Shalat Witir, Hadits Shalat Malam, Qadla Puasa

Shalat Witir, Hadits Shalat Malam, Qadla Puasa
FATWA TENTANG
SHALAT WITIR, LETAK HADITS SHALAT MALAM 4-4 RAKAAT, DAN
HUTANG PUASA DIGANTI DENGAN FIDYAH
Penanya:
Abu Nahar, Keprabon Tengah I/4a Solo
(disidangkan pada hari Jum’at, 10 Shaffar 1427 H / 10 Maret 2006 M)
1.

Pertanyaan:
Benarkah dalil:
? Hal ini terjadi karena perdebatan antara yang berpendapat
setelah shalat lail 13 raka’at, nanti malam boleh shalat malam lagi asal tidak witir lagi. Yang lain
makmum setelah 8 raka’at pulang meninggalkan imam, sebab nanti malam akan shalat lagi dan
witir.

2.

Dimana letak dalam kitab, nomor 10 halaman 347 HPT tentang shalat malam 4, 4 raka’at? Di
al-Bukhari dan Muslim, jilid berapa tahun berapa dan nomor berapa?


3.

Isteri saya, Ramadlan yang lalu mempunyai hutang puasa 5 hari. Sekarang sedang hamil 8
bulan. Apakah yang 5 hari belum dilaksanakan boleh dibayar dengan fidyah karena hamil?

Jawaban:
Dalil yang saudara sebutkan dalam pertanyaan nomor 1, terdapat dalam hadits:

1.

Artinya: “Diriwayatkan dari Talq Ibn „Ali ia berkata: Saya mendengar Nabi saw bersabda:
Tidak ada dua witir dalam satu malam.” [HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasai].
At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan, sedangkan yang lain mengatakan bahwa hadits
ini shahih; demikian pula Ibn Hibban mengatakan hadits ini shahih (Asy-Syaukani, Nailul
Authar, Juz III, halaman 55). Selanjutnya dijelaskan bahwa, hadits ini menunjukkan tidak
dibolehkan membatalkan shalat witir yang telah dilakukan. Artinya setelah shalat witir seseorang
boleh melakukan shalat sunat lagi, yakni dengan melakukan shalat sunat dengan bilangan genap
(dua raka’at-dua raka’at), hingga datangnya waktu shubuh. Pendapat ini didasarkan kepada
hadits:


Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Salamah, ia berkata: Saya bertanya kepada „Aisyah ra.
tentang shalat (malam) Rasulullah saw. Kemudian „Aisyah berkata:Beliau saw melakukan shalat
13 raka‟at. Beliau shalat 8 raka‟at, kemudian witir. Lalu beliau shalat (lagi) dua raka‟at

dilakukan dengan duduk. Jika beliau akan ruku‟ beliau berdiri kemudian ruku‟ dan shalat dua
raka‟at antara adzan dan iqamah di waktu shalat shubuh.” [HR. Muslim].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ummu Salamah diterangkan bahwa Nabi saw melakukan shalat dua raka‟at
setelah shalat witir.” [HR. at-Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Majah. Dalam riwayat beliau ada
tambahan bahwa Nabi melakukan shalat tersebut dengan duduk.]
Pendapat ini, dikemukakan oleh kebanyakan ulama, di kalangan para shahabat antara lain:
Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Ammar Ibn Yasir, Rafi’ Ibnu Khudaij. ‘Aid Ibn ‘Amr, Talq Ibnu ‘Ali,
Abu Hurairah, Aisyah, Sa’d Ibnu Abi Waqash, Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas. Dari kalangan
tabi’in yang berpendapat seperti di atas antara lain: Sa’id Ibnu Musayyab, ‘Alqamah, asy-Sya’bi,
Ibrahim an-Nakha’i, Sa’id Ibnu Jubair, Makkhul, al-Hasan al-Bishri dan Thawus. Sedangkan
dari kalangan para imam mazhab, antara lain: Sufyan ats-Tsauri, Malik, Ibnu al-Mubarak dan
Ahmad (AsySyaukani, Nailul-Authar). Dalam pada itu ada ulama yang tidak sependapat,
dengan mengatakan: jika setelah shalat witir dilakukan shalat dua raka’at-dua raka’at, berarti
shalat yang terakhir di waktu malam tidak ganjil bilangan raka’atnya; yang sekaligus
berlawanan dengan hadits:


Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu „Umar diterangkan bahwa Nabi saw bersabda: Jadikanlah
yang terakhir shalatmu di waktu malam shalat witir.” [HR. al-Jama’ah kecuali Ibnu Majah].
Tegasnya pendapat ini menyatakan bahwa shalat witir adalah shalat terakhir di waktu
malam. At-Tirmidzi mengatakan pendapat ini didukung oleh sekelompok shahabat.
Menghadapi perbedaan pendapat ini, dengan menggunakan qa’idah tarjih yang
dikemukakan oleh kebanyakan ulama, bahwa apabila terjadi pertentangan antara dua dalil, yang
satu menetapkan adanya perbuatan yang disyari’akan sedang dalil yang lain menetapkan tidak
adanya perbuatan yang disyari’atkan, dikuatkan dalil yang menetapkan adanya perbuatan yang
disyari’atkan (Al-Hafnawi, at-Ta‟arud wat-Tarjih „indal-Ushuliyyin wa Atsaruhuma fi FiqhilIslamiy, halaman 360-361), maka kami cenderung kepada pendapat yang pertama.
2.

Hadits nomor 10 yang tertera dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) halaman 347 tentang 4,
4 raka’at dalam shalat tarawih, terdapat dalam Kitab Shahih al-Bukhari, Juz I, 342 – 343, Kitab
Shalat Tarawih, terbitan Darul Kitabil Islami, Beirut, tanpa tahun, dengan lafadz:

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Salamah Ibn „Abdul Rahman bahwa ia bertanya kepada
„Aisyah ra bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadlan. „Aisyah menjawab: Baik di
bulan Ramadlan ataupun bukan bulan Ramadlan Rasulullah saw melakukan shalat (lail) tidak


lebih dari sebelas raka‟at. Beliau shalat 4 raka‟at; dan jangan ditanyakan tentang baik dan
panjangnya shalat yang beliau lakukan. Kemudian shalat lagi 4 raka‟at; (demikian pula) jangan
ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Lalu beliau shalat 3
raka‟at. Kemudian saya bertanya: Wahai Rasulullah apakah anda tidur sebelum shalat witir?
Beliau menjawab: Wahai „Aisyah, dua biji mataku memang tidur, tetapi hatiku tidak tidur.”
Hadits tersebut terdapat dalam Kitab Shahih Muslim Jilid I, Bab Shalat Lail, halaman 329
hadits nomor 125 (738), terbitan Darul Fikri, Beirut, tahun 1414/1993. Hanya saja lafadznya
agak sedikit berbeda yakni:

Jika diamati hadits yang dikutip dalam HPT, kemudian dibandingkan dengan hadits yang
terdapat dalam dua kitab sebagaimana yang telah ditulis di atas, dapat dikatakan bahwa lafadz
hadits yang terdapat dalam HPT menggunakan lafadz Muslim, hanya saja tidak lengkap, yakni
dalam HPT tidak ditulis lafadz:

3.

Halangan yang menjadikan seseorang tidak boleh atau tidak dapat melaksanakan puasa di
bulan Ramadlan dimungkinkan karena berbagai sebab. Di kalangan wanita antara lain
disebabkan karena menstruasi dan dapat juga disebabkan karena kehamilan. Bagi wanita yang
sedang haidl (menstruasi) tidak boleh melaksanakan ibadah puasa. Wanita baru dibenarkan

menjalankan ibadah puasa setelah bersih dari menstruasinya. Ia diwajibkan mengganti (qadla‟)
setelah bulan Ramadlan di saat dalam keadaan suci. Dalam hadits dijelaskan:

Artinya: “Adalah kami mengalami demikian (haidl), kami diperintahkan mengqadla‟
dan tidak diperintah mengqadla shalat.” [HR. Muslim dari ‘Aisyah ra.]

puasa

Bagi wanita yang hamil, yang karena lemah kondisi fisiknya, sehingga menjadi sangat
berat untuk menjalankan puasa, maka dibolehkan tidak berpuasa pada bulan Ramadlan. Orang
yang karena kondisi tertentu, sehingga menjadikan tidak mampu berpuasa pada bulan Ramadlan,
diwajibkan membayar fidyah. Dalam al-Qur’an disebutkan:

Artinya: “… Dan wajib orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin…” [QS. al-Baqarah (2): 184].
Dalam hadits disebutkan:

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas Ibn Malik al-Ka‟bi diterangkan bahwa Rasulullah saw
bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha Besar dan Maha Mulia telah membebaskan puasa
dan separoh shalat bagi orang yang bepergian serta membebaskan puasa bagi orang hamil dan

menyusui.” [HR. al-Khamsah].
Dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbas:

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu „Abbas (ketika menjelaskan)
[Dan wajib
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)], berkata: Yang demikian
itu merupakan keringanan bagi orang laki-laki dan perempuan yang sudah sangat tua. Mereka
adalah orang yang sangat berat berpuasa, oleh karenanya kepada mereka boleh tidak
berpuasa, sebagai gantinya memberi makan apa yang biasa dimakan kepada orang miskin per
harinya. Hal ini berlaku pula bagi wanita hamil dan menyusui, jika keduanya merasa takut.”
[HR. Abu Dawud]
Dikatakan pula oleh Ibnu ‘Abbas:

Artinya: “Kamu (perempuan hamil atau menyusui) termasuk orang yang sangat berat berpuasa,
maka kepadamu wajib membayar fidyah dan tidak diwajibkan mengqadla‟.” [HR. al-Bazzar dan
dishahihkan oleh ad-Daruquthni]
Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ketentuan hukum pengganti berpuasa
bagi wanita haidl (menstruasi) dengan wanita hamil tidak sama, sehingga tidak dapat disatukan.
Yakni pengganti tidak berpuasa karena hamil dilakukan dengan membayar fidyah; sedangkan
pengganti tidak berpuasa karena haidl (menstruasi) tetap harus mengqadla puasa yang

ditinggalkan.
Wallahu a‟lam bishshawab. *dw)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com