Hukum Laut Internasional

HUKUM LAUT INTERNASIONAL

Disusun oleh :
Mario Wahyu Slamet Harenda
10430001

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS SLAMET RIYADI
SURAKARTA
2011

1. Pendahuluan
Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, hukum laut yang menjadi
cabang hukum internasional telah mengalami berbagai perubahan. Dewasa
ini menonjolnya peran hukum laut lebih disebabkan oleh kekayaan mineral
yang terkandung di dasar laut itu sendiri.
Pada Konferensi PBB tentang hukum laut tahun 1958 di Jenewa,
United Nations Conference on the Law of the Sea (UNCLOS I) berhasil
merampungkan empat konvensi, tetapi masih banyak lagi masalah yang
belum di selesaikan sedangkan IPTEK berkembang sangat cepat. Hal ini
mengakibatkan hal – hal yang dibahas dalam konvensi tersebut tidak lagi

relevan. Di samping itu setelah tahun 1958 muncul negara – negara baru
yang tidak ikut merumuskan konvensi tersebut, sehingga banyak dari
mereka yang menuntut agar konvensi tersebut diperbaharui.
Untuk mengatasi masalah – masalah tersebut, Majelis Umum PBB pada
tahun 1976 membentuk suatu badan yang bernama United Nations Seabed
Committee. Sidang – sidang komite tersebut dilanjutkan dengan Konferensi
Hukum Laut III (UNCLOS III) yang sidang pertamanya diadakan di New York
bulan September 1973 dan Sembilan tahun kemudian berakhir dengan
penandatanganan Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada 10 Desember
1982 di Montego Bay, Jamaica.
2. Jenis – Jenis Perairan Serta Hak Hak yang diletakan di Atasnya
2.1 Laut Lepas
Meurut Pasal 86 Konvensi Hukum Laut menyatakan bahwa laut
lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona
ekonomi eksklusif, dalam laut territorial atau dalam perairan pedalaman
suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Jadi
menurut definisi ini laut lepas berada jauh dari pantai, yaitu bagian luar dari
zona ekonomi eksklusif. Laut lepas ini diatur menggunakan asas kebebasan.
Sesuai dengan asas kebebasan, yang berarti bahwa laut lepas
dapat digunakan oleh negara manapun, jadi setiap negara dapat

menggunakanya dengan syarat mematuhi konvensi. Menurut pasal 87,
kebebasan – kebebasan tersebut meliputi:
1. Kebebasan berlayar
2. Kebebasan penerbangan

3. Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut.
4. Kebebasan untuk membangun pulau buatan.
5. Kebebasan menangkap ikan sesuai kesepakatan.
6. Kebebasan melakukan riset ilmiah.
Sekarang ini penyalahgunaan prinsip kebebasan di laut lepas ini
mulai marak dengan tujuan – tujuan khusus nasionalnya, seperti laut lepas
yang digunakan untuk uji coba nuklir, contohnya uji coba nuklir Perancis di
Pasifik 1974.
2.2 Landas kontinen
Landas kontinen adalah daerah dasar laut yang terletakantara
dasar air rendah dan titik dimana dasar laut menurun secara tajam, dan di
mana mulai daerah dasar laut baru yang kita sebut lereng kontinen.
Biasanya penurunan dasar laut ini terjadi pada kedalaman 200 meter.
Landas kontinen tidak hanya merupakan suatu fenomena
geografis dan geologis tetapi juga suatu fenomena ekonomis karena

kekayaan mineral yang terkandung di dalamnya. Berkat kemajuan teknologi,
setiap negara berlomba – lomba untuk mengeksploitasinya. Inilah yang
mengakibatkan pentingnya daerah dasar laut.
Setelah mengetahui bahwa dasar laut merupakan hal yang
sangat strategis, maka harus diatur melalui hukum, salah satunya di atur
dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang landas kontinen. Pada pasal 2 Konvensi
Jenewa menyatakan bahwa negara pantai memiliki hak berdaulat atas
landas kontinen untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam.
Pasal 3 juga menyatakan bahwa hak negara pantai atas landas kontinen
tidak akan mempengaruhi status yang sah dari lautan bebas pada perairan
itu atau udara di atasnya.
2.3 Zona Ekonomi Eksklusif
Zona ekonomi eksklusif merupakan manifestasi dari usaha –
usaha negara pantai untuk melakukan pengawasan dan penguasaan
terhadap segala macam sumber daya alam yang terdapat di zona laut yang
terletak di luar dan berbatasan dengan laut wilayahnya.
Konsepsi kedaulatan atas sumber kekayaan laut di luar laut
wilayahnya mulanya berkembang di negara – negara Amerika Latin, melalui

Deklarasi Montevidio 8 Mei 1970. Deklarasi tersebut berisikan hak – hak bagi

negara pantai untuk melebarkan kedaulatanya sampai pada jarak 200mil
dari pantai. Deklarasi ini kemudian di tiru oleh beberapa kawasan seperti
Konferensi di Lima 1970, Deklarasi San Domingo 1972 yang merupakan
konferensi menteri – menteri kawasan Karibia, Konferensi tingkat menteri di
Addis Ababa 1973, dan masih banyak konferensi lainya yang sama – sama
menyatakan bahwa batas zona ekonomi ekslusif adalah 200 mil atau 370,4
km.
Hak – hak yang diperoleh negara untuk memanfaatkan ZEE ini
diatur dalam Pasal 56 Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu: hak eksplorasi, hak
eksploitasi, hak konservasi dan pengelolaan SDA baik hayati dan non hayati.
Selanjutnya menurut Pasal 73 Konvensi ini menyatakan setiap negara pantai
dapat mengambil tindakan – tindakan yang dianggap perlu, seperti
pemeriksaan, penangkapan maupun melakukan proses peradilan terhadap
kapal –kapal yang melanggar ketentuan – ketentuan yang di buat negara
tersebut.
Negara tidak berpantai juga berhak menikmati SDA yang
terkandung di dalam ZEE ini, caranya adalah dengan melakukan hubungan
bilateral dengan negara pantai, ini dilakukan berdasarkan asas keadilan.
2.4 Laut Wilayah
Laut wilayah ialah bagian yang paling dekat dengandari pantai

yang pada umumnya dianggap sebagai lanjutan dari daratanya dan diatas
mana negara pantai tersebut mempunyai kedaulatan.
Dalam memperlakukan laut wilayah ini negara – negara pantai
sekarang menggunakan asas imperium, yaitu asas yang membuat negara
pantai tidak lagi berkuasa penuh atas laut wilayahnya. Negara – negara
hanya boleh menggunakan kedaulatanya dengan kelebaran 3 mil (menurut
Konferensi Institut de Droit international di Stockholm 1928). Ini didasarkan
pada aspek historis, yaitu pada zaman dahulu kala kekuasaan negara
didasarkan pada jauhnya peluru meriam yang ditembakan dari pantai, dan
saat itu peluru ditembakan dan jatuh pada jarak 3 mil atau 5,5 km.
Pada prakteknya banyak negara yang mengklaim laut
wilayahnya secara berbeda – beda. Untuk mengatasi masalah ini, banyak
dilakukan pertemuan – pertemuan. Dan barulah pada Konferensi Hukum Laut
1973 ditetapkan bahwa negara berhak menetapkan lebar laut wilayahnya
hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, yang di ukur dari garis

pangkal yang di tentukan dalam konvensi. Namun sampai saat ini masih ada
negara yang mengklaim laut wilayahnya lebih dari 12 mil, seperti, Filipina,
Liberia, Kongo, Equador, Somalia, dan beberapa negara lainya.
Menurut Konvensi 1982, pasal 5 dikatakan bahwa, garis pangkal

biasa untuk mengukur lebar laut territorial adalah garis air rendah sepanjang
pantaisebagaimana terlihatpada peta skala besaryang diakui resmioleh
negara pantai tersebut.

3. Konsepsi Negara Kepulauan
Ketentuan mengenai perairan nasional dimulai pada saat keluarnya
Pengumuman Pemerintah tanggal 13 Desember 1967, yang kemudian
dikenal dengan nama Deklarasi Juanda yang isinya sebagai berikut:
Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan
pulau – pulau atau bagian pulau – pulauyang termasuk daratan Negara
Republik Indonesiadengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah
bagian – bagian yang wajar dari pada wilayah daratan Negara Republik
Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan
nasionalyang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik
Indonesia.
Lalu lintas damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin
selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan
Negara Indonesia. Penentuan batas laut territorial yang lebarnya 12 mil yang
di ukur dari garis – garis yang menghubungkan titik – titik terluar pada pulau
– pulau Negara Republik Indonesiaakan ditentukan dengan undang – undang.

Deklarasi ini kemudian diperkuat dengan Undang – undang No.4 tahun
1960, yang didalamnya mengatur mengenai perairan Indonesia, termasuk
cara – cara penarikan garis batasnya, selain itu ada pernyataan bahwa lebar
laut wilayah kita adalah 12 mil. Ini sesuai dengan isi Konvensi 1982 Pasal 3.
4. Penyelesaian Sengketa Menurut Konvensi 1982
Konvensi ini memberikan cara penyelesaian sengketa yang kreatif.
Menurut konvensi ini negara – negara yang baru bersengketa diperbolehkan

memilih prosedur mekanisme yang diinginkan sepanjang itu disepakati
bersama. Mekanisme yang dimaksud meliputi mekanisme regional, maupun
melalui perjanjian bilateral. Jika melalui mekanisme tersebut, sengketa masih
terus berlanjut, selanjutnya negara yang bersengketa berhak memilih badan
peradilan yang diinginkan. Adapun badan – badan tersebut adalah Tribunal
untuk hukum laut, Mahkamah Internasional, dan Tribunal arbitrasi.
Lalu bagaimana bila yang bersengketa adalah subyek bukan negara
(non-state actor) seperti organisasi internasional? Sengketa tersebut dapat
diselesaikan dengan cara memilih badan – badan peradilan internasional di
atas, kecuali Mahkamah Internasional, karena badan tersebut hanya dapat
menyelesaikan sengketa antar negara.