Ujian Akhir Semester

  

Ujian Akhir Semester

Mata Kuliah Menulis Kreatif

Tugas Cerita Pendek dan Tulisan Bebas Sejarah

  

Disusun oleh:

Tantri Swastika

09/281888/SA/14686

  

Jurusan Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Gadjah Mada

  

Sekilas Tentang Kerajaan Banten dan Hubungannya dengan VOC

Pendahuluan

  Islamisasi yang terjadi di Banten pada awalnya dilakukan oleh Sunan Ngampel Denta lalu dilanjutkan oleh Sunan Gunungjati atau Syarif Hidayatullah. Sunan Gunungjati menikah dengan salah seorang puteri Bupati Banten, Nyai Kawunganten, ka rena Bupati saat itu terkesan dengan kepiawaiannya dalam berdakwah. Hasil dari perkawinannya itu melahirkan seorang putra bernama Maulana Hasanuddin, yang nantinya menjadi pendiri Kerajaan Banten. Tahun 1525, Hasanudin berhasil mengalahkan penguasa setempat (Banten Girang) dan memindahkan ibu kota kerajaan dari daerah pedalaman ke pesisir Kota Banten, sesuai anjuran ayahnya. Tahun 1552 Banten masih merupakan vassal dari Kerajaan Demak dengan Rajanya Hasanudin dan ibukotanya di Surosowan. Sumber lain mengatakan bahwa Sunan Gunungjati sengaja datang ke Jawa Barat untuk mendirikan pusat perdagangan dan menggulingkan kekuasaan Banten bersama pasukan Demak. Banten diperintah oleh Sunan Gunungjati dibawah vassal Demak, namun pada masa-masa berikutnya keturunan Sunan

  

  Banten terletak di sepanjang dua aliran Sungai Cibanten yang terbagi menjadi dua, dimana sungai di bagian barat berperan sebagai Pelabuhan Internasional sedangkan di sebelah timur menjadi pelabuhan lokal, Karanguntu. Ada tiga bagian kota di Banten, pusat kota berada di tengah delta, kampong Pecinan di sebelah barat, dan perkampungan dan pasar besar di sebelah timur. Banten juga memiliki kawasan melting pot yang terdiri atas penduduk Melayu, Ternate, bahkan dari mancanegara seperti Birma, Turki, dan Cina. Perkampungan Eropa terdiri atas rumah-rumah milik para pendatang dari Inggris, Portugis, Belanda, Denmark, dan Prancis. Umumnya mereka mendirikan loji kecuali orang Portugis yang telah

  

  Status Sosial

  Sistem stratifikasi sosial dipengaruhi oleh pemerintahan yang berkkuasa saat itu, 1 misalnya saja saat Eropa mulai mendiami Banten pada awal kekuasannya. Saat itu golongan

M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. (Jakarta: Serambi, 2008), hlm.73. 2 Guillot Claude, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. (Jakarta: Gramedia, 2008), masyarakat terbagi atas empat kelompok, bangsa Eropa, kelompok Cina/Arab, dan

  

  masyarakat pribumedangkan kelas sosial dibagi menjadi empat lapisan, yang pertama dan tertinggi adalah golongan keluarga raja Banten. Golongan menengah terdiri atas golongan elite yang terdiri atas kaum priyayi dan kaum bangsawan yang memiliki kedudukan di pemerintahan. Sedangkan golongan ketiga adalah kaum non-elite yang terdiri atas pedagang, petani, nelayan, dan lain-lain serta golongan yang paling bawah adalah para budak.

  Kegiatan ekonomi

  Banten sudah menjadi kota yang penting dalam jalur perdagangan internasional sejak awal abad 17, peran administrasi di pelabuhan dipegang oleh Syahbandar. Kota pelabuhan Banten memiliki kedudukan yang sama pentingnya dengan Malaka semenjak Kasultanan Banten berdiri sendiri. Kegiatan perdagangan tumbuh pesat dengan hadirnya tiga pasar yang beroperasi setiap hari, yaitu pasar Karangantu (terletak di sebelah timur kota) yang berisi para pedagang asing, pasar di alun-alun dekat masjid agung, dan pasar di daerah Pecinan yang buka sampai malam hari. Barang dagangan utama yang diperdagangkan adalah barang- barang ekspor seperti bahan makanan, keramik, porselen, dan emas yang dijual ke pasaran Asia. Komoditi utama Banten yang menjadikannya terkenal dan membuat VOC sangat ingin menguasai monopoli perdagangannya adalah lada. China merupakan salah satu konsumen utama lada sejak awal abad XVII.

  Pelabuhan Banten mulai ramai oleh pedagang muslim sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511. Perdagangan dan pelayaran menjadi kegiatan utama, sedangkan kegiatan pertanian seperti pembukaan sawah dan perkebunan lada hanya menjadi aktivitas pendukung saja. Dengan diperkenalkannya tebu oleh para pedagang Cina pada 1620-an menambah jumlah komoditi baru di Banten. Di sebelah timur pusat kota terdapat perkampungan Tionghoa yang didalamnya ada pasar yang diramaikan oleh kios-kios orang Tionghoa. Lebih ke timur lagi terdapat tambak garam yang berada di perkampungan nelayan.

  Sistem Pemerintahan

  Kepala pemerintahan dipegang oleh raja yang bergelar maulana, lalu selanjutnya bergelar Sultan sampai tahun 1638. Sedangkan di Banten sendiri nantinya terdapat tiga sultan yang bergelar Maulana, yang memiliki arti penguasa dan cukup berperan dalam dakwah 3 agama islam.

  Selain raja, pucuk pemerintahan juga dibantu oleh dua perdana menteri yang megurusi kepentingan internal kerajaan (Patih Jero) dan eksternal (Patih Jaba). Ada lagi perdana menteri yang berasal dari keluarga kerajaan derajatnya lebih tinggi, yaitu Perdana Menteri bangsawan yang menangani segala urusan bangsawan. Sedangkan Patih Jero menangani masalah keluarga raja, gelar yang dimiliki yaitu mangkubumi. Patih Jaba mengurusi berbagai persoalan eksternal kerajaan seperti kebijakan bagi orang asing dan tidak diperkenankan untuk melakukan kontak dengan bangsawan. Patih Jaba bergelar tumenggung dan biasa dipanggil Kiai Patih.

  Maulana Yusuf merupakan putra pertama dari Sultan Hasanuddin, beliau memiliki seorang putri bernama Ratu Winahon dan seorang putra, Pangeran Muhammad yang nantinya melanjutkan kepemimpinan diusia yang sangat muda. Kepemimpinan Maulana Yusuf kemudian digantikan oleh Maulana Muhammad (1580 – 1596) lalu Sultan Ageng Tirtayasa (1651 – 1682) dimana pada masa pemerintahannya ini Banten mengalami banyak kemajuan.

   Hubungan Diplomatik

  Hubungan diplomatik dijalin Banten dengan kerajaan lain seperti tetangganya, Cirebon, Demak, Bangka, dan Indrapura serta kerajaan lain yang dapat mendukung perokonomiannya. Hubungannya dengan Cirebon telah terjalin lama dan saling menguntungkan. Misalnya saja saat Cirebon membantu Banten dalam penakhlukan Kerajaan Sunda, begitu pula dengan Banten yang turut membebaskan dua pangeran yang disandera oleh Mataram. Selain itu hubungan pelayaran dengan komoditas rempah-rempah Maluku

  

  juga dijalin dengan Kerajaan G Sedangkan hubungan perniagaan dengan negara lain terlihat dengan dikirimnya utusan kerajaan ke Inggris pada 10 November 1681. Selain itu kegiatan ekspor padi hasil dari persawahan di daerah sekitar irigasinya juga memperluas hubungan diplomatik dengan luar negeri.

  Hubungan Banten dengan VOC

  Belanda pertama kali menginjakkan kaki di nusantara yaitu di Banten, pada tahun 1596 dibawah komando Cornelis de Houtman, namun orang Portugis telah lebih dulu tiba di sana. Setibanya Belanda di Banten ternyata telah didahului oleh para pesaingnya, yaitu para pedagang Cina dan Inggris. Utusan Inggris, Sir James Lancaster memulai pelayaran ke 4 Hindia Timur dan telah tiba di Aceh pada tahun 1602, segera setelah itu dia mendirikan kantor dagang di Banten.

  VOC lahir sebagai organisasi yang menghimpun para pengusaha Belanda di Hindia Timur guna menghindari persaingan tidak sehat yang terjadi sebelumnya dan untuk menghadapi oraganisasi sejenis milik Inggris (EIC). VOC terbentuk pada tahun 1602 dan telah membangun pos dagang pertama mereka di Banten pada tahun 1603. Banten dikenal dengan pusat lada yang kaya dan pelabuhannya yang ramai dengan pedagang Cina dan Inggris dimana tidak akan sesuai apabila VOC akan mendirikan markas besar disana. Di lain hal, persaingan yang keras antar pedagang Eropa muncul, perdagangan Inggris tidak berjalan lancar dan kontraknya dengan Banten tersendat dengan adanya masalah internal kerajaan pada tahun 1608. Hal ini membuat Inggris beralih ke Jayakarta dan mulai membangun loji disana pada tahun 1610. Sedangkan tahun 1611 VOC telah memiliki pos di Jayakarta, dimana J.P Coen lebih senang untuk mendirikan markas besar disana karena pelabuhannya yang bagus, namun dirinya tidak mengetahui bahwa ternyata Jayakerta diperintah oleh Sultan Wijayakrama dan merupakan vassal Banten. Dengan begitu Banten memutuskan untuk menyerang Jayakarta dan VOC.

  Thomas Dale, seorang Laksmana Inggris diperintahkan untuk membersihkan orang Belanda yang mendiami Jayakarta, namun sesampainya disana Dale dihadang oleh Coen. Dale memaksa Coen untuk mundur, namun ternyata saat itu Coen pergi menuju Maluku, mencari pasukan guna menghalau aksi Dale tersebut. Pada akhir Januari 1619 VOC telah menyerah dan datang pasukan Banten menghadang Dale dan Wijayakrama. Thomas Dale berhasil lari dan Wijayakrama dapat dipukul mundur. Pasukan Banten telah menduduki kota dan VOC tetap berada didalam banteng. Pada 30 Mei di tahun yang sama, tentara Banten dipukul oleh pasukan Coen. Semenjak itu Belanda memiliki markas yang kuat di Batavia beserta kantor administrasinya.

  Klimaks dari perlawanan Banten – VOC adalah ketika, Amangkurat II terlanjur bersepakat dengan VOC dalam suatu perjanjian dan Sultan Ageng terlambat untuk menghentikannya. Hal itu dilakukan tak lain karena sikap Sultan Ageng yang begitu menentang VOC. Akibat perjanjian yang merugikan Mataram tersebut meletuslah pemberontakan Banten dengan VOC di Cirebon.

  Awal dari ketidakstabilan pemerintahan muncul ketika Sultan Haji (putri dari Sultan Ageng) berhasil diprovokasi oleh VOC. Saat itu Sultan ageng memegang urusan luar negeri kerajaan dibantu oleh putra lainnya, Pangeran Arya Purbaya, sedangkan masalah dalam negeri berada dibawah tangan Sultan Haji. Hal tersebut dipandang oleh wakil W. Caeff, wakil Belanda di Banten saat itu, sebagai peluang untuk mengikis kekuatan Banten dari dalam. Maka dihasutnya Sultan Haji dengan dalih bahwa dengan kedudukan Pangeran Arya Purbaya sebagai pembantu Sultan Ageng dapat memperkecil peluang dirinya untuk menduduki takhta kerajaan. Persekongkolan terjadi antara Sultan Haji dengan VOC melalui perjanjian dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Sultan Haji dan memberatkan pihaknya. Perebutan kekuasaan dilakukan oleh Sultan Haji pada tahun 1681 dengan dibantu pasukan VOC di istana Surosuwan. Semenjak itu Sultan Ageng terus melakukan penyerangan balik hingga akhirnya dirinya dapat ditawan VOC, namun Pangeran Arya Purbaya berhasil meloloskan diri. Dengan begitu pihak Sultan Ageng terus melakukan perlawanan seperti Syekh Yusuf, pangeran Purbaya, dan Pangeran Kulon -cucu Maulana Yusuf- sedangkan serangan balik juga dilakukan VOC dibawah pimpinan Kapten Tack, Jonker, dan St. Martin. Berbagai perlawanan yang dilancarkan pihak Sultan Ageng harus menuai kekalahan, setelah Syekh Yusuf berhasil ditangkap dan diasingkan dan Sultan Haji menjadi raja Banten berikutnya.

  Monopoli perdagangan Belanda di Banten mulai berjalan setelah terjadi pengangkatan Sultan Haji sebagai sultan Banten. Dengan ini kekuasaan Banten telah jatuh dan segala kebijakannya telah disetir oleh VOC dengan ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 April 1684.

  

Daftar Pustaka

  Guillot, Claude. Banten: Sejarah dan Peradaban Abad x – XVII, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008, Jakarta: Serambi, 2008. Nina H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah, Jakarta: Pustaka LP3S, 2003.