Aspek Hukum Kontrak Kerjasama Konsinyasi Distro Fashion Dengan Supplier

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Aliminsyah dan Padji Wibowo, 2003, Kamus Istilah Keuangan Dan Perbankan, Erlangga, Jakarta.

Anshari Tampil, 2005, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Badrulzaman Darus Mariam, 1981, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Alumni, Bandung.

Burton Richard, 1996, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta. Foster DW, 2004, Manajemen Pemasaran, Erlangga, Jakarta.

Fuady Munir, 2002, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung.

_________, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung.

Harahap Yahya M, 1982, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung.

Natorajo A Sulju, 2001, Unsur-Unsur Marketing, Alumni, Bandung.

Nitisemito S Alex, 2002, Marketing, Cetakan Ketujuh, Penerbit : Ghalia Indonesia, Jakarta.

ProdjodikoroWirjono, 1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur, Bandung,.

---, 1984, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Penerbit Sumur, Bandung.

Subekti R, 1978, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta.

_________, 1976, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Penerbit Alumni, Bandung.


(2)

Soekanto Soerjono, 1994, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta. Sunggono Bambang. 2003, Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grafindo

Persada. Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan:

KUH Perdata

C. Internet:

Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, ―Outlet, Counter, dan Gerai‖,

http://www.balaibahasajateng.web.id/index.php/read/home/infobahasa_ detail/8/Outlet-Counter-dan-Gerai.

Hadori Yunus Harnanto, ―Penjualan Konsinyasi‖,

http://dahlanforum.wordpress.com/ 2008/04/21/penjualan.

Investasi Online, ―Pengertian Sistem Konsinyasi Distro‖,

http://www.investasionline.net/net/pengertian-sistem-konsinyasi-distro.html.

Ruang Catatan, ―Peran Distributor Dalam Pemasaran‖,

http://mulairuangcatatan.blogspot.com/2012/12/peran-distributor-dalam-pemasaran.html.

Sulaiman S Manggala, ―Perkembangan pola pemasaran‖,

http://unsri.ac.id/dosen/sulaiman.

Yahoo Answer, ―Ada yang tahu gak pengertian OUTLET‖,

http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20120214143518AAE hCRh.


(3)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG DISTRIBUTOR OUTLET (DISTRO FASHION DAN SUPPLIER)

A. Pengertian Outlet dan Distro Fashion

Outlet diartikan sebagai tempat orang orang yang menjual barang dagangan dengan memakai stand yang biasanya berupa tempat duduk dan lemari kaca di depan toko toko besar.29

Jika dicermati, banyak ditemukan penggunaan kata outlet dan counter pada tulisan di media cetak. Penggunaan kedua kata itu pun sering tidak tepat pemakaiannya. Padahal, kedua kata tersebut memiliki arti yang berbeda. Outlet (Inggris) berarti 'toko atau tempat penjualan'. Kata outlet mengandung pengertian bahwa toko atau tempat penjualan itu hanya menjual barang-barang yang merupakan satu produk tertentu, misalnya produk baju dengan merek tertentu.

Kata counter (Inggris) berarti toonbank, meja pajangan/kedai, kasir. Kata tersebut mengandung pengertian bahwa counter bukanlah toko, tetapi meja/kedai kecil tempat menjual barang-barang. Dengan demikian, di dalam toko bisa terdapat beberapa counter/kedai kecil yang menjual barang-barang, misalnya counter kosmetik, obat-obatan, majalah.

29

Yahoo Answer, ―Ada yang tahu gak pengertian OUTLET‖,

http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20120214143518AAEhCRh, Diakses tanggal 10 Mei 2013.


(4)

Kata gerai berarti kedai kecil, meja tempat menjual barang. Kata gerai ini pun mengandung pengertian bahwa gerai bukanlah toko, tetapi meja/kedai kecil tempat menjual barang-barang. Jadi, di dalam toko bisa terdapat beberapa gerai. Berdasarkan pengertian outlet, counter, dan gerai tersebut, kata gerai merupakan padanan bahasa Indonesia dari kata counter. Jadi, penggunaan yang benar untuk penyebutan meja/kedai kecil tempat menjual barang-barang adalah gerai, bukan counter karena kata counter masih merupakan kata asing (Inggris). Kata outlet masih sering dipakai karena padanannya dalam bahasa Indonesia belum ada. Dalam hal ini kata outlet bisa diartikan toko.

Berikut beberapa contoh penggunaan kata gerai dan outlet yang benar dalam kalimat.

(1) Temanku, Esty, sudah bekerja di gerai kosmetik sejak tahun 2005.

(2) Toko swalayan itu menarik banyak pengunjung karena di dalamnya terdapat banyak gerai.

(3) Outlet-outlet baju bermerek tertentu didirikan di sepanjang jalan daerah Kesawan Medan.

(4) Karena ada diskon besar-besaran di outlet itu, para pengunjung berebutan membeli.30

30

Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, ―Outlet, Counter, dan Gerai‖,

http://www.balaibahasajateng.web.id/index.php/read/home/infobahasa_detail/8/Outlet-Counter-dan-Gerai, Diakses tanggal 10 Mei 2013.


(5)

B. Distributor dan Supplier

Nama distributor dan supplier adalah suatu hal yang berbeda. Namun dalam praktek bisnis sehari-hari keduanya biasanya digabungkan. Richard

Burton menjelaskan‖bila seseorang/badan bertindak sebagai supplier, berarti ia

bertindak untuk dan atas nama prinsipal, sedangkan bila seseorang/badan bertindak sebagai distributor, berarti ia bertindak untuk dan atas namanya

dirinya sendiri‖.31

Supplier adalah ―orang atau perusahaan perantara yang mengusahakan penjualan bagi perusahaan lain atas nama pengusaha, perwakilan‖.32 Sedangkan

distributor adalah ―orang atau badan yang bertugas mendistribusikan barang

dagangan, penyalur‖.33

Sumber yang lain menjelaskan supplier adalah seseorang atau suatu perusahaan yang mewakili pihak lainnya (yang disebut dengan prinsipal) untuk melakukan kegiatan bisnis (misalnya menjual produk) untuk dan atas nama prinsipal kepada pihak ketiga dalam suatu wilayah pemasaran tertentu, dimana sebagai imbalan atas jerih payahnya itu, supplier akan mendapatkan komisi

tertentu‖.34

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dipahami bahwa supplier tersebut adalah hampir memiliki makna yang sama dengan istilah distributor yaitu sama-sama bertugas melakukan penyaluran barang perdagangan. Tetapi letak

31

Richard Burton, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, 1996., hal. 70. 32

Ibid

33

Ibid., hal. 71. 34

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 244.


(6)

perbedaannya adalah supplier merupakan perpanjangan tangan prinsipal sementara distributor adalah berdiri sendiri.

Pada kegiatan bisnis, supplier biasanya diartikan sebagai suatu hubungan hukum dimana seseorang/pihak supplier diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama orang/pihak prinsipal untuk melaksanakan transaksi bisnis dengan pihak lain. Jadi kriteria utama untuk dapat dikatakan adanya suatu supplier adalah adanya wewenang yang dipunyai oleh supplier tadi yang bertindak untuk dan atas nama prinsipal.

Prinsipal akan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seorang supplier, sepanjang hal tersebut dilakukan dalam batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya. Dengan perkataan lain, bila seorang supplier ternyata bertindak melampaui batas wewenangnya, maka supplier itu sendiri yang akan bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya tadi.

Sedangkan seorang distributor tidak bertindak untuk dan atas nama pihak yang menunjuknya sebagai distributor (biasanya supplier, atau manufacture). Seorang distributor bertindak untuk dan atas nama sendiri. Oleh karena itu, biasanya dalam perjanjian distributor secara tegas akan dinyatakan dalam kalimat perjanjian.

Hubungan yang terjadi antara para pihak dalam peristiwa pendistribusian tentunya memiliki hak dan kewajiban. Masing-masing pihak yang terkait dalam pendistribusian tentunya memiliki kapasitas hubungan yang berimbal balik.


(7)

Hak distributor dalam hubungannya dengan pendistribusian suatu jenis produk adalah menerima produk yang akan didistribusikannya. Selanjutnya distributor juga berhak untuk mendistribusikan produk tersebut dengan sistem pemasaran yang dipahaminya dapat memberikan keuntungan baginya. Dari hak tersebut maka seorang distributor juga memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran atas produk yang dipesannya kepada principal. Kewajiban lainnya adalah melakukan konsep pemasaran dengan tidak melanggar ketentuan tentang persaingan usaha yang tidak sehat.

Sedangkan pihak prinsipal sebagai pihak yang memiliki hubungan dengan distributor memiliki hak untuk menerima pembayaran atas barang yang diproduknya tersebut. Sedangkan kewajibannya adalah melakukan pendistribusian barang yang dibayarkan oleh distributor.

Kapasitas dari tugas distributor pada dasarnya hampir memiliki kemiripan dengan istilah kantor pemasaran, dan kantor cabang. Untuk hal demikian maka berikut ini akan diuraikan kedudukan distributor dan supplier dengan pihak prinsipal.

1. Hubungan prinsipal antara supplier dengan distributor.

Seorang supplier akan menjual barang atau jasa untuk dan atas nama pihak prinsipalnya, sementara seorang distributor bertindak untuk dan atas namanya sendiri (independent tender).

2. Pendapatan perantara.

Pendapatan seorang supplier adalah berupa komisi dari hasil penjualan barang/jasa kepada konsumen, sementara bagi distributor, pendapatannya


(8)

adalah berupa laba dari selisih harga beli (dari prinsipal) dengan harga jual kepada konsumen.

3. Pengiriman barang.

Dalam hal supplier barang dikirim langsung dari prinsipal kepada konsumen, sedangkan dalam hal distribusi, barang dikirim kepada distributor dan baru dari distributor dikirim kepada konsumen. Jadi dalam hal distribusi, pihak prinsipal bahkan tidak mengetahui siapa konsumen itu. 4. Pembayaran harga barang.

Pihak prinsipal akan langsung menerima pembayaran harga dari pihak konsumen tanpa melalui supplier, sedangkan dalam hal distribusi, maka distribusila yang menerima harga bayaran dari konsumen.35

Di samping itu dikenal juga apa yang disebut dengan kantor representatif. Kantor representatif berbeda dengan supplier atau distributor sebab kantor representatif bukan pihak luar dari prinsipal melainkan merupakan orangnya prinsipal sendiri. Kantor representatif lebih banyak bertugas dalam hal pemasaran produk saja.

Sedangkan yang dimaksud dengan kantor cabang mirip dengan kantor representatif. Hanya saja yang membedakannya adalah bahwa kantor cabang mempunyai wewenang yang lebih luas dari kantor representatif. Pada prinsipnya kewenangan kantor cabang sama dengan kewenangan prinsipal, kecuali dalam melakukan kontrak khusus dimana untuk

35


(9)

kontrak khusus tersebut haruslah ditandatangani oleh direksi atau kuasa direksi dari prinsipal, sesuai dengan anggaran dasar perusahaan yang bersangkutan.

C. Fungsi Outlet dan Distro

Berdasarkan pengertian outlet dan distro sebagaimana yang diuraikan di atas maka dapat dikatakan fungsi outlet dan distro adalah tempat dipajangkannya suatu produk untuk dipasarkan kepada konsumen.

Oleh sebab itu dapat juga dikatakan fungsi outlet dan distri adalah tempat tatanan suatu produk yang akan diperjual belikan kepada konsumen. Penataan barang dagangan atau merchandise pada sebuah outlet dan distro memiliki peran dan arti yang sangat penting.

Sering terjadi seorang ibu yang awalnya datang ke outlet dan distro untuk berbelanja pakaian merek tertentu, ternyata pada Rak yang sama terdapat merek lain yang lebih murah. Melihat pada rak sebelah terdapat deretan pakaian dengan kemasan yang menarik serta tambahan/ hadiah kemasan karton kecil. Pada rak kaos kondisi sama, hampir semua jenis kaos memberikan diskon dan hadiah.

Kesemua produk tersebut ditata dengan rapi dan baik serta memiliki daya tarik. Sehingga pada akhirnya ibu tersebut pulang dengan menbawa berbagai barang kebutuhan yang sebenarnya tidak ada dalam rencana belanjanya. Hal tersebut terjadi karena konsumen tersebut melihat penampilan visual yang menarik sehingga terdorong untuk melakukan impulse buying yakni pembelian seketika.


(10)

Departemen atau bagian yang sangat berkaitan dengan kegiatan penataan barang dagangan adalah Merchandising. Dalam pengertian tersebut dijelaskan bahwa penataan barang dagangan adalah suatu cara dimana barang dagangan disajikan dengan menarik kehadapan konsumen. Proses yang secara rinci menjadikan outlet dan distro dan barang dagangannya memiliki daya tarik adalah tugas dan kegiatan Merchandising. Dengan kata lain segala aktivitas yang berhubungan dengan arus barang mulai barang dibeli sampai terjual serta pengembangannya adalah tugas pokok Merchandiser, yaitu orang bertanggung jawab atas penataan barang dagangan.

D. Peranan Distributor Dalam Pemasaran

Penerapan teknologi canggih di dalam perusahaan membawa masalah dan kesempatan-kesempatan baru, yang mengakibatkan suasana persaingan di pasar semakin pesat. Kemajuan teknologi bukan saja diterapkan pada bagian produksi, transportasi, sistem informasi dan komunikasi personalia, tetapi juga di bidang pemasaran. Kenyataan, semakin berkembangnya teknologi yang diterapkan tersebut fungsi-fungsi yang ada di dalam perusahaan juga mengalami perkembangan. Demikian juga halnya bagi bidang pemasaran, sehingga bidang pemasaran bukan hanya meliputi kegiatan penjualan atau menyampaikan barang dari produsen kepada konsumen saja tetapi lebih luas dari itu.

Bagi perusahaan kegiatan pemasaran dapat dikatakan sebagai salah satu kegiatan pokok dan harus dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan


(11)

hidupnya, untuk berkembang dan mendapat laba.

Dewasa ini fungsi pemasaran ditujukan untuk kegiatan-kegiatan mengidentifikasi keinginan dan kebutuhan yang belum dipenuhi sekarang dan mengukur berapa besarnya, menentukan pasar-pasar mana yang paling baik dilayani organisasi dan menentukan berbagai produk juga program yang tepat untuk melayani pasar tersebut. Jadi pemasaran berperan sebagai penghubung antara kebutuhan-kebutuhan masyarakat dengan pola jawaban industri yang bersangkutan.

Untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan marketing (pemasaran) maka penulis mengemukakan beberapa pendapat para ahli ekonomi.

Pemasaran adalah : ―semua kegiatan aktivitas untuk memperlancar arus

barang-barang dan jasa-jasa dari produsen kepada konsumen secara efisien dengan maksud untuk menciptakan permintaan efektif ".36

Selanjutnya menurut Suljus A. Natoradjo memberikan defenisi marketing : Meliputi segala aktivitas-aktivitas yang menyangkut penciptaan faedah-faedah tempat, waktu dan hak milik, usaha pembelian dan penjualan dan meliputi aktivitas-aktivitas perdagangan yang menyangkut pergerakan arus barang dan jasa antara sektor produksi dan sektor konsumer.37

36

Alex S. Nitisemito, Marketing, Cetakan Ketujuh, Penerbit : Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002. hal 11

37


(12)

Dari kedua definisi di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa marketing (pemasaran) sebagai suatu sistem yang mencakup semua kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan, yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang-barang dan jasa kepada kelompok-kelompok pembeli.

Jadi marketing bukanlah sekedar hanya menjual barang dan jasa dari produsen saja. Tetapi lebih luas dan rumit. Kegiatan-kegiatan tersebut beroperasi dalam suatu lingkungan yang dibatasi oleh sumber-sumber atau kekuatan yang ada dari perusahaan itu sendiri, baik peraturan-peraturan maupun konsekwensi sosial dari perusahaan berusaha menghasilkan laba dari penjualan barang dan jasa yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan pembeli.

D.W. Foster mengemukakan delapan pokok untuk dapat memberikan suatu gambaran yang lebih lengkap tentang pemasaran :

1. Pemasaran adalah filsafat yang menyatakan bahwa perusahaan harus mempengaruhi pasarnya (konsumen) dan bukan oleh fasilitas produksi atau teknik yang dimiliki.

2. Pemasaran adalah suatu proses yang sistematik.

3. Pemasaran adalah bentuk organisasi komersial yang diperbaiki.

4. Pemasaran mempergunakan metode dan sistem-sistem yang diperbaiki berdasarkan hukum-hukum ilmiah yang ditarik dari ilmu ekonomi, statistik, keuangan dan ilmu-ilmu tingkah laku manusia.

5. Pemasaran adalah suatu sistem kecerdasan komersial. 6. Pemasaran memberikan dorongan untuk penemuan baru.

7. Pemasaran merupakan suatu metode untuk mencapai strategi perusahaan yang dinamis.

8. Pemasaran merupakan suatu bentuk "Management by objectives".38

38


(13)

Seluruh kegiatan dalam perusahaan yang menganut konsep pemasaran harus diarahkan untuk memenuhi kepuasan terhadap keinginan kebutuhan pembeli atau konsumen. Kegiatan ini meliputi semua kegiatan yang ada dalam perusahaan seperti kegiatan personalia, kegiatan produksi, kegiatan keuangan, riset dan pengembangan serta fungsi-fungsi lainnya.

Pada masa yang silam, pemasaran lebih banyak menitikberatkan pada tujuan penjualan dengan ongkos produksi seminimal mungkin. Tujuan ini sangat bermanfaat secara individual, tetapi tidak harmonis dengan konsep pemasaran. Ini tidak berarti penjualan tidak tidak diabaikan bahkan penting karena laba yang diperoleh berasal dari penjualan.

Perusahaan yang berorientasi kepada pembeli atau customers harus memadukan keputusan-keputusannya dengan fungsi perusahaan lainnya sehingga tercapailah kesamaan sikap bagian-bagian yang bersangkutan terhadap konsumen yang dilayani. Oleh karena bagian pemasaran merupakan bagian perusahaan yang paling mengetahui tentang seluk-beluk pasar atau konsumen, maka sudah sewajarnyalah bagian pemasaran mengkoordinir tugas-tugas dalam memberikan bimbingan pada fungsi lainnya yang dibutuhkan untuk menghadapi pasar secara terintegrasi.

Dengan demikian konsep pemasaran menuntut adanya suatu logika tunggal perusahaan, yang harus dikembangkan secara kooperatif oleh seluruh bagian perusahaan. Di dalam melaksanakan kegiatannya, masing-masing bagian akan selalu memikirkan rangkaian kegiatan perusahaan secara keseluruhan.


(14)

Untuk mencapai tujuan operasi pemasaran, para manajer perusahaan perlu menerapkan cara pendekatan totalitas atas bagian pemasaran, produksi, keuangan dan kegiatan lainnya. Segala usaha perusahaan merupakan dasar yang kuat untuk analisa dan pelaksanaan kegiatan pemasaran maupun kegiatan lainnya. Cara ini menekankan segi pertautan antar faktor eksternal perusahaan yang bersangkutan dengan bidang usaha maupun peraturan diantara berbagai kegiatan komponen perusahaan. Cara ini juga memperhatikan korelasi antara semua pemasukan dan pengeluaran, serta membuat perusahaan menggunakan informasi pemasaran, teknologi, persaingan maupun hasil yang telah dicapai oleh perusahaan. Di dalamnya terkandung pula unsur pengembangan sistem pengawasan yang memungkinkan perusahaan memperbaharui rencana atau tindakannya guna menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan di dalam maupun di luar perusahaan.

Saat ini peran distributor dalam pemasaran diakui memberikan andil yang sangat besar bagi penyebaran produk perusahaan (distribusi). Bahkan sering muncul anggapan bahwa sebenarnya penguasa pasar itu bukanlah produsen tetapi distributor. Hal ini terjadi karena tanpa distributor produsen tidak akan dapat bersaing dengan lawan-lawan mainnya. Hal ini khususnya berlaku untuk produk-produk yang termasuk ke dalam consumer goods. Bayangkan bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang ini, tanpa kehadiran retail-retail yang jumlahnya tersebar, mereka tidak akan menjangkau konsumen secara luas.


(15)

Tentu saja bobot pentingnya distributor dalam pemasaran ini berbeda-beda tergantung kepada berbagai faktor seperti jenis produk (seperti yang dijelaskan di atas), pola konsumsi masyarakat, dan cakupan pasar yang ingin dijangkau oleh produsen. Perusahaan membangun kolaborasi dengan modern outlet (pasar swalayan) sehingga memperoleh profit yang tinggi dari kolaborasi ini.

Secara umum terdapat lima sistem distribusi yang dapat dipakai oleh perusahaan.

1. Sistem Pertama : Produsen menjual ke sole agent (agen tunggal), kemudian sole agent ini mendistribusikan ke berbagai sub-agen yang tersebar di berbagai kota. Umumnya sole agent ini dimiliki oleh produsen itu sendiri. Sub agen ini kemudian menyalurkan produk tersebut ke wholesaler yang meneruskannya ke retailer. Retailer inilah yang menjual langsung kepada konsumen akhir atau kepada warung-warung yang ada. Sistem ini paling banyak digunakan di Indonesia dalam proses distribusi barang. Jika digambarkan, sistem ini terlihat seperti berikut : Produsen -> Sole Agent -> Sub Agen > Whole Saler > Pengecer Modern > Pengecer Konvensional -> Konsumen

2. Sistem Kedua : Hampir sama dengan sistem pertama, namun pada sistem kedua ini peran sub-agen ditiadakan. Jadi sole agent langsung menyalurkan melalui whole saler. Dalam hal ini, sole agent biasanya mendirikan sejumlah cabang sendiri di kota-kota besar. Nampaknya sistem ini digunakan agar pengendalian distribusi di kota-kota besar dapat dilakukan


(16)

penuh oleh sole agent. Keberhasilan distribusi dengan mengunakan sistem ini ditentukan oleh distributor nasional dengan jaringan cabangnya tersebut. Produsen -> Sole Agent -> Whole Saler -> Pengecer Modern -> Pengecer Konvensional -> Konsumen

3. Sistem Ketiga : Produsen melalui Sole Agent melakukan aktivasi penjualan langsung (direct sales). Pola distribusi ini cocok untuk produk dengan ciri-ciri : frekwensi pemakainnya sering dan tingkat persaingan di retail outket sangat ketat serta distribusi nya intensif. Sistem ini membutuhkan investasi yang besar dalam sarana transportasi, pergudangan dan tenaga penjual. Gambarnya adalah sebagai berikut : Produsen -> Sole Agent -> Pengecer Modern -> Pengecer Konvensional -> Konsumen

4. Sistem Ke empat : Sistem distribusi ini mengandalkan sales force yang menjual langsung kepada konsumen tanpa melalui retailer. Sistem ini dikenal dengan sistem distribusi non-store distribution. Sistem ini biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan direct marketing, termasuk di dalamnya multilevel marketing seperti Amway, CNI dan Avon. Jadi bila digambarkan, sistem nya akan terlihat : Produsen -> Sole Agent -> Sales Force -> Konsumen Akhir

5. Sistem Ke Lima : adalah produsen menyalurkan produknya melalui jaringan tokonya. Produsen -> Own Retail Outlet -> Konsumen.39

39 Ruang Catatan, ―Peran Distributor Dalam Pemasaran‖,

http://mulairuangcatatan.blogspot.com/2012/12/peran-distributor-dalam-pemasaran.html, Diakses tanggal 10 Mei 2013.


(17)

Dari gambaran di atas, terlihat jelas peranan distributor dan kedudukannya dalam strategi pemasaran. Untuk mendukung kerjasama yang lebih erat antara produsen dan distributor, perusahaan-perusahaan biasanya mengembangkan pola partnership dalam sistem distrubusi. Di sisi lain, untuk mengurangi ketergantungan yang besar kepada distributor tertentu, maka produsen bisa mengembangkan multi-channel dan tidak tergantung kepada distributor nasional tertentu.

Mengingat pentingnya peran distribusi dalam pemasaran perusahaan, sudah seharusnya produsen/ perusahaan mengelola sistem distribusi produk nya (Place), jangan hanya terpaku kepada 3P (Product, Price, Place, dan

Promotion).40

40


(18)

BAB IV

PELAKSANAAN KONTRAK KERJASAMA KONSINYASI ANTARA SUPPLIER DENGAN DISTRO

A. Bentuk Kontrak Kerjasama Konsinyasi Antara Supplier Dengan Distro

Bentuk kontrak kerjasama Konsinyasi antara Supplier dengan Distro ini dibuat secara tertulis dimana para pihak yang membuat perjanjian sepakat terhadap hal-hal pokok yang dimuat dalam perjanjian tersebut.

Kontrak kerja Konsinyasi antara supplier dengan distro tersebut diberi

judul ―Kontrak Kerjasama Supplier Dengan Distro‖, selanjutnya di bawahnya diberi nomor.

Pada bagian pertama diterangkan tentang para pihak yang mengadakan kontrak kerjasama konsinyasi tersebut. Penyebutan kedua belah pihak ini dimaksudkan untuk mengenal siapa-siapa yang mewakili para pihak dalam hal kontrak kerjasama konsinyasi antara supplier dengan distro.

Adapun hal-hal yang diatur dalam kontrak kerjasama Konsinyasi antara supplier dengan distro adalah:41

1. Spesifikasi

a. Model Peralatan : Counter Standard b. Alamat Usaha : Sei Bahorok c. Model Tempat Usaha : Distro

d. Luas Tempat Usaha : ……….

41


(19)

e. No. Anggota : …/CS/GRC/… /10 f. Jenis Menu : Local & Homemade 2. Tugas dan tanggung jawab Pihak Pertama :

a. Menyiapkan baju , sepatu, tas dan pernak–pernik lainnya untuk dijual ke masyarakat

b. Menyiapkan sarana penjualan, counter penjualan & peralatan usaha dalam jumlah dengan kualitas dan mutu yang telah di tetapkan bersama dengan desain yang telah di tetapkan bersama juga.

c. Memberikan pengetahuan / pelatihan proses membuat dan pemilihan bahan pakaian sampai benar-benar Pihak Kedua mampu memproduksi dan bisa memilih bahan pakaian sesuai dengan standard pihak Pertama. d. Memberikan konsep pemasaran & pengembangan usaha sesuai dengan

konsep Shopaholic

e. Memberikan jaminan terhadap tersedianya bahan pakaian tepat waktu, tepat jumlah dan tepat mutu. Jika ada keterlambatan penyediaan bahan pakaian tepat jumlah dan tepat kualitas yang membuat Pihak Kedua tidak bisa melakukan aktivitas penjualan, maka Pihak Kedua berhak mendapat ganti rugi berupa 2 % dari omzet bulan terakhir tiap harinya. f. Rutinitas monitor kegiatan akan di lakukan dengan komunikasi Telp /

Hp.

3. Tugas dan tanggung jawab Pihak Kedua :

a. Bersemangat dan serius dalam usaha penjualanDistro Shopaholic b. Menyediakan tempat usaha yang telah disetujui Pihak Pertama.


(20)

c. Menyediakan tenaga pelaksana dalam semua kegiatan tersebut.

d. Menerima, melaksanakan dan menjaga konsep Sistem Usaha Bersama (SUP).

e. Membuat laporan analisa usaha setiap bulan untuk solusi & pengembangan usaha.

f. Menyediakan dana dalam semua aktivitas usaha.

4. Konsep Usaha Bersama yang harus dipenuhi & dilaksanakan oleh Pihak Kedua:

a. Pemakaian nama (merk) ―Distro Shopaholic―

b. Sumber bahan pakaian, tas, sepatu dan pernak - pernik dari Pihak Pertama.

c. Proses produksi sesuai dengan prosedur tetap ( SUP ) d. Counter penjualan sesuai design Pihak Pertama

e. Setiap melakukan pengembangan & penyempurnaan kegiatan dimintakan persetujuan dari Pihak Pertama (membuka lokasi baru dan menambah counter jual) diatur dengan perjanjian baru.

f. Pihak Kedua sepakat / setuju untuk melaksanakan sepenuhnya konsep usaha & ketentuan

Distro Shopaholic ( pemasaran, quality, service, penampilan, dll ) 5. Perlengkapan dan sarana dalam prosesDistro Shopaholic :

a. Investasi :

1) Peralatan Usaha 2) Peralatan Menjahit


(21)

3) Sarana Tempat + Modal Usaha

4) Peralatan yang di investasikan tetap menjadi milik Pihak Kedua meskipun perjanjian ini sudah berakhir.

b. Modal Kerja : 1) Tenaga Kerja 2) Bahan Tekstil 3) Bahan Memproses 4) Pembungkus / Kemasan 5) Sarana & Upaya Promosi 6. Jangka waktu :

a. Ikatan kerjasama dengan jaminan penggunaan bahan pakaian Distro Shopaholic tersebut selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan baru.

b. Perpanjangan kerjasama setelah 5 (lima) tahun, untuk 5 (lima) tahun berikutnya Pihak Kedua akan dikenakan management fee yang besarnya 30 % dari investasi peralatan tersebut (dengan catatan masih menggunakan peralatan yang sama).

7. Perhitungan kompensasi Sistem Usaha Bersama (diatur secara sepakat) a. Disepakati besarnya biaya peralatan paket memasak lengkap (sesuai

gambar) sebesar Rp ………...

(……….) diluar pekerjaan & peralatan tambahan,

dibayar awal sebesar Rp ………..…...


(22)

pelunasan bertahap s/d peralatan di serahkan.

2. Perhitungan harga tekstil disesuaikan dengan standard harga jual produk.

3. Harga tekstil akan ditinjau secara berkala, kenaikan harga akan dipertimbangkan dari harga bahan tekstil & kondisi pasar.

8. Ketentuan lain-lain :

a. Dalam evaluasi wilayah usaha (area) disesuaikan antara kapasitas pasar dengan jumlah armada counter, apabila kapasitas pasar mempunyai potensi penambahan armada, pemegang area disarankan untuk menambah armada. Jika saran tersebut tidak mendapat tanggapan, maka Pihak Pertama berhak untuk mengisi armada baru.

b. Pembagian area tersebut tidak termasuk dalam program usaha ecer/boutique khususnya di jalan-jalan utama.

c. Penguasaan area dalam radius 100 (seratus) m dari titik tempat usaha yang disepakati bersama menjadi monopoli Pihak Kedua, pihak lain tidak diperkenankan memasuki area tersebut kecuali ketentuan pasal VIII.1 dan VIII.2.

d. Pihak Pertama telah memiliki legalitas Nama Usaha, Logo, termasuk sarana/alat-alat yang diciptakan sendiri.Apabila Pihak Kedua terbukti mengcopy/meniru/menggandakan apa yang menjadi hak Pihak Pertama maka hal tersebut akan menjadi penyimpangan hukum termasuk Pihak Pertama berhak memutuskan hubungan kerjasama sepihak.


(23)

sejenis ―Shopaholic― dengan nama/merk berbeda, menyimpang terhadap hal tersebut, Pihak Pertama secara sepihak berhak untuk melakukan pemutusan kerjasama.

f. Pihak Kedua diwajibkan memakai tekstil Homemade Of Clothes sesuai aturan yang berlaku, apabila terbukti memakai bahan tekstil yang lain maka akan dikenakan sanksi pemutusan hubungan kerjasama sepihak. g. Pihak Kedua dapat mengusulkan menambah model baru, penambahan

model menjadi tanggung jawab Pihak Pertama dan penambahan model akan disesuaikan dengan kondisi/peluang pasar setempat.

h. Apabila Pihak Kedua melakukan perubahan standard model, versi counter Single/Double/Island menjadi/menambah ruang distro dan memperluas ruang distro, Pihak Pertama berhak melakukan penambahan peralatan & biaya konsultan dihitung secara proporsional.

i. Training dilakukan di lokasi Pihak Pertama, apabila dilakukan di lokasi Pihak Kedua akan dikenakan biaya sesuai tempat & lamanya training ( minimal 1 ( satu ) hari ).

j. Pihak Kedua diwajibkan training ulang di lokasi Pihak Pertama secara berkala atau pada saat ada perubahan SUP. Apabila Pihak Kedua tidak hadir pada acara training ulang Pihak Pertama berhak memberikan Surat Peringatan ke 1, ke 2 dan langkah terakhir bisa dikenakan sanksi pencabutan sebagai anggota franchisee.

k. Untuk kemajuan usaha / peningkatan omzet penjualan, Pihak Pertama akan melakukan kunjungan dengan jadwal diatur bersama meliputi


(24)

kontrol: Kualitas, Pemasaran, Brand image, Penghematan-penghematan, Penambahan model & SUP baru. Lama waktu kunjungan untuk minimal 1 (satu) hari disesuaikan dengan kondisi setempat maka biaya kunjungan menjadi tanggung jawab Pihak Kedua (transport, akomodasi & jasa tekhnisi)

l. Pengiriman peralatan counter/distro akan dikenakan tambahan biaya transport yang besarnya sesuai lokasi Pihak Kedua.

m. Apabila di kemudian hari ada pemindahtanganan counter, maka harus dilakukan oleh pihak Shopaholic pusat. Biaya administrasi transfer counter antar member Shopaholic atau balik nama sebesar Rp 1,000,000 ,- (satu juta rupiah) per counter.

n. Pemakaian bahan tekstil dan kemasan harus sesuai dengan Standard Operational Procedure (SOP) yang berlaku, apabila menyimpang dari SOP Pihak Kedua akan dikenakan sanksi pencabutan sebagai anggota franchisee.

o. Apabila Pihak Kedua tidak operational selama 3 (tiga) bulan, maka Pihak Kedua dianggap sudah mengundurkan diri sebagai penerima Sistem Usaha Bersama Shopaholic, sehingga semua identitas Shopaholic akan dicabut sedangkan semua peralatan menjadi hak milik Pihak Kedua.

p. Pihak Pertama tidak punya kewajiban membeli ulang paket peralatan yang sudah dibeli oleh Pihak Kedua, tetapi dapat membantu untuk mengoperasikan & memindahtangankan kepada pihak lain.


(25)

q. Apabila dalam masa perjanjian terjadi hal - hal di luar kekuasaan para pihak (force majeure) seperti bencana alam, kebakaran, huru hara, pemogokan masal, dan lain-lain yang mengakibatkan salah satu atau kedua belah pihak tidak dapat memenuhi syarat-syarat dalam perjanjian ini dan kerugian yang menimpa para pihak bukanlah merupakan beban pihak manapun yang terkait dalam perjanjian ini.

Selanjutnya perjanjian tersebut ditutup dan ditanda tangani oleh masing-masing pihak.

B. Proses Pembuatan Terjadinya Kontrak Kerjasama Konsinyasi Antara

Supplier Dengan Distro

Pada dasarnya suatu perjanjian akan dilaksanakan apabila para pihak telah sepakat pada hal pokok mengenai perjanjian yang mereka perbuat dan sepakat mereka tersebut diteruskan dalam suatu penandatanganan akan perjanjian yang telah mereka sepakati.

Demikiain juga halnya dalam pelaksanaan kontrak konsinyasi distributor outlet (distro) fashion dengan supplier ini bahwa terjadinya perjanjian di atas adalah dengan telah sepakatnya para pihak terhadap hal-hal yang pokok dalam pelaksanaan perjanjian tersebut, dan sepakat mereka tersebut ditandai dengan penandatanganan perjanjian.

Sebagaimana telah ditentukan sebelumnya di dalam pasal 1320 KUH Perdata bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu:


(26)

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal.

Apabila keadaan dari pasal 1320 KUH Perdata tersebut di atas dihubungkan dengan pelaksanaan dari terjadinya kontrak konsinyasi distributor outlet (distro) fashion dengan supplier ini maka setelah sepakatnya para pihak atas hal yang pokok dalam perjanjian tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa empat syarat di atas telah dipenuhi oleh para pihak tersebut.

Sepakat para pihak dalam hal pokok yang ditentukan dalam kontrak konsinyasi distributor outlet (distro) fashion dengan supplier adalah disimpulkan dalam suatu bentuk perjanjian tertulis. Perjanjian tertulis adalah suatu bentuk kesepakatan antara para pihak yang menuangkan kesepakatan tersebut tersebut dalam bentuk tertulis, dimana di dalamnya disebutkan hal-hal yang berhubungan dengan kewajiban dan hak masing-masing pihak.

Perjanjian tertulis juga merupakan suatu bentuk perjanjian yang menjelaskan dari klausula-klausula apa saja yang disepakati oleh para pihak dalam kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier. Klausula tersebut juga menjelaskan identitas para pihak yang mengadakan perjanjian, sistem pembayaran yang akan dilakukan serta hal-hal lainnya yang dianggap memiliki hubungan dengan kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier.


(27)

Hal-hal yang di ataslah yang mendasari terjadinya suatu kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier. Ditambah dengan keadaan-keadaan yang harus dipenuhi dari ketentuan bunyi pasal 1320 KUH Perdata di atas.

Terhadap ketentuan pasal 1320 KUH Perdata tersebut dapat dilakukan pembahasan. Keempat syarat yang ditentukan pasal 1320 KUH Perdata tersebut apabila kita tarik kepada pelaksanaan kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier ini dapat dibagi menjadi dua syarat. Kedua syarat yang pertama yang oleh ahli hukum dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian, yang apabila kita lihat dalam kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier maka kedua syarat tersebut adalah dilakukan oleh masing-masing pihak pimpinan, merekalah yang membuat kesepakatan karena mereka dianggap layak untuk itu oleh masing-masing pihak. Kedua syarat terakhir yang ditentukan pasal 1320 KUH Perdata merupakan syarat objektif karena mengenai obyek dari perjanjian.

Dalam kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier telah dapat dilihat jelas bahwa suatu hal tertentu yang antara lain adalah menitipkan suatu produk fashion sedangkan suatu sebab yang halal, bahwa produk fashion tersebut karena kepentingannya tidaklah melanggar hukum.

Selalu dipertanyakan saat-saat terjadinya perjanjian antara pihak, Mengenai hal ini ada beberapa ajaran yaitu :


(28)

1. Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan , misalnya dengan menuliskan surat.

2. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

3. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawakan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima. 4. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan

itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.

Terjadinya pelaksanaan kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier ini adalah sebagaimana telah diuraikan di muka, yaitu telah disepakatinya hal-hal yang pokok dan diikuti dengan penandatanganan hitam di atas putih.

Hal lainnya yang menjadi perhatian dalam kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier adalah dipakainya perjanjian secara baku. Pemakaian surat perjanjian yang telah dibakukan dipandang sebagai salah satu bentuk dari efisiensi kerja sebuah usaha termasuk dalam bidang rental mobil. Penggunaan surat-surat perjanjian dalam bentuk formulir terjadi secara berulang dan teratur yang melibatkan banyak orang, dan menimbulkan suatu kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian itu terlebih dahulu dan kemudian dibakukan, seterusnya dicetak dalam bentuk formulir dengan jumlah


(29)

yang banyak, sehingga memudahkan pemakaian setiap saat bila dibutuhkan. Perjanjian baku ini diperuntukkan bagi setiap masyarakat penyewa yang satu dengan yang lain.

Istilah perjanjian baku diambil dari bahasa Belanda yaitu Standaard contract atau Standaard Voor warden. ―perjanjian baku dapat diartikan sebagai

perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir‖. 42

Untuk keperluan tersebut pihak perusahaan seperti Banowati Ren Car mempersiapkan isi perjanjian yang dituangkan dalam bentuk formulir, sehingga memudahkan pemakaian jika dibutuhkan.

Keberadaan perjanjian baku dalam masyarakat akhir-akhir ini dipertanyakan landasan berlakunya. Karena tidak sesuai dengan Pasal 1319

KUH perdata yang berbunyi ―semua persetujuan baik yang mempunyai suatu

nama khusus maupun yang tak dikenal suatu nama tertentu tunduk pada

peraturan umum‖. Pada perjanjian baku ini tidak ada kata sepakat mereka yang

mengikatkan dirinya karena ternyata isi perjanjian itu telah dibuat oleh salah satu pihak saja, sedang pihak lainnya hanya tinggal menandatangani perjanjian baku itu bila ia setuju untuk mengikatkan diri terhadap perjanjian tersebut.

Oleh karena itu para ahli hukum dipertanyakan apakah perjanjian baku ini mencerminkan asas konsensualitas yang terkandung di dalam hukum perjanjian (Buku III KUH Perdata).

Untuk menjawab masalah ini Mariam Darus Badrulzaman memberikan

42

Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 1981, hal. 49.


(30)

pandangannya bahwa ―meninjau permasalahan perjanjian baku apakah

mengikat atau tidak, maka secara teoritis juridis, perjanjian ini tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) KUH Perdata‖.43

Melihat kepada posisi para pihak yang berbeda ketika membuat perjanjian, pihak debitur yang menandatangani perjanjian baku tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian yang ditanda tanganinya sehingga tidak terlihat adanya real bargaining (permintaan atau permohonan yang nyata) antara debitur dengan pihak pengusaha (kreditur), keinginan dan kepentingan debitur kurang diperhatikan.

Dengan tidak adanya kebebasan debitur untuk menentukan isi perjanjian baku ini, hal itu jelas tidak memenuhi unsur-unsur yang dikehendaki Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata.

Kemudian timbul pertanyaan, apakah perjanjian sewa-menyewa mobil yang dibuat dengan perjanjian baku itu tidak sah, sehingga tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Untuk ini kita harus mencari jawaban konkrit.

Walaupun secara teoritis juridis perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan hukum perjanjian dan oleh beberapa ahli hukum menolak keberadaannya, seperti Sluiter, ia berkata bahwa ― perjanjian baku ini bukan

perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wegever)‖.44

43

Ibid., hal. 61. 44


(31)

Namun melihat kenyataan akan kebutuhan masyarakat pada perjanjian baku ini, kelihatan berlawanan dengan arah yang diinginkan hukum, disini lahir lagi pertanyaan apakah kebutuhan masyarakat harus menghindarkan diri terhadap hukum atau sebaliknya.

Hukum pada dasarnya bertujuan untuk melayani kebutuhan masyarakat, dan bukan untuk mengekang masyarakat, maka keberadaan perjanjian baku dapat diterima, dan ia memiliki daya mengikat bagi yang menandatangani. Dan kenyataan bahwa masyarakat telah banyak menggunakan perjanjian baku ini dan telah menjadi kebutuhannya.

Di negara Eropa dapat dipersaksikan bahwa pertumbuhan dan perkembangan perjanjian baku ini didukung oleh jurisprudensi. Kemudian diterimanya keberadaan dan keabsahan perjanjian baku ini, dilatar belakangi prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi yang ditandatanganinya, jika seorang menandatangani sebuah perjanjian baku, maka ia dianggap telah mengetahui dan menghendaki isi perjanjian itu.

Perjanjian baku lahir karena perkembangan dan tuntutan zaman, dimana dalam melaksanakan hubungan perjanjian antara satu pihak dengan pihak yang lainnya dibutuhkan efisiensi serta tindakan yang cepat dalam merealisasikan perjanjian tersebut. Dalam hal ini dapat dimisalkan dalam kontrak konsinyasi memakai perjanjian baku. Adapun maksud pihak distributor memberlakukan perjanjian baku dalam perjanjian konsinyasiini adalah agar terciptanya efisiensi pelaksanaan administrasi konsinyasi sehingga pelayanan perusahaan kepada


(32)

masyarakat terutama kepada pihak penyewa dapat terselenggara secara cepat dan efisien.

Dapat dibayangkan bagaimana lambannya pelaksanaan suatu perjanjian apabila tidak dibuat secara baku. Apabila seorang yang ingin melakukan perjanjian konsinyasi datang kepada pihak distributor, kemudian pihak distributor berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati baru membuat perjanjian secara tertulis yang berbeda antara satu pihak dengan pihak lainnya, hal ini tentunya akan memperlambat pelaksanaan pelayanan perjanjian konsinyasi.

Apabila dihubungkan perkembangan perjanjian baku di atas dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUH Perdata terutama di dalam buku III KUH Perdata maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya apabila perjanjian baku yang disepakati tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang atau tidak berlawanan dengan kesusilaan maka perjanjian baku tersebut dapat diterapkan dan tidak bertentang dengan undang-undang.

Tetapi apabila kita hubungkan keberadaan perjanjian baku dengan Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata maka perjanjian baku tersebut bertentangan dengan azas konsensuil karena pada dasarnya di dalam hal ini pihak yang satu pihak saja yang menguraikan isi perjanjian.


(33)

C. Akibat Hukum Terjadinya Wanprestasi Dalam Perjanjian Kerjasama Konsinyasi Antara Supplier Dengan Distro.

Sebagai suatu suatu bentuk perjanjian maka kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier akan melahirkan pelaksanaan kontrak. Pelaksanaan kontrak yang dimaksudkan adalah pelaksanaan hak dan kewajiban kedua belah pihak, yaitu pihak supplier menyediakan barang-barang fashion yang akan ditempatkan di distro dan memiliki hak pembayaran atas pekerjaan supplier yang dilakukannya. Sedangkan pihak Distro berhak mendapatkan pendistribusian dari pihak supplier sesuai dengan janji yang diberikan dan berkewajiban membayar pada supplier sesuai dengan tanggal yang diperjanjikan.

Apabila para pihak tidak melaksanakan kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier maka pihak yang melalaikan kewajibannya dikatakan telah melakukan wanprestasi.

Wirjono Prodjodikoro, mengatakan: ― Wanprestasi adalah berarti

ketiadaan suatu prestasi dalam hukum perjanjian, berarti suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali dalam Bahasa Indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan

pelaksanaan janji untuk wanprestasi‖.45

Lebih tegas Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan bahwa: ―Apabila

dalam suatu perikatan si debitur karena kesalahannya tidak melaksanakan apa

45


(34)

yang diperjanjikan, maka dikatakan debitur itu wanprestasi‖.46

Dari uraian tersebut di atas, jelas kita dapat mengerti apa sebenarnya yang dimaksud dengan wanprestasi itu. Untuk menentukan apakah seorang (debitur) itu bersalah karena telah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana seseorang itu dikatakan lalai atau alpa tidak memenuhi prestasi.

Sebagaimana biasanya akibat tidak dilakukannya suatu prestasi oleh salah satu pihak dalam perjanjian, maka pihak lain akan mengalami kerugian. Tentu saja hal ini sama sekali tidak diinginkan oleh pihak yang menderita kerugian, namun kalau sudah terjadi, para pihak hanya dapat berusaha supaya kerugian yang terjadi ditekan sekecil mungkin.

Dalam hal terjadinya wanprestasi, maka pihak lain sebagai pihak yang menderita kerugian dapat memilih antar beberapa kemungkinan, yaitu :

a. Pihak yang dirugikan menuntut pelaksanaan perjanjian b. Pihak yang dirugikan menuntut ganti rugi

c. Pihak yang dirugikan menuntut pelaksanaan perjanjian disertai ganti rugi d. Pihak yang dirugikan menuntut pembatalan perjanjian

e. Pihak yang dirugikan menuntut pembatalan perjanjian disertai dengan ganti rugi.

Dari beberapa kemungkinan penuntutan dari pihak yang dirugikan tersebut di atas bagi suatu perjanjian timbal-balik oleh ketentuan pasal 1266

46


(35)

KUH Perdata diisyaratkan apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dapat dimintakan pembatalan perjanjian kepada hakim.

Dengan demikian berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata, apabila satu pihak wanprestasi maka pihak yang dirugikan dapat menempuh upaya hukum dengan menuntut pembatalan perjanjian kepada hakim.

Ada berbagai model bagai para pihak yang tidak memenuhi prestasinya walaupun sebelumnya sudah setuju untuk dilaksanakannya. Model-model wanprestasi tersebut menurut Munir Fuadi adalah sebagai berikut:

a. Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi b. Wanprestasi berupa terlambat memenuhi prestasi.

c. Wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi.47

Subekti mengemukakan bahwa: Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa 4 (empat) macam :

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya

b. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana diperjanjikan

c. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi terlambat

d. Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilaksanakannya.48

Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi, dalam ilmu hukum

47

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 89.

48


(36)

perjanjian dikenal dengan suatu doktrin yang disebut dengan doktrin pemenuhan prestasi substansial, yaitu suatu doktrin yang mengajarkan bahwa sungguhpun satu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara sempurna, tetapi jika dia telah melaksanakan prestasinya tersebut secara substansial, maka pihak lain harus juga melaksanakan prestasinya secara sempurna. Apabila suatu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara substansial, maka dia disebut tidak melaksanakan perjanjian secara material.

Berdasarkan hal tersebut, jika telah dilaksanakan substansial performance terhadap perjanjian yang bersangkutan, tidaklah berlaku lagi doktrin exceptio non adimpleti contractus, yakni doktrin yang mengajarkan bahwa apabila satu pihak tidak melaksanakan prestasinya, maka pihak lain dapat juga tidak melaksanakan prestasinya.

Di dalam setiap pekerjaan timbal-balik selalu ada 2 (dua) macam subjek hukum, yang masing-masing subjek hukum tersebut mempunyai hak dan kewajiban secara bertimbal balik dalam melaksanakan perjanjian yang mereka perbuat.

Kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier merupakan suatu perjanjian bertimbal-balik, kedua subjek hukumnya, yaitu pihak supplier dan pihak distro tentu mempunyai hak dan kewajiban secara bertimbal-balik sebagaimana diuraikan penulis terdahulu.

Di dalam suatu perjanjian, tidak terkecuali kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier ada kemungkinan salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian atau tidak memenuhi isi perjanjian sebagaimana


(37)

yang telah mereka sepakati bersama-sama.

Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, atau lebih jelas apa yang merupakan kewajiban menurut perjanjian yang mereka perbuat, maka dikatakan bahwa pihak tersebut wanprestasi, yang artinya tidak memenuhi prestasi yang diperjanjikan dalam perjanjian.

Dari uraian tersebut di atas, jelas kita dapat mengerti apa sebenarnya yang dimaksud dengan wanprestasi itu. Untuk menentukan apakah seorang (debitur) itu bersalah karena telah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana seseorang itu dikatakan lalai atau alpa tidak memenuhi prestasi.

Subekti, mengemukakan bahwa: Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa 4 (empat) macam :

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya

2. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana diperjanjikan

3. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi terlambat

4. Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilaksanakannya.49

Dalam suatu perjanjian jual-beli apabila salah satu pihak, baik itu pihak penjual maupun pihak Pembeli tidak melaksanakan perjanjian yang mereka sepakati, berarti pihak tersebut telah melakukan wanprestasi. Adapun

49


(38)

kemungkinan bentuk-bentuk wanprestasi sesuai dengan bentuk-bentuk wanprestasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Subekti, meliputi :

1. Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

Misalnya dalam suatu kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier disepakati untuk memakai sistem pembayaran secara bertahap, yaitu diberikan 20% (dua puluh persen) dibayar setelah surat perjanjian disepakati oleh kedua belah pihak.

Tetapi setelah pihak supplier menyutujui perjanjian ternyata 20% tersebut belum juga dilunasi oleh pihak distro, walaupun pihak supplier telah mengirimkan tagihannya kepada pihak terkait.

2. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan, misalnya dalam suatu kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier disepakati untuk memberikan panjar. Panjar diberikan sebesar 20% setelah perjanjian disetujui. Kenyataannya kemudian, sisa pembayaran selanjutnya belum dibayar oleh pihak distro kepada pihak supplier meskipun produk sudah dikirimkan ke distro.

Dalam kasus ini walaupun pihak distro telah membayar panjar untuk awal perjanjian, tetapi sisanya tidak dibayarnya, pihak distro berarti telah wanprestasi untuk sebagian kewajibannya dalam kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier ini.

3. Melaksanakan perjanjian yang diperjanjikan, tetapi terlambat.


(39)

fashion dengan supplier disepakati untuk memakai sistem termin dalam pembayaran supplier produk fashioon, yaitu setelah masa penjualan selesai dilakukan. Tetapi setelah masa penjualan habis, pihak distro tidak segera melaksanakan pembayaran tetapi baru melaksanakan pembayaran setelah lewat waktu dari yang diperjanjikan.

Dalam kasus ini walaupun akhirnya pihak distro memenuhi juga kewajibannya setelah lewat waktu dari waktu yang diperjanjikan, tetapi karena terlambat sudah dapat dikatakan pihak distro melakukan wanprestasi. Sehingga apabila supplier tidak dapat menerima pembayaran dengan alasan keterlambatan, dia dapat mempermasalahkan pihak distro telah melakukan wanprtestasi karena trerlambat memenuhi kewajibannya. 4. Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Misalnya dalam kasus ini pihak supplier tidak mengirimkan produk fashion secara lengkap sebagaimana yang diperjanjikan .

Maka dalam kasus ini dapat dikatakan pihak supplier telah melakukan wanprestasi dan pihak distro dapat mengajukan tuntutan wanprestasi atas perbuatan pihak supplier tersebut.

Selanjutnya dalam mengkaji masalah wanprestasi ini, perlu dipertanyakan apakah akibat dari wanprestasi salah satu pihak merasa dirugikan ? Apabila akhirnya timbul perselisihan di antara keduanya akibat wanprestasi tersebut, upaya apa yang dapat ditempuh pihak yang dirugikan agar dia tidak merasa sangat dirugikan ?


(40)

Sebagaimana biasanya akibat tidak dilakukannya suatu prestasi oleh salah satu pihak dalam perjanjian, maka pihak lain akan mengalami kerugian. Tentu saja hal ini sama sekali tidak diinginkan oleh pihak yang menderita kerugian, namun kalau sudah terjadi, para pihak hanya dapat berusaha supaya kerugian yang terjadi ditekan sekecil mungkin.

Dalam hal terjadinya wanprestasi, maka pihak lain sebagai pihak yang menderita kerugian dapat memilih antar beberapa kemungkinan, yaitu:

1. Pihak yang dirugikan menuntut pelaksanaan perjanjian 2. Pihak yang dirugikan menuntut ganti rugi

3. Pihak yang dirugikan menuntut pelaksanaan perjanjian disertai ganti rugi 4. Pihak yang dirugikan menuntut pembatalan perjanjian

5. Pihak yang dirugikan menuntut pembatalan perjanjian disertai dengan ganti rugi.

Beberapa kemungkinan penuntutan dari pihak yang dirugikan tersebut di atas bagi suatu perjanjian timbal-balik oleh ketentuan pasal 1266 KUH Perdata diisyaratkan apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dapat dimintakan pembatalan perjanjian kepada hakim.

Dengan demikian berdasarkan pasal 1266 KUH Perdata, dalam kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier apabila salah satu pihak wanprestasi maka pihak yang dirugikan dapat menempuh upaya hukum dengan menuntut pembatalan perjanjian kepada hakim.

Dalam kenyataannya pada bentuk kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier ini perihal apabila timbul perselisihan


(41)

di antara meraka maka para pihak menyelesaikan melalui :

1. Dilakukan penyelesaian secara musyawarah dan jika belum selesai 2. Dilakukan lewat pengadilan dimana perjanjian dibuat .


(42)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Bentuk kontrak kerjasama konsinyasi antara supplier dengan distro adalah secara tertulis dimana pada bagian awal menjelaskan para pihak yang mengadakan perjanjian, kemudian masuk kepada inti perjanjian. Selanjutnya perjanjian atau kontrak tersebut ditandatangani oleh masing-masing pihak.

2. Proses pembuatan terjadinya kontrak kerjasama konsinyasi antara supplier dengan distro dilakukan dengan adanya penawaran antara supplier dengan distro terhadap kerjasama konsinyasi. Selanjutnya penawaran tersebut ditindak lanjuti dengan pembuatan perjanjian yang menjelaskan hak dan kewajiban masing-masing pihak.

3. Akibat hukum terjadinya wanprestasi dalam perjanjian kerjasama konsinyasi antara supplier dengan distro maka pihak yang melakukan wanprestasi berkewajiban membayar kerugian kepada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan juga dapat menghentikan perjanjian.

B. Saran

1. Kepada para pihak yang melakukan kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier hendaknya kesepakatan para pihak dituangkan dalam suatu perjanjian dimana di dalamnya


(43)

diterangkan hak dan kewajiban para pihak serta akibat-akibat hukum dari tidak dipenuhinya prestasi oleh salah satu pihak.

2. Apabila terjadi perselisihan hendaknya para pihak yang terlibat dalam perselisihan tersebut dapat menyelesaikannya di luar pengadilan, melalui musyawarah dan mufakat.

3. Supaya masyarakat mengetahui proses hukum dalam kontrak kerjasama konsinyasi distributor outlet fashion dengan supplier.


(44)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KONSINYASI

A. Pengertian Konsinyasi

Penjualan konsinyasi dalam pengertian sehari-hari dikenal dengan sebutan penjualan dengan cara penitipan. Konsinyasi merupakan penyerahan fisik barang-barang oleh pemilik kepada pihak lain, yang bertindak sebagai supplier penjual dan biasanya dibuatkan persetujuan mengenai hak yuridis atas barang-barang yang dijual oleh pihak penjual. Pihak yang menyerahkan barang (pemilik) disebut consignor (konsinyor) atau pengamanat sedang pihak yang menerima titipan barang disebut consignee (konsinyi) atau komisioner.

Aliminsyah dan Padji dalam kamus istilah keuangan dan perbankan disebutkan bahwa :

Consignment (konsinyasi) adalah barang-barang yang dikirim untuk dititipkan kepada pihak lain dalam rangka penjualan dimasa mendatang atau untuk tujuan lain, hak atas barang tersebut tetap melekat pada pihak pengirim (consignor). Penerimaan titipan barang tersebut (consignee) selanjutnya bertanggung jawab terhadap penanganan barangn sesuai dengan kesepakatan. 9

Menurut Hadori Yunus Harnanto, memberikan pengertian mengenai konsinyasi yaitu ―Konsinyasi merupakan suatu perjanjian dimana pihak yang memiliki barang menyerahkan sejumlah barang kepada pihak tertentu untuk

9

Aliminsyah dan Padji Wibowo, Kamus Istilah Keuangan Dan Perbankan, Erlangga, Jakarta, 2003, hal. 89.


(45)

dijualkan dengan memberikan komisi‖.10

Menurut Sulaiman S Manggala, karakteristik dari penjualan konsinyasi sebagai berikut :

1. Konsinyasi merupakan satu-satunya produsen atau distributor memperoleh daerah pemasaran yang lebih luas.

2. Konsinyor dapat memperoleh spesialis penjualan.

3. Harga jual eceran barang konsinyasi dapat dikendalikan oleh pihak konsinyor yang masih menjadi pemilik barang ini. 11

Pihak konsinyor menetapkan perjanjian mengenai penyerahan hak atas barang dan juga hasil penjualan barang-barang konsinyasi. Konsinyi bertanggung jawab terhadap barang-barang yang diserahkan kepadanya sampai barang-barang tersebut terjual kepada pihak ketiga. Hak Konsinyi berhak memperoleh penggantian biaya dan imbalan penjualan dan berhak menawarkan garansi atas barang tersebut. Kewajiban Konsinyi harus melindungi barang konsinyasi, harus menjual barang konsinyasi, harus memisahkan secara fisik barang konsinyasi dengan barang dagangan lainnya, dan mengirimkan laporan berkala mengenai kemajuan penjualan barang konsinyasi.

Penjualan yang dilakukan secara konsinyasi, merupakan alternatif lain selain penjualan regular, karena keberadaan penjualan konsinyasi yang berbeda dengan penjualan regular, maka diperlukan akuntansi yang berbeda untuk

10 Hadori Yunus Harnanto, ―Penjualan Konsinyasi‖,

http://dahlanforum.wordpress.com/ 2008/04/21/penjualan, Diakses tanggal 16 April 2013.

11 Sulaiman S Manggala, ―Perkembangan pola pemasaran‖,


(46)

penjualan konsinyasi dengan penjualan regular, sehingga informasi yang disajikan dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya dan tidak menimbulkan informasi yang menyesatkan.

Didalam penjualan konsinyasi hubungan antara pihak konsinyor dan pihak konsinyi menyangkut hubungan antara pihak pemilik dan supplier penjual. Dari segi pengamanan transaksi-transaksi pengiriman barang-barang kepada konsinyi, biasa disebut ―barang-barang konsinyasi‖. Sedangkan dari pihak komisioner untuk mencatat transaksi yang berhubungan dengan barang-barang milik pengamanat yang dititipkan kepadanya biasa disebut ―barang -barang komisi‖. Terhadap penyerahan -barang atas transaksi konsinyasi, pada umumnya disusun suatu kontrak atau perjanjian tertulis yang menunjukkan sifat hubungan pihak yang menerima barang-barang.

Transaksi dengan cara penjualan konsinyasi mempunyai keuntungan-keuntungan tertentu dibandingkan dengan penjualan secara langsung barang-barang kepada perusahaan pengecer atau kepada pedagang.

Adapun keuntungan dengan penjualan konsinyasi bagi konsinyor: 12 1) Konsinyasi merupakan suatu cara untu lebih memperluas pasaran yang

dapat dijamin oleh seorang produsen, pabrikan atau distributor, terutama apabila :

a. Barang-barang yang bersangkutan baru diperkenalkan, permintaan produk tidak menentu dan belum terkenal.

12


(47)

b. Penjualan pada masa-masa yang lalu dengan melalui dealer tidak menguntungkan.

c. Harga barang menjadi mahal dan membutuhkan investasi yang cukup besar bagi pihak dealer apabila ia harus membeli barang-barang yang bersangkutan.

2) Resiko-resiko tertentu dapat dihindarkan pengamanat. Barang-barang konsinyasi tidak ikut disita apabila terjadi kebangkrutan pada diri komisioner sehingga resiko kerugian dapat ditekan.

3) Harga barang yang bersangkutan tetap dapat dikontrol oleh pengamanat, hal ini disebabkan kepemilikan atas barang tersebut masih ditangan pengamanat sehingga harga masih dapat dijangkau oleh konsumen.

4) Jumlah barang yang dijual dan persediaan barang yang ada digudangkan mudah dikontrol sehingga resiko kekurangan atau kelebihan barang dapat ditekan dan memudahkan untuk rencana produksi.

Sedangkan bagi komisioner lebih menguntungkan dengan cara penjualan konsinyasi karena alasan-alasan sebagai berikut : 13

1. Komisioner tidak dibebani resiko menaggung kerugian bila gagal dalam penjualan barang-barang konsinyasi.

2. Komisioner tidak mengeluarkan biaya operasi penjualan konsinyasi karena semua biaya akan diganti/ditanggung oleh pengamanat.

3. Kebutuhan akan modal kerja dapat dikurangi, sebab komisioner hanya

13


(48)

berfungsi sebagai penerima dan penjual barang konsinyasi untuk pengamanat.

4. Komisioner berhak mendapatkan komisi dari hasil penjualan barang konsinyasi.

B. Dasar Hukum Konsinyasi

Dasar hukum dari konsinyasi adalah perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam perjanjian konsinyasi tersebut. Hal ini disebabkan karena konsinyasi adalah merupakan suatu perjanjian dimana pihak yang memiliki barang menyerahkan sejumlah barang kepada pihak tertentu untuk dijualkan dengan memberikan komisi.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah apa yang menjadi dasar hukum konsinyasi yaitu perjanjian. Apabila membicarakan perjanjian, terlebih dahulu diketahui apa sebenarnya perjanjian itu dan dimana dasar hukumnya. Perjanjian yang dimaksudkan adalah perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH Perdata yang berjudul tentang perikatan yang terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus.

Perkataan perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan ― perjanjian ―, sebab dalam Buku III itu ada juga diatur perihal perhubungan-perhubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechmatigedaad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaak waarnening). Tetapi, sebagian besar dari Buku III ditujukan kepada perikatan-perikatan yang timbul dari


(49)

persetujuan atau perjanjian, jadi berisi hukum perjanjian.14

Adapun yang dimaksudkan dengan perikatan oleh Buku III KUH Perdata itu adalah: ―Suatu perhubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberikan kepada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu‖.15

Perikatan, yang terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus itu, mengatur tentang persetujuan–persetujuan tertentu yang disebut dengan perjanjian bernama, artinya disebut bernama karena perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembuat undang-undang, dan di samping perjanjian bernama juga terdapat perjanjian yang tidak bernama, yang tidak diatur dalam undang-undang, misalnya perjanjian sewa beli dan lain sebagainya.

―Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi‖.16

Perikatan seperti yang dimaksudkan di atas, paling banyak dilahirkan dari suatu peristiwa dimana dua orang atau lebih saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa ini paling tepat dinamakan ― perjanjian yaitu suatu peristiwa yang

14

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Selanjutnya disingkat R. Subekti, I), Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1978, hal. 101.

15

Ibid., hal. 101. 16

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hal. 6.


(50)

berupa suatu rangkaian janji-janji. Dapat dikonstatir bahwa perkataan perjanjian sudah sangat populer di kalangan rakyat‖.17

Demikian pula Wirjono Prodjodikoro mengemukakan :

―Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu‖.18

Menurut Pasal 1233 KUH Perdata bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena undang-undang, maupun karena adanya suatu perjanjian . Dengan demikian maka harus terlebih dahulu adanya suatu perjanjian atau undang-undang, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian dan undang-undang itu merupakan sumber suatu ikatan.

Dasar hukum dari persetujuan adalah Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Sedangkan sumber perikatan yang lahir karena undang-undang dapat dibagi dua pengertian yaitu undang-undang saja dan undang-undang karena perbuatan orang. Karena undang-undang saja misalnya kewajiban atau hak orang tua terhadap anak, dan sebaliknya kewajiban anak terhadap orang tua apabila orang tua tidak berkemampuan.

Undang-undang karena perbuatan orang dapat dibagi dalam dua

17

R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (selanjutnya disingkat R. Subekti, II), Penerbit Alumni, Bandung, 1976, hal. 12.


(51)

pengertian yaitu perbuatan yang diperbolehkan undang-undang dan perbuatan yang melawan hukum. Yang diperbolehkan undang-undang misalnya : mengurus harta orang lain tanpa sepengetahuan orang tersebut, sedangkan perbuatan melwan hukum adalah perbuatan yang merugikan orang lain.

Perikatan yang dilahirkan karena undang saja dan undang-undang karena perbuatan orang, bukanlah merupakan perjanjian karena kedua macam perikatan tersebut tidak mengandung unsur janji. Dimana seseorang tidak dapat dikatakan berjanji hal sesuatu, apabila sesuatu kewajiban dikenakan kepadanya oleh undang-undang belaka atau dalam hal perbuatan melawan hukum secara bertentangan lansung dengan kemauannya. Dalam hal ini akan difokuskan diri pada perikatan yang bersumberkan pada persetujuan atau perjanjian.

Perihal hukum perjanjian sebagai termuat dalam Buku III KUH Perdata yang berjudul tentang perikatan, yang keseluruhannya terdiri atas delapan belas bab (bab I sampai dengan bab XVIII). Bab I sampai dengan IV mengatur tentang :

I : Perikatan pada umumnya

II : Perikatan yang lahir dari perjanjian III : Perikatan yang lahir dari undang-undang IV : Mengatur tentang hapusnya perikatan.

Sedangkan Bab V sampai dengan Bab XVIII mengatur tentang

18

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur, Bandung, 1985, hal. 7.


(52)

perjanjian khusus yang merupakan tipe-tipe dari perjanjian-perjanjian yang selalu terjadi dalam masyarakat, dan lajim disebut perjanjian-perjanjian bernama.

Kalau diperhatikan dari hal perikatan dalam Buku III antara yang diatur pada Bab I sampai dengan Bab IV adalah mengatur tentang pokok-pokok perikatan, sedang kan bab V sampai dengan Bab XVIII memuat pembahasan lebih lanjut, kadang-kadang pengulangan dari bahagian umum. Jadi bahagian umum dari Buku III tersebut pada dasarnya berlaku terhadap semua perjanjian, baik bernama maupun yang tidak bernama.

Misalnya : Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur syarat-syarat sahnya perikatan, haruslah diberlakukan pada semua perjanjian yang ada dalam Bab V sampai Bab XVIII.

Sistim dan azas yang terkandung dalam buku ke III, KUH Perdata adalah sistim terbuka, dan berbeda dengan sistim tertutup yang terkandung dalam Buku ke – II dimana para pihak tidak dapat menentukan lain selain yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Sistim terbuka berarti bahwa para pihak dapat menentukan lain pada yang lain telah ditentukan oleh Undang-Undang. Jadi dengan kata lain bahwa Buku ke – III tersebut mengatur secara tersendiri, atau dapat juga disebut azas kebebasan berkontrak dalam membuat perjanjian (Beginsel Der Contracts Vrijheid).19

Azas kebebasan berkontrak ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat 1 yang menerangkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi para pihak leluasa

19


(53)

untuk membuat perjanjian macam apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Perkataan semua sebagai tertera didalam Pasal 1338 KUH Perdata tersebut dapat pula dianggap sebagai suatu pernyataan-pernyataan lainnya yang juga tertuju atau ditujukan kepada masyarakat.

Selain menganut azas kebebasan berkontrak seperti yang disebut di atas, juga pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap atau aanvullende recht yang mengandung arti bahwa pasal-pasal dalam hukum perjanjian itu boleh masuk disingkatkan manakala dikehendaki oleh pihak yang membuat perjanjian. Mereka pada umumnya diperbolehkan membuat perjanjian tersendiri atau ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Jadi undang-undang hanyalah baru berarti jika ditunjuk. Maka diartikan di sini bahwa mereka mengenai soal yang satu ini akan tunduk kepada Undang-undang.20

Dengan demikian melihat uraian singkat tersebut diatas nyatalah berlainan dengan sistim tertutup, sebagaimana yang dianut dalam Buku ke- Dua KUH Perdata, dimana para pihak tidak menentukan lain, selain yang telah ditentukan dalam undang-undang.

Disamping sistim terbuka dari hukum perjanjian, juga mengandung suatu pengertian yang mungkin atau memungkinkan terciptanya perjanjian-perjanjian khusus yang telah diatur seperti yang kerap kali ditimbulkan dalam praktek sehari-hari ataupun karena kebiasaan.

20


(54)

Suatu hal sudah dianggap sah, dalam arti sudah mempunyai akibat hukum atau sudah mengikat apabila sudah tercapai sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari pada perjanjian itu, atau dengan kata lain bahwa perjanjian itu pada umumnya adalah konsensuil. Penganggapan perjanjian sebagai demikian itu berkembang dari hukum perjanjian dalam KUH Perdata, yang mengandung pengertian bahwa pada azasnya perjanjian itu telah dilahirkan sejak detik tercapainya sepakat atau dengan kata lain perjanjian itu telah sah apabila telah tercapai sepakat mengenai hal-hal yang pokok tidaklah diperlukan suatu formalitas.

Sepakat mengenai hal-hal yang pokok misalnya: Antara calon pembeli dan calon penjual telah tercapai sepakat mengenai barang-barang dan harganya. Dalam hal yang demikian itu dikatakan bahwa antara kedua telah tercapai sepakat mengenai yang pokok, dan perjanjian jual beli itupun sudahlah dilahirkan dengan segala akibat hukumnya ―.21

Perihal tercantumnya azas konsensualitas dalam hukum perjanjian lazimnya disimpulkan bahwa Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Terhadap azas konsensualitas yang dikandung oleh Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagaimana sudah dilihat, ada kekecualiannya, yaitu disana sini oleh undang-undang ditetapkan suatu

21


(55)

formalitas untuk beberapa macam perjanjian. Misalnya untuk perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta Notaris Perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis dan lain sebagainya.

―Perjanjian-perjanjian untuk itu, ditetapkan suatu formalitas atau bentuk cara tertentu sebagaimana sudah kita lihat, yang dinamakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh Undang-Undang, maka ia batal demi hukum‖.22

C. Jenis-Jenis Konsinyasi

Konsinyasi sebagai suatu aspek bisnis adalah merupakan suatu perjanjian dengan cara menjualkan barang hasil titipan orang lain penjual yang menerima titipan kemudian mendapatkan komisi dari hasil produk yang terjual. Pemilik barang yang di konsinyasi biasanya disebut dengan nama

consignor/konsinyor, sementara penerima barang konsinyasi adalah konsinyi/komisioner.

Dalam proses penjualan konsinyasi tersebut biasanya termuat beberapa poin atau unsur utama sehingga penjualan bisnis konsinyasi bisa tercapai, unsur utama yang pertama adalah pemilik barang, pihak yang dititipi barang, barang yang dititipkan, unsur perjanjian, barang yang dititipkan, unsur penjualan serta komisi yang sudah ditetapkan.

22


(56)

Pemilik barang adalah pemilik dari produk yang akan dijual nantinya, sementara pihak yang dititipi barang adala pihak yang nantinya akan menjualkan barang tersebut, unsur perjanjian dan komisi adalah ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi agar terdapat sebuah peraturan yang pasti dan tidak terjadi kerancuan pemahaman nantinya. Semua unsur tersebut menyatu dalam satu kesatuan dalam bisnis usaha penjualan konsinyasi, jika salah satu hal tidak dapat terpenuhi maka semua itu tidak bisa disebut sebagai sebuah bisnis penjualan konsinyasi, jadi sebelum memulai usaha konsinyasi perlu diperhatikan beberapa hal yang bisa menyertainya agar penjualan dan proses bisnis konsinyasi yang dijalankan pun bisa berjalan dengan lancar.

Setelah semua unsur ada dan semua kesepakatan disepakati maka mulailah berbisnis konsinyasi dengan menerapkan pola dan sistem yang sama dengan bisnis pada umumnya namun berbeda pada sistemnya.

Berdasarkan pengertian konsinyasi yang telah diuraikan sebelumnya maka jenis-jenis konsinyasi tersebut adalah didasarkan kepada jenis-jenis barang konsinyasi yaitu:

1. Konsinyasi pakaian.

2. Konsinyasi produk makanan maupun minuman. 3. Konsinyasi produk sepatu.

4. Dan lain sebagainya.

D. Syarat Sahnya Konsinyasi


(57)

dipenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian 3. Mengenai suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, si pembeli mengingini sesuatu barang si penjual .23

Persetujuan atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Persetujuan itu juga harus diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaaan.

Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.

Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena penipuan. Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata

23


(58)

sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat perizinan mana menjadi pincang tidak sempurna.24

Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaaan yang bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada persetujuan dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa persetujuan yang telah diberikan itu adalah persetujuan yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Paksaaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaaan yang membuat persetujuan atau perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar.

Tentang halnya kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu harus dilihat pendapat doktrin yang telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan itu terhadap unsur pokok dari barang – barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjiann itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak—pihak

24


(1)

ASPEK HUKUM KONTRAK KERJASAMA

KONSINYASI DISTRO FASHION DENGAN SUPPLIER

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

ASRUL ALFIANSYAH LUBIS

NIM : 080200351

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum

NIP. 196603031985081001

Pembimbing I

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001

Pembimbing II

Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum NIP. 196602021991032002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul : ―Aspek Hukum Kontrak Kerjasama Konsinyasi

Distro Fashion Dengan Supplier

Didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syarifuddin Hasibuan, SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(3)

2. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan masukan arahan-arahan serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini serta Ibu Rabiatul Syariah, SH.M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Rosnidar Sembiring, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang

telah banyak membantu penulis dalam memberikan masukan arahan-arahan serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

4. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

5. Kepada ayahanda dan ibunda serta seluruh keluarga besar pulungan dan

matondang atas segala perhatian, dukungan, doa dan kasih sayangnya hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU.

6. Kepada Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2009

7. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini

baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(4)

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2012

Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penelitian ... 7

F. Keaslian Penulisan ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSINYASI ... 12

A. Pengertian Konsinyasi ... 12

B. Dasar Hukum Konsinyasi... 16

C. Jenis-Jenis Konsinyasi... 23

D. Syarat Sahnya Konsinyasi... 24

E. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Konsinyasi... 32

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG DISTRIBUTOR OUTLET (DISTRO FASHION DAN SUPPLIER) ... 34


(6)

B. Distro dan Supplier ... 36

C. Fungsi Outlet dan Distro ... 40

D. Peranan Distributor Dalam Pemasaran ... 41

BAB IV PELAKSANAAN KONTRAK KERJASAMA KONSINYASI ANTARA SUPPLIER DENGAN DISTRO ... 49

A. Bentuk Kontrak Kerjasama Konsinyasi Antara Supplier Dengan Distro ... 49

B. Proses Pembuatan Terjadinya Kontrak Kerjasama Konsinyasi Antara Supplier Dengan Distro ... 56

C. Akibat Hukum Terjadinya Wanprestasi Dalam Perjanjian Kerjasama Konsinyasi Antara Supplier Dengan Distro ... 64

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA