Peranan Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

(1)

PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelas Sarjana Hukum

Oleh :

HALIMAH TUSA’DIAH NST NIM: 060200285

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan Puji dan Syukur kepada Allah SWT, atas kasih dan karunia-Nyalah, yang telah memberikan kesehatan, kekuatan dan ketekunan kepada penulis, sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini adalah salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun demikian dengan berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihka yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah lulus dan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum USU Medan.

2. Bapak Prof. Budiman Ginting, SH. M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU Medan.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum, DFM sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU Medan.


(3)

4. Bapak M. Husni, SH, M.Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU Medan

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.

6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, sebagai sekretaris Departermen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.

7. Ibu Nurmalawaty, SH. M.Hum, sebagai Pembimbing I Fakultas Hukum USU Medan.

8. Ibu Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum, sebagai Pembimbing II yang telah bersedia untuk meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan pembuatan skripsi.

9. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

10.Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ayahanda dan Ibunda yang dengan penuh kasih sayang membesarkan, mendidik dan membiayai pendidikan.

11.Penulis mengucapkan terima kasih kepada adik-adik tersayang (Ade Kumala Sari dan Rahmat Khairul Syakban) yang selalu memberikan motivasi kepada penulis di dalam menyelesaikan skripsi ini.

12.Sahabat Penulis selama menuntut Ilmu di Fakultas Hukum USU (Retta Sitorus, Gideon Nainggolan, Vania, Gabriella) serta teman-teman seangkatan 06, Fakultas Hukum USU.


(4)

13.Sahabat Penulis yang selalu ada dan setia, dikala penulis di dalam keadaan suka dan duka (Windy Ardilla, Tiddy Praditya, Isabella, Mutia Sari, dan yang belum penulis sebutkan).

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, hanya Allah yang dapat membalas budi baik semuanya.

Semoga ilmu yang penulis telah peroleh selama ini dapat bermakna dan berkah bagi penulis dalam menggap cita-cita.

Medan, 2 Desember 2011 Penulis


(5)

ABSTRAKSI Nurmalawati SH, M.Hum1

1

Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Pembimbing II, Staf Pengajar Departermen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum **

Halimah Tusa’diah Nst ***

Skripsi ini berbicara tentang bagaimana wewenang dan peranan Badan Narkotika Nasional dalam kegiatan pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran gelap Narkotika (P4GN). Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, maka perlu dilaksanakan kerjasama yang komprehensif dan multidimensional antara para aparat negara yang telah dibentuk oleh pemerintah untuk menangani kasus tindak pidana narkotika tersebut.

Dari uraian diatas maka yang menjadi permasalahan adalah tentang bagaimana peranan Badan Narkotika Nasional dalam pencegahan tindak pidana narkotika sebelum atau sesudah dibentuknya undang undang narkotika yang baru yaitu undang undang Nomor 35 tahun 2009. Dalam skripsi ini turut pula dibahas beberapa wewenang Badan Narkotika Nasional, POLRI, dam Pegawai Negeri Sipil dalam proses penyelidikan tindak pidana narkotika menurut undang undang yang baru yakni undang undang no 35 tahun 2009.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang mempelajari berbagai norma-norma hukum. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai literature dan peraturan yang berkaitan dengan pemasalahan di dalam skripsi.

Keberadaan Badan Narkotika Nasional (BNN) mengalami perkembangan yang pesat dalam menjalankan fungsinya. Hal ini dapat kita lihat di dalam undang- undang no 35 tahun 2009 ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Kewenangan Badan Narkotika Nasional tercantum di dalam pasal 75 dan pasal 80, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan yang sama dengan penyidik BNN, akan tetapi polisi tidak memiliki kewenangan dalam melakukan proses penyadapan,sedangkan wewenang pejabat Pegawai Negeri Sipil, tercantum di dalam pasal 82.

Dengan diperkuatnya kewenangan Badan Narkotika Nasional tersebut, maka akan menimbulkan permasalahan yang baru dalam kinerja BNN, POLRI dan Pegawai Negeri Sipil, dan disinlah tujuan utama peninjauan secara lebih detail mengenai kewenangan Badan Narkotika yang dalam hal bagaimanakah yang telah diperkuat oleh pemerintah tersebut


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAKSI ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan... 6

1. Pengertian Tindak Pidana dan Ruang Lingkup Terpidana Narkotika ... 6

2. Sejarah Berdirinya Badan Narkotika Nasional ... 13

F. Metode Penelitian ... 24

G. Teknik Pengumpulan Data ... 25

H. Sistematika Penulisan ... 26

BAB II PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) DALAM PENCEGAHAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA UNDANG – UNDANG NO 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA A. Sebelum Undang-Undang No.35 Tahun 2009 ... 28

1... B erdasarkan Undang-Undang No 22 Tahun 1997 Tentang Narkoba ... 28

2... B erdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 Tentang Narkotika nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten / Kota ... 33

B. Menurut Undang-Undang No.35 Tahun 2009 ... 42

BAB III PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL ( BNN ) DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA A. Badan Narkotika Nasional sebagai Penyidik Tindak Pidana Narkotika menurut Undang – Undang No 35 Tahun 2009 ... 45

B. Wewenang penyidik Polri, Penyidik Badan Narkotika Nasional dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil menurut Undang-Undang No 35 Tahun 2009 ... 48

C. Contoh – contoh Kasus ... 56

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 63


(7)

ABSTRAKSI Nurmalawati SH, M.Hum1

1

Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Pembimbing II, Staf Pengajar Departermen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum **

Halimah Tusa’diah Nst ***

Skripsi ini berbicara tentang bagaimana wewenang dan peranan Badan Narkotika Nasional dalam kegiatan pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran gelap Narkotika (P4GN). Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, maka perlu dilaksanakan kerjasama yang komprehensif dan multidimensional antara para aparat negara yang telah dibentuk oleh pemerintah untuk menangani kasus tindak pidana narkotika tersebut.

Dari uraian diatas maka yang menjadi permasalahan adalah tentang bagaimana peranan Badan Narkotika Nasional dalam pencegahan tindak pidana narkotika sebelum atau sesudah dibentuknya undang undang narkotika yang baru yaitu undang undang Nomor 35 tahun 2009. Dalam skripsi ini turut pula dibahas beberapa wewenang Badan Narkotika Nasional, POLRI, dam Pegawai Negeri Sipil dalam proses penyelidikan tindak pidana narkotika menurut undang undang yang baru yakni undang undang no 35 tahun 2009.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang mempelajari berbagai norma-norma hukum. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai literature dan peraturan yang berkaitan dengan pemasalahan di dalam skripsi.

Keberadaan Badan Narkotika Nasional (BNN) mengalami perkembangan yang pesat dalam menjalankan fungsinya. Hal ini dapat kita lihat di dalam undang- undang no 35 tahun 2009 ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Kewenangan Badan Narkotika Nasional tercantum di dalam pasal 75 dan pasal 80, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan yang sama dengan penyidik BNN, akan tetapi polisi tidak memiliki kewenangan dalam melakukan proses penyadapan,sedangkan wewenang pejabat Pegawai Negeri Sipil, tercantum di dalam pasal 82.

Dengan diperkuatnya kewenangan Badan Narkotika Nasional tersebut, maka akan menimbulkan permasalahan yang baru dalam kinerja BNN, POLRI dan Pegawai Negeri Sipil, dan disinlah tujuan utama peninjauan secara lebih detail mengenai kewenangan Badan Narkotika yang dalam hal bagaimanakah yang telah diperkuat oleh pemerintah tersebut


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Narkotika adalah zat atau obat, baik yang berasal dari tanaman maupun bukan, baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan kecanduan.2

Pada dasarnya peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau dari aspek yuridis adalah sah keberadaannya. Undang-Undang Narkotika hanya melarang penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang yang dimaksud. Keadaan yang demikian ini dalam tataran empirisnya, penggunaan narkotika sering disalahgunakan bukan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi jauh dari pada itu, dijadikan ajang bisnis yang menjanjikan dan berkembang pesat, yang mana kegiatan ini berimbas pada rusaknya fisik maupun psikis mental pemakai narkotika khususnya generasi muda.

Di satu sisi narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya pengendalian serta pengawasan yang ketat dan seksama.

3

Penyebaran narkoba sudah tidak lagi di kota besar, tetapi sudah masuk kota–kota kecil dan merambah di kecamatan bahkan desa. Jika dilihat dari

2

Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

3 Materi Advokasi,


(9)

kalangan pengguna, narkoba tidak hanya dinikmati kalagan tertentu saja, tetapi sudah memasuki berbagai profesi.

Dewasa ini perkembangan penggunaan narkotika semakin meningkat, dan perkembangan itu tidak untuk tujuan kepentingan pengobatan atau kepentingan ilmu pengetahuan, tetapi untuk memperoleh keuntungan yang sangat besar.

Ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika telah disusun dan diberlakukan, namun demikian kejahatan yang menyangkut tentang narkotika belum dapat diredakan. Dalam banyak kasus terakhir, banyak bandar-bandar dan pengedar yang tertangkap dan mendapat sanksi berat, namun pelaku lain seperti tidak mengacuhkannya bahkan lebih cenderung untuk memperluas daerah operasinya.4

Kejahatan narkotika masih menjadi masalah kronis yang menimpa Indonesia. Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas kejahatan yang telah merenggut banyak nyawa anak bangsa ini. Salah satunya di

Kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang pada masa sekarang telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, aparat penegak hukum diharapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia, khususnya bagi generasi penerus bangsa. Di antara aparat penegak hukum yang juga mempunyai peran penting terhadap adanya kasus tindak pidana narkotika ialah Badan Narkotika Nasional (BNN), yang diharapkan mampu membantu proses penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika.

4


(10)

bidang regulasi yang ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Seiring dengan perkembangan kejahatan narkotika, undang-undang tersebut dianggap sudah tidak lagi memadai, maka kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang di dalamnya diatur juga sanksi hukumnya, serta hal-hal yang diperbolehkan, maka Badan Narkotika Nasional diharapkan mampu membantu proses penyelesaian perkara terhadap seseorang atau lebih yang telah melakukan tindak pidana narkotika dewasa ini. Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Badan Narkotika Nasional diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, hal mana belum diatur dalam undang-undang yang lama. Dua kewenangan dirasa perlu untuk mengantisipasi kejahatan narkotika dengan modus operandi yang semakin kompleks dan didukung oleh jaringan organisasi. Tidak hanya penambahan kewenangan, status kelembagaan Badan Narkotika Nasional pun ditingkatkan. Efektifitas berlakunya undang-undang ini sangatlah tergantung pada seluruh jajaran penegak umum, dalam hal ini seluruh intansi yang terkait langsung, yakni Badan Narkotika Nasional serta para penegak hukum yang lainnya. Di sisi lain, hal yang sangat penting adalah perlu adanya kesadaran hukum dari seluruh lapisan masyarakat guna menegakkan kewibawaan hukum dan khususnya terhadap Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, maka peran Badan Narkotika Nasional bersama masyarakat sangatlah penting dalam membantu proses penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika yang semakin marak.


(11)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana peranan dari Badan Narkotika Nasional dalam pencegahan terhadap tindak pidana narkotika sebelum dan menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 serta peranan Badan Narkotika Nasional dalam proses penyidikan tindak pidana narkotika, dengan judul: PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG – UNDANG NO 35 TAHUN 2009

B. Permasalahan

Sehubungan dengan semakin maraknya kasus narkoba dikalangan remaja yang merupakan generasi penerus bangsa, maka pemerintah semakin memperkuat peran serta kewenangan dari Badan Narkotika Nasional dalam hal proses penyidikan terhadap Tindak Pidana Narkotika. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimanakan peranan Badan Narkotika Nasional dalam pencegahan tindak pidana narkotika sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009?

2. Bagaimanakah peranan Badan Narkotika Nasional ( BNN ) dalam proses penyidikan tindak pidana narkotika?


(12)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui peranan Badan Narkotika Nasional dalam pencegahan terjadinya tindak pidana narkotika sebelum dan sesudah undang-undang No. 35 tahun 2009

2. Untuk mengetahui peran Badan Narkotika Nasional, POLRI, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam proses penyidikan Tindak Pidana Narkotika

D. Keaslian penulisan

Adapun judul penulisan dalam skripsi yakni mengenai “Peranan Badan Narkotika Nasional ( BNN ) Dalam Penanggulangan tentang Narkotika Menurut Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2009”, dimana sepengetahuan penulis belum pernah ada yang membahas atau mengangkat hal tersebut ke dalam sebuah tulisan ilmiah.

Sebenarnya telah banyak tulisan–tulisan mengenai narkotika, namun tidak ada penulisan yang secara khusus membahas tentang lembaga Badan Narkotika Nasional yang sebenarnya telah membantu para penyidik dalam melakukan proses penyidikan terhadap tindak pidana Narkotika.

Dalam proses pembuatan skripsi ini penulis memulainya dengan mengumpulkan bahan–bahan yang berkaitan dengan Narkotika dan Badan Nasional Narkotika yakni Undang–Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2007 mengenai Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika


(13)

Kabupaten/Kota. Oleh karena itu penulis dapat menyatakan bahwa skripsi ini adalah murni merupakan hasil karya penulis.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Tindak Pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana. Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda.5

Dalam peraturan perundang-undangan indonesia tidak ditemukan defenisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum. Para ahli hukum pidana umumnya masih memasukkan kesalahan sebagai bagian dari pengertian tindak pidana. Demikian pula dengan apa yang didefenisikan Simons dan Van Hammel. Dua ahli hukum pidana Belanda tersebut pandangan-oandangannya mewarnai pendapat para ahli hukum pidana Belanda dan Indonesia hingga saat ini.6

Simons mengatakan bahwa tindak pidana itu adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawab hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sedangkan

5

Romli Atmasasmita , Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia , ( Bandung : Citra Aditya Bakti , 1997 ) , hal: 26.

6


(14)

Van Hamel mengatakan bahwa tindak pidana itu adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.7

Begitu berpengaruhnya pandangan ahli-ahli hukum belanda tersebut, sehingga umunya diikuti oleh ahli-ahli hukum pidana indonesia, termasuk generasi sekarang, Komariah E.Sapardjaja maengatakan tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.

8

Hal senada juga dikemukakan

Indriyanto Seno Adji, dikatakannya tindak pidana adalah poerbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.9

Di dalam Bab I Pasal I Ayat (1) KUHP berisi tentang “ nulum delictum nulla poena sine praevia lege poenale “, yang pada intinya menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali sudah ada ketentuan undang-undang yang mengatur sebelumnya (asas legalitas). Akan tetapi perumusan ini mengalami perkembangan luas di dalam rancangan KUHP terbaru di tahun 2004 yaitu pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) tersebut tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan

7

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. (Yogyakarta : Bina Aksara, 1983) Hlm : 24-25

8

Komariah E.Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana

Indonesia. ( Bandung : Alumni, 2002 ) Hlm : 22

9

Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, ( Jakarta : PT. Kencana, 2002 ) Hlm: 155


(15)

perundang-undangan.10

a. Narkotika apabila dipergunakan secara proprosional, artinya sesuai menurut asas pemanfaatan, baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan, maka hal tersebut tidak dapat dikuwalisir sebagai tindak pidana narkotika. Akan tetapi apabila dipergunakan untuk maksud – maksud yang lain dari itu, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana dan atau penyalahgunaan narkotika berdasarkan Undang- undang Nomor 35 Tahun 2009.

Hal ini dikenal dengan asas legalitas materiel. Dengan aturan itu jelaslah bahwa RUU KUHP Tahun 2004 memberikan tempat bagihukum adat setempat sebagai sumber keputusan bagi hakim apabila ternyata ada suatu perbuatan yang menurut hukum positif Indonesiabelum/tidak diatur sebagai tindak pidana namun menurut masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang patut dipidana.

Tindak pidana narkotika merupakan bentuk-bentuk kejahatan dan pelanggaran dalam hal penyalahgunaan narkotika sebagai berikut :

b. Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain berikut ini: 1) Penyalahgunaan /melebihi dosis, dalam hal ini meliputi kegiatan

memakai dalam bentuk tanaman atau yang bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000,000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak


(16)

Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Apabila beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana maksimum denda sebagaimana dimaksud diatas ditambah 1/3 (sepertiga).

2) Pengedaran narkotika ini dilakukan tanpa pengawasan dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan dan tidak dilengkapi dengan dokumen yang sah. Kegiatan ini meliputi Ekspor dan Impor. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud diatas ditambah 1/3 (sepertiga).


(17)

3) Jual beli narkotika. Ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari keuntungan materil, namun ada juga karena motivasi untuk kepuasan.

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar , atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 ( sepuluh miliar rupiah). Apabila bentuk tanaman tersebut beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana yang dimaksud diatas ditambah 1/3 (sepertiga).

Penyalahgunaan narkotika merupakan bahaya yang amat merugikan bagi suatu negara. Hal ini disebabkan tindak pidana narkotika oleh generasi muda akan memberikan dampak buruk baik jasmani atau rohani dari generasi muda, sehingga memberikan kerugian yang amat besar bagi negara dan bangsa Indonesia.

Dilihat dari uraian diatas maka dapat digambarkan bahwa tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana yang sangat kompleks, sehingga


(18)

diperlukannya usaha pencegahan sejak dini baik dalam bentuk penal (hukum pidana) dan non penal (diluar hukum pidana).

Penyalahgunaan narkotika merupakan tindak pidana yang mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan tindak pidana umumnya. Ciri-ciri khusus tindak pidana narkotika adalah sebagai berikut :11

1. Suatu kejahatan terorganisir dalam jaringan sindikat, jarang kasus narkotika tidak merupakan sindikat terutama heroin.

2. Berlingkup Internasional, tidak lokal sifatnya. Walaupun di Indonesia tanaman ganja dapat tumbuh, tapi konsumennya diseluruh dunia sehingga dapat dikirim keluar negeri.

3. Pelakunya dengan sistem sel artinya antara konsumen dan pengedar tidak ada hubungan langsung (terputus) sehingga apabila konsumen tertangkap maka sulit untuk diketahui pengedarnya, demikian pula sebaliknya.

4. Dalam tindak pidana narkotika pelaku juga korban sehingga kejahatan narkotika pelaporannya sangat minim.

Di dalam rancangan KUHP pada pasal 50 Tahun 2004, yang disusun oleh Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana dapat dijumpai tujuan pemidanaan :

1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi penganyoman masyarakat

2. Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna

11

Djoko Prakoso, Kejahatan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan


(19)

3. Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Ketentuan mengenai pidana ini berlaku juga terhadap tindak pidana narkotika, hal ini sesuai menurut ketentuan Pasal 102 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1997, pada intinya mengemukakan bahwa masih tetap diberlakukan undang – undang lama sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan undang – undang ini.

Oleh karena itu, sehubungan dengan sanksi terhadap tindak pidana narkotika yang disebuntukan dalam Bab XII Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1997 yang terdapat pada Pasal 78 sampai dengan 99 adalah tindak kejahatan, kecuali tersebut dalam pasal 100 adalah merupakan pelanggaran.

Di dalam pasal – pasal tersebut jelas sanksi yang diatur oleh Pasal 10 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, dan itu diatur pula secara tegas dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1997, termasuk di dalamnya mengenai hukuman Pidana Mati. Yang dinyatakan secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, pada Pasal 80 dan beberapa pasal kemudian.Namun dengan berjalannya waktu Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 ini mengalami revisi kembali sehingga dibentuklah undang – undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang memiliki sanksi lebih memberatkan, yang ketentuan pemidanaannya terdapat di dalam Bab XV pasal 111 sampai dengan pasal 148.


(20)

Akan tetapi, jika ditinjau melalui pendekatan filosofis kemanusiaan bahwa hukuman dengan pidana mati sangat pantas dijatuhkan kepada para penyalahguna narkotika tersebut, terutama terhadap jaringan dan para pengedarnya. Oleh karena akibat dari perbuatan tersebut sangat berat bobot kejahatannya, yang pada akhirnya dapat menghancurkan hampir kebanyakan generasi muda dari sebuah bangsa.

Dan pada akhirnya, seperti lazimnya berat ringan penjatuhan pidana sangat tergantung kepada proses sidang peradilan dan keyakinan serta penilaian hakim yang melakukan pemeriksaan atas suatu perkara pidana.

2. Sejarah Berdirinya Badan Narkotika Nasional

Sejarah penanggulangan bahaya Narkotika dan kelembagaannya di Indonesia dimulai tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelligen Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan nasional yang menonjol, yaitu pemberantasan uang palsu, penanggulangan penyalahgunaan narkoba, penanggulangan penyelundupan, penanggulangan kenakalan remaja, penanggulangan subversi, pengawasan orang asing.

Berdasarkan Inpres tersebut Kepala BAKIN membentuk Bakolak Inpres Tahun 1971 yang salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi bahaya narkoba. Bakolak Inpres adalah sebuah badan koordinasi kecil yang beranggotakan wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan lain-lain, yang berada di bawah


(21)

komando dan bertanggung jawab kepada Kepala BAKIN. Badan ini tidak mempunyai wewenang operasional dan tidak mendapat alokasi anggaran sendiri dari ABPN melainkan disediakan berdasarkan kebijakan internal BAKIN.

Pada masa itu, permasalahan narkoba di Indonesia masih merupakan permasalahan kecil dan Pemerintah Orde Baru terus memandang dan berkeyakinan bahwa permasalahan narkoba di Indonesia tidak akan berkembang karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila dan agamis. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya narkoba, sehingga pada saat permasalahan narkoba meledak dengan dibarengi krisis mata uang regional pada pertengahan tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia seakan tidak siap untuk menghadapinya, berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang sejak tahun 1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya narkoba.

Menghadapi permasalahan narkoba yang berkecenderungan terus miningkat, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua Undang-undang tersebut, Pemerintah (Presiden Abdurahman Wahid) membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. BKNN adalah suatu Badan Koordinasi penanggulangan narkoba yang beranggotakan 25 Instansi Pemerintah terkait.

BKNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara ex-officio. Sampai tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personil dan


(22)

alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal.

BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba yang makin serius. Oleh karenanya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN, sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi: 1. mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba; dan 2. mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba. Mulai tahun 2003 BNN baru mendapatkan alokasi anggaran dari APBN. Dengan alokasi anggaran APBN tersebut, BNN terus berupaya meningkatkan kinerjanya bersama-sama dengan BNP dan BNK. Namun karena tanpa struktur kelembagaan yang memilki jalur komando yang tegas dan hanya bersifat koordinatif (kesamaan fungsional semata), maka BNN dinilai tidak dapat bekerja optimal dan tidak akan mampu menghadapi permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius. Oleh karena itu pemegang otoritas dalam hal ini segera menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Propinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK), yang memiliki kewenangan operasional melalui kewenangan Anggota BNN terkait dalam satuan tugas, yang mana BNN-BNP-BNKab/Kota merupakan mitra


(23)

kerja pada tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing bertanggung jawab kepada Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota, dan yang masing-masing (BNP dan BN Kab/Kota) tidak mempunyai hubungan struktural-vertikal dengan BNN.

Menghadapi permasalahan narkoba yang cenderung meningkat, Pemerintah dan Dewan Perwilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, Pemerintah (Presiden Abdurrahman Wahid) membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) adalah suatu badan koordinasi penanggulangan narkoba yang beranggotakan 25 instansi pemerintah terkait.12

Badan Koordinasi Narkotika Nasional ini diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara ex-officio. Sampai tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personil dan alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal. BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba yang makin serius. Oleh karenanya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). Badan


(24)

Narkotika Nasional adalah lembaga non-struktural yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Badan Narkotka Nasional sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi:

1. Mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkotika

2. Mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba.

Badan Narkotika Nasional mempunyai tugas membantu presiden dalam : a. Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam penyusunan

kebijakan dan pelaksanaan kebijakan operasional di bidang ketersediaan dan pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya atau dapat disingkat dengan P4GN ; dan

b. Melaksanakan P4GN dengan membentuk satuan tugas yang terdiri dari unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya masing – masing.

Kemudian Badan Narkotika Propinsi mempunyai tugas membantu Gubernur dalam :

a. Mengoordinasikan perangkat daerah dan instansi pemerintah di Provinsi dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan operasional BNN di bidang ketersediaan dan P4GN;dan


(25)

b. Membentuk satuan tugas sesuai kebijakan operasional BNN yang terdiri atas unsur perangkat daerah dan instansi pemerintah di Provinsi sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing.

Badan Narkotika Kabupaten/Kota mempunyai tugas membantu Bupati/Walikota dalam :

a. Mengoordinasikan perangkat daerah dan instansi pemerintah di Kebupaten/Kota, dalam mengimplementasikan kebijakan dan pelaksanaan operasional di bidang P4GN.

b. Membentuk satuan tugas sesuai kebijakan operasional BNN yang terdiri atas unsur perangkat daerah dan instansi pemerintah di Kabupaten/Kota sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing.

Keberadaan Badan Narkotika Nasional didasarkan kepada konvensi – konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Dengan ratifikasi tersebut , maka konvensi internasional tersebut menjadi bagian dari hukum positif Indonesia dan ketentuan – ketentuannya mengikat Indonesia untuk dilaksanakan.13

a. Single Convention on Narcotics Drugs 1961, yang sudah diratifikasi dengan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1976 , Pasal 35 (a) yaitu ;

Konvensi – konvensi internasional yang dimaksud antara lain :

“ Membuat pengaturan untuk koordinasi pada lingkup nasional kegiatan-kegiatan pencegahan dan penegakan hukum terhadap peredaran gelap narkotika dan untuk hal ini perlu dibuat sebuah badan yang mengkoordinasikan kegiatan – kegiatan tersebut ”.


(26)

b. Convention on Psychotropic Substances 1971, yang sudah diratifikasi dengan Undang – undang No.8 Tahun 1996.

Sedangkan misi dari Badan Narkotika Nasional adalah :

a. Mengkoordinasikan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penyediaan legal, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan pengedaran gelap narkoba dan prekursor dari instansi pemerintah terkait. b. Mendorong dan meningkatkan pertisipasi masyarakat, organisasi bukan

pemerintah, media massa dan sektor usaha serta masyarakat luas dalam program pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan pengedaran gelap narkoba dan prekursor.

c. Melaksanakan kerjasama regional dan internasional baik bilateral dan multilateral.

d. Menyelenggarakan pengembangan kapasitas SDM melalui program pelatihan, dan pengadaan prasarana dan sarana, serta piranti lunak, termasuk pengembangan sistem informasi nasional narkoba yang terpadu dengan sistem informasi narkoba regional dan internasional.

e. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan tentang permasalahan narkoba.

Perkembangan kelembagaan Badan Narkotika Nasional pada Periode

Pertama ( 1971-1999 )14

14

Ibid , hlm: 107.

, Indonesia sejak tahun 1971 telah melaksanakan tindakan – tindakan yang bertujuan menanggulangi bahaya narkotika, kala itu pemerintah Soeharto mengantisipasi dengan menerbitkan Instruksi Presiden


(27)

Nomor : 6/1971 yang menginstruksikan kepada Kabakin untuk mendirikan Badan Koordinasi, Bakolak Inspres 6/1971 yang menangani 6 masalah nasioanal yaitu :

1. Pemberantasan uang palsu

2. Penanggulangan penyalahgunaan narkoba 3. Penanggulangan penyeludupan

4. Penanggulangan kenakalan remaja 5. Penanggulangan subversi

6. Penanggulangan orang asing

Periode Kedua pada tahun (1999-2002), dengan berkembangnya permasalahan penyalahgunaan dan peredran gelap Narkoba yang semakin meningkat dan berdasarkan amanat Undang – Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 54, maka pada tahun 1999 pemerintah Indonesia membentuk Lembaga baru melalui Keppres Nomor 116 tahun 1999 yaitu Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) dengan tugas pokok menetapkan kebijaksanaan dan strategi serta mengkoordinasikan semua lembaga departermen- Non departermen. Pada periode dirasakan struktur organisasi belum berjalan dengan baik dan koordinasi hanya sebatas administrasi sedang operasionalnya masih sporadis dan sektoral pada masing – masing anggota departermen/lembaga BNN.

Periode Ketiga ( 2002-2004), karena lembaga yang ada hanya bersifat koordinatif dan administratif, maka dinilai kurang, efektif sehingga memerlukan lembaga yang lebih operasional. Untuk itu berdasarkan Keppres Nomor 17 Tahun 2002 dan Inpres Nomor 3 Tahun 2002, Undang – Undang Nomor 22 tahun 1997


(28)

dan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, MA, pada Sidang Tahun MPR RI Tahun 2002, Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) diubah menjdi Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan memiliki 25 anggota dari Departermen serta lembaga pemerintah terkait dengan Kapolri Selaku ketua Ax officio yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Tugas pokoknya adalah mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam menyusun kebijksanaan dan pelaksanaan di bidang ketersediaan dan P4GN serta melaksanakan P4GN dengan membentuk satgas – satgas yang bersifat operasional. Sejak perubahan status kelembagaan menjdi BNN pada tahun 2002 maka Polri secara khusus telah memperbantukan 1 ( satu ) Direktorat yaitu Direktorat IV Narkoba Bareskrim Polri untuk mendukung tugas operasional dibawah kendali BNN. Disamping itu badan Narkotika Nasional pun sudah diakui sebagai focal point untuk masalah narkoba oleh badan-badan Internasional di dunia.

Visi Badan Narkotika Nasional yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Misi Badan Narkotika Nasional adalah :

1. Mengkoordinasikan penyusunan pelaksanaan kebijakan di bidang penyediaan legal, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan pengedaran gelap narkotika dan prekursor dari instansi pemerintah terkait. 2. Mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat, organisasi bukan


(29)

program pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan pengedaran gelap narkoba dan prekursor.

3. Menyelenggarakan kerjasama regional dan internasional baik bilateral maupun multilateral

4. Menyelenggarakanpengembangan kapasitas Sumber Daya Manusia melalui program pelatihan, dan pengadaan prasarana dan sarana, serta piranti lunak,termasuk pengembangan sistem informasi nasional narkoba yang terpadu dengan sistem informasi narkoba regional internasional. 5. Menyelanggarakan penelitian dan pengembangan tentang permasalahan

narkotika.

Merespon perkembangan permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius, maka Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika. Berdasarkan undang-undang tersebut, status kelembagaan BNN menjadi Lembaga Pemerintah Non-Kementrian (LPNK) dengan struktur vertikal ke propinsi dan kabupaten/kota. Di propinsi dibentuk BNN Propinsi, dan di kabupaten/kota dibentuk BNN


(30)

Kabupaten/Kota. BNN dipimpin oleh seorang Kepala BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. BNN berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden15.

Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 telah merekomendasikan kepada DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.

Berdasarkan undang-undang tersebut, status kelembagaan BNN menjadi Lembaga Pemerintah Non-Kementrian (LPNK) dengan struktur vertikal ke propinsi dan kabupaten/kota. Di propinsi dibentuk BNN Propinsi, dan di kabupaten/kota dibentuk BNN Kabupaten/Kota. BNN dipimpin oleh seorang Kepala BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. BNN berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Kepala BNN dibantu oleh seorang Sekretaris Utama, Inspektur Utama, dan 5 (lima) Deputi yaitu Deputi Pencegahan, Deputi Pemberdayaan Masyarakat, Deputi Rehabilitasi, Deputi Pemberantasan, dan Deputi Hukum dan Kerja Sama.

15

=1&smn=a.


(31)

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan nutuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan menganalisanya. Dalam melakukan penelitian seyogyanya selalu meningkatkan dengan makna yang mungkin dapat diberikan kepada hokum. Dalam melakukan suatu penelitian agar tercapainya sasaran dan tujuan yang diinginkan, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:16

1) Jenis Penelitian

Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk menganalisis kaidah kaidah hukum peranan penyidik POLRI, Badan Narkotika Nasional, dan Pegawai Negeri Sipil dalam penyelesaian penyalahgunaan narkoba maka jenis penelitian ini tergolong pada penelitian juridis normatif. Dalam penelitian ini, hukum dipandang sebagai kaidah atau norma yang bersifat otonom dan bukan sebagai sebuah fenomena sosial. Oleh karena itu, penelitian ini menjadikan kaidah hukum sebagai hasil penelitian.

Metode penelitian hukum normatif adalah metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang – undangan dan putusan pengadilan.

2) Data dan Sumber Data

Untuk memperoleh hasil data yang akurat dan signifikan, data dikumpulkan melalui studi pustaka yang dihimpun dan diolah dengan melakukan

16


(32)

pendekatan yuridis normatif. Penelitian deskriptif lebih mengutamakan data sekunder atau library research, yakni :

a. Bahan hukum primer, berupa Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota.

b. Bahan hukum sekunder, berupa bukun – buku bacaan yang ada hubungannya dengan materi penelitian ini.

Disamping data sekunder diatas dilakukan pula penelitian terhadap data primer sebagai bahan pendukung penelitian ini, yakni yang diperoleh dari informasi dan narasumber.

G. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang – undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya ilmiah lainnya.

1) Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan dengan studi kepustakaan tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif yang didukung oleh logika berfikir secara deduktif.


(33)

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini dibagi kepada empat bab yaitu :

BAB I : Yang berjudul Pendahuluan yang telah diuaraikan penulis secara singkat yakni tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan kepusatakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II : Berjudul Peranan Badan Narkotika Nasional ( BNN ) dalam Pencegahan Tindak Pidana Narkotika yang dalam sub babnya dibahas tentang Badan Norkotika sebagai Koordinator, Badan Norkotika sebagai Pendukung dan Badan Narkotika Nasional dalam Kebijakan dan Strategi Nasional Program P4GN

BAB III : Berjudul Peranan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam Proses Pemeriksaan Tindak Pidana Narkotika yang di dalam sub babnya dibahas tentang Badan Narkotika Nasional sebagai Penyidik Tindak Pidana Narkotika menurut Undang – Undang No 35 Tahun 2009, Hubungan Penyidik dan Polri dan Penyidik Badan Narkotika Nasional dan disertai contoh – contoh kasusnya.

BAB IV : Berjudul Kesimpulan dan Saran pada Bab terakhir ini penulis menarik suatu kesimpulan yang merupakan intisari dari skripsi ini dan sekaligus merupakan pemecahan dari permasalahan yang ada. Selain daripada itu , penulis juga memberikan saran


(34)

– saran dalam bab ini menurut kemampuan dan pengetahuan penulis selama masa perkuliahan.


(35)

BAB II

PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DALAM PENCEGAHAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA SEBELUM DAN

SESUDAH BERLAKUNYA UNDANG –UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

A. Sebelum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

1) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika

Penggunaan obat-obatan terlarang jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia, jauh sebelum pecahnya Perang Dunia ke-2 pada zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya para pemakai candu (opium) tersebut adalah orang-orang Cina. Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang. Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara tradisional, yaitu dengan jalan menghisapnya melalui pipa panjang. Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan Undang-Undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance).

Ganja (Cannabis Sativa) banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan telah sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari. Tanaman Erythroxylon Coca (Cocaine) banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi ekspor.

Untuk menghindari pemakaian dan akibat-akibat yang tidak diinginkan, Pemerintah Belanda membuat Undang-undang (Verdovende Middelen Ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (State Gazette No.278


(36)

Juncto 536). Meskipun demikian obat-obatan sintetisnya dan juga beberapa obat lain yang mempunyai efek serupa (menimbulkan kecanduan) tidak dimasukkan dalam perundang-undangan tersebut.

Setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang-undangan yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya (State Gaette No.419, 1949). Baru pada waktu tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi masalah besar dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan obat (narkotika) sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala itu berpengaruh pula di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan.

Menyadari hal tersebut maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71, yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing.

Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai lagi. Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang


(37)

No.9 tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik (pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan. Pada masa ini merupakan periode pertama dari perkembangan kelembagaan Badan Narkotika Nasional yang didirikan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971, dalam hal ini peran Badan Narkotika Nasional terdapat di dalam penjelasan pasal 34 menurut Undang – Undang no 9 tahun 1976 yaitu melakukan pengawasan dan berkoordianasi dengan penyidik dalam rangka penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika.

Dengan semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka UU Anti Narkotika mulai direvisi. Sehingga disusunlah UU Anti Narkotika nomor 22/1997, menyusul dibuatnya UU Psikotropika nomor 5/1997. Dalam Undang-Undang tersebut mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.

Tujuan dibentuknya undang – undang ini adalah untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya/penyalahgunaan narkotika dan memberantas peredaran gelap narkotika.

Upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika perlu dilaksanakan secara komprehensif dan


(38)

multidimensional, dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait baik pemerintah maupun masyarakat.

Pencegahan dan Pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dilakukan dengan membangun upaya pencegahan yang berbasis masyarakat, termasuk didalamnya melalui jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah dengan menggugah dan mendorong kesadaran masyarakat, kepedulian san peran serta aktif masyarakat. Motto yang menjadi pendorong semangat adalah “ Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati “.

Pemerintah juga mengupayakan kerjasama bilateral, regional, multilateral dengan negara lain dan/atau badan internasional guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sesuai dengan kepentingan nasional. Pemerintah membentuk sebuah badan koordinasi narkotika tingkat nasional yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Badan ini mempunyai tugas melakukan koordiansi dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Di dalam penjelasan Keputusan Presiden no 17 Tahun 2002 dinyataka bahwa Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam kegiatan Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika melaksanakan beberapa peran yaitu sebagai berikut :

a. Bidang Pencegahan, dengan memberikan pembinaan kepada masyarakat tentang bahaya narkotika, mendorong dan menggugah kesadaran masyarakat untuk tidak mengkonsumsi narkotika, serta membangktikan peran aktif serta kepedulian masyarakat untuk memerangi narkotika.


(39)

b. Bidang Rehabilitasi, dilakukan dengan cara medis dan sprtitual dalam mengobati orang yang telah mengkonsumsi narkotika yang bertujuan untuk menyembuhkan dan memulihkan kesehatan fisik dan mental jiwa dri pda pemakai narkotika. Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika dilakukan pada lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Menteri Sosial.

c. Bidang Penegakan Hukum, menggelar operasi rutin dengan target daerah merah (kawasan jual-beli) untuk dijadikan kawasan hijau (wilayah bebas narkoba). Hal ini merupakan langkah untuk meminimalkan atau membendung penyalahgunaan narkoba yang tidak mengenal waktu, lokasi dan korbannya.

Pada masa ini merupakan perkembangan ketiga dari Badan Narkotika Nasional, akan tetapi badan narkotika nasional pada masa itu dianggap kurang begitu efektif dikarenakan lembaga tersebut hanya bersifat koordinatif dan administratif.

Dalam hal ini masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Masyarakat wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.


(40)

2) Peraturan Presiden No 83 Tahun 2007 Tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, Badan Narkotika Kabupaten/Kota

Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya sudah semakin meningkat sehingga membutuhkan penanganan yang lebih komprehensif yang menuntut pengembangan organisasi secara proporsional di pusat dan daerah. Kemudian dalam rangka menjamin keterpaduan dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan operasional di bidang ketersediaan, pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya perlu peningkatan koordinasi antar instansi pemerintah.

Hal ini yang mendorong pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 yang merupakan revisi dari Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002.

Peran Badan Narkotika Nasional jika dikaitkan dengan pencegahan tindak pidana narkotika adalah suatu realitas yang tidak mungkin dilepaskan, sesuai dengan Pasal 3, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut :

a) Melakukan pengkoordinasian dengan instansi pemerintah terkait dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan operasional di bidang ketersediaan dan pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya atau dapat disingkat dengan P4GN. Pengkoordinasian ini meliputi berbagai hal yaitu :


(41)

1. Pengoordinasian instansi pemerintah terkait dalam penyiapan dan penyusunan kebijakan di bidang ketersediaan dan P4GN

2. Pengoordinasian instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan kebijakan di bidang ketersediaan dan P4GN serta pemecahan permasalahan dalam pelaksanaan tugas

3. Pengoordinasian instansi pemerintah terkait dalam kegiatan pengadaan, pengendalian, dan pengawasan di bidang narkotika psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya.

4. Pengoordinasian BNP dan BNK/Kota berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan di bidang P4GN

5. Pengoordinasian antara instansi pemerintah terkait maupun komponen masyarakat dalam pelaksanaan rehabilitasi dan penyatuan kembali ke dalam masyarakat serta perawatan lanjutan bagi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol di tingkat pusat dan daerah;

6. pengoordinasian peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;

b) Membentuk satuan satgas yang terdiri atas unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing.


(42)

c) Menyusun perumusan kebijakan nasional di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang selanjutnya disingkat dengan P4GN;

d) Menyusun dan perumusan kebijakan teknis pencegahan, pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerja sama di bidang P4GN;

e) Melaksanakan pembinaan teknis di bidang P4GN kepada instansi vertikal di lingkungan BNN;

f) Menyelenggarakan pembinaan dan pelayanan administrasi di lingkungan BNN;

g) Melaksanakan fasilitasi dan pengoordinasian wadah peran serta masyarakat;

h) Melaksanakan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika

i) Melakukan pemutusan jaringan kejahatan terorganisasi di bidang narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol;

j) peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol berbasis komunitas terapeutik atau metode lain yang telah teruji keberhasilannya;


(43)

k) Melaksanakan kerja sama nasional, regional, dan internasional di bidang P4GN;

l) Melakukan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan P4GN di lingkungan BNN;

Kemudian di dalam Bab II, Pasal 15 tentang peranan Badan Narkotika Propinsi dalam bidang pencegahan tindak pidana narkotika, adalah sebagai berikut :

a) Melakukan pengkoordinasian antara perangkat daerah dan instansi pemerintah di provinsi dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan operasional BNN di bidang ketersediaan dan P4GN.

b) Membentuk satuan satgas sesuai kebijakan operasional BNN yang terdiri dari atas unsur perangkat daerah dan instansi pemerintah di provinsi sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing.

Selanjutnya peranan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota di dalam bidang pencegahan tindak pidana narkotika adalah sebagai berikut :

a) Melakukan pengkoordinasian antara petangkat daerah dan instansi pemerintah di Kabupaten/Kota, dalam penyiapan dan penyusunan kebijakan pelaksanaan operasional di bidang P4GN

b) Melakukan pengoperasian satgas yang terdiri dari atas unsur perangkat daerah dan instansi pemerintah di Kabupaten/Kota di bidang P4GN sesuai dengan bidang tugas, dan fungsi dan kewenangannya masing-masing


(44)

c) Pelaksanaan pemutusan jaringan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya melalui satuan tugas di lingkungan Kabupaten/Kota sesuai dengan kebijakan operasional BNN

d) Pembangunan dan pengembangan sistem informasi sesuai dengan kebijakan operasional BNN

Badan Narkotika Nasional mempunyai tugas membantu Presiden dalam mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan operasional di bidang ketersediaan dan pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya atau dapat disingkat dengan P4GN.

Melaksanakan P4GN dengan membentuk satuan tugas yang terdiri atas unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing masing di bidang Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika pencegahan yang ditempuh oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah sebagai berikut :

Pencegahan Primer, ditujukan pada anak-anak dan generasi muda yang belum pernah menyalahgunakan narkoba. Semua sektor masyarakat yang berpotensi membantu generasi muda untuk tidak menyalahgunakan narkoba Kegiatan pencegahan primer terutama dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan, penerangan dan pendidikan17

17

Strategi pencegahan primer bertujuan untuk mencegah pergeseran populasi yang awalnya pengguna tak berkala menjadi pengguna rutin yang seharusnya masuk dalam informasi kategori frekuensi


(45)

penggunaan narkoba, jumlah narkoba yang digunakan serta faktor-faktor yang berhubungan dalam proses transisi pecandu narkoba berat.18

Kuratif disebut juga program pengobatan. Program kuratif ditujukan kepada pemakai narkoba. Tujuannya adalah mengobati ketergantungan dan menyembuhkan penyakit sebagai akibat dari pemakaian narkoba, sekaligus menghentikan pemakaian narkoba. Tidak sembarang orang boleh mengobati

Pencegahan Sekunder adalah pencegahan yang ditujukan pada anak-anak atau generasi muda yang sudah mulai mencoba-coba menyalahgunakan narkoba. Sektor-sektor masyarakat yang dapat membantu anak-anak, generasi muda berhenti menyalahgunakan narkoba. Kegiatan pencegahan sekunder menitikberatkan pada kegiatan deteksi secara dini terhadap anak yang menyalahgunakan narkoba, konseling perorangan dan keluarga pengguna, bimbingan sosial melalui kunjungan rumah.

Pencegahan Tertier ditujukan pada korban Narkoba atau bekas korban narkoba. Sektor-sektor masyarakat yang bisa membantu bekas korban Narkoba untuk tidak menggunakan Narkoba lagi. Kegiatan pencegahan tertier dilaksanakan dalam bentuk bimbingan sosial dan konseling terhadap yang bersangkutan dan keluarga serta kelompok sebayanya, penciptaan lingkungan sosial dan pengawasan sosial yang menguntungkan bekas korban untuk mantapnya kesembuhan, pengembangan minat, bakat dan keterampilan kerja, pembinaan org tua, keluarga, teman dmn korban tinggal, agar siap menerima bekas korban dgn baik jgn sampai bekas korban kembali menyalahgunakan Narkotika.


(46)

pemakai narkoba. Pemakaian narkoba sering diikuti oleh masuknya penyakit-penyakit berbahaya serta gangguan mental dan moral. Pengobatannya harus dilakukan oleh dokter yang mempelajari narkoba secara khusus. Pengobatan terhadap pemakai narkoba sangat rumit dan membutuhkan kesabaran luar biasa dari dokter, keluarga, dan penderita. Inilah sebabnya mengapa pengobatan pemakai narkoba memerlukan biaya besar tetapi hasilnya banyak yang gagal. Kunci sukses pengobatan adalah kerjasama yang baik antara dokter, keluarga dan penderita.

Rehabilitasi adalah upaya pemulihan kesehatan jiwa dan raga yang ditujukan kepada pemakai narkoba yang sudah menjalani program kuratif. Tujuannya agar ia tidak memakai lagi dan bebas dari penyakit ikutan yang disebabkan oleh bekas pemakaian narkoba. Seperti kerusakan fisik (syaraf, otak, darah, jantung, paru-paru, ginjal, dati dan lain-lain), kerusakan mental, perubahan karakter ke arah negatif, asosial. Dan penyakit-penyakit ikutan (HIV/AIDS, hepatitis, sifili dan lain-lain). Itulah sebabnya mengapa pengobatan narkoba tanpa upaya pemulihan (rehabilitasi) tidak bermanfaat. Setelah sembuh, masih banyak masalah lain yang akan timbul. Semua dampak negatif tersebut sangat sulit diatasi. Karenanya, banyak pemakai narkoba yang ketika ”sudah sadar” malah mengalami putus asa, kemudian bunuh diri.

Program represif adalah program penindakan terhadap produsen, bandar, pengedar dan pemakai berdasar hukum. Program ini merupakan instansi pemerintah yang berkewajiban mengawasi dan mengendalikan produksi maupun distribusi semua zat yang tergolong narkoba.Selain mengendalikan produksi dan


(47)

distribusi, program represif berupa penindakan juga dilakukan terhadap pemakai sebagai pelanggar undang-undang tentang narkoba. Instansi yang bertanggung jawab terhadap distribusi, produksi, penyimpanan, dan penyalahgunaan narkoba adalah : Badan Obat dan Makanan (POM), Departemen Kesehatan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung/ Kejaksaan Tinggi/ Kejaksaan Negeri, Mahkamah Agung (Pengadilan Tinggi/ Pengadilan Negeri).

Upaya pencegahan di bidang Penegakan Hukum adalah upaya terpadu dalam pemberantasan narkoba secara kompherehensif, organisasi kejahatan narkoba dengan menerapkan undang – undang dan peraturan – peraturan secara tegas , konsisten dan dilakukan dengan sungguh – sungguh, serta adanya kerjasama anatar instansi dan kerjasama internasional yang saling menguntungkan. Strategi yang dilakukan dalam pengakan hukum dimaksudkan untuk :

a. Mengungkap dan memutus jaringan sindikat perdagangan dan peredaran gelap narkoba, baik nasional maupun internasional.

b. Melakukan proses penanganan perkara sejak penyidikan sampai lembaga pemasyarakatan secara konsisten dan sungguh – sungguh.

c. Mengungkapkan motivasi/latar belakang dari kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

d. Pemusnahan barang bukti narkoba yang berhasil disita, khususnya terhadap narkotika dan psikotropika golongan I.


(48)

e. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian terhadap ketersediaan dan peredaran prekursor serta penyitaan terhadap asset milik pelaku kejahatan perdagangan dan peredarn gelap narkoba

Untuk memperlancar pelaksanaan dan penyelenggaraan tugas dan fungsi BNN, yang diketuai oleh Kepala Kepolisian Negara Repbulik Indonesia, dibentuklah Pelaksana Harian BNN, yang selanjutnya disebut sebagai Lakhar BNN yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Ketua BNN. Lakhar BNN dipimpin oleh Kepala Pelaksana Harian yang selanjutnya disebut Kalakhar BNN.

Lakhar BNN mempunyai tugas memberikan dukungan teknis dan administratif kepada BNN di bidang ketersediaan dan P4GN. Lakhar BNN terdiri atas sekretariat, inspektorat, pusat dan satuan tugas.

BNN dalam operasionalnya ditingkat provinsi dilaksanakan oleh Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan pada tingkat kabupaten Kota oleh Badan narkotika Kabupaten/Kota (BNK). Sampai saat ini telah terbentuk 31 BNP dari 33 provinsi dan baru terbentuk 270 BNK dari 460 Kabupaten Kota di seluruh Indonesia.19

19 Pedoman P4GN ( Handbook Badan Narkotika Nasional , 2007) , hlm:70-73

Badan Narkotika Kabupaten/Kota juga mempunyai peran yang sama dengan Badan Narkotika Nasional dan Badan Narkotika Propinsi yaitu mengkoordinasikan perangkat daerah dan instansi pemerintah di Kabupaten/Kota.

Dalam melaksanakan tugas, setiap pempinan satuan organisasi di lingkungan Lakhar BNN, Lakhar BNP, Lakhar BNK/Kota wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap satuan organisasi di bawahnya.


(49)

Ketua BNN wajib melaporkan pelaksanaan dan penyelenggaraan tugas dan fungsi BNN kepada Presiden secara berkala atau sewaktu – waktu jika dipandang perlu.

Ketua BNP melaporkan pelaksanaan dan penyelenggaraan tugas dan fungsi BNP kepada Gubernur secara berkala atau sewaktu – waktunya jika dipandang perlu dan tembusannya disampaikan kepada BNN.

Ketua BNK/Kota melaporkan pelaksanaan dan penyelenggaraan tugas dan fungsi BNK/Kota kepada Bupati/Walikota secara berkala atau sewaktu – waktu jika dipandang perlu dan tembusannya disampaikan kepada BNN dan BNP. Dalam melaksanakan tugas BNN,BNP,BNK/Kota dapat mengikutsertakan peran masyarakat.

B. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Program kegiatan upaya Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika atau P4GN terhadap tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional didasari oleh kebijakan dan strategi nasional.20

Strategi Nasional P4GN berupa : Peningkatan kampanye anti Narkotika di lingkungan kerja, sekolah dan keluarga, untuk mengurangi tingkat prevalensi penyalahguna Narkotika yang saat ini berjumlah 1,99 % dari total populasi penduduk indonesia. Mengupayakan agar korban yang sembuh meningkat dan korban yang relapse berkurang. Pengungkapan jaringan sindikat meningkat.

20


(50)

Adapun Kebijakan nasional P4GN yaitu menjadikan masyarakat imun terhadap penyalahgunaan Narkotika, menyembuhkan korban penyalahguna Narkotika melalui proram terapi dan rehabilitasi dan terus menerus memberantas jaringan sindikat Narkotika.

Pelaksanaan program kegiatan yang difokuskan pada dua bidang, yaitu :

a. Supply Reduction (pemberantasan jaringan sindikat Narkotika), BNN

melalui satgas-satgas di bidang penegakan hukum telah dilakukan berbagai langkah dan upaya untuk menghentikan serta memutus mata rantai jaringan dan pasokan Narkotika di pasaran, melalui upaya-upaya antara lain :

1) Pengawasan terhadap peredaran Narkotika, khususnya prekursor yang merupakan bahan utama pembuat Narkotika, dengan cara memonitor para importir atau distributor bahan prekursor.

2) Latihan operasi maritim bersama -- interdiksi antara BNN dengan TNI Angkatan Laut yang merupakan tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman beberapa waktu lalu.

3) Sosialisasi dan pengawasan prekursor untuk para penegak hukum di 11 propinsi. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan para petugas di lapangan mengenai mekanisme dan proses pengawasan prekursor.

4) Peningkatan kemampuan aparat penegak hukum di bidang penyelidikan tindak pidana Narkotika melalui pelatihan controlled


(51)

b. Primary Demand Reduction (aktualisasi partisipasi masyarakat). Guna mendorong partisipasi masyarakat dalam menekan penyalahgunaan Narkotika, juga telah dilaksanakan berbagai kegiatan preventif. Penyuluhan dan penerangan tentang bahaya penyalahgunaan Narkotika di 33 propinsi kepada berbagai lapisan masyarakat, seperti lingkungan pendidikan, tokoh agama, tokoh masyarakat, instansi pemerintah dan swasta, para ibu, mahasiswa, pelajar, LSM, dan pemuda. Selain itu juga dilaksanakan upaya pemberdayaan masyarakat yang melibatkan 3.220 orang yang berasal dari lingkungan pendidikan, tenaga kerja, media massa, dan penyandang cacat.

Demand Reduction (penyembuhan penyalahguna Narkotika),

diimplementasikan dalam kegiatan terapi dan rehabilitasi korban penyalahgunaan Narkotika. Kemudian melaksanakan kegiatan - kegiatan lain di bidang terapi rehabilitasi yaitu :

1. Family support group, untuk memberikan pemahaman dan

keterampilan praktis bagi orang tua dan keluarga dalam mendukung kesembuhan para pecandu.

2. Recovery dari segi sosial bagi para pecandu, Narkotika melalui

kegiatan bermusik dan olahraga sepakbola.

3. Pengembangan sistem dan metode dengan memberikan akses kunjungan untuk keperluan penelitian, studi banding ataupun konsultasi seputar upaya penanggulangan korban Narkotika.


(52)

BAB III

PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL ( BNN ) DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. Badan Narkotika Nasional Sebagai Penyidik Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang – Undang No.35 Tahun 2009

Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan perederan gelap narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur menganai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009, BNN telah ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Beberapa perubahan substansial menyangkut organisasi BNN yang ada dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, seperti : kewajiban untuk menjalani rehabilitasi bagi mereka yang terbukti sebagai penyalahguna Narkoba, peningkatan kewenangan BNN untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, ancaman hukuman yang jauh lebih berat dan tegas bagi para pengedar Narkoba, serta hubungan organisasional yang bersifat vertikal dengan Badan Narkotika Nasional Propinsi (BNNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNNK). Perpres Nomor 23 Tahun 2010 yang telah disahkan pada tanggal 12 April 2010


(53)

lalu merupakan peraturan pelaksana tentang struktur organisasi dan tata kerja BNN, yang disusun sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 67 ayat 3 dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Dalam Perpres ini diatur mengenai susunan organisasi, tugas fungsi, tata kerja dan eselonisasi seluruh unit organisasi yang ada di lingkungan BNN.

Selanjutnya dalam Perpres Nomor 23 Tahun 2010 dijelaskan bahwa selain melaksanakan upaya Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN juga bertugas menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Psikotropika, Prekursor, dan bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. Dalam organisasi BNN yang baru ini terdapat 8 pejabat setingkat eselon IA pada posisi Kepala, Sekretaris Utama, Inspektorat Utama, Deputi Bidang Pencegahan, Pemberdayaan Masyarakat, Pemberantasan, Rehabilitasi, serta Hukum dan Kerjasama. Selain itu juga terdapat 24 pejabat setingkat eselon IIA, 49 pejabat setingkat eselon IIIA, dan 87 pejabat setingkat eselon IVA.

Untuk mencapai tujuan pembentukan undang-undang dan perpres tersebut, yang berorientasi pada pencapaian kinerja lima bidang di atas, maka pada hari ini dilakukan pelantikan dan sumpah jabatan bagi enam pejabat Eselon I. Dasar dari pelantikan para pejabat tersebut adalah dengan telah ditetapkannya Keputusan Presiden RI Nomor 158/M Tahun 2010, pada tanggal 21 Oktober 2010 lalu.

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dilakukan


(54)

berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Badan Narkotika Nasional mempunyai tugas sebagai berikut :

1. Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika

2. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika

3. Berkoordinansi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika

4. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.

5. Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika

6. Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

7. Mengembangkan laboratorium narkotika dan prekursor narkotika

8. Melaksanakan administrasi penyelidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika


(55)

B. Wewenang Penyidik POLRI, Penyidik Badan Narkotika Nasional dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil menurut Undang-Undang No 35 Tahun 2009

Penegakan hukum terhadap tindak pidana di Indonesia dilakukan oleh suatu sistem peradilan pidana. Secara umum sistem peradilan pidana di Indonesia terbagi atas beberapa sub sistem, yaitu : Kepolisian, Badan Narkotika Nasional, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan. Yang mana dari sistem peradilan yang ada adalah merupakan tahapan-tahapan yang harus ada di dalam suatu penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Dilihat dari pembagian sub sistem peradilan pidana tersebut Badan Narkotika Nasional pada prinsipnya adalah merupakan ujung tombak dari penegakan hukum tindak pidana narkotika di Indonesia, dapat diumpamakan apabila suatu tombak mata ujungnya tumpul maka tidak dapat berfungsi secara maksimal, begitu juga dalam hal ini Badan Narkotika Nasional.

Di dalam pasal 75 Undang – undang Nomor 35 Tahun 2009, penyidik BNN berwenang :

1. Melakukan penyidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

2. Memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan Prekursor Narkotika


(56)

4. Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredran gelap narkotika dan prekursor narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka

5. Memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredran gelap narkotika dan prekursor narkotika 6. Memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika

7. Menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan peyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika

8. Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika di seluruh wilayah jurisdiksi nasional. Yang dimaksud dengan “interdiksi“ adalah mengejar dan/atau menghentikan seseorang/kelompok

orang, kapal, pesawat terbang, atau kendaraan yang diduga membawa narkotika dan prekursor narkotika, untuk ditangkap tersangkanya dan disita barang buktinya.

Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “ penyadapan “ adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan cara menggunakan alat – alat elektronik sesuai dengan kemajuan teknologi terhadap pembicaraan dan/atau pengiriman pesan melalui telepon atau alat komunikasi elektronik lainnya.


(57)

Termasuk di dalam penyadapan adalah pemantauan elektronik dengan cara antara lain pemasangan transmitter di ruangan/kamar sasaran untuk mendengar/merekam semua pembicaraan ( bugging ), pemasangan transmitter pada mobil/orang/barang yang bisa dilacak keberadaannya

(bird dog), intersepsi internet, cloning pager, pelayan layanan singkat

(SMS), fax, CCTV (Close Circuit Television) , pelacak lokasi tersangka

(direction finde ).

Perluasan pengertian penyadapan dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan teknologi informasi yang digunakan oleh para pelaku tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika dalam mengembangkan jaringannya baik nasional maupun internasional karena perkembangan teknologi berpotensi dimanfaatkan oleh pelaku kriminal yang sangat menguntungkan mereka. Untuk melumpuhkan/memberantas jaringan/sindikat narkotika dan prekursor narkotika maka sistem komunikasi/telekomunikasi mereka harus bisa ditembus oleh penyidik, termasuk melacak keberadaan jaringan tersebut.

9. dan prekursor narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup.

10.Melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan

11.Memusnahkan narkotika dan prekursor narkotika

12.Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya. Tes urine, tes darah, tes rambut dan tes bagian tubuh lainnya dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu


(58)

pengetahuan dan teknologi untuk membuktikan ada tidaknya narkotika di dalam tubuh satu orang atau beberapa orang, dan tes asam dioksiribunukleat ( DNA ) untuk identifikasi korban, pecandu dan tersangka.

13.Mengambil sidik jari dan memotret tersangka

14.Melakukan pemnindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman. Yang dimaksud dengan “pemindaian“ dalam ketentuan ini adalah

scanning baik yang dapat dibawa – bawa ( portable ) maupun stationere.

15.Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat – alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika 16.Melakukan penyegelan terhadap narkotika dan prekursor narkotika yang

disita

17.Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti narkotika dan prekursor narkotika

18.Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredran gelap narkotika dan prekursor narkotika

19.Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika


(59)

Penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam pasal 75, juga berwenang :

1. Mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum

2. Memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait

3. Untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa

4. Untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika

5. Meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri

6. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait

7. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika yang sedang diperiksa


(1)

ke Indonesia adalah pelanggaran pidana sesuai pasal 113 ayat 1 dan 2 Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

DALAM HAL BARANG MELEBIHI 5 GRAM, ancaman pidana penjara dengan pidana mati, pidanna seumur hidup atau pidana penjara PALING LAMA 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimun Rp.10 miliar ditambah 1/3

TINDAK LANJUT :


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Bahwa Peranan Badan Narkotika Nasional dalam pencegahan tindak

pidana Narkotika sebelum dan sesudah menurut Undang-Undang No 35 Tahun 2009 adalah:

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Peran Badan Narkotika Nasional mengalami perkembangan dimulai pada tahun 1971, berdasarkan Instruksi Presiden No :6/1971, menginstruksikan kepada Kabakin untuk mendirikan Badan Koordinansi, Bakolak Inspres 6/1971 yang menangani berbagai masalah, yang salah satu diantaranya adalah penanggulangan narkoba. Pada masa ini peran Badan Narkotika Nasional, tidak begitu menonjol. Pada tahun 1999-2002, setelah lahirnya Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkoba, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, peranan BNN mengalami kemajuan, hal ini dapat dilihat di dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2002. Namun sesuai dengan perkembangan jaman, Undang-Undang nomor 22 Tahun 2007 tentang Narkoba dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dianggap sudah tidak memadai lagi karena dianggap kurang begitu menimbulkan efek jera bagi si pelaku. Dalam Hal ini juga peran BNN tidak begitu aktif, hanya bersifat kelembagaan, dan adiministratif saja.


(3)

Maka dibentuklah Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan penggabungan dari dua undang-undang yaitu Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkoba dan Undang-Undang No.5 Tahun 1997. Dalam Undang-Undang ini peran BNN mengalami peningkatan yang pesat, tidak hanya menjalankan program P4Gn tetapi BNN bertindak sebagai penyidik yang memiliki kewenangan khusus yang tercantum dalam pasal 73-80.

2. Bahwa Peranan Badan Narkotika Nasional di dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 telah mengalami kemajuan yang sangat pesat . BNN tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan . Kewenangan Badan Narkotika Nasional tercantum di dalam pasal 75 dan pasal 80, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan yang sama dengan penyidik BNN, akan tetapi polisi tidak memiliki kewenangan dalam melakukan proses penyadapan,sedangkan wewenang pejabat Pegawai Negeri Sipil, tercantum di dalam pasal 82.

B. SARAN

1. Dalam hal melakukan proses penyidikan tindak pidana narkotika, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika beserta dengan kewenangan yang dimilki penyelidik dan penyidik seperti penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam


(4)

ditambah penyadapan. Kewenangan BNN tersebut sangat besar dan tidak dimiliki oleh penyidik kepolisiaan, maka akan menimbulkan permasalahan secara kelembagaan, untuk itu seharusnya Kepolisian juga diberikan wewenang yang sama seperti penyidik BNN, karena pada dasarnya tahap proses penyidikan dilakukan secara bersama.

2. Pada prakteknya, banyak sekali kasus narkotika yang ditangani sendiri oleh pihak penyidik dan kepolisian, tidak bekerjasama dengan Badan Narkotika Nasional. Hal ini disebabkan karena penyidik dan kepolisian selalu beralasan tidak memiliki kewajiban untuk melaporkan suatu kasus kepada Badan Narkotika Nasional, dalam hal ini para penyidik dan kepolisian merasa lebih bisa menyelesaikan kasus itu sendiri, tanpa harus ikut campur tangan Badan Narkotika Nasional (BNN)


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Keputusan Presiden No. 83 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional. Keputusan Presiden No.22 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional.

Kudzaifah Dimyati dan Felik Wardiono, Metode Penelitian Hukum. Surakarta : Universitas Muhammadiyah, 2004

Komariah E.Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Alumni, 2002

Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, Jakarta : PT. Kencana, 2002 O.C. Kaligis & Associates, Narkoba dan Peradilannya di Indonesia, Reformasi

Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan, Bandung, 2002 Materi Advokasi. Pencegahan Narkoba. Handbook Narkotika Nasional.

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Yogyakarta : Bina Aksara, 1983.

Moh. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika. Ghalia Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003

Romli Atmasasmita. Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1977

Sudarto, Kapita Selekta Pidana, Bandung : Penerbit Alumni, 1986

Djoko Prakoso, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Jakarta : Bina Aksara, 1987

Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Undang-undang No. 27 Tahun 1999


(6)

B. Internet

=1&smn=a.

June16, 2008 at 7:59 am

July 6, 2007 at 22:40 pm

http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=PressRelease&op=detai l_press_release&id=68&mn=2&smn=e, Jakarta | 31 Desember 2009