Identifikasi Status Hara Tanah, Tekstur Tanah, dan Produksi Lahan Sawah Terasering Pada 3 Ordo Tanah

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T.S.1996. Survai Tanah dan Evaluasi Lahan. PT Penebar Swadaya,
Jakarta.
Abdulrachman, S., dan Hasil, S. 2006. Penentuan Takaran Pupuk Fosfat untuk
Tanaman Padi Sawah. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Agus. F.,A. Adimihardja., S. Hardjowigeno. A. M. Fagi., dan W. Hartatik. 2004.
Tanah Sawah dan Pengelolaanya. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor
Atmojo, S.W. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan
Upaya Pengelolaannya. Sebelas Maret University Press, Surakarta.
Badan Pusat Statistik. 2014. Sumatera Utara Dalam Angka 2014. Badan Pusat
Statisik, Sumatera Utara.
Basyuni, Z. 2009. Mineral dan Batuan Sumber Unsur Hara P dan K. Universitas
Jendral Sudirman, Purbalingga
Damanik M.M., B. E Hasibuan., Fauzi., Sarifuddin dan H. Hanum, 2010.
Kesuburan Tanah dan Pemupukan. Universitas Sumatera Utara Press,
Medan
Dariah, A., H.Subagyo, Chendy.T., dan Setiari.M. 2003. Kepekaan Tanah
Terhadap Erosi.
Foth, H. D. 1994. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Terjemahan E. D Purbayanti., D. R
Lukiwati., R. Trimulatsih. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hakim, A.M. 2009. Asupan Nitrogen dan Pupuk Organik Cair Terhadap Hasil dan
Kadar Vitamin C Kelopak Bunga Rosela. Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret, Surakarta
Hanafiah, K.A.2005. Dasar Dasar Ilmu Tanah. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Hardjowigeno. S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika
Pressindo, Jakarta.
Hardjowigeno, S., 2003. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta.
Hardjowigeno. S dan L. Rayes. 2005. Tanah Sawah. Bayumedia. Malang.
Mukhlis dan Fauzi. 2003. Pergerakan Unsur Hara Nitrogen Dalam Tanah.
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Mukhlis., Sarifuddin., dan H. Hanum. 2011. Kimia Tanah Teori dan Aplikasi. Usu
Press, Medan.
Munir, M. 1996. Geologi dan Mineralogi Tanah. Pustaka Jaya, Jakarta.
Musa, L., Mukhlis, dan A. Rauf. 2006. Dasar Ilmu Tanah. Departemen Ilmu
Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan Yang Efektif. Agromedia Pustaka.
Tangerang

Novriani. 2010. Alternatif Unsur Hara P (Fosfor) Pada Budidaya Jagung. FP
Universitas Baturaja
Permentan. 2006. Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 47/Permentan/OT.140/10/2006
Pramono, J. 2004. Kajian Penggunaan Bahan Organik Pada Padi Sawah. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah.
Prasetyo, B.H dan D.A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, Potensi dan Teknologi
Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering
di Indonesia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian, Bogor.
Prayitno, J., J.J. Weinman, M.A. Djordjevic, and B.G. Rolfe. 2000. Pemanfaatan
protein pendar hijau (green fluoresecent protein) untuk mempelajari
kolonisasi bakteri Rhizobium. Prosiding Seminar Nasional Biologi XVI:
372-277.
Rauf, A.W., Syamsuddun, T., dan Sri, R.S. 2000. Peranan Pupuk NPK Pada
Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Irian
Jaya
Resman., S. A., Syradz., dan B. H. Sunarminto., 2006. Kajian Beberapa Sifat
Kimia Dan Fisika Inceptisol Pada Toposekuen Lereng Selatan Gunung
Merapi Kabupaten Sleman. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 6 (2).

Hal : 101-108.
Rija, D., M.A. Solihin., dan S. Rosniawaty. 2007. Respon Beberapa Sifat Kimia
Inceptisol Asal Rajamandala dan Hasil Bibit Kakao Melalui Pemberian
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Lembaga Penelitian Universitas
Padjadjaran.
Rosmarkam, A dan Yuwono, N.W. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Penerbit
Kanisius,Yogyakarta

Universitas Sumatera Utara

Sakti, P. 2009. Evaluasi Ketersediaan Hara Makro N,P dan K Tanah Sawah Irigasi
Teknis dan Tadah Hujan di Kawasan Industri Kabupaten Karanganyar.
Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Subagyo, H., N. Suharta dan A.N. Siswanto. 2000. Tanah-Tanah Pertanian. Tim
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (ed) Sumber Daya Lahan
Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian,
Bogor.
Sukristiyonubowo. 2008. Mobilitas Sedimen dan Hara pada Sistem Sawah
Berteras Dengan Irigasi Tradisional. Jurnal Tanah dan Iklim. Balai

Penelitian Tanah, Bogor
Suriatna, S. 1992. Pupuk dan Pemupukan. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta
Suriadikarta, D.A., dan Adimihardja A. 2001, Penggunaan Pupuk Dalam Rangka
Peningkatan Produktivitas Lahan Sawah, Jurnal Litbang Pertanian 20 (4),
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan agroklimat, Bogor.
Suriadikarta, D.A., T. Prihatini., D. Setyorini., dan W. Hartatiek. 2002.
Pengelolaan Bahan Organik Tanah. Dalam, Abdurachman, A.,
Mappaona., dan A. Saleh (eds). 2002. Teknologi pengelolaan lahan
kering. Pusat Penelitian dan Pengembangan tanah dan Agroklimat.
Departemen Pertanian, Bogor
Tambun, B.V., Fitryane, L., dan Daud, Y. 2012. Pengaruh Erosi Permukaan
Terhadap Kandungan Unsur Hara N,P,K Tanah Pada Lahan Pertanian
Jagung di Desa Ulanta Kecamatan Suwawa Kabupaten Bone Bolango
Provinsi Gorontalo. Universitas Negeri Gorontalo
Usman. 2012. Teknik Penetapan Nitrogen Total Pada Contoh Tanah Secara
Destilasi Titrimetri dan Kolorimetri Menggunakan Autoanalyzer. Buletin
Teknik Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Bogor
Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah.
Penerbit Gava Media, Yogyakarta


Universitas Sumatera Utara

METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2016 sampai dengan July
2016 melalui 2 tahap kegiatan yaitu kegiatan lapangan dan kegiatan laboratorium.
Tahapan kegiatan lapangan dilaksanakan di Kabupaten Samosir dengan
ketinggian 1.300 meter diatas permukaan laut. Tahap kedua contoh tanah
dianalisis di laboratorium PT. Asian Agri Tebing Tinggi.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tanah
terganggu yang diambil di lahan sawah terasering, peta pengambilan titik sampel,
kantong plastik dan karet gelang sebagai wadah sampel tanah, kotak stereoform
untuk wadah seluruh sampel tanah, kertas label untuk memberi nama sampel serta
bahan – bahan kimia lainnya yang digunakan untuk analisis di Laboratorium.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning
System) sebagai alat untuk menentukan koordinat wilayah, bor tanah sebagai alat
untuk mengambil sampel tanah terganggu, pisau atau parang sebagai alat untuk
membantu pengambilan contoh tanah, clinometer sebagai alat mengukur
kemiringan lereng, kamera sebagai alat untuk mendokumentasikan kegiatan dan

alat tulis sebagai alat untuk menulis data dilapangan.
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat Deskriptif dengan menggunakan Metode Survei.
Teknik sampling berdasarkan metode cluster dan stratified sampling. Cluster
sampling merupakan metode pengambilan sampel dengan membagi wilayah
sampel berdasarkan kelompok atau cluster. Sedangkan stratified sampling

Universitas Sumatera Utara

merupakan metode pengambilan sampel dengan memperhatikan strata atau
tingkatan.
Pelaksanaan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini dilakukan beberapa tahapan. Adapun
tahapan kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Persiapan Awal
Konsultasi dengan dosen pembimbing, telaah pustaka, penetapan lokasi
pengambilan titik sampel dan persiapan alat dan bahan yang akan digunakan
dalam penelitian ini.
Pengambilan Contoh Tanah
Kegiatan lapangan dilakukan dengan pengambilan sampel tanah. Sampel

tanah diambil dengan 3 ulangan pada 3 lokasi lahan sawah terasering yang
memiliki ordo tanah yang berbeda. Kemudian setiap lahan sawah terasering
dibagi menjadi bagian atas, bagian tengah dan bagian bawah sehingga diperoleh
27 sampel tanah. Saat pengambilan contoh tanah, lahan dalam keadaan tidak
tergenang.
Pengumpulan Data Sekunder
Data produksi serta data pendukung lainnya mengenai teknik pengolahan
lahan diperoleh dengan cara kuisioner (wawancara) terhadap petani setempat yang
memiliki maupun mengolah lahan sawah terasering yang teramsuk pada areal
pengambilan sampel penelitian.
Parameter Pengamatan
-

Tekstur dengan metode Hydrometer Boyoucous

-

C - Organik dengan metode Walkley and Black

Universitas Sumatera Utara


-

P2O5 dengan metode HCL 25%

-

N - Total dengan metode Kjeldhal

-

K2O dengan metode HCL 25%

-

Zn dengan Metode HCL 25%

Skema Lahan Terasering
Atas


Tengah

Bawah

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Data hasil analisis N-Total, P-Total, K-Total, Zn, C-Organik, Pasir, Debu,
Liat dan Produksi pada sawah terasering Inceptisol dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa :
-

N - Total tertinggi berada pada teras bawah yakni 0,11 % dan terendah
pada teras tengah yakni 0,09 %. Status hara N – Total pada terasering atas
dan bawah tergolong kriteria rendah dan pada teras tengah sangat rendah.

-

P2O5 tertinggi berada pada teras atas yakni 18 mg kg-1 dan terendah

terdapat pada teras bawah yakni 10,43 mg kg-1. Status hara P2O5 pada
setiap teras tergolong kriteria rendah.

-

K2O tertinggi terdapat pada teras tengah yakni 2621,75 mg kg-1 dan
terendah terdapat pada teras atas yakni 2483,96 mg kg-1. Status hara K2O
pada setiap teras tergolong kriteria sangat tinggi.

-

Zn tertinggi terdapat pada teras atas yakni 53,40 mg kg-1 dan terendah
terdapat pada teras tengah yakni 47,17 mg kg-1. Status hara Zn pada setiap
teras tergolong kriteria sangat tinggi.

-

C-Organik tertinggi terdapat pada teras bawah yakni 1,28 % dan terendah
terdapat pada teras tengah yakni 0,93%. Status hara C-Organik pada teras
atas dan tengah tergolong kriteria sangat rendah dan pada tears bawah

tergolong kriteria rendah.

-

Persentase pasir tertinggi terdapat pada teras bawah yakni 42% dan
terendah terdapat pada teras atas 23,33 %.

Universitas Sumatera Utara

-

Persentase fraksi debu tertinggi terdapat pada teras atas yakni 44 % dan
terendah terdapat pada teras bawah yakni 38,67.

-

Persentase fraksi liat tertinggi terdapat pada teras atas yakni 32,67 % dan
terendah pada teras tengah dan bawah yakni 19,33%.

-

Produksi tertinggi terdapat pada teras atas yakni 5967 kg/ha dan terendah
pada teras bawah yakni 4900 kg/ha.
Pada lahan sawah terasering Inceptisol menunjukkan pada teras atas

memiliki persentase liat yang tertinggi (32,67%) dengan produksi 5967 kg/ha.
Jika dibandingkan dengan teras bawah yang memiliki persentase liat terendah
(19,33%) dengan produksi hanya 4900 kg/ha, terdapat selisih kandungan liat
sebesar 13,34 %.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Data Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering Inceptisol
Parameter
Inceptisol N (%)
P2O5
K2O
Zn
C-Organik
Pasir
-1
-1
-1
(%)
(mg kg )
(mg kg )
(mg kg )
(%)
(%)
0,11
15,36
2679,74
65,2
0,89
16
Teras Atas
0,10
16,57
2142,76
45,30
1,01
28
0,10
22,07
2629,38
49,70
1,01
26
Rata-rata
0,10 r
18,00 r
2483,96 st
53,40 st
0,97 sr
23,33
0,09
10,05
2896,83
53,16
0,89
26
Teras
0,09
16,73
2429,08
45,71
1,01
48
Tengah
0,10
16,19
2539,33
42,63
0,89
40
Rata-rata 0,09 sr
14,32 r
2621,75 st
47,17 st
0,93 sr
38,00
0,11
5,46
2322,22
50,55
0,74
54
Teras
0,11
5,46
2583,28
47,28
1,01
32
Bawah
0,10
20,37
2926,10
58,84
2,10
40
Rata-rata
0,11 r
10,43 r
2610,53 st
52,22 st
1,28 r
42,00
Keterangan
Kriteria

Debu
(%)
38
48
46
44,00
54
34
40
42,67
26
44
46
38,67

Liat
(%)
46
24
28
32,67
20
18
20
19,33
20
24
14
19,33

Tekstur
li
l
lli
li
l
l
l
l
lp
l
l
l

Produksi
kg/ha
5500
6200
6200
5967
6800
5500
5500
5933
4800
4400
5500
4900

: sr (sangat rendah), r (rendah), s (sedang), t (tinggi), st (sangat tinggi), l (lempung), li (liat), ld (lempung berdebu), lli (lempung berliat),
lp (lempung berpasir), llip (lempung liat berpasir)
: Balai Penelitian Tanah (2009)

Universitas Sumatera Utara

Data hasil analisis N-Total, P-Total, K-Total, Zn, C-Organik, Pasir, Debu,
Liat dan Produksi pada sawah terasering Entisol dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa :
-

N - Total tertinggi berada pada teras tengah yakni 0,12 % dan terendah
pada teras atas yakni 0,10 %. Status hara N-Total pada setiap teras
tergolong kriteria rendah.

-

P2O5 tertinggi berada pada teras atas yakni 12,24 mg kg-1 dan terendah
terdapat pada teras tengah yakni 9,74 mg kg-1. Status hara P2O5 pada setiap
teras tergolong kriteria sangat rendah.

-

K2O tertinggi terdapat pada teras bawah yakni 2341,45 mg kg-1 dan
terendah terdapat pada teras atas yakni 1916,75 mg kg-1. Status hara K2O
pada setiap teras tergolong kriteria sangat tinggi.

-

Zn tertinggi terdapat pada teras bawah yakni 38,21 mg kg-1 dan terendah
terdapat pada teras atas yakni 33,22 mg kg-1. Status hara Zn pada setiap
teras tergolong kriteria tinggi.

-

C-Organik tertinggi terdapat pada teras bawah yakni 0,87 % dan terendah
terdapat pada teras atas yakni 0,59%. Status hara C-Organik pada setiap
teras tergolong kriteria sangat rendah.

-

Persentase fraksi pasir tertinggi terdapat pada teras tengah yakni 50,96%
dan terendah terdapat pada teras bawah 43,90 %.

-

Persentase fraksi debu tertinggi terdapat pada teras bawah yakni 40,89 %
dan terendah terdapat pada teras tengah yakni 37,36 %.

-

Persentase fraksi liat tertinggi terdapat pada teras bawah yakni 15,2 % dan
terendah pada teras atas yakni 12,78%.

Universitas Sumatera Utara

-

Produksi tertinggi terdapat pada teras bawah yakni 3505 kg/ha dan
terendah pada teras atas yakni 2437 kg/ha.
Pada lahan sawah terasering Entisol menunjukkan pada teras bawah

memiliki persentase liat yang tertinggi (15,21%) dengan produksi 3508 kg/ha.
Jika dibandingkan dengan teras tengah yang memiliki persentase liat terendah
(11,68 %) dengan produksi hanya 2920 kg/ha, terdapat selisih kandungan liat
sebesar 3,53 %.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2. Data Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering Entisol
Parameter
Entisol
N (%)
P205
K20
Zn
C-Organik
-1
-1
-1
(%)
(mg kg )
(mg kg )
(mg kg )
(ppm)
0,09
6,41
2274,28
33,36
0,54
Teras Atas
0,10
7,36
1663,11
35,68
0,54
0,10
22,96
1812,87
30,62
0,70
Rata-rata
0,10 r
12,24 sr
1916,75 st
33,22 t
0,59 sr
0,12
30,08
2210,91
34,12
0,78
Teras
0,12
6,15
2116,47
38,30
0,62
Tengah
0,12
13,33
2148,28
41,15
0,62
Rata-rata
0,12 r
16,52 sr
2158,55 st
37,86 t
0,67 sr
0,11
17,41
2360,42
33,53
1,05
Teras
0,10
5,95
2482,18
39,34
0,70
Bawah
0,12
12,99
2181,76
41,77
0,85
Rata-rata
0,11 r
12,12 sr
2341,45 st
38,21 t
0,87 sr
Keterangan
Kriteria

Pasir
(%)
47,78
54,66
44,32
48,92
47,33
51,19
54,38
50,96
40,00
44,05
47,64
43,90

Debu
(%)
34,81
34,86
45,23
38,30
42,13
34,86
35,09
37,36
42,34
38,46
41,88
40,89

Liat
(%)
17,41
10,47
10,45
12,78
10,54
13,95
10,54
11,68
17,65
17,49
10,48
15,21

Tekstur
l
lp
l
l
l
l
lp
l
l
l
l
l

Produksi
kg/ha
2292
2269
2750
2437
2986
3025
2750
2920
4400
2915
3208
3508

: sr (sangat rendah), r (rendah), s (sedang), t (tinggi), st (sangat tinggi), l (lempung), li (liat), ld (lempung berdebu), lli (lempung berliat),
lp (lempung berpasir), llip (lempung liat berpasir)
: Balai Penelitian Tanah (2009)

Universitas Sumatera Utara

Data hasil analisis N-Total, P-Total, K-Total, Zn, C-Organik, Pasir, Debu,
Liat dan Produksi pada sawah terasering Ultisol dapat dilihat pada Tabel 3.
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa :
-

N-Total tertinggi berada pada teras bawah yakni 0,23 % dan terendah pada
teras atas yakni 0,19 %. Status hara N-Total pada teras atas tergolong
kriteria rendah sedangkan pada teras tengah dan bawah tergolong kriteria
sedang.

-

P2O5 tertinggi berada pada teras tengah yakni 61,10 mg kg-1 dan terendah
terdapat pada atas tengah yakni 16,68 mg kg-1. Status hara P2O5 pada teras
atas tergolong kriteria rendah, pada teras tengah tergolong kriteria sangat
tinggi dan pada teras bawah tergolong tinggi.

-

K2O tertinggi terdapat pada teras tengah yakni 2417,41 mg kg-1 dan
terendah terdapat pada teras bawah yakni 2188,27 mg kg-1. Status hara
K2O pada setiap teras tergolong kriteria sangat tinggi.

-

Zn tertinggi terdapat pada teras tengah yakni 52,70 mg kg-1 dan terendah
terdapat pada teras atas yakni 44,11 mg kg-1. Status hara Zn pada setiap
teras tergolong sangat tinggi.

-

C-Organik tertinggi terdapat pada teras tengah yakni 1,75 % dan terendah
terdapat pada teras atas yakni 1,49 %. Status hara C-Organik pada setiap
teras tergolong rendah.

-

Persentase fraksi pasir tertinggi terdapat pada teras atas yakni 65,70% dan
terendah terdapat pada teras bawah 54,45 %.

-

Persentase debu tertinggi terdapat pada teras bawah yakni 41,94 % dan
terendah terdapat pada teras atas yakni 30,74 %.

Universitas Sumatera Utara

-

Persentase fraksi liat tertinggi terdapat pada teras bawah yakni 3,61 % dan
terendah pada teras atas yakni 3,56 %.

-

Produksi tertinggi terdapat pada teras tengah yakni 3505 kg/ha dan
terendah pada teras bawah yakni 5080 kg/ha.
Pada lahan sawah terasering Ultisol menunjukkan pada teras bawah

memiliki persentase liat yang tertinggi (3,61%) dengan produksi 5080 kg/ha. Jika
dibandingkan dengan teras atas yang memiliki persentase liat terendah (3,56%)
dengan produksi 5194 kg/ha, terdapat selisih kandungan liat syang sangat kecil
yakni sebesar 0,05 %.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 3. Data Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering Ultisol
Parameter
Ultisol
N (%)
P205
K20
Zn
C-Organik
-1
-1
-1
(%)
(mg kg )
(mg kg )
(mg kg )
(ppm)
0,18
21,41
2899,18
36,58
1,44
Teras Atas
0,21
19,60
2066,16
50,43
1,67
0,17
9,04
2224,74
45,32
1,36
Rata-rata
0,19 r
16,68 r
2396,69 st
44,11 st
1,49 r
0,27
58,81
3602,86
43,65
1,75
Teras
0,20
60,70
2126,54
63,90
1,67
Tengah
0,20
63,78
1522,83
50,54
1,83
Rata-rata
0,22 s
61,10 st
2417,41 st
52,70 st
1,75 r
0,24
57,04
1535,93
54,64
1,52
Teras
0,22
63,24
1455,58
49,15
1,83
Bawah
0,22
53,33
3573,31
52,25
1,75
Rata-rata
0,23 s
57,87 t
2188,27 st
52,01 st
1,70 r
Keterangan
Kriteria

Pasir
(%)
64,47
68,21
64,41
65,70
64,42
60,24
46,44
57,03
57,01
53,24
53,09
54,45

Debu
(%)
35,52
28,24
28,46
30,74
32,01
36,14
49,98
39,37
42,98
39,55
43,29
41,94

Liat
(%)
0,01
3,54
7,13
3,56
3,57
3,63
3,58
3,59
0,01
7,20
3,62
3,61

Tekstur
lp
lp
lp
lp
lp
lp
ld
lp
lp
lp
lp
lp

Produksi
kg/ha
5500
6111
4583
5194
4950
5500
5042
5368
5156
4583
5500
5080

: sr (sangat rendah), r (rendah), s (sedang), t (tinggi), st (sangat tinggi), l (lempung), li (liat), ld (lempung berdebu), lli (lempung berliat),
lp (lempung berpasir), llip (lempung liat berpasir)
: Balai Penelitian Tanah (2009)

Universitas Sumatera Utara

7000

Kg/ha

6000
5000
Atas Tengah Bawah
4000

Inceptisol 32,67 - 19,33 - 19,33

3000

Ultisol

3,56 - 5,59 - 3,61

Entisol

12,78 - 11,68 - 15,21

2000
1000
0
Atas

Tengah

Bawah

Gambar 1. Grafik pengaruh jumlah liat terhadap produksi padi
Berdasarkan grafik diatas, menunjukkan bahwa adanya kecenderungan
meningkatnya jumlah produksi padi seiring dengan meningkatnya jumlah liat
pada lahan sawah terasering tersebut. Adanya liat sebagai salah satu koloid tanah,
mampu meningkatkan produksi tanaman karena liat mempengaruhi sifat kimia
tanah seperti status hara tanah tersebut.
Data hasil uji t 5 % parameter N-Total, P-Total, K-Total, Zn, C-Organik,
Pasir, Debu, Liat dan Produksi pada sawah terasering Entisol, Inceptisol dan
Ultisol dapat dilihat pada Tabel 4.
Berdasarkan hasil uji tersebut diketahui bahwa :
-

Pada data lahan sawah Entisol, setiap parameter tidak menunjukkan
adanya perbedaan yang nyata, kecuali pada perameter N-Total
(T.Atas vs T.Tengah).

-

Pada data lahan sawah Ultisol, beberapa parameter menunjukkan
perbedaan nyata, yakni pada N-Total (T.Atas vs T.bawah), P2O5

Universitas Sumatera Utara

(T.Atas

vs

Tengah

dan

T.Atas

vs

T.Bawah),

fraksi

pasir

(T.Atas vs Tengah) dan fraksi debu (T.Atas vs Tengah).
-

Pada data lahan sawah Inceptisol, setiap parameter tidak menunjukkan
adanya perbedaan yang nyata, kecuali pada parameter N-Total
(T.Tengah vs T.Teras Bawah).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4. Uji t parameter Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering Entisol, Inceptisol dan Ultisol
Signifikan
Ordo

Entisol

Ultisol

Inceptisol

Sawah
N

P2O5

K2O

Zn

C-Organik

Pasir

Debu

Liat

Produksi

T.Atas vs T.Tengah

0,00*

0,38 tn

0,26 tn

0,14 tn

0,35 tn

0,61 tn

0,83 tn

0,69 tn

0,05 tn

T.Atas vs T.Bawah

0,12tn

0,99 tn

0,11 tn

0,15 tn

0,08 tn

0,25 tn

0,52 tn

0,50 tn

0,09 tn

T.Tengah vs T.Bawah

0,16 tn

0,38 tn

0,12 tn

0,92 tn

0,17 tn

0,08 tn

0,26 tn

0,25 tn

0,27 tn

T.Atas vs T.Tengah

0,24 tn

0,00*

0,98 tn

0,30 tn

0,07 tn

0,20 tn

0,22 tn

0,99 tn

0,74 tn

T.Atas vs T.Bawah

0,04*

0,00*

0,79 tn

0,14 tn

0,19 tn

0,00*

0,01*

0,99 tn

0,79 tn

T.Tengah vs T.Bawah

0,90 tn

0,38 tn

0,82 tn

0,92 tn

0,66 tn

0,67 tn

0,67 tn

0,99 tn

0,56 tn

T.Atas vs T.Tengah

0,10 tn

0,28 tn

0,57 tn

0,41 tn

0,52 tn

0,12 tn

0,85 tn

0,12 tn

0,95 tn

T.Atas vs T.Bawah

0,52 tn

0,23 tn

0,63 tn

0,87 tn

0,50 tn

0,66 tn

0,49 tn

0,14 tn

0,06 tn

T.Tengah vs T.Bawah

0,047*

0,51 tn

0,96 tn

0,34 tn

0,45 tn

0,68 tn

0,67 tn

1,00 tn

0,13 tn

Keterangan : Angka yang diikuti * menunjukkan berbeda nyata menutut uji t 5%

Universitas Sumatera Utara

Data hasil analisis N-Total, P-Total, K-Total, Zn, C-Organik, Pasir, Debu,
Liat dan Produksi pada sawah terasering Ultisol, Inceptisol dan Entisol
(rataan teras atas + tengah + bawah) dapat dilihat pada Tabel 5.
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa :
-

N-Total tertinggi berada pada lahan sawah terasering Ultisol yakni 0,21 %
dan terendah pada lahan sawah terasering Inceptisol yakni 0,10 %. Status
hara N-Total pada lahan sawah terasering Ultisol tergolong kriteria sedang
sedangkan pada lahan sawah terasering Inceptisol dan Entisol tergolong
kriteria rendah.

-

P2O5 tertinggi berada pada lahan sawah terasering Ultisol yakni
45,22 mg kg-1 dan terendah terdapat pada lahan sawah terasering Entisol
yakni 13,63 mg kg-1. Status hara P2O5 pada lahan sawah terasering Ultisol
tergolong kriteria tinggi, sedangkan pada lahan sawah terasering Inceptisol
dan Entisol tergolong kriteria rendah.

-

K2O tertinggi terdapat pada lahan sawah terasering Inceptisol yakni
2572,08 mg kg-1 dan terendah terdapat pada lahan sawah terasering Entisol
yakni 2138,92 mg kg-1. Status hara K2O pada setiap lahan sawah
terasering tergolong kriteria sangat tinggi.

-

Zn tertinggi terdapat pada lahan sawah terasering Inceptisol yakni
50,93 mg kg-1 dan terendah terdapat pada lahan sawah terasering Entisol
yakni 36,43 mg kg-1. Status hara Zn pada lahan sawah terasering Inceptisol
dan Ultisol tergolong kriteria sangat tinggi, sedangkan pada lahan sawah
terasering Entisol tergolong kriteria tinggi.

Universitas Sumatera Utara

-

C-Organik tertinggi terdapat pada lahan sawah terasering Ultisol yakni
1,65 % dan terendah terdapat pada lahan sawah terasering Entisol yakni
0,71 %. Status hara C-Organik pada lahan sawah terasering Ultisol dan
Inceptisol tergolong kriteria rendah, sedangkan pada lahan sawah
terasering Entisol tergolong kriteria sangat rendah.

-

Persentase fraksi pasir tertinggi terdapat pada lahan sawah terasering
Ultisol yakni 59,06 % dan terendah terdapat pada lahan sawah terasering
Inceptisol 34,44 %.

-

Persentase debu tertinggi terdapat pada lahan sawah terasering Inceptisol
yakni 41,78 % dan terendah terdapat pada lahan sawah terasering Ultisol
yakni 37,35 %.

-

Persentase fraksi liat tertinggi terdapat pada lahan sawah terasering
Inceptisol yakni 23,78 % dan terendah pada lahan sawah terasering Ultisol
yakni 3,59 %.

-

Produksi tertinggi terdapat pada lahan sawah terasering Inceptisol yakni
5600 kg/ha dan terendah pada lahan sawah terasering Entisol yakni
2954 kg/ha.
Pada lahan sawah terasering Ultisol menunjukkan status hara yang lebih

baik jika dibandingkan dengan lahan sawah terasering Inceptisol dan Entisol.
Namun produksi tanaman padi tertinggi terdapat pada lahan sawah teraseting
Inceptisol. Tingginya status hara pada lahan sawah terasering Ultisol dipengaruhi
oleh teknik pengolahan lahan yang dilakukan yakni pemupukan yang lebih
memadai jika dibandingkan pada lahan sawah terasering lainnya. Hal ini
didukung oleh data kuisioner yang diperoleh langsung dari petani setempat.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 5. Data Sifat Kimia,Fisik dan Produksi lahan sawah terasering Ultisol, Inceptisol dan Entisol
Parameter
N (%)
P205
K20
Zn
C-Organik Pasir Debu
Ordo
Teras
-1
-1
-1
(%)
(mg kg ) (mg kg ) (mg kg )
(%)
(%)
(%)
Atas
0,19
16,68
2396,69
44,11
1,49
65,7 30,74
Ultisol
Tengah
0,22
61,10
2417,41
52,70
1,75
57,03 39,37
Bawah
0,23
57,87
2188,27
52,01
1,70
54,45 41,94
Rata-rata
0,21 s
45,22 t
2334,12 st 49,61 st
1,65 r
59,06 37,35
Atas
0,10
18,00
2483,96
53,40
0,97
23,33 44,00
Inceptisol
Tengah
0,09
14,32
2621,75
47,17
0,93
38,00 42,67
Bawah
0,11
10,43
2610,53
52,22
1,28
42,00 38,67
Rata-rata
0,10 r
14,25 r
2572,08 st 50,93 st
1,06 r
34,44 41,78
Atas
0,10
12,24
1916,75
33,22
0,59
48,92 38,3
Entisol
Tengah
0,12
16,52
2158,55
37,86
0,67
50,96 37,36
Bawah
0,11
12,12
2341,45
38,21
0,87
43,90 40,89
Rata-rata
0,11 r
13,63 r
2138,92 st
36,43 t
0,71 sr
47,93 38,85
Keterangan
Kriteria

Liat
(%)
3,56
3,59
3,61
3,59
32,67
19,33
19,33
23,78
12,78
11,68
15,21
13,22

Tekstur
lp
lp
lp
lp
li
l
l
l
l
l
l
l

Produksi
kg/ha
5194
5368
5080
5214
5967
5933
4900
5600
2437
2920
3505
2954

: sr (sangat rendah), r (rendah), s (sedang), t (tinggi), st (sangat tinggi), l (lempung), li (liat), ld (lempung berdebu), lli (lempung berliat),
lp (lempung berpasir), llip (lempung liat berpasir)
: Balai Penelitian Tanah (2009)

Universitas Sumatera Utara

Data hasil uji t 5 % (Entisol vs Inceptisol), (Entisol vs Ultisol),
(Inceptisol vs Ultisol) parameter N-Total, P-Total, K-Total, Zn, C-Organik, Pasir,
Debu, Liat dan Produksi dapat dilihat pada Tabel 6.
Berdasarkan hasil uji tersebut diketahui bahwa :
-

Status hara N-Total pada lahan sawah terasering Ultisol berbeda nyata
dengan lahan sawah terasering Entisol dan Inceptisol. Sedangkan status
hara N-Total pada lahan sawah Entisol tidak berbeda nyata dengan lahan
sawah Inceptisol.

-

Status hara P2O5 pada lahan sawah terasering Ultisol berbeda nyata dengan
lahan sawah terasering Entisol dan Inceptisol. Sedangkan status hara P2O5
pada lahan sawah Entisol tidak berbeda nyata dengan lahan sawah
Inceptisol.

-

Status hara K2O pada lahan sawah terasering Ultisol tidak berbeda nyata
dengan lahan sawah terasering Entisol dan Inceptisol. Sedangkan status
hara K2O pada lahan sawah Entisol berbeda nyata dengan lahan sawah
Inceptisol.

-

Status hara Zn pada lahan sawah terasering Entisol berbeda nyata dengan
lahan sawah terasering Inceptisol dan Ultisol. Sedangkan status hara Zn
pada lahan sawah Inceptisol tidak berbeda nyata dengan lahan sawah
Ultisol.

-

Status hara C-Organik pada lahan sawah terasering Ultisol berbeda nyata
dengan lahan sawah terasering Entisol dan Inceptisol. Sedangkan status
hara C-Organik pada lahan sawah Entisol tidak berbeda nyata dengan
lahan sawah Inceptisol.

Universitas Sumatera Utara

-

Persentase pasir pada lahan sawah Entisol berbeda nyata dengan lahan
sawah terasering Inceptisol dan Ultisol. Serta persentase pasir pada lahan
sawah terasering Inceptisol berbeda nyata dengan lahan sawah terasering
Ultisol.

-

Tidak ada perbedaan yang nyata pada persentase debu pada setiap lahan
sawah terasering.

-

Persentase liat pada lahan sawah Entisol berbeda nyata dengan lahan
sawah terasering Inceptisol dan Ultisol. Serta persentase pasir liat pada
lahan sawah terasering Inceptisol berbeda nyata dengan lahan sawah
terasering Ultisol.

-

Produksi pada lahan sawah terasering Entisol berbeda nyata dengan lahan
sawah terasering Ultisol dan Inceptisol. Sedangkan produksi pada lahan
sawah terasering Inceptisol tidak berbeda nyata dengan lahan sawah
terasering Ultisol.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 6. Uji t parameter Sifat Kimia, Fisik dan Produksi pada lahan sawah terasering Entisol, Inceptisol dan Ultisol
Signifikan
Ordo
N
P2O5
K2O
Zn
C-Organik
Pasir
Debu
Liat

Produksi

Entisol vs Inceptisol

0,12tn

0,34 tn

0,00*

0,00*

0,03 tn

0,01*

0,36 tn

0,01*

0,00*

Entisol vs Ultisol

0,00*

0,01*

0,52 tn

0,00*

0,00*

0,00*

0,60 tn

0,00*

0,00*

Inceptisol vs Ultisol

0,00*

0,00*

0,43 tn

0,71 tn

0,00*

0,00*

0,25 tn

0,00*

0,21 tn

Keterangan : Angka yang diikuti * menunjukkan berbeda nyata menutut uji t 5%

Universitas Sumatera Utara

Pembahasan
Pada uji t 5% tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada
setiap teras.Namun data yang diperoleh menunjukkan bahwa peningkatan jumlah
liat pada lahan sawah terasering, cenderung mempengaruhi produksi dan sifat
kimia tanah (keberadaan unsur hara) yang lebih baik jika dibandingkan dengan
lahan sawah terasering dengan kandungan liat yang lebih rendah pada setiap lahan
sawah terasering. Hal ini karena liat yang merupakan salah satu koloid anorganik
tanah mempengaruhi berbagai reaksi kimia tanah dan pertukaran ion di dalam
tanah. Hal ini sesuai dengan literatur Mukhlis dkk (2011) yang menyatakan bahwa
koloid tanah merupakan komponen tanah yang aktif dan sangat menentukan sifat
kimia tanah. Proses adsorbsi (jerapan), pertukaran ion, adsorbsi air,pembentukan
dan stabilitas agregat, mengembang dan mengerutnya tanah, dispersi dan
flokulasi, sangat terkait dengan keberadaan koloid tanah.
Pada lahan sawah terasering Inceptisol, kandungan liat tertinggi terdapat
pada teras atas sedangkan pada lahan sawah Entisol kandungan liat tertinggi
terdapat pada teras bawah. Perbedaan ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan
stabilitas agregat tanah yang berbeda. Entisol yang merupakan tanah yang belum
berkembang, memiliki kemantapan agregat yang kurang stabil dan kerap memiliki
struktur yang lepas jika dibandingkan dengan Inceptisol. Kandungan liat yang
lebih rendah pada Entisol memperbesar kemungkinan tergerusnya partikel tanah
akibat dari rendahnya pembentukan ikatan partikel tanah. Hal ini sesuai dengan
literatur Meyer dan Harmon (1984) yang menyatakan bahwa tanah-tanah
bertekstur halus (didominasi liat) umumnya bersifat kohesif dan sulit untuk
dihancurkan. Sementara pada lahan sawah terasering Ultisol, kandungan liat

Universitas Sumatera Utara

sangat rendah pada setiap teras jika dibandingkan dengan lahan terasering
Inceptisol dan Entisol. Hal ini karena proses pencucian liat yang terjadi dari
horison A menuju horison Bt sehingga hanya sebagian kecil terbawa oleh aliran
permukaan.Hal ini sesuai dengan literatur Hardjowigeno (1993) yang menyatakan
bahwa Ultisol mengalami proses pencucian liat (lessivage) yang tinggi dan
Prasetyo dan Suriadikarta (2006) bahwa Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi
liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan
meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah.
Adanya perbedaan jumlah liat dan keberadaan liat yang berbeda pada
setiap lahan sawah terasering pada masing-masing ordo, menunjukkan bahwa
adanya pengaruh jenis tanah pada produksi padi sawah. Lahan sawah terasering
Inceptisol dengan kandungan liat yang lebih tinggi dan didukung dengan data
produksi yang tinggi dapat dikatakan sebagai lahan yang paling memiliki potensi
tinggi untuk dimanfaatkan dalam budidaya padi sawah jika dibandingkan dengan
lahan sawah terasering Ultisol dan Entisol. Adanya pengaruh jenis tanah ini sesuai
dengan pernyataan Kawasaki dan Herath (2011), bahwa produksi padi
dipengaruhi oleh keadaan iklim, kondisi lahan dan pengelolaan lahan.

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pada lahan sawah terasering Entisol, status hara dan produksi pada setiap
teras

tidak

berbeda

nyata

satu

sama

lain

kecuali

N-Total

(T.Atas vs T.Tengah)
2. Pada lahan sawah terasering Ultisol, status hara dan produksi pada setiap
teras tidak berbeda nyata satu sama lain kecuali N (T.Atas vs T.Bawah)
dan P - Total (T.Atas vs T.Tengah) (T.Atas vs Teras Bawah).
3. Pada lahan sawah terasering Inceptisol, status hara dan produksi pada
setiap teras tidak berbeda nyata satu sama lain kecuali N-Total
(T.Tengah vs Teras Bawah).
4. Status hara tertinggi berada pada lahan sawah terasering Ultisol
5. Produksi tertinggi berada pada lahan sawah Inceptisol.
6. Lahan sawah terasering Inceptisol merupakan lahan sawah yang memiliki
potensi terbaik untuk budidaya padi sawah.
Saran
Disarankan

pada penelitian

selanjutnya

agar memberikan

faktor

pengolahan lahan yang sama, sehingga data status hara dan produksi yang
diperoleh lebih baik dan akurat.

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA
Lahan Sawah
Sawah merupakan salah satu bentuk penggunaan lahan yang sangat
strategis karena lahan tersebut merupakan sumber daya utama untuk
memproduksi padi/beras, yang merupakan pangan pokok utama bagi Indonesia.
Dengan demikian, sawah merupakan sumber daya utama bagi pemantapan
ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi nasional (Abdullah, 1996) .
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah,
baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija.
Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah
umum seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian dan
sebagainya. Segala macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup
tersedia. Kecuali itu padi sawah juga ditemukan pada berbagai macam iklim yang
jauh lebih beragam dibandingkan dengan jenis tanaman lain. Karena itu tidak
mengherankan bila sifat tanah sawah sangat beragam sesuai dengan sifat tanah
asalnya (Hardjowigeno, 2003).
Ciri khas tanah sawah, yang membedakannya dengan tanah tergenang
lainnya, yaitu adanya lapisan oksidasi di bawah permukaan air akibat difusi O2
setebal 0,8 – 1,0 cm, selanjutnya lapisan reduksi setebal 25 – 30 cm dan diikuti
oleh lapisan tapak bajak yang kedap air. Selama pertumbuhan tanaman padi akan
tejadi sekresi 02 oleh akar tanaman padi yang menimbulkan kenampakan yang
khas pada tanah di sekitar tanaman padi sawah (Mukhlis dkk, 2011).
Faktor penting dalam proses pembentukan profil tanah sawah adalah
genangan air di permukaan, dan penggenangan serta pengeringan yang bergantian.

Universitas Sumatera Utara

Proses pembentukan profil tanah sawah meliputi berbagai proses, yaitu proses
utama berupa pengaruh kondisi reduksi-oksidasi (redoks) yang bergantian,
penambahan dan pemindahan bahan kimia atau partikel tanah, dan perubahan sifat
fisik, kimia, dan mikrobiologi tanah, akibat penggenangan pada tanah kering yang
disawahkan, atau perbaikan drainase pada tanah rawa yang disawahkan.
(Hardjowigeno, 2003).
Penggenangan akan meningkatkan pH tanah yang semula asam (kecuali
tanah yang rendah kadar besinya) menjadi netral, dan sebaliknya akan
menurunkan pH tanah yang semulanya basa menjadi netral. Peningkatan tanah
masam, oleh penggenangan terjadi akibat adanya penambahan ion OH- dari
reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ (Mukhlis dkk, 2011).
Perubahan sifat-sifat fisik dan kimia tanah yang terus berlangsung
tersebut, dicerminkan juga oleh perubahan sifat morfologi tanah, terutama di
lapisan permukaan. Dalam keadaan tergenang, tanah menjadi berwarna abu-abu
akibat reduksi besi-feri (Fe-III) menjadi besi-fero (Fe-II). Akan tetapi pada tanah
pasir atau tanah lain yang permeabel, warna reduksi tersebut tidak terjadi,
terkecuali pada penggenangan yang sangat lama. Di lapisan permukaan horizon
tereduksi tersebut, dalam keadaan tergenang, ditemukan lapisan tipis yang tetap
teroksidasi berwarna kecoklatan, karena difusi O2 dari udara, atau dari
fotosintesis algae (Agus dkk, 2004).
Jika tanah digenangi maka konsentrasi P-larut dalam air dan asam mulamula meningkat sampai mencapai puncak atau mendatar kemudian turun. Puncak
P-larut dalam air yang terendah terjadi pada tanh liat masam yang kaya Fe aktif

Universitas Sumatera Utara

dan

puncak

tertinggi

pada

tanah

pasir

yang

miskin

Fe

aktif

(Hardjowigeno dan Rayes, 2005) .
Meningkatnya ketersediaan P pada awal penggenangan disebabkan oleh:
(a) reduksi FePO.2H2O

Fe(PO4)2.8H2O

(b) desorpsi akibat reduksi Fe3+

Fe2+

(c) hidrolisis FePO4 dan AlPO4 pada tanah masam
(d) pelepasan occluded P (P-tersemat)
(e) pertukaran ion.
(Agus,dkk, 2004).
Pembakaran jerami sebelum diberikan ke tanah sawah seperti yang biasa
dilakukan petani dinilai sangat merugikan karena banyak unsur hara yang hilang,
salah satunya unsur hara, antara lain C, N, P, K, S, Ca, Mg dan unsur-unsur mikro
(Fe, Mn, Zn, Cu). Pembakaran jerami akan mengakibatkan kehilangan hara C
94%, P 45%, K 75%, S 70%, Ca 30%, dan Mg 20% dari total kandungan hara
dalam jerami (Suriadikarta dan Adimihardja, 2001).
Pemberian bahan organik dalam jumlah besar pada tanah tergenang dapat
menyebabkan keracunan tanaman oleh asam-asam organik yang terbentuk.
Panambahan ammonium sulfat dapat mengurangi efek keracunan tersebut. Hal itu
disebabkan oleh pembentukan asam organik dihambat oleh kegiatan bakteri
produksi sulfat yang meningkat jumlahnya akibat penambahan ammonium sulfat.
Ammonium fosfat dan glukosa akan merangsang perubahan asam organik
menjadi gas metana bila ditambahkan ke tanah. Kondisi seperti ini menunjukkan
banyaknya bakteri metana dalam tanah tergenang (Damanik dkk, 2010).

Universitas Sumatera Utara

C-Organik
Bahan organik memegang peranan penting dalam memperbaiki sifat-sifat
tanah (fisik, kimia dan biologi) yang selanjutnya akan meningkatkan produktivitas
tanah dan tanaman. Oleh karena itu, bahan organik disebut juga sebagai
dinamisator, aktivator dan regenerator tanah dalam meningkatkan dan
mempertahankan produktivitas lahan. Bahan organik merupakan salah satu
komponen tanah yang sangat penting dari segi fisik, kimia, dan biologi tanah.
Bahan organik dapat

memperbaiki

infiltrasi, porositas, struktur tanah,

ketersediaan unsur hara, dan merupakan sumber energi bagi mikroorganisme
tanah (Rija dkk, 2007).
Pemberian bahan organik dapat menyebabkan meningkatnya KTK tanah,
sehingga daya sangga (buffer) tanah juga meningkat. Hal ini penting kaitannya
tanah dalam memegang pupuk anorganik. Dengan berbagai kelebihan dan
manfaat pemberian bahan organik pada tanah tersebut, maka peningkatan
komponen hasil dan hasil padi sawah pada berbagai perlakuan pemberian bahan
organik ini, diduga karena pengaruh positif pemberian bahan organik terhadap
sifat fisik, kimia dan biologi tanah sebagai media tumbuh tanaman, yang
selanjutnya berakibat pada perbaikan pertumbuhan dan hasil tanaman. Hasil
kajian ini menunjukkan bahwa pada tanah-tanah sawah yang telah lama
diusahakan secara intensif dengan tanpa atau kurang memberikan tambahan bahan
organik telah mengakibatkan lingkungan tumbuh menjadi kurang optimal didalam
mendukung pertumbuhan tanaman. Untuk itu bahan organik memegang peranan
amat penting dan sangat dibutuhkan untuk mengembalikan kesuburan tanah,
terlebih lagi pada tanah dengan kandungan C organik rendah (Pramono, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Kandungan bahan organik lahan pertanian di Indonesia secara umum
termasuk rendah, disebabkan oleh masih rendahnya kesadaran petani untuk
mengembalikan limbah panen ke dalam tanah. Katagorisasi tingkat kandungan
bahan organik tanah menurut Balai Besar Penelitian Sumber Daya Lahan
Pertanian (BBSDLP) adalah rendah apabila kurang dari 2%, sedang apabila
kandungan bahan organik tanah 2-3%, dan tinggi apabila lebih dari 3%. 73%
lahan pertanian Indonesia memiliki kandungan bahan organik yang rendah, 23%
sedang, dan hanya 4% yang berstatus tinggi (Suwarno dkk, 2009).
Penambahan bahan organik secara kontinyu pada tanah merupakan cara
pengelolaan yang murah dan mudah. Namun demikian, walaupun pemberian
bahan organik pada lahan pertanian telah banyak dilakukan, umumnya produksi
tanaman masih kurang optimal, karena rendahnya unsur hara yang disediakan
dalam waktu pendek, serta rendahnya tingkat sinkronisasi antara waktu pelepasan
unsur hara dari bahan organik dengan kebutuhan tanaman akan unsur hara.
Kualitas bahan organik sangat menentukan kecepatan proses dekomposisi dan
mineralisasi bahan organik (Atmojo, 2003).
Bahan organik secara umum dibedakan atas bahan organik yang relatif
sukar didekomposisi karena disusun oleh senyawa siklik yang sukar diputus atau
dirombak menjadi senyawa yang lebih sederhana, termasuk di dalamnya adalah
bahan organik yang mengandung senyawa lignin, minyak, lemak, dan resin yang
umumnya ditemui pada jaringan tumbuh-tumbuhan; dan bahan organik yang
mudah didekomposisikan karena disusun oleh senyawa sederhana yang terdiri
dari C, O, dan H, termasuk di dalamnya adalah senyawa dari selulosa, pati, gula
dan senyawa protein (Hanafiah, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi bahan organik dapat
dikelompokkan dalam tiga grup, yaitu 1) sifat dari bahan tanaman termasuk jenis
tanaman, umur tanaman dan komposisi kimia, 2) tanah termasuk aerasi,
temperatur, kelembaban, kemasaman, dan tingkat kesuburan, dan 3) faktor iklim
terutama pengaruh dari kelembaban dan temperatur (Atmojo, 2003).
Komponen organik tanah adalah residu tumbuhan dan hewan di dalam
tanah pada berbagai tingkat dekomposisi. Kadarnya + 5% dari volume total tanah.
Konsentrasi C organik berkisar dari < 5 g C/Kg tanah (0,5%) hingga >130 g C/Kg
tanah (13 % C) di tanah humus alpin (Histosol dan Mollisol) pada lapisan 0 -10
cm, pada lahan lempung padang pasir (Aridisol). Bahan organik terdiri atas
organisme hidup (10%), akar tanaman (10%) dan humus (80%). Unsur penyusun
utama dari bahan organik tanah adalah C (52 – 58 %), O (34 – 39 %),
H (3,3 – 4,8 %), dan N (3,7 – 4,1%) (Mukhlis dkk, 2011).
Nitrogen (N)
Sumber utama nitrogen untuk tanaman adalah gas nitrogen bebas di udara
yang menempati 78% dari volume atmosfir. Dalam bentuk unsur, nitrogen tidak
dapat digunakan oleh tanaman, sedangkan dalam bentuk gas, agar dapat
digunakan oleh tanaman harus diubah terlebih dahulu menjadi bentuk nitrat atau
amonium (Usman, 2012).
Nitrogen dapat dikatakan sebagai salah satu unsur hara yang bermuatan.
Selain sangat mutlak di butuhkan , ia dengan mudah dapat hilang atau menjadi
tidak tersedia bagi tanaman. Ketidak tersediaan N dari dalam tanah dapat melalui
proses pencucian/terlindi (leaching) NO3Ø , denitrifikasi NO3Ø menjadi N2,
volatilisasi NH4+ menjadi NH3, terfiksasi oleh mineralliat atau dikonsumsi oleh

Universitas Sumatera Utara

mikroorganisme tanah. Bentuk NO3- lah yang selalu terlindi dan mudah larut,
maka dikaji pergerakannya ke permukaan akar agar tidak hilang sehingga
merupakan suatu usaha ke arab efisiensi pemupukan (Mukhlis dan Fauzi, 2003).
Nitrogen adalah komponen utama dari berbagai substansi penting didalam
tanaman. Sekitar 40-50% kandungan protoplasma yang merupakan substansi
hidup dari sel tumbuhan terdiri dari senyawa nitogen. Senyawa nitrogen
digunakan oleh tanaman untuk membentuk asam amino yang akan diubah
menjadi protein. Nitrogen juga dibutuhkan untuk membentuk senyawa penting
seperti klorofil, asam nukleat dan enzim. Karena itu, nitrogen dibutuhkan
dalam jumlah yang relatif besar pada setiap tahap pertumbuhan tanaman,
khususnya pada tahap pertumbuhan vegetatif, seperti pembentukan tunas atau
perkembangan batang dan daun. Memasuki tahap pertumbuhan generatif,
kebutuhan nitrogen mulai berkurang. Tanpa suplai nitrogen yang cukup,
pertumbuhan tanaman yang baik tidak akan terjadi (Hakim, 2009).
Secara alami unsur nitrogen ini dapat tersedia apabila lingkungan kaya
bakteri penambat nitrogen yang biasanya bersimbiosis dengan kelompok tanaman
dari famili Legumonosae. Penambatan nitrogen secara biologis diperkirakan
menyumbang lebih dari 170 juta ton nitrogen ke biosfer pertahun, 80%
merupakan hasil dari simbiosis antara bakteri Rhizobium dengan tanaman
Leguminosae (Prayitno, 2000).
Kekurangan nitrogen dapat menyebabkan seluruh tanaman berwarna pucat
kekuningan, pertumbuhan lambat dan kerdil, perkembangan buah tidak sempurna
dan masak sebelum waktunya. Dalam keadaan kekurangan yang parah daun
menjadi kering dari daun bagian bawah ke bagian atas (Suriatna, 1992).

Universitas Sumatera Utara

Selain itu, kelebihan N juga akan meningkatkan masa vegetatif dan
memperpendek masa generatif yang justru menurunkan kualitas produksi.
Tanaman yang kelebihan N akan menunjukan warna hijau gelap, peka hama
penyakit dan mudah roboh (Winarso, 2005).
Fosfat (P)
Fosfor (P) termasuk unsur hara makro yang sangat penting untuk
pertumbuhan tanaman, namun kandungannya di dalam tanaman lebih rendah
dibanding nitrogen (N), dan kalium (K). Tanaman menyerap P dari tanah dalam
bentuk ion fosfat, terutama H2PO4
tanah. Ion H2PO4

-

-

dan HPO4

2-

yang terdapat dalam larutan

lebih banyak dijumpai pada tanah yang lebih masam,

sedangkan pada pH yang lebih tinggi (>7) bentuk HPO4

2-

lebih dominan. Di

samping ion-ion tersebut, tanaman dapat menyerap P dalam bentuk asam nukleat,
fitin, dan fosfohumat (Novriani, 2010).
Fosfor (P) merupakan unsur penting penyusun adenosin triphosphate
(ATP) yang secara langsung berperan dalam proses penyimpanan dan transfer
energi maupun kegiatan yang terkait dalam proses metabolisme tanaman. Hara P
sangat diperlukan tanaman padi, terutama pada awal pertumbuhan, berfungsi
memacu pembentukan akar dan penambahan jumlah anakan. Di samping itu, P
juga

berfungsi

mempercepat

pembungaan

dan

pemasakan

gabah

(Abdulrachman dan Hasil, 2006).
Dalam hal ini ketersediaan fosfor di dalam tanah sangat tergantung kepada
sifat dan ciri tanah itu sendiri, serta bagaimana pengelolaan tanah itu oleh
manusia. Pertambahan fosfor ke dalam tanah hanya bersumber dari defosit atau
pelapukan batuan dan mineral yang mengandung fosfat. Oleh karena itu

Universitas Sumatera Utara

kandungan fosfor di dalam tanah hanya bersumber dan ditentukan oleh banyak
sedikitnya

cadangan

mineral

fosfor

dan

tingkat

pelapukannya

(Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
Pertambahan fosfor ke dalam tanah hanya bersumber dari defosit atau
pelapukan batuan dan mineral yang mengandung fosfat seperti mineral apatit.
Ketersediaan fosfor di dalam tanah sangat tergantung kepada sifat dan ciri bahan
induk tanah, serta bagaimana pengelolaan tanah itu oleh manusia. Oleh karena itu
kandungan fosfor di dalam tanah hanya bersumber dan ditentukan oleh banyak
sedikitnya

cadangan

mineral

fosfor

dan

tingkat

pelapukannya

(Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
Kalium (K)
Kadar kalium total di dalam tanah pada umumnya cukup tinggi, dan
diperkirakan mencapai 2.6% dari total berat tanah, tetapi kalium yang tersedia
didalam tanah cukup rendah. Pemupukan hara nitrogen dan fosfor dalam jumlah
besar turut besar turut memperbesar serapan kalium dari dalam tanah, ditambah
lagi pencucian dan erosi menyebabkan kehilangan kalium semakin besar
(Musa, dkk, 2006).
Tanaman menyerap ion K+ hasil pelapukan, pelepasan dari situs
pertukaran kation tanah dan dekomposisi bahan organik yang terlarut dalam
larutan tanah. Kadar K-tukar tanah biasanya sekitar 0,5 – 0,6% dari total K tanah.
K-larutan tanah ditambah K-tukar merupakan K yang tersedia dalam tanah.
Ketersediaan K terkait dengan reaksi tanah dan status kejenuhan basa (KB). Pada
pH dan kejenuhan basa yang rendah berarti ketersediaan K juga rendah. Nilai

Universitas Sumatera Utara

kritis K adalah 0,10 me/100 gr tanah (setara 3,9 mg/100 gr) atau sekitar 2-3%
jumlah basa tertukar (Hanafiah, 2005).
Beberapa peran kalium yang perlu diketahui adalah sebagai berikut:
1. Translokasi (pemindahan) gula pada pembentukan pati dan protein.
2. Membantu poses membuka dan menutup stomata (mulut daun).
3. Efisiensi penggunaan air (ketahanan terhadap kekeringan).
4. Memperluas pertumbuhan akar.
5. Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit
tanaman. 6. Memperkuat tubuh tanaman supaya daun, bunga, dan buah tidak
mudah rontok. 7. Memperbaiki ukuran dan kualitas buah pada masa generatif
(Novizan, 2002).
Kekurangan Kalium menyebabkan : pertumbuhan kerdil, daun kelihatan
kering dan terbakar pada sisi-sisinya., menghambat pembentukan hidrat arang
pada biji., permukaan daun memperlihatkan gejala klorotik yang tidak merata,
munculnya bercak coklat mirip gejala penyakit pada bagian yang berwarna hijau
gelap. Kelebihan kalium dapat menyebabkan daun cepat menua sebagai akibat
kadar magnesium daun dapat menurun, kadang-kadang menjadi tingkat terendah
sehingga aktifitas fotosintesa terganggu (Rauf dkk, 2000).
Kahat K disebabkan oleh rendahnya kapasitas pasok K tanah, ketidakcukupan pemberian pupuk K anorganik, pengangkutan semua jerami ke luar
lahan, kecilnya masukan K dalam air irigasi, rendahnya efisiensi penyerapan
pupuk K yang diberikan karena tingginya kapasitas pengikatan atau pencucian K,
kelebihan jumlah bahan-bahan reduksi dalam tanah dengan drainase buruk (misal:
H2S, asam-asam organik, dan Fe2+), menyebabkan pertumbuhan akar, dan

Universitas Sumatera Utara

penyerapan K terhambat, besarnya nisbah Na:K, Mg:K, atau Ca:K dalam tanah,
dan kondisi sodik atau salin, Kelebihan Mg dalam tanah asal batuan ultrabasik,
besarnya konsentrasi bikarbonat dalam air irigasi (Basyuni, 2009).
Tekstur
Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah, ditentukan berdasarkan
perbandingan butir-butir (fraksi) pasir (sand), debu (silt) dan liat (clay). Fraksi
pasir berukuran 2 mm – 50 µ lebih kasar dibanding debu (50 µ - 2 µ) dan liat
(lebih kecil dari 2 µ). Karena ukurannya yang kasar, maka tanah-tanah yang
didominasi oleh fraksi pasir akan melalukan air lebih cepat (kapasitas infiltrasi
dan permeabilitas tinggi) dibandingkan dengan tanah-tanah yang didominasi oleh
fraksi debu dan liat. Kapasitas infiltrasi dan permeabilitas yang tinggi, serta
ukuran butir yang relatif lebih besar menyebabkan tanah-tanah yang didominasi
oleh pasir umumnya mempunyai tingkat erodibilitas tanah rendah. Tanah dengan
kandungan pasir halus (0,01 mm – 50 µ) tinggi juga mempunyai kapasitas
infiltrasi cukup tinggi, akan tetapi jika terjadi aliran permukaan, maka butir-butir
halusnya akan mudah terangkut (Dariah dkk, 2003).
Bila tanah terlalu banyak menggandung pasir, tanah ini kurang baik untuk
pertumbuhan tanaman. Tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan
yang kecil, sehingga sulit untuk menyerap atau menahan air dan unsur hara,
sehingga pada musim kemarau mudah kekurangan air. Tanah yang banyak
mengandung debu lebih kuat memegang air dibandingkan dengan tanah berpasir
karena pori-por