Analisis Biaya Transaksi Pada Usaha Sapi Perah Di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah

ANALISIS BIAYA TRANSAKSI PADA USAHA SAPI PERAH
DI KABUPATEN BOYOLALI, JAWA TENGAH

ANIS NUR AINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Biaya Transaksi
Pada Usaha Sapi Perah di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis
ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2016

Anis Nur Aini
NIM H453150086

RINGKASAN
ANIS NUR AINI. Analisis Biaya Transaksi Pada Usaha Sapi Perah di Kabupaten
Boyolali, Jawa Tengah (YUSMAN SYAUKAT sebagai Ketua, AMZUL RIFIN
sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Susu sapi perah merupakan salah satu produk pertanian yang memiliki sifat
mudah rusak dan memiliki volume yang besar. Dengan adanya sifat mudah rusak
tersebut diperlukan penanganan distribusi susu yang cepat agar susu tidak basi.
Untuk mengatasi resiko susu rusak, peternak membutuhkan peralatan yang
memadai untuk menjual susu ke konsumen. Agar susu sampai ke tangan konsumen,
peternak membutuhkan wadah yang besar yang dilengkapi dengan pendingin agar
susu tidak rusak saat pengangkutan. Selain itu, wadah yang besar dibutuhkan agar
susu tidak tumpah saat pengiriman. Peternak juga memerlukan kendaraan yang
dapat mengangkut seluruh produksi susu. Semua usaha yang dilakukan peternak
untuk mengurangi resiko susu rusak akan menimbukan biaya transaksi yang besar.
Biaya ini tidak dapat dihindari oleh peternak, namun seringkali diabaikan oleh
peternak sapi perah. Biaya transaksi memiliki sifat sulit diidentifikasi namun
keberadaan biaya transaksi akan berpengaruh pada penerimaan peternak dari

penjualan susu sapi perah.
Biaya transaksi yang besar perlu dihindari untuk mengurangi biaya yang
dikeluarkan peternak. Salah satu upaya peternak untuk mengurangi resiko susu
rusak adalah dengan bekerja sama dengan lembaga pemasaran. Lembaga
pemasaran sangat diperlukan dalam usaha penanganan pemasaran susu hingga
konsumen, seperti Koperasi Unit Desa (KUD) dan pedagang pengumpul. Lembaga
pemasaran memiliki peralatan dan kendaraan yang memadai untuk memasarkan
susu. Pada umumnya lembaga pemasaran mengangkut susu menggunakan mobil
bak terbuka yang dilengkapi dengan milk can yang dapat menampung susu dengan
jumlah yang besar. Selain itu, lembaga pemasaran telah memiliki konsumen tetap
sehingga tidak perlu mencari konsumen lagi untuk memasarkan susu. Upaya
peternak mencari lembaga pemasaran juga akan mengeluarkan biaya transaksi,
namun diyakini akan menurunkan biaya transaksi yang ditanggung peternak jika
peternak menjual susu tanpa bekerjasama dengan lembaga pemasaran. Selain itu,
tujuan pemasara yang dipilih oleh peternak juga akan memengaruhi besar biaya
transaksi yang ditanggung oleh peternak.
Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis sistem kemitraan antara
peternak dan KUD, (2) menghitung besar dan faktor yang memengaruhi biaya
transaksi, dan (3) menganalisis faktor yang memengaruhi tujuan penjualan susu
yang dipilih oleh peternak. Analisis yang digunakan adalah analisis biaya transaksi.

Sebanyak 104 peternak sapi perah di Kabupaten Boyolali menjadi responden dalam
penelitian ini. Hasil peneitian menunjukkan bahwa antara peternak anggota KUD
dan KUD memiliki hubungan hak dan kewajiban yang harus dijalankan. Peternak
memiliki kewajiban untuk membayar simpanan pokok dan simpanan wajib tiap
bulannya, dan mengikuti Rapat Akhir Tahun (RAT) oleh KUD. Hak yang didapat
oleh peternak anggota KUD adalah dapat menikmati seluruh fasilitas yang
disediakan oleh KUD, mendapatkan Sisa Hasil Usaha (SHU), dan memiliki hak
suara di KUD. KUD memiliki layanan door to door dimana layanan ini
memungkinkan peternak tidak perlu meninggalkan rumahnya untuk menjual susu

ke KUD. Petugas KUD akan mendatangi setiap rumah peternak untuk menjemput
susu untuk diproses di pabrik pendinginan (cooling unit).
Hasil penelitian selanjutnya adalah pada analisis biaya transaksi
menunjukkan bahwa biaya transaksi peternak anggota KUD lebih kecil dibanding
peternak bukan anggota KUD. Rata-rata biaya transaksi yang ditanggung oleh
peternak sapi perah sebesar Rp 47,44/liter susu. Struktur biaya transaksi yang
dikeluarkan oleh peternak anggota KUD terdiri dari 3,31 persen biaya pencarian
informasi, 2,27 persen biaya negosiasi, dan 94,42 persen biaya pelaksanaan
kontrak. Sedangkan pada peternak bukan anggota KUD struktur biaya transaksi
terdiri dari 5,88 persen biaya pencarian informasi, 2,51 persen biaya negosiasi, dan

91,61 persen biaya pelaksanaan kontrak. Pada faktor-faktor yang memengaruhi
biaya transaksi adalah jumlah ternak yang dimiliki peternak, jarak antara rumah
peternak dengan cooling unit, dummy informasi, dan dummy keanggotaan di KUD.
Sedangkan pada faktor-faktor yang memengaruhi tujuan penjualan susu ke KUD
oleh peternak adalah jarak dari rumah ke cooling unit, adanya akses ke kredit, dan
dummy informasi. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa secara statistik biaya
transaksi tidak memengaruhi keputusan tujuan penjualan susu oleh peternak.
Meskipun nilai biaya transaksi cukup besar. Hal ini dapat dikatakan bahwa
rendahnya kesejahteraan peternak tidak dipengaruhi oleh pendekatan non
produktivitas dalam hal ini biaya transaksi. Sehingga untuk meningkatkan
kesejahteraan peternak diperlukan pendekatan produktivitas berupa peningkatan
kualitas susu melalui peningkatan pakan yang diberikan kepada ternak.
Kata kunci: biaya transaksi, koperasi, produktivitas, usaha ternak sapi perah.

SUMMARY
ANIS NUR AINI. Transaction Cost Analysis of Dairy Farming in Boyolali, Jawa
Tengah. Supervised by YUSMAN SYAUKAT and AMZUL RIFIN.
Dairy milk has a perishable and bulky characteristic. From its characteristics,
milk requires rapid management system before it become stale. To overcome the
risk of milk damaged, farmers need proper equipment to sell the milk to consumers.

farmers need large container equipped with cooling to milk is not damaged. Large
container is needed to make milk not spilt when delivery. Farmers also requires
vehicle that can be carried away all milk production. All efforts to reduce the risk
of milk damaged by farmers, will influence transaction costs. This cost is
unavoidable but often ignored by dairy farmers. Transaction cost is difficult to
identify but it would affect in revenue of the farmers from selling the dairy milk.
Transaction cost needs to be avoided to reduce the costs of farmers. One of
the efforst to farmers to reduce the risk damaged is by working with market
institutions. Market institutions is needed in business handling marketing milk to
consumers, as vilage unit cooperative (KUD) and intermediary traders. Market
institutions have all the equipments and vehicles to market milk. In general, market
institutions transporting milk use open cabin car equipped with milkcan that can
accomodate milk with large amounts. In addition, market institutions hav having
fixed consumers so they do not need to find consumers again too market milk.
Efforts to farmers seacrh for an market institutions also will issue the transaction
costs, but is believed will reduces the transaction costs borne by farmers if farmers
sells milk without engaged with their market institutions. .
The purpose of this research is: (1) analyze the partnership system between
farmers and KUD, (2) calculate and analyze the factors that infuence transaction
costs, and (3) analyze factors that influence sales goal milk chosen by farmers. The

analysis used transaction costs analysis. 104 dairy farmers in Boyolali become
respondents in this research. This research shows that the KUD members and KUD
links rights and obligations to be executed. Farmers have an obligation to pay basic
saving and compulsory saving per month, and attending a meeting (RAT) by KUD.
The obtained by KUD members is being able to enjoy the entire facilitiesprovided
by the KUD. The KUD having door to door collection service where this service
allow farmers do not have to leave their homes to sell milk to KUD. KUD officers
will come to every house of farmers to pick up milk to be processed in the cooling
unit. The result for transaction cost analysis shows that transaction costs KUD
members smaller than non KUD member farmers. The average of transaction costs
borne by dairy farmers Rp 47,44/liter milk. The transaction cost incurred by KUD
members consisting of 3,31 percent searching cost, 2,27 percent negotiation cost,
and 94,42 enforcement cost. While the structure of transaction cost of non KUD
members consist of 5,88 percent searching cost, 2,51 percent negotiation cost, and
91,61 percent enforcement cost. The factors affecting transaction cost is the number
of cattle owned by farmerds, the distance between house with cooling unit, dummy
information, and membership of KUD.
While the factors affecting marketng goals to KUD by farmers are the
distance from house to cooling unit, the access to credit, and dummy information.
Of these results can be said that statistically transacation costs does not affect the


milk marketing goal by farmers. Despite the transaction costs big enough. This
could be said that the low prosperity level of farmers not affected by non
productivity approach in this case is transaction costs. So to improve the welfare
of farmers required productivity approach by increasing feeding the cattle.
Keyword: cooperatives, dairy farming, productivity, transaction costs

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

ANALISIS BIAYA TRANSAKSI PADA USAHA SAPI PERAH
DI KABUPATEN BOYOLALI, JAWA TENGAH

ANIS NUR AINI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Manuntun Parulian Hutagaol, M.S

PAKATA

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat
dan perkenaan-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian ini
mengaji mengenai hubungan kelembagaan dan biaya transaksi yang ditanggung
petemak sapi perah. Judul penelitian ini adalah "Analisis Biaya Transaksi pada

Usaha Sapi Perah di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah". Semoga hasil penelitian
ini dapat membantu memberikan informasi ilmiah mengenai keberadaan biaya
transaksi yang seringkali diabaikan oleh pelaku usaha. Penulis menyadari tahap
penyelesaian skripsi ini melibatkan bantuan, doa dan dukungan dari banyak pihak,
untuk itu pada kesempatan kali ini, penulis ucapkan terima kasih kepada:
1.

Orang tua tercinta Ibu Siti Fatimah dan Bapak Widodo (aim) dan adik tercinta
Arsyadani Tri Nastiti Nur. Serta kepada kakek H. Muhammad Zarqoni dan
nenek Satinah (almh). Terima kasih telah menjadi alasan terbaik agar Anis
melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.

Terima kasih

telah

memberikan doa, cinta, dan kasih sayang yang tidak ada putusnya. Semoga
karya ilmiah ini menjadi persembahan terbaik dari Anis.
2.


Keluarga Budhe Hj. Sudhini, keluarga Om H. Darmanto-Bulik Nanik Sukami,
keluarga Mas Ratmoyo, Mbak Muhsinatun Tsabataini, Muhammad Kunto
Putro Utomo, Muhammad Nur Shodiq, dan keluarga besar kakek H.
Muhammad Zarqoni. Terima kasih atas dukungan, doa, dan kasih sayangnya
sehingga Anis dapat berdiri di sini.

3.

Bapak Pro. Dr. Ir Yusman Syaukat, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing
dan Bapak Dr. Amzul Riin, SP, MA selaku anggota komisi penbimbing yang
telah memberikan banyak araban, bimbingan, saran, serta ilmu yang
.

bermanfaat sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini.
4.

Dosen penguji luar komisi Bapak Pro. Manuntun Parulian Hutagaol, M.S dan
dosen penguji perwakilan dari proram studi Bapak Prof. Sri Hartoyo, M.S
yang telah memberikan masukan dalam penulisan tesis ini.


5.

Ketua KUD Cepogo Bapak Gito Triyono, seluruh pengurus KUD Cepogo dan
para petemak yang bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Terima
kasih atas kesempatan, kejasama, dukungan, dan informasi sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini.

6.

Staf tenaga kependidikan di lingkungan Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian dan Sekretariat Pascasajana IPB atas segala bantuan dan dukungan
yang diberikan.

7.

Keluarga Tante Fia, Om Dito, Mas Arkan, dan Arfa. Keluarga Pak Aris-Ibu
Rita. Teima kasih telah meninspirasi dan memberikan dukungan dan kasih
sayang yang selama Anis di Bogor.

8.

Tenan sepejuangan Campina dan Padilla, terima kasih telah menjadi tenan
diskusi dan memberikan banyak masukan mengenai penulisan karya ilmiah

ini. Sahabat terbaik Ade Eka Putri, terima kasih telah menjadi sahabat yang
selalu mendukung untuk menyelesaikan penelitian ini. Kepada Canggih
Wisnu Hidayat, terima kasih telah membersamai hingga saat ini.
9.

Rekan-rekan di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah menjadi
tenan diskusi selama ini. Terima kasih atas dukungan dan kebersamaannya.

10.

Rekan-rekan satu kabinet di BEM FEM IPB Kabinet Prioritas dan BEM FEM
IPB Kabinet Simfoni yang belum disebutkan saat penulisan skripsi. Terima
kasih

telah

menjadi

tempat

penulis

belajar

banyak

hal

mengenai

keorganisasian. Organisasi ini merupakan organisasi terbaik yang penulis
ikuti saat kuliah di IPB.
11.

Tenan-tenan di Wisma Queen 1 atas perhatian dan kasih sayang yang
diberikan kepada penulis.

12.

Semua pihak yang

telah memberikan bantuan dan dukungan dalam

penyelesaian penulisan karya ilmiah ini.
Akhir kata semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan dapat menambah
pengetahuan serta wawasan bagi semua pihak atau sebagai bahan rujukan kembali
untuk menyempumakan basil penelitian yang akan datang.

Bogor, November 2016

Anis Nur Aini

DAFTARISI

DAFTAR TABEL

XI

DAFTAR GAMBAR

XI

DAFTAR LAMPIRAN

x1

I PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Masalah Penelitian

4

Tujuan Penelitian

6

Ruang Lingkup Penelitian

6

II TINJAUAN PUSTAKA
Teori Ekonomi Kelembagaan

9
9

Kelembagaan Koperasi

12

Struktur Biaya Transaksi

15

Deinisi Transaksi

15

Pengertian Biaya Transaksi

16

Kasiikasi Biaya Transaksi

19

Karakteristik dan Faktor yang Memengaruhi Biaya Transaksi

20

III KERANGKA PEMIKIRAN

23

IV METODOLOGI PENELITIAN

25

Metode Penelitian

25

Lokasi dan Waktu Penelitian

25

Jenis dan Sumber Data

25

Metode Pengambilan Sampel

26

Teknik Analisis

26

Analisis Kemitraan Petemak Sapi Perah dan KUD

26

Analisis Biaya Transaksi

27

Faktor-faktor yang Memengaruhi Biaya Transaksi

28

Analisis Pengaruh Biaya Transaksi terhadapKeputusan Penjualan Susu

30

V GAMBARAN UMUM

33

Letak Geograis dan Pembagian Administratif Lokasi Penelitian

33

Gambaran Umum Koperasi Unit Desa (KUD) Cepogo

36

Karakteristik Responden

38

Umur Responden

38

Jenis Kelamin Responden

40

Tingkat Pendidikan

40

Pengalaman Betemak Sapi Perah

40

Jumlah Kepemilikan Sapi Perah

40

Produktivitas TemakSapi Perah

41

Teknis Pelaksanaan Usaha Temak Sapi Perah

41

Penerimaan Petemak Anggota dan Petemak Bukan Anggota

44

Biaya Produksi Petemak Anggota dan Petemak Bukan Anggota

47

Biaya Transpotasi Petemak Anggota dan Petemak Bukan Anggota

51

VI ANALISIS KEMITRAAN ANTARA KUD CEPOGO DAN PETERNAK
ANGGOTA KUD

53

Unit-unit Usaha KUD Cepogo

53

Hak dan Kewajiban Petemak Anggota KUD

56

Sistem Jual Beli Susu

60

Sistem Pengajuan redit

61

Hasil Korelasi Spearman

62

VII STRUKTUR BIA YA TRANSAKSI PETERNAK SAPI PERAH
Struktur Biaya Transaksi

65
65

Biaya pencarian informasu (searching cost)

68

Biaya pengambilan keputusan (concluding cost)

69

Biaya pelaksanaan kontrak (enforcement cost)

69

Persentase Biaya Transaksi terhadap Harga Sumberdaya

72

Pendapatan dan Persentase Biaya Transaksi terhadap Pengeluaran Petemak per
Liter Susu
73
'

Model Biaya Transaksi
VIII PENGARUH BIA YA TRANSAKSI TERHADAP KEPUTUSAN
PENJUALAN SUSU DI TINGKAT PETERNAK SAPI PERAH

74
77

Uji Siniikansi Model (Uji G)

77

Uji Kebaikan Model (Goodness of Fit Test)

77

Measur es of Association

78

Uji Parsial (Uji Wald)

78

Nilai Odds Ratio

79

IXPENUTUP

81

Simpulan

81

Saran

82

DAFTAR PUSTAKA

83

LAMPIRAN

87

DAFTAR TABEL

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Jumlah produksi susu dan kepemiikan sapi perah per kecamatan di
Kabupaten Boyolali tahun 2013
Persebaran penduduk Kecamatan Cepogo Tahun 2014
Distribusi penduduk Kecamatan Cepogo berdasarkan sektor lapangan
pekerjaan utama tahun 2014
Kepemilikan sapi perah dan sapi potong di Kecamatan Cepogo tahun
2014
Persebaran keanggotaan KUD Cepogo tahun 2015
Produksi susu KUD Cepogo tahun 2008-2014
Distribusi responden petenak sapi perah Kecamatan Cepogo bulan April
tahun 2016
Distribusi rata-rata konsumsi konsentrat, hijauan, dan jerami petenak
responden tahun 2016
Penerimaan petemak anggota KUD Cepogo
Penerimaan petenak bukan anggota KUD Cepogo
Struktur biaya produksi petenak responden
Hak dan kewajiban petenak, sistem jual beli susu, dan sistem pengajuan
pinjaman
Hubungan kewajiban KUD dan kesjiban petenak anggota
Struktur biaya transaksi petenak anggota dan bukan anggota
Pendapatan dan persentase biaya transaksi terhadap pengeluaran
petenak
Model biaya transaksi petenak sapi perah responden
Model keputusan penjualan petemak responden

2
33
34
35
37
37
39
42
45
46
50
57
63
67
74
75
78

DAFTARGAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Operasional

24

DAFTAR LAMPIRAN

1 . Data produksi susu nasional per provinsi tahun 2009-20 1 3 (liter)
2. Data produksi susu provinsi jawa tengah per kabupaten 2009-20 1 3
(liter)
3. Data produksi susu kabupaten boyolali per kecamatan 2013

89
90
91

4. Uji heteroskedastisitas dan uji normalitas model biaya transaksi
5. Uji regresi model biaya transaksi
6. Hasil regresi binary logistik keputusan penjualan susu oleh petenak
sapi perah

92
93
94

I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peternakan sapi perah merupakan salah satu subsector pada sektor pertanian.
Peternakan sapi perah memberikan kontribusi terhadap sektor pertanian
diantarannya dapat menghemat devisa negara, dapat menambah lapangan
pekerjaan, dan dapat meningkatkan pendapatan petani kecil. Usaha peternakan sapi
perah di Indonesia didominasi oleh usaha ternak sapi perah skala kecil dan
menengah. Menurut Erwidodo (1998), usaha ternak sapi perah Indonesia memiliki
komposisi peternak skala kecil (kurang dari 4 ekor sapi perah) mencapai 80 persen,
peternak skala menengah (4-7 ekor sapi perah) mencapai 17 persen dan peternak
skala besar (lebih dari 7 ekor sapi perah) sebanyak 3 persen. Dengan rata-rata
pemilikan sapi perah 3-5 ekor per peternak, tingkat efisiensi usahanya masih
rendah. Berdasarkan komposisi peternak tersebut, sumbangan terhadap jumlah
produksi susu dalam negeri adalah 64 persen oleh peternak skala kecil, 28 persen
oleh peternak skala menengah, dan 8 persen oleh peternak skala besar (Erwidodo
1993).
Komoditas utama sektor peternakan sapi perah adalah susu sapi perah. Saat
ini produksi susu sapi dalam negeri didominasi oleh kekuatan tiga provinsi dalam
memproduksi susu sapi perah. Ketiga provinsi tersebut adalah Provinsi Jawa Timur,
Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Jawa Tengah. Produksi dari ketiga provinsi
tersebut mencapai 97 persen dari total produksi dalam negeri. Kementerian
Pertanian (2015) menyebutkan pada tahun 2009 hingga 2013 rata-rata produksi
susu per tahun oleh Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat,dan Jawa Tengah adalah 405
juta liter per tahun, 211 juta liter per tahun, dan 81 juta liter per tahun. Dari data
tersebut, Provinsi Jawa Tengah terbukti memiliki peran yang cukup penting dalam
pemenuhan produksi susu dalam negeri, mencapai 10.45 persen dari total produksi
dalam negeri atau sebesar 81 juta liter per tahun.
Penghasil susu terbesar di Provinsi Jawa Tengah adalah Kabupaten Boyolali.
Pada tahun 2009 hingga 2013 produksi susu rata-rata Kabupaten Boyolali adalah
sebesar 42 juta liter per tahun, dengan presentase produksi mencapai 44.27 persen
dari produksi susu Jawa Tengah (Kementerian Pertanian 2015). Di Kabupaten
Boyolali sendiri, produksi susu didominasi oleh enam kecamatan penghasil susu
terbesar, yakni Kecamatan Musuk, Kecamatan Cepogo, Kecamatan Ampel,
Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Selo, dan Kecamatan Boyolali. Data Badan
Pusat Statistik Kabupaten Boyolali (2014) menyebutkan posisi pertama dalam
memroduksi susu di Kabupaten Boyolali diduduki oleh Kecamatan Musuk dengan
total produksi mencapai 15 juta liter pada tahun 2013. Selanjutnya diikuti oleh
Kecamatan Cepogo dengan total produksi mencapai 9 juta liter pada tahun yang
sama. Kondisi produksi susu segar di Kabupaten Boyolali didominasi oleh peternak
dengan skala usaha kecil dan menengah. Jumlah kepemilikian sapi perah di

2
Kabupaten Boyolali mencapai 88.533 ekor dengan jumlah pemilik mencapai
35.221 (BPS Kabupaten Boyolali 2014). Rata-rata tiap satu peternak memiliki 2-3
ekor sapi. Data produksi susu dan kepemilikan sapi perah per kecamatan di
Kabupaten Boyolali dapat dilihat di Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah produksi susu dan kepemilikan sapi perah per kecamatan di
Kabupaten Boyolali tahun 2013
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Kecamatan
Selo
Ampel
Cepogo
Musuk
Boyolali
Mojosongo
Teras
Sawit
Banyudono
Sambi
Ngemplak
Nogosari
Simo
Karanggede
Klego
Andong
Kemusu
Wonosegoro
Juwangi
Jumlah
2012
2011
2010
2009
2008

Susu (liter)
4.419.178
7.819.488
9.565.219
15.025.994
4.311.660
6.744.302
114.121
7.925
21.134
1.685
1.685
35.870
4.327
2.642
-

48.075.220
46.775.509
46.260.000
42.522.500
35.910 .000
32.400.000
Sumber: BPS Kabupaten Boyolali 2014

Kepemilikan ternak sapi perah
Pemilik (orang)
Ternak (ekor)
5.054
8.362
6.512
14.421
7.923
17.915
9.991
28.440
2.599
6.463
3.024
12.576
88
216
8
15
8
40
2
3
1
3
5
4
2

66
8
5

35.221
35.221
35.221
29.194
29.183
29179

88.533
88.533
87.793
62.484
62.038
61.749

Skala usaha tersebut jelas kurang ekonomis karena penerimaan yang
diperoleh dari penjualan susu ke koperasi hanya memberikan keuntungan yang tipis
atau bahkan hanya cukup untuk mempertahankan usahanya. Jika skala kepemilikan
ternak tersebut ditingkatkan menjadi 7 ekor per peternak, maka diharapkan akan
dapat meningkatkan efisiensi usaha sekitar 30 persen (Swastika et al. 2000).
Kepemilikan sapi perah yang tergolong dalam skala kecil dan menengah
mengharuskan peternak untuk menjual susu ke lembaga pemasaran. Hal ini
disebabkan peternak tidak memiliki posisi tawar yang cukup tinggi jika harus
menjual langsung ke Industri Pengolahan Susu (IPS). Sehingga diperlukan sebuah

3
lembaga yang dapat menyalurkan susu agar susu dapat segera sampai ke tangan
konsumen dan IPS dengan waktu singkat.
Susu sapi perah merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki
sifat mudah rusak (perishable) dan memiliki bobot dan volume yang besar (bulky).
Setelah dilakukan pemerahan, susu hanya dapat bertahan selama 3-4 jam di suhu
luar, jika lebih dari itu susu dapat berubah warna dan akhirnya menjadi basi.
Adanya sifat mudah rusak menyebabkan susu harus segera disalurkan kepada
konsumen secara cepat atau harus segera ditangani agar tidak basi. Dengan adanya
hal tersebut hampir tidak mungkin peternak menjual susu langsung ke konsumen,
dan mencari konsumen dari rumah ke rumah. Susu sangat cepat mengalami
penurunan kualitas setelah dilakukan proses pemerahan. Selain itu, dengan adanya
sifat susu yang memiliki volume yang besar akan meningkatkan resiko susu tumpah
jika peternak harus menjual susu secara langsung ke konsumen. Kondisi tersebut
membuat peternak mengeluarkan biaya transaksi untuk mengurangi resiko kerugian
yang semakin besar. Ditambah dengan produksi susu sapi perah sepanjang tahun
menyebabkan peternak harus mencari lembaga pemasaran yang bersedia membeli
susu dari peternak, sehingga peternak tidak akan mengalami kerugian yang lebih
besar.
Peternak sapi perah skala kecil akan menghadapi biaya-biaya yang tidak dapat
dihindari untuk memasuki pasar dan menjalankan usaha (Staal et all. 1997). Salah
satunya adalah biaya transaksi. Biaya transaksi merupakan biaya yang timbul akibat
adanya transaksi atau perpindahan barang dan jasa dari satu pihak ke pihak lain.
Staal et all. juga menjelaskan terdapat perbedaan besar biaya transaksi yang
dihadapi oleh produsen bergantung pada akses terhadap aset kepemilikan dan akses
terhadap informasi. Biaya transaksi memiliki peran yang penting pada produksi
susu dan pemasaran, karena tidak hanya berkaitan pada transaksi yang terjadi
namun juga terkait usaha penanggulangan mengurangi resiko yang lebih besar dari
peternak sapi perah. Peran organisasi kolektif seperti lembaga pengolahan,
koperasi, dan kelompok menjadi sangat penting, yakni untuk mengurangi biaya
transaksi untuk pengembangan peternak sapi perah.
Menurut Saragih (2000), terdapat kekuatan monopoli yang dihadapi oleh
peternak pada pasar input serta kekuatan monopsoni di pasar output yang berakibat
pada harga output yang diterima peternak relatif rendah, sedangkan harga input
yang dibayarkan peternak relatif mahal. Hal ini menyebabkan usaha ternak sapi
perah cenderung stagnan dan peternak tidak beranjak dari kemiskinan. Peternak
harus memahami struktur penerimaan dan pengeluaran yang dikeluarkan untuk
pengembangan sapi perah. Salah satu yang harus dipahami oleh peternak adalah
biaya transaksi. Pendekatan biaya transaksi yang secara umum didefinisikan
sebagai biaya-biaya yang dikeluarkan oleh peternak selain dari biaya produksi.
Dalam aktivitas ekonomi biaya transaksi sulit dihindari, sehingga menimbulkan
tekanan ekonomi bagi peternak karena terjadinya transfer surplus yang cukup besar
dari peternak ke pihak lain. Secara langsung biaya transaksi akan mengurangi

4
penerimaan peternak. Meskipun sulit dihindari, biaya transaksi perlu ditekan hingga
mencapai tingkat yang efisien, agar penerimaan yang diterima dapat lebih
maksimal. Maka dari itu penelitian ini penting dilakukan untuk melihat bagaimana
pengaruh biaya transaksi terhadap keputusan yang diambil oleh peternak sapi perah.
Masalah Penelitian
Kabupaten Boyolali menjadi produsen susu terbesar di Jawa Tengah.
Sebanyak 44,27 persen kebutuhan susu Provinsi Jawa Tengah dipenuhi oleh
Kabupaten Boyolali (Kementerian Pertanian 2015). Kondisi topografi dan keadaan
cuaca di Kabupaten Boyolali yang mendukung untuk budidaya sapi perah serta
adanya ketersediaan lahan yang cukup untuk pakan ternak membuat usahaternak
sapi perah di Boyolali memiliki peluang yang cukup besar untuk dikembangkan.
Sebagai penghasil susu terbesar di Provinsi Jawa tengah, produksi susu Kabupaten
Boyolali terpusat di enam kecamatan penghasil susu terbesar. Keenam kecamatan
tersebut adalah Kecamatan Selo, Cepogo, Musuk, Ampel, Boyolali dan Mojosongo.
Kecamatan penghasil susu terbesar di Kabupaten Boyolali adalah Kecamatan
Musuk, dengan produksi susu pada tahun 2013 mencapai 15 juta liter, posisi kedua
adalah Kecamatan Cepogo dengan produksi susu pada tahun 2013 mencapai 9 juta
liter. Jumlah produksi susu Kecamatan Cepogo memiliki persentase sebesar 19,9
persen dari total produksi susu Kabupaten Boyolali (BPS Kabupaten Boyolali
2014). Produksi susu Kabupaten Boyolali mengalami peningkatan dari tahun 2008
hingga 2013. Pada tahun 2008 produksi susu mencapai 32 juta liter dan pada tahun
2013 meningkat hingga mencapai 48 juta liter, sehingga dalam kurun waktu lima
tahun terjadi peningkatan produksi susu hingga 48 persen (BPS 2014).
Di Kabupaten Boyolali, terdapat dua lembaga yang berhubungan langsung
dengan peternak sapi perah untuk membeli hasil susu dari peternak. Lembaga yang
pertama adalah KUD. KUD memiki peran penting dalam menyalurkan susu hasil
ternak dan memberdayakan peternak. Selain membeli susu dari peternak, KUD
memiiki peran untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan peternak.
Berbagai upaya dan program kegiatan telah dilakukan oleh KUD. Contohnya di
Kecamatan Cepogo. Menurut Aini (2015), KUD Cepogo telah melaksanakan
berbagai kegiatan untuk meningkatkan produksi susu di Kecamatan Cepogo, seperti
melakukan penyuluhan, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, dan
memberikan bantuan pinjaman modal kepada peternak anggota KUD. KUD dapat
membantu peternak melalui unit usaha simpan pinjam dan kredit umum. Namun,
tidak semua peternak sapi perah menjadi anggota KUD, tetapi peternak anggota
KUD akan lebih mudah mendapatkan layanan tersebut daripada peternak yang
bukan anggota KUD. Hal ini disebabkan anggota KUD difasilitasi oleh KUD dan
adanya jaminan penjualan produksi susunya ke KUD.
Lembaga pemasaran yang kedua adalah pedagang pengumpul. Pedagang
pengumpul juga berhubungan langsung dengan peternak sapi perah. Pedagang

5
pengumpul membeli susu ke peternak untuk dijual kembali ke IPS. Biasanya
pedagang pengumpul membeli susu dengan mendatangi langsung daerah peternak.
Peternak yang tergabung menjadi kelompok peternak yang menjual susu ke
pedagang pengumpul biasanya berkumpul di ujung jalan desa untuk menyetorkan
hasil susu ke pedagang pengumpul. Berbeda dengan KUD, pedagang pengumpul
tidak memfasilitasi peternak dengan berbagai kegiatan pendukung. Beberapa
layanan yang dapat diberikan pedagang pengumpul kepada peternak adalah
membeli susu, memberikan kredit pinjaman, dan menyediakan input produksi
berupa pakan ternak sesuai harga pasar.
Karakteristik susu yang mudah rusak (perishable) mengharuskan peternak
untuk mengeluarkan biaya tambahan untuk menanggulangi resiko susu basi
sebelum sampai ke tangan konsumen. Susu sapi perah hanya dapat bertahan 3-4
jam setelah dilakukan proses pemerahan sebelum kualitas susu menurun seiring
dengan semakin lama susu berada pada suhu ruang setelah proses pemerahan. Maka
dari itu peternak harus memasarkan susu dengan waktu yang sangat singkat.
Karakteristik selanjutnya dimana susu merupakan salah satu produk pertanian yang
memiliki volume yang besar (bulky) mengharuskan peternak memiliki wadah yang
sangat besar ketika menjual susu ke konsumen agar peternak tidak mengalami
kerugian karena susu dapat tumpah pada saat memasarkan susu ke konsumen.
Peternak harus mengeluarkan biaya untuk mengurangi resiko susu basi dan susu
tumpah di jalan dengan menyediakan wadah pendingin dengan volume yang sangat
besar agar kualitas susu tetap baik pada saat sampai di tangan konsumen jika
peternak tidak memiliki wadah yang memadai untuk mengangkut susu. Hal ini
sangat mustahil dilakukan ketika produktivitas susu peternak sangat besar. Ketika
produksi susu sangat tinggi, peternak harus menyediakan kendaraan yang memadai
untuk mengangkut susu ke konsumen. Upaya mencari konsumen menjadi pekerjaan
yang sangat penting untuk memasarkan susu sehingga peternak mendapatkan
keuntungan. Namun, jika peternak menjual secara perorangan maka peternak akan
menghadapi biaya yang sangat besar untuk mencari konsumen setiap hari. Selain
itu konsumen susu sapi segar tidak serta merta selalu ada setiap harinya. Padahal
peternak akan memroduksi susu tiap dua kali sehari ditambah dengan karakteristik
sapi perah yang berproduksi sepanjang tahun. Biaya yang muncul akibat upaya
pencarian lembaga pemasaran dan upaya penanggulangan resiko yang dihadapi
peternak merupakan biaya transaksi. Biaya transaksi adalah biaya yang dikeluarkan
peternak ketika melakukan transaksi atau perpindahan barang dan jasa dari satu
pihak ke pihak yang lain yang ditandai dengan berpindahnya hak kepemilikan.
Diperlukan lembaga yang dapat membantu peternak mengurangi biaya transaksi
yang ditanggung. Peternak akan melakukan kerjasama dengan lembaga pemasaran
untuk memasarkan susu yang diproduksi. Hal ini akan menurunkan biaya transaksi
yang ditanggung peternak karena peternak tidak akan mengeluarkan biaya untuk
mengurangi resiko siusu rusak atau tumpah.

6
Telah disebutkan bahwa di Kabupaten Boyolali terdapat dua lembaga
pemasaran yang bekerja sama dengan peternak untuk memasarkan susu. Adanya
kerjasama antara peternak dengan KUD dan peternak dengan pedagang pengumpul
meengindikasikan adanya perbedaan biaya transaksi. Perbedaan biaya transaksi
dapat disebabkan oleh adanya perbedaan akses pada aset, informasi yang tidak
sempurna, perbedaan pelayanan, dan pasar yang menguntungkan (Delgado, ).
Perbedaan keanggotaan pada lembaga formal seperti KUD mengindikasikan
adanya perbedaan layanan yang diterima antara peternak anggota dan peternak
bukan anggota yang berdampak pada perbedaan biaya transaksi.
Berdasarkan masalah tersebut, maka penelitian ini akan mengkaji:
1. Bagaimana sistem kemitraan antara peternak sapi perah dan KUD?
2. Bagaimana struktur dan besar biaya transaksi yang ditanggung oleh peternak
sapi perah?
3. Faktpr-faktor apa saja yag memengaruhi keputusan tujuan penjualan susu
oleh peternak sapi perah?
Tujuan Penelitian

1.
2.
3.

Berdasarkan masalah yang dijabarkan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
Menganalisis sistem kemitraan antara peternak sapi perah dan KUD.
Mengestimasi struktur dan besar biaya transaksi yang ditanggung oleh
peternak sapi perah, serta faktor-faktor yang mempengaruhi biaya transaksi.
Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi keputusan tujuan penjualan
susu pyang dilakukan oleh peternak sapi perah.

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi kinerja dari KUD sebagai
lembaga yang memiliki peran meningkatkan produktivitas peternak sapi perah.
Kinerja dari KUD akan digambarkan melalui bagaimana sistem kemitraan atau
kerjasama yang terjadi antara KUD dan peternak sapi perah. Selain itu, penelitian
ini juga akan mengidentifikasi biaya transaksi yang dikeluarkan oleh peternak sapi
perah untuk menjalankan usaha ternak sapi perah. Ruang lingkup penelitian ini
adalah:
1. Sampel yang akan diambil terdiri dari tiga kelompok, yakni kelompok
peternak sapi perah, kelompok petugas KUD, dan kelompok pedagang
pengumpul. Peternak sapi perah yang akan menjadi responden dalam
penelitian ini adalah peternak sapi perah di Kecamatan Cepogo, Kabupaten
Boyolali.

7
2.

3.
4.

Responden peternak sapi perah akan dibagi menjadi dua kelompok, yakni
peternak yang menjadi anggota KUD, dan peternak sapi perah bukan anggota
KUD.
Penelitian ini akan mengkaji biaya transaksi yang berkaitan dengan penjualan
susu sapi perah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan biaya transaksi berdasarkan Furubotn
dan Richter (2000) yang mengklasifikasikan biaya transaksi biaya transaksi
menjadi tiga bagian, yakni: (1) biaya menggunakan pasar (market transaction
costs), (2) biaya melakukan hak untuk memberikan pesanan di dalam
perusahaan (managerial transaction costs), dan (3) biaya yang diasosiasikan
untuk menggerakkan dan menyesuaikan dengan kerangka politik
kelembagaan (political transaction costs).

8

9

II TINJAUAN PUSTAKA
Teori Ekonomi Kelembagaan
Institusi sosial atau kelembagaan diartikan sebagai sistem organisasi
hubungan sosial yang terwujud dari beberapa nilai umum dan cara dalam
menyatukan beberapa kebutuhan dasar masyarakat (Horton 1964 dalam Munandar
2008). Pendapat lain mengartikan institusi sosial atau kelembagaan merupakan
bentuk formal budaya yang terdiri dari kumpulan kebutuhan-kebutuhan sosial yang
mendasar atau pokok (Landis 1958 dalam Munandar 2008). Berdasarkan kedua
definisi tersebut, maka kelembagaan merupakan suatu wadah berkumpulnya orangorang untuk menyalurkan aspirasi, pendapat, dan alat untuk pemenuhan kebutuhan
pokok. Konsep kelembagaan menunjukkan bahwa hubungan-hubungan tertentu
dan pola-pola tindakan yang dicakup dalam organisasi adalah bersifat normatif,
baik di dalam organisasi sendiri maupun untuk satuan sosial lainnya. Definisidefinisi di atas telah menunjukkan bahwa kelembagaan sangat berperan dalam
menunjang pembangunan karena apabila kelembagaan tersebut dibangun atas dasar
partisipasi masyarakat sendiri, maka akan lebih mengedepankan kepentingan
kelembagaan dibandingkan dengan kepentingan individu.
Sementara itu, Wiliamson (2000) merinci lagi institusi sebagai aturan main ke
dalam empat tingkatan institusi berdasarkan analisis sosial, yakni:
1.
Tingkatan pertama adalah tingkatan lekat sosial (social embeddedness)
dimana institusi telah melekat (embeddedness) dalam waktu yang sangat lama
di dalam masyarakat dan telah menjadi pedoman masyarakat dalam hidup dan
berkehidupan. Tingkatan ini sering juga disebut sebagai institusi informal,
misalnya: adat, tradisi, norma dan agama. Agama sangat berperan penting
pada tingkatan ini. Institusi pada tingkatan ini berubah sangat lambat antara
satu abad sampai satu milenium. Lambatnya perubahan institusi pada
tingkatan ini karena institusi ini dapat diterima dan diakui oleh masyarakatnya
antara lain: institusi tersebut bersifat fungsional (seperti konvensi), dianggap
sebagai nilai simbolis bagipenganutnya dan seringkali institusi tersebut
bersifat komplementer dengan institusi formal yang ada.
2.
Tingkatan kedua disebut dengan lingkungan kelembagaan (institutional
environment) yang sering juga disebut sebagai aturan main formal. Institusi
pada tingkatan ini berkaitan dengan aturan hukum (khususnya hak
kepemilikan), konstitusi, peraturan perundang – undangan, lembaga-lembaga
yudikatif dan birokrasi. Institusi pada tingkatan ini diharapkanakan
menciptakan aturan main formal yang baik (first-order economizing). Alat
rancangan pada tingkatan kedua ini mencakup fungsi – fungsi eksekutif,
legislatif, yudikatif dan fungsi birokrasi dari pemerintahan serta distribusi
kekuasaan antara berbagai tingkat pemerintahan. Pengertian dan pelaksanaan
hak kepemilikan dan hukum kontrak merupakan hal utama pada tingkatan

10
kedua ini. Sistem perusahaan swasta (private-enterprise) tidak dapat
berfungsi dengan baik tanpa adanya hak kepemilikan akan sumber daya.
Adanya hak kepemilikan akan memaksa orang yang ingin menggunakan
sunber daya tersebut untuk membayar kepada pemiliknya. Setelah hak
kepemilikan ditetapkan dan dilaksanakan, pemerintah menjaga (melalui
regulasi) agar sumber daya digunakan pada tingkat penggunaan yang terbaik.
3. Tingkatan ketiga yayaitu tentang tata kelola (governance) yang baik agar
biaya transaksi (transaction costs) dapat diminumkan. Hal ini dapat dilakukan
dengan pembuatan, pengaturan dan penegakan sistem kontrak dengan baik.
Sistem tata kelola ini bertujuan untuk menciptakan tatanan (order) yang baik
agar dapat mengurangi konflik dan menghasilkan manfaat bersama (mutual
gains). Tujuan institusi pada tingkatan ini adalah menciptakan tata kelola
yang baik (second-order economizing).
4. Tingkatan keempat adalah institusi yang mengatur alokasi sumberdaya dan
pengerjaan (employment). Institusi ini mengatur hubungan principal dan agen
atau lebih dikenal dengan teori keagenan (agency theory). Hubungan ini akan
berjalan efisien jika ada sistem insentif (reward and punishment) diantara
merekan dirancang dengan baik.
Commons (1931) lebih berkonsentrasi kepada hukum, hak kepemilikan
(property rights), dan organisasi yang memiliki implikasi terhadap kekuatan
ekonomi, transaksi ekonomi, dan distribusi pendapatan. Di sini, kelembagaan
dilihat sebagai pencapaian dari proses formal dan informal dari resolusi konflik.
Williamson (1985) menyatakan bahwa kelembagaan mencakup penataan institusi
(institutional arrangement) untuk memadukan organisasi dan institusi. Penataan
institusi adalah suatu penataan hubungan antara unit-unit ekonomi yang mengatur
cara unit-unit ini apakah dapat bekerjasama dan atau berkompetisi. Dalam
pendekatan ini organisasi adalah suatu pertanyaan mengenai aktor atau pelaku
ekonomi di mana ada kontrak atau transaksi yang dilakukan dan tujuan utama
kontrak adalah mengurangi biaya transaksi (Williamson 1985).
Pada intinya, kelembagaan adalah jejaring yang terbentuk dari sejumlah,
mungkin puluhan sampai ratusan interaksi atau bisa disebut kelembagaan sebagai
interaksi yang berpola. Dari interaksi inilah dapat dipahami sebuah kelembagaan
hanya dengan memahami bagaimana pola, ciri, dan bentuk sebuah interaksi dan
dalam satu kelembagaan, sebagian besar interaksi berbentuk sama.
Ekonomi kelembagaan (Institutional Economics) adalah cabang ilmu
ekonomi yang mempelajari pengaruh dan peranan institusi formal dan informal
terhadap kinerja ekonomi, baik pada tataran makro maupun tataran mikro. Black
(2002) menerangkan bahwa ekonomi kelembagaan adalah cabang ilmu ekonomi
yang menekankan pada pentingnya aspek kelembagaan dalam menentukan
bagaimana sistem ekonomi dan sosial bekerja. Salah satu kunci dalam aspek
ekonomi kelembagaan adalah menyangkut property right atau hak pemilikan. Hak
kepemilikan ini melekat dalam bentuk aturan formal dan juga norma sosial dan adat.

11
Dalam perkembangannya, terdapat dua macam ekonomi kelembagaan yakni
ekonomi kelembagaan lama (Old Institutional Economics) dan ekonomi
kelembagaan baru (New Institutional Economics). Ekonomi kelembagaan lama
muncul pada awal abad ke-20. Menurut Rutherford (2001), ekonomi kelembagaan
lama ini dibangun dan berkembang di kawasan Amerika Utara, para tokohnya
antara lain: Veblen, Commons, Mitchell dan Clarence Ayres. Ekonomi
kelembagaan lama ini muncul sebagai kritik terhadap aliran neoklasik. Para tokoh
ekonomi kelembagaan lama mengkritik keras aliran neoklasik karena:
1.
Neoklasik mengabaikan institusi dan oleh karena itu mengabaikan relevansi
dan arti penting dari kendala – kendala non anggaran (nonbudgetary
constraints).
2.
Penekanan yang berlebihan kepada rasionalitas pengambilan keputusan
(rational-maximizing self-seeking behaviour of individuals).
3.
Konsentrasi yang berlebihan terhadap keseimbangan (equilibrium) serta
bersifat statis.
4.
Penolakan neoklasik terhadap preferensi yang dapat berubah atau perilaku
adalah pengulangan atau kebiasaan (Nabli dan Nugent 1989 ).
Sementara itu, ekonomi kelembagaan baru mencoba untuk menawarkan
ekonomi lengkap dengan teori dan institusinya. Ekonomi kelembagaan baru
menekankan pentingnya institusi, tetapi masih menggunakan landasan analisis
ekonomi neoklasik. Beberapa asumsi ekonomi neoklasik masih digunakan, tetapi
asumsi tentang rasionalitas dan adanya informasi sempurna (sehingga tidak ada
biaya transaksi) ditentang oleh ekonomi kelembagaan baru. Menurut ekonomi
kelembagaan baru, institusi digunakan sebagai pendorong bekerjanya sistem pasar.
Arti penting dari ekonomi kelembagaan baru adalah:
1.
Ekonomi kelembagaan baru merupakan seperangkat teori yang dibangun di
atas landasan ekonomi neoklasik, tetapi ekonomi kelembagaan baru mampu
menjawab bahkan mengungkapkan permasalahan yang selama ini tidak
mampu dijawab oleh ekonomi neoklasik. salah satu permasalahan tersebut
adalah eksistensi sebuah perusahaan sebagai sebuah organisasi administratif
dan keuangan. Ekonomi kelembagaan baru merupakan sebuah paradigma
baru di dalam mempelajari, memahami, mengkaji atau bahkan menelaah ilmu
ekonomi.
2.
Ekonomi kelembagaan baru begitu penting dan bermakna di dalam konteks
kebijakan ekonomi sejak dekade 1990-an, karena ekonomi kelembagaan baru
berhasil mematahkan dominasi superioritas mekanisme pasar. Ekonomi
kelembagaan baru telah memposisikan dirinya sebagai pembangun teori
kelembagaan non-pasar (non-market institutions). Ekonomi kelembagaan
baru telah mengeksplorasi faktor-faktor non-ekonomi, seperti hak
kepemilikan, hukum kontrak dan lain sebagainya sebagai satu jalan untuk
mengatasi kegagalan pasar (market failure). Menurut ekonomi kelembagaan
baru, adanya informasi yang tidak sempurna, eksternalitas dan fenomena free-

12
riders di dalam barang-barang publik dinilai sebagai sumber utama kegagalan
pasar, sehingga kehadiran institusi non-pasar mutlak diperlukan.
3. Ketika studi-studi pembangunan memerlukan satu landasan teoritis, ekonomi
kelembagaan baru mampu memberikan solusinya.
Teori mengenai informasi yang sempurna dan tidak adanya biaya transaksi
ditentang oleh ekonomi kelembagaan baru. Namun, asumsi mengenai individu yang
berupaya untuk mencari keuntungan pribadi (self-seeking individuals) untuk
memeroleh kepuasan maksimal tetap diterima. Coase (1988) mengatakan bahwa
inefisiensi pada ekonomi neoklasik bisa terjadi bukan hanya akibat dari adanya
struktur pasar yang tidak sempurna, namun karena adanya kehadiran secara implisit
biaya transaksi. Demikian pula North (1990) menerangkan bahwa tidak tepat jika
pada pasar persaingan sempurna terdapat informasi yang sempurna dan pertukaran
tanpa biaya. Biaya transaksi akan muncul dalam pertukaran akibatadanya informasi
yang tidak sempurna. Selanjutnya North juga menjelaskan bahwa biaya mencari
informasi merupakan kunci biaya transaksi yang terdiri dari biaya untuk
mengerjakan pengukuran kelengkapan yang dipertukarkan untuk melindungi hak
kepemilikan dan menegakkan kesepakatan.
Kelembagaan Koperasi
Koperasi adalah sebuah lembaga formal atau organisasi dimana hak
kepemilikan dari masing-masing individu lebih tinggi dari perusahaan, dimana
setiap anggota mempunyai kekuatan untuk memengaruhi kinerja dari koperasi
(Zylbersztajn 1993). Koperasi merupakan salah satu bentuk kelembagaan di antara
sekian banyak kelembagaan yang berperan dalam pengembangan sektor pertanian.
Lembaga koperasi memiliki ciri double identity yang mungkin tidak dimiliki oleh
lembaga lain. Ciri ini menjelaskan bahwa para anggota koperasi merupakan owner
sekaligus customer dari lembaga tersebut. Perbedaan ini terlihat dengan adanya unit
usaha ekonomi yang dimiliki dan diawasi bersama secara demokratis dengan satu
tujuan, yaitu melayani kebutuhan anggota.
UU RI No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian memberikan definisi
koperasi sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum
koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus
sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Cook (1995) menjelaskan mengenai alur tahapan dari koperasi yang terdiri
dari lima tahap berdasarkan biaya transaksi dan biaya agensi. Lima tahapan tersebut
adalah:
1. Tahap 1
Alasan produsen menjadi anggota koperasi yaitu: (1) produsen membutuhkan
mekanisme kelembagaan untuk mengontrol keseimbangan pasar antara
permintaan dan penawaran, hal ini dikarenakan produsen mendapat harga

13
rendah akibat adanya kelebihan penawaran, dan (2) produsen membutuhkan
mekanisme kelembagaan jika terjadi kegagalan pasar.
2.
Tahap 2
Koperasi yang dapat bersaing dengan kegagalan pasar umumnya dapat
memasarkan produk atau input pasokan pertanian dengan harga yang lebih
menguntungkan dari pasar oligopoli milik investor. Akibatnya, koperasi
biasanya bertahan pada tahap ini. Di sisi lain, koperasi yang dibentuk dengan
pasokan dan harga lebih rendah memiliki dampak ekonomi yang kecil
terhadap anggotanya dan biasanya berumur pendek
3.
Tahap 3
Koperasi yang bertahan Tahap 2 biasanya menjadi sukses dalam
mengoreksi atau mengurangi dampak ekonomi negatif yang berasal dari
kegagalan pasar. Dalam reaksi kehadiran koperasi di pasar, pesaing
menyesuaikan perilaku strategis dan harga koperasi. Sebagai perbedaan
antara harga koperasi dan harga pesaing, biaya bertransaksi dengan koperasi
menjadi semakin penting untuk anggota koperasi. Pada umumnya terdapat
lima masalah instrinsik yang terdapat dalam koperasi, yaitu: masalah
penumpang gelap, masalah horizon, masalah portofolio, masalah kontrol, dan
masalah kenaikan biaya.
4.
Tahap 4
Pengambil keputusan dalam koperasi menjadi semakin sadar masalah ini serta
manfaat yang berasal dari koperasi yang mungkin hilang jika harus
menghentikan koperasi. Pada akhir tahap ini, koperasi menyimpulkan bahwa
pilihan koperasi terdiri dari: (1) keluar dari pasar (koperasi berhenti
beroperasi), (2) melanjutkan, atau (3) transisi.
5.
Tahap 5
Pimpinan koperasi memilih di antara tiga pilihan yang strategis.
Pada usaha ternak sapi perah, koperasi menjadi salah satu lembaga yang
membantu peternak meningkatkan produktivitas dan memasarkan hasil perahan
susu. Koperasi dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi peternak mengenai
sifat susu yang mudah rusak dan memiliki volume yang besar. Koperasi yang
menyediakan kapasitas pabrik yang besar dan peningkatan posisi tawar peternak,
dapat meningkatkan akses terhadap pasar dan membantu peternak menghindari
peningkatan biaya akibat penurunan kualitas susu (Holloway et al. 1999). Jaffee
dan Morton (1995) juga menjelaskan bahwa adanya koperasi sangat membantu
peternak mengatasi hambatan akses terhadap aset, informasi yang tidak sempurna,
dan pelayanan yang tidak merata antar peternak sehingga peternak dapat memasuki
pasar dengan memroduksi produk dengan kualitas tinggi.
Peningkatan peran koperasi persusuan di Indonesia yang terintegrasi secara
vertikal dan horizontal dengan baik di masa yang akan datang sangat penting untuk
dilakukan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa:

14
1.

Melalui koperasi, peternak dapat memperbaiki posisi tawar dalam
memasarkan hasil produksi maupun dalarn pengadaan input produksi yang
dibutuhkan. Posisi tawar ini bahkan dapat berkembang menjadi kekuatan
penyeimbang dari berbagai ketidakadilan pasar yang dihadapi para peternak.
2. Apabila mekanisme pasar tidak dapat menjamin terciptanya keadilan,
koperasi dapat mengupayakan pembukaan pasar barn bagi produk
anggotanya. Di sisi lain koperasi dapat memberikan akses kepada anggotanya
terhadap berbagai penggunaan faktor produksi dan jasa yang tidak ditawarkan
pasar.
3. Dengan bergabung dalam koperasi, para petani dapat lebih mudah melakukan
penyesuaian produksinya melalui pengolahan pascapanen sehubungan
dengan perubahan permintaan pasar. Hal ini akan memperbaiki efisiensi tata
niaga yang bermanfaat bagi kedua belah pihak, bahkan bagi masyarakat
umum maupun perekonomian nasional.
4. Dengan penyatuan sumber daya para petani dalam sebuah koperasi, para
petani lebih mudah