Identifikasi Dan Desain Primer Diferensial Dua Begomovirus Pada Mentimun Di Jawa Barat Dan Bali

IDENTIFIKASI DAN DESAIN PRIMER DIFERENSIAL DUA
BEGOMOVIRUS PADA MENTIMUN
DI JAWA BARAT DAN BALI

RIZKI HAERUNISA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi dan Desain
Primer Diferensial Dua Begomovirus pada Mentimun di Jawa Barat dan Bali
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2016
Rizki Haerunisa
NIM A352130231

RINGKASAN
RIZKI HAERUNISA. Identifikasi dan Desain Primer Diferensial Dua
Begomovirus pada Mentimun di Jawa Barat dan Bali. Dibimbing oleh GEDE
SUASTIKA dan TRI ASMIRA DAMAYANTI.
Mentimun (Cucumis sativus L.; Cucurbitaceae) merupakan salah satu jenis
sayuran penting di Indonesia. Salah satu pembatas produksinya adalah infeksi
Begomovirus. Beberapa Begomovirus yang menyebabkan penyakit penting secara
ekonomis di Indonesia, diantaranya Pepper yellow leaf curl Indonesia virus
(PYLCIV) pada cabai, Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) pada tomat, dan
Mungbean yellow mosaic India virus (MYMIV) pada kacang panjang, dan pada
mentimun disebabkan oleh Tomato leaf curl New Delhi virus (ToLCNDV) di
Klaten (Jawa Tengah) dan Squash leaf curl China virus (SLCCNV) di Tabanan
(Bali). Kedua Begomovirus pada mentimun ini dapat menginfeksi secara tunggal
maupun ganda di lapangan dengan gejala yang hampir sama, sehingga diagnosis
virus berdasarkan gejala sulit menentukan virus penyebabnya. Oleh karena belum

diketahui insidensi dan penyebaran kedua virus pada mentimun khususnya di
Jawa Barat dan Bali maka perlu dilakukan penelitian terkait deteksi dan
identifikasi Begomovirus pada mentimun dan penyediaan primer diferensial yang
dapat membedakan kedua virus dengan cepat dalam PCR tunggal.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan insidensi penyakit kuning oleh
Begomovirus pada tanaman mentimun di provinsi Jawa Barat dan Bali, dan
mendesain serta menguji primer diferensial yang mampu mendeteksi dan
membedakan dua spesies Begomovirus pada tanaman mentimun. Penelitian
meliputi pengumpulan sampel tanaman mentimun, penentuan insidensi dua
Begomovirus secara serologi dengan DIBA, identifikasi Begomovirus dengan
PCR dan perunutan DNA, desain primer diferensial ToLCNDV dan SLCCNV,
dan evaluasi primer diferensial melalui PCR unipleks maupun dupleks.
Pengamatan gejala dan koleksi sampel terinfeksi Begomovirus diambil dari daerah
Jawa Barat (Sumedang, Sukabumi, Karawang) dan Bali (Tabanan, Klungkung,
Gianyar).
Gejala yang umum ditemukan di lahan antara lain daun klorosis, mosaik
kuning kehijauan, melepuh, daun menguning disertai penebalan tulang daun (vein
banding), tepian daun menggulung kearah atas, dan kerdil. Hasil deteksi serologi
menunjukkan bahwa gejala tersebut disebabkan oleh infeksi ToLCNDV dan
Squash leaf curl virus (SLCV). Seluruh lahan pengambilan sampel didominasi

oleh infeksi ToLCNDV, dengan insidensi penyakit berkisar 28% sampai dengan
100%. SLCV terdeteksi pada pertanaman mentimun di Bali dengan insidensi
penyakit berkisar 42% sampai dengan 80% dan di Jawa Barat yaitu di Karawang
sebesar 56% dan Sumedang sebesar 30%. Infeksi ganda antara ToLCNDV dan
SLCV terdeteksi pada 7 dari 11 pertanaman mentimun yang diamati.
Deteksi molekuler berhasil dilakukan terhadap enam isolat Begomovirus
menggunakan
pasangan
primer
universal
pAV2048/pAC494
yang
mengamplifikasi gen protein selubung dengan amplikon berukuran ±550 pb.
Analisis runutan nukleotida gen protein selubung menunjukkan terdapat tiga
spesies Begomovirus yang menginfeksi pertanaman mentimun di Jawa Barat dan

Bali yaitu ToLCNDV, SLCCNV, dan Ageratum yellows vein virus (AYVV).
Isolat Klungkung, Karawang, Sukabumi, dan Sumedang memiliki homologi
nukleotida tertinggi dengan isolat ToLCNDV asal Klaten, Indonesia (AB613825),
dengan homologi sebesar 97.3%, 97.0%, 96.3%, dan 97.2%. Keempat isolat

ToLCNDV ini termasuk ke dalam ToLCNDV strain “Indonesia”. Isolat Tabanan,
Bali memiliki homologi nukleotida tertinggi sebesar 94.5% dengan isolat
SLCCNV asal Malaysia (EF197940) dan termasuk ke dalam SLCCNV strain
“Cina”. Analisis nukleotida menunjukkan bahwa isolat Gianyar, Bali memiliki
homologi nukleotida tertinggi sebesar 92.1% dengan AYVV asal Indonesia
(AB100305) yang menginfeksi tanaman Nicotiana benthamiana.
Primer diferensial untuk membedakan dua Begomovirus pada tanaman
mentimun berhasil dibuat menggunakan metode semi-manual OligoCalc:
Oligonucleotide Properties Calculator. Pasangan primer T-2F/TS-2R digunakan
untuk mengamplifikasi common region (CR) ToLCNDV dengan amplikon
berukuran ± 600 pb, sedangkan pasangan primer S-2F/TS-2R mengamplifikasi
CR-SLCCNV dengan amplikon berukuran ± 550 pb. Kedua primer tersebut
berhasil mendeteksi ToLCNDV dan SLCCNV isolat Bali dengan baik melalui
PCR unipleks maupun dupleks. Konfirmasi hasil deteksi melalui perunutan DNA
dengan kedua primer dilakukan pada isolat dari Karawang dan Tabanan yang
terdeteksi positif terhadap antiserum SLCV. Hasilnya menunjukkan bahwa DNA
yang berukuran ± 550 pb teridentifikasi sebagai ToLCNDV pada isolat Karawang
dan SLCCNV pada isolate Tabanan. Primer T-2F/S-2F/TS-2R mungkin dapat
dimanfaatkan untuk deteksi cepat ToLCNDV dan SLCCNV dalam satu reaksi
PCR. Namun, primer S-2F/TS-2R terindikasi masih kurang spesifik karena masih

mampu mendeteksi ToLCNDV atau infeksi ganda ToLCNDV dan SLCCNV,
maka dianjurkan hasil deteksi dikonfirmasi dengan perunutan DNA.
Primer diferensial T-2F/S-2F/TS-2R dapat dimanfaatkan dalam deteksi awal
ToLCNDV dan SLCCNV sebagai upaya pengendalian penyakit kuning pada
tanaman mentimun di lapangan. Primer diferensial ini dapat digunakan secara
simultan untuk deteksi infeksi ganda ToLCNDV dan SLCCNV menggunakan
metode PCR dupleks. PCR dupleks menggunakan primer diferensial
menyediakan suatu metode diagnosis yang cepat, sensitif, dan efisien.
Kata kunci: AYVV, primer diferensial, SLCCNV, ToLCNDV.

SUMMARY
RIZKI HAERUNISA. Identification and differential primers design of two
Begomovirus on cucumber plants in West Java and Bali. Supervised by GEDE
SUASTIKA and TRI ASMIRA DAMAYANTI.

Cucumber (Cucumis sativus L.: Cucurbitaceae) is an important vegetable
crops in Indonesia. Begomovirus infection is one of important constraint of
cucumber production in the world. Several Begomovirus (Geminiviridae) which
are cause economically important disease in Indonesia such as Pepper yellow leaf
curl Indonesia virus (PYLCIV) on chilli pepper, Tomato yellow leaf curl virus

(TYLCV) on tomato, Mungbean yellow mosaic India virus (MYMIV) on
mungbean, and on cucumber caused by Tomato leaf curl New Delhi virus
(ToLCNDV) in Klaten (Central Java) dan Squash leaf curl China virus
(SLCCNV) in Tabanan (Bali). The viruses able to infect cucumber in single or
double infection with similar symptoms, leading the difficulty to diagnose the
causal virus. Since the incidence and distribution of Begomovirus on cucumber in
West Java and Bali unkonwn yet, it is necessary to conduct research related with
detection and identification of Begomovirus on cucumber and providing
differential primer to differentiate both virus rapidly in single PCR.
These studies aimed to determine yellow disease incidence of Begomovirus
on cucumber plants in West Java and Bali, and to design and evaluate the
differential primers that can differentiate ToLCNDV and SLCCNV in single PCR
reaction. The research consist of samples collection from several cucumber
cultivations, determination of disease incidence serologically by DIBA,
identification of Begomovirus by PCR and DNA sequencing, construction
differentiate primer for ToLCNDV and SLCCNV, evaluation and validation of the
primer in uniplex and duplex PCR.
Symptom commonly found on cucumber plants are chlorosis, rugose,
upward leaf curling, green yellowing mosaic, yellowing with vein banding, and
stunting. Serological detection showed those symptoms caused by infection

ToLCNDV and Squash leaf curl virus (SLCV). ToLCNDV was detected in
samples from all observation fields with disease incidence ranging from 28% up
to 100%, while the incidence in West Java at Karawang up to 56% and at
Sumedang up to 30%. Mix infection of those Begomoviruses found in 7 of 11
observation fields.
The PCR of six Begomovirus isolates from West Java and Bali using
degenerate primers pAV1049/pAC484 for Begomovirus successfully amplified
the coat protein gene sized ± 550 bp. Based on nucleotide sequences analysis
found that there are three species of Begomovirus on cucumber such as
ToLCNDV, SLCCNV, and Ageratum yellow vein virus (AYVV). Four
ToLCNDV isolates (Karawang, Sukabumi, Sumedang, and Klungkung) had
highest homology up to 97.3%, 97.0%, 96.3%, and 97.2% with ToLCNDV Klaten
isolate from Indonesia, and it considered as “Indonesia” strain. Tabanan isolate
had highest nucleotide homology up to 94.5% with SLCCNV isolate from
Malaysia and considered as “China” strain, whereas Gianyar isolate had highest

nucleotide sequences homology up to 92.1% with AYVV isolate Nicotiana
benthamiana from Indonesia.
Differential primers successfully constructed with semi-manual OligoCalc:
Oligonucleotide Properties Calculator methods and able to differentiate two

Begomovirus that infected cucumber plants. Primer set of T-2F/TS-2R and S2F/TS-2R amplified common region of ToLCNDV and SLCCNV Bali isolate
with DNA amplicon size approximately ± 600 bp and ± 550 bp, respectively.
Confirmation of detection results by DNA sequencing using these primers on
Karawang and Tabanan isolates which positively reacted against SLCV antisera.
The results showed that the ± 550 bp DNA band identified as ToLCNDV for
Karawang isolate and SLCCNV for Tabanan isolate. The primers may work well
by either uniplex or duplex PCR and can be utilized for rapid detection of
ToLCNDV and SLCCNV in single PCR reaction. However, since the primers
pair is indicating less specificity due to able to detect either ToLCNDV or mix
infection of ToLCNDV and SLCCNV, suggested to confirm the detection result
by DNA sequencing.
Differential primers T-2F/S-2F/TS-2R can be used as preliminary detection
of ToLCNDV and SLCCNV to control yellowing disease on cucumber plant in
field. The primers also can be applied to detect double infection of ToLCNDV
and SLCCNV using duplex PCR, simultaneously. Duplex PCR using differential
primers provide a rapid, sensitive, and efficient diagnosis tools.
Keywords: AYVV, specific, nucleotide sequences, SLCCNV, ToLCNDV.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

1

IDENTIFIKASI DAN DESAIN PRIMER DIFERENSIAL DUA
BEGOMOVIRUS PADA MENTIMUN
DI JAWA BARAT DAN BALI

RIZKI HAERUNISA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada

Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

2

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Kikin Hamzah Mutaqin, MSi.

2

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul ini “Identifikasi dan
Desain Primer Diferensial Dua Begomovirus pada Mentimun di Jawa Barat dan
Bali” berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Fitopatologi, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Gede Suastika, MSc selaku
pembimbing pertama atas segala bentuk bimbingan, motivasi, nasihat, dan ilmu
yang diberikan kepada penulis selama menjalani perkuliahan. Terima kasih
penulis ucapkan kepada Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MAgr selaku dosen
pembimbing kedua yang telah sabar membimbing, memberikan masukan,
motivasi, ilmu, pengalaman, kritik, serta dukungan moril kepada penulis dari awal
menjalani penelitian hingga selesai. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir
Kikin Hamzah Mutaqin, MSi selaku dosen penguji luar komisi, Dr Ir Giyanto,
MSi selaku perwakilan Ketua Program Studi Fitopatologi pada ujian tesis, dan
Prof Dr Ir Sri Hendrastuti, MSc yang turut memberikan arahan, masukan, serta
wawasan untuk menyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini. Ungkapan
terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada orang tua Ahmad Rifki, SP
dan Iim Kusniawati, SPd, dan suami M. Rizky Wiguna Utama, ST serta seluruh
keluarga atas limpahan doa, perhatian, kasih sayang, dan semangatnya.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Sari Nurulita, Ni Nengah Putri
Adnyani, I Dewa Made Putra Wiratama, Wayan Sukada, Susanti Mugi Lestari,
Hillda Ayu, Endang Darsini, Prabawati Hyunita, teman-teman Fitopatologi 2013,
rekan-rekan Laboratorium Virologi Tumbuhan yang telah aktif membantu penulis
selama masa penelitian. Semoga Allah memberikan balasan amal baik kepada
mereka semua dengan pahala yang tidak terhingga.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu dan pengetahuan
di masa yang akan datang.

Bogor, November 2016
Rizki Haerunisa

1

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesa Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
3
3
3
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Budidaya dan Penyakit pada Pertanaman Mentimun
Karakter Geminiviridae
Karakter Begomovirus
Tomato leaf curl New Delhi virus (ToLCNDV)
Squash leaf curl China virus (SLCCNV)
Deteksi dan Identifikasi Begomovirus

5
5
5
6
8
9
10

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan Sampel Tanaman Mentimun
Deteksi dan Identifikasi Sampel Mentimun Terinfeksi ToLCNDV dan
SLCCNV
Metode DIBA
Metode PCR
Desain Primer Diferensial ToLCNDV dan SLCCNV
Evaluasi dan Optimasi Primer Diferensial ToLCNDV dan SLCCNV

12
12
12
12
12
13
14
15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Deteksi dan Identifikasi Sampel Mentimun Terinfeksi Begomovirus
Gejala dan Insidensi Penyakit
Deteksi Begomovirus melalui teknik PCR
Analisis runutan nukleotida Begomovirus
Analisis filogenetika Begomovirus pada tanaman mentimun
Desain dan evaluasi primer diferensial ToLCNDV dan SLCCNV
Amplifikasi ToLCNDV dan SLCCNV
Optimasi suhu annealing
Optimasi konsentrasi primer
Sensitifitas primer
PCR Dupleks Begomovirus

17
17
17
19
19
23
24
24
24
25
26
27

2

Aplikasi primer diferensial ToLCNDV dan SLCCNV dalam PCR
Unipleks
29
Konfirmasi hasil deteksi primer differensial dengan perunutan DNA
28
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

33
33
33

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

34
41
53

3

DAFTAR TABEL

1 Primer yang didesain dan digunakan dalam penelitian ini
2 Kombinasi konsentrasi primer untuk optimasi PCR dupleks
3 Insidensi penyakit Begomovirus berdasarkan deteksi serologi dengan
menggunakan DIBA
4 Homologi isolat Tomato leaf curl New Delhi virus (ToLCNDV)
dengan isolat ToLCNDV yang terdapat di GenBank
5 Homologi Squash leaf curl China virus isolat Tabanan-Bali dengan
isolat yang terdapat di GenBank
6 Homologi Ageratum yellows vein virus isolat Bali dengan isolat yang
terdapat di GenBank

16
16
19
21
22
23

DAFTAR GAMBAR
1 Alur kegiatan penelitian “Identifikasi dan konstruksi primer spesifik
dua Begomovirus pada mentimun di Jawa Barat dan Bali”.
2 Gambar 2 Organisasi genom bipartit Begomovirus. CRA : common
region DNA-A, AC1: gen Replication (Rep), AC2: gen Transcriptional
Activator Protein (TrAP), AC3: gen Replication enhancer protein
(REn), AC4: protein yang belum diketahui fungsinya, AV1: gen Coat
Protein (CP), AV2: gen Movement Protein (MP). CRB: common region
DNA-B, BC1: gen Movement Protein (MP), dan BV1: gen Nuclear
Shuttle Protein (Cuong 2007).
3 Posisi primer spesifik ToLCNDV (A) dan SLCCNV (B) pada daerah
common region.
4 Variasi gejala penyakit kuning yang ditemukan di Jawa Barat (a-d) dan
Bali (e-h). (a) mosaik hijau, (b) klorosis, (c) vein banding, (d) rugose,
(e) kuning, (f) mosaik kuning, (g) kerdil, (h) cupping
5 Hasil amplifikasi gen CP Begomovirus menggunakan primer universal
pAv494 dan pAc1048. Lajur M = penanda DNA 1 kb; SM= isolat asal
Sumedang; SK= isolat asal Sukabumi; K= isolat asal Karawang; KA=
isolat asal Klungkung; TA= isolat asal Tabanan; G= isolat asal Gianyar
6 Pohon filogenetika ToLCNDV yang menginfeksi tanaman mentimun di
Jawa Barat dan Bali. Analisis filogenetika menggunakan perangkat
lunak MEGA 6.0 dengan metode Neighbour Joining dengan bootstrap
1000x
7 Pohon filogenetika Squash leaf curl China virus yang menginfeksi
tanaman mentimun di Bali menggunakan perangkat lunak MEGA 6.0
dengan metode metode Neighbour Joining dengan bootstrap 1000x.

4

6
14

17

20

24

24

4

8 Pohon filogenetika Ageratum yellows vein virus yang menginfeksi
tanaman mentimun di Bali menggunakan perangkat lunak MEGA 6.0
dengan metode metode Neighbour Joining dengan bootstrap 1000x.
9 Amplifikasi SLCCNV (A) menggunakan primer tunggal S-2F/TS-2R
dan ToLCNDV (B) dengan T-2F/TS-2R pada suhu annealing 52- 56 oC
10 Optimasi suhu annealing amplifikasi SLCCNV dengan S-2F dan TS2R (A) dan ToLCNDV menggunakan primer T-2F/TS-2R (B) pada
suhu 57 oC – 61 oC. M= penanda DNA 1kb (Thermo Scientific), A=
isolat Ta, B= isolat TT, 1= isolat Pe, dan 2= isolat Ka.
11 Optimasi konsentrasi primer T-2F/TS-2R (kanan) dan S-2F/TS-2R
(kiri) 0.1 µM, 0.2 µM, 0.4 µM, 0.6 µM, 0.8 µM, dan 1.0 µM
12 Optimasi konsentrasi templat primer S-2F/TS-2R (A) dan T-2F/TS-2R
(B) dengan menggunakan 1 ng/µL, 10 ng/µL, 50 ng/µL, 100 ng/µL,
500 ng/µL, dan 1000 ng/µL. M= Penanda DNA 1 kb (Thermo
Scientific)
13 Optimasi sensitivitas primer S-2F/TS-2R (C) dan T-2F/TS-2R (D) dan
melalui pengenceran berseri 100, 10-1 , 10-2, 10-3, 10-4, dan 10-5. M=
penanda DNA 1 kb (Thermo Scientific)
14 Visualisasi PCR multiplex pada gel agarose 2 %. M= penanda DNA 1
kb (Thermo Scientific), A-F, produk PCR yang teramplifikasi oleh
kombinasi konsentrasi primer A-F (Tabel 2).
15 Aplikasi PCR unipleks ToLCNDV menggunakan primer T-2F/TS-2R
(A) dan SLCCNV menggunakan primer S-2F/TS-2R (B). Lajur M =
penanda DNA 1kb; K+ ToLCNDV= Kontrol positif isolat Pe, K+
SLCCNV= Kontrol positif isolat TT, K-= Kontrol negatif
menggunakan templat dH2O; Sk= isolat asal Sukabumi; Sm= isolat asal
Sumedang; K= isolat asal Karawang; Ta= isolat asal Tabanan; Ka=
isolat asal Klungkung; G= isolat asal Gianyar
16 Aplikasi PCR Dupleks menggunakan primer T-2F/S-2F/TS-2R. Lajur
M = penanda DNA 1kb; K+= Kontrol positif isolat Pe; K- = Kontrol
negatif menggunakan templat dH2O; Sk= isolat asal Sukabumi; Sm=
isolat asal Sumedang; K= isolat asal Karawang; Ta= isolat asal
Tabanan; Ka= isolat asal Klungkung; G= isolat asal Gianyar

25
26

26
27

28

28
29

30

30

DAFTAR LAMPIRAN
1 Runutan nukleotidan gen protein selubung isolat Karawang, Sukabumi,
Sumedang, dan Klungkung dengan ToLCNDV dari GenBank
2 Runutan nukleotidan gen protein selubung isolat Tabanan dengan
SLCCNV dari GenBank
3 Runutan nukleotida gen protein selubung isolat Gianyar dengan AYVV
dari GenBank
4 Homologi nukleotida common region (CR) isolat Klungkung,
Karawang, dan Tabanan menggunakan primer diferensial S-2F/ TS-2R
dan T-2F/TS-2R
5 Variasi gejala penyakit kuning dan kondisi lahan pengamatan di Jawa
Barat dan Bali

42
46
49

52
53

5

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Begomovirus merupakan kelompok virus dari famili Geminiviridae
penyebab penyakit yang penting pada beberapa komoditas hortikultura di berbagai
daerah tropis maupun subtropis. Penyakit yang disebabkan oleh Begomovirus di
Indonesia dilaporkan cukup banyak pada beberapa pertanaman hortikultura,
seperti Pepper yellow leaf curl virus (PYLCV) dengan insidensi mencapai 100%,
dan epidemi penyakit terjadi di sentra-sentra produksi cabai di Indonesia terutama
di Pulau Jawa pada tahun 2000 sampai 2003, Tomato yellow leaf curl virus
(TYLCV) mencapai 50-70% di Jawa Barat dan Jawa Tengah (Aidawati et al.
2005; Sulandari et al. 2006), dan Mungbean yellow mosaic India virus (MYMIV)
yang menginfeksi kacang panjang dengan insidensi penyakit 80-100% di Jawa
(Nurulita et al. 2015).
Mentimun (Cucumis sativus L.) merupakan salah satu jenis sayuran dari
famili Cucurbitaceae yang sudah populer ditanam petani di Indonesia. Sejak
tahun 2008, penyakit daun keriting kuning ditemukan pada pertanaman mentimun
di Klaten, Jawa Tengah. Daun mentimun mengalami mosaik hijau kekuningan
disertai penebalan tulang daun. Penyakit tersebut berasosiasi dengan infeksi
Tomato leaf curl New Delhi virus (ToLCNDV) dan telah menyebar ke beberapa
kabupaten lainnya antara lain Bogor, Tegal, Sukoharjo, dan Sleman (Mizutani et
al. 2011; Septariani et al. 2014). Penyakit kuning pada mentimun juga ditemukan
di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Gejala yang timbul yaitu daun menguning
dan adanya penebalan tulang daun (vein banding). Namun, penyebab penyakit
tersebut berbeda dengan yang dilaporkan sebelumnya di wilayah Jawa Barat dan
Jawa Tengah. Penyakit tersebut berasosiasi dengan Squash leaf curl China virus
(SLCCNV) (Wiratama et al. 2015).
Di Indonesia, belum ada laporan mengenai insidensi penyakit maupun
kerugian atau kehilangan hasil akibat infeksi Begomovirus pada tanaman
mentimun di lapangan. ToLCNDV memiliki efisiensi penularan yang cukup
tinggi. Septariani et al. (2014) melaporkan satu ekor kutukebul (Bemisia tabaci)
dapat menularkan ToLCNDV pada tanaman mentimun dengan insidensi penyakit
sebesar 60%, sedangkan penularan SLCCNV menggunakan 3 ekor kutukebul
menyebabkan insidensi penyakit sebesar 100% pada tanaman labu (Cucurbita
moschata) (Maruthi et al. 2007). ToLCNDV dan SLCCNV telah menyebar di
Asia dan Eropa. Keduanya memiliki kisaran inang yang luas, meliputi mentimun,
oyong, labu kuning, belustru, oyong, semangka, melon, labu sayur, kapas, terong,
tomat, tembakau, (Sohrab et al. 2013; Tahir dan Haider 2005; Bella-ong dan Bajet
2007; Ito et al. 2008, Mizutani et al. 2011; Bandaranayake et al. 2014). Insidensi
penyakit akibat SLCCNV mencapai 100% di beberapa negara sehingga
menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar (Riyaz et al. 2013; Ali-Shtayeh
et al. 2014).
Keberadaan ToLCNDV dan SLCCNV dalam satu pertanaman yang sama
berpotensi menyebabkan gejala yang lebih parah di lapangan. Kemampuan
kutukebul untuk dapat menularkan semua spesies Begomovirus pada berbagai
jenis tanaman menjadi masalah serius dan perlu diwaspadai peranannya dalam

2

perkembangan penyakit kuning yang disebabkan oleh kedua virus ini. Infeksi
campuran antar Begomovirus akan mendorong terjadinya rekombinasi dan besar
kemungkinan untuk membentuk strain baru yang lebih ganas di lapangan. Perlu
adanya deteksi sedini mungkin untuk mengetahui keberadaan kedua virus tersebut
sehingga dapat disusun manajemen pengendalian baik terhadap virus tersebut
maupun serangga vektornya.
Beberapa metode deteksi telah dikembangkan dalam pemanfaatan diagnosis
penyakit tumbuhan, terutama yang disebabkan oleh virus tumbuhan. Deteksi
serologi merupakan suatu metode deteksi yang memanfaatkan sifat protein
selubung suatu virus dengan menggunakan antibodi poliklonal maupun antibodi
monoklonal. Metode ini banyak digunakan untuk mendeteksi sampel dalam
jumlah yang banyak. Pepper yellow leaf curl Indonesia virus berhasil dideteksi
menggunakan antibodi poliklonal menggunakan metode ELISA (Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay) dan DIBA (Dot blot Immuno Binding Assay) (Hidayat et
al. 2009). Metode ini juga digunakan untuk deteksi awal Tomato yellow leaf curl
virus pada tanaman kapas dan okra di Mesir (Makhlouf et al. 2015).
Deteksi penyakit yang disebabkan oleh Begomovirus umumnya
menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Deteksi berdasarkan
asam nukleat virus ini banyak digunakan karena memiliki sensitifitas yang tinggi,
spesifik, cepat, dan meminimalisir terjadinya reaksi silang dengan DNA tanaman
seperti yang sering terjadi pada metode serologi. Proses identifikasi Begomovirus
mengandalkan analisis runutan nukleotida genom lengkap, atau membandingkan
runutan sebagian gen dari DNA-A seperti common region (CR), gen coat protein
(CP), dan gen replikasi (rep) (Arguello-Astorga et al. 1994). Beberapa primer
universal yang digunakan dalam deteksi dan identifikasi Begomovirus diantaranya,
PAL1v1978 dan RAR1c715 (Rojas et al. 1993) untuk mendeteksi bagian common
region TLCV (Aidawati et al. 2002), Mungbean yellow mosaic Indian virus
(Nurulita et al. 2015), Tomato leaf curl New Delhi virus pada tanaman mentimun
(Septariani et al. 2014), pasangan primer pAV494/pAC1048 untuk mendeteksi
gen CP Pepper yellow leaf curl virus (PepYLCV) (Sulandari et al. 2006), dan
pasangan primer SPG1 dan SPG2 (Li et al. 2004) untuk mendeteksi sebagian gen
Rep dan TrAp TYLCKaV pada tanaman terung (Kintasari et al. 2013).
Teknik deteksi melalui PCR memiliki kekurangan seperti harga reagen
relatif mahal, dan setiap spesies virus menggunakan proses PCR yang spesifik
sehingga membutuhkan waktu yang lama. Salah satu solusi menghadapi hal
tersebut dengan PCR dupleks. PCR dupleks adalah teknik PCR untuk mendeteksi
virus dengan mengkombinasikan beberapa pasangan primer dalam satu reaksi
amplifikasi (Henegariu et al. 1997, Jeevalatha et al. 2013). PCR dupleks sudah
banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi dan membedakan secara simultan tiga
spesies Begomovirus pada tanaman tomat di Brazil (Fernandes et al. 2010), empat
spesies Begomovirus penyebab penyakit mosaik pada ubi kayu di Afrika (Aloyce
et al. 2013), dan mendeteksi ToLCNDV yang menginfeksi tanaman kentang di
India (Jeevalatha et al. 2013).

3

Perumusan Masalah
Survei yang dilakukan pada pertanaman mentimun Jepang di daerah
Tabanan, Bali ditemukan tanaman yang bergejala daun menguning disertai
penebalan tulang daun. Gejala tersebut diduga terinfeksi kelompok Begomovirus.
Gejala menguning tersebut mirip dengan gejala infeksi ToLCNDV pada tanaman
mentimun lokal di Jawa. Penyebab penyakit kuning pada tanaman mentimun di
Bali berhasil diidentifikasi yaitu SLCCNV. ToLCNDV telah diketahui
menginfeksi tanaman mentimun di Kabupaten Bogor dan Subang (Jawa Barat),
Kabupaten Tegal dan Sukoharjo (Jawa Tengah), serta Kabupaten Sleman (DIY
Yogyakarta) sedangkan SLCCNV diketahui menginfeksi tanaman mentimun di
Kabupaten Tabanan (Bali). Keberadaan kedua virus tersebut perlu diketahui guna
mengetahui sebaran virus sekaligus insidensi penyakit di beberapa daerah lainnya.
Deteksi Begomovirus pada pertanaman mentimun dilakukan melalui teknik PCR
dengan menggunakan primer universal pAC494/ pAV1048 yang mengamplifikasi
gen protein selubung, dilanjutkan dengan proses perunutan DNA untuk
mengetahui identitas spesies Begomovirus. Namun, deteksi dengan menggunakan
primer universal kurang efisien dalam membedakan spesies Begomovirus secara
langsung, terutama pada tanaman yang terinfeksi ganda. Oleh karena itu
dibutuhkan primer yang mampu membedakan ToLCNDV dan SLCCNV secara
spesifik berdasarkan ukuran amplikonnya dalam reaksi PCR yang lebih cepat dan
efisien.
Tujuan Penelitian
1.
2.

Penelitian ini bertujuan untuk :
Menentukan insidensi penyakit kuning oleh Begomovirus pada tanaman
mentimun di provinsi Jawa Barat dan Bali, dan
Mendesain serta menguji primer diferensial yang mampu mendeteksi dan
membedakan ToLCNDV dan SLCCNV pada tanaman mentimun.
Hipotesa Penelitian

1. Kedua spesies Begomovirus yaitu ToLCNDV dan SLCCNV diduga sudah
ditemukan di Jawa Barat dan Bali.
2. Primer diferensial diduga mampu membedakan dua Begomovirus untuk
deteksi cepat.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi insidensi penyakit
dan sebaran yang disebabkan oleh Begomovirus pada tanaman mentimun, dan
primer diferensial untuk deteksi cepat mampu membedakan ToLCNDV dan
SLCCNV dalam satu reaksi PCR.

4

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terbagi atas dua kegiatan utama yaitu deteksi dan identifikasi
Begomovirus pada mentimun, dan desain primer diferensial dua Begomovirus
pada mentimun yang dilakukan mengikuti alur penelitian sebagai berikut.
Survei dan pengambilan sampel mentimun
terinfeksi Begomovirus di Jawa Barat dan Bali

Deteksi dan Identifikasi
Begomovirus pada mentimun






Kegiatan Pokok
Deteksi serologi-DIBA
PCR
Perunutan DNA
Analisis nukleotida

 Insidensi Begomovirus di
Jawa Barat dan Bali
 Identitas genetik Begomovirus
 Keragaman genetik
Begomovirus
 Publikasi ilmiah
: : Topik penelitian

Desain primer diferensial dua
Begomovirus pada mentimun
secara in silico




Kegiatan Pokok
Desain primer diferensial
Evaluasi dan optimasi primer
dalam deteksi PCR

 Tersedianya primer
diferensial Begomovirus yang
dapat mendeteksi ToLCNDV
dan SLCCNV dalam satu
reaksi PCR
 Publikasi ilmiah
: Luaran penelitian

: Kegiatan penelitian

Gambar 1

Alur kegiatan penelitian “Identifikasi dan desain primer diferensial
dua Begomovirus pada mentimun di Jawa Barat dan Bali”.

Luaran tidak langsung penelitian berupa publikasi ilmiah pada kegiatan
pertama berjudul “Deteksi dan identifikasi Begomovirus penyebab penyakit
kuning pada mentimun di Jawa Barat dan Bali” dipublikasikan pada Jurnal
Hortikultura Indonesia (Vol. 7, No. 1 - April 2016), sedangkan publikasi kedua
berjudul “Desain primer diferensial dua Begomovirus pada tanaman mentimun
“ akan dipublikasikan pada Jurnal Hortikultura (Badan Litbang Pertanian).

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Budidaya dan Penyakit pada Pertanaman Mentimun
Mentimun (Cucumis sativus L.) merupakan tanaman asli yang berasal dari
Benua Asia, yaitu India dan Myanmar, juga ditemukan berasal dari dataran Cina.
Mentimun mulai dibudidayakan di Asia 3000 tahun yang lalu. Mentimun
termasuk ke dalam famili Cucurbitaceae, disebut juga sebagai timun (Jawa),
bonteng (Sunda), dan cucumber (Inggris). Mentimun sehat untuk dikonsumsi
karena mengandung banyak nutrisi. Mentimun mengandung 96% air, rendah
kalori, kandungan potasium yang tinggi, mengandung vitamin A, K, dan C.
Mentimun yang berwarna hijau dipilih konsumen untuk dikonsumsi langsung, dan
mentimun yang berwarna hijau terang banyak digunakan untuk acar (Rubatzky
dan Yamaguchi 1997).
Produksi mentimun terpusat di Asia yaitu 70% dari total produksi dunia,
dimana 42% produksi mentimun berasal dari Cina. Eropa menyumbang total
produksi mentimun dunia sebanyak 17%. Negara produksi mentimun paling
tinggi di Eropa yaitu Belanda dengan produktivitas 514 ton/ha per tahun dengan
melakukan budidaya yang intesif di rumah kaca. Jepang, Spanyol, dan Korea juga
menyumbangkan jumlah produksi yang signifikan dari budidaya yang dilakukan
di rumah kaca (Rubatzky dan Yamaguchi 1997). Di Indonesia, produktifitas
mentimun sebesar 10.43 ton/ha pada tahun 2015, meningkat dari tahun
sebelumnya yaitu sebesar 9.84 ton/ha.
Salah satu faktor pembatas produksi mentimun adalah adanya gangguan dari
organisme pengganggu tumbuhan. Beberapa penyakit yang diketahui menjadi
masalah pada tanaman mentimun di Indonesia diantaranya embun bulu
(Pseudoperonospora cubensis), bercak daun (Alternaria cucumerina), bercak
daun bersudut (Pseudomonas lachrymans), antraknosa (Colletotrichum
orbicularie), layu bakteri (Erwinia tracheiphila), layu Fusarium (Fusarium
oxysporum), bintil akar (Meloidogyne spp.), dan penyakit yang disebabkan oleh
virus (Prabowo 2009). Virus yang diketahui menginfeksi mentimun diantaranya
Cucumber mosaic virus, Papaya ringspot virus (PRSV), Squash mosaic virus
(SqMV), Watermelon mosaic virus (WMV), dan Zucchini yellow mosaic virus
(ZYMV), Pepper vein yellow virus (PeVYV) (Laili 2015; Nyana IDN et al. 2016).
Karakter Geminiviridae
Begomovirus adalah virus yang tergolong ke dalam famili Geminiviridae.
Virus dari kelompok ini memiliki partikel kembar (geminate), berbentuk
ikosahedral berukuran 22 x 38 nm, mengandung 110 subunit protein selubung,
dan asam nukleat berupa DNA utas tunggal. Kelompok virus ini diklasifikasikan
berdasarkan organisasi genom, serangga vektor, dan kisaran inangnya. Replikasi
Geminiviridae diinisiasi dengan pembentukan utas ganda DNA (double stranded
DNA replicative form) menggunakan mekanisme khusus yang disebut Rolling
Circle Replication (King et al. 2012).
Menurut International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV),
Geminiviridae terdiri atas 7 genus, yaitu Mastrevirus, Curtovirus, Topocuvirus,

6

Becurtovirus, Eragrovirus, dan Turncurtovirus memiliki genom monopartit,
kecuali Begomovirus memiliki genom monopartit atau bipartit (Varsani et al.
2014). Mastrevirus dan Curtovirus dapat ditularkan melalui wereng daun secara
persisten non propagatif. Mastrevirus memiliki kisaran inangnya berbatas pada
tanaman Poaceae (Gramineae), kecuali Tobacco yellow dwarf virus, Bean yellow
dwarf virus yang mampu menginfeksi tanaman Solanaceae dan Fabaceae,
sedangkan Curtovirus mampu menginfeksi 300 spesies dalam 44 famili kelompok
tanaman dikotil. Topocuvirus dapat ditularkan melalui wereng pohon Micrutalis
malleifera, menginfeksi tanaman dikotil, dan gulma. Genus ini hanya memiliki
anggota 1 spesies virus yaitu Tomato pseudo-curly top virus, dan hanya dapat
ditemukan di Amerika serikat bagian tenggara. Begomovirus umumnya ditularkan
melalui kutukebul Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae) secara persisten dan
memiliki kisaran inang yang sangat luas. Begomovirus merupakan genus virus
yang paling banyak anggota diantara genus Geminiviridae lainnya (Brown et al.
2012).
Karakter Begomovirus
Begomovirus merupakan genus virus paling merusak secara ekonomi
diantara anggota Geminiviridae lainnya. Penyakit mosaik pada singkong
menyebabkan kehilangan hasil lebih dari 1.5 miliar USD per tahun di Afrika
(Thresh et al. 1994). Cotton leaf curl virus (CLCuV) menjadi ancaman serius bagi
perkebunan kapas di Pakistan, dengan kehilangan hasil mencapai 80% dan area
terinfeksi CLCuV meluas dari 60 ha menjadi 900 000 ha pada tahun 1993-1994
(Ali et al. 1995). Di Indonesia, Pepper yellow leaf curl virus (PYLCV)
menyebabkan insidensi penyakit daun keriting kuning mencapai 100% dan
epidemi penyakit terjadi di sentra-sentra produksi cabai di Indonesia terutama di
Pulau Jawa pada tahun 2000 sampai 2003 (Sulandari et al. 2006).

Gambar 2 Organisasi genom bipartit Begomovirus. CRA : common region DNAA, AC1: gen Replication (Rep), AC2: gen Transcriptional Activator
Protein (TrAP), AC3: gen Replication enhancer protein (REn), AC4:
protein yang belum diketahui fungsinya, AV1: gen Coat Protein (CP),
AV2: gen Movement Protein (MP). CRB: common region DNA-B,
BC1: gen Movement Protein (MP), dan BV1: gen Nuclear Shuttle
Protein (Cuong 2007).
Begomovirus memiliki genom berbentuk sirkuler bipartit yang terdiri atas
dua komponen DNA utas tunggal yaitu DNA-A dan DNA-B, berukuran masingmasing 2.5 sampai 2.6 kb (New World) (Gambar 2), atau monopartit yang
memiliki genom tunggal menyerupai DNA-A (Old World) berukuran 3 kb. DNA-

7

A berperan dalam proses replikasi dan pembentukan partikel virus, sedangkan
DNA-B berperan dalam perpindahan dan pergerakan virus di dalam sel tumbuhan.
DNA-A dan DNA-B memiliki 200 basa nukleotida yang identik pada kedua DNA
yang disebut daerah common region. Common region mencakup struktur stem
loop yang mengandung nonanukleotida TAATATTAC dan bersifat conserved
pada genom semua genus dari famili Geminiviridae.
Komponen DNA-A mengandung 5 atau 6 open reading frames yang
mengkodekan protein selubung untuk pembentukan partikel virus (CP/AV1),
pergerakan virus di dalam tumbuhan (MP/AV2), replikasi DNA (Rep/AC1),
aktivator transkripsi virus (TrAP/AC2), pengkondisian replikasi virus (REn/AC3),
dan protein C4 yang belum diketahui fungsinya. Komponen DNA-B mengandung
2 ORF yang mengkodekan Nuclear Shuttle Protein (NSP/BV1) yang berperan
dalam pergerakan virus dari inti sel ke dalam sitoplasma, dan Movement protein
(BC1) yang berperan dalam perpindahan virus antar sel tumbuhan (King et al.
2012; Sattar 2012).
Beberapa anggota Begomovirus memiliki genom monopartit, yaitu hanya
mengandung komponen genom tunggal yang menyerupai DNA-A bipartit. Virus
dengan genom monopartit berasosiasi dengan satelit kecil yaitu alphasatellite dan
betasatellite sehingga mampu menginduksi penyakit di lapangan. Alphasatellite
diketahui menyebabkan penurunan titer virus sehingga virus lebih lama bertahan
pada tanaman inangnya (Briddon et al. 2004). Betasatellite berperan dalam
patogenisitas, induksi gejala pada tanaman, penekan PTGS (post-transcriptional
gene silencing), dan terlibat dalam perpindahan virus di dalam tanaman (Briddon
et al. 2003). Anggota Begomovirus dengan genom monopartit diantaranya
Ageratum yellow vein virus, Cotton leaf curl Multan virus, dan Tomato yellow leaf
curl virus (Briddon et al. 2000; Saunders et al. 2000).
Begomovirus ditularkan secara efektif melalui penyambungan dan serangga
vektor. PYLCIV dapat ditularkan melalui penyambungan dengan persentase
71.4% pada tanaman cabai. Jenis tanaman dan kompatibilitas antara jenis tanaman
donor dan resipien sangat mempengaruhi keberhasilan penularan Begomovirus
melalui penyambungan (Rusli et al. 1999). Kutukebul B. tabaci merupakan
serangga fitofag yang menjadi ancaman serius terhadap pertanaman hortikultura.
Serangga dari famili Aleyrodidae, ordo Hemiptera ini memiliki kisaran inang
yang sangat luas. B. tabaci merupakan vektor dari 111 spesies virus tumbuhan
dari genus Begomovirus, Closterovirus, Nepovirus, Carlavirus, Ipomovirus, dan
virus dengan partikel berbentuk batang kaku dan asam nukleat berupa DNA
(Markham et al. 1994). Serangga ini merupakan spesies kompleks terdiri atas 20
biotipe, dua diantaranya yaitu biotipe B dan Q yang dominan dan paling
berbahaya sebagai serangga penular Begomovirus. Kutukebul dan Begomovirus
memiliki hubungan biologis yang spesifik sehingga dapat menginfeksi tumbuhan.
Kutukebul menularkan Begomovirus secara persisten non propagatif, artinya virus
masuk ke dalam tubuh serangga vektor, bersirkulasi pada hemolimf, namun tidak
memperbanyak diri di dalam tubuhnya (Brown dan Czosnek 2002).
Kutukebul tidak langsung menginokulasikan Begomovirus segera setelah
mengakuisisi virus dari jaringan tumbuhan. Partikel virus masuk bersama cairan
tumbuhan melalui stilet ke dalam esofagus. Makanan masuk ke dalam filterchamber, kemudian nutrisi beserta virus akan diserap. Virus diserap menjadi
bagian spesifik pada sepanjang daerah anterior mesenteron, kemudian virus keluar

8

dari sel ke hemolimf serangga, dan akhirnya menyebar ke dalam kelenjar ludah.
Virus disekresikan bersama saliva selama proses makan (Hunter et al. 1998).
Virus tidak dapat langsung ditularkan setelah makanan diserap oleh saluran
pencernaan. Begomovirus membutuhkan waktu untuk bisa menyelesaikan siklus
sirkulasinya, yang disebut periode laten. Periode laten adalah waktu yang
dibutuhkan sejak proses makan pada tanaman yang terinfeksi sampai mampu
ditularkan ke tanaman sehat lainnya. Periode laten memang tidak menunjukkan
kecepatan translokasi virus namun menjelaskan waktu yang dibutuhkan kutukebul
untuk mengakumulasi virus dalam jumlah yang cukup untuk mampu
menularkannya ke tanaman sehat. Tomato yellow leaf curl Sardinia virus
membutuhkan periode laten minimum 17 jam (Caciagli et al. 1995), sedangkan
pada Squash leaf curl virus, periode laten yang dibutuhkan minimal 19 jam
(Cohen et al. 1983).
Beberapa Begomovirus dapat ditularkan secara mekanis. Hal ini bersifat
inang terbatas, artinya sebagian virus hanya dapat diinokulasikan secara mekanis
pada beberapa tanaman uji saja. Tomato leaf curl Karnataka virus dapat
ditularkan secara mekanis pada tanaman tomat (Solanum lycopersicum), tembakau
(Nicotiana benthamiana), dan N. tabacum (Chatchawankanphanich dan Maxwell
2002). Chakraborty et al. (2003) melaporkan Tomato leaf curl Gujarat virus dapat
ditularkan melalui inokulasi mekanis ke tanaman tomat, cabai, N. benthamiana,
dan N. tabacum. Tomato leaf curl New Delhi virus pada tanaman Luffa cylindrica
dapat diinokulasikan secara mekanis dengan persentase keberhasilan mencapai
90% ke tanaman labu dan gambas (Sohrab et al. 2013).
Begomovirus memiliki kisaran inang yang luas, yaitu tanaman famili
Solanaceae, Cucurbitaceae, Leguminoceae, Brassicae, Malvaceae, berbagai gulma,
dan lainnya. Selain ToLCNDV, anggota Begomovirus lain yang menginfeksi
tanaman mentimun antara lain Tomato yellow leaf curl virus (Anfoka et al. 2009),
Croton yellow vein mosaic virus, Tomato leaf curl Karnataka virus (Suresh et al.
2013), Squash leaf curl virus (Sohrab et al. 2010), Squash leaf curl China virus
(Tahir et al. 2010), Bitter gourd yellow vein virus, dan Cucurbit leaf crumple virus
(Brown et al. 2002).
Tomato leaf curl New Delhi virus (ToLCNDV)
Tomato leaf curl New Delhi virus merupakan patogen penyebab penyakit
daun keriting pada sejumlah tanaman hortikultura, terutama pada famili
Solanaceae dan Cucurbitaceae. Virus ini telah tersebar luas di India (Sohrab et al.
2013), Pakistan (Tahir dan Haider 2005), Fillipina (Bella-ong dan Bajet 2007),
Thailand (Ito et al. 2008), Indonesia (Mizutani et al. 2011), dan Sri Langka
(Bandaranayake et al. 2014). Di India, virus ini menginfeksi berbagai tanaman
cucurbit, diantaranya pare, mentimun, kemarungan (baby watermelon), labu
kuning, belustru, oyong, semangka, melon, dan labu sayur. Sedangkan di Thailand,
ToLCNDV menginfeksi labu air, mentimun, dan melon. Di Indonesia, ToLCNDV
pada tanaman mentimun mampu menginfeksi mentimun, melon, semangka, labu,
gambas, dan tidak dapat menginfeksi tanaman Leguminoceae (Septariani 2014).
Di Indonesia, gejala infeksi ToLCNDV pada pertanaman mentimun
(Cucumis sativus) antara lain mosaik kuning cerah, daun keriting, mengecil,
melepuh, menguning, dan mosaik hijau muda. Gejala daun keriting dengan bagian
tepi daun melengkung ke atas dan beberapa ditemukan adanya malformasi daun

9

dan daun yang melepuh (Mizutani et al. 2011; Septariani 2014). Labu (Cucurbita
moschata) yang diinfeksi oleh ToLCNDV menunjukkan gejala daun keriting,
menggulung kearah atas daun, klorosis, menguning, dan menyebabkan tanaman
menjadi kerdil sehingga tanaman tidak dapat memproduksi bunga dan buah
(Phaneendra et al. 2012). Tiwari at al. (2010) melaporkan bahwa di India,
tanaman pare (Momordica charantia) terinfeksi ToLCNDV dengan insidensi
penyakit mencapai 10-20%. Gejala yang ditunjukkan antara lain daun menguning
kemudian daun mengeriting, dan juga mengalami penebalan tulang daun (vein
banding).
Insidensi dan penyebaran penyakit tidak terlepas dari peranan serangga
vektor sebagai agen penyebar penyakit. B. tabaci merupakan serangga ideal
sebagai vektor Begomovirus karena reproduksi yang tinggi, kemampuannya untuk
menyebar jauh, dan bersifat obligat pada tanaman tertentu. Satu imago B. tabaci
sudah dapat menularkan ToLCNDV pada tanaman mentimun dengan insidensi
penyakit sebesar 60%. Insidensi penyakit ToLCNDV mencapai 86.67% dengan
menggunakan 10 dan 20 kutukebul (Septariani 2014). Sohrab et al. (2013)
melaporkan bahwa satu serangga vektor B. tabaci mampu menyebabkan infeksi
pada tanaman oyong sebesar 90%. Semakin tinggi populasi serangga vektor maka
akan semakin tinggi insidensi penyakit di lapangan. Menurut Glick et al. (2009),
serangga vektor betina (B. tabaci) lebih efisien dalam menularkan TYLCV
(±95%) dibandingkan serangga jantan (±25%). ToLCNDV dapat bertahan pada
tanaman gulma yaitu Eclipta prostrata (Haider et al. 2006) dan Croton
bonplandianum (Reddy et al. 2005). ToLCNDV menginfeksi pertanaman tomat
lebih dari satu dekade, dan berkembang semakin parah. Rekombinasi dan
pseudorekombinasi terjadi akibat infeksi ganda di lapangan akan menciptakan
spesies Begomovirus yang baru yang lebih virulen (Tiwari et al. 2010).
Squash leaf curl China virus (SLCCNV)
Squash leaf curl virus pertama kali dilaporkan menginfeksi tanaman
Cucurbita maxima di California pada akhir 1970-an. Virus ini menyebabkan 4856 ha lahan C.maxima dan C. moschata hancur pada tahun 1977-1978. Gejala
yang ditimbulkan antara lain daun keriting, menguning, penebalan tulang daun,
dan tanaman menjadi kerdil. Virus yang menyerang pada fase pembibitan atau
sebelum terbentuk empat daun sejati maka tidak akan terjadi pembungaan maupun
pembuahan (Flock dan Mayhew 1981). Squash leaf curl virus (SLCV) merupakan
virus yang menginfeksi tanaman pada New World, dan berhasil menetap dan
menginfeksi tanaman Cucurbitaceae pada Old World. SLCV pertama kali
ditemukan di Israel tahun 2002 dan menjadi epidemik pada tahun 2003. SLCV
kemudian ditemukan menginfeksi tanaman Cucurbitaceae di Vietnam, Mesir,
Yordania, Thailand, Lebanon dan Palestina (Revill et al. 2003; Idris et al. 2006;
Ito et al. 2007; Al-Musa et al. 2008; Sobh et al. 2012; Ali-Shtayeh et al. 2014). Di
Lebanon, SLCV menginfeksi tanaman labu, mentimun, melon, dan semangka
dengan insidensi penyakit secara berturut-turut sebesar 89%, 57%, 56%, dan 48%
(Sobh et al. 2012). SLCV juga dilaporkan mampu menginfeksi secara alami pada
tanaman Chenopodium murale, Convolvulus sp., Prosporis farcta, Malva
parviflora (Al-Musa et al. 2008; Ali-Shtayeh et al. 2014). Sama halnya dengan
spesies Begomovirus lainnya, SLCV dapat ditularkan melalui penyambungan dan
serangga vektor. Satu serangga vektor B. tabaci mampu menularkan SLCV

10

dengan efisiensi mencapai 100% dengan periode makan akuisisi selama 48 jam
(Polston et al. 1990). Persentase infeksi meningkat seiring meningkatnya periode
makan akuisisi dan inokulasi (Cohen et al. 1989).
Menurut International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV), terdapat
beberapa strain virus dari spesies SLCV, yaitu Squash leaf curl Yunnan virus,
Squash leaf curl China virus, Squash leaf curl Phillipines virus, dan Squash mild
leaf curl virus (Revill et al. 2003; Liao et al. 2006; Sing et al. 2008; King et al.
2012; Tahir et al. 2010). Squash leaf curl China virus (SLCCNV) pertama kali
dilaporkan di China tahun 1995 (Hong et al. 1995). Virus ini sudah banyak
dilaporkan di beberapa Negara di Asia, diantaranya Pakistan, India, Thailand, dan
Indonesia), (Singh et al. 2008; Ito et al. 2007; Tahir et al. 2010; Adnyani 2015).
Gejala pada tanaman labu, semangka, melon, zukini, dan belewah berupa daun
mengalami klorosis, mosaik kuning, pemucatan tulang daun (vein clearing), dan
kerdil (Revill et al. 2003; Tahir et al. 2010).
Infeksi SLCV mampu menyebabkan penurunan diameter batang tanaman
labu, pemendekan petiol daun, terjadinya perubahan organel internal tanaman
yang terinfeksi. Kloroplast mengalami kerusakan yang parah sehingga
menyebabkan penurunan klorofil a dan b sebesar 44-79% yang diekspresikan
sebagai gejala daun menguning, penebalan dinding sel yang tidak merata akibat
terbentuknya daun yang keriting dan mengalami malformasi. Selain itu, nukleus
menjadi membengkak, sitoplasma beragregasi, dan mitokondria mengalami
kerusakan yang cukup parah (Mohamed et al. 2012).
Deteksi dan Identifikasi Begomovirus
Metode deteksi dan identifikasi patogen (virus) terbagi ke dalam 2 kategori,
yaitu berdasarkan karakteristik biologi yang berkaitan dengan interaksi virus
dengan inang maupun vektor (deteksi gejala dan penularan) dan berdasarkan sifat
intrinsik dari virus itu sendiri (protein selubung dan asam nukleat) (Naidu dan
Hughes 2001). Deteksi secara serologi telah banyak dimanfaatkan untuk
identifikasi dan karakterisasi virus tumbuhan. Teknik ini banyak digunakan untuk
mendeteksi dalam skala yang besar. Teknik serologi digunakan berdasarkan sifat
protein selubung suatu virus. Serologi lebih banyak dimanfaatkan untuk
mendeteksi virus dengan asam nukleat RNA (Naidu dan Hughes 2001). Selain
untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus penyebab penyakit, uji serologi juga
berguna dalam mengukur konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi
virus tumbuhan dalam tubuh serangga vektor dan untuk mengetahui hubungan
kekerabatan antar virus (Agrios 2005). Ada beberapa metode yang digunakan
dalam uji serologi antara lain Agarose gel precipitation test (AGPT), Dot blot
immunobinding assay (DIBA), Tissue blot immunosorbent assay (TBIA), Enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA), dan immunoblotting atau western blotting
(Naidu dan Hughes 2001).
Metode ELISA dan DIBA merupakan metode serologi yang banyak
digunakan untuk mendeteksi virus tumbuhan. Deteksi melalui ELISA dapat
dianalisis secara kuantitatif dengan spektrofotometer (ELISA reader), mampu
mendeteksi virus pada konsentrasi rendah (1-10 ng mL-1), dapat mendeteksi dalam
jumlah banyak secara cepat (Anggraini dan Hidayat 2014). Deteksi DIBA
menggunakan media membran nitroselulosa sebagai penjerat protein. Protein yang

11

terikat pada membran, kemudian akan bereaksi dengan antibodi. Kertas membran
nitroselulosa memiliki kapasitas pengikatan protein lebih tinggi dibandingkan
dengan permukaan polistiren yang digunakan dalam deteksi ELISA. Hasil deteksi
DIBA dianalisis secara kualitatif. Keunggulan deteksi menggunakan DIBA yaitu
sensitifitas lebih tinggi dibandingkan ELISA, ditandai dengan mampu
memberikan reaksi positif hingga pengenceran sap 10-5. Deteksi menggunakan
DIBA relatif murah dan hanya memerlukan sedikit antiserum untuk mendeteksi
virus dalam skala yang sangat besar (Djikstra dan de Jager 1998).
TBIA atau Tissue blotting immunoassay merupakan metode deteksi yang
mirip dengan DIBA. Deteksi ini tidak memerlukan proses ekstraksi sampel.
Jaringan daun segar dipotong kemudian diblot-kan pada permukaan kertas
membran nitroselulosa. Keunggulan TBIA, proses deteksi bisa digunakan di
lapangan pada saat pengambilan sampel tanaman sakit. TBIA lebih cocok
digunakan untuk virus-virus yang terbatas pada jaringan floem. TBIA jauh lebih
ekonomis dibandingkan ELISA karena reagen yang digunakan dapat dipakai
ulang (Albrechtsen 2006).
Kemajuan di bidang biol