Peranggungjawaban Pidana Terhadap Pecandu Narkotika Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika)

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

TERHADAP PECANDU NARKOTIKA MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Disusun Oleh:

NAMA: MUHAMMAD IZUL NIM: 1111045100003

KONSENTRASI PIDANA ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

NARKOTUi{.),

SKRIPST

Diqiukan kepda Fakuttas Syariah dan Hukum untukrunperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Muhammad Izul

NrIU. 11110451{Xm03

Dibawah Bimbingan

KONSENTTRASI PII'ANA ISLAM

PROGRAM STUDI IIT'KT'M PII}ANA ISLAM

FAKT'L'TAS SYARIAII DAIY IIUKT]M

I}I\IIVERSITAS ISLAM I\TEGERI SYARIFNMAYATT]LI,AH

JAKARTA 2016n431H


(3)

PENGESAIIAN PAI\TITIA

UJIAN

Skripsi berjudul *PERTANGGTINGJAWABAI{

PIDANA

TEruIAI}AP

PECAI\TDU NARKOTIX,I..MTMTRUT HUKTNil ISLAM DAIY UNDAFTG. UIYDANG NOMOR 35 TAHUN 20{X} TENTANG NAru(OTIKA" telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan ilukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 4 Oktober 20t6. Skripsi ini

telah diterima sebagai salah satu syamt untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Prograni Studi flukum Pidana Islam (Jinayah).

t-._-Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua

Sekertaris

Pembimbing I

Penguji I

Penguji II

Dr. H. M. Nurul Irfan. M.Ae

NrP. 19730802003 r2 I 00t Nur Rohim Yunus. LL.M

NIP. 1979041820t l0l t004

Amrizal Siagian. S.Hum., M.Si

th. Alfitra..SH..MH

NtP - t972420320070 r r 034

Dr.Abdurahman Dahlan. MA

NIP. 19581 r 10198803 1001

Jakarta,4 Oktober 2016

NIP. 196912 t 6 I 99603 I 001

6{ffi

aF'ffi

l\ .rr\ J4l(y';fi

'V,ry,-ffi


(4)

l.

Skdpsi ini mcupakm hasil karya asli srya yaag diajukm untukmemenuhi salah satu persyaratan mernperole*r Sata

I

di Universitas Islam Negeri

rutrlD Syarif Hi&yatullah

Jalmfia-2. Semua sumber

yailg saya gunakan dalam penulisan

ini

telah saya cantumkan sesuai dmgam kctemtrmr yang berlaku

di

Univssitas Islam Negeri (tlIN) Sy&rifHiday&tufiah Jakarta

3. Jika dikenuntian

bri

tefulkti balmna karya ini bukan hasil l$rya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dad karya oraag lair1 maka saya bersedia menerima sanksi

yag

berlaku di Universit*s Ishur Negeri (tm.Q Syarif


(5)

i ABSTRAK

MUHAMMAD IZUL, NIM. 1111045100003. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PECANDU NARKOTIKA MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (UNDANG UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA). Program Studi Jinayah Siyasah Jurusan Hukum Pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2016 M/ 1347 H

Skripsi ini bertujuan mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana menurut hukum positif dan hukum Islam (analisa undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika).

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library reaserch yaitu melakukan pengkajian terhadap hukum pidana positif dan pidan Islam dengan menganalisa peundang-undangan tentang narkotika dan dalam skripsi ini mengacu kepada buku-buku, jurnal, tulisan-tulisan yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini.

Hasil penelitian ini mengatakan bahwa, pertanggungjawaban pidana menurut hukum positif dan hukum Islam terhadap pecandu narkotika, masih terkonsentrasi dengan pendekatan sistem hukum pidana. Menurut sisitem pemidanaan, baik pidana positif maupun pidana Islam, pecandu narkotika dipandang sebagai pelaku jahat yang sama kedudukan hukumnya dengan kejahatan lain. Menurut sistem hukum pidana, pecandu narkotika dianggap sebagai pelanggar hukum pidana, sanksinya adalah pinjara, sementara hukum Islam, juga memandang pecandu narkotika mendapat 80 atau 40 kali cambukan. Padahal, pecandu narkotika adalah orang yang terlanjur menjadi korban akibat perbuatannya sendiri (self victimizing victims) yang perbuatan pelanggaran hukumnya tidak merugikan orang lain kecuali dirinya sendiri. Karena melihat pecandu dianggap sebagai kategori korban, maka terbitlah undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika bertujuan membedakan anatara pemidanaan kejahatan sebagai kategori jahat yang merugikan pihak lain dengan pecandu narkotika yang harus dibantu agar normal dan sehat secara pisik dan psikisnya. Oleh karena itu, pendekatan yang baik dilakukan adalah bahwa pecandu narkotika tidak harus mendapat sanksi pinjara, tapi pelakunya didorong mendapatkan sangsi rehabilitasi sebagai perwujudan pemulihan. Terobosan hukum dengan memberi rehabilitasi bagi pecandu narkotika harus didiorong dan mendapat empati dari masyarakat dan khususnya umat Islam.

Kata kunci : Pertanggungjawaban pidana, Hukum Islam, Pecandu Narkotika Pembimbing : Amrizal Siagian. S.Hum., M.Si


(6)

ii

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Yang selalu menganugrahi nikmat dan karunia yang tiada terkira, sholawat dan salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya sampai akhir zaman.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ungkapan kebahagiaan dengan penuh rasa syukur dengan terlaksananya penyusunan skripsi sebagai tanda lulus dan selesainya masa studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Dalam penyusunan skripsi ini, banyak ditemui halangan dan hal-hal lain yang menggangu fokus penulis, namun dengan kesungguhan hati dan dorongan motivasi yang tak terbatas dalam diri dan dari lingkungan sekitar penulis, segala dapat dilalui. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. Selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

iii

4. Bapak Nur Rohim, LLM. Selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak H. Qosim Arsyadani, MA. Selaku Dosen Penasihat Akademik atas nasihat dan arahanya.

6. Bapak Amrizal Siagian S.Hum, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan waktu , bimbingan, arahan, motivasi, dan semangat dalam penyusunan ini.

7. Seluruh Dosen dan Staf Jinayah Siyasah, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan selalu bermanfaat bagi penulis dan menjadi keberkahan dimasa yang akan datang.

8. Teristimewa untuk Bapak dan Ibu tercinta, Bapak H.Baginda Mangamar dan Ibu Hj.Mahinar Sagala yang selalu mencurahkan kasih sayang tak terhingga, serta dukungan moril dan materil serta doa kepada penulis.

9. Teman-teman seperjuangan Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Pidana Islam angkatan 2011 yang telah memberikan semangat dan motivasi selama menjalani perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Kepada Keluarga Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang selalu memberikan support untuk penyelesaian penulisan skripsi.

11. Kepada Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Labuhanbatu (HIMLAB RAYA JAKARTA) yang telah memberikan support untuk penyelesaian penulisan skripsi.


(8)

iv

Semoga Allah SWT memberikan balasan terindah, dan keberkahan-Nya selalu menyertai kita. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis meminta kritik dan saran yang membangun demi adanya perbaikan dalam penulisan dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, 24 September 2016

Penulis Muhammad Izul


(9)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Metode Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NARKOTIKA A. Telisik Deskripsi Tentang Narkotika ... 14

B. Pecandu Narkotika Sebagai Tingkah Laku Menyimpang ... 22

C. Sebab Dan Akibat Memakai Narkotika ... 26

D. Pecandu Narkotika Sebagai Korban ... 28

E. Fenomena Kehidupan Pelaku Memakai Narkotika ... 30


(10)

vi

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PECANDU NARKOTIKA

DALAM SISTEM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. Kedudukan Narkotika Dalam Perundangan- Undangan Negara

Indonesia ... 40

B. Aturan Pertanggungjawaban Pidana ... 44

C. Prinsip Hukum Pidana ... 48

D. Pertanggungjawaban Hukum Pidana suatu Keniscayaan ... 50

E. Lingkup Pertanggungjawaban pidana Pecandu Narkotika Menurut UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika... 52

F. Pertanggungjawaban Pidana pecandu Narkotika Menurut Hukum Islam ... 57

BAB IV ANALISIS TEMUAN DATA A. Mempersoalkan Pelaksanaan Peraturan UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ... 65


(11)

vii

B. Inkonsistensi Pelaksanaan Peraturan UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ... 68

C. Mempersoalkan Praktek Pidana Islam Terhadap Pecandu Narkotika ... 70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 75 B. Saran-saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 79 LAMPIRAN


(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Narkotika merupakan ancaman serius bagi kelangsungan pembangunan manusia khususnya di Indonesia. Betapa tidak indikasi penyalahgunaan narkotika (sering juga disebut narkoba) di Indonesia saat ini bukan hanya terbatas pada kalangan tertentu saja, tetapi hampir disemua kalangan,

baik di tingkatan usia maupun jenis pekerjaan semua telah terkena efek penyalahgunaan narkoba. Dari anak usia sekolah dasar sampai pada orang tua yang berusia hampir lanjut, atau dari buruh kasar sampai pejabat pun terlibat penyalahgunaan narkoba.

Diakui, bahwa kejahatan narkoba adalah kategori kejahatan the drug trafficking industry yang merupakan bagian dari kelompok kegiatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional (Activities of Transnational Criminal Organization) di samping jenis kejahatan lainnya, seperti smuggling of illegal migrants, arms trafficking, trafficking in nuclear material, transnational criminal organizations and terorism, trafficking in body parts, theft and smuggling of vehicles, money loundring. 1

Dan sampai saat ini, kejahatan narkoba telah menjadi permasalahan global dan telah menjadi kejahatan lintas negara (transnational crime). Dan aparat hukum di banyak negara beranggapan, untuk memberantas peredaran

1


(13)

2

narkoba sangatlah sulit. Salah satu penyebab utamanya adalah karena peredaran narkoba dijalankan oleh kejahatan terorganisir (organized crime) yang melibatkan organisasi-organisasi kejahatan (crime organizations) yang telah mendunia. 2

Berdasarkan hasil survei nasional perkembangan penyalahgunaan narkoba tahun anggaran 2014 jumlah penyalahgunaan narkoba diperkirakan sebanyak 3,8 juta sampai 4,1 juta orang yang pernah memakai narkoba dalam setahun terakhir (current users) pada kelompok usia 10-59 tahun ditahun 2014 Indonesia jadi sekitar 1 dari 44 sampai 48 orang berusia 10 -59 tahun masih atau pernah memakai narkoba, angka tersebut terus meningkat dengan merujuk hasil penelitian yang dilakukan badan narkotika nasional (BNN) dengan Puslitkes UI dan diperkirakan jumlah pengguna narkoba mencapai 5,8 juta jiwa pada tahun 2015. 3

Berdasarkan hal tersebut guna meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika dibentuklah Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pembaharuan atas Undang Undang Nomor 22 Tahun 1997. Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahguna Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap narkotika. Dalam Undang-undang ini diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Narkotika.

2

Nitibaskara, Ronny. Rahman, Ketika Kejahatan Berdaulat Sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Jakarta, Peradaban, 2001. Hal, 9


(14)

Agar dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.

Semua jenis sanksi tadi penerapannya tergantung kondisi kasusnya. Terhadap pengguna narkoba yang baru sekali misalnya, selain harus diobati/direhabilitasi oleh negara secara gratis, mungkin cukup dijatuhi sanksi ringan. Jika berulang-ulang (pecandu) sanksinya bisa lebih berat. Dengan demikian, berbeda dengan hukum sekuler yang berlaku sekarang, dimana pengguna narkoba justru disamakan dengan orang sakit atau korban, yang harus diobati dengan cara yang khusus. Sehingga seolah-olah memberi pesan bahwa mengkonsumsi narkoba itu tidak melanggar hukum. Pantas saja orang tidak takut lagi mengkonsumsi narkoba, sebab merasa tidakakan terkena sanksi hukum.

Ancaman hukuman bagi pengedar narkoba sangat berat di Indonesia, tetapi mengapa para pengedar tersebut tidak merasa takut,dan bahkan warga negara asing sudah banyak yang ditangkap polisi karena berani membawa narkoba ke Indonesia. Sedangkan hukuman pengedar narkoba di Indonesia paling singkat 4 tahun dan maksimal hukuman mati. Kasus narkotika dengan pidana mati salah satu jenis pidana di Indonesia. berdasarkan catatan lembaga HAM Internasional, Indonesia merupakan negara yang masih menerapkan ancaman hukuman mati dalam sistem hukum pidananya. Hukum nasional Indonesia juga memiliki mekanisme pidana mati bagi pengedar narkoba dan


(15)

4

saat ini masih diakui sebagai bagian dari hukum pidana pada pasal 10 KUHP. Dalam KUHP terdapat dua pasal ancaman pidana mati yaitu pasal 104 dan 340.

Adapun terhadap pengedar tentu tidak layak dijatuhi sanksi hukum yang ringan atau diberi keringanan. Sebab selain melakukan kejahatan narkoba, mereka juga telah membahayakan masyarakat. Sementara untuk gembong narkoba (produsen atau pengedar besar) yang sangat membahayakan masyarakat, maka layak dijatuhi hukuman berat bahkan sampai hukuman mati. Dalam hal ini, vonis tidak bisa berubah. Artinya, jika vonis telah dijatuhkan, vonis ini harus segera dilaksanakan dan tidak boleh dikurangi atau bahkan dibatalkan seperti yang terjadi sekarang.

Sementara Meningkatnya jumlah pengkonsumsi narkoba di negeri ini, dan itu telah menjadi persoalan nasional, salah satunya ditengarai oleh penegakan undang-undang atau menegakan hukum atau kebijakan kriminal yang inkonsistensi, jika tidak disebut lemah. Indikasi itu dapat terlihat dengan mengacu kepada amanah undang-undang tentang narkoba, yaitu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (sebagai revisi atas UU No 5 dan 22 Tahun 1997 tentang Narkoba). Dalam undang-undang itu dijelaskan tentang pelaku-pelaku tindak pidana narkoba, mulai dari pengedar (ada pada Pasal 111-125),4 dan termasuk di dalamnya diatur tentang posisi pecandu

4

Pengedar adalah orang yang mealakukan kegiatan penyaluran dan penyerahan narkotika yang berorientasi kepada dimensi pejual, pembeli untuk diedarkan, mengangkut, menyimpan, menguasai, menyediakan, melakukan kegiatan mengekspor dan mengimpor narkotika.


(16)

narkoba. 5 Hak pecandu dalam undang-undang itu disebutkan, pada Pasal 54, wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sebab, pecandu

disebut kategori “korban” yaitu korban dari akibat perbuatannya sendiri atau pelaku sekaligus korban (self victimizing victim atau mutual victim). 6 Artinya, jika pecandu narkoba adalah korban berarti pemerintah wajib memberikan pelayanan medis dan rehabilitasi sesuai standar sebagaimana amanat undang-undang 2009 tentang narkotika. Pecandu harusnya mendapatkan treatment di pusat-pusat rehabilitasi atau sejenisnya dan bukan ditahan di dalam pemasyarakatan (penjara).

Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam konsep ta‟zir dan mukhalafat, vonis Qadhi itu jika telah ditetapkan, maka telah mengikat seluruh kaum Muslim. Oleh karena itu tidak boleh dibatalkan, dihapus, diubah, diringankan atau yang lain, selama vonis itu masih berada dalam koridor syariah. Sebab hukum itu ketika sudah ditetapkan oleh Qadhi, maka tidak bisa dibatalkan sama sekali. Pemaafan atau remisi adalah bentuk dari

pembatalan vonis (baik sebagian atau total) dan itu tidak boleh”. Adapun dari sisi waktu eksekusinya, maka pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan itu harus dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama setelah dijatuhkan vonis. Selain itu, pelaksanaannya pun hendaknya diketahui atau bahkan disaksikan oleh

5

Pecandu adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintesis maupun semi sentesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam unang-undang narkotika.

6

Mustofa, Muhammad. Kriminologi, Kajian Sosiologis Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. (Depok: Fisip UI Press, 2007), hal, 41


(17)

6

masyarakat. 7Sehingga, masyarakat paham bahwa itu adalah sanksi kejahatan tersebut dan merasa ngeri. Dengan begitu setiap orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan serupa, dan sanksi yang diterapkan bisa memberi efek jera.

Narkoba pada dasarnya adalah sesuatu hal yang dilarang oleh agama. Namun kenyataannya masih banyak warga Negara di Indonesia yang melakukan penyalahgunaan narkoba di negeri yang mayoritas Muslim. Hal ini sangat memprihatinkan, sehingga pemerintah sendiri menyebut Indonesia sudah mengalami darurat narkoba. Dari tahun ke tahun, jumlah kasus narkoba terus meningkat tanpa bisa dibendung.

Bahkan bisa dikatakan bahwa persoalan ini sudah menjadi ancaman tersendiri, khususnya bagi generasi kita di masa depan, karena narkoba bukan hanya membunuh individu-individu, tapi membunuh satu generasi.

Oleh karenanya Penulis tertarik menulis skripsi dengan judul

“Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pecandu Narkoba Menurut

Hukum Islam dan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembatasan Masalah

Kejahatan narkoba yang melanda negeri ini, termasuk di dalamnya pecandu narkoba yang diperkirakan berjumlah lebih dari 5,1 juta jiwa telah dianggap menjadi permasalahan serius dan dianggap menjadi ancaman bagi

7

Syaikh Abdurrahman al-Maliki, Kitab Nizhâm al-„Uqûbât, (Darul Ummah, cet. ii. 1990) h. 110.


(18)

kehidupan berbangsa dan bernegara yang berpotensi merusak kestabilan politik, sosial, ekonomi dan pertahanan yang menghambat laju pembangunan bangsa. Disadari bahwa persoalan narkoba dapat merusak berbagai sendi kehidupan bernegara, maka berbagai produk kebijakan politik hukum (termasuksanksi pinjara) dilakukan untuk dapat mencegah (preventif), menghukum (represif), dan pengobatan (kuratif). Kebijakan kriminal itu tertuang melalui terbitnya undang-undang tentang narkoba Nomor 35 tahun 2009 (revisi dari UU No 5 dan 22 tahun 1997 tentang narkoba). Dan ditambah kebijakan berupa Peraturan Pemerintah. Terkait dengan pecandu narkoba, meskipun agama Islam secara tegas melarang dan mengkategorikan narkoba termasuk barang yang haram jika tidak sesuai dengan peruntukannya.

Dan secara regulasi, pemerintah Indonesia menerbitkan undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika tadi telah mendorong pemerintah agar memperlakukan khusus bagi pecandu narkoba agar mendapatkan saksi rehabilitasi baik medis dan sosial sebagaimana terdapat pada Pasal 54, bahwa pecandu narkoba wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dengan arti lain, pecandu bukan di tempatkan pada lembaga pemasyarakatan atau sanksi pinjara. Oleh karena itu, ketersediaan terhadap fasilitas rehabilitasi medis dan sosial itu adalah suatu keharusan dari pemerintah untuk korban pecandu narkoba. Jika korban narkoba berjumlah 5,1 juta orang atau diperkirakan jumlahnya lebih dari itu, setidaknya jumlah ketersedian fasilitasnya mampu menampung korban-korban pecandu narkoba tadi. Mengacu dari jumlah 5,1 juta itu tadi, akanlah menjadi persoalan pula jika


(19)

8

keberadaan fasilitasnya masih sangat kurang. Dengan arti lain, bahwa sanksi pinjara bagi pecandu narkoba tidak efektif untuk mengurangi jumlah pecandu narkoba, bahkan terlihat sebaliknya, bahwa penghuni penjara lebih banyak didiami oleh narapidan tersangkut kasus narkoba, khusus pecandu narkoba.

Selanjutnya, agar dalam pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secarasis tematis pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis uraikan tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan dan pembatasan masalah. Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam skripsi ini penulis membatasinya dengan pembahasan mengenai pembatasan “Pertanggungjawaban Sanksi Pidana Penjara Terhadap Pecandu Narkoba (Analisa Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika)”

1. Perumusan Masalah

a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pecandu narkotika menurut sistem hukum pidana?

b. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pecandu narkotika dalam hukum Islam?

c. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan

Secara pokok penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan penelitian tadi, yaitu melihat :


(20)

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pecandu narkotika. b. Untuk mengetahui hukum pecandu narkotika menurut hukum Islam. c. Untuk mengetahui pecandu narkotika menurut Undang- undang

Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara akademis, manfaat penelitian ini akan dapat memberi kontribusi terhadap model pelaksanaan hukum pidana, sebagai bentuk pertanggungjawaban pecandu narkotika.

b. Secara teoritik, bahwa model penghukuman dengan pemenjaraan khususnya mekanisme sitem penghukuman pemenjaraan bagi pecandu narkotika bukanlah satu- satunya model. Artinya perlu menggali atau mencari terobosan baru terhadap model penghukuman yang sesuai dengan pecadu yang saat ini model yang dipilih dengan merehabilitasi pecandu narkotika.

c. Manfaat lain dari penelitian ini adalah diharapkan menjadi bahan masukan bagi kalangan termasuk para pembuat dan pengambil kebijakan masyarakat, para keluarga pecandu dan khususnya bagi pecandu narkoba.

D. Tinjauan Pustaka

Untuk menghindari kesamaan terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya, maka penyusun mengadakan tinjauan (review) kajian terdahulu terhadap penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya agar tidak terjadi plagiasi atau penjiplakan di antaranya sebagai berikut.


(21)

10

1. Skripsi Maskuri Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif hidayatullah Jakarta, “Pembebasan bersyarat sebagai upaya pembinaan narapida dalam perspektif hukum positif dan hukum Islam” pada penelitian ini dijelaskan bagaimana pembebasan bersyarat bagi narapidana sebagai hak warga binaan dalam pandangan hukum pidana Islam dan hukum positif di Lembaga Pemasyarakatan.

2. Skripsi Lukman Marsudi Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum

UIN syarif hidayatullah Jarkata,“Pengaturan dan Pelaksaan Hak-hak Narapidana di Lembaga Pemasyarakatran Cipinang (Kajian Hukum

Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam)” perbedaan pada penelitian

skripsi ini terletak pada Subjek yang dituju, skripsi tersebut sasarannya lebih kepada kebijakan pengaturan dan pelaksanaan Hak-hak Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.

3. Skripsi Asharyanto Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif hidayatullah Jakarta,”Pidana bersyarat menurut hukum pidana

dan KUHP” Skipsi ini membahas bagaimana prosedur pidana

bersyarat bagi narapidana menurut hukum pidana dan KUHP.

Dari review skripsi terdahulu, penulis belum menemukan skripsi membahas khusus mengenai materi yang terkandung secara menyeluruh sebagaiman tema yang hendak diteliti penulis yaitu Pertanggungjawaban Sanksi Pidana Penjara Terhadap Pecandu Narkoba (Analisa Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.


(22)

E.Metode Penelitian

Untuk memperoleh data dan penjelasan segala sesuatu yang berhubungan dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian yang disebut metodologi penelitian, yang dimaksud dengan metodologi penelitian adalah cara meluluskan sesuatu dengan menggunakan pikiran sesama untuk mencapai suatu tujuan. 8Metode adalah pedoman cara seseorang ilmuan mempelajari dan memahami langkah-langkah yang dihadapi. 9Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan suatu sistematika, metodologi ilmiah dengan tujuan untuk memperoleh sesuatu yang baru atau asli dalam usaha memecahkan suatu masalah yang setiap saat dapat timbul di masyarakat.10 Dalam penelitian skripsi ini penulis melakukan satu jenis penelitian, yaitu penelitian pustaka (Library Research) .

1. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan satu jenis sumber data, yaitu data Sekunder, merupakan data yang diperoleh melalui studi pustaka yang bertujuan untuk memperoleh landasan teori yang bersumber dari, buku-buku, hasil penelitian, jurnal-jurnal, tulisan-tulisan dari internet, dan lainnya yang berkenaan dengan sanksi bagi pelaku tindak pidana penyalahguna dan pengedar narkoba.

8

Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Metodologi penelitian, ( Jakarta : Bumi pustaka, 1997), h. 1

9

Soekanto Soerjono, pengantar penelitian hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia press, 1986), h. 6.

10

Rumidi Sukandar, Metodologi penelitian,( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), h. 111.


(23)

12

2. Teknik Analisis Data.

Dalam penelitian ini teknik menganalisa data, penulis menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu suatu teknik analisis data dimana penulis menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil studi pustaka.

3. Teknik penulisan

Dalam hal teknis penulisan,penulis mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan ini lebih sistematik dan lebih terarah. Maka penulis akan menjelaskan sistematika penulisan dalam skripsi ini. Pada dasarnya skripsi ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan, yaitu.

Bab satu terkait tentang pendahuluan yaitu, latar belakang, identifikasi masalah dan Perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, Studi Tinjauan (Review) dan Kajian Terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab kedua adalah telisik narkotika secara umum, mencakup narkotika dan turunannya, kedudukan narkotika menurut hukum Islam, pecandu narkotika sebagai tingkah laku menyimpang, pecandu narkotika sebagai tindakan pelanggar hukum, sebab dan akibat pecandu narkotika, fenomena kehidupan


(24)

perdaran narkotika tingkat global, perdaran narkotika tingkat nasional, dan narkotika di kalangan pecandu narkotika.

Pada Bab ketiga, membahas tentangpertanggungjawaban pidana pecandu narkotika dalam sistem hukum postif dan hukum pidana Islam, kedudukan pecandu narkotika dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkoba, kedudukan pecandu narkotika dalam hukum Islam, sistem peminjaraan menurut hukum positif dan hukum Islam,

Pada Bab keempat adalah analisa atas temuan data, yaitu mempersoalkan pelaksanaan peraturan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mempersoalkan pelaksanaan peminjaraan bagi pecandu n narkotika, terobosan alternatif bagi pecandu narkotika selain hukuman pinjara dalam hukum positif dan hukum Islam.

Pada Bab kelima adalah bab penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran.


(25)

14

BAB II

TELISIK NARKOTIKA SECARA UMUM

A. Telisik Deskripsi Tentang Narkoba

Berbagai istilah terminologi sering digunakan, dan tidak jarang menimbulkan salah pengertian, tidak saja di kalangan pelaku medis tapi juga kalangan masyarakat secara umum. Istilah asing seperti Drugs Abuse

diterjemahkan sebagai Penyalahgunaan Obat, dan Drug Dependence

diterjemahkan sebagai Ketergantungan Obat. Kata obat dalam kedua istilah tersebut dimaksudkan sebagai zat atau bahan narkotika dan lainnya yang sejenis atau yang berdampak negatif bagi kesehatan manusia. Menurut Hawari, pengertian Obat disini bukan untuk pengobatan dalam dunia kedokteran, sedangkan untuk pengobatan istilah yang tepat adalah medicine

bukan drug. Untuk mengilangkan kerancuan tersebut, menurutnya, istilah yang lebih tepat adalah Substance Abuse yang diterjemahkan sebagai Penyalahgunaan Zat. 11

Sejak tahun 1987 kalangan medis mengganti istilah drug dengan

substance (DSM) dengan mengacu kepada terminologi internasional yaitu

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (International Classified of Disseases). Untuk Indonesianya Substances di istilahkan dengan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif ).

11

Dadang Hawari, Penyalahgunaan & Ketergantungan NAZA, ( FKUI, Jakarta, 2002: xviii), h. 1.


(26)

Selain istilah yang berasal dari terjemahan asing dikalangan awam dikenal istilah Narkoba yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Obat Berbahaya, dan istilah Napza adalah singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Sementara Dadang Hawari lebih memakai istilah NAZA. Istilah NAZA merupakan singkatan dari Narkotika, Alkohol & Zat Adiktif.

Sementara dalam ketentuan hukumnya, kategori ketentuan narkotika itu termaktub dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-undang narkotika tadi memberikan pengertian mengenai narkotika yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Berikut kejelasan istilah Narkoba:

a) Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Golongan ini memiliki daya adiksi yang sangat berat dan juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual yang sangat tinggi. Jenis-jenisnya antara lain ganja, hasis, koka, opium.


(27)

16

b) Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun sintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf otak pusat yang meneyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku. Jenis-jenisnya antara lain MDMA, ekstasi, LSD, STP, amfetamin, metamfetamin, metakulon, lumibal, fleenitrazepam, nitrazepam (pil BK, mogadon, dumolid), diazepam dan lain-lain.

c) Bahan-Bahan Adiktif lainnya adalah zat selain narkotika dan psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan. Seperti rokok, alkohol, thinner dan lain-lain.

Berbagai jenis narkoba mudah ditemui dan banyak beredar di tengah-tengah masyarakat, bahkan dengan mudah didapatkan. Hal itu terjadi karena tersedianya barang-barang narkoba. Tentunya, karena dibutuhkan dalam berbagai kebutuhan, untuk kepentingan kesehatan misalnya, keperluan industri, atau keperluan dalam dunia ilmu pengetahuan. Adalah akan menjadi masalah, apabila barang narkoba diperuntukkan tidak dalam keperluan tadi, yaitu dikonsumsi secara legal, diperdagangkan secara gelap. Karena zat-zat narkoba, sebagai telah disebutkan tadi, di satu sisi dibutuhkan manusia, tapi di sisi lain akan berdampak negatif bagi manusia. Mengingat itulah, maka Undang-undang narkoba diterbitkan, yaitu untuk mengatur kebutuhan dan bentuk-bentuk pelanggarannya.

Saat ini, Undang-undang yang mengatur kepentingan itu tertuang dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika. UU itu hasil revisi dari UU


(28)

sebelumnya, yaitu UU No. 22 tahun 1997. Dalam UU itu diatur, disebutkan jenis-jenis narkoba dan turunannya serta sanksi-sanksi pidananya.

Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab UU Narkoba, secara umum, keberadaan narkoba (narkotika dan psikotropika) dapat mendukung pelayanan kesehatan, dan juga memegang peranan yang penting. Di samping itu narkoba juga digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan meliputi penelitian, pengembangan, pendidikan, dan pengajaran sehingga ketersediaanya perlu dijamin melalui kegiatan produksi dan impor.

Namun di sisi lain, narkoba dapat mengakibatkan sindrom ketergantungan apabila penggunanya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak saja merugikan bagi penyalahguna, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, sehingga hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara.

Oleh karena adanya beberapa kepentingan di atas, maka perlu diatur melalui per-undang-undangan yang disebut dengan Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. UU tahun 2009 tentang narkotika adalah hasil revisi dari UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Undang-undang narkoba itu mengatur tentang produksi, peredaran, penyaluran, penyerahan, ekspor dan impor, pengangkutan, transit,


(29)

18

pemeriksaan, label, dan iklan, prekursor, pembinaan dan pengawasan, pemusnahan peran serta masyarakat, penyidikan dan ketentuan pidana. 12

Dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan mempunyai cakupan yang luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang diperberat. Demikianlah kiranya pembuatan Undang-Undang No 5 dan No 22 Tahun 1997 tentang narkoba. Tujuan dan harapan Undang-Undang tersebut adalah untuk mengatur semua aspek penanggulangan permasalahan narkoba serta dapat mewujudkan pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, yang dilakukan melalui berbagai upaya kesehatan, di antaranya penyelenggaraan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Meskipun narkoba sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkoba secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahwa yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.

Masalah narkoba di Indonesia diharapkan dapat ditanggulangi dengan menjalankan suatu kebijakan hukum. Hukum menjadi dasar kebijakan dalam

12


(30)

rangka pembangunan negara yang menyeluruh sehingga sekaligus dapat menanggulangi penyalahgunaan narkoba. Hukum juga diberi fungsi sebagai mekanisme operasional dalam upaya merubah kondisi masyarakat melalui pemerataan kesejahteraan, sebab dalam hukum melekat sifat keadilan.

Adapun jenis-jenis narkoba (narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif) yang termasuk dalam UU adalah:

1. Narkotika Alami

a) Ganja adalah tanaman perdu dengan daun menyerupai daun singkong yang tepinya bergerigi dan berbulu halus. Jumlah jarinya selalu ganjil, yaitu 5, 7, atau 9. Tumbuhan ini banyak tumbuh diberbagai daerah di Indonesia, seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Pulau Sumatera pada umumnya,serta tumbuh pula di pulau Jawa, cara penyalahgunaannya adalah dikeringkan dan dicampur dengan tembakau rokok lalu dibakar dan dihisap.

b) Hasis adalah berasal dari tanaman serupa sejenis pohon ganja. Hasis lebih banyak tumbuh di Amerika Latin dan Eropa. Daun ganja, Hasis dan Mariyuana dapat disuling dan diambil sarinya. Dalam bentuk cair, harganya sangat mahal.

c) Koka adalah tanaman perdu mirip pohon kopi. Buahnya yang matang berwarna merah seperti biji kopi. Dalam tradisi masyarakat Indian kuno, biji koka sering dipergunakan untuk menambah kekuatan orang yang berperang atau memburu binatang. Koka kemudian diolah menjadi KOKAIN.


(31)

20

d) Opium adalah bunga dengan bentuk dan warna yang indah. Dari getah opium dihasilkan candu (opiat). Dulunya bangsa Mesir dan Cina sering dipergunakan untuk mengobati berbagai penyakit, memberi kekuatan, atau menghilangkan rasa sakit pada tentara yang terluka sewaktu berperang atau berburu.

2. Narkotika Semisintetis

Narkotika semisintetis adalah narkotika alami yang diolah dan diambil zat aktifnya (intisarinya) agar memiliki khasiat yang lebih kuat sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, terutama kepentingan medis. Termasuk dalam jenis ini adalah:

a) Morfin

Morfin dipakai dalam dunia kedokteran untuk menahan rasa sakit atau pembiusan saat operasi.

b) Kodein

Kodein dipakai untuk penghilang batuk. c) Heroin

Heroin belum dipakai dalam pengobatan karena daya aktifnya sangat besar dan manfaatnya secara medis belum ditemukan. Dalam perdagangan gelap narkotika, Heroin diberi nama Putaw, atau PeTe. Bentuknya seperti tepung terigu: halus, putih, dan agak kotor.

d) Kokain


(32)

e) Narkotika Sintetis

Narkotika sintetis adalah narkoba palsu yang terbuat dari bahan kimia. Narkotika jenis ini, dipergunakan untuk pembiusan dan pengobatan bagi orang yang menderita ketergantungan narkoba (substitusi). Contohnya: Petidin, Methadon, dan Naltrexon.

f) Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat bukan bukan narkotika, baik alamiah maupun sentetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku. 13 Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh para medis untuk mengobati pasien gangguan jiwa. kategori Psikotropika ini, dikelompokkan dalam beberapa golongan. Golongan I: MDMA, ekstasi, LSD, dan STP. Golongan II: amfetamin, metamfetamin, metakolon. Golongan III: lumibal, buprenorsina, fleenitrazepam. Golongan IV: nitrazepam (pil BK, mogadon, dan dumolid), diazepam, dan termasuk kelompok depresan, stimulan atau anti tidur, dan kelompok halusinogen seperti tanaman kaktus, kecubung, dan jamur tertentu.

g) Bahan Adiktif Lainnya

Bahan adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan. Seperti

13

. Subagyo Partodiharjo, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyelahgunanya, Jakarta, Erlangga, h, 15-17.


(33)

22

rokok, alkohol dan minuman lain yang menimbulkan ketagihan,

Thinner dan zat lain, seperti lem kayu atau lem Aibon yang dapat memabukkan ketika dihirup.

B. Pecandu Narkotika Sebagai Tingkah Laku Menyimpang

Dilihat dari persepektif ilmu kriminologi, mengkonsumsi narkotika dapat dikategorikan perilaku menyimpang dan sampai ketingkat pelanggaran hukum dan disebut menyimpang karena masyarakat mencela dan masyarakat memberi kecaman sebagai tindakan yang tidak bermoral. 14 Dikategorikan melanggar hukum, karena hal itu diatur dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika dan ada sanksi pidananya.

DalamUndang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika, memberikan pengertian mengenai pecandu narkotika yaitu orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis.

Dalam sejarah budaya Indonesia, narkotika sudah dikenal sejak lama, bahkan dahulunya Indonesia (nusantara) dikenal sebagai pengekspor narkoba dan menjadikannya sebagai komuditas utama (dahulu disebut opium) yaitu pada masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) ketika berkuasa di tanah Jawa.

Mengkonsumsi opium dianggap sebagian masyarakat kala itu dapat mengembalikan vitalitas, membangkitkan gairah seksual dan membangkitkan

14

Mustofa, Mohammad, Kriminologi: Kajian Sosiologi terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum,( 2007, Depok: Fisip UI), h. 76.


(34)

eforia, hal itu disebut-sebut dalam kesustraan Jawa abad kesembilan belas Suluk Gatoloco (Kisah Gatoloco). Namun, pemakaian dan penyebaran opium mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat Muslim dan orang-orang Jawa yang menjunjung etika tradisional Jawa, sebab, menurut kelompok ini mengisap opium adalah hal-hal yang tidak boleh dilakukan, di samping mencuri, melacur, minum-minuman keras atau mabuk, dan berjudi. 15

Penyalahgunaan narkotika adalah termasuk kategori penyimpangan. Dikatakan penyimpangan bahwa pelaku memakai obat (drugs) secara terus menerus atau sekali-sekali secara berlebihan, serta tidak menurut petunjuk dokter. Arnold dan Brugardt (1983) mengatakan,16bahwa penyalahgunaan narkoba adalah dipandang sebagai penyimpangan, karena masyarakat melihatnya sebagai tindakan yang tidak bernilai, tidak disukai dan berbahaya, sehingga menimbulkan celaan sosial.

Menurut Becker (1963) bahwa perilaku menyimpang adalah perilaku melanggar aturan yang sederhana yang dilabel menyimpang oleh orang yang memiliki kekuasaan. Aturan-aturan merupakan refleksi dari norma sosial tertentu yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat. Anggota masyarakat yang membuat aturan dapat melabel pelanggaran (perilaku menyimpang tergantung pada derajad waktu). Mereka yang dianggap menyalahgunakan narkotika adalah mereka yang menggunakan zat-zat tersebut bukan untuk tujuan

15

James R. Rush, Opium to Java: Jawa dalam Cengkraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860-1910,(Mata Bangsa, Yogyakarta, 2000), h, 75.

16


(35)

24

mengobati, tetapi digunakan untuk mencari dan mencapai “kesadaran tertentu” karena pengaruh obat pada jiwa.

Sementara Lemert (1951),17 mengatakan bahwa ditemui ada beberapa penyimpangan yang mungkin dilakukan seseorang. Pertama disebut dengan penyimpangan primer (primary deviance). Pada tahap ini seseorang melakukan penyimpangan walaupun ia masih berperan dan mempunyai status secara normal. Ia tidak mempunyai konsep diri dan konsep peran sebagai penyimpang. Jika penyimpangan yang dilakukannya secara materi tidak membuat konsep diri dan memberikan peran penyimpang pada orang tersebut, maka ia tetap dalam penyimpangan primer.

Kedua penyimpangan sekunder (secondary deviance) dapat berkembang saat peran penyimpang dilakukan melalui keterlibatan lebih jauh di dalam suatu subkebudayaan menyimpang dengan lebih banyak interaksi dengan penyimpang lainnya. Misalnya, seorang pengguna narkotika akan lebih sering berkumpul dengan sesama pengguna narkotika lainnya guna memperoleh dukungan sosial dan suplai narkoba. Penyimpangan sekunder mendapat peran penyimpang dengan partisipasinya yang lebih banyak dalam suatu subkebudayaan, tambahan pengetahuan dan rasionalisasi untuk perilakunya serta cara-cara untuk menghindari pemantauan dan sanksi penegak hukum.

Untuk mengukur menyimpang atau tidaknya seseorang bisa diukur dari batasan-batasan norma dan perkembangan budaya masyarakatnya.

17


(36)

Masyarakat Indonesia yang masih mempertahankan agama dan adat istiadatnya sebagai batasan bersikap, akan merasa asing dengan perilaku seperti homoseksual, lesbian, pelacuran maupun pecandu narkotika.

Penolakan masyarakat terhadap perilaku menyimpang itu dapat dirasakan oleh kelompok masyarakat yang melakoni perbuatannya dengan wujud tidak diakuinya komunitas itu oleh kelompok mayoritas yang berbeda. Bahkan acapkali sebagian masyarakat memandang mereka dianggap aib atau cela.

Mustofa mengatakan bahwa tingkah laku menyimpang atau pola tingkah laku yang tidak mengikuti atau tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma-norma-norma tersebut tidak hanya yang dirumuskan secara formal dalam hukum atau undang-undang tetapi juga yang hidup dalam masyarakat walaupun tidak dicantumkan dalam hukum atau undang-undang suatu negara. 18

Berkenaan dengan penyalahgunaan narkotika Clinard dan Meier (1989) mengatakan bahwa penggunaan obat-obatan tertentu itu menyimpang atau tidak tergantung pada norma yang juga diciptakan secara sosial. Norma dapat berubah sesuai berlangsungnya waktu sehingga penggunaan obat-obatan di suatu waktu dapat dianggap menyimpang namun di lain waktu dianggap tidak menyimpang.

18

Mustofa, Muhammad, Metodologi Penelitian Kriminologi,( Fisip UI Press, Depok, 2005), h, 6


(37)

26

C. Sebab dan Akibat Memakai Narkotika

Mengkonsumsi narkotika akan berdampak negatif ke dalam berbagai hal, termasuk bagi kesehatan individu si pemakai baik kesehatan secara pisik maupun psikis. Akibat pemakaian narkotika akan menimbulkan dampak yang bermacam-macam.

Di antara efek narkoba adalah mendorong rangsangan terhadap tubuh, atau sering juga disebut Stimulan atau ”upper”. Yaitu, merangsang dan memacu kerja otak dan meningkatkan aktivitas tubuh. Penggunanya akan merasakan suatu kegembiraan yang amat sangat, dan aktivitas meningkat. Narkoba yang menimbulkan perasaan seperti tadi adalah Kokain, ATS (Amfetamin, Metafetamin, sabu dan MDMA atau ekstasi)

Dadang Hawari mengatakan, bahwa pelaku mengkonsumsi narkotika akan mengalami gangguan mental dan perilaku, sebagai akibat terganggunya sistem neorotransmitter pada sel-sel susunan saraf otak. Gangguan trans-mitter tadi mengakibatkan terganggunya fungsi koknitif (alam pikiran), efektif (alam perasaan atau mood, atau emosi) dan psikomotor (perilaku). 19 Menurut Hawari, setidaknya ada tiga pendekatan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyalahgunaan narkoba Orgaobiologik, Psikodinamik, dan Psikososial.

Pertama, pendekatan Organobiologik. Dari perspektif Organobiologik (susunan saraf pusat atau otak bahwa) mekanisme terjadinya ketagihan hingga dependensi (ketergantungan) narkoba, ditandai dengan munculnya gangguan

19

Dadang Hawari, Penyalahgunaan & Ketergantungan NAZA. (Jakarta, FKUI, 2002), h, 37


(38)

Mental Organik atau Sindrom Otak. Yaitu kegelisahan dan kekacauan dalam fungsi kognitif (alam pikiran), afektif (emosi), dan psikomotor (perilaku) yang disebabkan narkoba.

Menurut A. Wikler, seseorang akan menjadi ketergantungan terhadap narkoba apabila dia terus-menerus mengkonsumsi narkoba. Tubuh akan dapat beradaptasi dengan menambah jumlah reseptor dan sel-sel saraf akan bekerja keras. Jika narkoba dihentikan seketika, sel yang bekerja keras tadi akan mengalami keausan, atau juga sering disebut putus zat atau putus narkoba. Sehingga memaksa seseorang untuk mengulangi memakai narkoba.

Jika narkoba dikonsumsi dengan cara ditelan, diminum, dihisap, dihirup, dihidu, dan melalui suntikan, maka narkoba melalui peredaran darah akan sampai pada susunan saraf pusat (otak) yang mengganggu sistem neoro-transmitter sel-sel saraf otak. Dan akibat gangguan neoro-transmitter tadi akan mengganggu mental dan perilaku si pemakai.

Kedua, Psikodinamik. Pendekatan ini menjelaskan bahwa seseorang akan terlibat penyalahgunaan narkoba dan sampai kepada ketergantungan narkoba, apabila pada orang itu sudah ada faktor predisposisi yaitu faktor yang membuat seseorang cenderung menyalahgunakan narkoba. Selain faktor predisposisi, ada juga faktor kontribusi dan faktor pencetus.

Faktor predisposisi adalah gangguan kejiwaan atau gangguan kepribadian (antisosial), rasa kecemasan atau depresi yang dialami seseorang. Sedangkan faktor kontribusi adalah kondisi keluarga yang tidak harmonis termasuk di dalamnya keluarga yang broken home atau keluarga tidak utuh, kesibukan


(39)

28

orang tua, dan hubungan interpersonal antar keluarga. Dan faktor pencetus adalah pengaruh teman kelompok sebaya (peer group), dan juga mudahnya narkoba diperoleh.

Dengan bertemunya tiga hal tadi yaitu predisposisi, kontribusi, dan faktor pencetus akan mengakibatkan seseorang mempunyai resiko jauh lebih besar terlibat penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika.

Ketiga, diakui bahwa penyalahgunaan narkotika adalah bentuk perilaku yang menyimpang. Menurut perspektif psikososial bahwa seseorang menjadi berperilaku menyimpang akibat dari pengaruh tiga kutub sosial yang tidak kondusif. Yaitu kutub keluarga, sekolah atau kampus dan kutub masyarakat.

Seorang anak atau remaja tidak dapat lepas dari tiga kutub itu, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakatnya (lingkungannya). Bila kutub keluarga atau sekolah dan masyarakat tidak kondusif, dimana ketiga kutub itu saling mempengaruhi kehidupan mereka, maka sebagai hasil interaksi ketiga kutub tersebut resiko perilaku menyimpang akan jauh lebih besar yang pada gilirannya akan berakibat menyalahgunakan narkoba.

D. Pecandu Narkotika Sebagai ”Korban”

Anggapan bahwa pecandu narkotika adalah sebagai kategori korban atau pelaku pelanggar hukum masih diperdebatkan oleh kalangan ilmuan sosial dan pihak pembuat hukum. Indikasi perdebatan itu terlihat dari bentuk isi undang tentang narkotika yang diterbitkan pemerintah, khususnya undang-undang nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Satu sisi, undang-undang-undang-undang


(40)

tadi pecandu narkotika adalah pelanggar hukum yang mendapatkan sanksi, khususnya sanksi pinjara, namun pada sisi lain, pecandu narkotika diperbolehkan mendapat rehabilitasi medis dan sosial. Penentuan bentuk sanksi rehabilitasi tadi berdasarkan atas kondisi pelaku yang dianggap sebagai pelaku sekaligus menjadi korban (self victimizing victims). karena pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri. Pecandu narkotika digolongkan sebagai korban karena akibat dari perbuatannya yang mengkonsumsi narkotika tersebut langsung berdampak terhadap dirinya sendiri dan tidak merugikan orang lain yang tidak menggunakan narkotka tersebut.

Dalam studi-studi viktimologi, pelaku pecandu narkotika dapat dikategorikan dalam kategori berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu:

a. Unrelated victims , yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku.

b. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban.

c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.

d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.

e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.


(41)

30

f. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. 20

Lebih jauh, ahli kriminologi Thorsten Sellin dan M. E. Wolfgang mengkaji secara rinci tentang tipologi korban. Menurut mereka, tipologi korban dikategorikan sebagai berikut:

1. Primary victimization (yaitu korban individual atau perorangan). 2. Secondary victimization (korban berupa kelompok).

3. Tertiary victimization (seperti masyarakat).

4. Mutual victimization (menjadi korban sekaligus menjadi pelaku. Seperti, pelacur, pengguna narkoba).

5. No victimization (korban tidak dapat segera diketahui. Misalnya korban penipuan).

Kategori korban menurut rumusan Sellin dan Wolfgang dikembangkan juga oleh Ezzat Abdel Fattah berdasarkan peran korban, yaitu, a) non

participating victim. b) laten or predisposed victims. c) procative victims. d)

false victims. 21

E. Fenomena Kehidupan Pelaku Memakai Narkotika

Beberapa faktor atau alasan mengapa pelaku (termasuk anak-anak dan remaja) itu terlibat dengan narkotika, karena penyalahgunaan narkotika terjadi akibat interaksi dari setidaknya tiga faktor yaitu:

20

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,( PT. Raja Grafindo Persada, 2007), Jakarta, hlm. 49-50.

21 Mustofa, Muhammad, Kriminologi, Kajian Sosiologis Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. (Depok: Fisip UI Press, 2007), Hal, 41-42


(42)

individu, lingkungan, dan ketersediaan narkotika. Beberapa orang memang mempunyai risiko lebih besar untuk menggunakan narkoba karena sifat dan latar belakangnya, yang disebut faktor berisiko tinggi (high risk factor) dan faktor kontributif (contributing factor).

Penyalahgunaan narkotika pada umumnya dimulai dari perkenalannya terhadap rokok atau minuman beralkohol. Jika anak atau remaja telah terbiasa merokok, maka dengan sendirinya akan mudah beralih kepada ganja atau narkotika lain yang berbahaya bagi kesehatan. Hal ini terutama bagi anak laki-laki. Pada anak perempuan kebiasaan menggunakan obat penenang atau penghilang rasa nyeri atau njika mengalami stress memudahkannya beralih ke penggunaan narkotika lain.

Sekali ia menerima tawaran penggunaan narkotika, selanjutnya ia akan sulit menolak tawaran berikutnya, sehingga akhirnya menjadi kebiasaan yang menimbulkan ketagihan atau ketergantungan. 22

Pengguna narkoba umumnya berlangsung progresif, dari pemakaian kadang-kadang, pemakaian teratur, kemudian pemakaian berbagai jenis zat, sampai akhirnya mengalami ketergantungan kepada zat-zat tersebut.

Pada setiap tahapan, pemakaian-nya lebih intensif, lebih bervariasi, dan meningkatkan pengaruh yang merusak tubuh. Jika seorang pemakai masih dalam taraf pemula, ia lebih mudah untuk disembuhkan.

Namun, semakin sering menggunakannya, makin sulit bagi untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada narkotika.

22

Pramono U. Tanthowi, Narkoba: Problem dan Pemecahannya dalam Perspektif Islam,


(43)

32

Di Antara kelompok yang banyak mengkonsumsi narkotika adalah usia 20 sampai 29 tahun, yaitu berjumlah 1. 474.794. kemudian disusul usia 10 sampai 19 tahun berjumlah 800. 759 orang, dan usia 30-39 tahun sebanyak 641. 745 orang. Sementara pola terjadinya baik pada kelompok laki-laki maupun perempuan relatif sama. Diperkirakan ada satu dari 14 laki-laki dan satu dari 57 perempuan menjadi penyalahguna Narkoba di kelompok umur 20-29 tahun. Dan ditmukan pula dengan semakin bertambahnya umur, maka resiko menjadi penyalahguna Narkoba menjadi semakin kecil. Hal ini mungkin karena pada kelompok umur di atas 30 tahun mayoritas sudah berkeluarga sehingga semakin besar tanggung jawabnya terhadap keluarga dan bagi mereka yang penyalahguna Narkoba berkeinginan kuat untuk sembuh dari ketergantungan Narkotika.

Di samping itu, kelompok yang paling berperan memberi kontribusi terjadinya penyalahgunaan Narkoba adalah kelompok pekerja (70%) dan pelajar termasuk mahasiswa (22%).

Kelompok pekerja adalah kelompok yang berkontribusi tertinggi pada pekerja yang tidak kost. Tingginya penyalahgunaan di kelompok pekerja karena secara ekonomi memiliki kemampuan finansial, tekanan pekerjaan,

doping untuk meningkatkan stamina kerja, dan atau dari sejak awal (sebelum kerja) telah menjadi penyalahguna Narkoba


(44)

F. Kondisi Mendunia Terkait Produksi Narkotika

Permasalahan penyalahgunaan narkotika menjadi permasalahan global dan melampaui lintas negara (transnational crime).

Aparat hukum dibanyak negara beranggapan, untuk memberantas peredaran narkotika sangatlah sulit. Salah satu penyebab utamanya adalah karena peredaran narkotika dijalankan oleh kejahatan terorganisir (organized crime) yang melibatkan organisasi-organisasi kejahatan (crime organizations) yang telah mendunia. 23

Kejahatan lintas negara ini telah mengancam eksistensi ketahanan dan keamanan semua bangsa. Patut diduga bahwa kejahatan narkotika (peredaran narkoba) telah didanai oleh kejahatan terorganisir yang bersifat internasional dengan dukungan dana besar, sumber daya manusia (SDM) yang profesional dan teknologi yang sangat maju. Bisnis narkotika yang menjanjikan keuntungan besar itu telah menyeret semua bangsa ke dalam berbagai persoalan politik, sosial, ekonomi dan hankam yang berpotensi menghambat laju pembangunan bangsa (BNN, 2006).

Sampai pada tahun 2006 yang lalu, data yang dikeluarkan oleh Badan Narkotika Nasional melaporkan bahwa kerugian karena narkoba menunjukkan tentang dampak sosial dan ekonomi perdagangan dan penyalahgunaan narkoba sangat mengkhawatirkan dunia. Di Amerika Serikat kerugian biaya ekonomi dan sosial akibat narkoba mencapai $181 milyar. Sedangkan di Canada $8,2 milyar pada tahun 2002. Di Australia kerugian mencapai sekitar

23

Ronny Rahman Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat Sebuah Pendekatan Kiminologi, Hukum dan Sosiologi, (Jakarta, Peradaban, 2001), hal,: 138


(45)

34

$8,190 juta pada tahun 2004/2005. Perbandingan kerugian biaya narkoba terhadap gross domestic product (GDP) di Amerika Serikat sebesar 1,7%, Canada 0,98%, Australia 0,88% dan Perancis 0,16%. Di Indonesia, kerugian diperkirakan Rp. 23,6 trilyun atau $2,6 milyar pada tahun 2004 . Di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir penyalahgunaan narkoba meningkat pesat, baik dari jumlah sitaan barang bukti maupun jumlah tersangka. Hasil sitaan barang bukti, misalkan ekstasi meningkat dari 90. 523 butir (2001) menjadi 1,3 juta butir (2006), Sabu dari 48,8 kg (2001) menjadi 1. 241,2 kg (2006). Jumlah tersangka meningkat dari 4. 924 orang tahun 2001 menjadi 31. 635 orang tahun 2006. Angka-angka yang dilaporkan ini hanya puncak gunung es dari masalah narkoba yang jauh lebih besar.

G. Peredaran Narkotika Tingkat Global

Peredaran narkoba pada tingkat global, terutama jalur yang dikenal sebagai pemasok utama distribusi narkoba internasional, yang disebut sebagai

jalur “Golden Cressent” dan “Golden Triangel”. Jalur pertama adalah wilayah berbatasan negara Afghanistan dan Pakistan dan jalur kedua adalah berbatasan tiga negara yaitu Myanmar, Vietnam, dan Thailand. Berikut peta jalur narkoba internasional:

Distribusi narkotika dari dua wilayah itu menunjukkan bahwa pada tahun 2010, penanaman opium menunjukkan sedikit kenaikan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Misalnya, dari negara Afghanistan terdapat 123. 000 ha tanaman Opium (stabil), tetapi secara global sebenarnya kenaikan


(46)

terjadi karena adanya peningkatan di Myanmar, penanaman naik 20 % dibandingkan tahun sebelumnya. Kemudian, jika dihitung secara global terjadi penurunan tanaman Koka menjadi 149. 100 ha. Turun 18 % dari tahun 2007 ke 2010. Demikian juga pada narkoba jenis kokain, terjadi penurunan secara signifikan pada tempat produksi Kokain, nampak terjadi penurunan di Colombia namun kenaikan terjadi di negara Peru dan Bolivia.

Memang, agak sulit memperkirakan berapa jumlah sebenarnya, tentang total distribusi narkoba, terutama jenis Amphetamine di tingkat global, misalnya jenis ecstasy Menthamphetamine: bagian kelompok Amphetamine), sebab di beberapa negara seperti Amerika Serikat banyak memproduksi narkoba jenis ini melalui laboratorium-laboratorium gelap.

Meskipun demikian, jika dilihat data yang dilaporkan BNN, selain jenis narkoba yang disebutkan tadi, jenis narkoba yang banyak diproduksi negara lain adalah ganja. Ganja dapat ditemukan hampir di seluruh negara-negara di dunia ini, baik di Amerika sendiri, di Eropa, jalur Oceania, dan bahkan, pada negara-negara berkembang, ganja di tanam di rumah-rumah, seperti yang terjadi di negara Afghanistan dan Maroko, dua negara ini adalah termasuk penghasil ganja terbesar di dunia.

Pada tahun 1998 sampai tahun 2009, pengungkapan ganja, heroin, morphin, dan kokain meningkat dua kali lipat, sedangkan ATS (Amfetamin, Metafetamin, sabu dan MDMA atau ekstasi) naik tiga kali lipat. Sementara pengungkapan kokain dan getah ganja di pasar, berbeda dari daerah asalnya. Pengungkapan kokain di Amerika Utara dan Eropa Barat turun dibandingkan


(47)

36

Amerika Selatan. Sama seperti getah ganja turun secara signifikan di Eropa, tetapi naik di Afrika Utara dari tahun 2008 sampai tahun 2009.

H. Peredaran Narkotika Tingkat Nasional

Laporan dari hasil penelitian BNN bekerja sama dengan Puslitkes-UI tahun 2011, yang melihat tentang ukuran usia dan pernah mengkonsumsi narkoba mulai usia 10 – 59 tahun. Dari penelitian itu, ditemukan bahwa sebanyak 9,6 sampai 12,9 juta orang (5,9%) dari populasi pernah mencoba mengkonsumsi narkoba, minimal satu kali sepanjang hidupnya, atau ada 1 dari 17 orang di Indonesia pernah pakai Narkoba sepanjang hidupnya dari saat sebelum dilakukan penelitian. Sementara berjumlah 3,7 - 4,7 juta orang (2,2%) yang masih menggunakan Narkoba dalam satu tahun terakhir dari saat penelitian, atau ada 1 dari 45 orang yang masih menggunakan Narkoba

(current users).

Angka penyalahgunaan Narkoba terbanyak di wilayah Jawa. Tingginya jumlah peredaran gelap narkoba di Jawa karena dari sisi akses mendapatkan Narkoba lebih mudah, dari sisi ekonomi dan pendidikan lebih baik, dan potensi pasarnya besar, karena jumlah penduduk Indonesia sekitar 59% dari total populasi 10-59 tahun berada di Jawa. Di Sumatera pemakaian Narkoba

(ever used) angka prevalensinya lebih tinggi dibandingkan Kalimantan, namun tidak untuk angka penyalahgunaan setahun terakhir (current users). Ini mengindikasikan bahwa pernah pakai di Kalimantan lebih banyak yang masih terus berlanjut menjadi penyalahguna Narkoba. Berikutnya, estimasinya


(48)

menunjukkan bahwa kebanyakan penyalahguna Narkoba berada pada kelompok Teratur Pakai (45%), Coba Pakai dan Pecandu Bukan Suntik relatif sama besar (27%) dan terakhir adalah pecandu suntik (2%).

I. Peredaran Narkotika Kepada Kalangan Remaja

Fenomena penyalahgunaan narkoba merupakan fenomena gunung es (ice berg phenomenon) artinya yang nampak dipermukaan laut (terdata resmi) amat kecil jumlahnya, sedangkan yang tidak nampak yaitu yang berada di bawah permukaan laut (tidak terdata resmi) jauh lebih besar. Atau dengan kata lain, dalam hal penyalahgunaan narkoba terdapat angka sebenarnya atau angka

gelap yang disebut dengan istilah ”dark number”. Menurut Hawari, bahwa bila ditemukan 1 orang penyalahgunaan narkoba sebenarnya ada 10 orang lainnya yang berada di luar (di masyarakat). Sebagai contoh misalnya, penyalahgunaan heroin (putaw) pada tahun 1995 oleh Bakolak Inpres 6/71 (cikal bakal BNN) dinyatakan sebanyak 0,065% dari jumlah penduduk 200 juta atau sama dengan 130. 000 orang. Menurutnya, bahwa jumlah sebenarnya adalah 1,3 juta jiwa. Bila ditambah dengan penyalahguna narkoba jenis ganja, shabu-shabu, ekstasi, sedativa atau hipnotika dan alkohol maka jumlah penyalahgunaan narkoba itu akan menjadi jauh lebih besar. 24

Untuk tahun 2003, kasus narkoba semakin meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta. Di Jakarta sendiri, jumlahnya meningkat 45,2 %, dari 2. 370 kasus di tahun 2002 menjadi 3441

24

Dadang Hawari, Agama (Islam) Menanggulangi NAZA (Narkotika, Alkohol, & Zat Adiktif),(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2002), h. 55.


(49)

38

kasus pada akhir tahun 2003. dengan jumlah penyelesaian kasus mencapai 87,4% dari total kasus yang ada. Selanjutnya di tahun 2004, jumlah kasus narkoba yang ditangani Polda Metro Jaya meningkat 39,4% atau 1. 338 kasus menjadi 4. 799 kasus. Sedangkat tingkat penyelesaian kasus juga meningkat menjadi 95,9% dari total kasus yang ada di tahun tersebut. Selanjutnya untuk tahun 2005 terjadi peningkatan sebesar 23,9% dari tahunnya sebelumnya menjadi 5. 948 kasus. Total tersangka dalam kasus narkoba tahun 2005 adalah 7. 780 orang. Dari jumlah itu, tersangka yang termasuk kategori pengedar sebanyak 3. 092 orang, pemakai 4. 686 orang. Dan dari total tersangka terdapat 27 orang yang berkewarganegaraan asing, sedangkan sisanya adalah warga Indonesia25

Sebagaimana yang dilaporkan Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2006 lalu, bahwa di Indonesia, permasalahan dan peredaran Narkoba telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Disebut mengkawatirkan karena penyalahguna Narkoba telah merambah luas baik di lingkungan pendidikan (termasuk kampus), lingkungan kerja, pelajar, mahasiswa dan lingkungan pemukiman di pedesaan maupun di perkotaan. Dengan jumlah penyalahguna Narkoba mencapai 2,3 juta jiwa atau setara dengan 1,5 persen populasi penduduk Indonesia. Badan Narkotika Nasional (BNN) menduga kampus perguruan tinggi menjadi lahan subur peredaran narkoba. Selain berekonomi

25


(50)

menengah keatas, penghuni kampus juga kerap mengikuti gaya hidup berlebihan. Narkoba dinilai menjadi bagian dari gaya hidup seperti itu. 26

26

REPUBLIKA. Awas, Kampus Lahan Subur Peredaran Narkoba. Kamis, 13 Oktober 2011. Diunduh Senin, 21 Rabiul Awwal 1433 / 13 Pebruari 2012 | 08:51 WIB


(51)

40

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PECANDU NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM POSTIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Kedudukan Narkotika dalam Perundang-undangan Negara Indonesia

Sebelum tahun 1976, istilah Narkotika belum dikenal dalam perundang-undangan Indonesia. Peraturan yang berlaku pada saat itu adalah Undang-Undang Obat Bius (Verdoovende-Middelen Ordonantie) Tanggal 12 Mei 1927 S. 27-278 JO 536 yang mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 1928.

Baru sekitar akhir dekade 60-an istilah “Narkotika” diperkenalkan dalam rangka pencegahan dan pembinaan para pelanggar hukum pidana terkait narkotika. Antara istilah Narkotika dan Obat Bius tidaklah ada perbedaan semula narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam dunia medis dan dalam dunia penelitian. Karena itulah tidak ada larangan dalam menggunakan Obat Bius (Narkotika) guna kepentingan kedokteran dan ilmu pengetahuan.

Temuan Saefullah dalam penelitiannya mengatakan, bahwa melalui pengundangan UU RI No. 8 tahun 1976, Indonesia sudah secara resmi dan berdasarkan hukum “mengesahkan konvensi tunggal Narkotika New York

1961 beserta protokol perbaikannya” di Jenewa 1972. Peristiwa itu mengandung pengertian bahwa Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Protokol perbaikannya berlaku dan mengikat Indonesia didalam kerangka Organisasi PBB yang bergerak di Bidang Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Internasional.


(52)

Konvensi tunggal Narkotika 1961 ini terdiri dari 51 pasal yang berisi berbagai ketentuan mengenai Narkotika menerangkan tentang jenis-jenisnya, jarak pengawasan termasuk lalu lintas, tindakan-tindakan yang harus diambil dan sebagainya. Sehingga dengan demikian dapat menjadi pedoman bagi tiap negara dan ikut serta menanggulangi penyalahgunaan Narkotika. Kemudian setelah UU No. 9 tahun 1979 tentang Narkotika diberlakukan (LN 1976 No. 37), istilah Narkotika secara resmi digunakan dalam perundang-undangan Indonesia.

Di Dalam UU itu, Psikotropika atau zat-zat kimia sintetis merupakan bagian dari Narkotika. Narkotika itu dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

a) Narkotika yang berasal dari tanaman atau dari hasil pemprosesan seperti opiat (opium, morfin, dan heroin), kokain dan kanabis.

b) Narkotika yang berasal dari zat-zat kimia sintetis, yang berupa “ Psychotropic substences) (Deppressant, stimulant dan hallucinogen). Tetapi dalam perkembangannya, terjadi banyak penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan Psikotropika lainnya yang menyebabkan UU No. 9 tahun 1976 mengenai narkotika tidak relevan lagi. Menyadari akan bahaya yang ditimbulkannya dari penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika, yaitu dapat merusak bagi pemakai itu sendiri, merusak tatanan masyarakat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, budaya, agama, ekonomi sampai kepada penyakit sosial lainnya, maka Pemerintah bersama DPR RI menetapkan secara terpisah UU tentang Narkotika dan UU Psikotropika yang lebih luas


(53)

42

cakupannya serta lebih spesipik pula, jika dibandingkan dengan UU No. 9 tahun 1976 tentang Narkotika (Saefullah, 2007). 27

Sejalan dengan putaran waktu dan perkembangan zaman, peraturan perundang-undangan tersebut dianggap tidak sesuai lagi, karena di dalamnya hanyalah mengatur mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, yang di dalam peraturan itu dikenal dengan istilah Verdoovende Middelen atau obat bius, sedangkan tentang pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak diatur. Narkotika merupakan salah satu obat yang diperlukan dalam dunia pengobatan, demikian juga dalam bidang penelitian untuk tujuan ilmu pengetahuan, baik penerapannya maupun pengembangannya. Meskipun ada bahayanya, namun masih dapat dibenarkan untuk tujuan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, karena untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan, maka dalam undang-undang ini dibuka kemungkinan untuk mengimpor narkotika, mengekspor obat-obatan yang mengandung narkotika, menanam, memelihara Papaver, Koka dan Ganja.

Di Dalam Undang-undang No 9 tahun 1976 tentang narkotika mengatur beberapa ketentuan tentang pengertian dan jenis narkotika. Ketentuan tentang kegiatan yang menyangkut narkotika, seperti: penanaman, peracikan produksi, perdagangan, lalu lintas, pengangkutan, serta penggunaan narkotika. Di samping itu juga mengatur tentang pengobatan dan rehabilitasi. Ketentuan lain yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah juga mengatur mengenai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan pengadilan dan perkara

27

Acep Syaifullah, Narkoba dalam Perspektif Hukum islam dan Hukum Positif (Sebuah Studi Perbandingan), (UIN Jakarta, 2007), h. 55.


(54)

yang berhubungan dengan narkotika yang karena kekhususannya dan untuk mempercepat prosedur dan mempermudah penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan pengadilan. Dan ketentuan-ketentuan lain yang menyangkut tindakan preventif dan represif. 28

Namun pada waktu berikutnya undang-undang No 9 tahun 1976 tentang Narkotika itu dipandang tidak lagi sesuai dengan perkembangan yang ada. Salah satu alasannya adalh karena UU tersebut tidak mengatur secara rinci pembagian jenisjenis pengelompokan narkoba seperti apa jenis narkotika dan jenis psikotropika. Kemudian pada tahun 1997, diberlakukan UU baru mengenai dua hal tersebut dengan harapan agar dapat menekan jumlah pengguna maupun pengedar narkoba. Dimana istilah Narkotika dan Psikotropika dalam UU No. 9 tahun 1976 merupakan satu kesatuan, dan pada UU yang baru ini dibedakan dan masing-masing terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berbeda yaitu UU No. 5 tahun 1997 tentang Narkotika (LN tahun 1997 No. 10) dan UU No. 22 tahun 1997 tentang Psikotropika (LN tahun 1997 No. 67). Lahirnya kedua UU tersebut didahului dengan keluarnya UU No. 8 tahun 1996 tentang pengesahan Konvensi Psikotropika dan UU No. 7 tahun 1997 tentang pengesahan Konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Berikut perjalanan Undang Narkoba di Indonesia sampai pada tahap Undang-Undang 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika:

28

Lihat Kompilasi Peraturan Perundang-undangan tentang Narkoba. Kencana, Jakarta, h, 67-69


(55)

44

a. UU Obat Bius

b. UU No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang mengubahnya

c. UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika d. UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

e. UU No. 8 Tahun 1996 tentang pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971

f. UU No. 7 Tahun 1997 tentang pengesahan UN Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic

g. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika h. UU. No 22 tahun 1997 tentang Narkotika

B. Aturan Pertanggungjawaban Pidana

Pelaku tindak pidana dapat dinyatakan bertanggungjawab atas perbuaan pidananya serta mempertanggungjawabkan perbuatannya didasari oleh perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbutan pidana, dan, perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu kesalahan. 29 Dalam arti lain, pertanggungjawaban perbuatan pidana dalam hukum pidana adalah seorang pelaku tindak pidana tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea). Azas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tak

29

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif,


(56)

tertulis yang juga di Indonesia berlaku. 30 Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar, dinamakan leer van het materiele feit (feit materielle). Dahulu dijalankan atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu dari H. R. 1961 Nederland, hal itu ditiadakan.

Menurut Prof. Moeljatno orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Agar dapat dimintai pertanggungjawaban pidana harus memenuhi 3 unsur, yaitu :

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab.

2. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan.

3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan (alasan pemaaf).

Dalam kitab Undang-undang hukum pidana di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab tetapi yang diatur ialah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggung jawab.

sebagaimana termaktub pada pasal 44 KUHP Indonesia, yang masih memakai rumusan pasal 37 jilid 1 W.v.S Nederland Tahun 1886 yang berbunyi (terjemahannya):31

Tidak dapat dipidana ialah barangsiapa yang mewujudkan suatu peristiwa, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna atau gangguan sakit kemampuan akalnya. Terjemahan di atas jika disusun dalam kalimat bahasa Indonesia yang baik seperti di bawah ini:

30

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Rineka Cipta, Jakarta, 2002), hal. 153 31


(57)

46

Tidak boleh dipidana ialah barang siapa yang mewujudkan suatu delik, yang tidak dapat tipertanggungjawabkan kepadanya disebabkan oleh kekurangan sempurnaan pertumbuhan akalnya atau sakit gangguan akal.

Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggung jawab pidana. Pasal 44 ayat (1) KUHP justru merumuskan tentang mengenai keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan bertanggung jawab. Sementara kapan orang bertanggung jawab, dapat diartikan kebalikannya, yaitu apabila tidak terdapat tentang dua keadaan jiwa sebagaimana yang diterangkan dalam pasal 44 tersebut.

Mengenai mampu bertanggung jawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk dapat menjatuhkan pidana, dan bukan hal untuk terjadinya tindak pidana. Jadi untuk terjadinya tindak pidana tidak perlu dipersoalkan tentang apakah terdapat kemampuan bertanggung jawab ataukah tidak mampu bertanggung jawab. Terjadinya tindak pidana tidak serta merta diikuti pidana kepada penindaknya. Akan tetapi, ketika menghubungkan perbuatan itu kepada orangnya untuk menjatuhkan pidana, bila ada keraguan perihal keadaan jiwa orangnya, barulah diperhatikan atau dipersoalkan tentang ketidakmampuan bertanggung jawab, dan haruslah pula dibuktikan untuk tidak dipidananya terhadap pembuatnya.32

32

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001), hal. 146.


(58)

Hal itu dapat mengacu kepada Pasal 44 sampai pasal 50 KUHP tentang orang yang dapat mempertanggungjawabkan dan orang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan atas perbuatan pidannya. 33 Selanjutnya Moeljatno mengatakan bahwa timbulnya kemampuan bertanggung jawab adalah disebabkan oleh :

1) Harus adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.

2) Harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Dan untuk menjelaskan hal kapankah terdapatnya kemampuan bertanggung jawab pidana, dapat dengan dua cara, yaitu sebagai berikut :

a. Dengan berdasarkan dan atau mengikuti dari rumusan pasal 44 (1) KUHP. Dari pasal 44 (1) KUHP itu sendiri, yang sifatnya berlaku umum, artinya berlaku terhadap semua bentuk dan wujud perbuatan. Pasal 44 (1) menentukan dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab atas semua perbuatannya (berwujud tindak pidana), apabila tidak terdapat dua keadaan jiwa sebagaimana yang dinyatakan pasal 44 (1), artinya bila jiwanya tidak cacat dalam pertumbuhannya, atau jiwanya tidak terganggu karena penyakit, demikian itulah orang mampu bertanggung jawab.

33

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif,


(1)

2. Saran lain dari penulis, terhadap pihak-pihak yang menjalankan sistem peradilan pidana. Ada beberapa alasan kenapa pecandu tidak harus mendapat sanksi pinjara, pertama pecandu narkotika adalah korban dari akibat tingkah lakunya sendiri (self victizing victims) dan menanggung akibat keruguiannya adalah dirinya sendiri tidak merugikan orang lain. Kedua, kalo pecandu narkotika disamakan dengan narapidana lain dan sama-sama menghuni sel pinjara, si pelaku pecandu narkotika tadi dikhawatirkan akan menjadi penjahat besar, karena dia belajar dan melatih diri serta mengetahui seluk beluk narkotika dari bandar atau pengedar narkotika selama di pinjara. Ketiga, karena pecandu adalah korban atas perbuatannya, maka idealnya adalah pecandu mendapatkan pengobatan, baik secara pisik, psikis dan spritual agar menyadari bahwa perbuatannya adalah salah dan keliru, baik secara kesehatan, hukum dan agama. Keempat, pecandu narkotika tidaklah dapat disamakan dengan terpidana kejahatan lain, maka pertanggungjawaban pidananyapun tidak lah sama. Jika kasus pecandu narkotika dengan bandar narkotika atau kejahatan lain dikategorikan dengan sistem yang sama, dengan jumlah pecandu narkotika 5,1 juta orang, berapa banyak ketersedian fasilitas sistemnya, kapasitas pinjaranya, jumlah dan kekuatan sumber daya manusianya, biayanya dan ongkos lain untuk menangani itu. Maksudnya, kenapa tidak pola pembinaan terhadap pecandu narkotika dilakukan dengan sistem yang berbeda dan tidak harus dengan pendekatan sistem pidana untuk


(2)

mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan mendapatkan rehabilitasi yang memadai.

3. Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk kurang lebih 250 juta orang dan mayoritas beragama Islam, harusnya sudah menyadari bahwa eksistensi hukum Islam harus diterapkan bagi masyarakat, khususnya umat Islam. Bahwa hukum Islam bertujuan untuk kemaslahatan umatnya dengan menjaga agama, akal, nasab (keturunan), dan harta benda. Artinya, hukuman cambuk 80 atau 40 kali akan lebih efektif diganti dengan kewajiban menjalani rehabilitasi selama kurun waktu yang ditentukan. Manfaatnya, untuk memberi kesempatan terhadap psi pecandu narkotika bertobat dan berobat serta menyadari kekeliruannya dan memahami dampak negatif terhadap dirinya, keluarganya, dan lingkungannya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, , 2007.

Acep Saifullah, Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif:Sebuah Studi Perbandingan, AL-„ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013, Universitas Ibnu Khaldun (UIK), Bogor.

Acep Syaifullah, Narkoba dalam Perspektif Hukum islam dan Hukum Positif (Sebuah Studi Perbandingan), UIN Jakarta, 2007, Tesis, Tidak dipublikasikan

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif,

Jakarta: Sinar Grafika, 2010

Ahmad Warson al-Munawir, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Agustus, 1984.

Anang Iskandar, Jalan Lurus Penanganan Penyalahguna Narkotika Dalam Konstruksi Hukum Positif, Karawang, Viva Tanpas, 2015

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1994.

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Becker, H. , Outsider. Glencoe; The Pree Press, 1963.

Biro Humas Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia; 2016

C. Ray Jeffery dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanganan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008.


(4)

Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Metodologi penelitian, Jakarta : Bumi pustaka, 1997.

Dadang Hawari, Agama (Islam) Menanggulangi NAZA (Narkotika, Alkohol, & Zat Adiktif),Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2002

Dadang Hawari, Penyalahgunaan & Ketergantungan NAZA, Jakarta: FKUI, 2002. Dani Krisnawaty dan Eddy O. S. Hiariej, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus,

Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu- Rambu Syariah, Jakarta: Kencana, 2007

Ibn Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâri, Ttp. : Tnp. , t. t.

Ibn Mâjah dan al-Tirmizî , Jâmi‟ al-Shahîh, III, Bayrut: Dâr al-Fikr, t. t. Ibn Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, Bayrut: Dâr al Fikr, 1415 H. /1995 Ibn Rusyd, Bidâyatul Mujtahid, II, Bayrut: Dâr al-Fikr, 1995

James R. Rush, Opium to Java: Jawa dalam Cengkraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860-1910. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000. Junaidi lubis, Islam Dinamis Model Ijtihad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks

Perubahan Masyarakat. Jakarta, Dian Rakyat, 2010 Kompilasi Peraturan Perund

ang-undangan tentang Narkoba. Kencana, Jakarta, 2007.

Lemert, E. M. Social Pathology. New York: McGraw-Hil, 1951.


(5)

Media Indonesia, 14 Feb 2006

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Muhammad al-Hawari, Narkoba Kesalahan dan Keterasingan, Riyadh: 1408. Muladi, Kapita Selekta Sisitem Peradilan Pidana, Semarang: Undip, 1995.

Mustofa, Muhammad, Kriminologi, Kajian Sosiologis Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Depok: Fisip UI Press, 2007.

Mustofa, Muhammad, Kriminologi, Kajian Sosiologis Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Depok: Fisip UI Press, 2007.

Mustofa, Muhammad, Metodologi Penelitian Kriminologi, Depok: Fisip UI Press, 2005.

Nitibaskara, Ronny. Rahman, Ketika Kejahatan Berdaulat Sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Jakarta, Peradaban, 2001.

Pramono U. Tanthowi, Narkoba: Problem dan Pemecahannya dalam Perspektif Islam, Bandung: PBB UIN, 2003.

REPUBLIKA. Awas, Kampus Lahan Subur Peredaran Narkoba.

Ronny Rahman Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat Sebuah Pendekatan Kiminologi, Hukum dan Sosiologi, Jakarta, Peradaban, 2001.

Satria Effendi M. Zein, Kejahatan terhadap Harta dalam Perspektif Hukum Islam,

Soerjono Soekanto, pengantar penelitian hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986.


(6)

Subagyo Partodiharjo, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyelahgunanya, Jakarta: Erlangga, 2007.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1987.

Sukandarrumidi, Metodologi penelitian, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004.

Suparni Niniek, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika,1996

Syaikh Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-„Uqûbât , Darul Ummah, cet. ii. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Penjelasannya,Bandung: Citra Umbara, 2010.

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

http://www.ikonbali.org/09/03/2010/dokumentasi/sema-dan-legitimasi-dekriminalisasi pecandu. html. .


Dokumen yang terkait

Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

4 89 158

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Mengenai Penyalahgunaan Metilon Salah Satu Senyawa Turunan Katinona sebagai Tindak Pidana Narkotika)

0 85 174

Sistem Penghukuman Bagi Pecandu Narkotika Pada Undang – Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

0 51 207

Peranan Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

33 230 74

PENULISAN HUKUM PEMBUKTIAN UNSUR TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN ZAT NARKOTIKA DAN AKIBAT HUKUMNYA (Tinjauan Yuridis terhadap Penyalahgunaan Zat Narkotika Menurut Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika)

0 4 31

Sanksi tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam undang-undang nomor 35 tahun 2009 ditinjau dari hukum Islam

3 29 81

Sanksi tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam undang-undang nomor 35 tahun 2009 ditinjau dari hukum Islam

1 4 81

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PENETAPAN SANKSI PIDANA DENDA TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA.

0 0 1

undang undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika

0 0 92

ASPEK HUKUM ASESMEN TERPADU BAGI PENGGUNA DAN PECANDU NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA - repo unpas

0 2 29