Pengaruh Pemberlakuan Kebijakan Bea Keluar Terhadap Produksi Biji Kakao Dan Ekspor Produk Kakao Indonesia

PENGARUH PEMBERLAKUAN KEBIJAKAN BEA KELUAR
TERHADAP PRODUKSI BIJI KAKAO DAN EKSPOR
PRODUK KAKAO INDONESIA

RIDWAN UMAR HANAFI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Pemberlakuan
Kebijakan Bea Keluar terhadap Produksi Biji Kakao dan Ekspor Produk Kakao
Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Ridwan Umar Hanafi
NIM H351150486

RINGKASAN
RIDWAN UMAR HANAFI. Pengaruh Pemberlakuan Kebijakan Bea Keluar
terhadap Produksi Biji Kakao dan Ekspor Produk Kakao Indonesia. Dibimbing oleh
HARIANTO dan NETTI TINAPRILLA.
Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan ekspor Indonesia dari sisi
subsektor perkebunan. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara eksportir
utama biji kakao dunia. Pasca diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan RI
No.67/PMK.011.2010 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea
Keluar dan Tarif Bea Keluar (BK), salah satunya terhadap biji kakao, terjadi
perubahan komposisi ekspor produk kakao Indonesia, dari sebelumnya didominasi
oleh biji kakao perlahan mulai didominasi oleh produk olahan kakao. Penerapan
Bea Keluar (BK) atau biasa juga disebut pajak ekspor bertujuan untuk mejamin
ketersedian bahan baku nasional serta peningkatan nilai tambah dan daya saing
industri pengolahan kakao dalam negeri. Di sisi lain juga diduga bahwa
pemberlakuan kebijakan bea keluar akan memengaruhi jumlah biji kakao yang

diproduksi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penerapan bea keluar
biji kakao terhadap produksi biji kakao nasional dan juga pengaruhnya terhadap
ekspor produk kakao Indonesia.
Penelitian ini menggunakan data sekunder, data time series dari tahun 19902014 yang bersumber dari Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjebun), Badan Pusat
Statistik (BPS), Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti),
World Bank, United Nations Commodity Trade (UN Comtrade), Kementerian
Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Selain itu data
penelitian juga dilengkapi dengan literatur yang berkaitan dengan topik penelitian.
Model ekonometrika yang digunakan dalam penelitian merupakan sistem
persamaan simultan yang terdiri dari 11 persamaan (9 persamaan struktural dan 2
persamaan identitas) dan diestimasi menggunakan metode Two Stage Least Squares
(2SLS). Program yang digunakan adalah Eviews 9.4 for Windows dan Microsoft
Excel 2016 untuk mengolah data dengan model persamaan simultan.
Faktor-faktor yang memengaruhi produksi biji kakao Indonesia berbeda-beda
menurut status pengusahaannya. Produksi biji kakao dari Perkebunan Rakyat secara
signifikan dipengaruhi oleh harga riil biji kakao domestik, luas lahan Perkebunan
Rakyat, upah riil tenaga kerja sektor perkebunan, produksi biji kakao Perkebunan
Rakyat tahun lalu dan bea keluar riil. Produksi biji kakao dari Perkebunan Besar
Negara secara signifikan dipengaruhi oleh harga riil biji kakao domestik dan luas
lahan Perkebunan Besar Negara. Produksi biji kakao dari Perkebunan Besar Swasta

secara signifikan dipengaruhi oleh luas lahan Perkebunan Besar Swasta, upah riil
tenaga kerja sektor perkebunan dan produksi biji kakao Perkebunan Besar Swasta
tahun lalu. Variabel bea keluar riil berpengaruh negatif namun tidak signifikan
terhadap produksi biji kakao Perkebunan Besar Swasta. Variabel bea keluar riil
berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap produksi biji kakao yang
dihasilkan dari Perkebunan Besar Negara.
Faktor-faktor yang memengaruhi penjualan biji kakao domestik secara
signifikan adalah harga riil biji kakao domestik, harga riil biji kakao internasional,
ekspor bubuk kakao Indonesia dan penjualan biji kakao domestik tahun lalu.

Faktor-faktor yang memengaruhi harga riil biji kakao domestik secara signifikan
adalah harga riil biji kakao internasional dan penjualan biji kakao domestik.
Faktor-faktor yang memengaruhi ekspor produk kakao Indonesia berbedabeda menurut kategori produk kakao yang diekspor. Ekspor biji kakao Indonesia
secara signifikan dipengaruhi oleh ekspor biji kakao Indonesia tahun lalu dan bea
keluar riil. Variabel bea keluar berpengaruh secara negatif terhadap ekspor biji
kakao Indonesia. Ekspor pasta kakao Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh
pertumbuhan GDP dunia, ekspor pasta kakao Indonesia tahun lalu dan bea keluar
riil. Ekspor lemak kakao Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh pertumbuhan
GDP dunia, ekspor lemak kakao Indonesia tahun lalu dan bea keluar riil. Ekspor
bubuk kakao Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh harga riil biji kakao

domestik, pertumbuhan GDP dunia, ekspor bubuk kakao Indonesia tahun lalu dan
penjualan biji kakao domestik. Variabel bea keluar berpengaruh secara positif
terhadap ekspor produk olahan kakao, pada bubuk kakao, bea keluar berpengaruh
positif meski tidak signifikan dalam memengaruhi ekspor bubuk kakao Indonesia.
Penghapusan bea keluar atau pajak ekspor biji kakao akan meningkatkan total
produksi biji kakao Indonesia dan ekspor biji kakao Indonesia, sedangkan di sisi
lain akan menurunkan penjualan biji kakao domestik dan ekspor produk olahan
kakao Indonesia. Pemberlakuan bea keluar memiliki hubungan positif dengan
peningkatan penjualan biji kakao domestik dan ekspor produk olahan kakao
Indonesia serta memiliki hubungan negatif dengan total produksi biji kakao
Indonesia dan ekspor biji kakao Indonesia.
Kata kunci : bea keluar, ekspor, kakao, persamaan simultan, produksi

SUMMARY
RIDWAN UMAR HANAFI. The Impact of Imposing Export Tax Policy on Cocoa
Beans Production and Indonesian Cocoa Products Export . Supervised by
HARIANTO and NETTI TINAPRILLA.
Cocoa is one of the leading commodity exports of Indonesia from the
plantation subsector. Indonesia itself is one of the world's main exporters of cocoa
beans. Post-enactment of the Finance Minister Regulation No.67 / PMK.011.2010

on Stipulation of Export Goods subjected Duty and Tariff (BK), one of the cocoa
beans, a change happened in the composition of exports of cocoa products
Indonesia, from the previously dominated by cocoa beans slowly came to be
dominated by processed cocoa products. Application of Levy (BK) or also called
the export tax aims to assure the availability of raw materials as well as to increase
the added value and competitiveness of the domestic cocoa processing industry. On
the other side it is also alleged that the imposition of tax policy will affect the
amount of cocoa beans production. This research aimed to analyze the impact of
applying export tax on cocoa bean to the national production of cocoa beans and
also Indonesia cocoa products export.
This research used secondary data, time series data from 1990-2014 were
sourced from the Directorate General of Plantation (Ditjebun), the Statistics Central
Agency (BPS), the Commodity FuturesTrading Regulatory Agency (Bappebti), the
World Bank, the United Nations Commodity Trade (UN Comtrade ), the Ministry
of Commerce (Kemendag) and the Ministry of Finance (Kemenkeu). Others
research data was also equipped with the literature that related with the research.
Econometric model used in the study was a system of simultaneous equations,
consisting of 11 equations (9 structural equations and 2 identity equations) and
estimated by Two Stage Least Squares (2SLS) method. This research used Eviews
9.4 for Windows and Microsoft Excel 2016 for data processing with simultaneous

equation model.
Factors that affected the production of Indonesian cocoa beans vary
depending on the status of the forestry sector. Cocoa beans production from
smallholder plantation were significantly affected by real price of domestic cocoa
beans, land area of plantation, real wages of labor plantation sector, lag production
of cocoa beans from smallholder plantation and the real export tax. Cocoa beans
production from country large plantation were significantly affected by real price
of domestic cocoa beans and land area of country large plantation. Cocoa beans
production from private large plantation were significantly affected by land area of
private large plantation, real wages of labor plantation sector and lag production of
cocoa beans from private large plantation. The real export tax had negative effect
but not significantly affected the cocoa beans production from private large
plantation. The export tax had positive effect but not significantly affected the cocoa
beans production from country large plantation.
Factors that affected the domestic cocoa beans sales significantly were real
price of domestic cocoa beans, real price of international cocoa beans, Indonesian
cocoa powder exports and lag of domestic cocoa beans sales. Factors that affected
the real price of domestic cocoa beans significantly were real price of international
cocoa beans and domestic cocoa beans sales.


Factors that affected the Indonesian cocoa products export vary depending on
the kind of cocoa products export. Indonesian cocoa beans export were significantly
affected by lag of Indonesian cocoa beans export and real export tax. The real export
tax had negative effect on Indonesian cocoa beans export. Indonesian cocoa paste
export were significantly affected by world GDP growth, lag of Indoneian cocoa
paste exports and the export tax. Indonesian cocoa butter export were significantly
affected by world GDP growth, lag of Indonesian cocoa butter export and real
export tax. Indonesian cocoa powder exports were significantly affected by real
price of domestic cocoa beans, world GDP growth, lag of Indonesian cocoa powder
export and domestic cocoa beans sales. The export tax had positive effect on exports
of processed cocoa products, instead on cocoa powder, export tax had positive
effetct but not significantly affected Indonesian cocoa powder export.
Erasing the export tax on cocoa beans will increase Indonesian cocoa beans
production and Indonesian cocoa beans export, while on the other hand it will lower
domestic cocoa beans sales and Indonesian processed cocoa products export.
Enforcement export tax has positive effect with increasing domestic cocoa beans
sales and Indonesian processed cocoa products export, while on the other hand it
has negative effect with Indonesian cocoa beans production and Indonesian cocoa
beans export.
Keywords: cocoa, export, export tax, production, simultaneous equations


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH PEMBERLAKUAN KEBIJAKAN BEA KELUAR
TERHADAP PRODUKSI BIJI KAKAO DAN EKSPOR
PRODUK KAKAO INDONESIA

RIDWAN UMAR HANAFI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada

Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr Ir Suharno, M.ADev

Penguji Wakil Program Studi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2016 ini ialah bea
keluar, dengan judul Pengaruh Pemberlakuan Kebijakan Bea Keluar terhadap
Produksi Biji Kakao dan Ekspor Produk Kakao Indonesia. Penulisan tugas akhir ini
ditujukan untuk memenuhi syarat dalam perolehan gelar Magister Sains pada

Program Studi Agribisnis di Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Harianto, MS selaku Ketua
Komisi Pembimbing dan Dr Ir Netti Tinaprilla, MM selaku anggota komisi
pembimbing yang di segala kesibukannya senantiasa membantu dan mengarahkan
penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Dr Ir Suharno, M. ADev atas kesediaannya menjadi penguji luar
komisi serta kepada ketua dan sekretaris Program Studi Magister Sains Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS dan Dr Ir
Suharno, M.ADev. Demikian juga ucapan terima kasih dan penghargaan penulis
sampaikan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis.
Ungkapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya penulis sampaikan
kepada kedua orang tua penulis, Bapak Sigit Wahyu Trijoko dan Ibu Siti Nuzuliyah,
serta adik penulis Sarah Nurjanah, atas segala doa, dukungan, semangat dan kasih
sayangnya.
Selain itu penulis juga berterimakasih kepada pihak-pihak yang banyak
membantu selama proses penyusunan tesis, teman-teman Dramaga Cantik S02,
teman-teman fasttrack Agribisnis angkatan 48, sahabat-sahabat terdekat, seluruh
mahasiswa Magister Sains Agribisnis angkatan 5 dan semua pihak yang telah
berkontribusi dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih atas dukungan dan
bantuannya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016
Ridwan Umar Hanafi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ii

DAFTAR GAMBAR

ii

DAFTAR LAMPIRAN

ii

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
4
5
6
6

2

TINJAUAN PUSTAKA
Pengaruh Penerapan Pajak Ekspor pada Komoditas Pertanian
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Ekspor
Pendekatan Model

6
6
9
9

3

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional

10
10
21

4

METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis dan Pengolahan Data
Simulasi Model Kebijakan

23
23
23
32

5

GAMBARAN UMUM KERAGAAN KAKAO INDONESIA
33
Perkembangan Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kakao Indonesia 33
Ekspor Produk Kakao Indonesia
35
Harga Biji Kakao Domestik dan Dunia
37
Kinerja Industri Pengolahan Kakao
38
Perkembangan Konsumsi Kakao di Indonesia
40

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Umum Hasil Estimasi
Produksi Biji Kakao Perkebunan Rakyat
Produksi Biji Kakao Perkebunan Besar Negara
Produksi Biji Kakao Perkebunan Besar Swasta
Penjualan Biji Kakao Domestik
Harga Riil Biji Kakao Domestik
Ekspor Pasta Kakao Indonesia
Ekspor Lemak Kakao Indonesia
Ekspor Bubuk Kakao Indonesia
Ekspor Biji Kakao Indonesia
Hasil Validasi Model
Simulasi Model
Penghapusan Bea Keluar Biji Kakao
Penetapan Tarif Bea Keluar Biji Kakao Flat 5 Persen

41
41
42
43
45
46
48
49
50
51
53
54
55
55
56

DAFTAR ISI (lanjutan)
Penetapan Tarif Bea Keluar Biji Kakao Flat 10 Persen
Penetapan Tarif Bea Keluar Biji Kakao Flat 15 Persen
Ringkasan Simulasi Perubahan Tarif Bea Keluar Biji Kakao
Overview

57
58
59
60

7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

61
61
63

DAFTAR PUSTAKA

63

LAMPIRAN

67

RIWAYAT HIDUP

101

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Perkembangan nilai ekspor komoditas primer perkebunan tahun 20092012
Perkembangan nilai ekspor kakao (HS 18) di 4 negara eksportir utama,
Indonesia dan dunia pada tahun 2010-2014
Hubungan antara Harga Referensi dengan Tarif Bea Keluar biji kakao
Dampak pengenaan pajak ekspor terhadap perubahan kesejahteraan
Jenis dan sumber data penelitian
Sebaran statistik Durbin-Watson
Perkembangan luas areal, produksi dan produktivitas kakao Indonesia
Luas areal dan produksi kakao Indonesia menurut status pengusahaan
Produksi kakao di daerah sentra produksi di Indonesia tahun 2009-2013

1
3
16
20
23
29
33
34
34

10 Luas areal kakao nasional di daerah sentra produksi biji kakao di
Indonesia tahun 2009-2013
11 Perkembangan nilai ekspor beberapa komoditas kakao Indonesia dan
persentasenya terhadap total ekspor kakao Indonesia tahun 2005-2014
12 Perkembangan volume ekspor beberapa komoditas kakao Indonesia
tahun 2005-2014
13 Perkembangan industri pengolahan kakao dalam negeri
14 Tarif bea masuk Uni Eropa atas impor kakao Indonesia
15 Hasil pendugaan parameter produksi biji kakao perkebunan rakyat
16 Hasil pendugaan parameter produksi biji kakao perkebunan besar
negara
17 Hasil pendugaan parameter produksi biji kakao perkebunan besar
swasta
18 Hasil pendugaan parameter penjualan biji kakao domestik
19 Hasil pendugaan parameter harga riil biji kakao domestik
20 Hasil pendugaan parameter ekspor pasta kakao Indonesia
21 Hasil pendugaan parameter ekspor lemak kakao Indonesia
22 Hasil pendugaan parameter ekspor bubuk kakao Indonesia
23 Hasil pendugaan parameter ekspor biji kakao Indonesia
24 Hasil validasi model pengaruh bea keluar biji kakao terhadap produksi
biji kakao dan ekspor produk olahan kakao Indonesia
25 Hasil simulasi penghapusan bea keluar biji kakao
26 Hasil simulasi penetapan bea keluar biji kakao flat 5 persen
27 Hasil simulasi penetapan bea keluar biji kakao flat 10 persen
28 Hasil simulasi penetapan bea keluar biji kakao flat 15 persen
29 Ringkasan hasil simulasi perubahan tarif bea keluar biji kakao

35
35
36
38
40
42
44
45
46
48
49
50
52
53
55
56
57
58
59
60

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Ekspor kakao Indonesia menurut 4 digit kode HS
Fungsi utama dan turunan dan marjin pemasaran
Pengenaan pajak ekspor
Perkembangan bea keluar biji kakao
Dampak pemberlakuan pajak ekspor

2
13
14
15
19

6
7
8
9

Kerangka pemikiran
Pergerakan harga biji kakao domestik dan dunia Januari 2005 –
Februari 2016
Profil industri kakao di Indonesia (ribu ton)
Perkembangan konsumsi kakao di Indonesia tahun 2002-2013

22
37
39
41

DAFTAR LAMPIRAN
1

Data dan sumber data model pengaruh bea keluar biji kakao terhadap
produksi biji kakao dan ekspor produk olahan kakao Indonesia tahun
1990-2014
2 Rekapitulasi persamaan dalam model pengaruh bea keluar biji kakao
terhadap produksi biji kakao dan ekspor produk olahan kakao Indonesia
tahun 1990-2014
3 Definisi operasional variabel endogen dan eksogen dalam model
pengaruh bea keluar biji kakao terhadap produksi biji kakao dan ekspor
produk olahan kakao Indonesia tahun 1990-2014
4 Program estimasi parameter model pengaruh bea keluar biji kakao
terhadap produksi biji kakao dan ekspor produk olahan kakao Indonesia
tahun 1990-2014 menggunakan metode 2SLS dan prosedur SYSLIN
dengan software SAS 9.4 for windows
5 Hasil estimasi parameter model pengaruh bea keluar biji kakao terhadap
produksi biji kakao dan ekspor produk olahan kakao Indonesia tahun
1990-2014 menggunakan metode 2SLS dan prosedur SYSLIN dengan
software SAS 9.4 for windows
6 Program uji multikolinearitas parameter model pengaruh bea keluar biji
kakao terhadap produksi biji kakao dan ekspor produk olahan kakao
Indonesia tahun 1990-2014 menggunakan nilai VIF dengan software
SAS 9.4 for windows
7 Hasil uji multikolinearitas parameter model pengaruh bea keluar biji
kakao terhadap produksi biji kakao dan ekspor produk olahan kakao
Indonesia tahun 1990-2014 menggunakan nilai VIF dengan software
SAS 9.4 for windows
8 Program validasi parameter model pengaruh bea keluar biji kakao
terhadap produksi biji kakao dan ekspor produk olahan kakao Indonesia
tahun 1990-2014 menggunakan metode Newton dan prosedur
SIMNLIN dengan software SAS 9.4 for windows
9 Hasil validasi parameter model pengaruh bea keluar biji kakao terhadap
produksi biji kakao dan ekspor produk olahan kakao Indonesia tahun
1990-2014 menggunakan metode Newton dan prosedur SIMNLIN
dengan software SAS 9.4 for windows
10 Contoh program simulasi penghapusan kebijakan bea keluar biji kakao
11 Contoh hasil simulasi penghapusan kebijakan bea keluar biji kakao

68

69

69

70

72

81

82

91

93
96
98

1

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian dan
pembangunan bangsa Indonesia. Menurut Kementerian Perdagangan (2015), ratarata pertumbuhan ekspor sektor pertanian pertanian pada 2010-2014 adalah sebesar
3 persen, tertinggi diantara sektor-sektor non migas lainnya. Sektor pertanian
memiliki beberapa subsektor penyokong, yaitu subsektor perkebunan, tanaman
pangan, hortikultura dan peternakan. Salah satu komoditas unggulan ekspor dari
subsektor perkebunan adalah kakao. Kakao memiliki nilai ekspor tertinggi kelima
setelah kelapa sawit, karet, kelapa dan kopi pada tahun 2012 (BPS 2015). Kakao
juga termasuk salah satu dari 10 komoditas ekspor unggulan yang dikeluarkan oleh
Kementerian Perdagangan untuk periode 2011-2016 (Januari-Mei)1.
Tabel 1 Perkembangan nilai ekspor komoditas primer perkebunan tahun 2009-2012
Nilai ekspor komoditas primer perkebunan (Juta
US$)
No Komoditas perkebunan
2009
2010
2011
2012
1
Karet
3 241.5
7 326.6
11 135.9
7 861.9
2
Minyak sawit
10 368
13 469
17 261
17 602.2
-Minyak sawit (CPO)
6 710
9 085
10 961
6 676.5
-Minyak sawit lainnya
3 658
4 384
6 300
10 925.7
3
Kelapa
494.5
702.6
1 060.7
1 245.3
4
Kopi
824.0
814.3
963.4
1 249.5
5
Teh
171.6
178.5
152.1
156.8
6
Lada
140.3
245.9
195.9
423.5
7
Tembakau
172.6
195.6
137.5
159.6
8
Kakao
1 413.5
1 643.7
1 345.3
1 053.5
9
Jambu Mete
82.7
71.6
67.7
95.4
10 Cengkeh
5.6
12.6
15.1
24.8
11 Kapas
0.7
1.0
1.0
37.5
12 Tebu (molase)
61.8
69.2
60.1
46.2
Tebu (gula hablur)
0.6
Total
16 977.6
24 730.7
32 395.7
29 956.1
Sumber: BPS (2015)

Sejak April 2010, pemerintah mengeluarkan Penetapan Barang Ekspor Yang
Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar (BK) melalui Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 67/PMK.011/2010. Barang ekspor yang
dikenakan BK adalah rotan, kulit, kayu, biji kakao, kelapa sawit, CPO dan
turunannya dan bijih (raw material atau ore) mineral. Permenkeu RI ini mengalami
beberapa penyesuaian dan kemudian diubah menjadi Permenkeu RI Nomor
128/PMK.011/2011. Pengenaan Bea Keluar (BK) ini dimaksudkan untuk
1

http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/10-main-and-potential-commodities [Diakses
pada 29 Juli 2016]

2
menjamin ketersediaan bahan baku nasional serta peningkatan nilai tambah dan
daya saing industri pengolahan dalam negeri. Pemberlakuan kebijakan Bea Keluar
ini berdampak langsung kepada penurunan besarnya nilai ekspor kakao. Ekspor
kakao Indonesia, pada rentang 2004-2010, 70 persen total nilai ekspor kakao
bertumpu pada biji kakao. Sehingga kebijakan Bea Keluar yang membatasi ekspor
produk pertanian primer (dalam hal ini biji kakao) membuat nilai ekspor kakao
menurun secara signifikan.
1800
1600

Nilai Ekspor (US$)

1400
1200
1000
800
600
400
200
0
2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

Tahun
18-Cocoa and cocoa preparations
1801-Cocoa beans, whole or broken, raw or roasted
1802-Cocoa shells,husks,skins and waste
1803-Cocoa paste
1804-Cocoa butter, fat, oil
1805-Cocoa powder, unsweetened
1806-Chocolate and other foods containing cocoa

Sumber: UN Comtrade (2015)

Gambar 1 Ekspor kakao Indonesia menurut 4 digit kode HS
Meski terjadi penurunan ekspor dari biji kakao, ekspor produk-produk
turunan kakao mengalami peningkatan nilai ekspor. Produk turunan kakao yang
memiliki laju pertumbuhan ekspor tertinggi adalah pasta kakao, lalu kemudian
lemak kakao dan bubuk kakao. Hanafi (2015) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa lemak kakao (cocoa butter) merupakan produk turunan kakao Indonesia
yang memiliki daya saing tertinggi, sehingga ekspor kakao Indonesia dapat
difokuskan kepada produk yang memiliki daya saing tertinggi. Peningkatan nilai
ekspor produk turunan kakao mengindikasikan bahwa kebijakan Bea Keluar cukup
efektif untuk menekan ekspor kakao dalam bentuk mentah (biji kakao) dan juga
mampu meningkatkan kapasitas produksi industri hilir kakao dalam negeri.
Peningkatan nilai ekspor ini diharapkan mampu dijaga dan terus berkembang untuk
tahun-tahun mendatang.
Penelitian yang dilakukan oleh Syadullah (2012), Hasibuan et al (2012b) dan
Haifan (2015) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kinerja industri
pengolahan kakao dalam negeri dan ekspor produk olahan kakao sebagai pengaruh
dari diterapkannya Kebijakan Bea Keluar. Data dari Kemenkeu (2014)

3
menyebutkan bahwa pada tahun 2009, hanya terdapat 7 perusahaan pengolahan
kakao yang beroperasi dari total 15 perusahaan pengolahan kakao, jumlah
perusahaan yang beroperasi meningkat menjadi 11 perusahaan pada tahun 2010 dan
menjadi 16 perusahaan pada tahun 2011 melalui tambahan satu investasi baru dari
luar negeri. Pasca pemberlakuan Kebijakan Bea Keluar terdapat peningkatan
kapasitas industri pengolahan kakao dari 130 000 ton pada tahun 2009 menjadi 150
000 ton pada tahun 2010 dan 280 000 ton pada 2011 (Kemenkeu 2014).
Dalam rentang 2004-2013 luas areal (ha) perkebunan kakao nasional
menunjukan rata-rata pertumbuhan yang terus meningkat tiap tahun dengan laju
pertumbuhan sebesar 5.42 persen pertahun (Kementan 2015a). Laju pertumbuhan
produksi (ton) kakao nasional cenderung stagnan dengan rata-rata hanya sebesar
0.7 persen pertahun. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas kakao nasional
belum mencapai kondisi yang optimal. Sehingga peluang untuk meningkatkan
produksi masih besar dan hal ini juga berarti peluang untuk meningkatkan ekspor
menjadi lebih besar. Peningkatan ekspor diharapkan akan meningkatkan devisa
negara.
Tabel 2 Perkembangan nilai ekspor kakao (HS 18) di 4 negara eksportir utama,
Indonesia dan dunia pada tahun 2010-2014
No
1
2
3
4
5
6

Negara
eksportir
Jerman
Belanda
Pantai Gading
Belgia
Indonesia
Dunia

2010
4 240 546
4 567 730
3 826 923
2 637 734
1 643 649
37 816 956

Nilai ekspor (Ribu US$)
2011
2012
2013
5 079 715
4 754 518
5 320 623
5 017 859
4 552 166
4 718 465
4 158 530
3 377 002
3 121 252
2 980 745
2 926 584
3 331 974
1 345 278
1 053 447
1 151 481
43 216 392 43 227 888 42 538 880

2014
6 095 639
5 570 520
4 627 479
3 466 369
1 244 530
46 190 996

Sumber : UN Comtrade (2015)

Jerman merupakan negara yang menguasai pangsa pasar ekspor kakao dunia
pada rentang 2010-2014 dengan rata-rata pangsa pasar 12 persen. Sumbangan
terbesar bagi nilai ekspor kakao Jerman berasal kakao dengan kode HS 1806 atau
produk kakao siap konsumsi. Produk kakao siap konsumsi ini memiliki nilai jual
yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk primer atau produk antara. Hal yang
sama juga terjadi pada Belanda dan Belgia yang umumnya mengekspor produk
kakao siap konsumsi. Berbeda dengan Pantai Gading dan Indonesia yang eskpor
kakaonya masih bertumpu pada biji kakao, padahal Indonesia dan Pantai gading
merupakan salah satu negara yang menguasai pangsa pasar biji kakao dunia. Selain
Pantai Gading negara pesaing utama ekspor biji kakao Indonesia adalah Ghana,
Nigeria dan Kamerun (Ditjen PPHP 2014). Ini menunjukkan bahwa menjual produk
olahan siap konsumsi merupakan cara terbaik meningkatkan pangsa pasar, terbukti
tiga dari empat negara penguasa pangsa pasar kakao dunia bertumpu pada ekspor
produk kakao siap konsumsi. Produk kakao siap konsumsi memiliki nilai jual yang
lebih tinggi sehingga memberikan keuntungan perdagangan yang lebih tinggi bagi
negara pengekspor. Melalui kebijakan Bea Keluar, Indonesia perlahan
meningkatkan ekspor produk turunan kakao untuk meningkatkan devisa negara.
Permintaan kakao dunia, yang diindikasikan dengan impor kakao dunia,
mengalami peningkatan nilai impor yang positif dari tahun ke tahun sehingga
memungkinkan Indonesia untuk terus meningkatkan ekspornya karena permintaan

4
kakao yang semakin meningkat tiap tahun. Laju pertumbuhan nilai impor kakao
dunia mencapai 9.19 persen per tahun, sedangkan laju pertumbuhan ekspor kakao
Indonesia mencapai 10.02 persen. Peningkatan nilai ekspor ini mengindikasikan
bahwa Indonesia memiliki peluang untuk melakukan perluasan pasar. Perluasan
pangsa pasar merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan devisa.
Saat ini negara utama tujuan ekspor kakao Indonesia dalam rentang 2004-2013
adalah Malaysia, Amerika Serikat, Singapura, Brazil dan Prancis. Malaysia
merupakan negara tujuan ekspor kakao Indonesia terbesar dengan rata-rata nilai
ekspor mencapai 43.52 persen dari total nilai ekspor kakao Indonesia, lalu Amerika
Serikat sebesar 25.82 persen (UN Comtrade 2015). Ekspor Indonesia ke negaranegara tersebut umumnya didominasi oleh ekspor biji kakao. Sedangkan untuk
ekspor produk olahan umumnya Indonesia mengeskpor ke negara Uni Eropa,
terutama untuk produk lemak kakao (Hanafi 2015).

Perumusan Masalah
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, industri hilir pengolahan kakao
di Indonesia mengalami peningkatan kinerja dari tahun ke tahun. Meski begitu,
masih terdapat ruang yang cukup besar bagi industri pengolahan kakao dalam
negeri untuk terus berkembang. Hal ini tercermin dari berlimpahnya bahan baku
(biji kakao) yang dihasilkan di Indonesia. Industri kakao memiliki peran penting
bagi perekonomian nasional, antara lain sebagai penyedia lapangan kerja, sumber
pendapatan dan devisa negara. Industri kakao diharapkan mampu memberikan
pengaruh lebih besar kepada ketiga sektor tersebut karena industri pengolahan
kakao memiliki keterkaitan yang luas antara sektor hulu (petani kakao) maupun
hilirnya (intermediate industry/grinders). Adanya industri pengolahan kakao akan
memberikan nilai tambah pada kakao sehingga akan meningkatkan harga jualnya
dan juga memberikan keuntungan yang lebih besar jika dibandingkan dengan
mengeskpor kakao dalam bentuk mentah (biji kakao).
Sebelum diberlakukannya kebijakan bea keluar biji kakao pada tahun 2010,
Indonesia cenderung mengekspor kakao dalam bentuk biji kakao, sedangkan ekspor
kakao dalam bentuk olahannya belum berkembang dengan baik. Beberapa
penyebab lambannya perkembangan ekspor olahan kakao adalah karena masih
belum berkembangnya industri pengolah biji kakao dan juga rendahnya tingkat
konsumsi cokelat dalam negeri (Haifan 2015). Hal ini memebuat sebagian besar
ekspor kakao Indonesia berbentuk biji kakao. Ekspor biji kakao yang tinggi akan
membuat ketersediaan biji kakao di dalam negeri berkurang sehingga mengurangi
suplai bahan baku untuk keperluan industri pengolahan kakao di dalam negeri.
Salah satu indikasinya adalah terdapat beberapa industri pengolahan kakao yang
bekerja di bawah kapasitas terpasangnya. Pada tahun 2009, dari tujuh perusahaan
pengolahan kakao yang beroperasi hanya tiga perusahaan saja yang bekerja sesuai
dengan kapasitas terpasangnya (Kemenkeu 2014). Pemerintah melalui Peraturan
Menteri Keuangan No.67/PMK.011/2010, menerapkan bea keluar dengan tujuan
untuk menjamin pasokan bahan baku industri pengolahan dalam negeri dan juga
mendorong pertumbuhan industri hilir kakao dalam negeri.
Penerapan bea keluar biji kakao untuk menghambat ekspor kakao dalam
bentuk biji kakao, juga didukung oleh pemerintah dengan menerapkan kebijakan

5
pendukung lainnya yang bertujuan untuk semakin mengembangkan industri
pengolahan kakao dalam negeri. Pemerintah, melalui Kementerian Perindustrian,
memberikan fasilitas Tax Allowance dalam PP No. 52 Tahun 2011 tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan
atau di Daerah-Daerah Tertentu serta pemberian tax holiday bagi industri
pengolahan kakao di daerah tertentu melalui PMK No. 130 Tahun 2011 tentang
Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan guna
mengembangkan industri kakao. Adanya program ini diharapkan mampu
menggerakkan industri hilir makanan dan minuman berbasis cokelat agar
melakukan ekspansi karena memberikan nilai tambah kakao yang tinggi, selain itu
juga mampu menyerap tenaga kerja dan memberikan multiplier effect terhadap
industri pendukung seperti industri pengemasan (packaging), transportasi,
perbankan dan sektor lainnya.
Pengaruh dari pemberlakuan kebijakan bea keluar biji kakao sudah mulai
terlihat pada ekspor produk kakao Indonesia. Hal ini diindikasikan dari menurunnya
nilai ekspor kakao Indonesia dalam bentuk biji dan juga terjadinya peningkatan
nilai ekspor olahan kakao Indonesia pasca penerapan Kebijakan Bea Keluar pada
tahun 2010 (UN Comtrade 2015). Adanya peningkatan ekspor kakao dalam bentuk
olahannya, akan lebih menguntungkan Indonesia karena adanya nilai tambah pada
produk olahan kakao. Hal ini juga akan menggeser posisi masing-masing produk
kakao Indonesia tersebut di pasar internasional. Indonesia yang sebelumnya dikenal
sebagai negara net exporter biji kakao, kini mulai mengurangi ekspor biji kakao
dan mulai meningkatkan ekspor kakao dalam bentuk olahannya. Perubahan paling
nyata terjadi pada posisi biji kakao Indonesia di pasar internasional, semenjak tahun
2010 terjadi peningkatan impor biji kakao dan besarnya impor biji kakao Indonesia
telah lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor biji kakaonya pada tahun 2014.
Meski diduga berdampak positif terhadap peningkatan eskpor olahan kakao,
adanya bea keluar diduga berdampak negatif terhadadap produksi biji kakao
Indonesia (Arsyad et al 2011). Salah satu dampak dari adanya kebijakan Bea Keluar
ini akan ada pihak yang dikorbankan unutk menanggung beban biaya yang
diakibatkan dari pemberlakuan kebijakan bea keluar tersebut. Adanya bea keluar
akan membebani eksportir sehingga dapat menurunkan margin keuntungan yang
diperoleh, di sisi lain terdapat kemungkinan bahwa beban biaya yang diterima
eksportir akan dialihkan ke produsen kakao sehingga membuat para produsen
kakao menjadi pembayar pajak. Kondisi ini dikhawatirkan akan menyebabkan
petani tidak berminat lagi menanam kakao sehingga akan memengaruhi produksi
biji kakao nasional. Berdasarkan gambaran di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh kebijakan Bea Keluar biji kakao yang telah diterapkan
terhadap produksi biji kakao Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh kebijakan Bea Keluar biji kakao yang telah diterapkan
terhadap ekspor produk kakao Indonesia?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengaji kinerja permintaan
ekspor kakao Indonesia, dengan tujuan spesifik sebagai berikut:

6
1. Mengidentifikasi pengaruh kebijakan Bea Keluar biji kakao terhadap
produksi biji kakao Indonesia
2. Mengidentifikasi pengaruh kebijakan Bea Keluar biji kakao terhadap ekspor
produk kakao Indonesia

Manfaat Penelitian
Penelitian ini merupakan cara penulis dalam mengaplikasikan konsep
permintaan dan perdagangan internasional yang telah didapat selama perkuliahan
dan diharapkan dapat menyempurnakan penelitian-penelitian sebelumnya yang
membahas tentang kakao Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
khasanah penelitian tentang kakao Indonesia dan juga dapat digunakan sebagai
pembanding atau referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini fokus pada bahasan mengenai pengaruh adanya kebijakan Bea
Keluar biji kakao terhadap produksi biji kakao domestik dan juga ekspor produk
kakao (biji kakao, lemak kakao, pasta kakao dan bubuk kakao). Bubuk kakao yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah bubuk kakao dengan HS 1805 (Cocoa powder,
unsweetened). Pendekatan yang digunakan untuk melihat pengaruh kebijakan
tersebut menggunakan model persamaan simultan karena antar variabel dalam
model saling memengaruhi. Penelitian ini tidak memfokuskan diri dalam
membahas perdagangan internasional karena diduga Indonesia berada pada posisi
price taker. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian Hanafi
(2015) mengenai Daya Saing Komoditas Kakao Indonesia dalam Perdagangan
Internasional. Data yang digunakan pada penelitian ini sebagian diperoleh dari
penelitian Hanafi (2015) dan juga data pendukung lainnya.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengaruh Penerapan Pajak Ekspor pada Komoditas Pertanian
Kakao merupakan salah satu sektor yang memberikan kontribusi positif bagi
perdagangan Indonesia, nilainya terus mengalami kenaikan dan rata-rata
kontribusinya terhadap ekspor nasional mencapai 1 persen (Ragimun 2012).
Adanya kebijakan Bea Keluar yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan secara
signifikan mampu mengubah komposisi ekspor kakao Indonesia, yang sebelumnya
didominasi biji kini produk olahan juga memberikan kontribusi yang cukup besar
(Rifin dan Nauly 2013), meski begitu hal ini diduga mengurangi keunggulan
komparatif biji kakao nasional. Hal ini sejalan dengan penelitian Hanafi (2015)
yang menyatakan bahwa keunggulan komparatif biji kakao Indonesia semakin
menurun semenjak pemberlakuan kebijakan Kea Keluar. Di sisi lain, keunggulan
komparatif produk olahan kakao Indonesia menjadi semakin tinggi (Firsya 2014;
Rifin 2012; Hasibuan et al 2012a; Hanafi 2015).

7
Pada komoditas perkebunan yang lain seperti kelapa sawit, penerapan pajak
ekspor juga terbukti memiliki dampak negatif terhadap ekspor CPO dan harga
domestik CPO (Obado et al 2009; Rifin 2014). Selain pada kedua hal tersebut,
Obado et al (2009) menambahkan bahwa pajak ekspor yang dibebankan kepada
CPO juga berpengaruh negatif terhadap produksi CPO domestik meski juga secara
signifikan mampu mendorong pertumbuhan industri CPO di Indonesia. Rifin
(2014) menyatakan bahwa pajak ekspor progresif yang diterapkan pemerintah
Indonesia pada CPO dalam beberapa tahun terakhir, tidak memiliki dampak apapun
kepada ekspor CPO ataupun harga domestik CPO, pajak ekspor ini hanya
berdampak ekspor RPO (Refined Palm Oil). Pada periode sebelum penerapan pajak
ekspor progresif, pajak ekspor lebih efektif untuk menurunkan volume ekspor CPO
dan juga memengaruhi harga CPO domestik.
Sebelum tahun 2007, pemerintah menetapkan Undang-Undang No.18 Tahun
2000 tentang PPN atas komoditi primer. PPN (Pajak Pertambahan Nilai) ini
besarnya adalah 10 persen dan dikenakan dalam perdagangan biji kakao dalam
negeri. PPN merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang mengalami
pertambahan nilai. Akibat dari adanya kebijakan ini, kakao lebih banyak diekspor
dalam bentuk biji (raw material) karena tidak dikenai oleh PPN. Di sisi lain hal ini
juga menyebabkan berkurangnya suplai bahan baku bagi industri olahan kakao
dalam negeri. Sehingga pada tahun 2007 kebijakan PPN ini dihapus oleh
pemerintah karena dirasa sektor hilir kakao nasional kurang berkembang.
Sebagai bentuk evaluasi pada tahun 2010 pemerintah kemudian
mengeluarkan kebijakan Pajak Ekspor atau yang lebih dikenal dengan Kebijakan
Bea Keluar (BK). Kebijakan tersebut tertera pada Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) No 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan
Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Peraturan ini diterapkan secara progresif.
Besarnya tarif Bea Keluar dan harga patokan ekspor (HPE) yang dikeluarkan
didasarkan oleh harga referensi biji kakao. Harga referensi biji kakao dalah harga
rata-rata internasional yang berpedoman pada harga rata-rata CIF New York Board
of Trade. Besaran harga referensi dan harga patokan ekspor (HPE) ini ditentukan
setiap bulan oleh Menteri Perdagangan.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kebijakan Bea Keluar ditujukan
agar industri pengolahan dalam negeri menjadi semakin berkembang. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan oleh Syadullah (2012) dan Haifan (2015), adanya
pemberlakuan kebijakan Bea Keluar mampu meningkatkan jumlah perusahaan
pengolahan kakao dan juga mampu meningkatkan kapasitas produksi mendekati
kapasitas terpasang. Hasibuan et al (2012b) menambahkan bahwa kebijakan gernas
dan bea keluar secara simultan mampu meningkatkan kemampuan industri
pengolahan dalam menyerap produksi kakao domestik. Meski mampu
meningkatkan kapasitas produksi, kualitas produksi olahan kakao Indonesia belum
optimal sebagai akibat dari rendahnya kualitas biji kakao yang digunakan sebagai
bahan bakunya (Haifan 2015). Perlu adanya kebijakan yang lebih fokus pada
pembinaan petani agar kebijakan Bea Keluar yang telah diterapkan memberikan
dampak yang lebih baik lagi kepada industri pengolahan dalam negeri. Selain
memiliki pengaruh terhadap industri pengolahan kakao nasional, kebijakan Bea
Keluar juga berpengaruh negatif terhadap harga domestik biji kakao (Putri et al
2013).

8
Penelitian Rifin (2015) menunjukkan bahwa adanya pajak ekspor atau Bea
Keluar memengaruhi eksportir dengan cara menurunkan margin mereka. Di sisi lain,
untuk petani, adanya kebijakan pajak ekspor ini tidak memengaruhi saluran
pemasaran biji kakao. Harga biji kakao di tingkat petani dipengaruhi oleh harga biji
kakao internasional dan harga biji kakao internasional benar-benar
mentransmisikan harga dengan sempurna ke harga biji kakao di tingkat petani. Hal
ini membuat petani memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dibandingkan eksportir
setelah pemberlakuan kebijakan pajak ekspor diterapkan. Penelitian Rifin (2015)
ini juga sesuai dengan Arsyad (2007) yang menyatakan bahwa harga kakao
domestik sangat dipengaruhi oleh harga kakao dunia. Arsyad (2007) juga
menambahkan bahwa kebijakan subsidi pupuk dapat meningkatkan produksi dan
juga ekspor kakao Indonesia.
Hasil penelitian dari Arsyad et al (2011) tentang dampak kebijakan pajak
ekspor terhadap produksi dan ekspor kakao Indonesia pasca Putaran Uruguay,
serupa dengan hasil dari penelitian Putri et al (2013) yang menyatakan bahwa
adanya pajak ekspor berdampak negatif terhadap harga domestik biji kakao dan
juga volume produksi biji kakao. Hasil lain dari penelitian Arsyad et al (2011)
menunjukkan bahwa hal-hal yang memengaruhi ekspor biji kakao Indonesia adalah
harga ekspor biji kakao Indonesia, pertumbuhan produksi kakao, nilai tukar rupiah
dan juga tren waktu.
Dampak dari penerapan pajak ekspor terhadap kesejahteraan suatu negara
berbeda-beda, tergantung dari market power yang dimiliki negara tersebut terhadap
komoditas yang dikenakan pajak ekspor (Piermantini 2004; Burger 2004; Solleder
2011). Negara dengan market power besar atau memiliki kecenderungan ekspor,
akan mendapatkan tingkat kesejahteraan yang lebih baik dibandingan dengan
negara yang tidak memiliki market power (Piermartini 2004; Solleder 2011). Meski
begitu, Burger (2008) menyatakan bahwa dalam jangka panjang negara yang
memiliki market power sangat tinggi (studi kasus Pantai Gading) tidak akan atau
hampir tidak akan mendapatkan keuntungan dari perubahan pajak ekspor, bahkan
cenderung untuk membuat negara tersebut menderita. Ini disebabkan karena pajak
eskpor tidak secara langsung memengaruhi rumah tangga petani, tetapi melalui
jalur-jalur tertentu, sehingga penerapan bea keluar yang terlalu tinggi akan sangat
membebani mereka. Pajak ekspor yang diterapkan oleh negara-negara berkembang
bertujuan untuk meningkatkan sektor fiskal, meski komoditas yang dikenakan
pajak ekspor akan mengalami penurunan volume ekspor, terutama komoditas
pertambangan (Solleder 2011).
Permani et al (2011) menjelaskan hasil yang berbeda tentang pemberlakuan
pajak ekspor di Indonesia. Adanya pajak ekspor memang menahan biji kakao untuk
kemudian dikonsumsi di dalam negeri tetapi hal ini hanya sedikit mengembangkan
industri pengolahan kakao dalam negeri dan malah lebih banyak merugikan
produsen atau petani kakao. Hal lainnya adalah meski pajak ekspor memberikan
keuntungan perdagangan yang lebih tinggi (akibat kenaikan harga ekspor) dan
sedikit mendorong industri pengolahan dalam negeri, kebijakan pajak ekspor
secara jelas telah merubah produsen kakao menjadi para pembayar pajak. Arsyad
(2007) menyarankan agar lebih baik pemerintah melakukan kebijakan devaluasi
untuk meningkatkan ekspor kakao daripada melakukan pajak ekspor.

9
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Ekspor
Penelitian mengenai permintaan untuk ekspor produk pertanian telah banyak
dilakukan sebelumnya, antara lain Kuwornu et al (2009) yang meneliti tentang
kelapa sawit di Ghana dan Konandreas et al (1978) yang meneliti tentang gandum
di Amerika Serikat. Mereka melakukan analisis dengan menggunakan asumsi OLS.
Hasil penelitian Kuwornu et al (2009) menunjukan bahwa ekspor kelapa sawit
Ghana lebih dipengaruhi oleh harga riil kelapa sawit domestik daripada faktorfaktor lainnya seperti exchange rate (nilai tukar), harga ekspor riil Ghana, harga
ekspor riil Malaysia dan harga riil kelapa sawit domestik Malaysia. Sedangkan pada
ekspor gandum Amerika Serikat yang diteliti Konandreas et al (1978), faktor yang
paling berperan adalah exchange rate (nilai tukar) dibanding harga ekspor gandum
dan harga ekspor gandum domestik. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh
perbedaan kekuatan ekomoni antara Ghana dengan Amerika Serikat.
Penelitian tentang permintaan dan penawaran juga dilakukan oleh Hameed et
al (2009) dan Atique dan Ahmad (2003). Hameed et al (2009) meneliti tentang
model kakao Malaysia dengan menggunakan pendekatan Labys, hasilnya adalah
exchange rate (nilai tukar) berpengaruh signifikan dalam memengaruhi permintaan
ekspor sedangkan indeks produksi industri dan harga kakao dunia tidak
berpengaruh signifikan. Indeks produksi industri Malaysia dan harga biji kakao
domestik merupakan faktor kunci yang memengaruhi permintaan kakao domestik.
Harga biji kakao untuk tingkat domestik sangat dipengaruhi oleh konsumsi
domestik, lag harga domestik dan harga biji kakao dunia. Atique dan Ahmad (2003)
meneliti tentang faktor-faktor yang memengaruhi permintaan dan penawaran
ekspor Pakistan. Pemintaan untuk ekspor Pakistan dipengaruhi oleh aktivitas
ekonomi dunia dan exchange rate (nilai tukar), sedangkan sisi penawaran
dipegaruhi oleh koefisien kapasitas produksi dalam negeri/indeks produksi industri.
Sehingga didapat kesimpulan bahwa aktivitas ekonomi dunia dan exchange rate
(nilai tukar) mampu memengaruhi sisi permintaan sedangkan koefisien kapasitas
produksi memengaruhi sisi penawaran terhadap suatu barang atau jasa.
Coto-Millan (2004) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
memengaruhi permintaan impor dan ekspor produk kelautan di Spanyol. Hasil
penelitian menunjukan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi permintaan impor
adalah pendapatan nasional, harga barang impor dan jasa transportasi kelautan,
sedangkan yang memengaruhi ekspor adalah pendapatan dunia, harga barang
ekspor, jasa transportasi kelautan dan indeks kapasitas produksi bisnis Spanyol.
Hasil penelitian Coto-Millan (2004) menambah faktor-faktor yang mungkin
memengaruhi permintaan ekspor suatu negara, yaitu pendapatan dunia setelah
sebelumnya ada harga riil domestik (Kuwornu et al 2009), exchange rate
(Konandreas et al 1978) dan pengeluaran konsumen.

Pendekatan Model
FAO (2012) bersama dengan Klonaris, melakukan penelitian tentang
permintaan teh dunia menggunakan metode AIDS (Almost Ideal Demand System).
Hasil penelitiannya menunjukan bahwa komoditas teh dunia, terutama teh hitam
dan teh hijau merupakan komoditas yang inelastis. Harga dan pendapatan relatif

10
tidak terlalu berpengaruh kepada konsumsi teh. Hasil ini menunjukan bahwa untuk
meningkatkan pendapatan negara produsen teh, yang harus dilakukan adalah
dengan meningkatkan jumlah ekspor tehnya. Teh hitam dan teh hijau tergolong
barang substitusi, sehingga kenaikan harga salah satu komoditas akan
menyebabkan kenaikan permintaan terhadap komoditas lainnya. Sedangkan Gallet
(2007) melakukan analisis terhadap permintaan minuman beralkohol di dunia
menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square), hasilnya menunjukan bahwa
dalam jangka pendek minuman berakohol lebih inelastis dibandingkan saat jangka
panjangnya. Secara lebih spesifik, bir merupakan minuman beralkohol yang paling
inelastis. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, terlihat bahwa komoditas
pertanian cenderung memiliki elastisitas permintaan yang inelastis. Ini juga
dikuatkan oleh beberapa penelitian lain, yaitu Warr dan Wolmer tentang beras
Thailand yang memiliki elastisitas permintaan yang inelastis dan juga Zheng et al
(2012) tentang kacang pistachio Amerika yang juga memiliki elastisitas permintaan
yang inelastis.
Pendekatan melalui persamaan simultan dapat digunakan untuk
mendeksripsikan faktor-faktor yang memengaruhi permintaan suatu barang atau
jasa. Applainadu et al (2011) menggunakan delapan persamaan struktural dan
empat persamaan identitas yang kemudian diestimasi menggunakan metode 2SLS
dengan data tahunan pada tahun 1976-2008 untuk mengetahui faktor-faktor yang
memengaruhi industri kelapa sawit Malaysia terutama permintaan biodiesel. Hasil
penelitian menunjukan bahwa harga domestik sangat dipengaruhi oleh Malaysian
Ending Stock, harga minyak kelapa sawit dunia, permintaan biodiesel dan lag harga
domestik. Permintaan biodiesel memiliki dampak positif terhadap harga minyak
kelapa sawit domestik Malaysia. Dengan demikian, pertumbuhan permintaan
biodiesel memiliki peran pernting dalam meningkatkan harga minyak kelapa sawit
domestik Malaysia.

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Perdagangan Internasional
Secara teoritis, perdagangan internasional terjadi karena dua alasan utama.
Pertama, negara-negara berdagang karena pada dasarnya mereka berbeda satu sama
lain. Setiap negara dapat memperoleh keuntungan dengan melakukan sesuatu yang
relatif lebih baik. Kedua negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan
untuk mencapai skala ekonomi (economies of scale) dalam produksi. Maksudnya
jika setiap negara hanya memproduksi sejumlah barang tertentu, mereka dapat
menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan karenanya
lebih efisien jika dibandingkan kalau negara tersebut memproduksi segala jenis
barang. Pola-pola perdagangan dunia yang terjadi mencerminkan perpaduan dari
kedua motif ini (Basri dan Munandar 2010).
Menurut teori ekonomi klasik, keunggulan (dalam hal ekonomi) yang dimiliki
suatu negara adalah hal yang mendasari dilakukannya pertukaran barang atau
perdagangan. Sedangkan teori perdagangan yang lebih baru menjelaskan tentang

11
keunggulan alamiah masing-masing negara, tindakan pemerintah dan karakteristik
industri yang memungkinkan terjadinya pertukaran. Baik keduanya menekankan
bahwa suatu negara akan melakukan perdagangan jika negara tersebut memiliki
keunggulan, keunggulan inilah yang akan digunakan untuk mendapatkan
keuntungan saat melakukan perdagangan internasional.
Hady (2004), menurut teori klasik Adam Smith, suatu negara akan
memperoleh manfaat dari perdagangan internasional (gain from trade) dan
meni