Keterlindanan Hukum Laut Internasional d (1)

Tristam P. Moeliono

Pendahuluan Perkembangan pemikiran dalam hukum laut internasional jelas berpengaruh terhadap ruang dan opsi kebijakan yang dapat diambil pemerintah Indonesia dan bagaimana hukum laut nasional Indonesia seharusnya dibuat. Sebaliknya sebagai Negara berdaulat dan anggota masyarakat internasional, Indonesia tidak sepenuhnya bersikap pasif dan menerima begitu saja aturan-aturan baik yang memaksa maupun sekadar mengatur dari rezim hukum laut internasional. Tulisan ini menelusuri perkaitan dan perkelindanan antara perkembangan rezim hukum laut internasional dengan hukum laut nasional. Tujuan menunjukkan adanya keterlindanan ini adalah sebagai pengingat agar dalam membuat dan melaksanakan aturan- aturan hukum laut nasional Indonesia tidak hanya mengutamakan kepentingan nasional saja, namun juga memperhatikan tanggungjawabnya sebagai anggota masyarakat internasional.

Dengan tujuan itu, maka pada bagian awal tulisan ini akan ditelaah praktik Negara dalam membentuk dan terus mengembangkan rezim hukum laut internasional. Akan ditunjukkan kelenturan dari rezim hukum laut internasional yang tidak hanya dilandaskan pada kodifikasi hukum kebiasaan internasional, namun juga merupakan kristalisasi norma-norma umum yang diterima masyarakat internasional serta dalam beberapa kasus justru merupakan dobrakan atas konsep-konsep lama yang tidak lagi memenuhi kebutuhan Negara-negara. Pada bagian kedua akan ditelaah batasan-batasan dalam rezim hukum laut internasional yang bagaimanapun juga harus diperhatikan Indonesia sebagai Negara peratifikasi UN-CLOS 1982. Kompromi yang harus dilakukan jelas berpengaruh terhadap kebebasan Indonesia dalam mengatur kebebasan pelayaran dan kedaulatan atau hak berdaulat Indonesia dalam mengelola sumberdaya alam (hayati/nabati) di dalam ragam zona maritime yang dikenal dalam UN-CLOS 1982. Pada bagian akhir akan diberikan kesimpulan tentang pengaruh timbal balik hukum laut internasional dengan hukum nasional Indonesia.

Praktik negara-negara (usus) dalam mengubah rezim hukum laut internasional Ketika Indonesia memperoleh kemerdekaan pada 1945, masih berlaku ketentuan hukum

(laut) internasional lama dan aturan Hindia Belanda tentang penetapan batas laut territorial (teritoriale zee & maritieme- kringen ordonnantie 1939). Ditetapkan dalam ordonansi tersebut bahwa yang menjadi acuan penarikan lebar laut teritorial di Hindia Belanda adalah garis pangkal normal (normal base line: mengikuti lekukan garis pantai) dan itupun hanya selebar 3 mil laut. Prinsip ini dilandaskan pada hukum kebiasaan internasional laut yang berlaku pada masa itu, yaitu penarikan batas laut teritotial dilandaskan pada kemampuan negara pantai untuk mempertahankan kedaulatan dari darat. Kiranya pemikiran dapat dikaitkan juga pada kemampuan meriam yang pada zaman itu hanya mampu menembakan

1 Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Haryo Budi Nugroho dari Kementerian Luar Negeri Indonesia dan Sdr. Niken Pratiwi yang memberikan koreksi dan kritikan atas drat awal artikel ini.

Namun terlepas dari itu uraian dalam artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

proyektil (canon-shot rule) sejauh 3 mil laut. 2 Di luar lebar laut teritorial (3 mil laut) berlaku rezim laut bebas (high seas) di mana berlaku kebebasan berlayar bagi perniagaan

internasional maupun armada perang, termasuk kebebasan menangkap ikan (freedom of the seas).

Konsekuensi dari itu ialah kerentanan Hindia-Belanda dan kemudian Indonesia terhadap serangan dan infiltrasi kapal-kapal perang (termasuk kapal selam) yang hendak menaklukkan Indonesia atau sekadar berlalulalang dari satu lautan ke lautan lain (Pasific-Hindia/Indian

Ocean). Bukti sejarah mudahnya Jepang menaklukan Hindia Belanda 3 serta kesulitan Indonesia mempertahankan kedaulatan di lautan dalam perang revolusi 4 atau perjuangan mempertahankan kemerdekaan (1945-1959) serta dalam perang laut memperebutkan Irian

Barat 5 membuktikan perlu dan pentingnya klaim kedaulatan atas wilayah laut yang berada disekitar dan menghubungkan pulau-pulau yang membentuk NKRI. Titik tolak pemikirannya

ialah ketidakterpisahan atau kesatuan dari tanah-air dalam konteks kepentingan menjaga kedaulatan wilayah negara kesatuan Indonesia. 6

Pada 13 desember 1957, Indonesia mengumumkan deklarasi Djuanda. Deklarasi ini, dari kacamata hukum internasional, merupakan klaim sepihak NKRI yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau – dengan tidak memandang luas atau lebarnya - yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. 7 Sekaligus deklarasi ini memperkenalkan

penggunaan penarikan garis pangkal lurus (straigh base lines; kemudian di dalam UN-CLOS 1982 dikembangkan menjadi archipelagic base line) untuk tujuan memberlakukan

2 Disebutkan juga bahwa aturan (jangkauan tembakan meriam) yang berasal dari abad ke-17 (Eropa) merefleksikan prinsip terrae dominium finitur, ubi finitur armorium vis (the dominion of the land ends

where the range of the weapon ends). Lihat www.oxfordreference.com dengan lema the canon shot rule. Bdgkan juga dengan R. Churchil & V.Lowe, The Law of the Sea, 3rd ed. Manchester: Manchester University Press, 1999. Di dalam halaman 65 dijelaskan bahw

a: Grotius and Bynkershoeck did much to promote the tendency, already evident in the practicce of some states, to replace this unsatisfactory criterion (limits of visibility), wit h the rule that oastal “tates’ right o er argi al aters e te ded up to the point at which those waters could be controlled by shore-based canons.

3 Dalam pertempuran di laut Jawa (27 februari 1942), dan serangkaian perang laut yang lebih kecil (di selat sunda dan bali), angkatan laut sekutu (Belanda, Amerika Serikat dan Inggris) dikalahkan armada

Jepang. Kekalahan ini menjadi awal runtuhnya Hindia Belanda dan awal penjajahan Jepang atas wilayah Indonesia.

4 Baca, antara lain, Markadi, Pimpinan Perang La ut a g te lupaka , www.sorotnews.com , 11 agustus 2012. Ia adalah bagian dari pasukan yang kembali menyeberang dari Jawa ke Bali dalam

rangka mendukung perjuangan I Gusti Ngurah Rai dalam perang gerilya di Bali. 5 Pertempuran Laut Aru adalah bagian dari Operasi Trikora (merebut kembali Papua Barat) yang

pecah pada 15 januari 1962. Di dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai perang laut yang mengakibatkan tewasnya komodor Yos Sudarso (pahlawan nasional).

6 Baca pula uraian lebih komprehensif tentang sejarah hukum laut Indonesia di dalam I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, Bandung: Yrama Widya, 2014.

7 Upaya yang bermula dari kabinet Ali Sastroamijoyo II (24 maret 1956-14 maret 19570. Kabinet Ali membentuk panitia Pirngadi (kolonel laut R. Pirgandi) yang merancang RUU Wilayah Perairan

Indonesia dan Lingkungan Maritim. Di dalamnya sudah ditetapkan penarikan lebar laut teritorial 12 mil laut. Kabinet Ali digantikan oleh Kabinet Djuanda yang untuk itu menunjuk Mochtar Kusu aat adja e a a g UU a u. Lihat: seja a a uda,

e , Dekla asi Djua da, da Kemenangan Diplomasi Indonesia, 13 desember 2012, dari. www.sejarawanmuda.wordpress.com (13/10/2014).

Dese Dese

Deklarasi ini kemudian dimaktubkan ke dalam UU 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia yang sekaligus mencabut territoriale zee en maritieme kringen ordonnantie 1939 . Di dalam ketentuan Pasal 1(2) disebutkan:

Laut wilayah Indonesia ialah lajur laut sebesar duabelas mil laut yang garis luarnya diukur tegak lurus atau garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri dari garis- garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah daripada pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang terluar wilayah Indonesia dengan ketentuan bahwa jika ada selat yang lebarnya melebihi 24 mil laut, dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi, maka garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.

Penarikan garis pangkal (yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar) memunculkan pembedaan antara laut teritorial (12 mil laut dengan merujuk pada draft articles yang disusun International Law Commission pada sidang ke-8 tahun 1957 dengan perairan pedalaman (perairan nusantara) Di dalam penjelasan Pasal 1(3) dar rancangan tersebut disebut sebagai segala perairan yang terletak pada sisi garis dalam garis pangkal dan terdiri dari laut, teluk dan anak laut.

Klaim kedaulatan teritorial atas perairan pedalaman (belum digunakan istilah perairan Nusantara) sekaligus e atasi ke e asa e la a da i

as a akat i te asio al di perairan pedalaman. Untuk itu, sebagai kompromi, di dalam ketentuan Pasal 3 UU 4/Prp/1960 diatur ihwal hak lintas damai di perairan pedalaman (dibedakan dari yang berlaku di laut wilayah/teritorial). Hak lintas damai di laut pedalaman dalam penjelasan UU 4/Prp/1960 dikualifikasika se agai suatu kelo gga a a g de ga se gaja di e ika oleh

I do esia . Maka hak lintas damai perairan pedalaman, dari kacamata UU 4/Prp/1960, dipersepsikan sebagai kebijakan yang dibuat negara berdaulat Indonesia sebagaimana dituliskan ke dalam aturan hukum nasional dan bukan hak yang diberikan hukum

internasional kepada kapal bendera asing (dalam rangka melindungi kebebasan pelayaran). Dengan kata lain, hak yang menurut hukum nasional dapat sewaktu-waktu ditangguhkan bahkan dicabut.

Peluang untuk membuat dobrakan terhadap rezim hukum laut internasional yang tidak mengakomodasikan kepentingan Indonesia sebagai negara kepulauan (terdiri dari lebih

13.000 pulau-pulau, dan kurang lebih 3.000 pulau didiami orang) 8 terbuka lebar karena rezim hukum laut internasional yang saat itu berlaku ternyata dianggap ketinggalan zaman,

terutama dalam artian tidak lagi mampu mengakomodasi kepentingan khususnya dari negara-negara baru merdeka di Asia dan Amerika Latin, bahkan juga dari negara maju sendiri.

8 Disebutkan oleh Badan Informasi Geospasial bahwa Indonesia memiliki 13.466 pulau yang terdaftar dan berkoordinat. Lihat www.bakosurtanal.go/id .

Pertama dapat kita sebut praktik negara N o egia pada

a a g secara unilateral memutuskan penggunaan garis pangkal lurus (straight base lines) untuk menutup tanjung/teluk yang masuk jauh (menjorok) ke dalam wilayah perairan dan daratan (fjords)

dan menjadikan wilayah laut tersebut masuk ke bawah kedaulatan penuh negara sebagai perairan pedalaman. Sikap yang ditentang Inggris dan yang kemudian membawa persoalan ini kehadapan Mahkamah Internasional. Dalam putusan Anglo-Norwegian Fisheries case

(1951) 9 , Mahkamah membenarkan praktik yang dilakukan Norwegia. Dengan itu, penarikan garis pangkal lurus dibenarkan, dinyatakan sebagai tindakan sah dan tidak lagi dianggap

melanggar hukum laut internasional. Selanjutnya dapat disebut negara-negara berkembang (dunia ketiga) di Amerika Latin

(khususnya Chili dan Peru), yang pada era 1947, sekalipun tidak mengklaim pelebaran wilayah laut territorial, mengajukan gagasan patrimonial sea di luar wilayah laut teritorial. 10

Pada 18 agustus 1952, tiga negara Amerika Latin (Chili, Ekuador dan Peru) menandatangani the Santiago Declaration. Klaim mereka tertuju pada upaya untuk mendapatkan pengakuan internasional atas pernyataan sepihak klaim kewenangan eksklusif (bersifat ekonomis) untuk menangkap ikan (zona perikanan) selebar 200 mil laut (exclusive fishing zone). Jadi yang diklaim adalah zona perikanan (fisheries zone) yang pemanfaatannya harus mendahulukan nelayan negara pantai. 11

Dari sini berkembang apa yang di kemudian hari dikenal sebagai economic exclusive zones, perairan di luar laut teritorial di mana negara pantai memiliki hak berdaulat (sovereign right) untuk mengeksplorasi dan eksploitasi sumberdaya yang

terkandung di dalamnya. 12 Pada 1949, sejumlah negara Arab mempublikasikan deklarasi unilateral serupa yang

memperluas jangkauan kewenangan negara atas sumberdaya di luar batas laut teritorial. Namun demikian, berbeda dengan negara-negara Amerika Latin, sasaran utamanya adalah

mengamankan sumberdaya minyak bumi yang berada di lepas pantai. 13 Berkaitan dengan itu, harus diperhatikan perkelindanan antara klaim kedaulatan (atau hak

berdaulat) atas sumberdaya perikanan di lautan di luar batas laut teritorial dengan klaim atas sumberdaya mineral. Hal ini ditegaskan oleh pertimbangan Mahkamah Internasional dalam Libya/Malta Continental Shelf Case (1985) ketika dinyatakan:

9 46 Am. J. Int'l L. 609 (1952) Anglo-Norwegian Fisheries Case and Its Legal Consequences, The , Evensen, Jens.

10 Untuk tinjauan sejarah dari patrimonial sea a a. “.N. Na da , The E lusi e E o o i )o e: A Historical Perspective , dalam FAO Essays in memory of Jean Carroz; Fisheries and Aquaculture Department, FAO, 1987 tersedia di www.fao.org/docrep/s5280t/s5280t0p.htm . (20/10/2014). Bdgkan pula dengan Ja es E. Ba le III, The E lusi e E o o i )o e: Its De elop e t and Future in

International and Domestic Law, Lousiana Law Review, 45 La.L.Rev (1985). Available at http://digitalcommons.law.ls.edu/lalrev/vol45/iss6/8 . (18/10/2014).

11 Lihat juga Fisheries Jurisdiction (UK vs. Iceland), 1974 ICJ (Judgment on the merits), July 25). 12 Part V UN-CLOS 1982 (Arts. 55-75). Art. 55 menjelaskan bahwa: the exclusive economic zone is an

area beyond and adjacent to the territorial sea, subject to the specific legal regime established in this Part, under which the rights and jurisdiction of the coastal state and the rights and freedoms of other states are governed by the relevant provisions of this convention. Lingkup kewenangan hak berdaulat dan yurisdiksi negara pantai dijelaskan dalam Pasal 56:

13 S.N. Nandan, op.cit.

(...) there can be a continental shelf without EEZ but there cannot be an EEZ without

a continental shelf. Maka klaim atas zona perikanan dapat dipandang sekaligus sebagai klaim atas sumberdaya

mineral yang berada di bawahnya. Sekalipun tidak sekaligus dapat berarti sebaliknya. Ini pula yang menyebabkan ada persinggungan dan tumpangtindih antara ZEE (klaim atas zona perikanan) dengan Landas Kontinen (klaim atas sumberdaya mineral).

Pra ktik e do ak progressive development) rezim hukum laut internasional (yang pada saat itu masih dianggap hukum yang berlaku) sebagaimana dilakukan negara-negara Amerika Latin dan Arab bahkan Indonesia melalui deklarasi sepihak ternyata bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Sikap tersebut dapat dikatakan terinspirasi oleh sikap-tindak Amerika Serikat. Pada 1945, Presiden Truman menerbitkan Proclamation 2667 – Policy of the United States with respect to the Natural Resources of the Subsoil and Sea Bed of the Continental Shelf (september 28). Di dalamnya disebutkan: 14 .

The exercise of jurisdiction over the natural resources of the subsoil and sea bed of the continental shelf by the contiguous nation is reasonable and just (...), and since self-protection compels the coastal nation to keep close watch over activities off its shores which are of the nature necessiary for utilization of these resources.

Melalui Proklamasi ini Amerika Serikat melakukan tindakan sepihak mengklaim yurisdiksi eksklusif untuk mengekplorasi dan eksploitasi sumberdaya minyak dan gas bumi di luar batas lebar laut teritorialnya, yaitu di landas kontinenal (continental shelf).

Bahkan dalam perkembangannya sejak 1945 di atas, yurisdiksi negara pantai atas landas kontinen disebutkan sebagai hak yang berkelindan dengan kedaulatan teritorial negara, bukan hak yang diberikan berdasarkan hukum internasional. Mahkamah Internasional

dalam putusannya dalam kasus North Sea Continental Shelf 1968 15 menegaskan: (...), that the rights of the coastal state in respect of the area of continental shelf

constituting a natural prolongation of its land territory under the sea existed ipso facto and ab initio, by virtue of its sovereignty over the land. That right was inherent. In order to exercise it, no special legal act had to be performed.

Terlepas dari perbedaannya dengan klaim patrimonial di atas (yang kelak menjadi hak berdaulat atas Zona Ekonomi Eksklusif) apa yang penting di sini adalah bahwa sejak 1945 (pasca perang dunia ke II), tidak saja negara-negara berkembang (yang baru merdeka) namun juga negara maju mulai mencari cara untuk memperluas kontrol (baik berdasarkan kedaulatan ataupun hak berdaulat) atas laut yang berbatasan (adjacent sea) dengan wilayah daratan.

Kumpulan pernyataan sepihak (unilateral declarations berdasarkan hukum nasional) demikian pada pokoknya mengindikasikan ketidak-puasan (sebagian besar anggota

14 Dikutip dari www.presidency.ucsb.edu/ws/?pid=12332 . (20/10/2014) 15 North Sea Continental Shelf (Federal Republic of Germany/Netherlands, 1968. Lihat: www.icj-

cij.org/docket/index.php . (20/10/2014).

masyarakat internasional) terhadap kemasukakalan (reasonableness) dan keadilan (justness) dari rezim hukum laut lama. Fakta sama menunjukkan pula tumbuh kembangnya kesadaran hukum yang berbeda yang tidak terakomodasi lagi dalam perjanjian internasional (tentang hukum laut internasional) yang berlaku pada saat itu. Situasi ini pula yang mendorong penyelenggaraan konferensi internasional hukum laut (I: 1958, II: 1960 dan rangkaian konferensi yang berujung pada Law of the Sea Convention (UN-CLOS) III/1982).

Pengakuan internasional dan peluang mengabsahkan klaim archipelagic state and waters Dengan kata lain, pelanggaran-pelanggaran (dobrakan) atas rezim hukum laut lama yang

dilakukan negara-negara (melalui deklarasi sepihak atau praktik kenegaraan) kehilangan sifat melawan hukumnya. Sebaliknya praktik itu (sebagai usus/usage) justru memberikan pembenaran dan landasan tumbuh kembangnya kesadaran hukum masyarakat hukum yang berbeda dan tidak tercermin lagi dalam rezim peraturan hukum laut yang berlaku saat itu. Usus atau praktik yang berbeda atau menyimpang kemudian dianggap sebagai cerminan hukum yang (seharusnya) berlaku. Perubahan sikap (pandangan hukum) terhadap hukum (laut) internasional, muncul dalam tindakan-tindakan sepihak (yang sebenarnya melanggar hukum internasional yang berlaku pada saat itu berlaku), ditransformasikan oleh negara- negara yang berkepentingan ke dalam langkah diplomasi di meja perundingan internasional yang diprakarsai oleh PBB (UN-Conference on the Law of the Sea 1959 (I) dan 1960 (II) maupun yang kemudian berujung pada UN-Convention on the Law of the Sea 1982/III).

Melalui itu pula kita dapat telusuri berkembangnya kesadaran hukum atau perasaan keadilan yang berbeda – yang tidak lagi dapat dicerminkan rezim hukum (kebiasaan atau perjanjian) internasional (tentang laut) yang berlaku. Khususnya berbicara tentang Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, keberhasilan perjuangan panjang di panggung politik internasional dan kemudian meja diplomasi dalam rangkaian konferensi terbayar dengan ditandatanganinya UN-Convention on the Law of the Sea (UN-CLOS) 1982.

Di dalamnya kita temukan pengaturan tentang archipelagic state yang diperkenankan mengklaim kedaulatan atas archipelagic waters (Part IV archipelagic states: 46-54). Ditetapkan dalam ketentuan Pasal 46 bahwa:

a. archipelagic state means a state constitutes wholly by one or more archipelagos and may include other islands;

b. archipelago means a group of islands, including part of islands, interconnecting waters and other natural features which are so closely interrelated that such islands, waters and other natural features form an intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically have been regarded as such.

Selanjutnya (Art. 47) menyatakan bahwa: An archipelagic state may draw straight archipelagic baselines joining the outermost

points of the outermost islands and drying reefs on the archipelago provided that within such baselines are included the main islands and an area in which the ratio of the area of the waters to the area of the land, including attols, is between 1 to 1 and

9 to 1;

The length of such baselines shall not exceed 100 nautical miles, except that up to 3 per cent of the total number of baselines enclosing any archipelago may exceed that length, up to a maximum length of 125 nautical miles; The drawing of such baselines shall not depart to any appreciable extent from the general configuration of the archipelago;

…. The baselines drawn in accordance with this article shall be shown on charts of a scale or scales adequate for ascertaining their position. Alternatively, list of

geographical coordinates of points, specifying the geodetic datum, may be substituted; The archipelagic state shall give due publicity to such charts or list of geographical coordinates and shall deposit a copy of each such charts or list with the Secretary- General of the United Nations.

Berdasarkan ketentuan di atas menjadi negara kepulauan (baik dari kacamata hukum nasional atau khususnya hukum laut internasional) bukan suatu kewajiban hukum (internasional) dan lebih jauh lagi tidak berlaku otomatis bagi negara-negara pantai (yang faktual atau secara geografis terdiri atas sejumlah pulau). Sebagai ilustrasi Filipina secara geografis dapat dikategorikan sebagai negara kepulauan: 7.107 pulau dengan luas total wilayah darat: 300.000 km2. Kesebelas pulau terbesar mencakup 94% total wilayah darat. Filipina menandatangani UNCLOS pada 10 desember 1982) dan meratifikasinya pada 27

februari 1982. 16 Sebaliknya, dapat pula kita temukan negara yang sekalipun secara geografis merupakan negara kepulauan, namun tidak (dapat) memanfaatkan peluang yang dibuka

oleh UN-CLOS 1982. Jepang, Selandia Baru dan Inggris adalah beberapa diantaranya yang tidak memenuhi kriteria untuk dihadapan hukum laut internasional disebut sebagai archipelagic states yang dapat mengklaim kedaulatan atas archipelagic waters.

Singkat kata, ruang lingkup pengertian negara kepulauan (archipelagic state) dan perairan kepulauan (archipelagic waters) diatur ketat dalam hukum laut (UN-CLOS 1982) dan hanya negara yang memenuhi kriteria yang ditetapkan dapat memanfaatkan peluang untuk diakui secara sah sebagai negara kepulauan dengan segala hak dan kewajiban yang melekat padanya. Maka, ketentuan di atas dapat kita pahami lebih sebagai undangan terbuka bagi negara pihak (yang secara geografis memenuhi kriteria yang ditetapkan Pasal 46 di atas untuk melalui hukum nasional mengklaim diri sebagai negara kepulauan yang berkuasa atas perairan kepulauan. Hal a a te i plikasika pula da i te i ologi may uka shall yang digunakan dalam ketentuan di atas.

Indonesia sejalan dengan niatannya semula sebagaimana termaktub dalam Deklarasi Djuanda menggunakan peluang ini. Dengan UU 17/1985 tentang Pengesahan UN-CLOS 1982, pemerintah Indonesia meratifikasi UN-CLOS 1982. Disebutkan:

bagi bangsa Indonesia, konvensi ini mempunyai arti yang penting karena untuk pertamakalinya asas Negara Kepulauan yang selama duapuluh lima tahun secara

16 Periksa pula Archipelagic Baselines Law (Republic Act (RA) 9522; 10 march 2009; yang mengubah RA 3046 sebagaimana telah diubah dengan RA 5446L baselines of the territorial sea of the

Philippines). Dengan instrumen (hukum nasional) i i Filipi a e ataka di i se agai a hipelagi state .

terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia, telah berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat internasional.

Namun begitu peluang tersebut diambil cara penarikan garis pangkal kepulauan akan tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 47 (2-9) di atas. Hal mana juga ditegaskan di dalam Penjelasan UU 17/1985, yaitu syarat bahwa garis dasar/pangkal lurus kepulauan hanya dapat ditarik bilamana:

(a). perbandingan daerah perairan dan daerah daratan adalah antara satu banding satu dan sembilan banding satu; (b). panjang garis dasar/pangkal tidak boleh melebihi 100 mil laut (hanya 3% yang boleh melebihi 100 mil laut namun tidak boleh lebih dari 125 mil laut); dan (c). penarikan garis dasar/pangkal tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum negara kepulauan.

Ketentuan yang merupakan terjemahan dari Pasal 47 UN-CLOS 1982. Maka sejak saat itu tidak lagi berlaku kehendak sepihak yang disuarakan di dalam Deklarasi Djuanda, yaitu penarikan garis pangkal kepulauan dapat dilakukan: dengan tidak memandang luas atau le a

a selat atau pe ai a di a ta a pulau-pulau terluar Indonesia. Lebih tegas lagi, penarikan garis pangkal lurus dan kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pe ai a Nusa ta a ha us dita ik de ga e gikuti petu juk a g dituliska oleh UN-CLOS 1982.

Dalam konteks ini relevan pertanyaan apakah kemudian UN-CLOS 1982 merupakan perjanjian internasional yang self-executing? Langsung berlaku bagi negara(-negara) yang meratifikasi? Bagaimana pula dengan negara-negara yang tidak menandatangani atau

sudah menandantangani namun tidak meratifikasi? 17 Bagaimana keberlakuan UN-CLOS 1982 harus dimaknai? Sebagai perjanjian yang karena sudah disepakati bersifat memaksa

para pihak saja ataukah sebagai cerminan hukum kebiasaan internasional yang artinya juga berlaku dan mengikat negara-negara bukan penandatangan atau peratifikasi? 18

Untuk itu

17 Ja es L. Malo e, The U ited “tates a d the La of the “ea Afte UNCLO“ III , La a d Contemporary Problems, Vol. 46; No. 2, Spring 1983, 29-36. Di dalam pendahuluan secara tegas

di ataka : the United States did not approve the recently completed Law of the Sea Convention, nor ill e sig it, e ause of our o je tio tot the Treat ’s pro isio s o deep sea ed mining. Our rejection of the final Convention was an unfortunate end in our decade long effort to produce a

o prehe si e o ea s agree e t. Ini pula yang merupakan sikap/posisi Pres. Reagan saat itu. Pada 2007, Amerika di bawah kepresidenan Bush mempertimbangkan untuk meratifikasi. Baca Peter A Bu au , UN Ad i ist atio pushes UNCLO“ augustus

, www.isn.ethz.ch/Digital- Library/Articles (08/12/2013). Sampai 2012, posisi Amerika Serikat terhadap UNCLOS belum berubah,

sekalipun menerima bahwa ketentuan lainnya dari UNCLOS di luar ketentuan tentang deep seabed mining berlaku dan diakui sebagai customary law binding upon states . Pe iksa: “te e G o es, The Law of the Sea: Costs of US Ac essio to UNCLO“ ; Hea i g efo e the U ited “tate “e ate Committee on Foreign Relations, June 14, 2012. ( www.heritage.org/.../06/the-law-of-the-sea- convention-treaty-doc-103-39 ; 08/12/2013).

18 R. Churchil and V. Lo e, The La of the “ea , 3rd ed. Manchester: Manchester University Press, 1999, berkenaan dengan ini mendalilkan bahwa UNCLOS 1982 memuat prinsip-prinsip hukum laut

internasional yang bersifat: codifying or crystalizing customary international law atau yang bersifat mendobrak dan mengubah total. Istilah yang mereka gunakan adalah norma-norma yang merupakan progressive development.

kita harus cermati bagaimana konsekuensi hukum dari penandatanganan dan peratifikasian Indonesia atas UNCLOS-1982. Pengakuan internasional atas kedaulatan Indonesia di perairan nusantara (kepulauan) lagipula diperoleh dengan sejumlah kompromi, yaitu dengan tetap mengakui hak dari kapal berbendera asing (niaga) untuk berlayar melintasi perairan nusantara sebagaimana diatur dalam hukum laut internasional.

Batasan dan kompromi: pengaturan kebebasan berlayar di perairan nusantara Sebagaimana sudah diindikasikan di atas, pilihan untuk dapat mengendalikan dan menutup

perairan kepulauan dan mengklaimnya sebagai wilayah perairan pedalaman (nusantara) ditundukkan pada persyaratan tertentu yaitu negara yang bersangkutan sekaligus menerima kewajiban lain yang ditetapkan oleh UN-CLOS 1982. Kedaulatan di atas dan di dalam perairan kepulauan tidak bersifat mutlak. Hal ini ternyata dari pengaturan kedaulatan di dalam perairan kepulauan (Pasal 49):

1. The sovereignty of an archipelagic state extends to the waters enclosed by the archipelagic baselines drawn in accordance with article 47, described as archipelagic waters, regardless of the depth or distance from the coast.

2. The sovereignty extends to the air space over the archipelagic waters, as well as to their bed and subsoil, and the resources contained therein;

3. This sovereignty is exercised subject to this Part.

4. ….. . Ketentuan ayat 3 menegaskan bahwa kedaulatan di atas/dalam perairan kepulauan akan

tunduk (dibatasi) oleh ketentuan-ketentuan lain (dari hukum internasional) yang berlaku. Ketentuan demikian membatasi lingkup kedaulatan negara kepulauan dan mencakup sejumlah kewajiban sebagai berikut:

1. … a a hipelagi state shall espe t e isti g ag ee e t ith othe states a d shall recognize traditional fishing rights and other legitimate activities of the immediately adjacent neighboring states in certain areas falling within archipelagic waters (Art.

2. ….. ships of all states e jo the ight of i o e t passage th ough a hipelagi ate s … A t.

3. The regime of innocent passage shall apply in straits used for international navigation; there shall be no suspension of innocent passage through such straits (Art. 43);

Pertama dengan bertambah luasnya kedaulatan negara kepulauan atas wilayah perairan nusantara atau kepulauan (archipelagic waters; termasuk ruang udara (air space) di atasnya), maka muncul perintah konvensi agar perjanjian yang sudah ada sebelumnya dengan negara lain tetap dihormati. Juga adanya kewajiban untuk tetap menghormati dan mengakui traditional fishing rights maupun kegiatan absah dari negara lainnya yang sebelumnya (masih) ada. 19

19 Untuk komentar dan kritik terhadap pengakomodasian historic fishing rights di luar archipelagic waters (di luar konteks UN-CLOS 1982 , a a Leo a d Be a d, The Effe t of Histo i Fishi g ‘ights i

Di luar itu yang lebih penting adalah prasyarat kaim kedaulatan atas perairan Nusantara akan diakui sepanjang negara perairan juga mengakui dan mengakomodasi kebebasan pelayaran. Maka di samping adanya kewajiban umum dari negara perairan (coastal state) untuk menghormati hak lintas damai dari atau menuju laut teritorial/ZEE (right of innocent passage), bagi negara kepulauan berlaku kewajiban untuk mengakui (dan mengelola) hak lintas damai di perairan nusantara (right of innocent passage di dalam archipelagic waters (sea lanes), dan hak lintas transit (transit passage) berkaitan dengan keberadaan straits used for international navigation (di dalam kawasan/perairan nusantara).

Hak lintas damai di perairan nusantara dan melalui alur laut kepulauan (ALK(-Indonesia)) Berkenaan dengan pengaturan hak lintas damai (di-) perairan nusantara, UN-CLOS 1982

menetapkan (art. 52: right of innocent passage): (1) Subject to Art. 53 and without prejudice to Art. 50, ships of all states enjoys the right

of innocent passage through archipelagic waters, in accordance with Part II, section 3;

(2) The archipelagic state may, without discrimination in form or in fact among foreign ships, suspend temporarily in specified areas of its archipelagic waters the innocent passage of foreign ships if such suspension is essential for the protection of its security. Such suspension shall take effect only after having duly published.

Berbeda dari hak lintas damai di perairan nusantara, dibuat pula ketentuan berbeda perihal hak lintas transit (continous and expeditious passage) melalui perairan nusantara (the right of archipelagic sea lanes passage). Ketentuan Pasal 53(1) menetapkan:

An archipelagic State may designate sea lanes and air routes there above, suitable for the continuous and expeditious passage of foreign ships and aircraft through or over its archipelagic waters and the adjacent territorial sea.

Di dalam rute perlintasan tersebut (ayat 2): All ships and aircraft enjoy the right of archipelagic sea lanes passage in such sea

lanes and air routes. Sedangkan archiplegic sea lanes passage (ayat 3) didefinisikan sebagai:

Ma iti e Bou da ies Deli itatio , pape p ese ted at the te th i a se ies of a ual i te atio al conference organized and sponsored by the Law of the Sea Institute, School of Law, University of

California, Berkeley, 2012: 2012 LOSI-KIOST Conference on Securing the Ocean for the Next Ge e atio . Bdgka : Polite D sp ia i, T aditio al Fishi g ‘ights: A al sis of “tate P a ti e , division

for ocean affairs and the law of the sea office of legal affairs, the United Nations, New York, 2011. Dise utka ah a the p a ti e of t aditio al fishi g efle ts ultu al attitudes a d a e st o gl

influenced by religious practices or soc ial usto s. But it a also tu i to o e ial fishi g when the market and prices are good. (...) the widespread adoption of motorization in small-scale fisheries worldwide, recently, traditional or small-scale fisheries now include a range of fishing activities targetting anything from sedentary molluses in littoral waters to highly migratory tuna sto ks i dista t ate s . p. .

(t)he exercise in accordance with this Convention of the rights of navigation and overflight in the normal mode solely for the purpose of continuous, expeditious and unobstructed transit between one part of the high seas or an exclusive economic zone and another part of the high seas or an exclusive economic zone.

Perlu dicermati bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan berdasarkan ketentuan Pasal 53(1) di atas berwenang (digunakan kata may) untuk menetapkan archipelagic sea lanes and air routes thereabove. Namun ditambahkan pula di dalam ketentuan Pasal 53(12) bahwa bilamana negara kepulauan tidak membuat (designate) sea lanes or air routes, the right of archipelagic sea lanes passage may be exercised through the routes normally used for international navigation. Artinya kata may di atas - bila tidak dipergunakan - tidak sertamerta berarti bahwa Indonesia dapat begitu saja secara sepihak menutup seluruh wilayah perairan nusantara bagi perlintasan kapal-kapal bendera asing.

Untuk tetap dapat mengontrol dan memantau pergerakan lalulintas kapal-kapal bendera asing, maka baru pada 1996, Indonesia: 20

(p)roposed three Archipelagic Sea Lanes (ASLs) running in a north-south direction that international shipping could use with minimal restrictions to pass through Indonesian waters. Indonesia proposed three north-south sea-lanes: through the Sunda and Karimata straits to the South China Sea; through the Lombok and Makassar straits to the South China Sea, and from the Indian Ocean and Arafura Sea north of Australia to the Pacific Ocean via the Molucca Sea in Indonesia.

Sebagaimana muncul di peta, 3 ALKI tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

20 Lihat: Wawasan Nusantara dalam http://www.globalsecurity.org/military/world/indonesia/archipelagic-concept.htm dengan rujukan

pada Cris Forward, ARCHIPELAGIC SEA-LANES IN INDONESIA - THEIR LEGALITY IN INTERNATIONAL LAW .

Gbr.1 (sumber lihat catt kaki 18). Dari gambar di atas dapat kita cermati ada tiga jalur perlintasan yang dibuka, yaitu ALKI-1

(barat), ALKI-2 (tengah) dan ALKI-3 (tengah) yang membujur dari selatan ke utara di wilayah perairan Indonesia. Ketiga ALKI tersebut sudah ditetapkan melalui PP 37/2002 (hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara dalam melaksanakan hak lintas alur kepulauan melalui alur laut kepulauan yang ditetapkan). PP ini selain secara langsung merujuk pada UU Perairan Indonesia (UU 6/1996) juga langsung merujuk pada ketentuan-ketentuan di dalam UN-CLOS 1982. Bersamaan dengan itu, disadari pula perlunya ada kepastian perihal batas wilayah perairan Nusantara. Untuk itu Indonesia menetapkan melalui PP 38/2002 daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia (diubah melalui PP 37/2008).

Dari gambar di atas tampak jelas bahwa 3 ALKI (archipelagic sea lanes) yang ada dari sudut pandang Indonesia dimaksudkan hanya memberikan peluang perlintasan melalui perairan nusantara dari dari utara ke selatan. Tidak dibuat atau tersedia ALKI yang melintas timur- barat. Kendati demikian harus diperhatikan bahwa dengan memutuskan untuk hanya menetapkan 3 ALKI kepada Maritime Safety Committee (pada meeting ke 69), sebenarnya Indonesia dianggap baru memenuhi sebagian kewajiban di bawah UN-CLOS 1982 (partial designation). Kraska dan Paul Redrozo menulis: 21

Indonesia was the first nation to designate archipelagic sea lanes. The country did not, however, seek IMO approval of all normal routes for international navigation, as required by Art. 53 of UNCLOS. Most obviously, Indonesia has not sough IMO designation for an East-West Lane through the archipelago. Thus, the sea lanes resolution for Indonesia adopted by the IMO Maritime Safety Commission (MSC) is

e pli itl a pa tial s ste . “i ila l , the IMO s Ge e al P o isio s o “hips ‘outei g G“P‘ efe s to a Pa tial “ ste of A hipelagic Sea Lanes in Indonesian

Archipelagic Waters.

Singkat kata Indonesia belum sepenuhnya mematuhi ketentuan UN-CLOS 1982 sebagai harga yang harus dibayar untuk mendapat pengakuan (hukum) internasional atas status negara yang memiliki kedaulatan atas wilayah perairan Nusantara. Lagipula dari sudut pandang negara-negara maritim (Amerika, Inggris, Kanada dan Jepang) belum semua route normally (traditionaly) used for international navigation dari satu laut lepas/ZEE ke laut lepas/ZEE yang lain (yang sekarang tercakup ke dalam perairan nusantara) dibuka. Tuntutan negara-negara maritim tersebut adalah dibukanya ALKI barat-timur dari selat karimata-laut Jawa hingga laut Arafuru. Pada MSC Meeting ke-72 (1998), Indonesia berjanji segera

menetapkan ALKI barat-timur. 22

21 James Kraska and Paul Redrozo, International Maritime Security Law, Koninklijke Brill, NV: Leiden, 2013, hal, 231-232.

22 Dikutip da i log astu o da; ALKI Alu Laut Kepulaua I do esia , “e uah ko sekuensi yang dilematis, posting 8 juli 2010.

Berhadapan dengan tuntutan di atas, mantan Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana TNI (purn. Slamet Subianto menyatakan: 23

Sebagai negara berdaulat, kita tidak perlu tunduk terhadap keinginan negara lain yang bukan menjadi kepentingan strategis bagi kepentingan nasional bangsa kita,

Sudut pandang yang dapat dipahami mengingat tugas menjaga dan mempertahankan kedaulatan Indonesia atas seluruh wilayah perairan (termasuk perairan nusantara) dibebankan di pundak TNI-AL. Terbuka lebarnya perairan Indonesia bagi lalulintas kapal laut dan udara dari utara-selatan dan timur-barat yang hanya dapat dikontrol tetapi tidak dapat begitu saja ditunda atau ditiadakan oleh negara pantai (negara kepulauan) jelas membuat pelaksanaan tugas TNI-AL menjadi sangat berat. Selain itu dapat pula diargumentasikan bahwa pembukaan ALKI utara-selatan/barat-timur pada prinsipnya justru memecah tanah- air, hal mana justru sejak dulu, melalui Deklarasi Djuanda, hendak dicegah.

Persoalannya adalah penentuan ALKI tidak hanya dapat berpatokan pada kepentingan strategis (nasional), namun tetap harus memperhatikan kepentingan pelayaran internasional. Hal yang sangat penting bagi masyarakat internasional, terutama negara-

negara maritim besar, antara lain Ameriksa Serikat, karena letak geografis Indonesia: 24 (...) sits astride an international maritime crossroad for traffic proceeding between

the Pasific and Indian Oceans. The Lombok and Sunda as well as Malacca-Singapore Straits are included into 17 waterways representing the choke points of critical importance to the military and commercial traffic of the United States

Pengakuan kedaulatan atas perairan nusantara tidak dapat diterjemahkan sebagai hak penuh untuk menutup seluruh wilayah tersebut dari perlintasan damai kapal laut atau terbang. Hal ini jelas tercermin dalam pandangan International Maritime Organization

(IMO) yang menetapkan Guidance for Ships Transiting Archipelagic Waters. 25 Disebutkan di dalamnya bahwa:

2.1.1. if the IMO has adopted a sea lane proposal as a partial system of archipelagic sea lanes, the right of archipelagic sea lanes passage may continue to be exercised through all normal passage routes used as routes for international navigation in other parts of archipelagic waters (...)

2.1.2. Archipelagic sea lanes passage means the exercise in accordance with the UN- CLOS of the right of navigation in the normal mode solely for the purpose of continous, expeditious and unobstructed transit between one part of the high seas or an exclusive economic zone and another part of the high seas or an exclusive economic zone. While the right of innocent passage may be suspended in certain

23 Dikutip da i I al A a , ALKI Ti u -Ba at Baha aka Kedaulata Wila ah I do esia , Ju al Maritim, 5 desember 2013.

24 Da id K. W ight o a de U“ Na , A hipelagi “ea La es Desig atio : Co side atio s for Ope atio al Le el Pla e s, pape su itted to the Fa ult of Na al Wa College i pa tial

satisfaction of the requirement of the Department of Joint Military Operations, 18 may 1998. Dimuat dalam www.dtic.mil/cgi-bin/GetTRDoc?AD=ADA351673 (25/10/2014).

25 IMO Res. SN./Circ.206, 8 januari 1999; Ref. T2/2.07.

circumstances, the right of archipelagic sea lanes passages cannot be suspended by an archipelagic state.

Persoalannya kemudian adalah rute lintasan manakah yang oleh masyarakat internasional (atau khususnya oleh negara-negara maritim esa dikatego ika se agai normal passage routes used as routes for international navigation . I i ha us dikaitka pula de ga (rencana) pengembangan bandara maupun pelabuhan laut internasional di pulau Jawa (Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya) dan di sejumlah pulau-pulau lain (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua), di seluruh Indonesia.

Hak Lintas Transit Perlu diperhatikan kenyataan perairan Indonesia juga berada di lintasan perniagaan maritim

internasional dan menjadi jalur pengangkutan sumber energi bagi banyak negara. Jalur-jalur perhubungan laut tersebut melewati sejumlah selat (di antara pulau-pulau penting di Indonesia) yang secara politik dan ekonomi sangat strategis karena menyangkut kelangsungan pasokan energi sejumlah negara. Empat diantaranya berada di dalam lingkup kedaulatan (perairan) Indonesia, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar. Hanya dua yang dikategorikan sebagai selat internasional (straits used for international navigation) yaitu Selat Malaka dan Selat Singapura. Selat-selat lainnya sebagaimana digambarkan di atas (gbr. 1) ditetapkan (designate) hanya sebagai alur lintas kepulauan di mana kapal asing menikmati hak lintas alur kepulauan (yang dapat ditunda pemberiannya oleh pemerintah Indonesia).

Jalur transportasi laut sebagaimana digambarkan di bawah merupakan bentangan jalur penyaluran pasokan energi minyak dan gas bumi yang tidak boleh terputus ke seluruh wilayah dunia. Kelangsungan ekonomi dunia (dan juga ekonomi nasional yang sekarang ini semakin tergantung pada import minyak bumi) sangat tergantung pada kelancaran lalulintas penyaluran energi tersebut dari, menuju atau sekadar melewati perairan Indonesia. Alur- alur tersebut dikenal sebagai choke points, yakni lokasi yang dapat membatasi kapasitas

sirkulasi dan tidak dapat dengan mudah dilewati, karena juga sangat mudah untuk diblokir .

26 Ba a Li e ti a Wid a u ti A a i, E pat “elat “t ategis ada di I do esia

(www.Antaranews.com, 1Oktober 2013).

Gbr. 6 (peta buatan Laura Canali, heartland geopolitical maps , dala “e u i g the Oil “uppl Chai diunduh dari www.temi.republica.it/limes/heartland/the-oil-supply-chain/887 07/02/2014.

Tidak mengherankan bila kemudian UN-CLOS 1982, di samping mengatur ihwal innocent passage dan archipelagic sea lanes passage, mengatur rezim transit passage through straits used for international navigation. Dimaksud dengan itu ( Pasal 38(2) UN-CLOS 1982) adalah:

(t)he exercise in accordance with this Part of the freedom of navigation and overflight solely for the purpose of continuous and expeditious transit of the strait between one part of the high seas or an exclusive economic zone and another part of the high seas or an exclusive economic zone. However, the requirement of continuous and expeditious transit does not preclude passage through the strait for the purpose of entering, leaving or returning from a State bordering the strait, subject to the conditions of entry to that State.

Ketentuan di atas sekaligus dapat dibaca sebagai jaminan bagi negara-negara lain (di luar negara kepulauan yang mengklaim kedaulatan) untuk dapat menikmati hak transit. Kepentingan untuk menjaga kebebasan berlayar (dan terbang) tetap harus dijaga dan tidak dapat be gitu saja dise ahka kepada ke ijaka da pe gatu a huku asio al da i ega a perairan.

Konsekuensi logis dari itu ialah bahwa pengakuan kedaulatan Indonesia atau perairan nusantara (archipelagic waters) adalah pengakuan (yang diberikan hukum laut internasional yang bersifat) bersyarat. Kedaulatan yang muncul bukan kedaulatan yang bersifat utuh dan absolut, namun kedaulatan yang harus dimengerti dalam konteks rezim hukum laut internasional yang menjamin kebebasan pelayaran sebagaimana diwujudkan dalam hak lintas transit dan juga hak lintas (alur) kepulauan.

Di sini muncul perbedaannya dengan kedaulatan negara atas wilayah darat di mana kekuasaan tertinggi bersifat ipso facto dan hanya atas seizin negara yang bersangkutan dapat dibatasi oleh hukum internasional. Misalnya berkenaan dengan pemberian imunitas dan kekebalan terhadap misi diplomatik. Bentuk pembatasan lain yang diterima negara berdaulat atas wilayah daratnya berkaitan dengan prinsip hukum tetangga dalam hukum lingkungan internasional, yaitu komitmen untuk tidak me(nyalah)gunakan wilayah sedemikian rupa sehingga negara tetangga (dan masyarakat internasional) menderita rugi..

UN-CLOS 1982 dan pengembangan hukum laut nasional Peluang yang sama untuk mengklaim hak berdaulat juga muncul berkenaan dengan zona

ekonomi eksklusif dan landas kontinen. Keduanya bermula dari praktik negara-negara (Amerika Latin dan juga Amerika Serikat) yang kemudian pada tataran internasional dianggap berlaku dan mengikat sebagai hukum kebiasaan internasional. Hak berdaulat (sovereign rights) di ZEE maupun landas kontinen yang memunculkan hak eksklusif (exclusive rights) untuk mengeksplorasi dan mengekploitasi sumberdaya alam (hayati maupun mineral) yang terkandung di dalamnya tidak seketika berlaku, namun harus diambil dan diwujudkan dalam atau melalui hukum nasional. Baik sebelum berlakunya UN-CLOS 1982 maupun sesudahnya.

Singkat kata, peluang mendapatkan pengakuan internasional atas kedaulatan wilayah perairan nusantara bahkan laut territorial, dan hak berdaulat di ZEE maupun landas kontinen (semua hal yang dimungkinkan oleh UN-CLOS 1982) ditundukkan pada sejumlah ketentuan dan persyaratan yang juga ditemukan di dalam konvensi tersebut. Kedaulatan atas perairan nusantara dan territorial serta hak berdaulat atas wilayah ZEE maupun Landas Kontinen tidak dapat dipungkiri diatur dan dibatasi oleh hukum internasional. Sebab itu kedaulatan negara atas wilayah lautan – terlepas dari konotasi konsep tanah-air yang digunakan di Indonesia - tidak sepenuhnya dapat dikatakan semata-mata bersumber dari klaim kepemilikan from time immemorial (seperti yang dapat dan kerap dilakukan terhadap

wilayah darat). 27 Semua pembatasan di atas akan memaksa negara kepulauan, seperti Indonesia, yang betul

menginginkan pengakuan internasional atas klaimnya sebagai negara kepulauan (termasuk bonus untuk mendapatkan hak berdaulat atas ZEE dan Landas Kontinen) untuk menyesuaikan hukum nasionalnya dengan ketentuan yang ada di dalam UN-CLOS 1982.