PENETAPAN KADAR ASAM ASETILSALISILAT DALAM SEDIAAN OBAT MEMANFAATKAN SINAR REFLEKTAN TERUKUR DARI BERCAK YANG DIHASILKAN DENGAN TLC SCANNER

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asam asetilsalisilat (asetosal) adalah obat yang mempunyai aktivitas
farmakologik sebagai anti-inflamasi, analgesik dan anti-piretik. Asetosal disintesis
pertama kali oleh Dr Felix Hoffmann tahun 1897 sudah dalam bentuk stabil dan murni di
laboratorium Farbentabrik Freidrich Bayer di kota Elberfeld, Jerman. Dan akhirnya
asetosal diproduksi secara massal oleh Bayer yang terkenal dengan brandname-nya
adalah aspirin hingga hari ini. Nama tersebut diperoleh dari singkatan “a” untuk asetil
dan “spir” untuk nama famili tanaman Spirea yang mengandung senyawa turunan asam
salisilat (Anonim, 2008; Clarke, 2005; Matias et al., 2004).
Dewasa ini, selain pada awalnya asetosal berkhasiat sebagai anti-piretik dan
analgesik yang tidak perlu diragukan lagi, ternyata juga berkhasiat anti-inflamasi pada
dosis yang dinaikkan. Bukti terakhir menyatakan bahwa asetosal juga dapat digunakan
sebagai anti-platelet untuk mengobati penyakit jantung dan gangguan sistem pembuluh
darah (Anonim 2007; Matias et al., 2004; Mousa, 2004; Rainsford, 2004)
Konsumsi asetosal selalu meningkat bahkan tahun 1997 di Amerika
diperkirakan mencapai 20 ribu ton setahun. Di Indonesia obat bermerek yang
mengandung asam asetilsalisilat dalam bentuk sediaan tablet saja telah mencapai lebih
dari 30 nama, belum lagi bentuk sediaan lainnya, dan ditambah lagi sediaan generik
yang banyak beredar di pasaran. Jika dihitung, jumlah obat yang mengandung asetosal

yang beredar di masyarakat sudah demikian banyaknya (hingga saat ini penulis belum
menemukan data yang valid) dan hal ini memerlukan pengawasan mutu yang tidak
mudah untuk dilakukan (Anonim, 2007; Matias et al., 2004).
Metabolit utama dari asetosal adalah asam salisilat yang dihasilkan dari
proses hidrolisis asetosal dan metabolit ini dapat ditetapkan kadarnya secara tidak
langsung dengan melihat hasil kualitatifnya. Penetapan kadar asetosal dalam sediaan
obat sangatlah penting untuk uji kualitas produk sebelum, selama proses produksi
dan/atau setelah menjadi produk akhir, serta selama produk tersebut berada di pasaran
sebelum digunakan oleh konsumen. Tak lupa juga penting untuk mengetahui kadar

1|Halaman

metabolit asetosal dalam serum darah untuk mengatur dosis terapi (Matias et al., 2004,
Rainsford, 2004).
Metode penetapan kadar asetosal telah banyak dikembangkan, diantaranya
titrasi asam basa, spektrofotometri sinar ultraviolet dan tampak yang memanfaatkan
reaksi Trinder yang didasari atas reaksi hidrolisis asetosal yang tahap berikutnya dalam
prosedurnya tersebut akan menghasilkan senyawa yang berwarna ungu-biru kuat yang
terbentuk antara asam salisilat dan besi(III). Beberapa penelitian juga telah
mengembangkan metode otomatisasi metode spektrofotometri sinar tampak dengan

menggunakan metode flow injection analysis pada tahap hidrolisisnya (Matias et al.,
2004; Rainsford, 2004).
Metode spektrofluorometri, inframerah, kromatografi utamanya HPLC dan
GC, dan Spektrofotometri Serapan Atom pun juga telah dikembangkan dan
dideskripsikan secara detail untuk menetapkan kadar asetosal dan metabolitnya, asam
salisilat. Yang mungkin terbaru adalah metode immunoassay dan spektrofotometri
NMR. Beberapa metode tersebut telah jarang digunakan, hal ini dimungkinkan karena
tingkat kesulitan dalam pengerjaannya dan prosedur preparasi sampel yang terlalu
melelahkan, beberapa metode diantaranya membutuhkan peralatan yang mahal dan tak
jarang memerlukan prosedur ekstraksi (Matias et al., 2004; Rainsford, 2004).
Produk sediaan obat yang mengandung asetosal tidak terbilang lagi
banyaknya yang beredar di pasaran Indonesia, yang seharusnya dalam kualitas prima
hingga sampai di tangan konsumen dan siap dikonsumsi. Untuk menjaga kualitas
tersebut dengan melihat jumlah sampel yang sangat besar, diperlukan pengembangan
suatu metode penetapan kadar yang cepat, murah dan sederhana tanpa menggunakan
alat yang rumit dan dapat memberikan hasil yang diinginkan. Namun sebagai langkah
pendahuluan penulis menggunakan bantuan TLC Scanner dalam menganalisis bercak
yang dihasilkan, Dalam hal ini, prosedur uji bercak dapat menjadi alternatif yang
menjanjikan (Matias et al., 2004).
Uji kualitatif penampakan bercak didasarkan atas reaksi perubahan warna

melalui reaksi kimia antara analit dan pereaksi. Perubahan warna ini terjadi secara
proporsional terhadap konsentrasi dari analit sehingga metode penetapan kadar
berdasar reaksi bercak dapat diajukan untuk dikembangkan. Dalam penelitian ini
nantinya, beberapa konsentrasi asetosal dari beberapa sediaan obat bermerek
2|Halaman

ditetapkan kadarnya menggunakan metode refleksi sinar kembali berdasar pada reaksi
pembentukan warna ungu-biru mantap antara asam salisilat dan besi(III) (Matias et al.,
2004).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dapat dirumuskan
permasalahan yaitu: apakah metode penetapan kadar asam asetilsalisilat dalam sediaan
obat memanfaatkan sinar reflektan terukur dari bercak yang dihasilkan dapat memenuhi
validitas suatu metode analisis?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui validitas metode penetapan kadar
asam asetilsalisilat dalam sediaan obat memanfaatkan sinar reflektan terukur dari
bercak yang dihasilkan.
D. Tinjauan Pustaka


a. Asam Asetilsalisilat

Gambar 1. Struktur Kimia dari Asam Asetilsalisilat (Clarke, 2005)

Asam asetilsalisilat mempunyai nama sinonim asetosal, asam salisilat asetat dan
yang paling terkenal adalah aspirin (brandname product dari Bayer). Serbuk asam
asetilsalisilat dari tidak berwarna atau kristal putih atau serbuk atau granul kristal yang
berwarna putih. Asam asetilsalisilat stabil dalam udara kering tapi terdegradasi perlahan
jika terkena uap air menjadi asam asetat dan asam salisilat. Nilai titik lebur dari asam
asetilsalisilat adalah 135oC. Asam asetilsalisilat larut dalam air (1:300), etanol (1:5),
kloroform (1:17) dan eter (1:10-15), larut dalam larutan asetat dan sitrat dan dengan
adanya senyawa yang terdekomposisi, asam asetilsalisilat larut dalam larutan hidroksida
dan karbonat (Clarke, 2005).
3|Halaman

Keberadaan asam asetilsalisilat dapat dideteksi secara kualitatif melalui tes
warna setelah mengalami reaksi hidrolisis terlebih dahulu, antara lain dengan
menggunakan pereaksi McNally akan memberikan warna merah (Clarke, 2005), dan
dengan besi(III) akan memberikan warna ungu-biru mantap (Anonim, 1991; Matias et
al., 2004). Asam asetilsalisilat mempunyai nilai pKa 3,5 (25oC) dan nilai logP

(oktanol/dapar pH 7,4) sebesar -1,1, dengan nilai E1%1cm dalam larutan asam adalah 466
(230 nm), 68 (278 nm), sedangkan dalam larutan basa adalah 409 (231 nm), dan 190
(298 nm) (Clarke, 2005).
Kilas balik sejarah dari asam asetilsalisilat dapat ditelusuri dari berbagai pustaka
baik dalam bentuk buku, jurnal atau pun artikel online. Dimulai dari seorang ahli kimia
Perancis, Charles Frederich von Gerhardt telah menggunakan reaksi asetilasi dan
menghasilkan asam asetilsalisilat tahun 1853 dari reaksi antara natrium salisilat dengan
asetil klorida, tetapi ditemukan oleh Kraut bahwa produk hasil tidak murni dan
ditemukan pula reaksi hidrolisis alkalin dari asam asetilsalisilat menjadi asam asetat dan
asam salisilat (Rainsford, 2004)
Akhirnya dalam pencariannya untuk anti-rematik yang efektif dan lebih baik
tingkat toleransinya untuk ayahnya, Dr. Felix Hoffmann berhasil mensintesis asam
asetilsalisilat, kandungan aktif dari Aspirin, yang murni dan stabil untuk pertama kalinya
melalui reaksi asetilasi fenol (Anonim, 2008; Rainsford, 2004).
Asam asetilsalisilat dalam bentuk tak terionnya cukup dapat larut dalam lemak
dengan nilai LogP antara oktanol dan air adalah 1,19, dimana asam salisilat lebih larut
dalam lemak dengan nilai LogP sebesar 2,26 sehingga keduanya mudah terabsorpsi
dalam lambung jika dalam bentuk terionnya. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan
nilai pH lambung yang memberikan kesempatan mukosa lambung menyerap bentuk tak
terionnya asam asetilsalisilat. Kesulitan absorpsi dalam lambung menyebabkan segera

seluruh asam asetilsalisilat ditransfer ke dalam usus halus dan dengan cepatnya asam
asetilsalisilat akan terabsorpsi (Rainsford, 2004).
Metabolit utama asam asetilsalisilat dalam tubuh adalah asam salisilat setelah
melalui proses eliminasi-hidrolisis (Gambar 2). Dikarenakan reaksi hidrolisisnya yang
cepat, hanya sedikit saja asam asetilsalisilat yang diekskresikan tidak berubah dalam urin
dan secara esensinya, seluruh asam asetilsalisilat tereliminasi menjadi asam salisilat
dalam urin dan beberapa metabolit lainnya (Rainsford, 2004).
4|Halaman

Beberapa metode penetapan kadar dari asam asetilsalisilat dan metabolitnya asam
salisilat dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 2. Jalur metabolisme asam asetilsalisilat dan asam salisilat (Rainsford, 2004)

5|Halaman

Tabel 1. Penetapan kadar asetosal dan asam salisilat untuk penelitian dan klinik (Rainsford, 2004)
Batas

Metode Analisis


Senyawa

Untuk/Sampel

Kolorimetri – Fe(III)

Salisilat

Klinik/Plasma

Fluoroscene

Salisilat

1 mg/L

HPLC

Salisilat


50 µg/L

GC

minimal

penetapan kadar
50 mg/L

Metabolit

Urin

2 mg/L

Asetosal

Penelitian/Plasma


10 µg/L

Asam asetilsalisilat menurut Farmakope Indonesia edisi IV (1995) ditetapkan
kadarnya menggunakan metode HPLC dengan ketentuan: fase gerak yang digunakan
adalah larutan 2 gram natrium 1-heptanasulfonat P dalam campuran 850 mL air dan 150
mL asetonitril P yang ditambahkan asam asetat glacial P hingga pH 3,4; dan fase diam
adalah kolom dengan bahan pengisi L1 yang berukuran 4,0 mm x 30 cm dengan laju alir
2 mL per menit dan panjang gelombang detector UV pada 280 nm. Larutan baku
disiapkan dengan cara timbang seksama sejumlah asam asetilsalisilat BPFI dan larutkan
dalam larutan pengencer (asetonitril P : asam format P dengan perbandingan 99 : 1)
hingga kadar lebih kurang 0,5 mg/mL. Larutan uji disiapkan dengan cara timbang dan
serbukkan tidak kurang dari 20 tablet. Timbang seksama sejumlah serbuk setara dengan
lebih kurang 100 mg asam asetilsalisilat, masukkan ke dalam wadah yang sesuai.
Tambahkan 20,0 mL larutan pengencer dan lebih kurang 10 manik kaca, kocok kuat-kuat
selama lebih kurang 10 menit dan sentrifuse (larutan persediaan). Ukur seksama
sejumlah volume larutan persediaan, encerkan secara kuantitatif dalam 9 volume
larutan pengencer. Prosedur pengerjaannya adalah suntikkan secara terpisah masingmasing lebih kurang 1,0 µL larutan baku dan larutan uji ke dalam alat dan ukur respon
puncak utama. Hitung jumlah dalam mg, asam asetilsalisilat, C9H8O4, dalam bagian tablet
yang digunakan dengan rumus:
200 C x (ru/rs)

Dimana C adalah kadar asam asetilsalisilat BPFI dalam mg per mL larutan baku;
ru dan rs berturut-turut adalah respon puncak dari larutan uji dan larutan baku (Anonim,
1995).

6|Halaman

Penetapan kadar asam asetilsalisilat menggunakan metode kolorimetri dengan
asumsi semua asam asetilsalisilat telah terhidrolisis sempurna sehingga prosedur yang
digunakan sama dengan prosedur untuk penetapan kadar asam salisilat secara
kolorimetri mengikuti langkah berikut:
Pembuatan kurva baku, sejumlah 200 mg asam salisilat baku dipanaskan selama
1 jam pada suhu 100oC, kemudian ditimbang dan dilarutkan dalam 15 mL etanol dan
diencerkan dengan air hingga 1 L. Secara kuantitatif diambil sejumlah 5, 10, 15, 20, dan
25 mL masing-masing dimasukkan dalam labu takar 100 mL, kemudian ditambahkan
besi(III) nitrat 1% dalam larutan asam nitrat 1%. Larutan kemudian diencerkan hingga
tanda dengan air dan pH larutan dijaga antara 5-6. Larutan ini masing-masing diukur
dengan spektrometri pada 525 nm. Hasil yang diperoleh dibuat dalam grafik kurva baku
antara konsentrasi larutan baku dan absorbansi yang diperoleh (Higuchi dan Hanssen,
1961).
Prosedur penetapan kadar, sampel yang telah diserbukkan pada metode HPLC

sebelumnya ditimbang sejumlah tertentu setara dengan 200 mg asam salisilat kemudian
dihidrolisis dengan 15 mL NaOH 0,5M menggunakan pemanasan perlahan sehingga
reaksi sempurna dan pH larutan dibuat hingga 5 – 6 dengan asam nitrat 0,1M. Larutan
ini diencerkan dengan air hingga 1 L dan jika perlu dilakukan penyaringan dimana 50 mL
filtrat yang pertama dibuang. Secara kuantitatif ambil sejumlah 25 mL dan dimasukkan
dalam labu takar 100 mL, tambahkan 5 mL besi(III) nitrat 1%. Larutan kemudian
diencerkan dengan air hingga tanda dan diukur dengan spectrometer pada 525 nm,
kemudian hasil yang diperoleh diplotkan pada kurva baku sehingga diperoleh kadar yang
sebenarnya dari sampel (modifikasi dari Higuchi dan Hanssen, 1961).
b. Analisis Uji Bercak
Uji bercak (spot test) telah lama dikenal di kalangan ilmuwan kimia. Namun
penggunaan uji bercak sebagai metode penetapan kadar rupanya baru dikenalkan
pertama kali oleh Winslow dan Liebhafsky (1949) setelah 10 tahun lamanya mereka
bergelut dalam pertanyaan: dapatkah hasil uji bercak diukur dengan menggunakan
spektrometer tanpa mengabaikan hukum Lambert-Beer yang digunakan pada uji bercak
ion tembaga dengan α–benzoin oxime dan identifikasi perak melalui proses dekomposisi
menjadi ion perak. Hasil yang diperoleh sangat menjanjikan dan ternyata metode ini
7|Halaman

dapat digunakan untuk penetapan kadar secara kuantitatif memanfaatkan sinar
reflektan dan sinar transmisi terhadap bercak yang dihasilkan pada uji bercak (Winslow
dan Liebhafsky, 1949).
Kemudian pengembangan metode analisis kuantitatif menggunakan uji bercak
terus dilakukan, tahun 1954, McCready dan McComb melakukan uji kuantitatif gula
pada kertas kromatogram memanfaatkan bercak yang dihasilkan yang kemudian diukur
sinar yang terrefleksikan kembali sehingga dikenal sebagai metode sinar reflektan pada
bercak (McCready dan McComb, 1954). Disusul oleh Feigl (1955) yang melakukan uji
bercak secara kuantitatif terhadap beberapa senyawa organik diantaranya adalah fenol,
turunan asil-amina aromatic, ariluretane, monoarilurea, dan penggunaan asam sulfonat
dan iodine sebagai pereaksi uji bercak (Feigl, 1955).
Perkembangan metode ini semakin menjanjikan dengan banyaknya penelitian
yang dilakukan diantaranya adalah analisis kuantitatif menggunakan uji bercak pada
glisin dengan piridin dan p-nitrobenzoil klorida (Umberger dan Fiorese, 1963), hidrolisis
eskulin (Edberg et al., 1976), Stannous pada sediaan radiofarmasi (Zimmer dan Spies,
1981), karbohidrat-enzim pemisah dalam meconium (Hsieh, 1981), Kation dalam air
(Ghauch et al., 2000), dipiron dalam sediaan farmasi (Pezza et al., 2000), Merkuri (Götzl
dan Riepe, 2001), Lithium-intercalated carbons (Xie dan Lu, 2001), kontaminasi logam
dalam tanah setelah pertambangan (Kemper dan Sommer, 2002), Timbal (Zaporozhets
dan Tsyukalo, 2002), besi(III) dengan hand-scanner (Zareh et al., 2002), Sianida (Favero
dan Tubino, 2003), Furosemide (Gotardo et al., 2004), Kalium dalam serum darah
(Tubino et al., 2004), Metildopa (Ribeiro et al., 2006), Diklofenak (Tubino dan Souza,
2006), dan Tioketon (Ferreira et al., 2007).

8|Halaman

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1991, Basic Tests for Pharmaceutical Dosage Forms, WHO, Geneva.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Depkes RI, Jakarta.
Anonim, 2007, Informasi Spesialite Obat Indonesia, Volume 42, Penerbit ISFI, Jakarta.
Anonim, 2008, World of Aspirin, http://www.aspirin.com/, diakses tanggal 09 Maret
2008
Clarke, 2005, Clarke’s Analysis of Drugs and Poisons, Pharmaceutical Press.
Edberg, S.C., Gam, K., Bottenbley, C.J., dan Singer, J.M., 1976, Rapid Spot Test for
Determinations of Esculin Hydrolysis, J. Clin. Microbiol., 4: 180-184.
Ermer, J. and Miller, J.H.M, 2005, Method Validation in Pharmaceutical Analysis, WileyInterscience
Favero, J.A., dan Tubino, M., 2003, Semi-Quantitative “Spot-test” of Cyanide, Analytical
Science, 19: 1139-1143.
Feigl, F, 1955, Organic Spot Test Analysis, Analytical Chem., 27 (8): 1315-1318.
Ferreira, L.F.V., Machado, I.F., Oliveira, A.S., Da Silva, J.P., Krawczyk, A., dan Sikorski, M.,
2007, Surface Photochemistry: Diffuse Reflectance studies of Thioketones
included into p-tert-butylcalix[6 and 8]arenes, J. Molecular Structure, 827: 11-19.
Ghauch, A., Turnar, C., Fachinger, C., Rima, J., Charef, A., Suptil, J., dan Bouyer, M.M.,
2000, Use of Diffuse Reflectance Spectrometry in Spot Test Reactions for
Quantitative Determinations of Cations in Water, Chemosphere, 40: 1327-1333.
Gotardo, M.A., Gigante, A.C., dan Pezza, H.R., 2004, Determination of Furesemide in
Pharmaceutical Formulations by Diffuse Reflectance Spectroscopy, Talanta, 64:
361-365.
Götzl, A., dan Riepe, W., 2001, Mercury Determination – SPME and Colorimetric Spot
Test, Talanta, 54: 821-827.
Higuchi, T. dan Hanssen, E.B., 1961, Pharmaceutical Analysis, Interscience Publishers.
Hsieh, M, 1981, Fluorescent Spot Test for Detectinng Carbohydrate-Splitting Enzymes in
Meconium, Clin. Chem., 27 (3): 388-390.

16 | H a l a m a n

Kemper, T., dan Sommer, S., 2002, Estimate of Heavy Metal Contamination in Soils after
a mining Accident using Reflectance Spectrsocopy, Environ. Sci. Technol., 36:
2742-2747.
Matias, F.A.A., Vila, M.M.D.C., dan Tubino, M., 2004, Quantitative Reflectance Spot Test
for the Determination of Acetylsalicylic Acid in Pharmaceutical Preparations, J.
Braz. Chem. Soc., 15 (2): 327-330.
McCready, R.M., dan McComb, E.A., 1954, Quantitative Determination of Sugar on
Paper Chromatograms by a Reflectance Method, Analytical Chem., 26 (1): 16451647.
Mousa, S.A., 2004, Anticoagulants, Antiplatelets, and Thrombolytics, Methods in
Moleculer Medicine, Humana Press.
Pezza, L., Tubino, M., Melios, C.B., dan Pezza, H.R., 2000, Rapid Spot Test Analysis for
Detection of Dipyrone in Pharmaceutical Preparations, Analytical Sciences, 16:
313-315.
Rainsford, K.D., 2004, Aspirin and Related Drugs, CRC Press.
Ribeiro, P.R.S., Pezza, L., dan Pezza, H.R., 2006, determination of Methyldopa in
Pharmaceutical Formulations by Combined Spot Test-Diffuse Reflectance
Spectroscopy, J. Braz. Chem. Soc., 17 (4).
Tubino, M., dan de Souza, R.L., 2006, Determination of Diclofenac in Pharmaceutical
Ppreparations by Diffuse Reflectance Photometry, Talanta, 68: 776-780.
Tubino, M., de Souza, R.L., dan Hoehr, N.F., 2004, Rapid Quantitative Turbidimetric Spot
Test Analysis of Potassium in Blood Serum, J. Braz. Chem. Soc., 15 (5): 635-639.
Umberger, C.J., dan Fiorese, F.F., 1963, Detection and Quantitative Determination of
Glycine with Pyridine and p-Nitrobenzoyl Chloride, Clin. Chem, 9 (1): 79-90.
Winslow, E.H. dan Liebhafsky, H.A., 1949, Spectrometric Study of Spot Tests, Analytical
Chem., 21 (11): 1338-1342.
Xie, L. dan Lu, J., 2001, In Situ UV-Vis Diffuse Reflectance Studies on Lithium-intercalated
Carbons, J. Electroanalytical Chem., 497: 159-162.
Zaporozhets, O.A., dan Tsyukalo, L.Y., 2002, Xylenol Orange Adsorbed on Silica Surface
as a Solid Phase Reagent for Lead Determination using Diffuse Reflectance
Spectroscopy, Talanta, 58: 861-868.
Zareh, M.K., Mansourian, M., dan Ravaee, F., 2002, Simple Method for Colorimetric
Spot-test Quantitative Analysis of Fe(III) using a Computer Controlled HandScanner, Analytica Chimica Acta, 471: 97-104.

17 | H a l a m a n

Zimmer, A.M., dan Spies, S.M., 1981, The Paper Spot test: A Rapid Method for
Quantitating Stannous Concentrations in Radiopharmaceutical Kits, The Journal of
Nuclear Medicine, 22 (5): 465-467.

18 | H a l a m a n

LAPORAN HASIL
PENELITIAN DOSEN MUDA

PENETAPAN KADAR ASAM ASETILSALISILAT DALAM SEDIAAN OBAT
MEMANFAATKAN SINAR REFLEKTAN TERUKUR
DARI BERCAK YANG DIHASILKAN DENGAN TLC SCANNER

Oleh
Andi Suhendi, S.Farm., Apt.
Broto Santoso, S.F., Apt.

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN 2009

RINGKASAN
PENELITIAN DOSEN MUDA

PENETAPAN KADAR ASAM ASETILSALISILAT DALAM SEDIAAN OBAT
MEMANFAATKAN SINAR REFLEKTAN TERUKUR
DARI BERCAK YANG DIHASILKAN DENGAN TLC SCANNER

Oleh
Andi Suhendi, S.Farm., Apt.
Broto Santoso, S.F., Apt.

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN 2009

PENETAPAN KADAR ASAM ASETILSALISILAT DALAM SEDIAAN OBAT
MEMANFAATKAN SINAR REFLEKTAN TERUKUR DARI BERCAK YANG
DIHASILKAN DENGAN TLC SCANNER
Andi Suhendi dan Broto Santoso
Asam asetilsalisilat (asetosal) adalah obat yang mempunyai aktivitas
farmakologik sebagai anti-inflamasi, analgesik dan anti-piretik. Asetosal juga dapat
digunakan sebagai anti-platelet untuk mengobati penyakit jantung dan gangguan sistem
pembuluh darah (Anonim, 2008; Anonim 2007; Clarke, 2005; Matias et al., 2004; Mousa,
2004; Rainsford, 2004).
Konsumsi asetosal selalu meningkat bahkan tahun 1997 di Amerika diperkirakan
mencapai 20 ribu ton setahun. Di Indonesia obat bermerek yang mengandung asam
asetilsalisilat dalam bentuk sediaan tablet saja telah mencapai lebih dari 30 nama,
belum lagi bentuk sediaan lainnya, dan ditambah lagi sediaan generik yang banyak
beredar di pasaran. Jika dihitung, jumlah obat yang mengandung asetosal yang beredar
di masyarakat sudah demikian banyaknya. Hal ini memerlukan pengawasan mutu yang
tidak mudah untuk dilakukan (Anonim, 2007; Matias et al., 2004).
Penetapan kadar asetosal dalam sediaan obat sangatlah penting untuk uji
kualitas produk sebelum, selama proses produksi dan/atau setelah menjadi produk
akhir, serta selama produk tersebut berada di pasaran sebelum digunakan oleh
konsumen (Matias et al., 2004, Rainsford, 2004).
Metode penetapan kadar asetosal telah banyak dikembangkan, diantaranya
titrasi asam basa, spektrofotometri sinar ultraviolet dan tampak, otomatisasi metode
spektrofotometri sinar tampak dengan menggunakan metode flow injection analysis
pada tahap hidrolisisnya, metode spektrofluorometri, inframerah, kromatografi
utamanya HPLC dan GC, dan Spektrofotometri Serapan Atom pun juga telah
dikembangkan dan dideskripsikan secara detail untuk menetapkan kadar asetosal dan
metabolitnya,

asam

salisilat;

dan

yang

terbaru

metode

immunoassay

dan

spektrofotometri NMR (Matias et al., 2004; Rainsford, 2004).
Produk sediaan obat yang mengandung asetosal tidak terbilang lagi banyaknya
yang beredar di pasaran Indonesia, yang diharuskan dalam kualitas prima hingga sampai
di tangan konsumen dan siap dikonsumsi. Untuk menjaga kualitas tersebut dengan
melihat jumlah sampel yang sangat besar, diperlukan pengembangan suatu metode

2|Halaman

penetapan kadar yang cepat, murah, portabel, dan sederhana tanpa menggunakan alat
yang rumit dan dapat memberikan hasil yang diinginkan. Langkah pendahuluan dalam
pencarian metode alternatif dengan menggunakan bantuan TLC Scanner dalam
menganalisis bercak yang dihasilkan sehingga prosedur uji bercak dapat menjadi
alternatif yang menjanjikan (Matias et al., 2004).
Uji kualitatif penampakan bercak didasarkan atas reaksi perubahan warna
melalui reaksi kimia antara analit dan pereaksi. Perubahan warna ini terjadi secara
proporsional terhadap konsentrasi dari analit sehingga metode penetapan kadar
berdasar reaksi bercak dapat diajukan untuk dikembangkan. Dalam penelitian ini
nantinya, beberapa konsentrasi asetosal dari beberapa sediaan obat bermerek
ditetapkan kadarnya menggunakan metode refleksi sinar kembali berdasar pada reaksi
pembentukan warna ungu-biru mantap antara asam salisilat dan besi(III) (Matias et al.,
2004).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui validitas metode penetapan kadar
asam asetilsalisilat dalam sediaan obat memanfaatkan sinar reflektan terukur dari
bercak yang dihasilkan. Metode yang digunakan adalah validasi beberapa parameter
yang dipersyaratkan terhadap metode pengukuran konsentrasi yang diperoleh dari hasil
konversi jumlah sinar reflektan yang didapat dengan kurva baku eksternal asam salisilat.
Asetosal tidak dapat ditetapkan kadarnya dengan mengukur bercak yang
dihasilkan sebelum dilakukan hidrolisis terlebih dahulu karena asetosal tidak dapat
membentuk kompleks dengan Fe(NO3)3. Beberapa buku seperti farmakope Indonesia
dan Higuchi (1976) menyebutkan bahwa hidrolisis dilakukan dalam suasana basa
(NaOH), namun setelah dilakukan optimasi hasil optimum diperoleh dengan basa yang
digunakan KOH. Kondisi optimum ini kemudian dipakai untuk membuat kurva standar
dan dari dihasilkan persamaan regresi liniernya
y=7495x + 830 (r=0,996). Parameter-parameter
validasi metode analisis: 1) akurasi; parameter
akurasi

membuktikan

kedekatan

hasil

pemeriksaan dengan nilai yang sebenarnya. Ada
dua cara untuk menetapkan parameter akurasi,
yaitu metode simulasi dan penambahan baku. Tabel 1 menyajikan hasil dari penetapan
parameter akurasi yang diperoleh dalam penetapan kadar asam asetilsalisilat

3|Halaman

memanfaatkan sinar reflektan dari TLC Scanner pada spot yang dibuat dari larutan
sampel.
Dari Tabel 1 dapat ditarik kesimpulan bahwa kesemua hasil perolehan kembali
belum memenuhi syarat (98-102% dengan relative standard deviation (RSD) 0,98). Walaupun nilai r tidak memenuhi persyaratan, trend
data yang diperoleh menunjukan sifat linearitas yaitu konsentrasi semakin besar respon
(luas area) yang diperoleh juga meningkat. Hal ini dapat disebabkan karena waktu
pemipetan, posisi mikropipet tidak selalu mendekati tegak lurus sehingga hasil spot yang
diperoleh kurang lebih tidak sama satu dengan lainnya, dan 5) LOQ; Limit of
Quantification (LOQ) perlu dilakukan dan dihitung dengan cara signal to noise atau
dengan kurva standar eksternal atau internal untuk metode penetapan kadar yang baru.
Nilai LOQ yang didapatkan adalah 0,647%; berarti kadar minimum yang bisa ditetapkan
dengan akurasi dan presisi yang sesuai adalah 0,647%.

4|Halaman