TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

(1)

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN UNTUK PULAU ENGGANO DAN EKOSISTEM MANGROVENYA

Oleh Faezal Prandeka 16/403526/PKT/01245

MAGISTER ILMU KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA 2017


(2)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Secara geografis, Pulau Enggano berada di wilayah Samudera Indonesia yang posisi astronomisnya terletak antara 102,05°- 102,25° Bujur Timur dan 5,17°- 5,31° Lintang Selatan. Kecamatan Pulau Enggano mempunyai luas daratan ± 40,060 Ha (Senoaji dkk., 2006). Pulau Enggano terdiri dari enam desa yaitu Desa Banjarsari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana,dan Kahyapu. Kawasan Enggano memiliki beberapa pulau-pulau kecil, yaitu Pulau Dua,Merbau, Bangkai yang terletak di sebelah barat Pulau Enggano, dan Pulau Satu yang berada di sebelah selatan Pulau Enggano.

Pulau enggano memiliki potensi wisata, perikanan, perkebunan , pertanian dan kegiatan industry lainya. Aksessibilitas ke pulau enggano bias ditempuh menggunakan kapal feri dari pelabuhan pulau bai kota Bengkulu. Sebagai salah satu pulau terluar di Indonesia, pulau enggano memiliki ekosistem yang unik dan sangat rentan terhadap gangguan. Keunikan pulau enggano terbukti dengan ditemukan beberapa spesies flora dan fauna baru yang endemik.

Salah satu ekosistem yang ada di pulau enggano adalah ekosistem mangrove. Keadaan ekosistem mangrove di Pulau Enggano masih tergolong alami, hal ini dikarenakan Pulau Enggano merupakan salah satu pulau terdepan yang masih jarang dijumpai oleh banyak orang. Keadaan wilayah pesisirnya pun masih sangat terjaga dengan baik, sehingga pulau ini sangat potensial untuk dikembangkan khususnya pada wilayah ekosistem mangrove yang banyak memiliki fungsi ekologis terhadap lingkungan (Agustini. T.N dkk. 2016).

Berdasarkan keputusan gubernur No. 408 tahun 2003 tanggal 23 april 2003 tentang program pengembangan pulau enggano secara terpadu dan berkelanjutan dan kebijakan departemen kelautan dan perikanan tentang strategi pengembangan ekonomi wilayah berbasis kelautan dan perikanan, pemerintah provinsi bengkulu menyusun kebijjakan zona pengelolaan kawasan pesisir dan laut termasuk pulau enggano. Rencana zonasi di pulau enggano terbagi menjadi:

1. Zona pemanfaatan umum (perikanan, pariwisata, pemukiman dan ikutanya) 2. Zona konservasi (perlindungan daratan dan laut)

3. Zona khusus (pelabuhan) 4. Zona alur (alur pelayaran)


(3)

Sedikit gambaran terhadap wilayah eosistem mangrove di pulau enggano yaitu pada wilayah pesisir di Desa Kahyapu ditumbuhi oleh ekosistem mangrove yang memiliki luas wilayah mangrove sebesar ± 250 Ha (Pemda Kabupaten Bengkulu Utara, 2012). Komposisi vegetasi mangrove yang ditemukan di Desa Kahyapu sebanyak 16 (enam belas) jenis, 8 (delapan) jenis mangrove sejati yaitu jenis Acrostichum speciosum, Avicennia lanata, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Lumnitzera littorea, Rhizopora apiculata, Sonneratia alba,Xylocarpus granatum dan 8 (delapan) jenis tumbuhan mangrove asosiasi yaitu jenis Barringtonia asiatica, Hibiscus tiliaceus L, Ipomea pes-caprae, Morinda citrifolia, Nypa fruticans, Pandanus tectorius, Pandanus odoratissimus L.f. dan Thespesia populnea. Zonasi mangrove diataslah yang secara alami menjaga ekosistem dan keberadaan pulau enggano sehingga bisa bertahan sampai sekarang.

Pemanfaatan potensi SDA (sumberdaya alam) pulau enggano haruslah diimbangi dengan ketersediaan SDM (sumber daya manusia). Dengan demikian penyusunan RTRWK (rencana tata ruang kabupaten) di Kabupaten Bengkulu Utara diharapkan bisa secara berkelanjutan menopang ekonomi tanpa harus mengorbankan kondisi lingkungan pulau enggano.

B. Tujuan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk :mengetahui potensi-potensi yang ada di pulau enggano dan untuk mengetahui aspek-aspek penting dalam upaya pemanfaatan dalam bidang pembangunnan salah satunya bidang pembangunan kehutanan yang ada di pulau enggano.


(4)

BAB II ISI A. Pulau Enggano Dan Ancaman

FWI (forest watch indonesia) dan GWC (global forest watch) (2000) menngatakan hutan indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tertiggi di dunia meskipun luas daratanya hanya 1,3 % dari luas daratan di permukaan bumi. Alfred Russel Wallace (1854-1862) di indonesia, mengatakan bagaimana proses seleksi alam mempertahankan suatu spesies di dunia. Sehingga kemampuan bertahan hidup suatu spesies di alam akan menghindarinya dari kepunahan. Konsep penbagian wilayah fauna yang akhirnya menjadkan kekhassan suatu fauna di suatu daerah yang disebut dengan spesies endemik.

Kerusakan hutan di indonesia semakin meningkat dari tahun ketahun dan menjadi negara yang mengalami kehilangan hutan tropis yang tercepat di dunia. Laju deforestasi saat ini tidak kurang dari 2 juta Ha/ tahun atau dua kali lebih cepat dibandingkan laju deforestasi pada tahun 1980-an. (FWI,2000) bahkan Purnama (2004) melaporkan laju kerusakan hutan telah mencapai angka yang cukup fantastis sebesar 3,8 juta Ha/tahun. FWI dan GWC (2000) menyimpulkan bahwa penyebab laju deforestasi yang meningkat dua kali lipat adalah sistem politik dan ekonomi yang korup dengan menganggap sumber daya alam khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keperluan pribadi.

Mahatma Gandhi dalam Skephi (1992) tentang” bumi ini mengandung cukup sumber daya untuk seluruh umat manusia, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kerakusan segelintir umat saja”. Praktek norma-norma kapitalilsme di indonesia merupakan proses transformasi struktural di sektor kehutanan dalam rangka untuk meningkatkan pertumbuan ekonomi yang tinggi melalui mesin pembangunan yang dinamai modernisasi (Wibowo LR dkk.2009).

Laju deforestasi berhubungan langsung dengan komitmen indonesia dalam menurunkan emisi GRK (gas rumah kaca). Indonesia telah berkomitmen dalam upaya pengurangan emisi GRK melalui peraturan presiden (perpres) RI (republik indonesia) No.61/2011 tentang rencana aksi nasional penurunan emisi GRK. Sejalan dengan hal tersebut KLHK menerbitkan Permen No. 18/MenLHK-II/2015 tentang organisasi dan tata kerja KLHK mengamanatkan pembentukan organisasi baru yaitu Direktorat Jendral Pengendalian perubahan Iklim untuk mendukung implementasi nyata kegiatan-kegiatan diatas.


(5)

Laju deforestasi di bengkulu sudah cukup tinggi, yakni 231.157,75 Ha dari total luasan hutan 924.631 Ha yang terdiri dari hutan lindung, konservasi dan produksi. Berasarkan data dari KLHK (kementerian lingkungan hidup dan kehutanan) Laju deforestasi terbesar terletak pada kawasan hutan lindung tercatat pada tahun 2013 deforestasi di kawasan hutan lindung prov. Bengkulu sebesar 6000,7 Ha. Menurut data dari dinas kehutanan provinsi Bengkulu hal ini disebabkan oleh bayaknya aktifitas perambahan hutan, pembalakan liar, alih fungsi lahan dan pembakaran hutan. Diperlukan perangkat peraturan khusus (Perda) yang mengatur secara khusus pemanfaatan kawasan hutan.

Provinsi Bengkulu terdiri dari 9 (sembilan) kabupaten satu kota. Pulau enggano termasuk ke wilayah administratif kabupaten Bengkulu Utara. Luas daratan kab. Bengkulu Utara 4.324, 60 Km2 yang terbagi kedalam 17 (tujuh belas) Kecamatan. Pulau enggano memiliki Jenis-jenis endemik yang merupakan hasil dari isolasi geografis yang memunculkan evolusi biologi yang unik antara lain dari kelompok flora: Arthophyllum engganoense, Burmannia engganensis, Ixora engganensis, Medinella engganensis; dari kelompok fauna Ixorida engganica (Serangga), Hemiphyllodactylus engganoensis (Tokek) dan Otus enganensis (Burung). Keunikan lainnya adalah Enggano tidak memiliki primata seperti kepulauan lain di pantai barat Sumatera. Selain kenekaragaman hayati, pulau enggano memiliki.kearifan lokal yang khas dari semua wilayah di provinsi Bengkulu dan Bengkulu utara secar khusus, dimana orang-orang Kab. Bengkulu utara mayoritas suku Rejang.

Kebudayaan tradisional terlihat pada Pakaian adat masyarakat Enggano. Walaupun pakaian adat suku enggano sudah banyak berubah, terutama untuk hiasan kepala kaum wanitanya. Hiasan kepala tersebut sudah tidak lagi menggunakan bulu burung. Hal ini dapat menandakan bahwa proses biodiversity loss telah terjadi. Peneliti LIPI menemukan beberapa catan baru dan kandidat jenis baru dari flora Enggano. Catatan baru salah satunya adalah

Etlingera pauciflora yang sebelumnya hanya tercatat di Semenanjung Malaysia. Kandidat jenis baru berasal dari suku-suku Arecaceae, Cycadaceae & Zingiberaceae. Salak hutan Enggano (Salacca sp.) juga Pada kelompok tumbuhan rendah, para botanis LIPI mengidentifikasi Paku dan kerabatnya sebanyak 60 jenis, 152 jenis Bryophyta (lumut), 3 jenis jamur ascomychota dan 34 jenis jamur basidiomychota.

Pulau Enggano memiliki ciri khas fauna Sumatera. Jumlah kekayaan jenis fauna Enggano tidak begitu tinggi namun isolasi geografis memunculkan satwa endemik yang cukup banyak


(6)

misalnya burung. Oleh karena itu dunia internasioal mengkategorikan Pulau Enggano sebagai Endemic Birds Area. Peneliti LIPI berhasil mendata fauna dari beberapa kelompok takson sebagai berikut

1. Burung: Sejumlah 35 jenis burung dapat dicatat, dimana semua jenis endemik berhasil dijumpai. Jenis-jenis endemik tersebut antara lain Celepuk Enggano (Otus enganensis),

Anis Enggano (Zoothera leucolaema) dan Kacamata Enggano (Zosterops salvadorii) 2. Mamalia: Mamalia kecil tercatat sebanyak 13 jenis(11 jenis Chiroptera; 2 jenis Rodentia) ,

dua diantaranya adalah catatan baru, yaitu Cynopterus brachyotis dan Hipposideros cervinus.

3. Reptil dan Amfibi: Terkumpul 13 jenis reptilia & 2 jenis amfibia, di mana 3 jenis adalah endemik yaitu tokek Enggano (Hemiphyllodactylus engganoensis), tokek terbang Enggano (Draco modigliani) & ular kadut Enggano (Coelognathus enganensis).

4. Ikan: Jenis-jenis ikan baru teridentifikasi sebanyak 4 ordo, 26 familia dan 51 jenis. Kelompok paling besar berasal dari familia Gobiidae. Satu jenis ikan diperkirakan jenis baru, yaitu Stiphodon sp. Saat ini peairan tawar Enggano telah diintroduksi ikan gabus (Chana striata) yang berpotensi mengancam kelestarian ikan asli Enggano.

5. Serangga: Serangga merupakan komunitas paling banyak disetiap ekosistem. Pada ekspedisi ini, peneliti LIPI fokus pada kelompok tertentu yaitu Lepidoptera (ngengat dan kupukupu) sejumlah lebih dari 100 jenis, Odonata (capung) sekitar 15 jenis, Diptera (lalat) teridentifikasi tiga jenis dan rayap sebanyak tiga jenis.

Keanekaragaman hayati diatas merupakan kekayaan dari pulau enggano. Kenaekaaragaman hayati tersebut terdapat baik di hutan tropis maupun didalam hutan mangrove. Pemanfaatan sumberdaya alam di Pulau Enggano memerlukan rencana tata ruang pemanfaatan yang baik agar ekosistem dan ekonomi masyarakatnya bisa tetap terjaga. Keunikan pulau enggano membuat pulau ini retan terhadap perubahan lingkungan. Seperti halnya yang terjadi pada pulau Tikus yang luasanya terus berkurang sepanjang waktu. Sehingga pemanfaatan pulau tersebut tidak secara optimal bagi kesejahteraan masyarakatnya.

B. Ekosistem Mangrove

Tomlinson (1986) dan Wightman (1989) mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut maupun sebagai komunitas. Fungsi ekologis


(7)

hutan mangrove sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan abrasi, amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut dan lain sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis penting seperti, penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat-obatan dan lain-lain (Dahuri, Rais, Ginting, & Sitepu 1996). Ciri-ciri hutan mangrove pada umumnya :

1. Jenis tumbuhan yang hidup relatif sangat terbatas.

2. Akar pepohonan terbilang unik karena berbentuk layaknya jangkar yang melengkung. 3. Terdapat biji atau propagul dengan sifat vivipar atau mampu melakukan proses

perkecambahan pada kulit pohon.

4. Tanah hutan mangrove tergenang secara berkala.

5. Ekosistem mangrove juga mendapat aliran air tawar dari daratan. 6. Terlindung dari gelombang besar serta arus pasang surut laut. 7. Air di wilayah hutan mangrove berasa payau.

Ekosistem mangrove dapat berkembang dengan baik pada lingkungan dengan ciri-ciri ekologik sebagai berikut:

(a). Jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir dengan bahan-bahan yang berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang;

(b). Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan ini akan menentukan komposisi vegetasi ekosistem mangrove itu sendiri;

(c). Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau air tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan unsur hara dan lumpur;

(d). Suhu udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5ºC dan suhu rata-rata di bulan terdingin lebih dari 20ºC;

(e). Airnya payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin dengan salinitas mencapai 38 ppt; (f). Arus laut tidak terlalu deras;

(g). Tempat-tempat yang terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak yang kuat; (h). Topografi pantai yang datar/landai.


(8)

Habitat dengan ciri-ciri ekologik tersebut umumnya dapat ditemukan di daerah-daerah pantai yang dangkal, muara-muara sungai dan pulau-pulau yang terletak pada teluk.

C. Pembangunan Berkelanjutan Di Pulau Enggano

Pembangunan berkelanjutan adalah upaya peningkatan kualitas manusia secara bertahap dengan memperhatikan faktor lingkungan.Pada prosesnya, pembangunan berkelanjutan ini mengoptimalkan manfaat sumber daya alam, sumber daya manusia, dan iptek dengan menserasikan ketiga komponen tersebut, sehingga dapat berkesinambungan.

Pembangunan berkesinambungan ini dikenal dengan pembangunan berkelanjutan, yaitu: pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, efisiensi, dan memperhatikan pemanfaatannya baik untuk generasi masa kini maupun generasi yang akan datang (WCED, 1987: 59).

Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan kesepakatan global yang dihasilkan oleh KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Di dalamnya terkandung dua gagasan penting, yaitu: a. Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan pokok manusia untuk menopang hidup, di sini yang diprioritaskan adalah kebutuhan kaum miskin. b. Gagasan keterbatasan, yakni keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan baik masa kini maupun masa yang akan datang. Hal ini berarti, upaya peningkatan kualitas manusia yang dilakukan pada masa ini harus mempertimbangkan juga kualitas manusia pada masa yang akan datang. Dalam memanfaatkan lingkungan sebagai penopang pembangunan harus pula memperhitungkan keterbatasannya, sehingga tidak boleh serakah agar tidak habis pada saat ini. Hal yang penting dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan adalah: a. Proses pembangunan hendaknya berlangsung terus menerus dengan ditopang oleh kualitas lingkungan dan manusia yang berkembang secara berkelanjutan. b. Lingkungan hidup memiliki keterbatasan sehingga dalam pemanfaatannya akan mengalami pengurangan dan penciutan. c. Semakin baik kualitas lingkungan maka semakin baik pula pengaruhnya terhadap kualitas hidup yang tercermin antara lain pada meningkatnya usia harapan hidup dan menurunnya tingkat kematian. d. Penggunaan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dilakukan sehemat mungkin dan dicari sumber daya alternatif lainnya, sehingga dapat digunakan selama mungkin. e. Pembangunan yang dilakukan memungkinkan meningkatkan kesejaheraan genarasi sekarang tanpa mengurangi kesejahteraan generasi yang akan datang.


(9)

Pembangunan berkelanjutan memiliki karakteristik yang khas yang berbeda dengan pola pembangunan lainnya yang selama ini dilaksanakan. Ciri ciri tersebut antara lain: a. Menjamin pemerataan dan keadilan; strategi pembangunan yang berkelanjutan dilandasi oleh pemerataan distribusi lahan dan faktor produksi, lebih meratanya kesempatan perempuan, dan pemerataan ekonomi untuk kesejahteraan. b. Menghargai keanekaragaman hayati; keanekaragaman hayati merupakan dasar bagi tatanan lingkungan. Pemeliharaan keanekaragaman hayati memiliki kepastian bahwa sumber daya alam selalu tersedia secara berlanjut untuk masa kini dan masa yang akan datang. c. Menggunakan pendekatan integratif; dengan menggunakan pendekatan integratif, maka keterkaitan yang kompleks antara manusia dengan lingkungan dapat dimungkinkan untuk masa kini dan yang akan datang. d. Menggunakan pandangan jangka panjang; untuk merencanakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya yang mendukung pembangunan agar secara berlanjut dapat digunakan dan dimanfaatkan.

Dari gambaran di atas dapat kita kemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan berusaha menyatukan tiga dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi suatu sinergi dalam meningkatkan kualitas manusia. Dimensi ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan tetap memfokuskan kepada pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas serta menyertakan eko-efisiensi di dalamnya. Dimensi sosial mencakup pemberdayaan, peranserta, kebersamaan, mobilitas, identitas kebudayaan, pembinaan kelembagaan, dan pengentasan kemiskinan. Dimensi ekologi itu sendiri bertujuan untuk integritas ekosistem, ramah lingkungan dan hemat sumber daya alam, pelestarian keanekaragaman hayati, dan tanggapan isu global.

Dalam gambaran tentang kondisi umum mengenai pengelolaan Sumber daya alam dan lingkungan hidup, Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004 menyebutkan bahwa Konsep Pembangunan Berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijakan, namun dalam pengalaman praktek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali. Karena itu pembangunan berkelanjutan adalah sebuah harapan yang harus kita wujudkan dan dalam upaya mewujudkannya itu peranan hukum menjadi sangat relevan.

Selain pasal 33 UUD 1945 yang merupakan ketentuan pokok juga kita mempunyai seperangkat Undang-Undang yang mengatur tentang hal tersebut Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria, Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang ketentuan


(10)

pokok Kehutanan, kemudian dicabut dan digantikan dengan Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Secara umum, pulau enggano memiliki potensi sumberdaya pembanngunan yang cukup menonnjol, khususnya dibidang sumber daya alam, yaitu maritim dan pariwisata. Kedua sektor unggulan ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi leading sektor yang mampu menarik dinamika sektor-sektor lai, sekaligus mampu mendorong dinamika ekonomi kawasan.

Potensi maritim terlihat pada sektor perikanan. Sektor perikanan memiliki potensi sumberdaya ikan yang dapat dimanfaatkan pada jarak 12 mil dari pulau enggano adalah sekitar 4.754 ton/tahun, sedangkan potensi sumberdaya ikan di perairan ZEEI belum diketahui secara pasti. Sampai saat ini potensi sumberdaya ikan baru mencapai 76,8 ton (16%)/tahun, yang berarti masih memungkinkan peningkatan produksi sekitar 4000 ton/tahun.

Potensi sumberdaya hayati perikanan lainya yang cukup potensial di perairan laut pulau enggano adalah rumput laut, kepiting bakau dan gurita. Jenis-jenis ikan yang terdapat di perairan laut sekitar pulau enggano cukup beragam, meliputi ikan-ikan plagis (bessar dan kecil) maupun demersal., baik yang ekonomis penting maupun yang kkurang bernilai ekonomis penting.

Ekosistem terumbu karang juga turut serta dalam menjaga melimpahnya sumber ikan. Ekosistem terumbu karang terdapat di sekeliling pulau enggano. Lokasi terumbu karang sekeliling pulau enggano yaitu di perairan tanjung lakoaha, tanjung kioyeh, tanjung keramai, tanjung labuha, tanjung kahabi, teluk harapan dan koana, sekeliling pulau dua, pulau merbau dan pulau satu. Komponen pembangun ekosistem pembangun terumbu karang di sekitar pulau dua antara lain adalah coral, Acropora, Non-Acropora, (soft coral, sponges dan gorgonian), coraline, algae, marco algae, alga asseblage, sand dan ruble.

Titik pertemuan antara ekosistem laut dan darat salah satunya ada di ekosistem mangrove. Ekosistem hutan mangrove di pulau enggano memiliki ketebalan antara 50-1500 meter, dan merupakan ekosistem hutan mangrove yang relatif masih utuh karena belum banyak intervensi dari luar. Sebaran hutan mangrove di pulau enggano terutama dapat dijumpai di bagian selatan (tenggara) seperti kaana, kahyapu, hingga kawasan sekitar teluk harapan-teluk labuho, dan sedikit dibagian utara (barat daya) seperti di sekitar banjar sari. Berdasarkan interprestasi citra satelit (pengideraan jauh) tahun 2000, luas hutan mangrove pada bagian timur pulau enggano adala 448,33 Ha, sedangkan hutan mangrove yang terdapat sebelah timur (menghadap ke daratan bengkulu) adalah seluas 966,45 Ha.


(11)

Komposisi vegetasi mangrove yang ditemukan di Desa Kahyapu sebanyak 16 (enam belas) jenis, 8 (delapan) jenis mangrove sejati yaitu jenis Acrostichum speciosum, Avicennia lanata, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Lumnitzera littorea, Rhizopora apiculata, Sonneratia alba,Xylocarpus granatum dan 8 (delapan) jenis tumbuhan mangrove asosiasi yaitu jenis Barringtonia asiatica, Hibiscus tiliaceus L, Ipomea pes-caprae, Morinda citrifolia, Nypa fruticans, Pandanus tectorius, Pandanus odoratissimus L.f. dan Thespesia populnea. Zonasi mangrove diataslah yang secara alami menjaga ekosistem dan keberadaan pulau enggano sehingga bisa bertahan sampai sekarang.

Potensi selain diatas yang ditawarkan di pulau enggano berupa potensi pariwisata. Sumberdaya pariwisata yang ada di pulau enggano, antara lain wisata alam dan berburu. Wisata alam daratan lebiih banyak berupa kegiatan penjelajahan hutan-hutan wisata (hutan suaka alam) yang masih asli. Ada beberapa obyek wisata alam, berupa kawasan konservasi/cagar alam yang cukup potensial dikembangkan dipulau enggano, salah satunya adalah taman buru gunung Nanu’a seluas 7.271 Ha. Kawasan taman buru gunung Nanu’a merupakan hutan tropika tanah rendah hingga pantai. Kawasan ini cocok untuk sapi dan kerbau liar. Pembangunan pulau enggano secara berkelanjutan diharapkan mengacu pada data-data diatas. Supaya pemanfaatan potensi sumber daya alamnya bisa lebih optimal.

D.Pembangunan Kehutanan Dipulau Enggano

Dari luasan pulau enggano 40.060 Ha, tersedia lahan untuk kehutanan seluas 14.377 Ha dan untuk perutanan lainya (APL) seluas 25.682 Ha. Menurut perda No 12 Tahun 1993, arahan penggunaan lahan (makro) terdiri dari kawasan budidaya (73%) dan sisanya adalah kawasan lindung (termasuk lindung setemppat ) yaitu 27 %.

Pebangunan sumberdaya hutan menurut dinas kehutanan Provinsi Bengkulu, rincian peruntukan sumberdaya lahan kehutanan di pulau enggano mengacu kepada UU 41 tahun 1999. Yakni terdiri dari :

1. Hutan produksi seluas 2.191,78 Ha, terletak di Hulu Malakoni 2. Hutan lindung seluas 3.450 Ha, teretak di Koko Buwa-buwa

3. CA kioyo 1 dan 2 (305 Ha), tanjung laksana (333,28 Ha), sungai bahewo (495,06 Ha), dan talang Klowe (331,23 Ha)


(12)

Dari seluruh peruntukan lahan untuk kehutanan seluas 14.377,35 Ha. Yang dalam tata laksananya memerlukan pengawsan dari pemerintah dengan dinaungi oleh payung hukum. Realisasi perangkat hukum dilapangan dapat menjaga kesinambungan pemanfaatan pembangunan kehutanan di pulau enggano.

Pembangunnan dibidang kehutanan berdasarkan fungsinya dapat menjaga sumberdaya air. Sumber daya air berupa sungai yang cukup besar di pulau enggano antara lain seperti sungai air merah, air kinono, air apiko, air malakoni, air kuala kecil, air meok dan air moona. Air merupakan aspek yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan makhluk hidup yang ada di pulau enggano. Karena air merupakan sumber kehidiupan bagi masyarakatnya. Dengan adanya hutan mangrove di pulau enggano membuat aerasi tanah dalam siklus hidroorologinya tetap terjaga sampai sekarang. Pemanfaatan yang dibentengi dengan peraturan adat-istiadat budaya setempat juga berperan penting dalam menjaga kelestarian sumber daya alam di pulau enggano. E. Kendala Pembangunan Di Pulau Enggano

Seperti halnya pulau-pulau kecil di indonesia, pulau enggano tergolong sebagai kawasan tertinggal dibandingkan dengan daerah lainya. Kondisi tersebut disebabkan oleh konsep pembangunan yang lebih berorientasi pada pulau-pulau besar. Selain itu, cara pandang minimum terhadap pulau-pulau kecil, juga mengakibatkan pulau-pulau kecil di indonesia khususnya pulau enggano tidak adapat memainkan peranan penting dalam pembangunan perekonomian. Lebih dari itu, paradigma pembangunan lebih bersifat sektoral juga ikut mendorong ketertinggalan pengembangan kawasan pulau-pulau kecil saat ini.

Posisi geologis pulau enggano yang berada pada jalur gempa tektonik (bawah laut), menjadikan pertimbangan bagi lajunya pembangunan sarana dan prasarana di pulau enggano. Pengembangan pembangunan harusla dilihat dari banyak aspek. Oleh karena itu, pulau enggano dalam perkembanganya memerlukan perhatian yang khusus dalam bidang pembangunan. Terlebih lagi, SDM yang merupakan modal dasar dalam proses pembangunan. Pulau enggano dengan kepadatan penduduk yang sangat rendah menjadi penghambat percepatan pengembangan dan pembangunan. Akan tetapi minimnya jumlah penduduk berdampak dengan masih terjaganya ekosistem pulau.


(13)

Aksessibilitas merupakan penyebab yang paling dominan dalam menyebabkan ketertinggalan. Ini dikarenakan sarana dan prasarana, dan jarak ke ibukota provinsi berjarak 156 km dengan waktu tempuh 10-12 jam. Hal ini berdampak langsung terhadap berbagai sektor perekonomian masyarakatnya. Sumberdaya yang ada di dalam pulau dikarenakan akssessibilatnya menjadi sulit dikeluarkan yang berrdampak kepada mahalnya harga komoditi di bandingkan dengan kota Bengkulu.

Fasilitas yang ada di pulau enggano dalam bidang pendidikan hanya tersedia satu bangunan fisik SMP dan jjuga masih minimnya sarana dan prasarana seperti listrik, air bersih yang diperparah dengan kurangnya SDM yang menguasai tekhnollogi yang memadai. Rendahnya sektor pendidikan yang manghasilkan SDM yang baik, membuat berbagai prilaku negatid masyarakat yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Jumlah penduduk memang masih menekan tingkat kerusakan akan tetapi kerusakan dengan menggunakan bomdan racun ikan membuat ekosistem secara perlahan akan terganggu kalau tidak ada perhatian khusus dari pemerintah..


(14)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Pembangunan berkelanjutan dan pembangunan kehutanan di pulau enggano diharapkan dapat mengacu kepada data. Agar pembangunan yang diharapkan sesuai dengan tujuan pembangunan pulau enggano. Hal diatas dalam upaya membangun pulau enggano keluar dari keterisoliranya.

Potensi-potensi yang ada di pulau enggano mesti dimanfaatkan secara bijaksana dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan lingkunganya. Pemanfaatan yang baik memerlukan dukungan dari berbagai stake holders yang mempunyai kepentingan dalam upaya pengembangan dan pembangunan pulau enggano.

Kawasan hutan dan lahan penduduk merupakan sumber potensi yang dapat diamanfaatkan secara efektif dan efisiesn dengan memperhatikan kaidah-kaidah dan etika terhadap linnggkungan. Kerusakan salah satu komponen ekosistem pada umumnya, khususnnya di pulau enggano akan mengakibatkan ketidak seimbangan. Seperti halnya ekosistem mangrove yyang berpengarh terhadap tersedianya air tawar dengan menjaga aerasi air laut di pulau enggano. Potensi komponen penyusun ekosistem mangrove bisa juga bernilai ekonomi dengan memanfaatkan kawasan sesuai peruntukanya.

Pulau enggano memiliki keanekrgaman yang cukup melimpah, dan merupakan sumber plasma nutfah yang mana masih memerlukan banyak kajian-kajian di dalamnya. Agar pemanfaatan sumber daya alamnya oleh sumber daya manusianya tidak memiliki kecenderungan mengeksploitasi.

B.Saran

Tulisan ini merupakan salah satu bagian dari pengembangan pulau enggano. Oleh karena itu diharapkan tulisan ini dapat berguna dalam mencari referensi mengenai pulau enggano kedepanya.


(15)

Daftar Pustaka

Bappeda Provinsi Bengkulu, Pt Tricon Inter Multijasa Konsultan Dan Cv Mitra Konsultan , 2004, Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Dan Laut Provinsi Bengkulu. Nfaatan Bengkulu

Bappedalda Provinsi Bengkulu, 2006. Laporan Kegiatan Daya Dukung Pemanfaatan Dan Pengembangan Pulau Ennggano. Bengkulu

Dkp Provinsi Bengkulu. 2004. Penyusunan Tata Ruang Dan Potensi Pulau Enggano. Bengkulu

Dirjen P3K DKP. 2002. Modul Sosialisasi dan Orientasi Pemanfaatan Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau kecil. Direktorat Tata Ruang Laut dan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP RI, Jakarta. 96 p.

Ghufran, M dan Kordi, H. 2012. Ekosistem Mangrove: Potensi, Fungsi dan Pengelolaan. PT. Rineka Cipta, Jakarta. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara, Jakarta. KepMen LH. 2004. Kriteria Baku Dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nomor 201.

Nontji, A. 1986. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.

Noor,Y., Khazali, M dan Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Oxfam Novib, Bogor.

Nybakken,W.J. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia, Jakarta.

Nybaken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S Sukarjo. Gramedia. Jakarta. 459 hal.


(16)

Odum, E.P.1993. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Raymond, G., Harahap, N dan Soenarno. 2010. Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat Di Kecamatan Gending, Probolinggo. Agritek, Vol.18 No.2 April 2010 (185-200).


(1)

Komposisi vegetasi mangrove yang ditemukan di Desa Kahyapu sebanyak 16 (enam belas) jenis, 8 (delapan) jenis mangrove sejati yaitu jenis Acrostichum speciosum, Avicennia lanata, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Lumnitzera littorea, Rhizopora apiculata, Sonneratia alba,Xylocarpus granatum dan 8 (delapan) jenis tumbuhan mangrove asosiasi yaitu jenis Barringtonia asiatica, Hibiscus tiliaceus L, Ipomea pes-caprae, Morinda citrifolia, Nypa fruticans, Pandanus tectorius, Pandanus odoratissimus L.f. dan Thespesia populnea. Zonasi mangrove diataslah yang secara alami menjaga ekosistem dan keberadaan pulau enggano sehingga bisa bertahan sampai sekarang.

Potensi selain diatas yang ditawarkan di pulau enggano berupa potensi pariwisata. Sumberdaya pariwisata yang ada di pulau enggano, antara lain wisata alam dan berburu. Wisata alam daratan lebiih banyak berupa kegiatan penjelajahan hutan-hutan wisata (hutan suaka alam) yang masih asli. Ada beberapa obyek wisata alam, berupa kawasan konservasi/cagar alam yang cukup potensial dikembangkan dipulau enggano, salah satunya adalah taman buru gunung Nanu’a seluas 7.271 Ha. Kawasan taman buru gunung Nanu’a merupakan hutan tropika tanah rendah hingga pantai. Kawasan ini cocok untuk sapi dan kerbau liar. Pembangunan pulau enggano secara berkelanjutan diharapkan mengacu pada data-data diatas. Supaya pemanfaatan potensi sumber daya alamnya bisa lebih optimal.

D.Pembangunan Kehutanan Dipulau Enggano

Dari luasan pulau enggano 40.060 Ha, tersedia lahan untuk kehutanan seluas 14.377 Ha dan untuk perutanan lainya (APL) seluas 25.682 Ha. Menurut perda No 12 Tahun 1993, arahan penggunaan lahan (makro) terdiri dari kawasan budidaya (73%) dan sisanya adalah kawasan lindung (termasuk lindung setemppat ) yaitu 27 %.

Pebangunan sumberdaya hutan menurut dinas kehutanan Provinsi Bengkulu, rincian peruntukan sumberdaya lahan kehutanan di pulau enggano mengacu kepada UU 41 tahun 1999. Yakni terdiri dari :

1. Hutan produksi seluas 2.191,78 Ha, terletak di Hulu Malakoni 2. Hutan lindung seluas 3.450 Ha, teretak di Koko Buwa-buwa

3. CA kioyo 1 dan 2 (305 Ha), tanjung laksana (333,28 Ha), sungai bahewo (495,06 Ha), dan talang Klowe (331,23 Ha)


(2)

Dari seluruh peruntukan lahan untuk kehutanan seluas 14.377,35 Ha. Yang dalam tata laksananya memerlukan pengawsan dari pemerintah dengan dinaungi oleh payung hukum. Realisasi perangkat hukum dilapangan dapat menjaga kesinambungan pemanfaatan pembangunan kehutanan di pulau enggano.

Pembangunnan dibidang kehutanan berdasarkan fungsinya dapat menjaga sumberdaya air. Sumber daya air berupa sungai yang cukup besar di pulau enggano antara lain seperti sungai air merah, air kinono, air apiko, air malakoni, air kuala kecil, air meok dan air moona. Air merupakan aspek yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan makhluk hidup yang ada di pulau enggano. Karena air merupakan sumber kehidiupan bagi masyarakatnya. Dengan adanya hutan mangrove di pulau enggano membuat aerasi tanah dalam siklus hidroorologinya tetap terjaga sampai sekarang. Pemanfaatan yang dibentengi dengan peraturan adat-istiadat budaya setempat juga berperan penting dalam menjaga kelestarian sumber daya alam di pulau enggano. E. Kendala Pembangunan Di Pulau Enggano

Seperti halnya pulau-pulau kecil di indonesia, pulau enggano tergolong sebagai kawasan tertinggal dibandingkan dengan daerah lainya. Kondisi tersebut disebabkan oleh konsep pembangunan yang lebih berorientasi pada pulau-pulau besar. Selain itu, cara pandang minimum terhadap pulau-pulau kecil, juga mengakibatkan pulau-pulau kecil di indonesia khususnya pulau enggano tidak adapat memainkan peranan penting dalam pembangunan perekonomian. Lebih dari itu, paradigma pembangunan lebih bersifat sektoral juga ikut mendorong ketertinggalan pengembangan kawasan pulau-pulau kecil saat ini.

Posisi geologis pulau enggano yang berada pada jalur gempa tektonik (bawah laut), menjadikan pertimbangan bagi lajunya pembangunan sarana dan prasarana di pulau enggano. Pengembangan pembangunan harusla dilihat dari banyak aspek. Oleh karena itu, pulau enggano dalam perkembanganya memerlukan perhatian yang khusus dalam bidang pembangunan. Terlebih lagi, SDM yang merupakan modal dasar dalam proses pembangunan. Pulau enggano dengan kepadatan penduduk yang sangat rendah menjadi penghambat percepatan pengembangan dan pembangunan. Akan tetapi minimnya jumlah penduduk berdampak dengan masih terjaganya ekosistem pulau.


(3)

Aksessibilitas merupakan penyebab yang paling dominan dalam menyebabkan ketertinggalan. Ini dikarenakan sarana dan prasarana, dan jarak ke ibukota provinsi berjarak 156 km dengan waktu tempuh 10-12 jam. Hal ini berdampak langsung terhadap berbagai sektor perekonomian masyarakatnya. Sumberdaya yang ada di dalam pulau dikarenakan akssessibilatnya menjadi sulit dikeluarkan yang berrdampak kepada mahalnya harga komoditi di bandingkan dengan kota Bengkulu.

Fasilitas yang ada di pulau enggano dalam bidang pendidikan hanya tersedia satu bangunan fisik SMP dan jjuga masih minimnya sarana dan prasarana seperti listrik, air bersih yang diperparah dengan kurangnya SDM yang menguasai tekhnollogi yang memadai. Rendahnya sektor pendidikan yang manghasilkan SDM yang baik, membuat berbagai prilaku negatid masyarakat yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Jumlah penduduk memang masih menekan tingkat kerusakan akan tetapi kerusakan dengan menggunakan bomdan racun ikan membuat ekosistem secara perlahan akan terganggu kalau tidak ada perhatian khusus dari pemerintah..


(4)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Pembangunan berkelanjutan dan pembangunan kehutanan di pulau enggano diharapkan dapat mengacu kepada data. Agar pembangunan yang diharapkan sesuai dengan tujuan pembangunan pulau enggano. Hal diatas dalam upaya membangun pulau enggano keluar dari keterisoliranya.

Potensi-potensi yang ada di pulau enggano mesti dimanfaatkan secara bijaksana dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan lingkunganya. Pemanfaatan yang baik memerlukan dukungan dari berbagai stake holders yang mempunyai kepentingan dalam upaya pengembangan dan pembangunan pulau enggano.

Kawasan hutan dan lahan penduduk merupakan sumber potensi yang dapat diamanfaatkan secara efektif dan efisiesn dengan memperhatikan kaidah-kaidah dan etika terhadap linnggkungan. Kerusakan salah satu komponen ekosistem pada umumnya, khususnnya di pulau enggano akan mengakibatkan ketidak seimbangan. Seperti halnya ekosistem mangrove yyang berpengarh terhadap tersedianya air tawar dengan menjaga aerasi air laut di pulau enggano. Potensi komponen penyusun ekosistem mangrove bisa juga bernilai ekonomi dengan memanfaatkan kawasan sesuai peruntukanya.

Pulau enggano memiliki keanekrgaman yang cukup melimpah, dan merupakan sumber plasma nutfah yang mana masih memerlukan banyak kajian-kajian di dalamnya. Agar pemanfaatan sumber daya alamnya oleh sumber daya manusianya tidak memiliki kecenderungan mengeksploitasi.

B.Saran

Tulisan ini merupakan salah satu bagian dari pengembangan pulau enggano. Oleh karena itu diharapkan tulisan ini dapat berguna dalam mencari referensi mengenai pulau enggano kedepanya.


(5)

Daftar Pustaka

Bappeda Provinsi Bengkulu, Pt Tricon Inter Multijasa Konsultan Dan Cv Mitra Konsultan , 2004, Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Dan Laut Provinsi Bengkulu. Nfaatan Bengkulu

Bappedalda Provinsi Bengkulu, 2006. Laporan Kegiatan Daya Dukung Pemanfaatan Dan Pengembangan Pulau Ennggano. Bengkulu

Dkp Provinsi Bengkulu. 2004. Penyusunan Tata Ruang Dan Potensi Pulau Enggano. Bengkulu

Dirjen P3K DKP. 2002. Modul Sosialisasi dan Orientasi Pemanfaatan Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau kecil. Direktorat Tata Ruang Laut dan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP RI, Jakarta. 96 p.

Ghufran, M dan Kordi, H. 2012. Ekosistem Mangrove: Potensi, Fungsi dan Pengelolaan. PT. Rineka Cipta, Jakarta. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara, Jakarta. KepMen LH. 2004. Kriteria Baku Dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nomor 201.

Nontji, A. 1986. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.

Noor,Y., Khazali, M dan Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Oxfam Novib, Bogor.

Nybakken,W.J. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia, Jakarta.

Nybaken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S Sukarjo. Gramedia. Jakarta. 459 hal.


(6)

Odum, E.P.1993. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Raymond, G., Harahap, N dan Soenarno. 2010. Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat Di Kecamatan Gending, Probolinggo. Agritek, Vol.18 No.2 April 2010 (185-200).