HIPIIS Ingin Hidupkan Kembali Ruh Ilmu Sosial

Universitas Muhammadiyah Malang
Arsip Berita
www.umm.ac.id

HIPIIS Ingin Hidupkan Kembali Ruh Ilmu Sosial
Tanggal: 2013-09-30
Dari kiri ke kanan; Prof Dr Syafri Sairin, MA, Prof Dr Sofian Effendi, MPIA,
Prof Dr. Taufik Abdullah, Dr. Muhadjir Effendy, MAP di Ruang Sidang
Senat UMM mendiskusikan tentang persiapan Kongres HIPIIS di
Surakarta.

LAMA tak terdengar gaung pemikirannya, Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) kembali
akan melakukan gebrakan. Dalam waktu dekat, “rumah induk” dari ilmu-ilmu sosial ini menyelenggarakan seminar dan
kongres ke-XII di Universitas Sebelas Maret (UNS), 23 Oktober mendatang.
Rapat persiapan kegiatan nasional ini berlangsung di kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Ahad (29/9).
Rapat yang diprakarsai para sesepuh HIPIIS ini didorong mantan Menteri Pendidikan Nasional, Prof HA Malik Fadjar,
MSc. Hadir dalam rapat itu antara lain, ketua HIPIIS Prof Dr Sofian Effendi, MPIA, Prof Dr Taufik Abdullah, Prof Dr
Syafri Sairin, MA, serta rektor UNS Prof Dr Ravik Karsidi, MS, rektor UMM Dr Muhadjir Effendy, MAP dan rektor
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Prof Dr Bambang Setiaji, MS.
Sepanjang rapat, banyak gagasan-gagasan visioner yang dilahirkan para tokoh itu. Malik memulai rapat dengan
harapan agar Kongres mendatang bisa menghidupkan kembali ruh ilmu sosial yang belakangan ini perannya mulai

mengendur. Dalam konteks kebangsaan, lanjutnya, HIPIIS harus bisa memunculkan isu-isu yang aktual dan strategis.
“Aktual berarti hidup dan sesuai dengan masalah kekinian, sementara strategis artinya berorientasi ke depan dan untuk
kepentingan jangka panjang,” terang mantan rektor UMM ini.
Selain itu, demikian Malik, penting pula untuk mengarahkan HIPIIS agar menjadi organisasi profesi keilmuan berbasis
kampus. Selain bersifat netral, kampus juga merupakan tempat yang kondusif bagi pengembangan ilmu-ilmu sosial.
Sementara itu Taufik lebih banyak menekankan tentang peran dan kontribusi HIPIIS bagi bangsa ini. Bagi peraih gelar
doktor dari Cornell University Amerika Serikat ini, ilmuwan sosial harus selalu berbicara tentang social responsibility dan
intellectual integrity. “Dulu, di era orde baru, saya disingkirkan dari kekuasaan karena bicara tentang dua hal itu. Kalau
saya bicara tentang Pancasila, saya pasti aman,” ungkap Taufik.
Pada era orde baru (Orba), menurut Taufik, HIPIIS telah memosisikan diri sebagai counterpart pemerintah. Pada masa
itu, wacana sosial dikuasai sepenuhnya oleh penguasa. “Di sinilah peran HIPIIS, yakni sebagai penyeimbang
kekuasaan,” tegas mantan ketua LIPI ini.
Peran HIPIIS sebagai balancing power sangat krusial lantaran kala itu pemerintah dipandang memiliki kebenaran
mutlak. “HIPIIS hadir dengan menyajikan kebenaran lain, agar tidak ada kebenaran tunggal versi penguasa,” tegas
Taufik.

Para peserta rapat menyimak Term of Reference (ToR) yang memuat
konsep seminar dan kongres HIPIIS.

Taufik lantas menyebut tentang tiga peran ilmu sosial. Pertama, ilmu sosial sebagai science, di mana ia bertugas untuk

menjelaskan realitas. Kedua, ilmu sosial sebagai applied science, yang memiliki nilai guna dan bersifat aplikatif. Ketiga,
ilmu sosial sebagai discourse, yang dapat mempengaruhi isu-isu publik.
Dalam pandangan Taufik, di era Orba, ilmu sosial sebagai discourse telah dicurigai, sehingga ruang untuk membangun
wacana sosial menjadi terbatas. “Ketika Orba hadir, maka paradigmanya adalah, revolusi out, pembangunan in,” jelas
Taufik. Paradigma pembangunanisme itulah yang membuat ilmu ekonomi menjadi mainstream dan ilmu sosial
dipandang sebagai bagian yang tidak terlampau penting. Walhasil, para ahli sosiologi dan antropologi perannya
dipinggirkan.
Sementara itu Sofian lebih banyak berbicara tentang peran HIPIIS dari masa ke masa. Di awal kehadirannya pada
Maret 1974, HIPIIS memang telah digagas agar tampil dengan eksplorasi pemikiran alternatif. Sebab itulah, menurut
Sofian, gerakan pelopor HIPIIS adalah mengurangi dominasi ilmu ekonomi kala itu yang dipandang berlebihan. Kiprah
tersebut dilakukan agar ilmu sosial dapat berperan dalam pembangunan nasional, sebagaimana hal itu menjadi tema
kunci dalam Kongres HIPIIS di Bukittinggi pada 1975.
Setelah berhasil merumuskan peran ilmu sosial dalam pembangunan, lanjut Sofian, maka pada Kongres di Manado
1977 topiknya mulai diarahkan pada isu yang lebih kongkret dan empiris, yakni tentang sistem politik dan keadilan

page 1 / 2

Universitas Muhammadiyah Malang
Arsip Berita
www.umm.ac.id


sosial.
“Berikutnya pada Kongres di Malang pada 1982, pembahasannya semakin menukik, yaitu tentang kemiskinan
struktural,” terang Sofian. Gagasan tentang kemiskinan struktural ini pada gilirannya mempengaruhi wacana publik kala
itu. Bahkan, menurut Sofian, hal itu mempengaruhi kebijakan pemerintah tentang trilogi GBHN (Garis-garis Besar
Haluan Negara) yang kemudian menempatkan pemerataan pembangunan pada prioritas pertama.
Selanjutnya pada Kongres di Palembang 1984 mulai terjadi pergeseran peran dalam tubuh HIPIIS. Sejak saat itu,
demikian Sofian, organisasi ini memiliki kedekatan dengan pemerintah. Peran HIPIIS yang sebelumnya menyuarakan
suara yang lain menjadi berkurang lantaran telah menjadi subordinat pemerintah. Peran tersebut belum berubah
signifikan selepas Kongres 1986 di Ujungpandang (sekarang bernama Makassar) dan Kongres 1990 di Yogyakarta.
Namun, setelah mengalami kevakuman kurang lebih lima tahun, Kongres di Medan pada 1996 lantas mengembalikan
khittah HIPIIS sebagaimana semangat awal pendiriannya di tahun 1970-an sebagai forum ilmuwan sosial yang
melahirkan pemikiran-pemikiran alternatif.
“Nah, Kongres yang akan berlangsung di Surakarta pada 23 Oktober mendatang ini diharapkan bisa merumuskan
langkah HIPIIS ke depan, yang fokusnya adalah pembentukan SDM dan sistem sosial bangsa ini,” papar Sofian.
Menurut rektor UMS (UMS) Prof Dr Bambang Setiaji, MS, kegiatan ini dimaksudkan untuk mengaktifkan kembali HIPIIS
yang sudah lebih dari satu dekade ini tidak banyak berperan.
Sementara Sosiolog UNS Dr Drajat Tri Kartono, MSi mengharapkan agar ada rumusan baru yang bisa dihasilkan dari
acara tersebut. “Terakhir kongres kan sudah lama sekali, tahun 1998, harusnya ada hal baru yang bisa dirumuskan,”
ucap Drajat yang juga menjadi ketua pelaksana dalam kegiatan di Surakarta itu. (han)


page 2 / 2