ANALISIS KRIMINOLOGIS TERJADINYA PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI DI PROVINSI LAMPUNG

(1)

ABSTRAK

ANALISIS KRIMINOLOGIS TERJADINYA PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh

ANNISA PRAMUHITA

Perbuatan main hakim sendiri (eigen richting) kerap kali terjadi yang dilakukan oleh massa di Provinsi Lampung, itu terjadi karena ada faktor-faktor penyebabnya yang paling mendasar yaitu masih kurangnya kesadaran hukum masyarakat di Provinsi Lampung, serta ketidakpuasan terhadap penegakan hukum dan memicu terjadinya perbuatan main hakim sendiri dan berkaitan juga dengan budaya umumnya pada masyarakat Lampung mengenai “Piil Pesenggiri” harga diri,

yang merupakan salah satu faktor terjadinya perbuatan pada kasus ini. Permasalahan yang diteliti oleh penulis adalah bagaimana faktor penyebab terjadinya perbuatan main hakim sendiri, bagaimanakah upaya penanggulangan perbuatan main hakim sendiri, dan bagaimanakah faktor penghambat dalam upaya penanggulangan perbuatan main hakim sendiri di Provinsi Lampung.

Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dengan cara wawancara serta data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Sedangkan pengolahan data yang diperoleh dengan cara identifikasi, editing, klasifikasi dan penyusunan data, serta penarikan kesimpulan. Data hasil pengolahan tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, logis dan efektif sehingga memudahkan interpretasi dan pemahaman hasil analisis guna menjawab permasalahn yang ada.

Faktor penyebab terjadinya perbuatan main hakim sendiri (eigen richting) yaitu karena ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum yang ada, dan kekesalan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana yang memicu terjadinya perbuatan main hakim sendiri. Upaya penanggulangan perbuatan main hakim sendiri adalah tindakan preventif sehingga tindakan represif dapat diminimalisir, aparat harus melakukan tindakan yang benar-benar penegakan hukum dengan


(2)

terhadap warga masyarakat agar terjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat serta timbul kesadaran hukum sehingga warga dapat mematuhi aturan hukum yang berlaku dan dalam menyelesaikan masalah tidak dengan cara main hakim sendiri (eigen richting).

Adapun saran yang diajukan penulis, yaitu sebaiknya aparat penegak hukum bisa lebih tegas lagi kepada masyarakat apa bila terjadi perbuatan main hakim sendiri, dan lebih menjaga keamanan di setiap daerah di Provinsi Lampung agar mengurangi angka kejahatan yang memicu terjadinya perbuatan main hakim sendiri (eigen richting) serta mengoptimalkan sosialisasi dan penyuluhan secara intensif kepada masyarakat dengan melibatkan aparat desa, tokoh-tokoh masyrakat, sehingga penyuluhan dapat berjalan optimal. Selain itu penyuluhan juga dilakukan melalui surat kabar daerah, televisi daerah, dan selebaran pemberitahuan. Hal ini berguna agar masyarakat memahami kesadaran hukum. Kata Kunci : Kriminologis, Main hakim sendiri, Provinsi Lampung


(3)

ANALISIS KRIMINOLOGIS TERJADINYA PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh

ANNISA PRAMUHITA Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

(Skripsi)

Oleh

Annisa Pramuhita

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana ... 13

B. PengertianKejahatan ... 18

C. Pengertian Kriminologis ... 21

D. Pengertian Main Hakim Sendiri ... 24

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan masalah ... 29

B. Sumber dan Jenis Data ... 29

C. Penentuan Responden ... 31

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 32

E. Analisis Data ... 33

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 34

B. Faktor Penyebab Terjadinya Perbuatan Main Hakim Sendiri di Provinsi Lampung ... 35

C. Upaya Penanggulangan Terjadinya Perbuatan Main Hakim Sendiri Di Provinsi Lampung ... 44


(8)

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 54 B. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perbuatan main hakim sendiri atau dengan kata lain eigen richting merupakan sesuatu persoalan yang tidak hanya terjadi sekali saja, tetapi eigen richting ini sudah sering terjadi dalam dunia hukum kita. Bila di cermati, mungkin dulu tidak ada perbuatan main hakim sendiri (eigen richting). Akan tetapi, ketika masyarakat kita semakin mengalami perubahan sosial kasus-kaus eigen righting marak terjadi.

Perbuatan main hakim sendiri (eigen richting) merupakan suatu tindak pidana yaitu berbuat sewenang-wenang terhadap orang-orang yang dianggap bersalah karena melakukan suatu kejahatan. Orang yang melakukan suatu tindak pidana dinamakan penjahat merupakan objek kriminologi terutama dalam pembicaraan ini tentang etiologi kriminal yang menganalisis sebab-sebab berbuat jahat.

Adanya kasus main hakim sendiri dalam masyarakat, misalnya seorang mencuri ayam, anjing maupun pencopet yang dianiaya oleh masyarakat hingga luka-luka bahkan meninggal dunia dinilai merupakan cermin hippermoralitas yang terjadi di masyarakat. Dapat dikatakan hippermoralitas merupakan suatu keadaan atau situasi dimana anggota masyarakat tidak bisa menentukan mana yang baik atau


(10)

yang buruk. “Yang jelek dianggap benar, kadang yang benar dianggap jelek.1 Hal tersebut lah yang membuat massa menghakimi sendiri seolah-olah merupakan tindakan yang benar yang harus dilakukan tapi justru hal tersebutlah yang sudah melanggar aturan hukum dan hal ini juga membuktikan bahwa masyarakat saat ini sudah mengalami penurunan nilai dan norma. Sikap hippermoralitas tersebut terjadi sebagai akibat adanya sikap masyarakat yang tidak menjadikan hukum sebagai acuan.

Fenomena sosial yang berkaitan dengan hukum yang sering terjadi, misalnya beberapa kasus eigen richting yang terjadi di beberapa kota di Lampung, kasus yang belum lama ini terjadi.Seperti tersangka pencurian motor terluka parah dihajar warga Jalan Galunggung, Kelurahan Way Halim Kecamatan Kedaton Selasa 12 Maret 2013 saat malam, mendadak heboh, tersangka curanmor babak belur di hajar massa, lantaran tepergok warga hendak mencuri.2 Di Panjang beberapa warga di daerah Way Laga Panjang, memergoki Aliyadi warga Bengkunat Lampung Barat, yang sedang berupaya mencuri motor milik Agus Susandi warga setempat. Akibat perbuatannya ini, Aliyadi nyaris menjadi korban amuk massa yang geram. Beruntung pihak kepolisian cepat datang dan mencegah terjadinya amuk massa.3

Warga Dusun Trusan, Desa Candimas, Kecamatan Abung Selatan, Kabupaten Lampung Utara lagi-lagi terluka parah akibat dihajar massa mencoba merampok

1

Iswanto,Kecenderungan Masyarakat Main Hakim Sendiri (Ditinjau dari Aspek

KriminologiViktimologi). Makalah disampaikan dalam Seminar Main Hakim Sendiri oleh Masyarakat, Purwokerto,2000

2

Lampost.co, Ikhsan Dwi, Berita Bandar Lampung tersangka curanmor babak belur di hajar massa 13:06 WIB, 13-3-2013

3


(11)

playstasion Massa yang terlajur tersulut emosi, seketika memukuli pelaku beramai-ramai.4

Terhadap kasus di atas, tentunya apapun alasannya perbuatan main hakim sendiri tetap merupakan perbuatan pidana meskipun alasan perbuatan masa itu karena korban mau mencuri. Terlepas dari kasus-kasus di atas, masih sangat banyak kasus-kasus yang terjadi yang berkaitan dengan masyarakat.

Para pelaku eigen richting dapat terjerat ketentuan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hal ini dapat kita lihat pada ketentuan Ayat (1) nya yang menegaskan bahwa barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan. Sedangkan, ketentuan Ayat (2) nya berbunyi : yang bersalah diancam :

1. Ke 1. dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, jika dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;

2. Ke 2. dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat;

3. Ke 3. dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, jika kekerasan mengakibatkan matinya orang.5

4

BandarLampungNews.com, Kepergok Curi PS, Pemuda Penganguran Babak Belur di Massa, (10-04-2013: 12:54)

5

Adhi Wibowo, Perlindungan Korban Amuk Massa,Thafa Media, Bantul Yogyakarta, 2013, Hal 137


(12)

Masalah ini mengakibatkan masyarakat menjadi resah, oleh karena itu ketika ada tertangkap maling, masyarakat tidak berpikir panjang lagi langsung saja “dihakimi” beramai-ramai tanpa ampun, bahkan kalau kita saksikan diberita-berita ada maling tertangkap kemudian dibakar hidup-hidup oleh warga. Sedangkan, para pelaku main hakim sendiri sudah tidak mengingat lagi kalau negara kita ini merupakan negara hukum. Pelaku pencurian dapat dijatuhkan pidana terhadapnya, juga masyarakat pelaku main hakim sendiri dapat terjerat KUHP. Adanya sikap penurunan moral masyarakat terhadap aturan yang ada, dan kasus-kasus pencopetan dan sebagainya harusnya cukup hanya ditangkap kemudian diserahkan ke pihak yang berwajib untuk diproses secara hukum, tetapi ditangani sendiri yang terkadang justru menghilangkan nyawa orang lain karena korban atau korban merasa kepentingannya dan hak-haknya diinjak-injak bahkan dihancurkan oleh pembuat korban maka korban berkewajiban untuk mempertahankan kepentingannya dan hak-haknya terhadap korban secara langsung.

Korban, keluarga korban, atau masyarakat dalam mempertahankan kepentingan dan hak-haknya untuk mengambil kembali harta benda miliknya dari pembuat korban secara langsung dengan jalan kekerasan bahkan mungkin lebih keras dan lebih kejam daripada cara yang digunakan oleh pembuat korban, untuk mengambil hak milik korban. Apabila terjadi demikian maka berarti terdapat pergeseran yang semula merupakan korban berubah menjadi pembuat korban dan sebaliknya yang semula pembuat korban menjadi korban.

Terjadinya siklus yang demikian terus menerus maka anggota masyarakat selalu merasakan keresahan dan ketakutan. Perlu segera mendapat perhatian dan


(13)

solusinya. Solusinya yang dirasakan adil oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, gerakan massa tersebut muncul akibat dari rasa ketidakpuasan masyarakat yang dasarnya berawal dari kesenjangan sosial yang berkembang dalam masyarakat.

Berkaitan dengan ini hukum dihadirkan di tengah masyarakat untuk mengatur manusia dalam usahanya dalam mencapai kesejahteraannya, supaya tidak terjadi benturan-benturan kepentingan satu sama lain. Kenyataannya hukum yang ada tidak mampu mencegah terjadinya konflik-konflik kepentingan tersebut, sehingga di mana-mana terjadi perbuatan main hakim sendiri dalam masyarakat.

Berbagai kasus-kasus perbuatan main hakim sendiri yang terjadi di Lampung untuk itu dalam membuat dan menyusun berbagai kebijakan pencegahan penanggulangan kejahatan, faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan harus menjadi perhatian utama, terutama mekanisme kerja aparat penegak hukum. Langkah antisipasi tersebut perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya tindakan main hakim sendiri oleh anggota masyarakat terhadap para pelaku tindak kejahatan.

Sebagaimana peraturan perundang-undangan, khususnya KUHP belum mengatur secara khusus mengenai main hakim sendiri. Akan tetapi, bukan berarti KUHP tidak dapat diterapkan sama sekali jika terjadi perbuatan main hakim sendiri, dengan dasar hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73). Dapat diartikan kondisi sosial masyarakat dapat menjadi tolak ukur keberhasilan pembangunan masyarakat terhadap nilai dan norma masyarakat sekarang.


(14)

Menurut Saparinah Sadli perilaku menyimpang merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial dan merupakan ancaman riil atau potensiil bagi berlangsungnya ketertiban sosial6.

Permasalahan terkait kasus main hakim sendiri banyak sekali menimbulkan akibat yang berawal dari berbagai macam kejahatan, seperti salah satunya tindak pidana pencurian, perselisihan antar suku yang akhir-akhir ini terjadi di Wilayah kita, yang kerap menjadi pemicu kerusuhan suatu masyarakat yang menimbulkan beberapa korban, banyak sekali pemicu yang disebabkan dalam hal tersebut.

Melihat fenomena ini penulis menjadi tertarik untuk meneliti dalam bentuk skripsi tentang “Analisis Kriminologis Terjadinya Perbuatan Main Hakim Sendiri di Provinsi Lampung”.

B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan oleh latar belakang diatas tersebut, maka pokok bahasan yang akan diteliti adalah :

a. Apakah faktor yang menyebabkan terjadinya perbuatan main hakim sendiri di Provinsi Lampung?

b. Bagaimanakah upaya penanggulangan terjadinya perbuatan main hakim sendiri di Provinsi Lampung?

c. Apakah faktor penghambat dalam upaya penanggulangan terjadinya perbuatan main hakim sendiri?

6

Saparinah Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, Hal 56.


(15)

2. Ruang Lingkup

Agar penulisan ini tidak terlalu luas penulis membatasi ruang lingkupnya pada kajian hukum pidana yaitu mengenai terjadinya perbuatan main hakim sendiri di Provinsi Lampung agar mengetahui faktor-faktor penyebab dan penghambat serta upaya penanggulangannya, sedangkan lokasi penelitian dilakukan pada tanggal 3 Oktober 2013 di Kepolisian Daerah Lampung

C. Tujuan dan Kegunaan 1. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan pokok bahasan, tujuan dari penelitian ini adalah

a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbuatan main hakim sendiri di Provinsi Lampung.

b. Untuk mengetahui upaya penanggulangan perbuatan main hakim sendiri di Provinsi Lampung.

c. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam dalam upaya penanggulangan perbuatan main hakim sendiri di Provinsi Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini memiliki dua kegunaan, yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis.

a. Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat mengetahui sekaligus menganalisis faktor-faktor penyebab perbuatan main hakim sendiri di Lampung dan upaya penanggulanganya

b. Secara praktis ialah untuk membantu para peneliti dan pembaca lainnya dalam melakukan penelitian sejenis sebagai acuan dasar yang memiliki


(16)

keterkaitan judul yang serupa, yakni dalam mempelajari terjadinya perbuatan main hakim sendiri, agar peneliti menjadi lebih kritis.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka Teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. 7

Menurut Barda Nawawi Arief kecenderungan berbuat jahat ini mungkin diturunkan dari orang tua atau merupakan ekspresi dan sifat-sifat kepribadian dan keadaan sosial maupun proses-proses lain tidak diperhitungkan dalam menerangkan sebab-sebab kejahatan :

a. Lambrosian

Teori ini dikenal sebagai istilah “Italian School”, yang diamana berpendapat : 1) Penjahat sejak lahirnya sudah mempunyai suatu tipe tersendiri.

2) Memiliki tipe tersendiri, misalnya; tengkorak asimetris, rahang bawah yang panjang, hidung yang pesek, rambut janggut jarang, tahan sakit. 3) Tanda-tanda lahiriah yang merupakan bawaan sejak lahir seperti berbentuk

atavisme atau suatu degenerasi terutama epilepsy. b. The Mental Tester

Teori ini merupakan teori yang mempertahankan teori Lambrosian. Teori ini lebih menekankan pada feeble minded sebagai suatu ciri khas seorang penjahat. Teori ini berpendapat bahwa kelemahan otak mengakibatkan oranng-orang bersangkutan tak mampu menilai akibat tingkah lakunya dan tidak bisa menghargai undang-undang sebagaimana mestinya.

c. The Psychiatric School/ Aliran Psikiatri

Teori ini merupakan kelanjutan dari aliran Lambroso, tetapi tanpa bentuk khusus dari tanda badan. Pada aliran ini mengajarkan bahwa gangguan-gangguan emosional yang terjadi dalam hubungan pergaulan kelompok

7


(17)

merupakan penyebab kejahatan dan warisan biologis sebagai penyebab kejahatan sudah tidak diakui lagi.8

Teori Kejahatan menurut pendapat Bonger (dalam buku Kartini Kartono) lebih menekankan pada kondisi ekonomi pada kemiskinan sehingga menimbulkan demoralisasi pada individu serta membelenggu naluri sosialnya sehingga pada akhirnya membuat individu melakukan tindak pidana.9

Upaya untuk menanggulangi semua bentuk kejahatan senantiasa terus diupayakan, kebijakan hukum pidana yang ditempuh selama ini tidak lain merupakan langkah yang terus menerus digali dan dikaji agar upaya penanggulangan kejahatan tersebut mampu mengantisipasi secara maksimal tindak pidana yang secara faktual terus meningkat.

Kebijakan penanggulangan kejahatan, atau politik kriminal digunakan upaya atau sarana hukum pidana (penal), maka kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan atau upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan atau upaya untuk perlindungan masyarakat. Tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.10

Sedangkan faktor penghambat upaya penegakan hukum dapat menggunakan teori-teori mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penegakan hukum : Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah sebagai berikut a. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang)

8

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan PenanggulanganKejahatan,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, Hal.73

9

Kartini Kartono, Patologi Sosial, Rajawali Pers, Jakarta, 2001. Hlm.108

10


(18)

b. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas mendukung penegakan hukum.

d. Faktor Masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor Kebudayaan.11

Kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan erat karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas hukum, dengan demikian maka kelima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Perkembangan teknologi dibidang komputer dengan sistem jaringan yang diaplikasikan kedalam faktor kehidupan manusia.

2. Konseptual

Kerangka Konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti atau di inginkan.12 Kerangka konseptual yang akan diketengahakan akan dibatasi pada konsepsi pemakaian judul dalam tulisan ini yaitu analisis kriminologis terjadinya tindakan main hakim sendiri di Provinsi Lampung. Adapun pengertian dari istilah tersebut adalah :

11

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1983, Hal 4-5

12


(19)

a. Analisis adalah analisa atau penyelidikan terhadap suatu peristiwa. (karangan, perubahan dan sebagainya untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebab musabab duduk perkaranya, dan sebagainya).13

b. Kriminologi adalah sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.14

c. Kejahatan adalah menyatakan bahwa definisi dari kejahatan adalah tindakan manusia yang melanggar hukum pidana.15

d. Perbuatan atau tindakan adalah melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu yang dilarang dan berbentuk negatif, artinya tidak berbuat sesuatu yang diharuskan. e. Main hakim sendiri adalah istilah bagi tindakan untuk menghukum suatu

pihak tanpa melewati proses yang sesuai hukum.16 E. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan dalam membaca dan memahami isi skripsi ini, maka penulis menyusun kedalam 5 (lima) bab yang isinya mencerminkan susunan materi yang perinciannya sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalah dan ruang lingkup, tujuan dan keguanaan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

13

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, 1986. Hal 13

14

Topo Santoso, Kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta, 2009. Hal. 9

15

Ibid, hlm.13

16


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar yang menguraikan pengertian-pengertian umum dari pokok bahasan yang memuat tinjauan, mengenai Terjadinya perbuatanmain hakim sendiri, Tindak Pidana, Unsur tindak pidana, Kejahatan dan Kriminologi.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini membahas tentang metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, ketentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data yang diperoleh.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan pembahasan terhadap permasalahan yang terdapat dalam penulisan ini dengan menggunakan data yang diperoleh di lapangan baik berupa data primer maupun data sekunder mengenai terjadinya perbuatan main hakim sendiri di Provinsi Lampung dengan studi di Kepolisian Daerah Lampung dan LBH Darmapala Bandar Lampung.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan dan kemudian memberikan beberapa saran yang dapat membantu serta bagi para pihak yang memerlukannya.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Tindak pidana biasanya disamakan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata

delictum.

Delik tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai berikut : “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”.17

Pengertian tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh KUHP.18 Istilah tindak pidana sebagai terjamahan dari strafbaarfeit menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi tidak berbuat, yang di dalam undang-undang menentukan pada Pasal 164 KUHP, ketentuan

17

Depdikbud Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2 , Jakarta, Balai Pustaka, 1989. Hal. 219

18

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapan, Cet. 3, Jakarta Storia Grafika, 2002, Hal 204


(22)

dalam pasal ini mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila akan timbul kejahatan, ternyata dia tidak melaporkan, maka ia dapat dikenai sanksi.

Seperti diketahui istilah strafbaarfeit telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang menimbulkan berbagai arti, umpamanya saja dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat atau boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana.

Para sarjana Indonesia mengistilahkan strafbarfeit itu dalam arti yang berbeda, diantaranya Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu : “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa larangan tersebut”19

Sementara perumusan strafbarfeit menurut Van Hamel dalam buku Satochid Kartanegara adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam Undang-undang, bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.20

Istilah tindak pidana ini timbul dan berkembang dari pihak Kementrian Kehakiman yang sering dipakai dalam perundang-undangan meskipun lebih pendek dari pada perbuatan, akan tetapi tindak pidana menunjukkan kata yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menunjukkan hal yang konkrit.21

19

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta, Pradnya Paramita, 2004 Hal 54

20

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Pertama, Jakarta, Balai Lektur Mahasiswa, 1955, Hal. 4

21

Wiryono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung, PT.Refika Aditama. 2003, Hal.79


(23)

Pengertian perbuatan ternyata yang dimaksudkan bukan hanya berbentuk positif, artinya melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu yang dilarang, dan berbentuk negatif, artinya tidak berbuat sesuatu yang diharuskan.

Perbuatan yang dapat dikenakan pidana dibagi menjadi dua yakni sebagai berikut:

1. Perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang. 2. Orang yang melanggar larangan itu.22

Beberapa Unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut: a. Unsur Objektif

Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan terdiri dari:

1) Sifat melanggar Hukum. 2) Kualitas dari si pelaku.

3) Kausalitas yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

b. Unsur Subjektif

Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang di hubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari :

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2) Maksud pada suatu percobaan, seperti di tentukan dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan, pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.

4) Merencanakan terlebih dahulu seperti tercantum dalam pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.23

Pembahasan unsur tindak pidana ini terdapat dua masalah yang menyebabkan perbedaan pendapat dikalangan sarjana hukum pidana. Salah satu pihak lain berpendapat bahwa masalah ini merupakan unsur tindak pidana, di pihak lain berpendapat bukanlah merupakan unsur tindak pidana, masalah tersebut adalah :

22

Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang, Yayasan Sudarto, 1990 Hal. 38

23


(24)

a. Syarat tambahan suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana, (Bijkomende voor waarde strafbaarheid) contoh Pasal 123,164, dan Pasal 531 KUHP.

b. Syarat dapat dituntutnya seseorang yang telah melakukan tindak pidana, (Voorwaarden van verlog baarheid) contoh Pasal 310, 315, dan 284 KUHP.

Sebagian besar sarjana berpendapat, bahwa hal itu bukanlah merupakan unsur tindak pidana, oleh karena itu syarat tersebut terdapat timbulnya kejadian atau peristiwa. Pihak lain yang berpendapat ini merupakan unsur tindak pidana, oleh karena itu jika syarat ini tidak dipenuhi maka perbuatan maka perbuatan tersebut tidak dapat di pidana.

Unsur atau elemen perbuatan pidana terdiri dari :

1. Kelakuan dan akibat (perbuatan).

Misalnya pada Pasal 418 KUHP, jika syarat seorang PNS tidak terpenuhi maka secara otomatis perbuatan pidana seperti yang dimaksud pada pasal tersebut tidak mungkin ada, jadi dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana pada Pasal 418 KUHP ini ada jika pelakunya adalah seorang PNS.

2. Hal ikhwal keadaan yang menyertai perbuatan.

Misalnya pada Pasal 160 KUHP, ditentukan bahwa penghasutan itu harus dilakukan di muka umum, jadi hal ini menentukan bahwa yang harus menyertai perbuatan penghasutan tadi adalah dengan dilakukan di muka umum.


(25)

3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

Artinya adalah tanpa suatu keadaan tambahan tertentu seorang terdakwa telah dapat dianggap melakukan perbuatan pidana yang dapat dijatuhi pidana, tetapi dengan keadaan tambahan tadi ancaman pidananya lalu diberatkan. Misalnya pada Pasal 351 ayat 1 KUHP tentang penganiaayan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, tetapi jika penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat ancaman ancaman pidananya diberatkan menjadi lima tahun dan jika menyebabkan kematian menjadi tujuh tahun.

4. Unsur melawan hukum yang objektif.

Unsur melawan hukum yang menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan.

5. Unsur melawan hukum yang subjektif.

Unsur melawan hukum terletak di dalam hati seseorang pelaku kejahatan itu sendiri. misalnya pada Pasal 362 KUHP, terdapat kalimat “ dengan maksud” kalimat ini menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi tergantung pada niat seseorang yang mengambil barang. Apabila niat hatinya baik, contohnya mengambil barang untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya, maka perbuatan tersebut tidak dilarang, sebaliknya jika niat hatinnya jelek, yaitu mengambil barang untuk dimiliki sendiri dengan tidak mengacuhkan pemiliknya menurut hukum, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan pencurian.


(26)

B. Pengertian Kejahatan

Statuta Roma diadopsi dalam Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut UU tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil.

Kejahatan berdasarkan ketentuan perundang-undangan sejak Abad keenambelas, merujuk pada tindakan atau perilaku yang dilarang, digugat dan dihukum oleh hukum tentang kejahatan.

Dalam bahasa Belanda kejahatan disebut misdrijven yang berarti suatu perbuatan yang tercela dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain dari pada perbuatan melanggar hukum mengenai definisi kejahatan adalah merupakan bagian dari perbuatan melawan huum atau delik24

Kejahatan yaitu perilaku yang merugikan atau perilaku yang bertentangan dengan ikatan-ikatan sosial (anti sosial) atau perilaku yang tidak sesuai dengan pedoman masyarakat.25

Kejahatan juga merupakan suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada

24

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Hlm. 71

25


(27)

manusia yang memberikan penilaian itu. Disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula.

Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu.

Bambang Poernomo mengatakan Bahwa kejahatan adalah perilaku yang bertentangan dengan ikatan-ikatan sosial (anti sosial) atau perilaku yang tidak sesuai dengan pedoman masyarakat.26

Kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan juga, jika semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat. Beberapa Definisi kejahatan sebagai berikut :

1. Kejahatan dibedakan secara yuridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban. 2. Kejahatan adalah suatu problem dalam masyarakat moderen atau tingkah laku

yang gagal dan melanggar hukum dapat dijatuhi hukuman penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya.

3. Kejahatan sebagai perbuatan anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan.27

Pengertian perbuatan ternyata yang dimaksudkan bukan hanya berbentuk positif, artinya melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu yang dilarang, dan berbentuk negatif, artinya tidak berbuat sesuatu yang diharuskan. Perbuatan yang dapat di

26

Ibid, Hal 4

27


(28)

kategorikan sebagai suatu kejahatan berdasarkan hal tersebut maka hanya perbuatan yang bertentangan dari pasal-pasal buku kedua adalah perbuatan kejahatan.

Selain KUHP, kita juga mengenal sumber hukum pidana khusus, misalnya Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Hukum Pidana Militer dan lain-lain. Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah bahwa kejahatan merupakan delik hukum, yaitu suatu peristiwa yang bertentangan dengan asas-asas hukum yang hidup didalam keyakinan manusia dan terlepas dari Undang-undang, sedangkan pelanggaran adalah perbuatan yang melanggar delik undang-undang, yaitu suatu peristiwa yang untuk kepentingan umum dinyatakan oleh Undang-undang sebagai Hal yang terlarang.

Suatu kenyataan di dalam pergaulan hidup manusia, individu maupun kelompok, sering terdapat adanya penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidupnya, terutama terhadap norma yang dikenal sebagai norma hukum. Dalam pergaulan hidup manusia, penyimpangan terhadap norma hukum ini disebut sebagai kejahatan.

Sebagai salah satu perbuatan manusia yang menyimpang dari norma pergaulan hidup manusia, kejahatan adalah merupakan masalah sosial, yaitu masalah-masalah di tengah masyarakat, sebab pelaku dan korbannya adalah anggota masyarakat juga.

Berdasarkan beberapa definisi dapat dikatakan bahwa kejahatan itu sebagai suatu gejala sosial akan berkembang sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat. Pengertian kejahatan ini dapatlah diketahui bahwa terdapat berbagai


(29)

bentuk kejahatan, salah satu bentuk kejahatan tersebut adalah perbuatan main hakim sendiri.

C. Pengertian Kriminologis

Ilmu Kriminologi lahir pada abad ke-19 dan baru dimulai pada tahun 1830. Ilmu ini muncul bersama dengan dimulainya orang mempelajari sosiologi28. Beberapa rumusan yang dikemukakan oleh beberapa sarjana, antara lain:

Dari segi etimologis istilah kriminologis terdiri atas dua suku kata yakni crimes

yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu pengetahuan jadi menurut pandangan etimologi maka istilah kriminologi berarti suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala sesuatu tentang kejahatan dan kejahatan yang di lakukannya.

Kriminologi merupakan suatu ilmu pembantu dalam hukum pidana yang memberikan pemahaman yang mendalam tentang fenomena kejahatan, sebab dilakukannya kejahatan dan upaya yang dapat menanggulangi kejahatan, yang bertujuan untuk menekan laju perkembangan kejahatan.

Kriminologi juga suatu cabang ilmu yang mempelajari soal-soal kejahatan. Kata kriminologi itu sendiri berdasarkan etimologinya berasal dari dua kata, crimen

yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Kriminologi bukanlah suatu senjata untuk berbuat kejahatan, akan tetapi untuk menanggulangi terjadinya kejahatan.

28

Wahyu Muljono, Pengantar Teori Kriminologi, Pustaka Yustisia, Sleman, Yogyakarta , 2012,Hal.20


(30)

Kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempergunakan metode ilmiah dalam mempelajari dan menganalisa keteraturan, keseragaman, pola-pola dan fakta sebab akibat yang berhubungan dengan kejahatan dan penjahat serta reaksi sosial terhadap keduanya.29

Untuk lebih memperjelas definisi kriminologi lebih jelasnya :

1. Krimonologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.

2. Kriminologi Sebagai ilmu yang belum dapat berdiri sendiri, sedangkan masalah manusia menunjukkan bahwa kejahatan merupakan gejala sosial. Karena kejahatan merupakan masalah manusia, maka kejahatan hanya dapat dilakukan manusia. Agar makna kejahatan jelas, perlu memahami eksistensi manusia.

3. Kriminologi adalah kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh penjahat sedangkan pengertian mengenai gejala kejahatan merupakan ilmu yang mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan dari kejahatan, pelaku kejahatan, serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.

4. Kriminologi merupakan keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, mulai dari lingkungan mereka sampai pada perlakuan secara resmi oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh para anggota masyarakat.

5. Kriminologi Sebagai Ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang yang terlibat dalam perilaku jahat dan perbuatan tercela itu.30

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat melihat penyisipan kata kriminologi sebagai ilmu menyelidiki mempelajari. Selain itu, yang menjadi perhatian dari perumusan kriminologi adalah mengenai pengertian kejahatan. Kriminologi bertujuan mempelajari kejahatan secara lengkap, karena kriminologi mempelajari kejahatan, maka sudah selayaknya mempelajari hak-hak yang berhubungan dengan kejahatan tersebut (etiologi, reaksi sosial). Penjahat dan kejahatan tidak dapat dipisahkan,hanya dapat dibedakan.

29

B. Simanjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, S.I. : S.n, 1981. Hal. 5

30


(31)

Kriminologi secara ilmiah dapat dibagi atas 3 (tiga) bagian, sebagai berikut : 1.lmu pengetahuan mempelajari mengenai kejahatan sebagai masalah yuridis

yang menjadi obyek pembahasan Ilmu Hukum Pidana dan Acara Hukum Pidana.

2.Ilmu pengetahuan mempelajari mengenai kejahatan sebagai masalah antropologi yang menjadi inti pembahasan kriminologi dalam arti sempit, yaitu sosiologi dan biologi.

3.Ilmu pengetahuan mempelajari mengenai kejahatan sebagai masalah teknik yang menjadi pembahasan kriminalistik, seperti ilmu kedokteran forensik, ilmu alam forensik, dan ilmu kimia forensik.31

Ruang lingkup kriminologi seperti yang telah di kemukakan oleh Edwin H. Sutherland dan Donal R. Cressey bertolak dari pandangan bahwa kriminologi adalah kesatuan pengetahuan mengenai kejahatan sebagai gejala sosial, mengemukakan ruang lingkup kriminologi yang mencakup proses-proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum.32 Ragam-ragam Pembagian Kriminologi Bonger:

a. Antropologi Kriminal b. Sosiologi Kriminal c. Psychology Kriminal

d. psycho dan neuro Kriminal, Penologi.33

Kriminologi dapat diartikan sebagai keseluruhan ilmu yang berkaitan dengan perbuatan jahat serta gejala social. Menggaris bawahi “keterkaitan” dari Sutherland, memang kriminologi mempunya keterkaitan erat dengan gejala social maupun pembagian ilmu.

31

W.A Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Ghalia Indonesia, Jakarta,1982, Hal 82

32

Mulyana W. Kusumah, Kejahatan dan Penyimpangan, YLBHI, Jakarta, 1981. Hal. 3

33


(32)

Ketiganya saling mempengaruhi, kriminologi mempengaruhi pembagian ilmu dan begitu juga sebaliknya.Kemudian kriminologi mempengaruhi gejala social dan gejala social juga mempengaruhi kriminologi.

Gejala sosial ini akan saling mengait dengan proses pembuatan hukum karena dengan adanya gejala social menimbulkan proses pembuatan hukum: gejala social juga saling mempengaruhi dengan pelanggaran hukum. Adanya pelanggaran hukum maka terjadi gejala sosial.34 Pengertian Kriminologis adalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (moral masyarakat).

D. Pengertian Main Hakim Sendiri (Eigen Richting)

Main hakim sendiri atau dalam bahasa hukumnya “Eigen Richting” memiliki

hubungan erat dengan sifat melanggar hukum dari setiap tindak pidana. Biasanya, dengan suatu tindak pidana seseorang menderita kerugian. Adakalanya si korban berusaha sendiri untuk menghilangkan kerugian yang ia derita dengan tidak menunggu tindakan alat-alat negara seperti polisi atau jaksa, seolah-olah ia menghakimi sendiri ( eigen richting ).35

Main hakim sendiri juga merupakan suatu tindak pidana yaitu berbuat sewenang-wenang terhadap orang-orang yang dianggap bersalah karena melakukan suatu kejahatan. Orang yang melakukan suatu tindak pidana dinamakan penjahat (criminal) merupakan objek kriminologi terutama dalam pembicaraan ini tentang etiologi kriminal yang menganalisis sebab-sebab berbuat jahat.

34

Ibid, Hal.32

35

Wordpress,Kecenderungan masyarakat main hakim sendiri, http://www.google.com(diakses27,06,2013)


(33)

Selanjutnya Schafer menambahkan pendapatnya bahwa dengan pandangan yang berubah itu maka korban kejahatan dikeluarkan dari pengertian hukum pidana. Karena hak korban untuk balas dendam telah diambil alih oleh negara maka seharusnya negara memegang teguh amanat yang dipercayakan kepada negara untuk membalas denda kepada pembuat kejahatan.36

Negara dalam melaksanakan amanat masyarakat korban telah diatur secara abstrak dan rinci dalam hukum pidana baik hukum pidana substansi maupun hukum pidana formal dengan asumsi bahwa pembuat kejahatan dijatuhi pidana setimpal dengan kesalahannya sehingga masyarakat korban merasakan kepuasan atas dipidananya pembuat kejahatan.

Pada dasarnya bukan berarti Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak dapat diterapkan sama sekali jika terjadi perbuatan main hakim sendiri. Peraturan perundang-undangan kita KUHP belum mengatur secara khusus mengenai main hakim sendiri.

Akan tetapi, bukan berarti KUHP tidak dapat diterapkan sama sekali jika terjadi perbuatan main hakim sendiri.

Terjadinya perbuatan main hakim sendiri, bagi korban perbuatan tersebut dapat melaporkan kepada pihak yang berwenang antara lain atas dasar ketentuan-ketentuan berikut:

a. Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan

Dalam penjelasan Pasal 351 KUHP penganiayaan diartikan sebagai perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka.

36


(34)

Hal ini dapat diancamkan atas tindakan main hakim sendiri yang dilakukan terhadap orang yang mengakibatkan luka atau cidera.

b. Pasal 170 KUHP tentang Kekerasan

Penjelasan Pasal 170 KUHP kekerasan terhadap orang maupun barang yang dilakukan secara bersama-sama, yang dilakukan di muka umum seperti perusakan terhadap barang, penganiayaan terhadap orang atau hewan, melemparkan batu kepada orang atau rumah, atau membuang-buang barang sehingga berserakan.

Hal ini dapat diancamkan atas tindakan main hakim sendiri yang dilakukan di depan umum.

c. Pasal 406 KUHP tentang Perusakan

Penjelasan Pasal 406 KUHP perusakan yang dimaksud mengakibatkan barang tersebut rusak, hancur sehingga tidak dapat dipakai lagi atau hilang dengan melawan hukum.

Kerumunan yang berlawanan dengan norma-norma hukum (lawless crowds)

terbagi dua, yaitu:

1. kerumunan yang bertindak emosional (acting mobs), kerumunan semacam ini bertujuan untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan kekuatan fisik yang berlawanan dengan norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat. Pada umumnya, kumpulan orang-orang tersebut bergerak karena merasakan bahwa hak-hak mereka diinjak-injak atau tak adanya keadilan.

2. kerumunan yang bersifat immoral (immoral crowds), contohnya seperti orang-orang yang mabuk.37

37

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1990, Hal. 157-158


(35)

Main hakim sendiri terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana merupakan wujud kerumunan yang berlawanan dengan hukum. Hal ini menjadi pusat perhatian terjadi karena adanya anggota masyarakatnya yang menjadi korban kejahatan dan terjadinya main hakim sendiri terjadi karena orang-orang tersebut merasa sepenanggungan, seperasaan, dan merasa saling memerlukan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain, sehingga ketika diketahui adanya pelaku tindak pidana dan tertangkap langsung berdasarkan emosi tanpa pikir panjang lagi pelaku yang diduga telah melakukan tindak pidana tadi dihakimi beramai-ramai.

Perlu diketahui bahwa pengusutan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh orang banyak main hakim sendiri sering kali menemui kebuntuan, mengingat bahwa pelaku penganiayaan tidak hanya satu atau dua orang. Prinsip hukum pidana yaitu, siapa yang berbuat dia yang bertanggung jawab. Permasalahan yang melibatkan orang banyak, sehingga susah sekali menentukan siapa pelaku yang paling bertanggung jawab, walaupun demikian hal tersebut tidak menjadi penghambat bagi keluarga korban untuk menuntut keadilan bagi si korban.

Pihak keluarga korban dapat melaporkan hal ini kepada aparat Kepolisian dan selanjutnya menyerahkan proses pengungkapan perkara tersebut sesuai dengan prosedur hukum yang berlakudan sekali lagi bisa dibuktikan yang semula menjadi korban dalam pencurian atau perampokan dan berbagai macam permasalahanya justru menjadi berbalik menjadi pelaku karena proses menghakimi sendiri yang selalu dilakukan oleh masyarakat, bisa dikatakan main hakim sendiri memang fenomena yang sering kita temui di masyarakat Indonesia akhir-akhir ini.


(36)

Di tempat-tempat seperti pasar-pasar, terminal dan di tempat-tempat lainnya kerap diberitakan seorang pencopet, jambret atau perampok, luka-luka karena dihakimi massa, dan tragisnya tidak sedikit yang kehilangan nyawa akibat amuk massa yang melakukan main hakim sendiri.

Aparat keamanan sering tidak dapat melakukan upaya pencegahan ketika main hakim sendiri dilakukan oleh masyarakat, alasannya jika bukan karena kurang personel, juga karena terlambat datang ke tempat kejadian, dalam bab pembahasan akan dibahas lebih rinci mengenai faktor penyebab dan upaya penanggulangan main hakim sendiri.


(37)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan masalah

Pendekatan masalah yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah dengan menggunakan dua macam pendekatan yaitu :

1. Pendekatan secara Yuridis Empiris

Pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari kenyataan yang ada di lapangan guna mendapatkan data dan informasi yang dapat dipercaya kebenarannya mengenai Analisis Yuridis terhadap aspek kriminologis terhadap tindak pidana main hakim sendiri di Lampung.

2. Pendekatan secara Yuridis Normatif

Pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari, melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berkenaan dengan permasalahan tentang mengenai Analisis Yuridis terhadap aspek kriminologis terjadinya tindakan main hakim sendiri di Lampung.

B. Sumber dan Jenis Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mempelajari kenyataan yang ada dilapangan guna mendapatkan data dan


(38)

informasi yang dapat dipercaya kebenarannya dan kepustakaan (Library Research) untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikirankonseptual dari peneliti pendahulu baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

a. Data Primer

Data yang merupakan diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber datanya data primer disebut juga sebagai data asli atau data baru yang memiliki sifat up to date, teknik peneliti untuk mengumpulkan data primer adalah dengan cara observasi, wawancara, diskusi terfokus, kuisioner.

b. Data Sekunder

Data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada, dengan mempelajari buku-buku, dokumen-dokumen dan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang ada kaitanya dengan permasalahan yang sedang di bahas.Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, tersier.38

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Bahan Hukum Primer

Bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti : a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

b) Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.

38


(39)

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum sekunder yaitu berupa bahan hukum yang meliputi peraturan pelaksana, Kepres dan Peraturan Pemerintah.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan-bahan penunjang lain yang ada relevansinya dengan pokok permasalahan, memberikan informasi, petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, bukan merupakan bahan hukum, namun secara signifikan dapat dijadikan bahan analisa terhadap penerapan kebijakan hukum dilapangan, seperti hasil penelitian, buletin majalah, artikel-artikel di internet dan bahan-bahan lainnya yang sifatnya seperti karya ilmiah berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah orang yg memberi mengetahui secara jelas atau menjadi sumber informasi.Keterangan atau jawaban tersebut dapat disampaikan dalam bentuk tulisan atau lisan ketika menjawab wawancara. Yang menjadi Narasumber dalam penelitian ini adalah:

a. Penyidik Polda Lampung : 1 (satu) Orang

b. Anggota LBH Darmapala : 1 (satu) Orang

b. Dosen Hukum Pidana Universitas lampung : 1 (satu) Orang

c. Masyarakat Bandar Lampung : 3 (tiga) Orang


(40)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperoleh dalam penelitian ini digunakan dengan cara-cara:

a. Studi Kepustakaan

Dilakukan dengan cara menelaah, membaca buku-buku, mempelajari, mencatat dan mengutip buku-buku, peraturan perundang-undangan yang ada kaitanya dengan hal yang di bahas.

b. Studi Lapangan ( Field Research)

Studi Lapangan merupakan usaha yang dilakukan untuk memperoleh data primer. Langkah-langkah yang digunakan untuk memperoleh data primer tersebut dilakukan dengan memberikan pertanyaan dan meminta penjelasan kepada beberapa pihak yang dianggap mengetahui masalah yang berhubungan dengan penelitian ini. Metode yang dipergunakan adalah wawancara terbuka.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data terkumpul dengan baik melalui studi kepustakaan dan studi lapangan kemudian data diolah dengan cara mengelompokan kembali data, setelah itu di identifikasi sesuai dengan pokok bahasan.Pengolahan data yang telah diperoleh maka penulis melakukan kegiatan-kegiatan antara lain:

a. Pemeriksaan data yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan,kejalasan dan kebenaran data yang telah diterima serta relevansinya dalam penelitian.


(41)

b. Klasifikasi data adalah suatu kumpulan data yang diperoleh perlu disusun dalam bentuk logis dan ringkas, kemudian disempurnakan lagi menurut ciri-ciri data dan kebutuhan penelitian yang diklasifikasikan sesuai jenisnya. c. Penyusunan data yaitu melakukan penyusunan data secara sistematis sesuai

dengan jenis dan pokok bahasan dengan maksud memudahkan dalam menganalisa data tersebut

E. Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan data, kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan analisis kualitatif dilakukan dengan cara menguraikan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang akan di teliti, sehingga ditarik suatu kesimpulan dengan berpedoman pada cara berfikir induktif, yaitu cara berfikir yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus kemudian disimpulkan secara umum.


(42)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Setelah melakukan pembahasan terhadap data yang diperoleh dalam penelitian maka sebagaimana penutupan dari pembahasan atas permasalahan dalam skripsi ini, penulis menarik kesimpulan :

1. Dilihat dari sudut pandang yang berbeda salah satunya faktor yang menyebabkan perbuatan main hakim sendiri yaitu :

a. persoalan psikologis yang saat ini terjadi pada masyarakat b. ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum

c. komunikasi masyarakat dan aparat penegak hukum yang kurang atau belum tersosialisasikan dengan baik sehingga pada saat membutuhkan pertolongan hukum, masyarakat mengalami kebingungan.

d. masyarakat merasa sudah terlalu banyak korban yang dirugikan karena kasus pencurian, pencopetan, yang akhirnya memicu perbuatan main hakim sendiri (eigen richting) dan melibatkan banyak orang.

e. masyarakat banyak yang merasa kecewa dengan penegakan hukum, kecewa dengan vonis yang dijatuhkan, kecewa dengan lambatnya penangkapan para pelaku kejahatan pencurian yang akhirnya membuat masyarakat ingin menghakimi sendiri dan setiap terjadinya amuk


(43)

massa dalam menghakimi para pelaku kejahatan pencurian yang akhirnya berujung perbuatan eigen richting ini karena terlambatnya aparat kepolisian tiba di tempat kejadian, sehingga massa tanpa pikir panjang justru menghakimi beramai-ramai.

2. Upaya penanggulangan perbuatan main haim sendiri adalah Tokoh-tokoh masyarakat dapat mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa tindakan kekerasan dalam hal apapun tidak diperbolehkan. Perbuatan dalam menangani sesuatu tetap tidak diperbolehkan, pererat komunikasi antara penegak hukum dengan masyarakat. Beri kesadaran akan pentingnya penegak hukum bagi keamanan masyarakat, penegakan hukum yang tegas dan transparan. Penegakan hukum yang jelas atau sesuai dengan standar hukum yang berlaku akan memberikan kepuasan kepada masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan para penegak hukum.

3. Faktor penghambat upaya penanggulangan terjadinya perbuatan main hakim sendiri yaitu :

a. Faktor dari aparat penegak hukum, ketika aparat penegakan hukum tidak mau menegakkan hukum secara adil hal ini menjadi dasar utama upaya penghambat penanggulangan main hakim sendiri.

b. Faktor kesadaran hukum masyarakat yang masih sangat rendah, tanpa berpikir panjang melakukan perbuatan main hakim sendiri dan tidak melihat akibat dari yang diperbuat meskipun dapat menghilangkan nyawa seseorang sekalipun.


(44)

B. Saran

Adapun saran yang diberikan penulis demi kelancaran penegakkan hukum :

1. Aparat hendaknya melakukan pendekatan terhadap warga masyarakat atau organisasi masyarakat agar terjalin komunikasi yang baik dengan warga serta timbul kesadaran hukum sehingga warga dapat mematuhi aturan hukum yang berlaku dan dalam menyelesaikan masalah tidak dengan cara main hakim sendiri atau eigen richting.

2. Hendaknya masyarakat menyadari bahwa Perbuatan Main Hakim Sendiri, sesungguhnya adalah merupakan tindakan kejahatan, sehingga diharapkan masyarakat agar sadar dan tidak segan-segan untuk melaporkan perbuatan kejahatan main hakim sendiri kepada Petugas Kepolisian jika terjadi kasus tersebut.

3. Untuk menghindari rasa takut agar segera masyarakat untuk melaporkan kasus main hakim sendiri, kepada petugas Kepolisian, dan hendaknya pihak Kepolisian memberikan perlindungan serta jaminan kepada si pelapor.

4. Dalam rangka memperlancar proses penyidikan terutama penahanan para tersangka, hendaknya kepolisian memperhatikan pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana penunjang seperti perluasan ruang tahanan sehingga dapat menampung tahanan dalam jumlah yang besar.


(45)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Abdurrahman. Aneka Masalah Dalam Praktek Penegakan Hukum Di Indonesia. Alumni, Bandung, 1980.

Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

---Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung,1996.

B. Simanjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, S.I :S.n, 1981 Bambang Pernomo, Orientasi Hukum Acara Pidana, Amarta, Yogyakarta, 1984 Bonger, W.A. Pengantar Tentang Kriminologi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta, Balai

Pustaka,1989.

Gumilang A.. Kriminalistik. Angkasa, Bandung, 1993.

Iswanto. Kecenderungan Masyarakat Main Hakim sendiri (ditinjau dari aspek kriminologi-viktimologi), Purwokerto,2000.

Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil. Pokok-pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramitha,Jakarta, 2004.

Kartanegara,Satochid. Hukum Pidana Bagian Pertama, Balai Lektur Mahasiswa,Jakarta, 1955.

Lamintang,.Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung,1981.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum.PT. Citra Aditya Bakti.Bandung,2004.


(46)

Muljono Wahyu. Pengantar Teori Kriminologi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.2012

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Edisi Baru. Jakarta Bumi Aksara.2008.

Metrokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,2003.

Prasetyo, Teguh..Hukum Pidana. Rajawali Pers. Jakarta.2010.

Projodjodikoro, Wiryono. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung.2003.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.1986.

Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta. 1986.

Sadli, Saparinah. Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Meyimpang, Bulan Bintang, Jakarta.1976.

Sianturi, S.R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapan, Cet.3,Storia Grafika,Jakarta.2002.

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Alumni, Bandung.1977.

--- Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang.1990 Topo, Santoso, Kriminologi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.2006.

Wibowo, Adhi. Perlindungan Hukum Korban amuk massa. Thafa Media, Yogyakarta.2013.

W.M.E Noach. Kriminologi Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung,1992.

UNDANG-UNDANG


(47)

Streaming.2012.

Raypratama.blogspot.com/2012/02/ http://google.com(diakses05,07,2013) Marada08128.blogspot.com/2013/02/http://google.com(diakses05,07,2013) Wordpress.com2010/01/25/ http://www.google.com(diakses27,06,2013) wikipedia.org/wiki/Main_hakim 8:12, (diakses 09-1-2014)


(1)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Setelah melakukan pembahasan terhadap data yang diperoleh dalam penelitian maka sebagaimana penutupan dari pembahasan atas permasalahan dalam skripsi ini, penulis menarik kesimpulan :

1. Dilihat dari sudut pandang yang berbeda salah satunya faktor yang menyebabkan perbuatan main hakim sendiri yaitu :

a. persoalan psikologis yang saat ini terjadi pada masyarakat b. ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum

c. komunikasi masyarakat dan aparat penegak hukum yang kurang atau belum tersosialisasikan dengan baik sehingga pada saat membutuhkan pertolongan hukum, masyarakat mengalami kebingungan.

d. masyarakat merasa sudah terlalu banyak korban yang dirugikan karena kasus pencurian, pencopetan, yang akhirnya memicu perbuatan main hakim sendiri (eigen richting) dan melibatkan banyak orang.

e. masyarakat banyak yang merasa kecewa dengan penegakan hukum, kecewa dengan vonis yang dijatuhkan, kecewa dengan lambatnya penangkapan para pelaku kejahatan pencurian yang akhirnya membuat masyarakat ingin menghakimi sendiri dan setiap terjadinya amuk


(2)

54

massa dalam menghakimi para pelaku kejahatan pencurian yang akhirnya berujung perbuatan eigen richting ini karena terlambatnya aparat kepolisian tiba di tempat kejadian, sehingga massa tanpa pikir panjang justru menghakimi beramai-ramai.

2. Upaya penanggulangan perbuatan main haim sendiri adalah Tokoh-tokoh masyarakat dapat mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa tindakan kekerasan dalam hal apapun tidak diperbolehkan. Perbuatan dalam menangani sesuatu tetap tidak diperbolehkan, pererat komunikasi antara penegak hukum dengan masyarakat. Beri kesadaran akan pentingnya penegak hukum bagi keamanan masyarakat, penegakan hukum yang tegas dan transparan. Penegakan hukum yang jelas atau sesuai dengan standar hukum yang berlaku akan memberikan kepuasan kepada masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan para penegak hukum.

3. Faktor penghambat upaya penanggulangan terjadinya perbuatan main hakim sendiri yaitu :

a. Faktor dari aparat penegak hukum, ketika aparat penegakan hukum tidak mau menegakkan hukum secara adil hal ini menjadi dasar utama upaya penghambat penanggulangan main hakim sendiri.

b. Faktor kesadaran hukum masyarakat yang masih sangat rendah, tanpa berpikir panjang melakukan perbuatan main hakim sendiri dan tidak melihat akibat dari yang diperbuat meskipun dapat menghilangkan nyawa seseorang sekalipun.


(3)

55

B. Saran

Adapun saran yang diberikan penulis demi kelancaran penegakkan hukum :

1. Aparat hendaknya melakukan pendekatan terhadap warga masyarakat atau organisasi masyarakat agar terjalin komunikasi yang baik dengan warga serta timbul kesadaran hukum sehingga warga dapat mematuhi aturan hukum yang berlaku dan dalam menyelesaikan masalah tidak dengan cara main hakim sendiri atau eigen richting.

2. Hendaknya masyarakat menyadari bahwa Perbuatan Main Hakim Sendiri, sesungguhnya adalah merupakan tindakan kejahatan, sehingga diharapkan masyarakat agar sadar dan tidak segan-segan untuk melaporkan perbuatan kejahatan main hakim sendiri kepada Petugas Kepolisian jika terjadi kasus tersebut.

3. Untuk menghindari rasa takut agar segera masyarakat untuk melaporkan kasus main hakim sendiri, kepada petugas Kepolisian, dan hendaknya pihak Kepolisian memberikan perlindungan serta jaminan kepada si pelapor.

4. Dalam rangka memperlancar proses penyidikan terutama penahanan para tersangka, hendaknya kepolisian memperhatikan pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana penunjang seperti perluasan ruang tahanan sehingga dapat menampung tahanan dalam jumlah yang besar.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Abdurrahman. Aneka Masalah Dalam Praktek Penegakan Hukum Di Indonesia. Alumni, Bandung, 1980.

Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

---Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung,1996.

B. Simanjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, S.I :S.n, 1981 Bambang Pernomo, Orientasi Hukum Acara Pidana, Amarta, Yogyakarta, 1984 Bonger, W.A. Pengantar Tentang Kriminologi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta, Balai

Pustaka,1989.

Gumilang A.. Kriminalistik. Angkasa, Bandung, 1993.

Iswanto. Kecenderungan Masyarakat Main Hakim sendiri (ditinjau dari aspek kriminologi-viktimologi), Purwokerto,2000.

Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil. Pokok-pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramitha,Jakarta, 2004.

Kartanegara,Satochid. Hukum Pidana Bagian Pertama, Balai Lektur Mahasiswa,Jakarta, 1955.

Lamintang,.Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung,1981.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum.PT. Citra Aditya Bakti.Bandung,2004.


(5)

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung,1992.

Muljono Wahyu. Pengantar Teori Kriminologi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.2012

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Edisi Baru. Jakarta Bumi Aksara.2008.

Metrokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,2003.

Prasetyo, Teguh..Hukum Pidana. Rajawali Pers. Jakarta.2010.

Projodjodikoro, Wiryono. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung.2003.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.1986.

Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta. 1986.

Sadli, Saparinah. Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Meyimpang, Bulan Bintang, Jakarta.1976.

Sianturi, S.R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapan, Cet.3,Storia Grafika,Jakarta.2002.

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Alumni, Bandung.1977. --- Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang.1990 Topo, Santoso, Kriminologi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.2006.

Wibowo, Adhi. Perlindungan Hukum Korban amuk massa. Thafa Media, Yogyakarta.2013.

W.M.E Noach. Kriminologi Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung,1992.

UNDANG-UNDANG


(6)

Media/Website

Hanafi, Sukwan ,Fenomena Main Hakim Sendiri. Berita Indosiar Live Streaming.2012.

Raypratama.blogspot.com/2012/02/ http://google.com(diakses05,07,2013) Marada08128.blogspot.com/2013/02/http://google.com(diakses05,07,2013) Wordpress.com2010/01/25/ http://www.google.com(diakses27,06,2013) wikipedia.org/wiki/Main_hakim 8:12, (diakses 09-1-2014)


Dokumen yang terkait

TINJMAIN H TINJAUAN TERHADAP EIGENRICH/PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI OLEH MASYARAKAT PERSPEKTIF KEPASTIAN HUKUM.

0 2 11

PENDAHULUAN TINJAUAN TERHADAP EIGENRICH/PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI OLEH MASYARAKAT PERSPEKTIF KEPASTIAN HUKUM.

0 5 11

TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI (STUDI KASUS DI KELURAHAN KAWATUNA KOTA PALU) | NURCAHYANINGSIH | Legal Opinion 5873 19506 1 PB

0 0 9

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN KEKERASAN MASSA DAN PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 184

ANALISIS KRIMINOLOGIS TERJADINYA KORUPSI GAJI PEGAWAI NEGERI SIPIL FIKTIF DI PEMERINTAHAN KABUPATEN LAMPUNG UTARA

0 0 13

ANALISIS KRIMINOLOGIS TERJADINYA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Kasus di Polres Lampung Selatan)

0 1 13

Sanksi Pidana Main Hakim Sendiri “Eigrnrechting” Tinjauan Kriminologis dan Yuridis terhadap Kasus-Kasus di Pengadilan Negeri Sungguminasa (2010-2015) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 65

Sanksi Pidana Main Hakim Sendiri “Eigrnrechting” Tinjauan Kriminologis dan Yuridis Terhadap Kasus-Kasus di Pengadilan Negeri Sungguminasa (2010-2015) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 65

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP TINDAK PIDANA MAIN HAKIM SENDIRI (Studi Kasus Di Kepolisian Resor Kota Besar Semarang) - Unissula Repository

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP TINDAK PIDANA MAIN HAKIM SENDIRI (Studi Kasus Di Kepolisian Resor Kota Besar Semarang) - Unissula Repository

0 0 13