Si Anak Kampoeng Dibedah

Universitas Muhammadiyah Malang
www.umm.ac.id

Si Anak Kampoeng Dibedah
Malang Post : Senin, 2010-04-05 | 14:14 WIB
MALANG- Novel Si Anak Kampoeng karya Damien Dematra kemarin dibedah di Universitas Muhammadiyah Malang
(UMM). Novel yang berkisah tentang perjalanan hidup Prof Dr Syafii Maarif ini dibedah oleh Guru Besar Pendidikan
Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang (UM) Prof Dr Joko Saryono dan dosen Universitas Muhammadiyah
Malang (UMM) Drs Ajang Budiman M Hum.

Selain mendapatkan kritikan dan masukan dari pembedah, sang penulis juga dikritik oleh peserta bedah buku.

“Saya melihat kalau Mas Damien ini menulis tokoh yang terkenal saja, apakah disengaja untuk numpang terkenal,”
ungkap salah satu peserta. Pertanyaan ini dijawab dengan senyuman oleh penulis yang juga pernah menulis buku
berjudul Sejuta Hati untuk Gus Dur ini. Novelis yang juga sutradara ini menuturkan penulis memang bebas menulis
apapun. Tapi untuk menerbitkan buku maka yang harus dipilih adalah momentum.

“Walau karya kita bagus tapi momentumnya belum pas akan susah menembus pasar, itu bukan nebeng tenar tapi itu
adalah kejelian penulis,” ungkapnya.

Ia mengakui buku yang menuliskan kisah Buya Syafii Maarif ini ditulis menjelang Muktamar Muhammadiyah Juli

mendatang. Karena itu rencananya bedah buku ini akan dilakukan di lima kota yang terdapat perguruan tinggi
Muhammadiyah. Juga akan diikuti dengan launching film Si Anak Kampoeng yang diadaptasi dari buku tersebut. Atas
alasan itu pula, novel setebal 248 halaman ini dibuat minim eksplorasi lingkungan. Keindahan yang ditawarkan Kota
Sumatera Barat tak disentuhnya dalam novel. Namun akan digambarkan detil dalam film nantinya. Hal ini sempat
mendapatkan kritik dari pembedah, Joko Saryono. Dia menyayangkan novel yang bagus ini terlalu atoposentris, yang
hanya memfokuskan pada karakter tokoh saja. Sehingga kesannya kurang ekologis jika dibandingkan dengan
daerahnya yang eksotis.

Dalam penuturannya, penulis berambut panjang ini mengakui hal tersulit dalam membuat novel ini adalah pada
risetnya. Sementara penulisannya hanya digarap dalam waktu empat hari saja. “Untuk menulis novel ini saya harus
cinta dengan sosok Buya, jika tidak saya tidak bisa mewujudkannya dalam bentuk tulisan,” tuturnya. Pria yang mulai
menulis karena kasus jatuhnya pesawat Adam Air ini sudah menerbitkan 58 novel dan 55 skenario film sejak tahun
2006. Ia berharap karyanya bisa tetap dikenang orang meskipun dirinya sudah tidak ada di dunia. Hasrat menulisnya
sangat tinggi, selain 58 novel yang sudah dipublish masih ada puluhan karyanya yang dibuang begitu saja di tong
sampah. (oci/mar)

page 1 / 1