PREVALENSI TERJADINYA RELAPS SETELAH PERAWATAN DENGAN ALAT ORTODONTIK CEKAT (Evaluasi Menggunakan Indeks Ortodontik Treatment Need/IOTN)

(1)

i

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:

MUCHAMMAD SUKUR IMAM PRAKOSA 20120340110

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016


(2)

ii

Disusun oleh:

Muchammad Sukur Imam Prakosa 20120340110

Telah diseminarkan pada tanggal 4 Juli 2016

Dosen Pembimbing

Dr. drg. Tita Ratya Utari, Sp. Ort. NIK: 19730223200710173086 Dosen Penguji

drg. Bayu Ananda Paryontri, Sp. Ort. NIK 19821129201510173214

Dosen Penguji

drg. Novarini Prahastuti, Sp.Ort. NIK 19691113201404173228

Mengetahui,

Kaprodi Pendidikan Dokter Gigi FKIK Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta

drg. Hastoro Pintadi, Sp.Prost. NIK 19680212200410173071


(3)

iii

NIM : 20120340110

Program Studi : Pendidikan Dokter Gigi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, 24 Mei 2015 Yang membuat pernyataan,

Muchammad Sukur Imam Prakosa NIM: 20120340110


(4)

iv

restu, motivasi, semangat dan cinta yang tiada henti.

Kakak-kakakku dr. Nur Hamam Prakosa, MMR. dan dr. Ismy Dianty, MMR. yang selalu memberikan arahan dan dukungan.

Saudara dan teman-teman yang selalu memberikan semangat, nasehat dan kasih sayang selama ini.


(5)

v

Penyayang atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Prevalensi Terjadinya Relaps Setelah Perawatan dengan Alat Ortodontik Cekat” untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar sarjana Kedokteran Gigi. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini masih banyak kekurangan, tetapi penulis berharap Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Karya Tulis Ilmiah ini dapat terselesaikan atas bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta memberikan kesehatan dan jalan kepada umat-Nya dalam menyelesaikan penulisan karya tulis ilmiah.

2. dr. Ardi Pramono, Sp. An., M. Kes. selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3. drg. Hastoro Pintadi, Sp. Pros. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

4. Dr. drg. Tita Ratya Utari, Sp. Ort. selaku dosen pembimbing. Terima kasih atas waktu, ilmu, saran, inspirasi, semangat, dan doa yang diberikan selama penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.


(6)

vi

(K) yang telah memberi saran dan membantu dalam mendapatkan sampel dalam penelitian ini.

7. Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan ilmu dan pengarahan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

8. Bapak dr. Edi Suharso dan Ibu Kusmiyati, S.Pt. yang selalu memberikan doa restu, motivasi, semangat dan cinta yang tiada henti.

9. Kakak-kakakku dr. Nur Hamam Prakosa, MMR. dan dr. Ismy Dianty, MMR yang selalu memberikan arahan dan dukungan.

10. Adhi, Vicki, Satya, Garry, Rilok, Habib, Hario, Gilang, Dicky yang selalu memberikan semangat dalam menyelesaikan penulisan Karya Tulis Ilmiah. 11. Teman-teman satu bimbingan Shendy Dianastesi, Maharani Pangastuti, dan

Andhika Surya Yoelanda yang selalu berbagi ilmu dan kerja sama yang baik. 12. Winda Arwin Setyani, S.Pd. yang selalu memberikan semangat dan menjadi

tempat berbagi suka duka selama penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

13. Keluarga besar KG 2012 yang saling memberikan semangat dan dukungannya.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan Karya Tulis Ilmiah.


(7)

vii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL... x

INTISARI... xi

ABSTRACT... xii

BAB I ...1

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian... 5

D. Manfaat Penelitian... 5

E. Keaslian Penelitian ... 5

BAB II... 7

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Telaah Pustaka... 7

B. Landasan Teori ... 20

C. Kerangka Konsep ... 22

D. Hipotesis... 23

BAB III ... 24

METODE PENELITIAN... 24

A. Desain Penelitian... 24

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 24

C. Lokasi dan Waktu Penelitian... 25

D. Variabel Penelitian ... 25

E. Definisi Operasional... 26


(8)

viii

A. Hasil Penelitian ... 34

B. Pembahasan ... 38

BAB V... 42

KESIMPULAN DAN SARAN... 42

A. Kesimpulan... 42

B. Saran... 43

Daftar Pustaka ... 44 LAMPIRAN


(9)

ix

Gambar 5.Aesthetic Component...28 Gambar 6. Penggaris DHC IOTN...32 Gambar 7. Cara Penggunaan Penggaris DHC IOTN...32


(10)

x

Tabel 5. Tes Normalitas DHC...37

Tabel 6. Tes Normalitas AC...37

Tabel 7. Hasil uji nonparametrik DHC...38


(11)

(12)

xi INTISARI

Latar Belakang: Gigi yang telah selesai dirawat menggunakan alat ortodontik memiliki kecenderungan untuk kembali ke posisi awal. Hal inilah yang disebut dengan relaps atau kembalinya posisi gigi ke bentuk awal maloklusi. Penelitian di Eropa menunjukan bahwa prevalensi relaps masih tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya relaps. Di Indonesia, penelitian mengenai relaps masih jarang dilakukan. Pengukuran relaps dapat dilakukan dengan menggunakan IOTN (Indeks Ortodontik Treatment Need).

Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi terjadinya relaps setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat menggunakan IOTN.

Bahan dan Cara:Penelitian ini menggunakan 24 sampel setelah lepas braket dan saat ini yang memenuhi kriteria inklusi. Penilaian menggunakan Indeks Ortodontik Treatment Need yang terdiri dari dua komponen, yaitu Aesthetic Component dan Dental Health Component. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis data diskriptif dengan uji Shapiro-Wilkuntuk mengetahui normalitas dan homogenitas data dan uji Wilcoxon digunakan untuk menguji perbedaan data berpasangan pada sebaran data tidak normal.

Hasil Penelitian: Hasil analisis Wilcoxon pada pengukuran AC dan DHC menunjukkan nilai p<0,005 yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan dari skor setelah lepas braket dengan saat ini.

Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara skor AC dan DHC setelah lepas braket dan saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat prevalensi terjadinya relaps setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat.


(13)

xii

ABSTRACT

Backgrounds: Teeth that have been finished using orthodontic appliance has a tendency to return to the starting position. This is called a relapses or a return of tooth position into an early form of malocclusion. Research in Europe showed that the prevalence of relapse is still high. Relapse is caused by many factors. In Indonesia, the research on relapse is still rarely performed. Measurement of relapse can be done using IOTN (Index of Orthodontic Treatment Need).

Aim: The aim of this research is to determine the prevalence of relapse after treatment with fixed orthodontic appliance using IOTN.

Material and Method: This study used 24 samples that have been finished using bracket and at this time met the inclusion criteria. Assessment using Index of Orthodontic Treatment Need which consists of two components, Aesthetic Component and Dental Health Component. Shapiro-Wilk was tested to asses data normality and homogeneity. Wilcoxon test was used to asses paired data differences on abnormal data distribution

Result:The Wilcoxon analysis result on the measurement of AC and DHC show the value of p <0.005, which means there are significant differences of scores after finished using bracket and at this time.

Conclusion:There is significant differences between IOTN score value of AC and DHC after finished using bracket and at this time. That’s mean there was prevalence of relapse after treatment using fixed orthodontic appliance.


(14)

1

Kepedulian masyarakat akan estetik khususnya pada gigi di era modern saat ini sangatlah tinggi. Gaya hidup dan tren mempengaruhi seseorang untuk mendapatkan nilai estetik dengan melakukan perawatan gigi, yaitu dengan perawatan ortodontik. Perawatan ortodontik merupakan salah satu bentuk perawatan dalam bidang kedokteran gigi yang berperan penting untuk memperbaiki susunan gigi sehingga dapat meningkatkan kemampuan mastikasi, fonetik, serta estetik (Lau & Wong, 2006).

Menurut Hadist, Allah SWT sangat menyukai akan estetik dan keindahan yang dijelaskan sebagai berikut: Tidak akan masuk jannah orang yang dalam kalbunya seberat dzarrah kesombongan. Seorang bertanya: “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju yang bagus dan alas kaki yang bagus (apakah ini termasuk kesombongan)? Rasul saw bersabda: Sesungguhnya Allah Maha indah dan menyukai keindahan, kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia[HR Muslim].

Banyak pasien ortodontik cekat sudah merasa puas setelah kawat gigi dilepaskan oleh operator. Sebenarnya dengan pelepasan kawat gigi tersebut, perawatan ortodontik belum dapat dikatakan selesai. Pelepasan kawat gigi oleh operator baru setengah jalan dari perawatan ortodontik itu sendiri. Menurut Sulandjari (2008), perawatan ortodontik dibagi dalam dua periode. Pertama adalah periode aktif, periode ini merupakan periode di mana dilakukan


(15)

pengaturan gigi-gigi yang malposisi dengan alat ortodontik menggunakan tekanan mekanis, atau dengan memanfaatkan tekanan fungsional otot-otot sekitar mulut untuk mengoreksi hubungan rahang bawah dan rahang atas. Kedua adalah periode pasif, periode ini merupakan perawatan setelah periode aktif selesai, dengan tujuan untuk mempertahankan kedudukan gigi-gigi yang telah dikoreksi agar tidak terjadi relaps (kembali seperti kedudukan semula) dengan menggunakan retainer.

Tidak banyak orang yang sadar akan pentingnya perawatan periode pasif atau memakai retainer tersebut, dan mengabaikan perawatan tersebut karena mereka menilai gigi yang rapi sudah didapatkan. Padahal pemakaian retainer dilakukan untuk menghindari terjadinya relaps. Menurut British Standard Institute dalam Iswari (2012) relaps adalah kembali ke bentuk awal maloklusi setelah dikoreksi, dan diartikan sebagai perubahan apapun dari posisi akhir gigi setelah perawatan. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya relaps yaitu pertumbuhan gigi molar ketiga, tekanan otot, kegagalan menghilangkan faktor penyebab, kebiasaan buruk, dan tidak memakai retainer (Iswari, 2012).

Ketidakterarturan pasien dalam pemakaian retainer merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya relaps. Lama pemakaian retainer tergantung indikasi dan kasus maloklusi gigi. Jenis yang pertama adalah tanpa penggunaan retainer, kedua adalah retainer jangka pendek yaitu digunakan selama 3-6 bulan setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat, ketiga adalah retainer jangka menengah yang digunakan selama kurang lebih 1-5 tahun setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat. Biasanya jenis ketiga ini digunakan untuk kasus kelas I Angle,


(16)

kelas II Angle, dan kelas III Angle. Terakhir adalah jenis retainer permanen yang digunakan pasien secara tetap dan tidak dapat dilepas. Biasanya digunakan pada pasien dengancleft palate(Graber, 2000).

Susunan gigi dapat kembali ke posisi awal dari maloklusi meskipun retainer sudah digunakan (Iswari, 2012). Salah satu data dari penelitian Al Yami, dkk. (1999) yang dilakukan menggunakan indeks Peer Assessment Rating (PAR indeks) menunjukkan 50% relaps terlihat pada 2 tahun pasca-retensi, 28% relaps terlihat pada 2-5 tahun pasca-retensi, dan 12% relaps terlihat pada 5-10 tahun pasca-retensi. Penelitian lain oleh J. C. Danz, dkk. pada tahun 2012 yang dilakukan dengan pengukuran radiografi cephalometri lateral pada kasus deep bite menunjukkan bahwa 10% dari 61 sampel menunjukkan terjadinya relaps namun jumlah tersebut tidak cukup untuk mengetahui faktor risiko terjadinya relaps pada kasusdeep bite.

Relaps dapat dikatakan adanya perbedaan posisi dan susunan gigi setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat selesai dengan posisi dan susunan gigi saat masih menggunakan retainer. Perbedaan sebelum dan sesudah perawatan tersebut dapat diukur dengan menggunakan suatu indeks kebutuhan dan keberhasilan perawatan ortodontik (Agusni, 2001). Sampai saat ini ada beberapa indeks yang digunakan sebagai acuan pengukuran yang sering disebut indeks maloklusi. Salah satu indeks yang menjadi patokan dalam perawatan ortodontik adalahIndex of Orthodontic Treatment Need(IOTN).

IOTN digunakan untuk mengukur kebutuhan perawatan, mengetahui tingkat keparahan maloklusi sebelum dan sesudah perawatan serta digunakan


(17)

untuk menilai tingkat keberhasilan perawatan. Kelebihan dari indeks ini yaitu telah diterima secara internasional, karena dinilai valid, dapat dipercaya, mudah, dan cepat digunakan (Rumampuk, dkk., 2014). IOTN terdiri dari 2 komponen, yaitu Aesthetic Component (AC) dan Dental Health Component (DHC). AC menilai persepsi seseorang tentang penampilan gigi-geligi pasien. DHC menilai beberapa jenis maloklusi (Hikmah, 2012).

Penelitian mengenai IOTN untuk evaluasi hasil perawatan ortodontik dengan peranti lepasan yang dilakukan oleh Dika (2011), menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dari penilaian model gigi. Keberhasilan perawatan ini berupa perubahan derajat keparahan maloklusi menjadi lebih baik dari sebelum masa awal perawatan ortodontik lepasan dilakukan. Perubahan derajat keparahan maloklusi ini yang menjadi prinsip perhitungan IOTN, sehingga perubahan derajat keparahan maloklusi menjadi lebih buruk setelah lepas braket dengan saat ini dapat menandakan adanya relaps, oleh karena itu IOTN dapat digunakan untuk pengukuran prevalensi relaps. Di kota Yogyakarta cukup banyak pasien yang telah selesai dilakukan perawatan ortodontik aktif, sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui prevalensi terjadinya relaps.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tentang latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumusan sebagai berikut: Bagaimana prevalensi terjadinya relaps setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat?


(18)

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui prevalensi terjadinya relaps setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat menggunakan IOTN.

D. Manfaat Penelitian

Setelah pelaksanaan penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat antara lain:

1. Menambah wawasan keilmuan dan memperluas pengetahuan peneliti yang berkaitan dengan prevalensi terjadinya relaps setelah perawatan dengan alat ortodonti cekat.

2. Sebagai wawasan dan catatan kepada pasien pentingnya menggunakan retensi setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat agar menghindari terjadinya ralaps.

3. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi klinisi ortodontik untuk mengingatkan kepada pasien agar menggunakan retensi setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat untuk menghindari terjadinya relaps.

E. Keaslian Penelitian

Terdapat penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya yaitu:

1. Penelitian dengan judul “Stability and Relapse After Orthodontic Treatment of Deep Bite Cases—a Long-Term Follow-Up Study” yang

dilakukan oleh J. C. Danz, dkk. pada tahun 2012. Penelitian tersebut bertujuan untuk menilai prevalensi relaps setelah perawatan kasusdeep bitedan untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang mempengaruhi


(19)

terjadinya relaps pada pasien deep bitetersebut. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pengukuran Cephalometric Sofware. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa 10% dari 61 sampel menunjukkan terjadinya relaps. Dalam hasil penelitian ini, prevalensi dan jumlah relaps terlalu rendah untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko terjadinya relaps. Perbedaannnya, peneliti bertujuan mencari tahu prevalensi terjadinya relaps pada pengguna retainer bukan mencari tahu penyebab relaps dari suatu maloklusi.

2. Penelitian dengan judul “Penggunaan Index of Orthodontic Treatment Need (IOTN) Sebagai Evaluasi Hasil Perawatan dengan Peranti Lepasan” yang dilakukan oleh Deddy Desmar Dika, Dkk pada tahun 2011. Penelitian tersebut bertujuan untuk untuk mengevaluasi hasil perawatan ortodontik lepasan menggunakan indeks IOTN. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kemajuan dari perawatan ortodontik yang telah menggunakan peranti lepasan. Keberhasilan perawatan ini berupa perubahan derajat keparahan maloklusi menjadi lebih baik dari sebelum masa awal perawatan ortodontik lepasan dilakukan. Perbedaannya adalah penelitian tersebut dilakukan pada sampel dengan alat ortodontik lepasan sedangkan pada penelitian yang dilakukan peneliti dilakukan pada sampel dengan alat ortodontik cekat dan untuk mengetahui prevalensi terjadinya relaps.


(20)

7

1. Perawatan Ortodontik

Perawatan ortodontik merupakan perawatan yang dilakukan di bidang kedokteran gigi yang bertujuan untuk mendapatkan penampilan dentofasial yang menyenangkan secara estetika yaitu dengan menghilangkan susunan gigi yang berdesakan, mengoreksi penyimpangan rotasional dan apikal dari gigi-geligi, mengoreksi hubungan antar insisal serta menciptakan hubungan oklusi yang baik (Finn, 2003).

Perawatan ortodontik dibagi menjadi beberapa klasifikasi, antara lain yang pertama berdasarkan waktu dan tingkatan maloklusi: (1) Ortodontik preventif. Perawatan ini adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk menjaga yang semestinya menjadi oklusi normal pada waktu tertentu. Ortodontik preventif membutuhkan kemampuan untuk menilai dento-fasial normal, perkembangan, pertumbuhan dan penyimpangan dari arah normal. Pada perawatan ini, dituntut untuk mengeliminasi kebiasaan lokal yang melibatkan struktur dento-fasial antara lain, malnutrisi, memelihara bentuk gigi dengan restorasi yang tepat, penggunaan space maintainer setelah gigi susu tanggal prematur. (2) Ortodontik interseptif. Menurut American Association of Orthodontists, ortodontik interseptif adalah suatu fase dari pengetahuan dan seni ortodontik yang digunakan untuk mengenali dan menghilangkan potensi penyimpangan dan malposisi dalam perkembangan


(21)

komplek dentofasial. Dalam fase ini, berkonsentrasi khusus dalam upaya untuk menangani kondisi maloklusi atau malformasi gigi untuk menciptakan perkembangan yang normal. Langkah-langkah pencegahan tersebut antara lain termasuk kontrol karies, anatomi restorasi gigi, pemeliharaan ruang, koreksi kebiasaan buruk, kelainan genetik dan kongenital, dan pengawasan tanggalnya gigi desidui. Prosedur dalam bidang ortodontik preventif dan interseptif saling berkaitan, oleh karena itu keduanya tidak bisa terpisahkan. Tetapi, pada ortodontik interseptif sudah dijumpai adanya maloklusi atau malformasi gigi untuk ditangani sedangkan pada ortodontik preventif ditujukan untuk mencegah maloklusi atau malformasi terjadi. (3) Ortodontik kuratif. Seperti ortodontik interseptif, ortodontik kuratif juga melihat adanya maloklusi dan kebutuhan untuk menghilangkan gejala dan permasalahannya. Prosedur yang digunakan dalam ortodontik kuratif bisa mekanik, fungsional, dan pembedahan (Sulandjari, 2008).

Berdasarkan cara pemakaian alat perawatan ortodontik dibagi menjadi: (1) Perawatan dengan alat lepasan Alat ortodontik lepasan adalah alat yang dapat diaplikasikan dan dilepas oleh pasien. Terdapat empat komponen yang harus dimiliki sebuah alat ortodontik lepasan, yaitu komponen aktif, komponen retentif, komponen penjangkar, dan plat dasar. Alat ini membutuhkan fleksibilitas jumlah waktu pasien dalam pemakaian dan memberikan pilihan penggunaan spring untuk pegerakan minor gigi. Komponen aktif terdiri dari pir-pir pembantu/auxilliary springs, sekrup


(22)

ekspansi (expansion screw), dan karet elastik (elastic rubber). Komponen rententif terdiri dari klamer/clasp, busur labial dalam keadaan pasif, dan kait/hook. Sedangkan komponen penjangkar terdiri dari klamer-klamer dan modifikasinya, busur labial dalam keadaan pasif, dan verkeilung. (2) Perawatan dengan alat cekat. Alat ortodontik cekat adalah alat yang ditempelkan pada gigi pasien. Alat ini dapat menjangkau pergerakan gigi yang lebih luas dibandingkan dengan alat ortodontik lepasan. Braket mampu menggerakkan gigi secara vertical atau miring, serta pergerakan gigi secara bersamaan dihasilkan dari interaksi braket dan archwire yang melalui braket. Indikasi dari alat ortodontik cekat antara lain untuk mengkoreksi rotasi gigi, koreksi intrusi dan ekstrusi gigi, overbite, dan koreksi maloklusi sedang hingga parah. Alat ortodontik cekat memiliki komponen- komponen antara lain band, braket, adesif ortodontik, kawat busur danauxiliaries(Sulandjari, 2008).

Berdasarkan periode perawatan ortodontik dibagi menjadi: (1) Periode aktif, merupakan periode saat menggunakan alat ortodontik yang memiliki tekanan mekanis untuk dilakukan pengaturan gigi-gigi yang malposisi, atau dengan memanfaatkan tekanan fungsional otot-otot sekitar mulut dilakukan perawatan untuk mengoreksi hubungan rahang bawah dan rahang atas. Contoh alat pada periode aktif adalah yang pertama alat aktif (plat aktif dan plat ekspansi) dan yang kedua alat pasif yaitu aktivator (suatu alat myofungsional). (2) Periode pasif, atau disebut juga periode retensi wajib dilalui oleh pasien-pasien dengan kasus maloklusi tertentu pasca


(23)

perawatan ortodontik. Periode pasif ini bertujuan untuk menetapkan posisi gigi pasca perawatan ortodontik agar tidak kembali ke bentuk semula (relaps), sehingga kedudukan gigi-gigi yang telah dikoreksi dapat dipertahankan dan kemungkinan terjadinya relaps tersebut rendah. Periode ini dilakukan dengan meretensi menggunakan retainer. Alat-alat retensi bervariasi tergantung kasus pasien dan perawatan ortodontik yang dilakukan (Sulandjari, 2008). Sejalan dengan pemahaman bahwa perawatan ortodontik adalah suatu tindakan menggerakkan gigi geligi dan menempatkannya pada posisi yang benar dalam lengkung gigi sehingga dapat memperbaiki fungsi bicara, pengunyahan dan estetik, maka prinsip perawatan ortodontik adalah bahwa jika tekanan diaplikasikan ke gigi secara berkelanjutan, maka pergerakan gigi akan terjadi melalui proses resorpsi tulang di daerah yang mengalami tekanan dan aposisi tulang baru di daerah yang mengalami tarikan pada gigi tersebut (Alawiyah & Sianita, 2012).

2. Relaps

Relaps adalah suatu keadaan yang dijumpai pasca perawatan ortodontik dan ditandai dengan kembalinya sebagian atau seluruh kondisi seperti pra-perawatan ortodontik atau dengan kata lain, relaps dapat mengakibatkan hilangnya hasil yang telah dicapai dalam suatu perawatan ortodontik (Gill, 2008). Menurut Moyers (1988), relaps adalah suatu istilah yang digunakan pada suatu keadaan hilangnya koreksi yang telah dicapai dalam perawatan ortodontik.


(24)

Menurut Bhalajhi (2001), beberapa faktor yang dapat menyebabkan relaps, antara lain: (1) Tarikan pada Ligament Periodontal. Saat gigi-gigi digerakkan (digeser) secara ortodontik, jaringan utama periodontal dan jaringan gingival yang mengelilingi gigi akan merenggang. Jaringan yang merenggang ini akan memendek sehingga dapat berpotensi menyebabkan relaps pada gigi. Jaringan jaringan ligamen periodontal menyesuaikan diri dengan posisi baru secara cepat. Penelitian membuktikan bahwa jaringan utama akan berekonstruksi dalam waktu 4 minggu. Sebaliknya, jaringan gingival supra alveolar butuh waktu 40 minggu untuk dapat menyesuaikan diri dengan posisi yang baru, sehingga mudah untuk relaps kembali. Setelah perawatan ortodontik yang komprehensif, retensi harus dilanjutkan selama 4-5 bulan untuk memberikan waktu bagi jaringan periodontal berekonstruksi kembali. Setelah masa ini, retensi harus dilanjutkan selama 7-8 minggu lagi untuk memberikan waktu bagi jaringan gusi beradaptasi kembali dengan posisi barunya. (2) Adaptasi Tulang. Gigi-gigi yang baru saja digerakkan akan dikelilingi oleh tulang osteoid yang sedikit terkalsifikasi, sehingga gigi tidak cukup stabil dan cenderung untuk kembali ke posisi semula. Tulang trabekula biasanya tersusun tegak lurus terhadap sumbu gigi. Namun selama masa perawatan ortodontik posisinya paralel dengan arah tekanan. Selama masa retensi, gigi-gigi tersebut dapat kembali ke posisi semula. (3) Tekanan Otot Gigi diselubungi oleh otot-otot. Ketidakseimbangan otot diakhir masa perawatan ortodontik akan menimbulkan maloklusi kembali. Ortodontiks harus mengharmonisasikan


(25)

atau menyeimbangkan semua otot-otot yang mengelilingi gigi geligi tersebut diakhir perawatan ortodontik dengan tujuan untuk memperkuat kestabilan gigi-gigi tersebut. (4) Kegagalan Menghilangkan Faktor Penyebab. Penyebab maloklusi sebaiknya diketahui saat menentukan diagnosa dan tahap perawatan harus ditentukan atau direncanakan terlebih dahulu untuk mengeleminasi atau mengurangi tingkat keparahan maloklusi tersebut. Kegagalan menghilangkan faktor penyebab dapat mengakibatkan relaps. (5) Peranan gigi molar ketiga. Gigi molar ketiga muncul terakhir di masa pertumbuhan gigi geligi. Gigi molar ketiga erupsi sekitar usia 18 sampai 21 tahun, pada usia itu kebanyakan pasien umumnya telah menyelesaikan perawatan ortodontik mereka. Tekanan yang dihasilkan karena erupsi gigi molar ketiga ini dianggap sebagai penyebab ketidakteraturan susunan gigi anterior yang rentan relaps. (6) Peranan oklusi. Hubungan cusp antara gigi rahang atas dengan gigi rahang bawah merupakan faktor penting dalam menjaga kestabilan gigi yang sedang dirawat ortodontik. Untuk mendapatkan kestabilan hasil perawatan, maka oklusi sentries dan relasi sentries sebaiknya tepat atau kurang dari 1,5-2 mm setelah perawatan. Adanya kebiasan buruk seperti clenching, grinding, menggigit kuku, menggigit bibir, dan sebagainya adalah faktor penting yang dapat menyebabkan terjadinya relaps. Kebiasaan buruk yang tidak dikoreksi oleh ortodontik selama perawatan akan memperkuat kecenderungan relaps paska perawatan ortodontik.


(26)

Al Yami, dkk. (1999) di University of Nijmegen, The Netherlands melakukan penelitian yang berjudul “Stability of orthodontic treatment outcome: follow-up until 10 years post-retention” menggunakan retrospective case study pada lebih dari 1000 orang yang memakai retainer selama satu tahun denganHawley Retainerpada rahang atas and fixed 3-3 retainers pada rahang bawah. Dilakukan pendataan setelah dilakukan retensi pada 2, 5, and 10 tahun untuk dilakukan perhitungan terjadinya relaps dengan menggunakan peer assessment rating index (PAR). Hasilnya menunjukkan 50% relaps terlihat pada 2 tahun pasca-retensi, 28% relaps terlihat pada 2-5 tahun pasca-retensi, dan 12% relaps terlihat pada 5-10 tahun pasca-retensi. Kesimpulannya semua bentuk oklusi terjadi relaps secara bertahap dari waktu ke waktu, tetapi tetap stabil sejak 5 tahun pasca retensi walaupun titik kontak pada oklusi rahang bawah bergeser sangat cepat dan berkelanjutan bahkan melebihi keadaan awal. Dalam kasus ini, pasien harus diberi informasi akan keterbatasan perawatan bahwa relaps dapat terjadi agar pasien mendapatkan harapan yang lebih baik. Penelitian lain oleh J. C. Danz, dkk. pada tahun 2012 dengan judul “Stability and Relapse After Orthodontic Treatment of Deep Bite Cases—a Long-Term Follow-Up Study” bertujuan untuk menilai prevalensi relaps setelah perawatan kasus deep bite dan untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya relaps pada pasien deep bite. Penelitian tersebut dilakukan dengan pengukuran radiografi cephalometri lateral dan hasil yang didapat menunjukkan bahwa 10% dari 61 sampel menunjukkan


(27)

terjadinya relaps. Dalam hasil penelitian ini, prevalensi dan jumlah relaps terlalu rendah untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko terjadinya relaps. 3. Retensi

Retensi berasal dari kata “retain” yang artinya menahan atau

mempertahankan dalam satu garis (Parker, 1988). Retensi menurut Moyers (1988) adalah mempertahankan gigi yang baru digerakkan pada posisinya cukup lama untuk dapat menstabilisasi koreksinya.

Menurut Profit (2007), terdapat tiga alasan utama mengapa retensi dibutuhkan yaitu pertama gingiva dan jaringan periodontal dapat terpengaruh oleh adanya pergerakan gigi saat perawatan ortodontik dan memerlukan waktu untuk reorganisasi setelah alat ortodontik tersebut dilepaskan. Kedua yaitu kemungkinan gigi pada posisi yang belum stabil setelah perawatan ortodontik, sehingga tekanan dari jaringan lunak dapat menimbulkan relaps. Terakhir adalah perubahan yang dihasilkan oleh pertumbuhan tulang alveolar dan jaringan gigi pada masa pertumbuhan dapat mengubah hasil perawatan ortodontik.

Pemilihan tipe retainer memiliki peranan penting dalam menekan terjadinya relaps setelah perawatan ortodontik aktif, karena piranti retensi yang rumit, sulit saat pemakaian maupun pelepasan, dan ketidaknyamanan pasien saat penggunaan akan menjadikan pasien tersebut tidak kooperatif dan tidak disiplin dalam pemakaiannya. Pertimbangan yang terpenting dalam pemilihan tipe retainer adalah hendaknya retainer dibuat sesederhana


(28)

mungkin, mudah saat pemakaian dan pelepasan, dan pasien merasa nyaman (Alawiyah & Sianita, 2012).

Macam-macam retainer dan jenis retainer yang akan digunakan tergantung pada berbagai macam faktor seperti, tipe maloklusi yang dirawat, kebutuhan estetik, kebersihan rongga mulut pasien, kerja sama pasien, durasi dari pemakaian piranti retensi , dan lain-lain. Menurut Graber (2000) durasi atau lama pemakaian retainer ini tergantung indikasi dan tipe maloklusi gigi yang dirawat. Pertama adalah tidak menggunakan retainer. Indikasi untuk jenis ini adalah untuk kasus cross bite anterior, prosedur serial ekstraksi, relasi kaninus kelas 1 pada kasus ekstraksi, dan cross bite posterior. Kedua adalah retainer jangka pendek yaitu digunakan selama 3-6. Indikasi untuk jenis ini adalah kelas 1 non ekstraksi dan deep bite kelas 1. Ketiga retainer jangka menengah yang digunakan selama kurang lebih 1-5 tahun. Indikasinya adalah untuk kasus kelas I Angle (rotasi gigi, diastema, deep overbite, anomali karena kebiasaan buruk, insisivus lateralis, dan ekspansi gigi) kelas II Angle, dan kelas III Angle. Terakhir adalah jenis retainer permanen yang digunakan pasien secara tetap dan tidak dapat dilepas. Biasanya digunakan pada pasien dengancleft palateatau celah pada palatal.

Menurut Bennet (2002) bentuk retainer sangat bervariasi dan dapat dimodifikasi sehingga banyak sekali macamnya. Retainer dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu retainer lepasan dan retainer cekat. Retainer Lepasan merupakan alat pasif yang dapat dilepas dan dipasang oleh pasien sendiri.


(29)

Untuk itu ketaatan pasien sangat menentukan keberhasilan alat ini.Hawley

retainer merupakan retainer lepasan yang paling sering digunakan. (Pinkham JR, 1994)

Gambar 1.HawleyRetainer (Iswari S., 2012)

Macam retainer lepasan adalah sebagai berikut: (1) Begg retainer ditemukan dan dipopulerkan oleh P. R. Begg. Keuntungan retainer ini adalah tidak adanya kawat yang terlalu berlebih sehingga bisa mengeliminasi resiko adanya ruang yang terbuka atau diastema...

...

Gambar 2.Begg’sRetainer (Iswari S., 2012)

(2)Clip onRetainer atauSpring Aligner.Spring aligneratauspring retainer didesain khusus untuk digunakan pada region anterior. Alat ini biasa digunakan untuk mengkoreksi kelainan gigi rotasi yang sering terlihat di regio anterior rahang bawah. (3) Removable Wraparound Retainer. Retainer ini merupakan versi kelanjutan dari spring aligneryang menutupi seluruh gigi. Retainer wraparound lebih estetik tetapi tidak nyaman dipakai


(30)

dibandingkanHawleyretainer, serta tidak efektif untuk mengkoreksi kasus overbite. (4) Kesling’s Tooth Positioner. Tooth positioner pertama kali dikembangkan olehH. D Keslingpada tahun 1945. Terbuat dari bahan karet termoplastik yang menutupi mahkota dan sebagian dari gingiva. Kekurangannya adalah membuat pasien sulit untuk berbicara dan resiko terjadinya masalah TMJ (Profit, 2007). (5)RicketsRetainer. Dikembangkan oleh Rickets, hampir sama dengan Hawley. Retainer ini juga baik untuk pasien dengan kasus pencabutan (McNamara, 2001). (6) Van Der Linden

Retainer. Popular di Eropa, dikembangkan oleh Frans van der Linden dari Netherland. Cengkram pada gigi molar terakhir dapat digunakan untuk menggeser molar kedua yang berada di bukal ke arah mesial dan palatal (Bennet, 2002). (7) Invisible retainer/ Vacuum Former Retainer. Jenis retainer ini terbuat dari Bioacryl yang tipis atau bahan lain serupa, yang kemudian dipanaskan dan dicetak dengan daya hisap atau tekanan pada model kerja dari gigi pasien (Mc Namara, 2001). Invisible retainer merupakan retainer yang menutupi seluruh mahkota klinis dan sebagain jaringan gingiva. Terbuat dari lembaran termoplastik transparan ultra tipis menggunakan mesin Biostar. Retainer ini tidak mencolokdan diterima dengan baik oleh pasien.


(31)

Retainer cekat adalah alat cekat yang digunakan untuk koreksi ortodontik dapat ditinggalkan ditempatnya sebagai retainer. Macam retainer cekat adalah sebagai berikut: (1)Banded Canine to Canine Retainer. Tipe retainer ini biasanya digunakan pada regio anterior bawah (Profit, 2007). (2)

Bonded Lingual Retainer. Merupakan retainer yang diikat di permukaan lingual gigi. Selain itu bonded lingual retainer dapat juga diletakkan di rahang atas setelah perawatan diastema antara gigi insisif sentral. Retainer akan mencegah kembali celah di antara gigi insisif sentral rahang atas. (3)

BanddanSpurRetainer. Retainer tipe ini digunakan pada kasus dengan satu gigi yang dirawat secara ortodontik terutama untuk mengkoreksi rotasi atau untuk labio-lingual displacement.

4. Indeks Orthodontic Treatment Need

Index of Orthodontic Treatment Need (IOTN) disusun oleh Brook dan Shaw dimodifikasi oleh Richmond pada tahun 1989. Indeks ini telah mendapatkan pengakuan nasional dan internasional sebagai metode yang sederhana, reliable, valid, dan secara objektif menilai kebutuhan dan keberhasilan akan suatu perawatan ortodontik. IOTN terdiri dari 2 komponen, yaituAesthetic Component(AC) danDental Health Component

(DHC).

AC menilai persepsi seseorang tentang penampilan gigi-geligi pasien melalui sebuah skala fotograf, dimana terdapat 10 poin yang menunjukkan tingkatan penampilan gigi-geligi yang secara estetik terlihat paling menarik dan estetik paling tidak menarik. DHC menilai beberapa


(32)

jenis maloklusi seperti overjet, overbite, openbite, crossbite, crowding,

erupsi palatal yang terhalang, anomali palatal dan bibir, serta hypodonsia

(Rahardjo, 2009). AC terdiri dari 10 gambar berwarna yang menunjukkan tingkatan derajat yang berbeda dari penampilan estetik susunan geligi. Dengan mengacu pada gambar ini, derajat penampilan estetik gigi dari pasien dapat dinilai dalam salah satu tingkatan derajat tertentu. Keuntungannya tidak dipengaruhi oleh kebersihan mulut, kondisi gingiva atau restorasi yang terlihat pada gigi depan.Tingkat 1 menunjukkan susunan gigi yang paling menarik dari sudut estetik geligi, sedangkan tingkat 10 menunjukkan susunan geligi yang paling tidak menarik. Dengan demikian skor ini merupakan refleksi dari kelainan estetik susunan geligi. Tingkatan derajat keparahan dari AC adalah sebagai berikut: skor 1-4: tidak perlu perawatan/perawatan ringan, skor 5-7: perawatan borderline/sedang, skor 8-10: sangat memerlukan perawatan.

DHC diajukan untuk mengatasi subjektifitas pengukuran dengan batas ambang yang jelas yaitu dengan menilai beberapa jenis maloklusi. Ciri maloklusi dilihat overjet, overbite, open bite, crossbite, displacement of teeth, oklusi bukal, hypodontia, dan defek celah bibir dan palatum. Gangguan fungsi juga termasuk bibir kompeten, seperti pergeseran mandibula, traumatik oklusi dan gangguan pengunyahan atau kesulitan bicara. Tingkatan derajat DHC menunjukkan berapa besar prioritas untuk perawatan, dengan perincian sebagai berikut: skor 1-2: tidak perlu perawatan/perawatan ringan, skor 3: perawatan borderline/sedang, skor


(33)

4-5: sangat memerlukan perawatan. Untuk membantu pengukuran DHC digunakan penggaris plastik yang transparan dimana pada penggaris tersebut berisi semua informasi yang diperlukan (Agusni,2001).

IOTN dapat mengukur keberhasilan akan suatu perawatan ortodontik. Salah satu cara yaitu dengan membandingkan sebelum perawatan dengan alat ortodontik cekat dan sesudah perawatan dengan alat ortodontik cekat (Dika dkk., 2011).

B. Landasan Teori

Relaps merupakan kembalinya susunan gigi geligi ke posisi semula atau terjadinya perubahan posisi setelah dilakukan perawatan ortodontik. Hal ini di sebabkan oleh banyak hal seperti tarikan dari ligament periodontal, perubahan pertumbuhan, adaptasi tulang, tekanan otot, kegagalan menghilangkan faktor penyebab, tumbuhnya gigi molar ketiga, dan oklusi. Kebiasaan buruk dan kepatuhan pasien dalam memakai retainer juga mempengaruhi terjadinya relaps. Pada penelitian-penelitian sebelumnya di Belanda dan di Eropa diperoleh hasil bahwa prevalensi terjadinya relaps masih cukup tinggi.

Terjadinya relaps dapat dicegah dengan pemasangan retensi dan pemakaian yang teratur. Retensi digunakan untuk mempertahankan posisi gigi geligi setelah perawatan ortodontik. Alat untuk meretensi gigi geligi tersebut adalah retainer. Pentingnya pemakaian retainer ini dikarenakan gingiva dan jaringan periodontal memerlukan waktu untuk berada di posisi baru, selain itu tekanan jaringan lunak juga dapat mempengaruhi terjadinya relaps, serta pertumbuhan dapat mengubah hasil akhir perawatan ortodontik.


(34)

Terdapat berbagai macam tipe retainer, dimana pemilihan tipe retainer memiliki peranan penting dalam menekan terjadinya relaps setelah perawatan ortodontik aktif. Berbagai macam tipe retainer memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kenyamanan alat retainer, kemudahan saat memakai dan melepas, dan kooperatif pasien sangat penting dalam mencegah terjadinya relaps. Adanya berbagai macam faktor penyebab terutama pemakaian retainer, kemungkinan prevalensi terjadinya relaps masih cukup tinggi. Di Indonesia, saat ini minat perawatan ortodontik dengan alat cekat sangat tinggi, namun penelitian mengenai prevalensi terjadinya relaps masih sangat jarang dilakukan.

Salah satu indeks yaitu IOTN dapat mengukur suatu kebutuhan ortodontik dan mengevaluasi setelah perawatan ortodontik selesai. Terdapat dua komponen didalam indeks ini, yaitu AC yang dapat mengukur tingkat estetik suatu gigi geligi dan DHC mengukur dan menilai tentang macam macam maloklusi. Pengukuran AC dan DHC dapat dilakukan pada cetakan gigi atau study model. Adanya derajat keparahan maloklusi setiap model studi setelah perawatan periode aktif selesai dan setelah atau selama perawatan periode pasif dapat diukur. Terjadinya relaps dilihat jika terdapat perbedaan derajat keparahan maloklusi dari hasil pengukuran AC dan DHC pada akhir perawatan periode aktif dan setelah atau selama perawatan periode pasif.


(35)

C. Kerangka Konsep

Gambar 4.Kerangka konsep

Perawatan Ortodontik

Cekat

Periode Aktif

Periode Pasif (Pemakaian Retensi)

Tanpa Retensi

Dengan Retensi Selesai

Perawatan (Lepas Braket)

Prevalensi Relaps

Pengukuran Perubahan Menggunakan


(36)

D. Hipotesis

Berdasarkan uraian latar belakang dan tinjauan pustaka diatas diambil hipotesis: Terdapat prevalensi relaps setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat berdasarkan perhitungan menggunakan IOTN.


(37)

24 A. Desain Penelitian

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, jenis penelitian ini adalah penelitian observational analitik.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi dalam penelitian ini adalah cetakan setelah perawatan ortodontik cekat dan cetakan saat pemakaian retainer.

2. Sampel dalam penelitian ini dihitung dengan Rumus Federer sesuai dengan kriteria inklusi.

Rumus Federer = (t-1)(n-1)≥15 keterangan =

(2-1)(n-1)≥15 t= jumlah kelompok=2

n-1≥15 n=jumlah sampel

n≥16

Sampel yang dipakai dalam penelitian ini berjumlah 24. Karena ada 2 kelompok yaitu cetakan setelah lepas braket dan cetakan saat ini, maka terdapat 48 cetakan. Sampel yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari berbagai klinik pribadi ortodontik.

3. Kriteria inklusi dan eksklusi a. Kriteria Inklusi

1) Sudah selesai melakukan perawatan dengan alat ortodontik cekat. 2) Tidak dibedakan jenis kelamin.


(38)

3) Tersedia cetakan gigi pada saat lepas braket dan cetakan gigi saat penelitian.

4) Lepas braket minimal 3 bulan. b. Kriteria Eksklusi

Usia pasien dibawah 17 tahun karena masih mengalami pertumbuhan gigi geligi.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan Januari sampai Mei 2016.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel pengaruh : Periode pasif perawatan ortodontik. 2. Variabel terpengaruh : Terjadinya relaps.

3. Variabel terkendali :

a. Usia.

b. Minimal 3 bulan setelah lepas braket. 4. Variable tak terkendali :

a. Kepatuhan dalam penggunaan retainer.

b. Lama perawatan dengan alat ortodontik cekat. c. Jenis kelamin.

d. Lama pemakaian retainer sampai saat penelitian. e. Keparahan kasus.


(39)

E. Definisi Operasional

1. Relaps adalah adanya perbedaan derajat keparahan maloklusi dari hasil pengukuran AC dan DHC setelah perawatan periode aktif dan setelah atau selama perawatan periode pasif.

2. Periode Aktif adalah periode perawatan ortodontik aktif dengan menggunakan alat ortodontik cekat.

3. IOTN atau Indeks Orthodontic Treatment Need adalah salah satu indeks yang digunakan untuk mengukur terjadinya relaps. Pada penelitian ini pengukuran dilakukan dengan mengamati cetakan setelah lepas braket dengan cetakan saat ini.

F. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat penelitian

a. Cetakan positif terakhir setelah lepas braket.

b. Cetakan positif yang diambil untuk menghitung IOTN. c. Penggaris DHC IOTN

d. Spatula. e. Rubber bowl. f. Sendok cetak. 2. Bahan penelitian

a. Alginat b. Aquades c. Gips


(40)

G. Jalannya Penelitian

1. Tahap Persiapan

a. Pemilihan dan penentuan subjek (berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi).

b. Menghubungi dokter yang merawat subjek untuk meminjam hasil cetakan setelah lepas braket.

c. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian. 2. Tahap Pelaksanaan

a. Mencetak study model dengan sendok cetak menggunakan alginat kemudian di isi dengan gips untuk menghasilkan cetakan positif saat lepas braket.

b. Menghubungi semua subjek penelitian lalu briefing , diantaranya: perlakuan yang akan diberikan, jadwal penelitian, jalannya penelitian.

c. Mencetak rahang pasien dengan sendok cetak menggunakan alginat lalu di isi dengan gips untuk menghasilkan cetakan positif saat periode retensi atau saat ini.

d. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian untuk pengukuran indeks dengan IOTN.


(41)

Pengukuran indeks tersebut dilakukan dengan menggunakan dua komponen,aesthetic component(AC) dandental health component(DHC). 1. AC

AC terdiri dari sepuluh skala foto berwarna menunjukkan keadaan gigi. Kelas 1 menunjukkan paling besar dan kelas 10 menunjukkan paling sedikit susunan giginya. Monokrom foto digunakan sebagai penilaian model gigi. Keuntungannya tidak dipengaruhi oleh kebersihan mulut, kondisi gingiva atau restorasi yang terlihat pada gigi depan. Kelas 1, 2, 3 dan 4 menunjukkan ringan atau tidak membutuhkan perawatan, kelas 5, 6 dan 7 menunjukkan sedang atau membutuhkan perawatan, kelas 8, 9 dan 10 menunjukkan sangat membutuhkan perawatan ortodontik. Komponen ini dianalisa oleh tiga orang penilai untuk menurunkan subjektifitas (Hikmah, 2012).


(42)

2.Dental Health Component(DHC)

DHC melibatkan kerusakan gigi dan fungsi gigi. Hal ini didasarkan pada indeks Swedish Medical Health Board. DHC menunjukkan variasi maloklusi akan meningkatkan morbiditas gigi. Ciri maloklusi dilihat overjet,overbite,open bite,crossbite,displacement of teeth, oklusi bukal, hypodontia,dan celah bibir dan palatum. Pengukuran DHC menggunakan penggaris khusus DHC IOTN (gambar 6 dan 7). Terdapat lima kelas. Kelas satu dan dua menunjukkan tidak membutuhkan atau sedikit membutuhkan perawatan, kelas tiga menunjukkan sedang dalam membutuhka perawatan, kelas empat dan lima menunjukkan sangat membutuhkan perawatan (Hikmah, 2012). Komponen DHC ditunjukkan di bawah ini:

Tabel 1. Dental Health Components of index of orthodontic treatment need( IOTN ) (Brook & Shaw, 1989)

Grade 1 1 Maloklusi yang sangat ringan termasuk perpindahan titik kont ak kurang dari 1mm.

Grade 2 2a Peningkatan jarak gigit > 3.5mm tetapi≤ 6 mm dengan bibir

yang kompeten.

2b Penurunan jarak gigit> 0mm tetapi≤1mm.

2c Gigitan silang anterior /posterior dengan perbedaan antararet ruded contact position(RCP)dan Intercuspal position(IP)≤

1mm

2d Perpindahan titik kontak > 1mm tetapi≤2mm.

2e Gigitan terbuka anterior atau posterior > 1mm tetapi≤2mm. 2f Peningkatan tumpang gigit≥3,5 mm , tanpa kontak gingiva 2g Oklusi pre-normal atau post-normal tanpa anomali lainnya (t


(43)

Grade 3 3a Peningkatan jarak gigit>3.5mm tetapi≤ 6mm dengan bibir tid

ak kompeten.

3b Penurunan jarak gigit> 1mm tetapi≤3,5 mm.

3c Gigitan silang anterior /posterior dengan perbedaan antararet ruded contact position(RCP)dan Intercuspal position(IP) > 1mm tetapi≤ 2mm

3d Perpindahan titik kontak >2mm tetapi≤4mm.

3e Gigitan terbukalateral / anterior > 2mm tetapi≤4mm.

3f Peningkatan tumpang gigit tanpa disertai trauma gingival/ pal atal

Grade 4 4a Peningkatan jarak gigit> 6 mm tetapi≤ 9mm.

4b Penurunan jarak gigit> 3.5mm tanpa kesulitan pengunyahan atau bicara

4c Gigitan silang anterior / posterior dengan diskrepansi antarar etruded contact position(RCP)dan Intercuspal position(IP) > 2mm

4d Perpindahan titik kontak > 4mm

4e Gigitan terbuka lateral / anterior > 4mm

4f Peningkatan tumpang gigit dengan trauma gingiva atau palat al

4h Hipodonsia kurang luas yang perlu perawatan restorasi atauo rthodontic space closuresehingga menghapus keharusan pem buatan protesa

4l Gigitan silang lingual bagian posterior tanpa kontak oklusal f ungsional pada satu atau kedua segmen bukal.

4m Penurunan jarak gigit> 1mm tetapi <3.5mm dengan gangguan pengunyahan atau kesulitan bicara.

4t Gigi erupsi sebagian, tiping dan impaksi berdampak terhadap gigi sebelahnya


(44)

4x Kehadiran gigi supernumerary

Grade 5 5a Peningkatanjarak gigit> 9mm

5h Hipodonsia luas dengan implikasi restorasi (lebih dari 1 gigi hilang dalam kuadran mana pun) yang memerlukan restorasi s ebelum perawatan ortodonti

5 i Erupsi gigi yang terhambat akibatcrowding,perpindahan, keh adiran gigisupernumerary, retensi gigi sulung dan penyebab patologis lainnya (kecuali gigi molar tiga).

5m Penurunan jarak gigit> 3.5mm dengan gangguan pengunyaha n atau kesulitan bicara

5p Celah bibir dan langit-langit serta anomali kraniofasial lainn ya.


(45)

Gambar 6.Penggaris DHC IOTN (Brook & Shaw, 1989)

Gambar 7.Cara Penggunaan Penggaris DHC IOTN: (a) Pengukuran Overjet (b) Pengukuran Pergeseran Titik Kontak

Bagian ini menunjukkan deskripsi anomali pada oklusi

Bagian ini digunakan untuk mengukuroverjet Setengah bagian atas–overjetpositif

Setengah bagian bawah–overjetnegatif Bagian ini untuk mengukuropen bite, displacement, contact point. Setiap garis menunjukkan tingkat keparahan

Keterangan: I–incompetent lips C–competent lips O B–overbite

G+P–trauma gingival dan palatal Dev.–deviasi

Interdig - interdigitasi


(46)

H. Analisis Data

Untuk mengetahui adanya relaps pada pengguna retensi setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat, data diperoleh dengan dengan bentuk ordinal. Uji statistik Shapiro-Wilk dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran data normal atau tidak. Jika sebaran data normal, maka uji yang digunakan adalah Paired Sample T test. Sedangkan jika sebaran datanya tidak normal, maka uji yang dilakukan adalah Wilcoxon. Uji ini digunakan untuk mendeteksi signifikansi perbedaan antar variabel.


(47)

34

Penelitian mengenai prevalensi terjadinya relaps setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat telah dilakukan di Fakultas Kedokteran Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan Januari sampai Mei 2016.

Sampel yang diperoleh sebanyak 24 sampel dari cetakan gigi setelah lepas braket dan saat ini yang sesuai dengan kriteria inklusi. Penelitian dari 48 cetakan gigi yang telah dihitung menggunakan IOTN menghasilkan data tabel sebagai berikut:

Tabel 2.Persentase DHC sesudah perawatan dan saat ini

Skor IOTN DHC Kebutuhan

Saat Lepas Braket Saat Ini

1 9 37.5% 3 12.5% Tidak Membutuhkan

Perawatan

2 8 33.34% 11 45.84%

3 2 8.33% 2 8.33% Membutuhkan Perawatan

4 4 16.67% 6 25% Sangat Membutuhkan

Perawatan

5 1 4.16% 2 8.33%

Total 24 100% 24 100%

Berdasarkan tabel 2 yaitu perhitungan menggunakan DHC, dapat diketahui bahwa: pada skor 1-2 (tidak membutuhkan perawatan) didapatkan hasil saat lepas braket terdapat 17 orang (70,84%) sedangkan saat ini turun menjadi 14 orang (58,34%), pada skor 3 (membutuhkan perawatan) didapatkan hasil saat lepas braket terdapat 2 orang (8,33%) sedangkan saat ini jumlah tetap menjadi 2


(48)

orang (8,33%), pada skor 4-5 (sangat membutuhkan perawatan) didapatkan hasil saat lepas braket terdapat 5 orang (20,83%) sedangkan saat ini naik menjadi 8 orang (33,33%). Penurunan jumlah sampel pada skor 1-2 dan kenaikan jumlah sampel pada skor 4-5 ini menunjukkan kebutuhan perawatan yang meningkat dari setelah lepas braket sampai saat ini. Hal ini disebabkan karena terjadinya relaps.

Tabel 3.Persentase AC sesudah perawatan dan saat ini

Skor IOTN AC Kebutuhan

Saat Lepas Braket Saat Ini

1 20 83.34% 15 62.5%

Tidak Membutuhkan Perawatan

2 4 16.66% 8 33.34%

3 0 0% 1 4.16%

4 - - -

-5 - - - - Membutuhkan

Perawatan

6 - - -

-7 - - -

-8 - - - - Sangat Membutuhkan

Perawatan

9 - - -

-10 - - -

-Total 24 100% 24 100%

Berdasarkan tabel 3 yaitu perhitungan menggunakan AC, dapat diketahui bahwa: pada skor 1-4 (tidak membutuhkan perawatan) didapatkan hasil saat lepas braket terdapat 24 orang (100%) sedangkan saat ini tetap menjadi 24 orang (100%). Meskipun tidak ada perubahan jumlah sampel pada kategori “Tidak membutuhan perawatan”, namun terjadi perubahan skor pada skor 1 yang semula 20 (83.34%) turun menjadi 15 (62.5%), pada skor 2 yang semula 4


(49)

(16.66%) naik menjadi 8 (33.34%), dan pada skor 3 yang semula 0 (0%) naik menjadi 1 (4.16%). Hal ini menandakan terjadinya relaps pada penampakan

anterior (estetik) meskipun masih dalam kategori yang sama yaitu “tidak membutuhkan perawatan”.

Tabel 4.Selisih Pengukuran AC dan DHC saat lepas braket dan saat ini

Selisih AC DHC

Jumlah % Jumlah %

0 18 75% 12 50%

1 6 25% 11 45,83%

2 0 0% 1 4,17%

Total 24 100% 24 100%

Pada tabel 4 memuat selisih skor dari setelah lepas braket dengan saat ini. Pada perhitungan AC didapatkan selisih skor 0 ada 18 sampel (75%), selisih skor 1 ada 6 sampel (25%), dan selisih skor 2 ada 0 sampel (0%). Sedangkan pada perhitungan DHC didapatkan selisih skor 0 ada 12 sampel (50%), selisih skor 1 ada 11 sampel (45,83%), dan selisih skor 2 ada 1 sampel (4,17%). Hal ini menunjukkan bahwa pada perhitungan AC dari 24 sampel terdapat 6 sampel yang mengalami selisih (terjadi relaps) dan pada perhitungan DHC dari 24 sampel terdapat 12 sampel yang megalami selisih (terjadi relaps).

Uji Shapiro-Wilk dilakukan untuk menguji normalitas dari distribusi data yang kuantitasnya kurang dari 50 data. Hasil uji normalitas data apabila nilai p>0.05 menunjukkan sebaran data normal dimana tidak ada perbedaan bermakna pada tiap data. Akan tetapi bila p<0.05 maka sebaran data dikatakan tidak normal. Pada tabel 5 dan 6, nilai p <0.05 dengan nilai p yaitu pada DHC 0,001


(50)

dan 0,003 dan pada AC 0,000 dan 0,000 sehingga dikatakan sebaran data tidak normal, maka selanjutnya uji yang dilakukan adalah uji non parametrik.

Tabel 5.Tes Normalitas DHC

Tabel 6.Tes Normalitas AC

UjiWilcoxonmerupakan ujinon parametricstatistic yang digunakan untuk menguji perbedaan data berpasangan pada sebaran data tidak normal. Perbedaan nilai setelah perawatan ortodontik cekat dan saat ini kemudian diuji dan diperoleh nilai p yaitu pada DHC 0,001 dan pada AC 0,014. Hasil tersebut dianggap signifikan bila nilai p<0.05, karena nilai p pada uji statistik tersebut kurang dari 0.05 maka perbedaan nilai skor IOTN setelah lepas braket dan saat ini bermakna secara statistik.Data ditunjukkan pada tabel 7 dan 8 berikut.

Tests of Normality

,262 24 ,000 ,827 24 ,001

,301 24 ,000 ,858 24 ,003

SetelahLepasBraket SaatIni

Statistic df Sig. Statistic df Sig. Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Lilliefors Significance Correction a.

Tests of Normality

,503 24 ,000 ,454 24 ,000

,387 24 ,000 ,681 24 ,000

SetelahLepasBraket SaatIni

Statistic df Sig. Statistic df Sig. Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Lilliefors Significance Correction a.


(51)

Tabel 7.Hasil uji nonparametrik DHC

Tabel 8.Hasil uji nonparametrik AC

B. Pembahasan

Penelitian mengenai prevalensi terjadinya relaps diperoleh hasil menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna secara statistik antara skor setelah perawatan dan saat ini. Berdasarkan data pada pengukuran DHC menggunakan uji Wilcoxon, didapatkan nilai p<0,005 yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan yang berarti ada perbedaan skor DHC setelah lepas braket dengan saat ini. Hasil penelitian menunjukan terdapat penurunan

jumlah sampel pada kategori “tidak membutuhkan perawatan” dan kenaikan

jumlah sampel pada kategori “sangat membutuhkan perawatan”. Hasil ini

menunjukkan terjadi relaps pada sampel sehingga terjadi peningkatan kebutuhan perawatan. Iswari (2012) menjelaskan terdapat banyak faktor yang dapat

Test Statisticsb

-3,357a ,001 Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

SaatIni -Setelah LepasBraket

Based on negative ranks. a.

Wilcoxon Signed Ranks Test b.

Test Statisticsb

-2,449a ,014 Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

SaatIni -Setelah LepasBraket

Based on negative ranks. a.

Wilcoxon Signed Ranks Test b.


(52)

mempengaruhi terjadinya relaps, yaitu tekanan otot, kegagalan menghilangkan faktor penyebab, kebiasaan buruk, pertumbuhan gigi molar ketiga, dan tidak memakai retainer. Pada penelitian ini salah satu faktor tersebut kemungkinan dapat menjadi penyebab terjadinya relaps sehingga terjadi perubahan kategori. Pada saat lepas braket terdapat hasil yang masih kurang baik yang ditandai dengan adanya skor tinggi yaitu 4 dan 5, hal ini terjadi karena saat lepas braket masih didapatkan kasus seperti hipodonsia atau missing teeth, crossbite >2m, danoverbite>6mm dimana kasus ini masuk dalam skor 4 atau 5.

Berdasarkan data AC setelah lepas braket dan saat ini menggunakan uji

Wilcoxon, didapatkan nilai yang sama dengan data DHC yaitu p<0,005, menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan yang berarti ada kenaikan skor AC setelah lepas braket dengan saat ini. Perubahan skor tersebut terlihat dari berkurangnya sampel pada skor 1 yang awalnya 20 sampel turun menjadi 15 sampel. Hal ini menandakan bahwa penampakan gigi geligi tampak depan berkurang keestetikannya. Pada AC terdapat perubahan skor namun kebutuhan perawatan tetap yaitu “tidak membutuhkan perawatan”. Hal ini sedikit berbeda dengan penilaian DHC, pada DHC terdapat sampel yang masuk dalam kategori

“membutuhkan perawatan” dan kategori “sangat membutuhkan perawatan”

sedangkan pada penilaian AC semua sampel masuk dalam kategori “tidak membutuhkan perawatan”. Hal terjadi karena banyak pendapat mengenai hasil AC yang kurang valid karena komponen AC hanya menilai secara subjektif dengan melihat sisi penampilan dari gigi atau estetiknya saja. Pengukuran komponen AC dilakukan dengan membandingkan penampakan depan oklusi


(53)

sentrik dari cetakan setelah lepas braket dengan cetakan saat ini tanpa membandingkan penampakan samping dan penampakan oklusal. Berbeda dengan komponen DHC yang menilai secara objektif dengan melakukan pemeriksaan dan pengukuran keadaan gigi. Dengan demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel dari segi AC penampilan giginya terlihat baik, namun dari segi DHC sangat membutuhkan perawatan (Rumampuk, dkk., 2014).

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kemunduran dari perawatan ortodontik yang telah dilakukan menggunakan alat ortodontik cekat. Kegagalan perawatan atau relaps ini terlihat dari perubahan derajat keparahan maloklusi menjadi lebih buruk dari setelah lepas braket sampai saat ini. Sulit untuk mengetahui faktor utama yang menyebabkan terjadinya relaps, karena penyebab relaps multifaktorial. Menurut Alawiyah dan Sianita (2012), secara rinci, beberapa faktor penyebab relaps yang perlu diperhatikan adalah pengaruh kebiasaan buruk, pengaruh jaringan keras, dan pengaruh jaringan lunak.

Hasil penelitian ini mendukung penelitian-penelitian sebelumnya bahwa relaps masih terjadi. Ketidakpatuhan dalam pemakaian retainer dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya relaps. Jenis-jenis retainer lepasan sepertiHawley

retainer, Begg’s retainer, dan Invisible retainer memiliki peluang lebih besar terjadinya relaps daripada retainer cekat seperti Banded Canine to Canine

retainer, Bonded Lingual retainer, dan Band dan Spur retainer karena retainer lepasan dapat dipakai dan dilepas dengan mudah oleh pasien sendiri. Semua sampel pada penelitian ini menggunakan retainer lepasan, dimana kepatuhan


(54)

pemakaian retainer lepasan juga dipengaruhi oleh kenyamanan alat, jika alat retainer tidak nyaman dipakai dan sulit untuk dilepas dan dipasang oleh pasien sendiri, maka pasien akan malas untuk memakai retainer tersebut sehingga dapat menyebabkan relaps. Oleh karena itu, agar dapat memahami permasalahan terjadinya relaps pada periode retensi ini, dibutuhkan pengetahuan yang mumpuni dari seorang operator serta kedisiplinan dari pasien sendiri dalam menggunakan retainer. Mengingat perawatan ortodontik bukanlah perawatan yang murah, sehingga akan membutuhkan biaya yang lebih bila relaps terjadi.

Index of Orthodontic Treatment Need (IOTN) merupakan indeks yang sering dibutuhkan sebagai acuan dalam menentukan kebutuhan dan evaluasi hasil perawatan ortodontik. Selain itu indeks ini terbukti dapat mengukur terjadinya relaps dengan cara membandingkan cetakan gigi setelah lepas braket dengan cetakan gigi saat penelitian. Meskipun indeks ini telah mendapatkan pengakuan nasional dan internasional dalam menilai kebutuhan dan keberhasilan akan suatu perawatan ortodontik tetapi peneliti merasa terdapat kekurangan dari indeks ini yaitu pada komponen AC. Komponen ini dinilai subjektif karena cara pengukuran skor dilihat dari membandingkan model study dengan gambar komponen AC. Menurut Hansu, dkk. (2013), dari hasil penelitian, pada perhitungan AC subjek merasa penampilan gigi geliginya baik, tetapi ternyata pada perhitungan DHC subjek tersebut cenderung masih membutuhkan perawatan ortodontik.


(55)

42

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian tentang prevalensi terjadinya relaps setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat maka dapat disimpulkan bahwa terdapat prevalensi terjadinya relaps setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat menggunakan indeks IOTN. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan yang signifikan secara statistik antara skor IOTN sesudah perawatan dan saat ini.

Berdasarkan data DHC sesudah perawatan, yang tidak membutuhkan perawatan sebanyak 17 orang (70,84%), yang membutuhkan perawatan sebanyak 2 (8,33%), yang sangat membutuhkan perawatan sebanyak 5 orang (20,83%). Hasil DHC saat ini menjadi 14 orang (58,34%) yang tidak membutuhkan perawatan, membutuhkan perawatan sebanyak 2 orang (8,33%), yang sangat membutuhkan perawatan sebanyak 8 orang (33,33%).

Berdasarkan data AC sesudah perawatan, yang tidak membutuhkan perawatan sebanyak 24 orang (100%), yang membutuhkan perawatan tidak ada (0%), yang sangat membutuhkan perawatan tidak ada (0%). Hasil AC saat ini 24 orang (100%) yang tidak membutuhkan perawatan, membutuhkan perawatan tidak ada (0%), yang sangat membutuhkan perawatan tidak ada (0%). Pada AC terdapat perubahan skor namun kebutuhan perawatan tetap yaitu tidak membutuhkan perawatan, hal ini terjadi karena komponen AC hanya mengukur bagian anterior yaitu estetik tetapi tidak melibatkan bagian posterior.


(56)

B. Saran

Dengan adanya penelitian ini, maka penulis dapat menyarankan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam menilai prevalensi terjadinya relaps setelah perawatan ortodontik dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan menggunakan indeks penelitian yang lain.


(57)

44

Al Yami, Kuijpers-Jagtman, van Hof. (1999). Stability of Orthodontic Treatment Outcome: Follow-Up until 10 Years Postretention [Abstrak].Am J Orthod Dentofacial Orthop, 115: 300–304.

Bennet, J, C. (2002). Orthodontic management of the dentition with the preadjusted appliance.Edinburgh: Mosby.

Bhalajhi, S, I. (2001). Otrhodontics: The art and science, (4th ed). Edinburgh: Mosby.

Brook, P, H. & Shaw, W, C. (1989). The Development of an Index of Orthodontic Treatment Priority.European Journal of Orthodontics, Vol.20, pp. 309-320. Danz, J.C., Greuter C., Sifakakis, Fayed M., Pandis N., & Katsaros C. (2012). Stability and Relapse After Orthodontic Treatment of Deep Bite Cases—a Long-Term Follow-Up Study.European Journal of Orthodontics.

Dika, D, D., Hamid T., & Sylvia M. (2011). Penggunaan Index of Orthodontic Treatment Need (IOTN) Sebagai Evaluasi Hasil Perawatan dengan Peranti Lepasan. Orthodontic Dental Journal, 2(1). 45-48.

Evans, R. & Shaw, W, C. (1987). Preliminary Evaluation of an Illustrated Scale for Rating Dental Attractiveness.European Journal of Orthodontics, Vol.9, pp. 314-318.

Finn, SB. (2003).Clinical pedodontics,(4thed). Birmingham: WB Saunders Co.

Gill, D, S. (2008).Orthodontics at a Glance. London:Backwell,p. 90-91.

Graber, TM. (2000). Orthodontic: Current Principles and Techniques (3rd ed.).

St.Louis: Mosby.

Hansu, C.,Anindita, P, S., & Mariati, N, W. (2013).Kebutuhan Perawatan Ortodonsi Berdasarkan Index Of Orthodontic Treatment Need Di Smp Katolik Theodorus Kotamobagu.Jurnal e-GiGi (eG), 1(2). 99-104.

Hikmah. (2012). Gambaran Kebutuhan Perawatan Ortodontik Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Tamalanrea. Karya Tulis Ilmiah strata satu, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Iswari, S, H. (2012). Relaps dan Pencegahannya dalam Ortodonti.Majalah Ilmiah Widya, 29(319).


(58)

Lau, P, Y, W., dan Wong R, W, K. (2006). Risk and complications in orthodontic treatment. Hong Kong Dental Journal. Diakses 30 Maret 2015. Dari

http://orthofree.com/cms/assets/22.pdf.

MacNamara, J, A. (2001).Orthodontics and Dentiofacial Otrhopedics.Michigan: Needham Press,Inc.

Moyers, RE. (1988). Handbook of Orthodontics, (4th ed). Year Book Medical

Publisher.Inc.

Pinkham J, R. (1994).Pediatric Dentistry: Infancy Through Adolescence,(2nded). Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Parker, W, S. (1988). Retention-Retainer May be Forever [Abstrak]. American Journal of Orthodontics and Dentofacial Orthopedics,95, 505–513. Profit, WR. (2007).Contemporary Orthodontic,(4thed.). St.Louis: Mosby.

Rahardjo, P. (2009).Orthodonti dasar. Surabaya: Airlangga University Press,; p.2-3, 60.

Rumampuk, M, A, V., Anindita P, S., & Mintjelungan C. (2014). Kebutuhan Perawatan Ortodonsi Berdasarkan Index Of Orthodontic Treatment Need

pada Siswa Kelas di Di Smp Negeri 2 Bitung.Jurnal e-GiGi (eG), 2(2). Sulandjari, JCP, H. (2008).Buku Ajar Ortodonsia I KGO I. Yogyakarta: Fakultas


(59)

(60)

4. Dewi 3 bulan 2 2 0

5. Dania 5 bulan 1 2 1

6. Nadia 7 bulan 4 4 0

7. Ghany 4 bulan 4 4 0

8. Anindita 3 bulan 2 4 2

9. Sasya 10 bulan 1 2 1

10. Ahmad 11 bulan 3 4 1

11. Tia 4 bulan 2 2 0

12. Miko 39 bulan 1 2 1

13. Raka 29 bulan 2 3 1

14. Sarah 30 bulan 3 4 1

15. Ima 12 bulan 2 2 0

16. Deddy 16 bulan 4 4 0

17. Dayu 9 bulan 4 5 1

18. Elfi 13 bulan 1 1 0

19. Azza 7 bulan 1 1 0

20. Fajar 116 bulan 1 2 1

21. Nana 29 bulan 1 2 1

22. Rista 19 bulan 2 3 1

23. Maya 7 bulan 1 2 1


(61)

4. Dewi 3 bulan 1 1 0

5. Dania 5 bulan 1 2 1

6. Nadia 7 bulan 2 2 0

7. Ghany 4 bulan 1 1 0

8. Anindita 3 bulan 1 1 0

9. Sasya 10 bulan 2 3 1

10. Ahmad 11 bulan 1 2 1

11. Tia 4 bulan 1 1 0

12. Miko 39 bulan 1 1 0

13. Raka 29 bulan 1 1 0

14. Sarah 30 bulan 1 1 0

15. Ima 12 bulan 1 1 0

16. Deddy 16 bulan 1 1 0

17. Dayu 9 bulan 1 1 0

18. Elfi 13 bulan 1 1 0

19. Azza 7 bulan 1 1 0

20. Fajar 116 bulan 1 2 1

21. Nana 29 bulan 2 2 0

22. Rista 19 bulan 1 1 0

23. Maya 7 bulan 1 1 0


(62)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(63)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(64)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(65)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(66)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(67)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(68)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(69)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(70)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(71)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(72)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(73)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(74)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(75)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(76)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(77)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(78)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(79)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(80)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(81)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(82)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(83)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(84)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(85)

Rahang Atas

Setelah Lepas Braket Saat Ini

Rahang Bawah

Setelah Lepas Braket Saat Ini


(86)

PREVALENSI TERJADINYA RELAPS SETELAH PERAWATAN DENGAN ALAT ORTODONTIK CEKAT

(Evaluasi Menggunakan Indeks Ortodontik Treatment Need/IOTN)

Muchammad Sukur Imam Prakosa1, Tita Ratya Utari2,

¹Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Gigi, ²Dosen Program Studi Pendidikan Dokter Gigi

ABSTRACT

Backgrounds: Teeth that have been moved using orthodontic appliance has a tendency to return to the starting position. This is called a relapses or a return of tooth position into an early form of malocclusion. Research in Europe showed that the prevalence of relapse is still high. Relapse is caused by many factors. In Indonesia, the research on relapse is still rarely performed. Measurement of relapse can be done using IOTN (Index of Orthodontic Treatment Need).

Aim: The aim of this research is to determine the prevalence of relapse after treatment with fixed orthodontic appliance using IOTN.

Material and Method: This study used 24 samples that have been finished using bracket and at this time met the inclusion criteria. Assessment using Index of Orthodontic Treatment Need which consists of two components, Aesthetic Component and Dental Health Component. Kolmogorov-Smirnov was tested to asses data normality and homogeneity. Wilcoxon test was used to asses paired data differences on abnormal data distribution

Result: The Wilcoxon analysis result on the measurement of AC and DHC show the value of p <0.005, which means there are significant differences of scores after finished using bracket and at this time.

Conclusion: There is significant differences between IOTN score value of AC and DHC after finished using bracket and at this time. That’s mean there was prevalence of relapse after treatment using fixed orthodontic appliance.


(87)

kecenderungan untuk kembali ke posisi awal. Inilah yang disebut dengan relaps atau kembalinya posisi gigi ke bentuk awal maloklusi. Penelitian di Eropa menunjukan bahwa prevalensi relaps masih tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya relaps. Di Indonesia, penelitian mengenai relaps masih jarang dilakukan. Pengukuran relaps dapat dilakukan dengan menggunakan IOTN (Indeks Ortodontik Treatment Need).

Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi terjadinya relaps setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat menggunakan IOTN.

Bahan dan Cara: Penelitian ini menggunakan 24 sampel setelah lepas braket dan saat ini yang memenuhi kriteria inklusi. Penilaian menggunakan Indeks Ortodontik Treatment Need yang terdiri dari dua komponen, yaitu Aesthetic Component dan Dental Health Component. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis data diskriptif dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui normalitas dan homogenitas data dan uji Wilcoxon digunakan untuk menguji perbedaan data berpasangan pada sebaran data tidak normal.

Hasil Penelitian: Hasil analisis Wilcoxon pada pengukuran AC dan DHC menunjukkan nilai p<0,005 yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan dari skor setelah lepas braket dengan saat ini.

Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara skor AC dan DHC setelah lepas braket dan saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat prevalensi terjadinya relaps setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat.


(1)

3 2 8.33% 2 8.33% Membutuhkan Perawatan

4 4 16.67% 6 25% Sangat Membutuhkan

Perawatan

5 1 4.16% 2 8.33%

Total 24 100% 24 100%

Berdasarkan tabel 1 yaitu perhitungan menggunakan DHC, dapat diketahui bahwa: pada skor 1-2 (tidak membutuhkan perawatan) didapatkan hasil saat lepas braket terdapat 17 orang (70,84%) sedangkan saat ini turun menjadi 14 orang (58,34%), pada skor 3 (membutuhkan perawatan) didapatkan hasil saat lepas braket terdapat 2 orang (8,33%) sedangkan saat ini jumlah tetap menjadi 2 orang (8,33%), pada skor 4-5 (sangat membutuhkan perawatan) didapatkan hasil saat lepas braket terdapat 5 orang (20,83%) sedangkan saat ini naik menjadi 8 orang (33,33%). Penurunan jumlah sampel pada skor 1-2 dan kenaikan jumlah sampel pada skor 4-5 ini menunjukkan kebutuhan perawatan yang meningkat dari setelah lepas braket sampai saat ini. Hal ini disebabkan karena terjadinya relaps.

Tabel 2. Persentase AC sesudah perawatan dan saat ini

Skor IOTN AC Kebutuhan

Saat Lepas Braket Saat Ini

1 20 83.34% 15 62.5%

Tidak Membutuhkan Perawatan

2 4 16.66% 8 33.34%

3 0 0% 1 4.16%

4 - - - -

5 - - - - Membutuhkan

Perawatan

6 - - - -

7 - - - -

8 - - - - Sangat Membutuhkan

Perawatan

9 - - - -

10 - - - -


(2)

Berdasarkan tabel 3 yaitu perhitungan menggunakan AC, dapat diketahui bahwa: pada skor 1-4 (tidak membutuhkan perawatan) didapatkan hasil saat lepas braket terdapat 24 orang (100%) sedangkan saat ini tetap menjadi 24 orang (100%). Meskipun tidak ada perubahan jumlah sampel pada kategori “Tidak membutuhan perawatan”, namun terjadi perubahan skor pada skor 1 yang semula 20 (83.34%) turun menjadi 15 (62.5%), pada skor 2 yang semula 4 (16.66%) naik menjadi 8 (33.34%), dan pada skor 3 yang semula 0 (0%) naik menjadi 1 (4.16%). Hal ini menandakan terjadinya relaps pada penampakan anterior (estetik) meskipun masih dalam kategori yang sama yaitu “tidak membutuhkan perawatan”.

Uji Wilcoxon merupakan uji non parametric statistic yang digunakan untuk

menguji perbedaan data berpasangan pada sebaran data tidak normal. Perbedaan nilai setelah perawatan ortodontik cekat dan saat ini kemudian diuji dan diperoleh nilai p yaitu pada DHC 0,001 dan pada AC 0,014. Hasil tersebut dianggap signifikan bila nilai p<0.05, karena nilai p pada uji statistik tersebut kurang dari 0.05 maka perbedaan nilai skor IOTN setelah lepas braket dan saat ini bermakna secara statistik.

PEMBAHASAN

Penelitian mengenai prevalensi terjadinya relaps diperoleh hasil menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna secara statistik antara skor setelah perawatan dan saat ini. Berdasarkan data pada pengukuran DHC menggunakan uji Wilcoxon, didapatkan nilai p<0,005 yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan yang berarti ada perbedaan skor DHC setelah lepas braket dengan saat ini. Hasil penelitian menunjukan terdapat penurunan jumlah sampel pada kategori “tidak membutuhkan perawatan” dan kenaikan jumlah sampel pada kategori “sangat membutuhkan perawatan”. Hasil ini menunjukkan terjadi relaps pada sampel sehingga terjadi peningkatan kebutuhan perawatan. Iswari(2012) menjelaskan terdapat banyak faktor


(3)

yang dapat mempengaruhi terjadinya relaps, yaitu tekanan otot, kegagalan menghilangkan faktor penyebab, kebiasaan buruk, pertumbuhan gigi molar ketiga, dan tidak memakai retainer. Pada penelitian ini salah satu faktor tersebut kemungkinan dapat menjadi penyebab terjadinya relaps sehingga terjadi perubahan kategori. Pada saat lepas braket terdapat hasil yang masih kurang baik yang ditandai dengan adanya skor tinggi yaitu 4 dan 5, hal ini terjadi karena saat lepas braket masih didapatkan kasus seperti hipodonsia atau missing teeth, crossbite >2m, dan overbite >6mm dimana kasus ini masuk dalam skor 4 atau 5.

Berdasarkan data AC setelah lepas braket dan saat ini menggunakan uji Wilcoxon, didapatkan nilai yang sama dengan data DHC yaitu p<0,005, menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan yang berarti ada kenaikan skor AC setelah lepas braket dengan saat ini. Perubahan skor tersebut terlihat dari berkurangnya sampel pada skor 1 yang awalnya 20 sampel turun menjadi 15 sampel. Hal ini menandakan bahwa penampakan gigi geligi tampak depan berkurang keestetikannya. Pada AC terdapat perubahan skor namun kebutuhan perawatan tetap yaitu “tidak membutuhkan perawatan”. Hal ini sedikit berbeda dengan penilaian DHC, pada DHC terdapat sampel yang masuk dalam kategori “membutuhkan perawatan” dan kategori “sangat membutuhkan perawatan” sedangkan pada penilaian AC semua sampel masuk dalam kategori “tidak membutuhkan perawatan”. Hal terjadi karena banyak pendapat mengenai hasil AC yang kurang valid karena komponen AC hanya menilai secara subjektif dengan melihat sisi penampilan dari gigi atau estetiknya saja. Pengukuran komponen AC dilakukan dengan membandingkan penampakan depan oklusi sentrik dari cetakan setelah lepas braket dengan cetakan saat ini tanpa membandingkan penampakan samping dan penampakan oklusal. Berbeda dengan komponen DHC yang menilai secara objektif dengan melakukan pemeriksaan dan pengukuran keadaan


(4)

gigi. Dengan demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel dari segi AC penampilan giginya terlihat baik, namun dari segi DHC sangat membutuhkan perawatan(Rumampuk, dkk., 2014).

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kemunduran dari perawatan ortodontik yang telah dilakukan menggunakan alat ortodontik cekat. Kegagalan perawatan atau relaps ini terlihat dari perubahan derajat keparahan maloklusi menjadi lebih buruk dari setelah lepas braket sampai saat ini. Sulit untuk mengetahui faktor utama yang menyebabkan terjadinya relaps, karena penyebab relaps multifaktorial. Secara rinci, beberapa faktor penyebab relaps yang perlu diperhatikan adalah pengaruh kebiasaan buruk, pengaruh jaringan keras, dan pengaruh jaringan lunak(Alawiyah & Sianita, 2012).

Hasil penelitian ini mendukung penelitian-penelitian sebelumnya bahwa relaps masih terjadi. Agar dapat memahami permasalahan terjadinya relaps pada periode retensi ini, dibutuhkan pengetahuan yang mumpuni dari seorang operator, serta kedisiplinan dari pasien sendiri dalam menggunakan retainer. Mengingat perawatan ortodontik bukanlah perawatan yang murah, sehingga akan membutuhkan biaya yang lebih bila relaps terjadi.

Index of Orthodontic Treatment Need (IOTN) merupakan indeks yang sering

dibutuhkan sebagai acuan dalam menentukan kebutuhan dan evaluasi hasil perawatan ortodontik. Selain itu indeks ini terbukti dapat mengukur terjadinya relaps dengan cara membandingkan cetakan gigi setelah lepas braket dengan cetakan gigi saat penelitian. Meskipun indeks ini telah mendapatkan pengakuan nasional dan internasionaldalam menilai kebutuhan dan keberhasilan akan suatu perawatan ortodontik tetapi peneliti merasa terdapat kekurangan dari indeks ini yaitu pada komponen AC. Komponen ini dinilai subjektif karena cara pengukuran skor dilihat dari membandingkan model study


(5)

dengan gambar komponen AC. Hasil penelitian, pada perhitungan AC subjek merasa penampilan gigi geliginya baik, tetapi ternyata pada perhitungan DHC subjek tersebut cenderung masih membutuhkan perawatan ortodontik(Hansu, dkk., 2013).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian tentang prevalensi terjadinya relaps setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat maka dapat disimpulkan bahwa terdapat prevalensi terjadinya relaps setelah perawatan dengan alat ortodontik cekat menggunakan indeks IOTN. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan yang signifikan secara statistik antara skor IOTN sesudah perawatan dan saat ini.

Berdasarkan data DHC sesudah perawatan, yang tidak membutuhkan perawatan sebanyak 17 orang (70,84%), yang membutuhkan perawatan sebanyak 2 (8,33%), yang sangat membutuhkan perawatan sebanyak 5 orang (20,83%). Hasil DHC saat ini menjadi 14 orang (58,34%) yang tidak membutuhkan perawatan, membutuhkan perawatan sebanyak 2 orang (8,33%), yang sangat membutuhkan perawatan sebanyak 8 orang (33,33%).

Berdasarkan data AC sesudah perawatan, yang tidak membutuhkan perawatan sebanyak 24 orang (100%), yang membutuhkan perawatan tidak ada (0%), yang sangat membutuhkan perawatan tidak ada (0%). Hasil AC saat ini 24 orang (100%) yang tidak membutuhkan perawatan, membutuhkan perawatan tidak ada (0%), yang sangat membutuhkan perawatan tidak ada (0%). Pada AC terdapat perubahan skor namun kebutuhan perawatan tetap yaitu tidak membutuhkan perawatan, hal ini terjadi karena komponen AC hanya mengukur bagian anterior yaitu estetik tetapi tidak melibatkan bagian posterior.


(6)

SARAN

Dengan adanya penelitian ini, maka penulis dapat menyarankan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam menilai prevalensi terjadinya relaps setelah perawatan ortodontik dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan menggunakan indeks penelitian yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Agusni, T. (2001). Beberapa indeks maloklusi. Maj Ked Gigi, 34: 3-17.

Alawiyah, T & Sianita, P, P. (2012). Retensi Dalam Perawatan Ortodonti. JITEKGI, 9(2). 29-35.

Al Yami, Kuijpers-Jagtman, van Hof. (1999). Stability of Orthodontic Treatment Outcome: Follow-Up until 10 Years Postretention [Abstrak]. Am J Orthod

Dentofacial Orthop, 115: 300–304.

Danz, J.C., Greuter C., Sifakakis, Fayed M., Pandis N., & Katsaros C. (2012). Stability and Relapse After Orthodontic Treatment of Deep Bite Cases—a Long-Term Follow-Up Study. European Journal of Orthodontics.

Hansu, C., Anindita, P, S., & Mariati, N, W. (2013). Kebutuhan Perawatan Ortodonsi Berdasarkan Index Of Orthodontic Treatment Need Di Smp Katolik Theodorus Kotamobagu. Jurnal e-GiGi (eG), 1(2). 99-104.

Iswari, S, H. (2012). Relaps dan Pencegahannya dalam Ortodonti. Majalah Ilmiah

Widya, 29(319).

Rumampuk, M, A, V., Anindita P, S., & Mintjelungan C. (2014). Kebutuhan Perawatan Ortodonsi Berdasarkan Index Of Orthodontic Treatment Need pada Siswa Kelas di Di Smp Negeri 2 Bitung. Jurnal e-GiGi (eG), 2(2).

Sulandjari, JCP, H. (2008). Buku Ajar Ortodonsia I KGO I. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada.