ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA BAGI PEMAKAI DAN PENGEDAR NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DIBANDINGKAN DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997

  Vina Aprilliza

  ABSTRAK

  

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA BAGI

PEMAKAI DAN PENGEDAR NARKOTIKA MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKA DIBANDINGKAN DENGAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997

  Oleh Vina Aprilliza

  Tindak pidana narkotika merupakan suatu peredaran gelap yaitu setiap kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum. Peningkatan peredaran gelap narkotika tidak terlepas dari kegiatan organisasi-organisasi kejahatan yang beroperasi di berbagai negara dalam suatu jaringan internasional. Keuntungan yang sangat besar, organisasi kejahatan tersebut berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan dan mengembangkan terus usaha peredaran gelap narkotika dengan cara menyusup, mencampuri, merusak struktur pemerintahan. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dengan Undang- undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimanakah formulasi sanksi pidana bagi pemakai dan pengedar narkotika menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 dibandingkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 dan apakah yang menjadi dasar kebijakan formulasi sanksi pidana dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 dibandingkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 ? Metode yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah dengan menggunakan pedekatan yuridis normatif dan di dukung oleh pendapat para pakar

  Vina Aprilliza

  hukum melalui penulusuran kepustakaan yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan penulisan skripsi ini. Penelusuran bahan-bahan kepustakaan dilakukan dengan mempelajari asas-asas, teori-teori, konsep-konsep, serta peraturan-peraturan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa terdapat perbedaan dan perkembangan antara Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yaitu adanya perbedaan sanksi pidana bagi pemakai dan pengedar narkotika. Pemakai, pecandu dan korban dapat dikenakan sanksi pidana penjara atau rehabilitasi medik dan sosial yang dibuktikan dengan adanya keterangan bahwa si pecandu dan pemakai benar-benar sebagai korban dalam peredaran gelap narkotika. Pengedar dikenakan sanksi pidana penjara dilihat dari golongan dan jenis narkotika, formulasi tersebut lebih berat mengingat bahaya yang ditimbulkan dari peredaran gelap narkotika tersebut. Dasar kebijakan formulasi sanksi pidana sesuai dengan penjelasan atas Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 yaitu tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama bahkan merupakan suatu sindikat. Guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997. Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahagunaan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran dan jumlah Narkotika.

  Berdasarkan kesimpulan di atas, maka pemerintah harus lebih bijak dalam merevisi suatu undang-undang sehingga dapat sesuai dengan perkembangan masyarakat dan juga harus jelas di dalam merumuskannya agar tidak menimbulkan bias hukum atau ketidakpastian.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

  Kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan peninggalan yang tidak ternilai harga dari para pejuang terdahulu. Sebagai generasi penerus bangsa selayaknya jika kita mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan masyarakat yang adil dan makmur yang merata materil dan spiritual seperti yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mempertahankan kemerdekaan dan membangun bangsa merupakan tugas yang berat yang memerlukan bekal moralitas, rohanni dan jasmani yang sehat agar cita-cita perjuangan bangsa dapat tercapai dengan mudah. Membangun bangsa dapat diwujudkan dalam berbagai bidang baik ekonomi, sosial, budaya maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Obat- obatan narkotika merupakan hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memiliki peranan penting bagi dunia ilmu pengetahuan dan kesehatan sehingga perkembangan dan peredarannya senantiasa mendapat pengawasan dari pemerintah.

  Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

  Kebodohan dan kemerosotan moral bangsa merupakan tujuan jangka panjang dari peredaran obat-obatan narkotika yang secara tidak langsung merupakan ancaman bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu setiap pelaku penyalahgunaan narkotika harus diadili dimuka persidangan.

  Pelaku penyalahgunaan narkotika terbagi atas dua kategori yang terdiri atas pelaku sebagai pengedar dan pemakai, sedangkan peraturan yang dalam menanggulangi kasus penyalahgunaan narkotika adalah Undang-Undang Nomor

  35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Perbedaan pelaku dalam undang-undang Narkotika berdampak pula pada penjatuhan sanksi hukumnya walaupun pada hakikatnya pengedar dan pemakai obat-obatan narkotika memiliki motif yang sama yaitu menghancurkan moral dan generasi penerus bangsa.

  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama.

  Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara,

  2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.

  Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadapUndang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Upaya untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika. kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota.

  Badan Narkotika Nasional (BNN) tersebut merupakan lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam Undang- Undang ini, BNN tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyilidikan dan penyidikan BNN berkedudukan di bawah presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota.

  Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan rekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih, dalam Undang- Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

  Pencegahan dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional.

  Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan

  Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini : a). Bagaimanakah formulasi sanksi pidana bagi pemakai dan pengedar narkotika menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 dibandingkan Undang- undang Nomor 22 Tahun 1997 ?

  b). Apakah yang menjadi dasar kebijakan formulasi sanksi pidana dalam Undang- undang Nomor 35 Tahun 2009 dibandingkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 ?

2. Ruang Lingkup Penelitian

  Topik penelitian ini adalah bagian dari kajian Hukum Pidana yang ruang lingkupnya membahas tentang sanksi pidana bagi pemakai dan pengedar Narkotika dan membahas kebijakan formulasi dalam Undang-undang Nomor35 Tahun 2009 dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997.Untuk kelengkapan penulisan tidak menutup suatu kemungkinan untuk mencantumkan hal-hal yang ada hubungannya dengan permasalahan yang dibahas.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian a.

  Untuk mengetahui formulasi sanksi pidana bagi pemakai dan pengedar narkotika menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 dibandingkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997.

  b.

  Untuk mengetahui dasar kebijakan formulasi sanksi pidana dalam Undang- undang Nomor 35 Tahun 2009 dibandingkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997.

2. Kegunaan Penelitian a.

  Secara Teoritis, Kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan kemampuan daya pikir yang sesuai dengan disiplin ilmu pengetahuan yang dimiliki untuk dapat mengungkapkan secara obyektif melalui metode ilmiah berkaitan dengan aspek hukum pidana dalam sanksi pidana bagi pemakai dan pengedar Narkotika.

  b.

  Secara Praktis, Penulisan ini adalah untuk kepentingan penulis sendiri dalam rangka pengembangan dan memperluas wawasan, serta sebagai salah satu syarat penyusunan karya ilmiah (skripsi).

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

  Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari suatu hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk dijadikan penelitian oleh peneliti ( Soerjono Soekanto, 1986 : 124 ) Hukum pidana adalah semua larangan dan perintah yang diadakan negara dan yang diancam dengan suatu pidana atau nestapa bagi siapa yang tidak menaatinya.

  Hakim sebagai alat negara dalam menegakkan hukum diberikan kewenangan yang besar oleh undang-undang untuk menentukan berat ringannya sanksi pidana bagi pelaku yang melanggarnya. Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan (politik criminal),dengan tujuan akhir adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Penegakan hukum pidana yang merupakan bagian pelaksanaan hukum pidana dan meningkatkan peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam menanggulangi tindak pidana.

  Berkenaan dengan penjatuhan pidana Oemar Senoaji dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief (1992:67) mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara tindak pidana yang dilakukan terdakwa dengan pribadi si terdakwa dalam persidangan baik dari perbuatan maupun kepribadian terdakwa guna penjatuhan pidana.

  Pendapat di atas ditunjang oleh Sudarto dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief (1992:67) mengemukakan bahwa dengan mengetahui kepribadian terdakwa maka akan memudahkan hakim dalam menetapkan pidana setelah tertuduh terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

2. Konseptual

  Kerangka konseptual merupakan kerngka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah atau yang diteliti (Soerjono Soekanto, 1986:32). Kerangka konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah : a.

  Kebijakan Formulasi adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana (Prof.

  Sudarto,S.H.) b. Sanksi yaitu alat pemaksa; memaksa untuk mengindahkan atau menegakkan norma (Andi Hamzah,1986:521) c.

  Pidana yaitu penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992:2) d. Pemakai yaitu seseorang yang memakai atau menggunakan suatu barang (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

  e.

  Pengedar yaitu seseorang atau sindikat yang menjual atau mengedarkan suatu barang dalam hal ini Narkotika ((Kamus Besar Bahasa Indonesia).

  f.

  Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika).

E. Sistematika Penulisan

  I. PENDAHULUAN

  Bab ini berisi latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoretis dan konseptual, sistematika penulisan dan metode penelitian.

  II. TINJAUAN PUSTAKA

  Bab ini merupakan pengantar pemahaman kepada pengertian-pengertian umum tentang pokok bahasan antara lain pidana sebagai sanksi, tujuan pemidanaan, III. METODE PENELITIAN

  Bab ini berisi tentang penjelasan metodw yang dilakukan untuk memperoleh dan mengolah data yang akurat.adapun metode yang digunakan terdiri dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data,serta analisis data.

  IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

  Bab ini akan membahas pokok-pokok permasalahan yang ada dalam proposal ini tentang sanksi pidana bagi pemakai dan pengedar Narkotika menurut Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

  V. PENUTUP

  Bab ini merupakan penutup yang memaparkan kesimpulan serta saran-saran terhadap permasalahan penulisan skripsi ini.

  

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi dan Muladi. 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana.

  Alumni, Bandung. Hadiman, H. 1999. Narkoba. Bersama, Jakarta. Hamzah, Andi. 1986. Kamus Hukum. Ghalia Indonesia, Jakarta. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

  60 V.

   PENUTUP A. Kesimpulan

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat di buat kesimpulan sebagai berikut :

1. Formulasi sanksi pidana bagi pemakai dan pengedar Narkotika menurut UU

  No.35 thn 2009, Untuk pemakai diatur secara khusus dalam pasal 127, 128 dan 134, maka terhadap pemakai sesuai dengan Bab IX yang mengatur tentang pengobatan dan rehabilitasi dibagian ke-2 pasal 54 maka menjadi kewajiban bagi pecandu dan korban penyalahgunaan guna menjalani rehabilitasi medis dan sosial yang dibuktikan dengan adanya keterangan bahwa si pecandu dan korban benar-benar sebagai pihak yang menjadi korban dalam peredaran gelap narkotika. sedangkan untuk pengedar, formulasi sanksi lebih berat mengingat bahaya yang ditimbulkan dari peredaran gelap narkotika tersebut.

  2. Dasar kebijakan formulasi sanksi pidana bagi pengedar dan pemakai narkotika menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1997, tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan melainkan melibatkan

  61 Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-undang No.22 tahun 1997. Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahagunaan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran dan jumlah Narkotika. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yang memiliki tujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1946.

A. SARAN

  Berdasarkan kesimpulan yang diuraikan, maka saran yang dapat penulis berikan yaitu pemerintah harus selalu menggunakan wewenang yang diberikan kepadanya untuk melaksanakan tugasnya baik dalam merumuskan suatu undang-undang agar sesuai dan dapat mengikuti perkembangan masyarakat, sehingga dapat menjamin kepastian hukum dalam masyarakat ataupun dalam menjalankan peraturan yang sesuai dengan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum juga harus lebih jelas dan lebih bijak dalam menjatuhkan sanksi pidana bagi pemakai dan pengedar narkotika sesuai dengan