................................. 40
24 Skor IGS 4-83 wanita dewasa menurut kelompok usia ................................. 40
25 Skor IGS 4-105 wanita dewasa menurut kelompok usia ............................... 41
26 Kategori MGP pada wanita dewasa menurut kelompok usia ..................
42
27 Uji korelasi Pearson hubungan skor IGS dengan mutu gizi pangan .........
42
28 Kategori skor IGS 3-60 pada wanita dewasa menurut kelompok usia ....... 43
xvi
29 Hasil uji regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi IGS 3-60
pada wanita dewasa ..................................................................................
44
DAFTAR GAMBAR
1 Tumpeng pedoman gizi seimbang ...............................................................
5
2 Komponen HEI-1995 ...................................................................................
10
3 Kerangka pemikiran pengembangan HEI pada wanita dewasa Indonesia ...... 19
4 Kerangka pemikiran faktor determinan HEI wanita dewasa Indonesia ............ 20
5 Alur cleaning data subjek penelitian................................................................. 22
DAFTAR LAMPIRAN
1 Cara pengumpulan data karakteristik, antropometri dan recall pangan
1x24 jam oleh tim Riskesdas 2010................................................................... 50
2 Kebutuhan zat gizi pada wanita dewasa menurut kelompok usia.................... 53
3 Berat badan, tinggi badan, dan IMT wanita dewasa menurut kelompok
usia ................................................................................................................... 53
4 Konsumsi pangan dan asupan gizi pada wanita dewasa menurut kelompok
usia per kapita/hari ........................................................................................... 54
5 Konsumsi pangan (g) dan tingkat partisipasi konsumsi (%) pada wanita
dewasa Indonesia yang mengonsumsi per kapita/hari ..................................... 55
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Negara berkembang menghadapi berbagai jenis transisi, salah satunya
transisi epidemiologi yang menimbulkan masalah gizi ganda (double burden of
communicable and non-communicable diseases) (Kapoor & Anand 2002).
Malnutrisi dan infeksi pada awal kehidupan akan meningkatkan risiko chronic
noncommunicable diseases (NCDs) di tahap kehidupan selanjutnya. Pada usia
dewasa, kombinasi NCDs dan penyakit infeksi dapat berdampak merugikan
(Bygbjerg 2012).
Hasil analisis Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa prevalensi kegemukan
pada wanita dewasa sebesar 32.9% pada tahun 2013 yang meningkat dari
sebelumnya 23.8% pada tahun 2007. Berdasarkan karakteristik, masalah
kegemukan cenderung lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di perkotaan,
berpendidikan lebih tinggi dan pada kelompok status ekonomi yang tertinggi pula
(Balitbangkes 2013).
Wanita dewasa perlu mendapat perhatian terhadap penanganan masalah
gizi ganda karena berperan penting dalam upaya pencegahan penyakit kronis bagi
dirinya dan generasi mendatang. Pemenuhan gizi secara optimal yang dilakukan
ibu selama masa 1000 hari pertama kehidupan (sejak janin dalam kandungan
sampai berusia dua tahun), selain memberi kesempatan bagi anak untuk hidup
lebih lama, lebih sehat, dan lebih produktif, juga menurunkan risiko anak
menderita penyakit degeneratif di usia dewasa. Teori Barker menyebutkan bahwa
gizi memiliki peranan penting dalam membentuk kehidupan. Masalah gizi yang
terjadi pada awal kehidupan anak akan berdampak pada kualitas sumberdaya
manusia. Status gizi dan keadaan kesehatan anak-anak sampai menjadi dewasa
dimulai dari wanita dewasa yang berperan penting dalam menyiapkan generasi
selanjutnya (Koletzko et al. 2011).
Diet merupakan faktor penting dalam pencegahan penyakit degeneratif
(obesitas, diabetes melitus tipe dua, hipertensi, dislipidemia, penyakit jantung
koroner, dan stroke) dan pemeliharaan kesehatan (WHO 2002; WHO 2003).
Bahan pangan dalam pola makan yang kompleks, contohnya sayur dan buah,
memiliki efek protektif yang potensial dalam pencegahan penyakit degeneratif,
seperti kanker, penyakit kardiovaskuler, diabetes melitus, stroke, dan obesitas
(Steinmetz & Potter 1996; Gerber 2001).
Studi yang dilakukan oleh Fung et al. (2004) menunjukkan bahwa pola
makanan barat, khususnya tinggi konsumsi daging yang diproses, dapat
meningkatkan risiko diabetes melitus tipe dua pada wanita. Terdapat bukti yang
cukup kuat, terutama dari studi observasi prospektif, bahwa pola makan yang
tinggi konsumsi buah, sayur, dan whole grains; rendah daging dan refined grains;
serta asupan sumber lemak yang sehat berperan dalam pencegahan CHD, stroke,
dan kanker kolorektal (Schulze & Hoffmann 2006; Miller et al. 2010).
Sejak tahun 1994, Kementerian Kesehatan RI telah mengeluarkan
Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Namun, dewasa ini PUGS belum
sepenuhnya diterapkan dalam pola makan atau diet sehari-hari sehingga
mengakibatkan masih tingginya masalah gizi ganda, khususnya pada kelompok
2
wanita dewasa. Saat ini, Kemenkes sedang menyempurnakan Pedoman Gizi
Seimbang. Penilaian pemenuhan gizi seimbang pada wanita dewasa sangat
diperlukan sebagai bagian upaya penanganan masalah gizi ganda.
Implikasi dari permasalahan di atas adalah diperlukannya Indeks Gizi
Seimbang (IGS) sebagai cara sederhana yang memenuhi kriteria validitas dan
reliabilitas untuk menilai gizi seimbang dalam diet wanita dewasa Indonesia. Hal
ini dilakukan sebagai upaya penanganan masalah gizi ganda mengingat di
Indonesia belum terdapat cara mengukur kualitas diet. Sementara itu, sejak tahun
1995 USDA (U.S. Department of Agriculture) sudah mengembangkan Healthy
Eating Index yang berpedoman pada Dietary Guidelines for Americans. Thailand
dan Australia pada tahun 2007 juga mengembangkan Healthy Eating Index yang
berpedoman pada Dietary Guidelines negara masing-masing. Sampai saat ini
belum ada kajian ilmiah yang membahas penilaian pemenuhan gizi seimbang pada
wanita dewasa.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengembangkan Indeks Gizi Seimbang (IGS) bagi
wanita dewasa Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2010, sedangkan secara
khusus bertujuan:
1. Menganalisis pola konsumsi pangan wanita dewasa Indonesia
2. Mengembangkan beberapa alternatif IGS wanita dewasa Indonesia
3. Memilih IGS yang paling valid pada wanita dewasa Indonesia
4. Menganalisis faktor-faktor determinan IGS wanita dewasa Indonesia
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pola
konsumsi pangan wanita dewasa Indonesia. Selain itu IGS dari hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi cara sederhana dalam mengukur kualitas diet dan
memonitor pola konsumsi pangan wanita dewasa Indonesia yang disesuaikan
dengan pedoman gizi seimbang serta memberikan informasi mengenai faktorfaktor determinan dari IGS wanita dewasa Indonesia.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Masalah Gizi Wanita
Negara berkembang sudah mulai menghadapi masalah kesehatan
masyarakat yang berhubungan dengan masalah gizi ganda (kombinasi antara
penyakit infeksi dan penyakit degeneratif). Prevalensi penyakit degeneratif
meningkat dengan cepat di berbagai negara, termasuk negara berkembang.
Kelompok usia dewasa (20-64 tahun) sebanyak lebih dari 15 juta orang
mengalami kematian setiap tahun, yang sebagian besar dapat dicegah (WHO
1998). Pada tahun 2001, penyakit degeneratif memiliki kontribusi kira-kira 60%
dari 56.5 juta total kematian yang dilaporkan di dunia dan kira-kira 46% dari
beban penyakit secara global. Prevalensi non-communicable diseases diperkirakan
meningkat hingga 57% pada tahun 2020. Hampir separuh dari kematian akibat
penyakit degeneratif disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler (penyakit jantung
koroner dan stroke). Sementara itu, obesitas dan diabetes juga menunjukkan
kecenderungan yang mengkhawatirkan, bukan hanya karena sudah mempengaruhi
populasi dalam jumlah besar, tetapi juga sudah memasuki tahap awal kehidupan
(WHO 2003).
Di negara berkembang, prevalensi penyakit degeneratif semakin
meningkat karena adopsi dari gaya hidup barat yang diikuti dengan beberapa
faktor risiko. Faktor risiko dari masalah gizi ganda tersebut secara global terdiri
dari: underweight; seks tidak aman; tekanan darah tinggi; perilaku merokok;
konsumsi alkohol; sanitasi, higiene, dan air yang tidak bersih dan aman; defisiensi
zat besi; polusi; asupan kolesterol tinggi; dan obesitas. Tekanan darah dan
kolesterol darah yang tinggi berhubungan erat dengan meningkatnya konsumsi
lemak, gula, dan garam. Hal ini menjadi semakin berbahaya, jika digabungkan
dengan perilaku merokok dan konsumsi alkohol yang berlebihan sebagai
penyebab dari timbulnya kanker, penyakit jantung, stroke, dan penyakit
degeneratif lainnya (WHO 2002).
Transisi gizi ke arah pola penyakit degeneratif terjadi secara pesat di
negara berkembang. Data di negara Cina yang ditunjukkan oleh China Health and
Nutrition Survey menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1993 terjadi
peningkatan orang dewasa yang mengonsumsi diet tinggi lemak dari 22.8%
menjadi 66.6%. Salah satu konsekuensi dari transisi gizi adalah menurunnya
undernutrition yang diikuti dengan meningkatnya obesitas (Popkin 2001).
Studi yang dilakukan oleh Subramanian et al. (2009) menunjukkan bahwa
meskipun rasio underweight terhadap overweight pada wanita India menurun dari
3.3 pada tahun 1998-1999 menjadi 2.2 pada tahun 2005-2006, masih terdapat
jumlah wanita underweight yang lebih banyak dibandingkan wanita overweight.
Hanya pada kelompok wanita dengan ekonomi dan pendidikan yang tinggi,
terdapat jumlah wanita overweight yang lebih banyak dibandingkan wanita
underweight. Hasil studi ini mendukung penelitian terdahulu yang menyatakan
bahwa underweight berhubungan terbalik dengan keadaan sosial ekonomi dan
keadaan sosial ekonomi berhubungan positif dengan pre-overweight, overweight,
dan obesitas (Subramanian & Smith 2006). Hasil berbeda ditunjukkan oleh
Mendez et al. (2005) yang menyatakan di banyak negara berkembang (khususnya
4
dengan tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi), prevalensi overweight pada
wanita berusia 20-49 tahun, baik di pedesaan maupun perkotaan, lebih tinggi
dibandingkan wanita underweight. Di Asia dan Afrika, prevalensi overweight
masih rendah tetapi kejadian ini cukup tinggi di daerah perkotaan. Penyebab
utamanya adalah transisi gizi menjadi diet tinggi lemak dan berkurangnya
aktivitas fisik.
Kasus diabetes pada dewasa akan meningkat menjadi dua kali lipat secara
global, dari 143 juta pada tahun 1997 menjadi 300 juta pada tahun 2025 yang
disebabkan oleh faktor diet dan gaya hidup yang lain (WHO 1998). Meskipun
terdapat bukti bahwa obesitas adalah faktor risiko penting terhadap kejadian
diabetes melitus tipe dua, bukti lain menunjukkan bahwa makanan tertentu dan
faktor pola makan memiliki hubungan dengan kejadian diabetes melitus. Risiko
terjadinya diabetes pada wanita karena mengonsumsi makanan dengan pola
makan barat (khususnya tinggi konsumsi daging yang diproses) adalah 1.49 (Fung
et al. 2004).
Hasil analisis Riskesdas 2007 menyebutkan bahwa non-communicable
disease (59.5%) merupakan penyebab mortalitas tertinggi pada seluruh kelompok
usia. Tiga penyakit degeneratif dengan prevalensi tertinggi, terdiri atas: stroke
(26.9%), hipertensi (12.3%), dan diabetes mellitus (10.2%). Sementara itu,
penyakit degeneratif dengan prevalensi tertinggi pada wanita berusia 15-44 tahun
dan 45-54 tahun adalah penyakit hati (9.6%) dan diabetes melitus (16.3%)
(Balitbangkes 2007).
Studi cross-sectional di 57 negara dengan pendapatan rendah hingga
menengah yang dilakukan oleh Corsi et al. (2011) menunjukkan bahwa terdapat
korelasi negatif yang kuat antara kecenderungan menjadi underweight dan
overweight di tingkat global (r=-0.79) dan antar negara (r=-0.51) dengan status
sosial ekonomi. Sementara itu, di tingkat global korelasi underweight dan
overweight pada wanita berusia 25-49 tahun di negara dengan pendapatan rendah
hingga menengah bernilai -0.78.
Usia, jenis kelamin, dan genetik merupakan faktor yang tidak dapat
dimodifikasi dalam kejadian penyakit kronis. Sementara itu, beberapa risiko
lainnya yang dapat dimodifikasi terdiri atas faktor perilaku (diet, aktivitas fisik,
perilaku merokok, dan konsumsi alkohol); faktor biologi (dislipidemia, hipertensi,
overweight, hiperinsulinemia); serta faktor sosial (sosial ekonomi, budaya, dan
lingkungan) (WHO 2003). Diet diketahui memegang peranan dalam faktor risiko
terjadinya penyakit kronis. Makanan berbasis nabati saat ini telah digantikan oleh
makanan hewani yang tinggi lemak dan energi. Bahan pangan seperti daging,
kentang, dan serealia memiliki korelasi positif dengan risiko terjadinya kanker
kolorektal pada wanita (OR = 2.20, 95% CI = 1.08–4.50) (Miller et al. 2010).
Konsep Gizi Seimbang
Slogan “empat sehat lima sempurna” yang diciptakan tahun 1950-an
memiliki tujuan membuat kebiasaan makan masyarakat akan semakin sehat
sehingga berbagai masalah kesehatan, baik karena kekurangan maupun kelebihan
5
gizi, dapat dicegah dan dikurangi. Namun pada kenyataannya, hal ini tidak
terwujud baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Pada tahun 1992
diselenggarakan kongres gizi internasional di Roma yang membahas pentingnya
gizi seimbang untuk menghasilkan manusia yang berkualitas. Salah satu
rekomendasi kongres tersebut adalah anjuran kepada setiap negara untuk
menyusun Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) (Depkes 2005).
Depkes melalui Direktorat Bina Gizi Masyarakat pada tahun 1994 telah
mengeluarkan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Tujuan PUGS adalah
sebagai alat untuk memberikan penyuluhan pangan dan gizi kepada masyarakat
luas, dalam rangka memasyarakatkan gizi seimbang. Yayasan Institut Danone
(2010) mendefinisikan gizi seimbang sebagai susunan makanan sehari-hari yang
mengandung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan
tubuh, dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman atau variasi makanan,
aktivitas fisik, kebersihan, dan berat badan ideal. Visualisasi prinsip gizi seimbang
di berbagai negara disesuaikan dengan budaya dan pola makan setempat.
Gambar 1 Tumpeng pedoman gizi seimbang (Depkes 2005)
Terdapat beberapa alasan penggantian slogan “empat sehat lima
sempurna” dengan pedoman gizi seimbang. Pertama, susunan makanan yang
terdiri atas empat kelompok belum tentu sehat, bergantung pada porsi dan jenis zat
gizinya apakah telah sesuai dengan kebutuhan sedangkan PGS, selain jenis
makanan ditekankan pula proporsi yang berbeda pada setiap kelompok. PGS juga
mencakup aspek kebersihan makanan, aktivitas fisik, dan kaitannya dengan pola
hidup sehat yang lain. Kedua, susu bukan makanan sempurna. Susu adalah sumber
protein hewani yang juga terdapat pada telur, ikan dan daging. Oleh karena itu,
susu ditempatkan dalam satu kelompok dengan sumber protein hewani yang lain.
Ketiga, slogan “empat sehat lima sempurna”yang dipopulerkan oleh Bapak Gizi
Indonesia Prof. Poerwo Soedarmo dan dianggap relevan pada zamannya, sejak
tahun 1990-an dianggap tak sesuai lagi dengan perkembangan iptek gizi (Yayasan
Institut Danone 2010).
PUGS memuat 13 pesan dasar yang diharapkan dapat digunakan
masyarakat sebagai pedoman untuk mengatur makanan sehari-hari yang seimbang
dan aman guna mencapai dan mempertahankan status gizi dan kesehatan yang
optimal. Pesan dasar tersebut meliputi: (1) makanlah aneka ragam makanan; (2)
makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi; (3) makanlah makanan
6
sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi; (4) batasi konsumsi lemak
dan minyak sampai seperempat dari kebutuhan energi; (5) gunakan garam
beryodium; (6) makanlah makanan sumber zat besi; (7) berikan ASI saja kepada
bayi sampai umur enam bulan dan tambahkan MP-ASI sesudahnya; (8) biasakan
makan pagi; (9) minumlah air bersih yang aman dan cukup jumlahnya; (10)
lakukan aktivitas fisik secara teratur; (11) hindari minum minuman berakohol;
(12) makanlah makanan yang aman bagi kesehatan; dan (13) bacalah label
makanan yang dikemas (Depkes 2005).
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan, pasal 60 sampai 62 menjelaskan bahwa penganekaragaman
konsumsi pangan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan
membudayakan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman
serta sesuai dengan potensi dan kearifan lokal yang dilakukan melalui peningkatan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi aneka ragam pangan
dengan prinsip gizi seimbang. Tercapainya penganekaragaman konsumsi Pangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 diukur melalui pencapaian nilai komposisi
pola pangan dan gizi seimbang. Gizi seimbang yang dimaksud dalam UU
Kesehatan No 36 Tahun 2009 didefinisikan sebagai asupan gizi sesuai kebutuhan
seseorang untuk mencegah risiko gizi lebih dan gizi kurang. Hasil analisis
Riskesdas 2010 menyatakan bahwa masalah gizi yang ada di masyarakat berkaitan
dengan masalah asupan zat gizi yang tidak seimbang. Kontribusi konsumsi
karbohidrat terhadap konsumsi energi adalah 61%, sedikit diatas angka yang
dianjurkan PUGS. Kontribusi protein terhadap konsumsi energi hanya 13.3% dan
kontribusi konsumsi lemak terhadap energi sebesar 25.6% (lebih dari anjuran
PUGS).
Indeks Gizi Seimbang
Saat ini belum terdapat alat ukur gizi seimbang secara spesifik, khususnya
di Indonesia. Beberapa alat ukur kualitas diet yang telah dikembangkan hingga
saat ini, yaitu Mutu Gizi Konsumsi Pangan (MGP), Indeks Keragaman Makanan,
Pola Pangan Harapan (PPH), dan Healthy Eating Index (HEI) dari beberapa
negara.
Mutu Gizi Konsumsi Pangan (MGP)
Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2012, pangan adalah segala sesuatu yang
berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,
peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau
minuman. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan
dan kandungan gizi pangan.
Konsep mutu gizi yang semula diartikan sebagai kandungan zat gizi
pangan, berubah menjadi tingkat kecukupan semua zat gizi (nutrient adequacy),
7
yaitu persentase asupan zat gizi terhadap kecukupan atau kebutuhannya.
Kandungan gizi pangan merupakan salah satu ukuran mutu gizi pangan.
Perhitungan kandungan gizi pangan dilakukan dengan menggunakan Daftar
Komposisi Bahan Makanan (DKBM) yang menunjukkan berbagai kandungan zat
gizi dari bahan pangan dalam 100 g bagian yang dapat dimakan (BDD). Asupan
zat gizi tertentu per hari yang diperoleh dari mengonsumsi aneka makanan adalah
penjumlahan dari zat gizi yang sama yang diperoleh dari aneka makanan tersebut
(Hardinsyah & Atmojo 2000). Konsep serupa juga digunakan oleh Jadhav dan
Vali (2010) dalam mengukur mutu gizi pangan/kombinasi beberapa pangan yang
dinyatakan sebagai rasio asupan zat gizi terhadap kebutuhan/kecukupan zat gizi.
Setelah diperoleh kandungan zat gizi tertentu dalam bahan pangan,
kemudian dihitung tingkat kecukupan zat gizi tersebut. Penggunaan nilai tingkat
kecukupan gizi lebih rasional dan mudah digunakan untuk menghitung mutu gizi
makanan (Hardinsyah & Atmojo 2000). Selanjutnya perhitungan MGP dapat
dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
MGP =
Keterangan :
MGP
= Mutu Gizi Pangan
TKGi
= Tingkat kecukupan zat gizi ke-i, yaitu (konsumsi zat gizi ke-i/kecukupan
zat gizi ke-i) x 100
n
= Jumlah zat gizi yang dipertimbangkan dalam penilaian MGP
Hardinsyah (1998) mengembangkan sistem skor makanan untuk penilaian
mutu gizi makanan (MGM) ibu hamil dan anak batita secara cepat dan sederhana
di masyarakat. Studi tersebut menunjukkan bahwa dari empat alternatif skor
makanan, terpilih SM63 yang terdiri dari enam kelompok pangan utama (makanan
pokok, pangan hewani, tahu dan tempe, sayur, buah, dan susu) dan tiga tingkat
skor (nol, satu, dan dua) sebagai skor makanan paling sederhana dan valid sebagai
penduga sederhana MGM pada ibu hamil dan batita.
Penilaian MGP memiliki keunggulan dari segi gizi dan statistik, yaitu
karena zat gizi di dalam tubuh digunakan secara interaktif bukan secara parsial,
sehingga cara ini dapat menghasilkan satu nilai yang dengan mudah dapat
dibandingkan dan dianalisis. Selain itu, MGP yang merupakan peubah kontinyu
dapat menghasilkan nilai rataan, median, dan standar deviasi, serta dapat
digunakan pada analisis regresi. Sementara itu, terdapat dua hal yang harus
dipertimbangkan dalam penilaian MGP, yaitu jumlah dan jenis zat gizi yang perlu
dipertimbangkan serta metode pengumpulan data konsumsi pangan yang
sebaiknya digunakan (Hardinsyah & Atmojo 2000).
Indeks Keragaman Makanan
Keragaman makanan dalam diet merupakan indikator penting dalam
ketahanan pangan. Sebanyak 12 kelompok pangan digunakan untuk membuat
HDDS (Household Dietary Diversity Score), yaitu sereal; umbi-umbian; sayur;
buah; daging; telur; ikan; kacang-kacangan; susu; lemak dan minyak; gula;
bumbu, minuman, dan lainnya. Sementara itu, untuk IDDS (Individual Dietary
Diversity Score) terdiri atas 14 kelompok pangan, yaitu sereal; umbi dan sayur
8
kaya vitamin A; umbi-umbian; sayuran berdaun hijau; sayuran lain; buah kaya
vitamin A; buah lain; organ meat; flesh meat; telur; ikan; kacang-kacangan; susu
dan produk susu; minyak dan lemak (FAO 2007).
Drescher et al. (2007) mengembangkan indikator keragaman makanan
sehat yang mempertimbangkan tiga aspek penting, yaitu jumlah, distribusi, dan
nilai kesehatan makanan yang dikonsumsi. Aspek keragaman makanan secara
internasional diterima sebagai rekomendasi untuk diet yang sehat, karena
dihubungkan dengan dampak kesehatan yang positif seperti mengurangi kejadian
kanker atau mortalitas. Pengukuran keragaman makanan dalam konsumsi individu
membutuhkan alat ukur yang tepat. Ukuran kuantitatif yang menghitung jumlah
jenis makanan dan kelompok pangan yang dikonsumsi sering diterapkan.
Perbandingan dengan Berry-Index dan Count-Index menunjukkan bahwa Healthy
Food Diversity lebih sesuai untuk merefleksikan keragaman makanan yang sehat.
Ukuran untuk mengevaluasi keragaman yang meliputi distribusi jenis
makanan berbeda adalah Berry-Index. Indeks ini diterapkan terutama dalam studi
keragaman pangan ekonomi. Katanoda et al. (2006) menerapkan Berry-Index atau
Simpson-Index untuk mengukur keragaman diet dan perubahan per tahunnya di
Jepang. Berry-Index (BI) didefinisikan sebagai 1-∑si2, dimana si adalah
pembagian produk i dalam jumlah total makanan yang dikonsumsi. Nilai indeks
berkisar dari 0 hingga 1-1/n, sehingga BI = 0 mengindikasikan individu hanya
mengonsumsi 1 produk makanan dan BI = 1-1/n menggambarkan situasi individu
mengonsumsi pembagian yang sama dari semua produk. Nilai indeks tertinggi
didefinisikan sebagai individu mengonsumsi pembagian kelompok pangan yang
direkomendasikan.
Pengembangan keragaman makanan sehat didasarkan pada Berry-Index
sehingga indeks akan meningkat jika distribusi makanan terdiri atas produk yang
lebih sehat. Berdasarkan piramida makanan, pembagian ini dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu 73% makanan nabati, 25% makanan hewani, serta 2% lemak dan
minyak. Konstruksi akhir dari indeks keragaman makanan sehat diperoleh dengan
mengkombinasikan health value (hv = ∑hfi . si) dan keragaman makanan BI = (1∑si2). Healthy Food Diversity (HFD)-Index didefinisikan sebagai HFD = (1-∑si2) hv.
Penetapan American food guidelines (MyPyramid) sebagai dasar penyusunan
HFD-Index akan memberikan hasil yang lebih baik karena memberikan perhatian
pada produk susu rendah lemak. Pengembangan indikator keragaman makanan
sehat bergantung pada pedoman gizi yang digunakan untuk distribusi makanan
yang optimal (Drescher et al. 2007).
Kant et al. (1993) membuat skor keragaman makanan yang menghitung
jumlah kelompok makanan yang dikonsumsi sehari-hari, seperti: susu, daging,
serealia, buah, dan sayur. Nilai satu poin diberikan untuk masing-masing
kelompok makanan yang dikonsumsi, sehingga skor maksimum adalah lima.
Drewnowski et al. (1997) mengembangkan skor keragaman diet yang didasarkan
pada jumlah kumulatif dari 164 makanan berbeda yang dikonsumsi selama
periode 15 hari. Dalam indeks kualitas diet internasional, Kim et al. (2003)
mengintegrasikan komponen keragaman makanan yang dievaluasi dengan dua
cara, yaitu keseluruhan keragaman makanan dikumpulkan melalui jumlah lima
kelompok makanan berbeda yang dikonsumsi setiap hari dan keragaman sumber
protein yang diukur melalui jumlah sumber protein berbeda. Semua indeks
9
keragaman berfokus pada penghitungan kelompok dan sub-kelompok makanan
berbeda, tetapi distribusi kuantitas makanan tersebut tidak diperhitungkan.
Pola Pangan Harapan (PPH)
Pendekatan yang dikenal selama ini untuk perencanaan penyediaan pangan
dalam pembangunan pangan ada dua macam, yaitu pendekatan kecenderungan
(trend) konsumsi/permintaan dan pendekatan kecenderungan produksi. Salah satu
pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis situasi ketersediaan maupun
konsumsi pangan wilayah adalah analisis pola pangan harapan (PPH). Menurut
FAO-RAPA (1989) diacu dalam Hardinsyah et al. (2002), PPH (Desirable
Dietary Pattern) adalah komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi
dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. PPH pertama kali
diperkenalkan oleh FAO-RAPA pada tahun 1988, yang kemudian dikembangkan
oleh Departemen Pertanian Republik Indonesia. Dengan pendekatan PPH dapat
dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangannya (dietary score).
Semakin tinggi skor mutu pangan, menunjukkan situasi pangan yang semakin
beragam dan semakin baik komposisi dan mutu gizinya. Secara umum rumus
yang digunakan untuk menghitung skor PPH adalah sebagai berikut:
SPPH = ∑ (TKEi x Ri)
Keterangan :
SPPH
TKEi
Ri
= Skor Pola Pangan Harapan
= Tingkat kecukupan energi (%) kelompok pangan ke-i
= Rating untuk kelompok pangan ke-i
Tujuan PPH adalah untuk menghasilkan suatu komposisi norma (standar)
pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi penduduk, sekaligus juga
mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutritional balance) yang didukung oleh
cita rasa (palatability), daya cerna (digestibility), daya terima masyarakat
(acceptability), kualitas dan kemampuan daya beli (affortability). PPH berguna
sebagai instrumen sederhana untuk menilai situasi ketersediaan konsumsi pangan
berupa jumlah dan komposisi pangan menurut jenis pangan secara agregat. PPH
dapat digunakan untuk perencanaan konsumsi dan ketersediaan pangan
(Hardinsyah et al. 2002). Sejumlah golongan bahan makanan yang tersusun secara
seimbang akan mampu memenuhi kebutuhan zat gizi. Golongan pangan tersebut
mencakup:
1. Padi-padian, meliputi beras, jagung, terigu, dan hasil olahannya.
2. Umbi-umbian atau pangan berpati, meliputi ubi kayu, ubi jalar, kentang,
talas, sagu, dan hasil olahannya.
3. Pangan hewani, meliputi ikan, daging, telur, susu, dan hasil olahannya.
4. Minyak dan lemak, meliputi minyak kelapa, minyak jagung, minyak
goreng/kelapa sawit, dan margarine.
5. Buah dan biji berminyak, meliputi mete, kelapa, kenari, kemiri, dan
cokelat.
6. Kacang-kacangan, meliputi kacang kedelai, kacang tanah, kacang tunggak,
kacang polong, kacang merah, kacang hijau, dan kacang lainnya.
7. Gula, meliputi gula pasir, gula merah/mangkok, dan sirup.
8. Sayuran dan buah-buahan, meliputi semua jenis sayuran dan buah-buahan.
9. Lain-lain, meliputi bumbu-bumbu.
10
Di Indonesia, PPH telah digunakan sebagai basis perencanaan dan
penilaian kecukupan gizi seimbang pada tingkat makro seperti pada tingkat negara
atau wilayah. Skor PPH juga telah dimasukkan dalam kebijakan pembangunan
pangan sebagai salah satu indikator output pembangunan pangan termasuk
evaluasi penyediaan pangan dan diversifikasi pangan. PPH memiliki keunggulan,
diantaranya: direkayasa sesuai perilaku konsumen dan produsen, sangat relevan
dengan tujuan ketahanan pangan, sesuai anjuran mutu gizi, memenuhi
diversifikasi pangan dan gizi, relatif mudah, dan terdapat keseimbangan
antarkelompok pangan (Hardinsyah et al. 2002).
Healty Eating Index (HEI)
Healty Eating Index (HEI) adalah instrumen yang digunakan untuk menilai
kualitas diet secara menyeluruh dan memonitor pola konsumsi pangan. HEI
merupakan alat ukur yang pertama kali dikembangkan oleh Center for Nutrition
Policy and Promotion USDA untuk mengukur kepatuhan konsumsi pangan yang
dihubungkan dengan angka kecukupan gizi berdasarkan piramida makanan
(USDA-CNPP 1995). Beberapa negara yang telah membuat HEI adalah Amerika,
Australia, dan Thailand. Indeks tersebut memiliki ciri masing-masing,
menyangkut jumlah dan jenis komponen yang diukur, serta pemberian skor pada
masing-masing komponen.
1. HEI Amerika
HEI-1995 adalah HEI pertama yang dibuat pada tahun 1995 oleh USDACNPP dengan menggunakan pedoman Dietary Guidelines for Americans.
Kegunaan dari HEI-1995 ini adalah untuk memonitor perubahan diet Amerika dan
mengukur kesesuaian diet Amerika dengan rekomendasi pola makan sehat. HEI
terdiri atas 10 komponen (Gambar 2) yaitu lima komponen pertama berdasarkan
lima kelompok pangan utama pada USDA Food Guide Pyramid 1992 yaitu
serealia, buah-buahan, sayuran, daging dan susu. Komponen ke-enam sampai
dengan 10 berdasarkan aspek yang tercantum dalam Dietary Guidelines for
American tahun 1995 yaitu lemak total, lemak jenuh, kolesterol, sodium dan
keragaman (USDA-CNPP 1995). Tabel 1 menunjukkan komponen HEI-1995 dan
skor masing-masing komponen
Gambar 2 Komponen HEI-1995
Kelebihan dari HEI-1995 adalah memasukkan aspek keragaman serta
mengukur lemak total dan kolesterol. Sementara itu, kekurangannya adalah tidak
membedakan kelompok pangan berdasarkan kategori “total” dan “whole”, tidak
11
memasukkan minyak dan SoFAAS (solid fat, alcohol, and added sugar), dan skor
ditentukan berdasarkan jumlah absolut (USDA-CNPP 1995).
Tabel 1 Komponen HEI-1995 dan skor masing-masing komponen
No
Komponen
0
1
Buah
0
2
Sayur
0
3
Serealia
0
4
Susu
0
5
Daging (dan kacang0
kacangan)
Natrium
≥ 4.8
Lemak jenuh
≥ 15
Lemak total
≥ 45
Kolesterol
≥ 450
Keragaman
≤6
6
7
8
9
10
5
Skor
8
Poin
10
2-4 takaran saji
(sekitar 1-2 gelas)
3-5 takaran saji
(sekitar 1.5-2.5 gelas)
6-11 takaran saji
(sekitar 6-11 oz eq)
2-3 takaran saji (2-3
gelas)
2-3 takaran saji
(sekitar 5.5-7.0 oz eq)
≤ 2.4 g
≤ 10% energi
≤ 30% energi
≤ 300 mg
≥ 16 makanan
berbeda selama 3 hari
HEI-2005 merupakan revisi dari HEI-1995 sehubungan dengan munculnya
Dietary Guidelines 2005 di Amerika. Revisi ini meliputi peningkatan aspek-aspek
penting dalam kualitas diet, seperti whole grains, berbagai jenis sayuran, jenis
spesifik lemak, dan pengenalan konsep discretionary calories. Tujuan dari
pengembangan HEI ini adalah mengembangkan alat ukur yang memiliki
kesesuaian dengan rekomendasi diet yaitu Dietary Guidelines for Americans 2005
(Guenther et al. 2007).
HEI-2005 memiliki 12 komponen, yaitu total buah; buah utuh (selain jus);
total sayur; sayuran berwarna hijau gelap dan orange, serta legumes; total serealia;
serealia utuh; susu (semua produk susu dan minuman kedelai); daging dan
kacang-kacangan (daging merah, daging unggas, ikan, telur, minuman selain
produk kedelai, kacang, dan seeds); minyak (minyak sayur dan lemak di dalam
ikan, kacang, dan seeds); lemak jenuh; sodium; dan kalori