Imunisasi Dasar Pada Bayi

3 Preservatif, stabilizer, dan antibiotik yang berguna untuk mencegah tumbuhnya mikroba sekaligus untuk stabilisasi antigen. 4 Adjuvans yang terdiri dari atas garam alumunium yang berfungsi untuk meningkatkan imunogenitas antigen. b. Imunisasi Pasif Imunisasi pasif merupakan pemberian zat imunoglobulin yaitu suatu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat bersal dari plasma manusia atau binatang yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang diduga sudah masuk ke dalam tubuh yang sudah terinfeksi Hidayat, 2005.

5. Imunisasi Dasar Pada Bayi

Antibodi untuk menangkal penyakit yang diwariskan ibu kepada bayi tidak mampu bertahan lama. Imunisasi adalah cara yang efektif, mudah dan relatif murah untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak. Anak sangat rentan terkena infeksi. Program imunisasi yang telah dijalankan selama ini, menurut Departemen Kesehatan Depkes telah berhasil menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi Irianto, 2014. Vaksinasi rutin pada anak adalah salah satu kemajuan medis yang paling penting. Masalah penting tentang vaksinasi mencakup usia anak dan kondisi medis yang mendasari, beban penyakit, efektivitas vaksin, reaksi merugikan, dan anjuran resmi. Berikut jenis-jenis imunisasi dasar lengkap: a. BCG Bacille Calmette-Guerin Imunisasi BCG Bacille Calmette-Guerin merupakan imunisasi yang dugunakan untuk mencegah terjadinya penyakit TBC yang berat sebab terjadinya penyakit TBC yang berat seperti TBC pada selaput otak Hidayat,2008. TBC milier pada seluruh lapang paru atau TBC tulang. Pemberian diberikan satu kali, rentang waktu dari 0 bulan- 2 bulan IDAI, 2014. Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak 1 tahun. Vaksinasi BCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada insersio M.deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak di tempat lain bokong atau paha. Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan.Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberkulosis, namun dapat mencegah komplikasinya. Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien imunokompromais leukemia, anak yang sedang mendapat pengobatan streroid jangka panjang, atau menderita infeksi HIV. Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu.Vaksin BCG diberikan apabila uju tuberculin negatif. Efek samping terjadinya ulkus pada daerah suntikan, limfadenitis regionalis, dan reaksi panas Hidayat, 2009. Efek samping lainnya adalah setelah 3-6 minggu akan terdapat eritema, indurasi, dan kadang ulserasi. Kelenjar getah bening aksilaris mungkin membesar dan terasa nyeri.Tanda-tanda local menghilang dalam 2-6 bulan Meadow Siwon, 2005. b. Hepatitis B Imunisasi hepatitis B diberikan untuk melindungi bayi dari penyakit hepatitis B, yaitu penyakit infeksi virus berpotensi fatal yang dapat menyebabkan sirosis atau kanker hati Betz, 2009. Pemberian diberikan tiga kali, saat usia baru lahir, 1 bulan, dan 6 bulan. Jumlah dosis vaksin yang diberikan, interval di antara dosis, genetika, prematuritas, dan kondisi medis yang mendasari memengaruhi imunogenisitas. Setelah dosis ketiga vaksin hepatitis B, lebih dari 95 anak serokonversi. Titer membaik dengan interval lebih panjang di antara dosis kedua dan ketiga sehingga rangkaian vaksin tidak perlu diulang tanpa memandang keterlambatan dosis. Imunisasi hepatitis B yang ke-1 diberikan sedini mungkin dalam waktu 12 jam setelah lahir, memngingat paling tidak 3,9 ibu hamil mengidap hepatitis B aktif dengan resiko penularan kepada bayinya sebesar 45. Imunisasi hepatitis B yang ke-2 diberikan setelah 1 bulan 4 minggu dari imunisai hepatits B yang ke-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan.Untuk mendapatkan respon imun optimal, interval imunisasi hepatitis B yang ke-2 dengan imunissi hepatitis B yang ke-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepatitis B yang ke-3 diberikan pada umur 3-6 bulan. Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui. Hepatitis B ke -1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan dilanjutkan pada umur 1 bulan dan 3-6 bulan dan 3-6 bulan. Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka ditambahkan hepatitis B immunoglobulin HBIg 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari. Bayi lahir dari ibu dengan status HBsAg-B positif: diberikan vaksin hepatitis B ke-1 dan HBIg 0,5 ml secara bersamaan dalam waktu 12 jam setelah lahir. Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan imunisasi Hepatitis B dengan jadwal 3 kali pemberian catch- up vaccination. Ulangan imunisasi hepatitis B HepB-4 dapat dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun, apabila kadar pencegahan belum tercapai anti HBs 10 µgml. Cakupan imunisasi hepatitis B ketiga di Indonesia sangat rendah apabila dibandingkan dengan DTP-3.Untuk mengatasi hal tersebut, sejak tahun 2006 imunisasi hep-B pada jadwal Departemen Ksehatan dikombinasikan dengan DTwP. Bagan 2.1 Jadwal pemberian imunisasi Hepatitis B Umur Imunisasi Kemasan Saat lahir HepB-0 Uniject hepB-monovalen 2 bulan DTwP dan hepB-1 Kombinasi DTwPHEPb-1 3 bulan DTwP dan hepB-2 Kombinasi DTwPHEPb-2 4 bulan DTwP dan hepB-3 Kombinasi DTwPHEPb-3 Penularan HBV terjadi terutama oleh pertukaran darah atau kontak seksual dengan orang yang terinfeksi secara akut atau kronik. Meskipun kadar antibodi anti HBV hilang setelah vaksinasi, sebagian besar orang tetap terlindungi melalui memori imunologik dan masa inkubasi yang panjang pada infeksi HBV memungkinkan sebagian besar orang yang diimunisasi dengan titer rendah untuk meningkatkan respons imun anamnestik protektif. Keefektifan untuk vaksin Hepatitis B harus ditunda pada bayi preterm yang beratnya kurang dari 2 kg- usia 1 bulan atau dipulangkan dari rumah sakit, yang mana terlebih dahulu, kecuali ibu HBsAg positif atau tidak diketahui status HBsAg, dalam kasus ini vaksin harus diberikan dalam 12 jam kelahiran. Efek samping setelah pemberian vaksin Hepatitis B, 3-9 anak mengalami nyeri pada tempat suntikan; 18 mengalami kejadian merugikan sistemik sementara seperti kelelahan dan sakit kepala dan 1- 6 mengalami suhu lebih dari 37,7 ˚C. c. DTP Difteri, Tetanus, Pertusis. Imunisasi DTP adalah vaksinasi yang diberikan untuk mencegah terjadinya penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Upaya pencegahan penyakit difteri, pertusis, dan tetanus perlu dilakukan sejak dini melalui imunisasi karena penyakit tersebut sangat cepat serta dapat meningkatkan kematian bayi dan balita. Efek samping yang diberikan pada imunisasi DPT dapat berefek ringan maupun berat. Efek sampingnya berupa terjadi pembengkakan, nyeri pada tempat penyuntikan, dan demam. Sedangkan efek samping berat terjadi kesakitan kurang lebih emapt jam, menangis hebat, kejang, kesadaran menurun, ensefalopati, dan syok Hidayat, 2009. Rekasi merugikan minor yang terkait dengan vaksinasi DPTa adalah edema setempat di tempat suntikan, demem, dan rewel. Reaksi merugikan yang jarang setelah vaksinasi DPTa adalah menangsi persisten selama 3 jam atau lebih, menangis nada tinggi yang tidak biasanya, kejang biasanya kejang demam tanpa sekuele permanen, dan episode hipotonik hiporesponsif. Pada kejadian jarang, anak dapat menderita reaksi anafilaktik terhadap DPTa, menjadi kontraindikasi dosis DPTa selanjutnya. Pembengkakan sementara keseluruhan ekstremitas yang jarang juga terjadi setelah dosis DPTa keempat atau kelima. Pemberian diiberikan tiga kali saat usia 2,4,6 bulan DTP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu dengan interval 4-8 minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu, jadi DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTP-3 pada umur 6 bulan. Ulangan booster DTP selanjutnya diberikan satu tahun setelah DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun. DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuscular, baik untuk imunisasi dasar maupun ulangan. Vaksin DTP dapat diberikan secara kombinasi dengan vaksin lain yaitu DTwPHepB, DTaPHib, DTwP Hib, DTaP IPV, DTaPHib IPV sesuai jadwal. Diulang satu kali, antara usia 1,5-2 tahun. Diulang sekali lagi, antara usia 10-12 tahun, diulang sekali, tapi hanya DT.Pertusis: berkurangnya imunitas setelah vaksinasi pertusis masa anak adalah alasan nyata untuk terus berlangsungnya penyakit ini. Mayoritas perawatan terkait pertusis dan komplikasi serius terjadi pada bayi. Seperlima kasus yang dilaporkan terjadi pada bayi yang berusia CC kurang dari 6 bulan, terlalu muda untuk divaksinasi penuh. Sebagian besar kasus pertusis yang dilaporkan pada bayi yang kurang dari 12 bulan, yang menderita angka kematian kasus 0,6 harus dirawat di rumah sakit. Komplikasi pertusis adalah pneumonia, penyebab utama kematian dan kejang. Ensefalopati, akibat hipoksia atau perdarahan serebral kecil terjadi pada kira-kira 1 kasus, bersifat fatal pada sekitar sepertiga dari yang terkena, dan menyebabkan kerusakan otak permanen pada sepertiga lainnya. Pertusis sangat menular : 70-100 kontak rumah tangga yang rentan dan 50-80 kontak sekolah yang rentan menjadi terinfeksi setelah terpajan. Masa inkubasi biasanya 7-10 hari. Masa penularan berlangsung sejak 1 minggu setelah pajanan sampai 3 minggu setelah awitan gejala. Penularan oleh droplet pernapasan atau kadang-kadang melalui kontak dengan benda yang baru tercemar. Dewasa dan remaja adalah sumber utama infeksi pertusis untuk bayi muda. d. Polio Imunisasi polio merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit poliomyelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada anak Hidayat, 2008. Efek samping dari vaksinasi ini sebagian kecil resipien dapat mengalami gejala pusing, diare ringan, dan nyeri otot IDAI, 2008. Vaksin polio pemberian diberikan empat kali, saat usia 0,2,4,6 bulan. Untuk imunisasi dasar polio-2,3,4 diberikan pada umur 2,4, dan 6 bulan, interval antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu. Diulang sekali, antara usia 1,5-2 tahun. Diulang sekali lagi saat usia 5 tahun. OPV diberikan 2 tetes per-oral. IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuscular. Vaksin IPV dapat diberikan tersendiri atau dalam kemasan kombinasi DTaPIPV, DTaPHibIPV. e. Campak Imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit campak karena penyakit ini sangat menular. Campak dapat menyebabkan morbiditas berat, akut mematikan, atau menyebabakan ensefalopati fatal lambat panensefalitis sklerosing subakut pada remaja. Pemberian vaksin campak diberikan satu kali, saat usia 9 bulan. Di samping imunisasi 9 bulan, diberikan juga imunisasi kesempatan kedua second opportunity pada crash program campak pada umur 6-59 bulan dan SD kelas 1-6. Crash program campak ini telah dilakukan secara bertahap 5 tahap di semua provinsi pada tahun 2006 dan 2007. Efek samping dari vaksin ini berupa nyeri, iritasi, dan kemerahan pada tempat suntikan sering terjadi tetapi ringan. Reaksi terhadap vaksin campak adalah demam biasanya 38,8 ˚C di antara hari ke-7 dan 12, ruam sementara di antara hari ke-5 dan 20, atau trombositopenia sementara 1 dalam 25.000-2 juta dosis Jeannette, 2015. Efek samping yang lebih berat, seperti ensefalitis, sangat jarang terjadi, kurang dari 1 setiap 1-3 juta dosis yang diberikan. SSPE Subacute sclerosing panencephalitis tidak pernah ditemukan lagi di negara-negara yang telah melaksanakan program imunisasi campak dengan efektif sehingga kecil sekali kemungkinan vaksin mengakibatkan SSPE Gold,2000.

6. Definisi Kelengkapan Imunisasi Dasar

Dokumen yang terkait

Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi Dasar Terhadap Kelengkapan Imunisasi Dasar di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Kota Tangerang Selatan

2 14 112

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG IMUNISASI DASAR DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR BAYI Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi Dasar Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Bayi Di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan.

0 1 15

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG IMUNISASI DASAR DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR BAYI Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi Dasar Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Bayi Di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan.

0 5 12

PENDAHULUAN Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi Dasar Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Bayi Di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan.

0 3 4

LEMBAR PERSETUJUAN Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi Dasar Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Bayi Di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan.

0 3 26

HUBUNGAN ANTARA SIKAP IBU TENTANG IMUNISASI DASAR DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR PADA BALITA DI Hubungan Antara Sikap Ibu Tentang Imunisasi Dasar Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Miri Sragen.

0 2 13

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR DI Hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar di wilayah kerja puskesmas kartasura kabupaten sukoharjo.

0 1 16

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR DI Hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar di wilayah kerja puskesmas kartasura kabupaten sukoharjo.

0 1 13

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG IMUNISASI DASAR DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR BAYI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BENDO KABUPATEN MAGETAN

0 0 7

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG IMUNISASI DASAR TERHADAP KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR PADA ANAK DI POSYANDU WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEMBINA PLAJU PALEMBANG

0 0 83