UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pasien, hasil diagnosa pasien ketika masuk untuk dirawat di instalasi rawat inap dan juga hasil uji laboratorium pasien.
Diare pada anak selain disebabkan oleh virus juga disebabkan oleh infeksi bakteri dan jamur. Penyebab diare berupa infeksi masih menjadi permasalahan
yang serius di negara berkembang, diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah atau demam, nyeri perut atau kejang perut. Pemberian
antibiotik adalah cara untuk menanggulangi diare yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan jamur, pemberian antibiotik diindikasikan pada pasian dengan gejala
dan tanda diare infeksi seperti demam, feses berdarah, leukosit pada feses, dan diare pada pelancong Zein. U, 2004.
Menurut Kemenkes RI tahun 2011, pemberian antibiotik tanpa indikasi untuk penderita diare pada tahun 2009 masih tergolong tinggi, dan provinsi
dengan jumlah penderita diarenya diberi antibiotik adalah Aceh, Lampung dan Papua Barat masing-masing sebesar 100, sementara provinsi dengan jumlah
penderita diare yang diberi antibiotik terendah adalah provinsi Sumatera Barat 45,6.
Hasil analisa data deskriptif pada tabel 5.4 menunjukan sebanyak 8 pasien yang mengalami indikasi tanpa obat. Terdapat beberapa jenis obat yang
dibutuhkan pada pasien diare akut yang mengalami DRPs indikasi tanpa obat diantaranya obat antibiotik antibakteri, obat batuk, dan antiemetik. Berdasarkan
hasil laboratorium masing-masing dari pasien nomor 6,7,8,18 dan 33 diketahui bahwa pasien menderita diare akut karena infeksi bakteri. Penggunaan obat yang
diberikan pada pasien masih belum efektif karena pasien tidak diberikan terapi antibiotik untuk mengobati infeksi bakteri yang diderita pasien, pemilihan
antibiotik yang sesuai untuk pasien dengan infeksi bakteri adalah antibiotik chephalosporin generasi ketiga seperti ceftriaxone, cefixime, cefotaxime dan
meropenem. Sedangkan untuk pasien dengan nomor 10 pasien didiagnosa menderita diare akibat infeksi bakteri, dengan gejala demam, BAB berair lebih
dari 3x sehari dan juga muntah, dimana muntah dan demam merupakan salah satu gejala diare yang disebabkan karena infeksi, namun pasien tidak diberikan obat
antiemetik seperti ondansetron untuk menangani gejala mual muntah tersebut. Pemilihan ondansetron dibandingkan dengan domperidone dalam mengatasi mual
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan muntah pada anak karena ondansetron tersedia secara oral atau intravena, dan efektif pada anak-anak dengan muntah yang berhubungan dengan gastroenteritis.
Berdasarkan penelitian secara RCT menunjukkan bahwa ondansetron dan domperidone dapat digunakan dalam mengobati anak-anak menderita gejala AGE
Acute Gastroenteritis. Keduanya menunjukkan khasiat yang dapat diterima anak-anak serta profil keamanan yang baik Reksuppaphol, 2013.
Pada pasien no 9 diketahui ia menderita diare akut infeksi yang disebabkan karena bakteri dan diberikan kombinasi antibiotik meropenem dan
ceftriaxone.
5.2.3.4 DRPs Dosis Obat Kurang Dari Dosis Terapi
Pemberian obat dengan dosis yang terlalu rendah mengakibatkan ketidakefektifan dalam mencapai efek terapi yang diinginkan. Dosis yang
diberikan harus sesuai dengan keadaan pasien dan dosis yang ditetapkan pada literatur Pediatric Dossage Handbook. Penilaian evaluasi DRPs dosis dibawah
dosis terapi pada pasien didasarkan pada dosis regimen yang diberikan Sari Novita.,2015.
Menurut penelitian yang dilakukan Erliani pada tahun 2013 di instalasi rawat inap RSUP H.Adam Malik Medan pada tahun 2011 mengenai DRPs yang
terjadi pada pasien anak yang mengalami diare menunjukan bahwa terdapat 64 kasus DRPs diantaranya 14 kasus 21,88 mengenai dosis obat terlalu rendah
dari dosis terapi. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 10 jenis obat diazepam,
omeprazole, ondansetron, paracetamol, metronidazole, ceftriaxone, ranitidine, phenobarbital, dexamethasone, dan furosemide yang berpotensi tidak tepat dosis
obat kurang dari dosis terapi. Jenis obat yang paling sering berpotensi tidak tepat dosis dibawah dosis terapi adalah diazepam sebanyak 6 kasus, antibiotik golongan
sefalosporin generasi ketiga yaitu ceftriaxson sebanyak 2 kasus, jenis obat yang lainnya berpotensi tidak tepat dosis dibawah dosis terapi bisa dilihat di lampiran
6. Pemberian ondansetron juga tidak tepat karena berdasarkan literatur
Pediatric Dossage Handbook dosis ondansetron yang diberikan untuk anak yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berusia 6 bulan sampai 18 tahun adalah 0,15 mgkgdosis. Pada penggunaan antibiotik, dosis yang kurang dari dosis terapi adalah pada penggunaan
ceftriaxone dan metronidazole, karena berdasarkan literatur dosis ceftriaxsone yang tepat pada anak adalah 50-75 mgkghari, sedangkan untuk antibiotik
metronidazole dosis untuk anak yang tepat adalah sebesar 30 mgkghari. Penggunaan obat yang kurang dari dosis terapi tidak akan menghasilkan efek
terapeutik yang diinginkan, bahkan sama saja dengan tidak menggunakan obat tersebut. Suatu obat akan menghasilkan efek terapeutik jika kadar obat dalam
darah atau bioavailabilitas obat mencapai kadar terapi yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Oleh karena itu, penggunaan obat dengan
dosis terapi yang sesuai sangat penting untuk menghasilkan efek terapeutik yang menandakan bahwa terapi yang diberikan telah berhasil Yusshiammanti, 2015.
5.2.3.5 DRPs Dosis Obat Melebihi Dosis Terapi
Dosis obat melebihi dosis terapi adalah pasien mendapatkan terapi obat yang benar namun dosis obat tersebut melebihi dosis lazim terapi. Pemberian obat
dengan dosis melebihi dosis terapi dapat mengakibatkan peningkatan resiko toksik, dosis yang diberikan harus sesuai dengan keadaan pasien dan dosis yang
sudah ditetapkan pada literatur Paediatric Dosage Handbook. Hasil data deskriptif pada tabel 5.4 menunjukan bahwa terdapat 21 pasien
yang mendapat terapi obat melebihi dosis terapi dengan 28 kasus yang mengalami DRPs dosis melebihi dosis terapi. Pada penelitian yang dilakukan Erliani 2013
menunjukan bahwa terdapat 10 kasus 15,63 mengenai dosis obat lebih tinggi dari dosis terapi pada pasien anak yang menderita diare akut di instalasi rawat
inap RSUP H.Adam Malik Medan . Berdasarkan hasil penelitian pasien yang berpotensi tidak tepat dosis
melebihi dosis terapi terdapat 11 jenis obat Methisoprinol, paracetamol, ambroxol, ondansetron, meropenem, phenobarbital, phenytoin, cefixime,
ranitidine, metronidazole dan captopril. Jenis obat yang paling sering berpotensi tidak tepat dosis dibawah dosis terapi adalah ondansetron.
Pemberian ondansetron melebihi dosis terapi karena berdasarkan literatur Pediatric Dossage Handbook dosis yang diberikan per harinya untuk anak usia
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4-12 tahun adalah 4 mg, sedangkan untuk anak berusia 4 tahun belum ada dosis yang aman dan efektif. ondansetron digunakan untuk mengatasi mual dan muntah
pada anak dengan diare akut karena infeksi Guarino.dkk, 2014. Pemberian dosis paracetamol untuk anak berusia 12 tahun dihitung berdasarkan berat badan BB
pasien, dengan dosis perharinya adalah 10-15 mgkgdosis, dan pada pemberin dosis untuk methisoprinol untuk anak-anak adalah 50 mgkgBB, sedangkan pada
penelitian ini semua pasien anak menerima methisoprinol dengan dosis 3x1 cth per hari, dimana 1 cth metisoprinol adalah 250 mg sehingga dosis pemberian
methisoprinol pada beberapa pasien melebihi dosis terapi.
5.2.3.6 DRPs Interaksi Obat
Interaksi obat merupakan hal yang sangat dihindari dari pemberian obat. Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa 12 pasien dengan 29 kasus yang
mengalami kejadian DRPs interaksi obat pada pasien anak rawat inap diare akut infeksi dengan da
n tanpa penyakit penyerta di RS “X” di Kota Tangerang Selatan. Interaksi obat yang terjadi merupakan interaksi obat yang mungkin atau potensial
terjadi pada terapi obat yang diberikan kepada 12 pasien, baik interaksi obat yang dapat dihindari ataupun interaksi obat yang tidak dapat dihindari.
Hal tersebut menunjukan bahwa obat-obat yang diberikan saling berinteraksi pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologi yang sama
sehingga terjadi efek aditif, sinergis saling memperkuat dan antagonis saling meniadakan. Beberapa alternatif penatalaksanaan interaksi obat adalah
menghindari kombinasi obat dengan memilih obat pengganti yang tidak berinteraksi, penyesuaian dosis obat, pemantauan pasien atau meneruskan
pengobatan seperti sebelumnya jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal atau bila interaksi tersebut tidak bermakna
secara klinis Yusshiammanti, 2015. Mekanisme interaksi obat secara farmakokinetik terjadi sebanyak 31 kasus, hal tersebut menunjukan bahwa salah
satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme atau eksresi obat kedua sehingga kadar plasma kedua obat meningkat atau menurun. Akibatnya terjadi
peningkatan toksisitas atau penurunan efektifitas obat tersebut Fradgles, 2003.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan hasil penelitian, tingkat keparahan interaksi obat paling banyak terjadi adalah pada interaksi obat secara minor yaitu sebanyak 18
kejadian. Interaksi minor merupakan interaksi anatara dua jenis obat yang menghasilkan efek yang ringan, akibatnya mungkin dapat menyusahkan atau tidak
diketahui tetapi secara signifikan tidak mempengaruhi terapi sehingga treatment tambahan tidak diperlukan. Interaksi obat dengan tingkat keparahan moderat
menghasilkan penurunan status klinik pasien sehingga dibutuhkan terapi tambahan atau perawatan di rumah sakit dan interaksi obat dengan tingkat
keparahan mayor harus diutamakan karena risiko yang ditimbulkan berpotensi mengancam individu atau dapat mengakibatkan kerusakan yang permanen
Syamsudin, 2011. Namun berdasarkan hasil penelitian, pengaruh tingkat keparahan interaksi obat minor, moderat dan mayor tidak terlihat jelas karena
penelitian bersifat retrospektif. Contoh pasien nomor 45 dan 46 yang mengalami interaksi obat dengan
tingkat keparahan minor, antibiotik chephalosporins generasi 3 yaitu ceftriaxone dengan obat furosemide dimana ceftriaxone akan meningkatkan toksisitas
furosemide secara sinergis. Efek sinergis terjadi ketika dua obat atau lebih, dengan atau tanpa efek yang sama digunakan secara bersama untuk
mengkombinasikan efek yang memiliki outcome yang lebih besar dari jumlah komponen aktif satu obat saja Syamsudin, 2011. Penggunaan furosemide
dengan ceftriaxone
berpotensi menyebabkan
nefrotoksik, sehingga
penggunaannya harus berhati-hati dan direkomendasikan untuk monitoring fungsi ginjal dengan menghitung laju filtrasi glomerolus, untuk menghindari terjadinya
interaksi obat disarankan untuk memberi jeda pemberian furosemide 3 hingga 4 jam sebelum obat golongan cephalosporins Baxter, 2008.
5.2.4 Hasil Analisa Bivariat
Analisa bivariat yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh usia, jumlah penyakit penyerta dan pengaruh jumlah penggunaan obat terhadap jumlah DRPs
pada pasien anak yang menderita diare akut. Analisa ini menggunakan metode Chi-square. Peneliti harus melihat apakah nilah P0,05 atau P0,05. Jika nilai P
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
0,05 maka hasil uji dapat dikatakan memiliki hubungan yang signifikan pada kedua variabel.
5.2.4.1 Analisa Hubungan Antara Jumlah Penyakit Penyerta dan DRPs
Hasil analisa pada gambar 5.1 menunjukan pengaruh antara penyakit penyerta dengan jumlah DRPs dengan metode Chi-square, diketahui tidak lebih
dari 4 sel atau sebanyak 66,7 yang mempunyai nilai harapan kurang dari 5 dan diperoleh nilai P=0,028 P0,05 maka diperoleh kesimpulan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara pengaruh jumlah penyakit penyerta terhadap DRPs. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Manley,
H. J., et al 2003, yang menunjukan bahwa DRPs berkorelasi positif dengan jumlah penyakit penyerta pasien P 0,001. Jumlah DRPs meningkat pada
masing-masing pasien sama dengan meningkatnya jumlah kondisi penyerta Manley, H. J., et al, 2003.
5.2.4.2 Analisa Hubungan Anatara Jumlah Penggunaan Obat dengan DRPs
Hasil analisa pada gambar 5.2 menunjukan bahwa tidak lebih dari 3 sel atau sebanyak 50 yang mempunyai nilai harapan kurang dari 5. Didapatkan P =
0,100 Hal ini menunjukan bahwa P0,05, maka diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah jenis obat dengan kejadian DRPs.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil studi yang dilakukan Belaiche, S., et al, 2012 di Prancis, yang menyatakan resiko kejadian DRPs meningkat
signifikan terhadap kondisi lanjut usia P= 0,0027 dan jumlah pengobatan P=0,049 Belaiche, S., et al, 2012. Hasil penelitian tidak menunjukan hubungan
yang signifikan dan tidak sejalan dengan studi yang dilaikukan Belaiche, S., et al dikarenakan perbedaan jumlah sampel yang digunakan, pada penelitian ini sampel
yang digunakan hanya sebanyak 40 sedangkan sampel yang digunakan pada literatur mencapai 396 sampel.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5.3 Keterbatasan Penelitian
5.3.1 Kendala
a. Pengambilan data pasien
Pada proses pengambilan data pasien, banyak pasien yang memiliki data rekam medik yang tidak lengkap, seperti data laboratorium,
berat badan, dan daftar penggunaan obat. b.
Data laboratorium untuk uji feses tidak spesifik dikarenakan keterbatasan
tenaga ahli
dan alat
sehingga sulit
untuk mengidentifikasi jenis bakteri dan jamur secara spesifik untuk
menentukan antibiotik yang tepat.
5.3.2 Kelemahan
a. Penelitian deskriptif retrospektif, pada penelitian deskriptif hanya dapat dilakukan demografi berupahasil analisa ketepatan untuk
mengetahui DRPs pada terapi yang digunakan oleh pasien. Selain itu metode retrospektif, dimana waktu kejadian sudah terjadi sehingga
tidak dapat dilakukan pertanyaan secara langsung pada pasien. b.
Penelitian ini tidak dapat dikatakan seutuhnya rasional, dikarenakan penilaian diagnosis pasien tidak dilakukan secara langsung,
melainkan menarik kesimpulan dari diagnosa yang tercatat dalam rekam medik.
c. Penelitian ini tidak dapat dikatakan seutuhnya rasional, dikarenakan
tidak adanya spesifikasi bakteri dan jamur dalam hasil uji feses sehingga tidak bisa menentukan antibiotik spesifik yang tepat.
5.3.3 Kekuatan
Penelitian ini sebelumn ya belum pernah dilakukan di RS “X” di Kota
Tangerang Selatan. Maka diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dan gambaran mengenai Drug Related Poblems pada pasien anak di instalasi rawat
inap yang menderita diare akut dengan dan tanpa penyakit penyerta.
79 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Pasien anak yang men derita diare akut infeksi di RS “X” di Kota
Tangerang Selatan periode Januari-Desember 2015 didominasi oleh anak yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 24 pasien 60 dengan
mayoritas pasien usia 1-5 tahun sebanyak 36 pasien 90. Berdasarkan jumlah penyakit penyerta yang paling banyak adalah KDK sebanyak 8
pasien 47,05. 2. Penggunaan obat diare akut karena infeksi pada anak yang paling banyak
digunakan adalah probiotik digunakan sebesar 15,44, penggunaan suplemen zinc sebesar 15,05 dan total dari penggunaan antibiotik untuk
mengatasi diare yang disesbabkan infeksi adalah sebesar 14,2 antibiotik yang paling banyak digunakan untuk mengobati infeksi karena bakteri
adalah ceftriaxone sebesar 10,03, dan metronidazol sebesar 1,93. 3. Jenis Drug Related Problems DRPs yang paling banyak terjadi adalah
interasi obat sebesar 31,18, diikuti dosis obat melebihi dosis terapi sebesar 30,10, dosis obat kurang dari dosis terapi sebesar 18,27, obat
tanpa indikasi sebesar 9,67, indikasi tanpa obat 8,60 dan ketidaktepatan pemilihan obat sebesar 2,15.
4. Terdapat pengaruh yang bermakna antara kejadian DRPs dengan jumlah penyakit penyerta dengan nilai P=0,028, dan tidak terdapat pengaruh yang
bermakna antara DRPs dengan jumlah penggunaan obat dengan nilai P=0,100.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6.2 Saran
1. Perlu adanya monitoring evaluasi penggunaan obat diare akut pada anak dengan dan tanpa penyakit penyer
ta pada instalasi rawat inap RS “X” di Kota Tangerang Selatan untuk menghindari terjadinya masalah DRPs
selama proses pengobatan. 2. Perlu adanya standarisasi kelengkapan pengisian rekam medik pasien
terkait usia pasien, berat badan, obat yang digunakan, dosis obat yang diberikan, rute pemberian, aturan pakai obat, tanggal pemberian obat dan
hasil pemeriksaan
laboratorium pasien
yang dilakukan
secara berkelanjutan selama perawatan.
3. Perlunya pemeliharaan rekam medik pasien supaya tidak ada bagian atau lembar yang hilang atau tercecer.
4. Perlunya dilakukan kultur media pada pemeriksaan feses supaya dapat mengetahui penyebab penyakit secara spesifik sehingga pengobatan dan
pemilihan obat menjadi lebih tepat dan optimal. 5. Perlunya peningkatan kerjasama dan kolaborasi antara tenaga kesehatan
lain dirumah sakit seperti dokter dan juga perawat untuk meningkatkan pelayanan pada pasien sehingga didapatkan terapi yang tepat, efektif dan
aman.