Migrasi pada Domain Kedalaman Depth Migration Kawasan

Offset 1 Offset kedua Offset ketiga Offset Offset Offset CMP 2. Menjumlahkan semua offset stack. Aliran kerja ini menguntungkan karena langkah langkah ini memasukkan tahap untuk analisa kecepatan. Pada gambar berikut digambarkan proses kedua langkah ini yaitu : Pada saat model kecepatan ini sesuai, maka tiap bidang offset termigrasi dengan tepat CRP gather-nya datar dan dapat di-stack secara bersamaan. Gambar 15. Proses Kirchoff Migrasi a Penampang offset yang dimigrasi secara individu; b Gather yang datar setelah Stack Migration. Fagin,2002. Pada saat model kecepatannya salah, CRP Common Reflection Point gather menjadi tidak datar, jika kecepatannya terlalu lambat maka kurvanya akan membentuk pola “smiling”, dan sebaliknya jika terlalu cepat maka kurvanya membentuk pola “frowning”. Gambar 16. CRP gather yang kecepatannya ∫a terlalu rendah over corrected, b terlalu tinggi under corrected. Fagin,2002. III.10. Constrained Velocity Inversion Kami memperkenalkan metode inversi stabil untuk membuat kecepatan sesaat yang dibatasi secara geologi dari serangkaian stacking sparse wavelet yang tidak umum atau fungsi RMS yang dipick vertikal. Secara umum, metode ini didesain untuk membentuk model kecepatan yang optimal untuk curve raypath PSTM dan initial model untuk PSDM serta Grid Based Tomography. Metode ini dapat diterapkan di daerah yang mengandung sedimen yang kompak, dimana kecepatan meningkat seiring bertambahnya kedalaman dan secara lateral bervariasi. Proses inversi dapat dibagi menjadi 3 tahap: Menentukan trend model kecepatan secara global, menerapkan inversi terbatas dan pemetaan yang tepat. Awalnya, trend kecepatan diasumsikan sebagai eksponensial yang asimtot dibatasi fungsi lokal berdasarkan 3 parameter di setiap sumbu lateral. Hal ini dihitung dari referensi datum yang normalnya sebagai bawah permukaan laut survei laut atau topografireferensi lain di survei darat. Di setiap sumbu, trend awal didefinisikan dari serangkaian fungsi vertikal yang termasuk dalam area pre- defined yang mempengaruhinya. Pick kecepatan dihubungkan dengan batuan non Offset Offset sedimen seperti kubah garam atau basal, sehingga membutuhkan fungsi trend yang berbeda dan oleh karena itu diperlakukan berbeda pula. Inversi dilakukan di setiap fungsi vertikal RMS dan kemenerusan secara lateral dan vertikal dikontrol oleh fungsi trend global. Akhirnya, pemetaan serta smoothing dilakukan untuk mendapatkan kecepatan sesaat, bergantung grid yang baik dalam ruang dan waktu. Metode ini cukup stabil dan masuk akal untuk model kecepatan yang disesuaikan dengan geologi dan dapat diterapkan untuk survei 3D, single line 2D, atau multi- line 2D. Dix tahun 1955 membuat algoritma untuk menentukan kecepatan interval dari picked RMS atau stacking kecepatan yang berhubungan dengan waktu tempuh : Dimana V int adalah kecepatan interval, V rms B dan V rms A adalah kecepatan RMS pada permukaan bawah dan atas lapisan, dan TB dan TA adalah waktu tempuh. Distribusi kecepatan sesaat diasumsikan konstan dengan ketidakmenerusan lapisan. Sebenarnya, hasil persamaan Dix dalam kecepatan RMS lokal lebih besar dari kecepatan interval Hurbal dan Krey, 1980. Penjelasannya adalah pada persamaan di atas, terdapat kecepatan yang tidak realistis dan sangat berosilasi tumpang tindih bahkan untuk variasi stacking yang relatif kecil ataupun pada kecepatan RMS. Landa 1991 mempelajari ketidakpastian dalam kecepatan interval dan menentukan kedalaman sebagai pendekatan intens suatu lapisan secara umum, menghitung error lokal yang terhubung dalam lapisan tersebut, serta error global yang dihubungkan dengan overburden. Terdapat korelasi negatif dalam A B A A B B B A T T T Vrms T Vrms V - - = - int 2 2 2 menentukan kecepatan dua lapisan, jika didapatkan error besar untuk lapisan a maka error lapisan b akan berkebalikan tanda dan secara bertahap mengkompensasi error sebelumnya. Hal ini menyebabkan osilasi dalam profil kecepatan vertikal. Keakuratan estimasi kecepatan interval penting untuk teknik pencitraan seperti migrasi waktu, kedalaman dan inversi. Oleh karena itu, sejumlah pendekatan implisit telah dikembangkan untuk inversi transformasi Dix, dimana nilai v error tunggal dari stacking kecepatan, tidak mudah merusak hasil seluruh inversi. Metode ini umumnya disebut Constrained Velocity Inversion. Harlan 1999 menemukan algoritma solusi global untuk satu set fungsi vertikal yang menerapkan kuadrat terkecil. Untuk beberapa data yang buruk, sebagian besar diabaikan ketika bertentangan dengan nilai-nilai neighbour. Damping diterapkan untuk menghindari ketajaman trace yang tidak perlu dalam memperkirakan kecepatan interval. Dalam studi ini, kami mengusulkan skema komputasi yang akurat dan cepat untuk pembatasan inversi kecepatan. Fitur utama dari metode ini adalah fungsi karakteristik trend, dimana awalnya didekati dengan fungsi asimtot yang dibatasi eksponensial dan perhitungan iteratif disesuaikan. Inversi kecepatan sesaat seharusnya tidak hanya cocok dengan kecepatan RMS yang diberikan, tetapi juga mendekati dengan nilai trend. Mengikuti pendekatan konvensional yang banyak digunakan, kami juga memecahkan masalah inversi dengan fit kuadrat terkecil. Fit kecepatan RMS dan fit kecepatan trend memiliki pembobot yang berbeda dalam fungsi cost. Untuk input data buruk, pembobotan kecepatan RMS secara otomatis berkurang, sehingga menghasilkan output yang stabil dan kejadian geologi yang masuk akal. Kebanyakan algoritma inversi kecepatan, baik dibatasi dan tidak dibatasi, diasumsikan sebagai piecewise kecepatan sesaat terus menerus, Parameter yang tidak diketahui adalah kecepatan sesaat pada titik-titik grid vertikal yang kita asumsikan berbeda jenis. Distribusi kecepatan sesaat diasumsikan piecewise, konstan dengan diskontinuitas pada antar lapisan. Sebenarnya, hasil persamaan Dix dalam kecepatan RMS lokal Hurbal dan Krey, 1980 memiliki solusi eksplisit yang ditunjukkan oleh Persamaan. 1 dengan mudah menghasilkan kecepatan non-realistis dan berosilasi, bahkan untuk variasi yang relatif kecil dalam penentuan kecepatan RMS. Landa et al 1991 mempelajari ketidakpastian dalam kecepatan interval dan perkiraan kedalaman dengan pendekatan lapisan umum, menghitung lokal eksponensial yang dibatasi sebagai fungsi kecepatan yang asimtotik, kemudian mendekati batas yang telah ditentukan pada kedalaman globalnya Ravve dan Koren, 2004. Fungsi ini ditandai oleh tiga parameter: kecepatan sesaat dan gradien vertikal pada antar lapisan ground topografi, dasar laut atau bentuk geologi yang lainnya dan nilai asimtotik. Inversi ini kemudian dilakukan secara individual untuk setiap fungsi vertikal, mengakibatkan kecepatan sesaat vs waktu di lokasi lateral yang jarang dan tidak teratur dari fungsi vertikal. Akhirnya, kami menerapkan algoritma pemetaan yang kuat, didasarkan pada analogi mekanik. III.11. Prinsip Tomography Model bawah permukaan 2D mengandung sejumlah perlapisan yang dipisahkan oleh reflektor lapisan. Waktu rambat disepanjang sinar diberikan oleh persamaan : t = ∫ ray S L dl Keterangan : S L = Medium slowness kelambatan dl = Panjang sinar didalam sel Perubahan didalam waktu rambat diberikan oleh Farra dan Madariaga : δt = ∫ ray δS L dl + ∑ ∆P δZ i Keterangan : ∆P = Perubahan pada kelambatan vertikal dari sinar antara titik langsung di bawah dan diatas bidang batas ke-i δS L = Error pada slowness δZ i = Error pada koordinat vertikal dl = Panjang sinar dalam sel Ada tiga aplikasi penting dari prinsip tomografi ini : 1. Untuk mengoreksi dari error migrasi kedalaman ke error waktu di sepanjang sinar CRP 2. Metoda migrasi prestack menghasilkan keluaran refleksi dari perlapisan yang terpusat 3. Perhitungan didalam tomografi matriks Error kedalaman pada migrasi CRP dapat dikonversi kedalam error waktu disepanjang sinar CRP. Pasangan sinar yang muncul dari CRP pasangan sinar ini mengikuti hukum Snellius. Gambar 17. Konversi dari error kedalaman menjadi error waktu Pujiono,2009 Ketika sinar A berpindah secara vertikal sebesar, maka perubahan yang dihasilkan pada travel time dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan persamaan, yakni : δt = ∆P Z δ Z Jika perubahan diskalakan kedalam satuan unit yang berdasar kepada : δ Z = C δZ ⁄ 2 δ t = cos θ 1 + cos θ 2 2 δτ ∆P Z = cos θ 1 + cos θ 2 C Keterangan : δ Z = Perbedaan kedalaman image lapisan dengan kedalaman referensi δ t = Perubahan travel time C = Kecepatan diatas bidang batas θ 1,2 = 1,2 merupakan sudut datang atau sinar yang muncul Gambar 18 merupakan penggambaran skematik tomography. Pada bagian ini tiap subsurface terdiri atas beberapa bagian dari lapisan-lapisan model dan tiap lapisan terdiri dari deret sel atau matrix tomography. Nilai delay, untuk sebuah source- receiver offset pada sebuah lokasi CRP, didefinisikan oleh analisis residual moveout. Pola lintasan sinar melintasi model yang ditunjukkan untuk lokasi CRP dan offset. Tiap sel lapisan berasosiasi dengan pola lintasan. Warna abu-abu menunjukkan identifikasi raypath transits. Dengan informasi yang baik mengenai lokasi CRP dan offset-nya, prosedur tomography memberikan nilai turunan dari traveltime delay atau kemajuan dalam hal ini perubahan kecepatan yang dibutuhkan dalam setiap sel. Perubahan total traveltime yang ada identik dengan depth gather residual moveout. Gambar 18. Penggambaran skematik penggunaan ray tracing dalam tomographic updating Fagin, 1999 III.12. Grid Based Tomography Tomografi pada migrasi kedalaman adalah sebuah metode untuk menyempurnakan model kecepatan saat migrasi kedalaman yang dilakukan dengan model kecepatan yang salah. Tingkat ketidakdataran adalah ukuran kesalahan dalam model. Tomografi menggunakan ukuran ketidak dataran residual moveout ini sebagai upaya untuk menemukan model alternatif yang akan meminimalkan kesalahan. Sebuah fitur penting dari tomografi, dibandingkan dengan Layer Stripping, adalah pendekatan global. Tomografi mempunyai atribut kesalahan dalam waktu di satu lokasi ke lokasi kesalahan untuk kecepatan dan kedalaman di lokasi lain. Ini mempertimbangkan model keseluruhan. Layer Stripping dapat mengakibatkan akumulasi kesalahan pada bagian dalam dari section ketika ada kesalahan di bagian dangkal. Tomografi dapat mengupdate bagian dangkal dan dalam secara bersamaan. Grid Based Tomography adalah prosedur update kecepatan untuk memperbaiki dan meningkatkan kecepatan awal. Grid Based Tomography menggunakan velocity section sebagai input. Output nya adalah kecepatan yang diperbarui, yang merupakan representasi grid dari model. Kita dapat menggunakan grid berbasis tomografi dimana sulit untuk untuk melakukan picking horizons dan membangun model kedalaman setelah migrasi dengan model kecepatan awal, sebagai contoh ketika bekerja dengan struktur yang kompleks atau kualitas data yang buruk kita dapat menggunakan Grid Based Tomography untuk memperbaiki kecepatan setelah beberapa iterasi di Horizon Based Tomography. Input yang digunakan untuk Grid Based Tomography adalah Residual Moveout Section atau Depth Gather setelah migrasi. Grid Based Tomography tidak memerlukan sebuah model sebagai input. Ini merupakan sebuah keuntungan dibanding Horizon Based Tomography dalam kasus dimana sulit untuk membangun model yang konsisten. Sebagai alternatif, anda dapat mempick event depth section yang ada, bahkan jika itu hanya event dari segmen. Picking ini dilakukan dalam velocity navigator yang berfungsi sebagai pedoman untuk tomografi tersebut. Namun jika Horizon Based model dapat dibangun, kami sarankan anda menggunakannya, karena itu lebih cepat dan memberikan hasil yang lebih baik dengan memperbarui horizon dan velocity secara bersamaan. Input yang dibutuhkan oleh Grid Based Tomography adalah kecepatan inisial, Gathers atau Residual Moveout Section dan Tomography Picks. Output nya adalah Update Velocity Section. Velocity Section dapat diubah menjadi Horizon Model kemudian dapat diperbarui menggunakan Horizon Based Tomography.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1. Hasil Penelitian

V.1.1. Interpretasi Horizon

Pengolahan data pada Pre-Stack Depth Migration PSDM merupakan tahapan lanjutan setelah dilakukannya pengolahan data awal, sehingga masukan data untuk pengolahan data PSDM adalah hasil dari pengolahan sebelumnya yaitu pengolahan PSTM berupa Time Migrated Section TMS. Dimana data TMS pada penelitian ini sebelumnya diolah oleh PT. Elnusa tbk. Gambar 20. Penampang TMS dengan interpretasi horizon Pada penampang seismik tersebut TMS dilakukan picking horizon berdasarkan dari kenampakan amplitudo yang kuat yakni pada trough, karena pada penelitian ini menggunakan polaritas normal SEG, sehingga trough bernilai positif yang ditandai oleh warna putih. Picking horizon ini juga perlu dikoherensikan dengan interpretasi horizon yang dilakukan geologist sebelumnya karena mereka mengacu pada kondisi geologi regional. Kemudian, membuat model struktur sehingga horizon tersebut akan mewakili tiap lapisan yang diberi indikator warna yang berbeda-beda. Selain itu, batas garis hasil picking horizon ini juga mengindikasikan adanya perbedaan kecepatan lapisan, Pada penampang ini diindentifikasi ada 10 lapisan yg memiliki kontras kecepatan secara vertikal. Sehingga pada pemodelan kecepatan nantinya akan mengacu pada lapisan ini.

V.1.2. Pemodelan Kecepatan dan Updating Model Kecepatan

Pada PSDM diperlukan penampang kecepatan dalam domain kedalaman atau kecepatan interval. Dalam proses pemodelannya memerlukan data penampang kecepatan RMS Gambar 22a. Proses transformasi dari model kecepatan RMS ke model kecepatan interval dilakukan dengan metode Constrained Velocity Inversion, yang akan menghasilkan model kecepatan baru yang berupa kecepatan interval inisial awal Gambar 22b. Model kecepatan interval inisial ini kemudian diaplikasikan pada PSDM, dimana hasil dari PSDM dievaluasi kebenaran model kecepatan intervalnya dengan menganalisis data gather Depth Migrated GatherDMG dan semblance residual moveout nya. Jika model kecepatannya benar, DMG-nya akan flat datar atau semblance residual moveout nya memiliki nilai kecil mendekati nol. Perbaikan model dilakukan dengan melakukan refinement horizon yaitu memperbaiki posisi hasil picking horizon yang telah bergeser dengan melakukan automatic picking. Kemudian, meng-update kecepatan dengan menggunakan konsep Grid Based Tomography untuk menentukan kecepatan interval yang paling tepat. Pada penelitian ini perbaikan model kecepatan dilakukan sebanyak 6 kali Gambar 21 Gambar 21. Model kecepatan interval; a tomografi ke 1, b tomografi ke 2, c tomografi ke 3, d tomografi ke 4, e tomografi ke 5, dan f tomografi ke 6 karena model kecepatan interval pada updating ke-6 sudah berhasil mendapatkan DMG yang relatif flat, maka model kecepatan interval ini dianggap sebagai