Deteksi Virus Pada Pertanaman Mentimun (Cucumis Sativus L.) Di Tiga Kabupaten Bogor, Karawang, Dan Subang, Jawa Barat

DETEKSI VIRUS PADA PERTANAMAN MENTIMUN
(Cucumis sativus L.) DI KABUPATEN BOGOR, KARAWANG,
DAN SUBANG, JAWA BARAT

NUR UNSYAH LAILI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Deteksi Virus pada
Pertanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) di Kabupaten Bogor, Karawang, dan
Subang, Jawa Barat” adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015
Nur Unsyah Laili

*Pelimpahan hak atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB
harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

ABSTRAK
NUR UNSYAH LAILI. Deteksi Virus pada Pertanaman Mentimun (Cucumis
sativus L.) di Tiga Kabupaten Bogor, Karawang, dan Subang, Jawa Barat.
Dibimbing oleh TRI ASMIRA DAMAYANTI.
Penyakit virus banyak ditemukan pada pertanaman mentimun di Jawa
Barat. Namun sulit membedakan spesies virus penyebab penyakit berdasarkan
pengamatan gejala. Penelitian ini bertujuan untuk memperbaharui informasi data
virus yang menginfeksi tanaman mentimun di Kabupaten Bogor, Karawang, dan
Subang, provinsi Jawa Barat. Sampel daun mentimun diambil dari tanaman
bergejala sebanyak 50 sampel tiap lokasi. Insidensi penyakit virus ditentukan
secara serologi dengan metode dot blot immunobinding assay (DIBA)

menggunakan antiserum Cucurbit aphid yellow borne virus (CABYV), Cucumber
green mottle mosaic virus (CGMMV), Cucumber mosaic virus (CMV), Papaya
ringspot virus (PRSV), Squash mosaic virus (SqMV), Watermelon mosaic virus
(WMV), dan Zucchini yellow mosaic virus (ZYMV). Deteksi asam nukleat
dengan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR/PCR)
dilakukan terhadap virus baru yang dominan ditemukan dan yang tidak terdeteksi
serologi. Gejala yang ditemukan pada daun mentimun berupa mosaik, klorosis,
keriting, dan penebalan tulang daun. Hasil deteksi menunjukkan insidensi
penyakit oleh CABYV, CGMMV, CMV, PRSV, SqMV, WMV, dan ZYMV di
Bogor berturut-turut adalah 100%, 86%, 98%, 0%, 8%, 32%, dan 6%, di
Karawang 100%, 98%, 100%, 14%, 72%, 68%, dan 64%, dan di Subang 100%,
88%, 86%, 2%, 8%, 60%, dan 46%. CABYV, CGMMV, dan CMV merupakan
virus yang dominan terdeteksi di tiga kabupaten dan PRSV hanya terdeteksi pada
sampel asal Karawang dan Subang. RT-PCR menggunakan primer spesifik
PRSV, primer universal Polerovirus dan Begomovirus berhasil mengamplifikasi
gen protein selubung PRSV asal Karawang berukuran ~ 470 pb dan Polerovirus
asal Subang berukuran ~ 450 pb, dan Begomovirus berukuran ~ 900 pb. WMV
dan CGMMV perlu deteksi lebih lanjut menggunakan primer spesifik untuk
konfirmasi hasil deteksi serologi. Polerovirus dan CGMMV merupakan virus
yang baru ditemukan pada mentimun di Jawa Barat.

Kata kunci : Begomovirus, CGMMV, mentimun, Polerovirus, PRSV.

ABSTRACT
NUR UNSYAH LAILI. Detection of Viruses on Cucumber (Cucumis sativus L.)
Cultivation in Bogor, Karawang, and Subang Regencies, West Java. Under
supervision of TRI ASMIRA DAMAYANTI.
The virus diseases were found in cucumber cultivations in West Java.
However, it was difficult to differentiate the causal virus species based on visual
symptoms. The aim of the research was to updating the viruses infecting
cucumber in Bogor, Karawang, and Subang regencies. From each location, 50 leaf
samples were collected from the symptomatic cucumber plants. The disease
incidence was determined by dot blot immunobinding assay (DIBA) method using
Cucurbit aphid borne yellow virus (CABYV), Cucumber green mottle mosaic
virus (CGMMV), Cucumber mosaic virus (CMV), Papaya ringspot virus (PRSV),
Squash mosaic virus (SqMV), Watermelon mosaic virus (WMV), and Zucchini
yellow mosaic virus (ZYMV) antisera. Detection of nucleic acids of the newly
predominant and serologically undetectable virus was conducted by reverse
transcription polymerase chain reaction (RT-PCR/PCR). The symptom were
found in cucumber leaves such as mosaic, chlorosis, curling, and vein banding.
The result showed that the disease incidence of CABYV, CGMMV, CMV, PRSV,

SqMV, WMV, and ZYMV in Bogor were 100%,86%, 98%, 0%, 8%, 32%, and
6%, in Karawang were 100%, 98%, 100%, 14%, 72%, 68%, and 64%, and in
Subang were 100%, 88%, 86%, 2%, 8%, 60%, and 46%. CABYV, CGMMV, and
CMV were the most common viruses detected in three regencies and PRSV only
detected on samples from Karawang and Subang. RT-PCR/PCR using spesific
primer of PRSV, universal primer Polerovirus, and Begomovirus successfully
amplified the coat protein gen of PRSV from Karawang with size ~ 470 bp,
Polerovirus from Subang with size ~ 450 bp, and Begomovirus with size ~ 900
bp. Since WMV and CGMMV unable to detect by using universal primer, it is
necessary to further detection using specific primer. Polerovirus and CGMMV
are considerated as new viruses on cucumber in West Java.
Key words: Begomovirus, CGMMV, Cucumber, Polerovirus, PRSV.

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk

kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu maslah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

DETEKSI VIRUS PADA PERTANAMAN MENTIMUN
(Cucumis sativus L.) DI KABUPATEN BOGOR, KARAWANG,
DAN SUBANG, JAWA BARAT

NUR UNSYAH LAILI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

: Deteksi Virus pada Pertanaman Mentimun (Cucumis sativus
L.) di Kabupaten Bogor, Karawang, dan Subang, Jawa Barat
Nama Mahasiswa: Nur Unsyah Laili
NIM
: A34110019

Judul Skripsi

Disetujui oleh

Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti, MAgr.
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi.

Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Deteksi Virus pada Pertanaman Mentimun (Cucumis
sativus L.) di Kabupaten Bogor, Karawang, dan Subang, Jawa Barat” sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada program studi
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian
dilakukan di Laboratorium Virologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2015 sampai Juni 2015.
Terima kasih untuk bapak, mamak, kakak, abang, dan adik yang selalu
memberikan doa, semangat, dan kasih sayang. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada ibu Dr.Ir. Tri Asmira Damayanti, MAgr selaku pembimbing atas arahan
dan bimbingan yang diberikan dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini.
Terima kasih kepada Prof.Dr.Ir. Aunu Rauf, Msc selaku pembimbing akademik
dan penguji tamu atas bimbingan yang diberikan. Terima kasih kepada temanteman kosan puteri white house atas dukungan dan semangat yang telah diberikan.
Terima kasih kepada PTN 48 atas persahabatan selama di IPB, terima kasih

kepada teman-teman anggota Laboratorium Virologi Tumbuhan IPB atas bantuan
dan dukungannya dalam melaksanakan penelitian.
Semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2015
Nur Unsyah Laili

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan Sampel Tanaman Mentimun
Metode Penelitian
Perhitungan Insidensi Penyakit

Deteksi dengan Dot blot immunobinding assay
Deteksi dengan Reverse-transcription polymerase chain reaction
HASIL
Gejala Infeksi Virus pada Tanaman Mentimun di Lapangan
Insidensi Penyakit
Infeksi Campuran
Amplifikasi DNA
PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

iii
iv
iv
1
1
3
3
4

4
4
4
4
4
5
8
8
9
9
10
11
14
15
19

DAFTAR TABEL
1
2
3

4
5
6

Sekuen primer untuk deteksi virus pada mentimun
Komposisi reaktan Polymerase chain reaction (PCR) untuk satu kali
reaksi amplifikasi DNA genom virus
Program PCR untuk mendeteksi virus pada mentimun
Variasi gejala infeksi pada tanaman mentimun di Jawa Barat
Insidensi penyakit oleh beberapa virus berdasarkan uji serologi
Infeksi tunggal dan infeksi campuran virus

6
6
7
9
9
10

DAFTAR GAMBAR

1

2

Gejala dominan infeksi virus pada tanaman mentimun di Kabupaten
Bogor (b-c), Karawang (d-f), dan Subang (g-i). a. Klorosis disertai
penebalan tulang daun, b-c. Malformasi daun disertai keriting, d.
Klorosis disertai penebalan tulang daun, e. Klorosis, f-g. Mosaik, h.
Klorosis, malformasi disertai penebalan tulang daun, dan i. mosaik
kuning
8
Amplifikasi DNA PRSV (a), Polerovirus (b), dan Begomovirus (c).
Ukuran DNA ditunjukkan dengan panah. L = penanda DNA 100 pb (a
dan b), 1 kb (c) (Thermo Scientific), K+ = kontrol positif, KKA = PRSV
asal Karawang, SMA = Polerovirus asal Subang, SPU = Begomovirus
asal Subang, SMA = Begomovirus asal Subang, KJA = Begomovirus asal
Karawang
10

LAMPIRAN

1
2
3

Lampiran 1 Hasil Dot blot immunobinding assay Kabupaten Bogor
Lampiran 2 Hasil Dot blot immunobinding assay Kabupaten Karawang
Lampiran 3 Hasil Dot blot immunobinding assay Kabupaten Subang

21
22
23

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Mentimun (Cucumis sativus L.) merupakan komoditas sayuran dari famili
labu-labuan (Cucurbitaceae) yang dapat ditanam didataran tinggi maupun dataran
rendah. Tanaman ini berasal dari Benua Asia, yakni India dan dibudidayakan
hampir di seluruh dunia (Rukmana 1994). Mentimun merupakan sayuran yang
digemari di Indonesia karena kandungan nutrisi dan rasanya. Namun budidaya
mentimun masih dianggap usaha sampingan sehingga rata-rata produksi
mentimun secara nasional masih rendah antara 3.5 sampai 4.8 ton/ha. Badan Pusat
Statistik (2013) mencatat produksi mentimun di Indonesia tahun 2013 mencapai
256 006 ton. Produksi mentimun ini menurun dibandingkan dengan tahun
sebelumnya yang mencapai 511 525 ton. Penurunan produksi tersebut salah
satunya disebabkan oleh penyakit yang disebabkan oleh virus.
Sekitar 32 virus dapat menginfeksi tanaman Cucurbitaceae diantaranya
Cucurbit aphid borne yellow mosaic virus (CABYV), Cucumber green mottle
mosaic virus (CGMMV), Cucumber mosaic virus (CMV), Papaya ringspot virus
(PRSV), Squash mosaic virus (SqMV), Watermelon mosaic virus (WMV), dan
Zucchini yellow mosaic virus (ZYMV) (Coutts dan Jones 2005; Ali et al. 2012).
Begomovirus dilaporkan menyebabkan penyakit yang cukup penting pada
mentimun (Shtayeh et al. 2010). Begomovirus menyebabkan gejala berupa
keriting pada daun hingga kerdil (Cohen et al. 1983). Begomovirus dapat
ditularkan secara efektif melalui penyambungan dan vektor yakni kutu kebul
(Bemisia tabaci) (Hunter et al. 1998).
CMV (Bromoviridae; Cucumovirus) merupakan salah satu virus penting di
dunia yang menginfeksi lebih dari 1000 spesies tanaman khususnya cabai dan
tomat (Duriat et al. 1992; Roossinck dan Russell 2002). CMV menimbulkan
gejala berupa mosaik, belang, malformasi pada daun, kerdil, dan keriting
(Palukaitis et al. 1992). Taufik et al. (2005) melaporkan CMV ditemukan pada
hampir semua pertanaman cabai di Indonesia. CMV juga ditemukan pada
tanaman sayuran di Kroasia, Mesir, Yunani, Israel, Italia, Jepang, Polandia,
Portugal, dan negara bagian Amerika Utara (Hadidi et al. 1998). Penurunan
produksi yang disebabkan oleh CMV sebesar 30 sampai 60% pada tanaman cabai.
Penularan dan penyebaran CMV terjadi melalui serangga vektor dan benih.
Myzus persicae dan Aphis gossypii merupakan serangga vektor penting yang
menyebarkan CMV. Penularan CMV melalui benih dilaporkan terjadi pada lebih
dari 20 spesies tanaman dengan efisiensi penularan 1% sampai 50% (Palukaitis et
al. 1992).
ZYMV (Potyviridae; Potyvirus) merupakan virus yang menyebabkan
kehilangan hasil panen yang cukup tinggi pada mentimun yakni 64 sampai 85%
(Al-Shahwan et al. 1995). ZYMV pertama kali ditemukan di Italia tahun 1973
(Desbiez dan Lecoq 1997). Di Indonesia ZYMV banyak ditemukan di pertanaman
mentimun dan melon. ZYMV menyebabkan gejala mosaik kuning, malformasi
daun dan buah, pelepuhan, pengurangan ukuran lamina daun, nekrosis, dan kerdil
pada mentimun (Zitter et al. 1996; Desbiez dan Lecoq 1997). Penularan ZYMV
terjadi secara mekanik dan melalui kutu daun. Menurut Adlerz (1987) kutu daun
yang menularkan ZYMV secara non persisten yaitu A. citricola, A. gossypii, A.

2
craccivora, M. persicae, dan Lipaphis erysimi. ZYMV juga dapat disebarkan
melalui benih zuchini dan labu, namun belum dilaporkan dapat tersebar melalui
benih mentimun.
SqMV (Comoviridae; Comovirus) banyak ditemukan di daerah produksi
tanaman Cucurbitaceae termasuk mentimun, namun jarang menginfeksi
semangka. Virus ini menginfeksi tanaman mentimun di Australia, Israel, Japan,
dan China. SqMV termasuk dalam organisme pengganggu tanaman karantina
(OPTK) kategori A2 menurut revisi Peraturan Menteri Pertanian Nomor
93/Permentan/OT.140/12/2011. Aulia (2004) melaporkan SqMV ditemukan pada
pertanaman melon di Bogor. Gejala SqMV umumnya berupa mosaik hijau kuning
dengan hijau tua lebih banyak berada di sekitar tulang daun, daun menjadi kaku
dan berkerut serta mengalami penyempitan ukuran daun, dan tanaman menjadi
kerdil (Lestari dan Nurhayati 2014). SqMV ditularkan secara non persisten oleh
Ephilacna Sp. dan Aulacophora similis (Campbell 1971).
PRSV (Potyviridae; Potyvirus) merupakan virus yang masuk dalam
organisme pengganggu tanaman karantina (OPTK) kategori A2 berdasarkan revisi
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 93/Permentan/OT.140/12/2011. Tanaman
Cucurbitaceae yang terinfeksi PRSV menunjukkan gejala seperti kerdil, mosaik,
dan malformasi pada buah (Babadoost 2012). PRSV dapat ditularkan secara
mekanis dan melalui kutu daun secara non persisten (Tripathi et al. 2008).
Hidayat et al. (2012) melaporkan infeksi PRSV pada pepaya di daerah Aceh dan
menguatkan keberadaan PRSV di wilayah negara Indonesia.
WMV (Potyviridae; Potyvirus) merupakan virus yang menyebabkan infeksi
berupa mosaik, klorosis, belang, dan distorsi pada daun. Virus ini pertama kali
dilaporkan tahun 1963 di Israel. WMV pernah dilaporkan di Sulawesi Selatan dan
daerah lainnya di Indonesia (Wakman et al. 2002). Virus ini dapat menginfeksi
lebih dari 170 spesies dari famili monokotiledon atau dikotiledon (Lecoq et al.
2011). Penyebaran WMV difasilitasi kutu daun secara non persisten, seperti M.
persicae, A. gossypii, dan A. fabae dan dapat disebarkan melalui benih (Lecoq
dan Desbiez 2008).
CABYV (Luteoviridae; Polerovirus) merupakan virus yang menyebabkan
daun mentimun menjadi kekuningan. CABYV pertama kali dilaporkan di Prancis
tahun 1992, namun di Indonesia CABYV belum pernah dilaporkan menginfeksi
tanaman Cucurbitaceae. Gejala yang disebabkan oleh infeksi CABYV yakni
bintik-bintik seperti klorosis pada daun, daun menebal, dan menjadi rapuh (Lecoq
et al. 1992). Penurunan produksi yang disebabkan oleh CABYV sebesar 50%
pada mentimun dan 40% pada melon. Penyebaran CABYV terjadi secara
persisten melalui A. gossypii dan M. persicae (Lecoq et al. 1992), sedangkan
penyebaran secara mekanik belum dilaporkan.
CGMMV (Virgaviridae; Tobamovirus) menyebabkan gejala berupa klorosis
pada daun, nekrosis pada pedikel, dan kerusakan pada buah (Boubourakas et al.
2004). CGMMV menyebabkan kehilangan hasil produksi sebesar 15% pada
Cucurbitacea (Shang et al. 2011). CGMMV dilaporkan menginfeksi
Cucurbitacea di Inggris, Jerman, Israel, Arab Saudi, India, Pakistan, Korea, dan
Jepang. CGMMV merupakan virus yang masuk dalam organisme pengganggu
tanaman karantina (OPTK) kategori A1 berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 93/Permentan/OT.140/12/2011 (Kementan 2011).

3
Peningkatan infeksi dan munculnya virus baru pada tanaman mentimun di
Indonesia kemungkinan disebabkan oleh adanya importasi benih Cucurbitaceae
dari negara lain. Untuk memantau infeksi virus yang telah ada ataupun virus baru
yang mungkin ada, maka perlu dilakukan pemutakhiran data tentang penyakit
virus secara berkala agar terpantau identitas, sebaran, dan insidensinya di
lapangan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeteksi virus-virus yang menginfeksi mentimun
di Kabupaten Bogor, Karawang, dan Subang, Jawa Barat.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai
jenis-jenis virus, variasi gejala, insidensi, dan sebaran virus pada tanaman
mentimun dari tiga kabupaten di Jawa Barat. Hasil deteksi ini dapat dijadikan
informasi dasar untuk mengindentifikasi genetik virus yang ditemukan. Informasi
tentang keberadaan virus-virus ini dapat membantu berbagai pihak dalam
menentukan strategi mitigasi yang harus dilakukan untuk menjamin produksi
mentimun yang optimal.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Survei penyakit dan pengambilan sampel tanaman mentimun yang bergejala
dilakukan pada pertanaman mentimun di Kabupaten Bogor di Desa Bojong
(BBO), Sindang Barang (SBO), dan Petir (SPE), Subang di Desa Marjim (SMA),
Tanjung Baru (STB), dan Pungangan (SPU), dan Karawang di Desa Kaceot
(KKA), Jatimulya (KJA), dan Kutakarya (KKA), Jawa Barat. Deteksi virus
dilakukan di Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung mulai
bulan Februari 2015 hingga Juni 2015.
Pengambilan Sampel Tanaman Mentimun
Sampel tanaman mentimun yakni daun yang bergejala diambil sebanyak 50
sampel dari tiap lokasi. Deskripsi gejala dan dokumentasi menggunakan kamera
digital dilakukan pada masing-masing sampel. Sampel dari semua lokasi dibawa
ke Laboratorium dan disimpan pada suhu -80 °C.
Metode Penelitian
Insidensi penyakit ditentukan dengan deteksi serologi menggunakan metode
Dot blot immunobanding assay (DIBA) dengan antiserum CABYV,CGMMV,
CMV, PRSV, SqMV, WMV, dan ZYMV. Sedangkan amplifikasi DNA dilakukan
dengan PCR atau RT-PCR menggunakan primer universal atau primer target
virus.
Penghitungan Insidensi Penyakit
Menurut Allen et al. (1983) persentase insidensi penyakit dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut:
IP
IP
N
N

=

× 100%

= Insidensi penyakit (%)
= Jumlah tanaman sakit
= Jumlah seluruh tanaman yang diamati

Deteksi dengan Dot Blot Immunobinding Assay (DIBA)
Metode DIBA dilakukan sesuai metode yang digunakan oleh Asniwita et
al. (2013). Deteksi dengan DIBA terdiri dari beberapa tahapan, yaitu blotting,
blocking, reaksi antibodi 1, reaksi antibodi 2, dan pewarnaan.
Blotting. Jaringan daun digerus dalam Tris buffer saline (TBS) [TBS: Tris
–HCl 0.3152 g dan NaCl 0.8766 g, dalam 100 ml akuabides, pH 7.5]. dengan
perbandingan 1:10 (b/v). Sap tersebut selanjutnya diteteskan pada membran nitro
selulosa sebanyak 2 µl.
Blocking. Setelah sap kering, membran nitroselulosa direndam dalam 10
ml larutan blocking non fat milk dalam TBS yang mengandung Triton X-100

5
dengan konsentrasi final 2%. Membran kemudian diinkubasi pada shaker dengan
kecepatan 50 rpm selama 2 jam. Membran kemudian dicuci sebanyak 5 kali
dengan dH2O selama 5 menit dalam shaker dengan kecepatan 100 rpm.
Antibodi 1. Membran selanjutnya direndam dalam 5 ml TBS yang
mengandung antiserum pertama 1 µl (1:5000 v/v) ditambah non fat milk dengan
konsentrasi final 2%, kemudian membran diinkubasi diatas shaker dengan
kecepatan 50 rpm selama dua jam pada suhu ruang. Membran kemudian dicuci
sebanyak 5 kali dengan Tween 0.05% dalam TBS (TBST).
Antibodi 2. Membran nitroselulosa selanjutnya direndam dalam 5 ml TBS
yang mengandung antiserum ke dua sebanyak 1 µl (goat anti rabbit-IgG, Sigma)
(1:5000 v/v) ditambah non fat milk dengan konsentrasi final 2% dan kemudian
membran diinkubasi selama 60 menit diatas shaker dengan kecepatan 50 rpm.
Membran kemudian dicuci kembali dengan TBST.
Pewarnaan. Membran lalu direndam selama 5 menit dalam Alkalin
Phosphatase buffer pH 9.5 (Tris-HCl 6.05 g, NaCl 2.92 g, dan MgCl.6H2O 0.51 g
dalam 500 ml akuabides steril) yang mengandung nitro blue tetrazolium (NBT)
75 mg/ml dan bromo chloro indolyl phosphate (BCIP) 50 mg/ml (dalam 10 ml AP
bufer ditambahkan 45 µl NBT dan 35µl BCIP). Jika reaksi positif akan terjadi
perubahan warna putih menjadi ungu pada membran nitroselulosa yang telah
ditetesi cairan sap dan reaksi dapat dihentikan dengan merendam membran
dengan dH2O.
Deteksi dengan Reverse-Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Metode deteksi virus dengan RT-PCR terdiri dari beberapa tahapan, yaitu
ekstraksi RNA total, sintesis complementary DNA (cDNA), amplifikasi DNA
target, dan visualisasi hasil amplifikasi.
Ekstraksi RNA total. Ekstraksi RNA secara manual dilakukan dengan
mengikuti metode CTAB (Doyle dan Doyle 1990). Sampel tanaman bergejala
sebanyak 0.1 g digerus menggunakan nitrogen cair dan ditambahkan 500 μl bufer
ekstraksi yang mengandung (1% 2-β-merkaptoetanol). Hasil gerusan kemudian
dimasukkan kedalam tabung mikro 2 ml dan diinkubasi dalam penangas air pada
suhu 65 ˚C selama 30 menit. Setiap 10 menit sekali tabung dibolak-balik untuk
membantu proses lisis. Setelah 30 menit tabung yang berisi ekstraksi tanaman
diangkat dari penangas air kemudian didiamkan selama 2 menit pada suhu ruang,
Lalu ditambahkan 500 μl campuran Chloroform:Isoamilalcohol (24:1). Agar
tercampur dengan baik tabung divortek dengan kecepatan tinggi selama 5 menit,
kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12 000 rpm selama 15 menit.
Supernatan kemudian dipindahkan ke tabung baru, lalu ditambahkan Isopropanol
(volume sebanding dengan supernatan yang diperoleh). Tabung mikro dibolakbalik sehingga terlihat benang-benang RNA, kemudian disentrifugasi dengan
kecepatan 12 000 rpm selama 7 menit. Setelah disentrifugasi akan terlihat pelet
RNA, campuran supernatan dan Isopropanol dipindahkan sehingga menyisakan
pelet RNA. Pelet RNA yang diperoleh dicuci dengan etanol 70% sebanyak 500 μl.
Pelet RNA yang telah ditambahkan etanol disentrifugasi selama 7 menit dengan
kecepatan 12 000 rpm, etanol dibuang lalu tabung diletakkan secara terbalik diatas
tisu selama 15 menit agar pelet kering. Pelet yang diperoleh dilarutkan dalam 50
μl bufer TE 1x (10 mM Tris-HCl pH 8.0 mM EDTA).

6
Sintesis cDNA. Produk ekstraksi RNA total digunakan sebagai template
untuk sintesis cDNA. Sintesis cDNA terjadi melalui transkripsi balik RNA
menggunakan enzim transkriptase MmuLV (Moloney Murine Leukimia Virus).
Molekul cDNA tersebut digunakan untuk cetakan pada proses PCR. Komposisi
bahan reaksi transkripsi balik terdiri dari: bufer RT 2 µl, dNTP 10 mM 0.50 µl,
DTT 50 mM 0.35 µl, RNAse inhibitor (Thermo scientific) 0.35 µl, MmuLV
(Thermo scientific) 0.35 µl, dH2O 3.7 µl, oligo d(T) 0.75 µl , dan RNA 2 µl.
Untuk sintesis cDNA dari genus Polerovirus menggunakan primer reverse
Polerovirus. Reagen seperti dH2O 3.7 µl , dNTP 10 mM 0.50 µl, oligo d(T) 0.75
µl, dan RNA 2 µl direaksikan pada suhu 65 °C selama 5 menit dan segera
didinginkan didalam es. Selanjutnya reagen tersebut direaksikan kembali dengan
menambah 5× bufer RT 2 µl, DTT 50 mM 0.35 µl, RNAse inhibitor (Thermo
scientific) 0.35 µl, dan MmuLV (Thermo scientific) 0.35 µl yang dicampur rata
dan diinkubasi pada suhu 42 °C selama 60 menit dan 70 °C selama 10 menit
untuk menginaktivasi enzim. Produk cDNA kemudian digunakan sebagai templat
pada amplifikasi PCR.
RT-PCR/PCR. Amplifikasi DNA virus dilakukan dengan menggunakan
pasangan primer untuk mengamplifikasi dan mendeteksi CABYV, CGMMV,
PRSV, WMV, dan Begomovirus (Tabel 1). Komposisi reaktan PCR tercantum
pada tabel 2.
Tabel 1 Sekuen primer untuk deteksi virus pada mentimun
Primer1

Runutan

Tob-Uni 1-cpR
CGMMV-cpF
SPG1-R
SPG2-F
Polerovirus-cpR
Polerovirus-cpF
PRSV-P-cpR

5’-ATTTAAGTGGASGGAAAAVCACT-3’
5’-GATTCCTTATCCGAGAAAGTT-3’
5’-CCCKGTGCGWRAATCCAT-3’
5’-ATCCVAAYWTYCAGGGAGCTAA-3’
5’-GTCTACCTATTTBGGRTTNTGGAA-3’
5’-TGCGACAAATAGTTAATGAATACGGT-3’
5’-TCGTGCCACTCAATCACAAT-3’

PRSV-P-cpF
Potyvirus-cpR
Potyvirus-cpF

5’-GTTACTGACATGCCGTCCA-3’
5’-ATGGTHTGGTGTGYATHGARAAYGG-3’
5’-TGCTGCKGCYTTCATYTG-3’

1

Produk
Referensi
PCR
(pb)
~ 830
Letschert et al. 2002
~ 912

Li et al. 2004

~ 600

Correa et al. 2005

~ 470

Mohammed et al.
2012

~ 320

Jeanne et al. 2008

cpF = coat protein forward; cpR = coat protein reverse.

Tabel 2 Komposisi reaktan Polymerase chain reaction (PCR) untuk satu kali
reaksi amplifikasi DNA genom virus
Komponen
Go Taq green 2x (Thermo scientific)
Primer forward 10 µM
Primer reverse 10 µM
Air bebas nuklease
cDNA
Total

Volume (µl)
12.5
1.0
1.0
9.5
1.0
25.0

7
PCR dilakukan dengan program PCR diatur pada waktu dan suhu tertentu sesuai
dengan virus target (Tabel 3).
Tabel 3 Program PCR untuk mendeteksi virus pada mentimun
Target
CABYV
CGMMV
PRSV
WMV
Begomovirus

Predenaturasi
95ºC/5 min
94ºC/5 min
94ºC/5 min
94ºC/5 min
94ºC/5 min

Denaturasi
95ºC/1 min
94ºC/1 min
94ºC/30 det
94ºC/4 min
94ºC/1 min

Kondisi PCR
Annealing
45ºC/1 min
60ºC/45 det
50ºC/1 min
53ºC/1 min
50ºC/1 min

Elongasi
72ºC/1 min
72ºC/1 min
72ºC/1 min
72ºC/1 min
72ºC/1 min

Ekstensi akhir
72ºC/10 min
72ºC/5 min
72ºC/7 min
72ºC/5 min
72ºC/7 min

Visualisasi DNA. Visualisasi DNA hasil amplikasi dilakukan pada
elektroforesis gel agarosa 1%. Agarosa sebanyak 0.3 g dicampur dengan 30 ml
bufer 0.5x TBE (Tris borate EDTA) dan dipanaskan dalam microwave selama 2
menit hingga tercampur rata. Setelah gel hangat dituang ke dalam cetakan gel (gel
tray) dan didiamkan selama ± 30 menit hingga mengeras. Elektroforesis dilakukan
pada tegangan 50 volt selama 50 menit. Gel agarosa kemudian direndam dalam
Ethidium bromida (0.5%) selama 15 menit. Hasil elektroforesis berupa pita DNA
divisualisasi dengan transluminator ultraviolet dan didokumentasi dengan kamera
digital.

∑Siklus
40
35
35
35
35

HASIL

Gejala Infeksi Virus pada Tanaman Mentimun di Lapangan
Gejala infeksi virus dari lokasi pengambilan sampel bervariasi berupa
mosaik pada daun, kuning, malformasi daun, penebalan tulang daun, dan keriting
pada daun (Gambar 1 dan Tabel 1). Gejala dominan pada pertanaman mentimun
di Bogor yaitu klorosis disertai penebalan tulang daun dan mosaik disertai ujungujung daun mengeriting. Gejala dominan pada pertanaman mentimun di
Karawang yaitu klorosis disertai penebalan daun, klorosis, dan mosaik, sedangkan
gejala dominan pada pertanaman mentimun di Subang yaitu mosaik, klorosis,
malformasi disertai penebalan daun, dan mosaik kuning.

a

b

c

d

e

f

g

h

i

Gambar 1 Gejala dominan infeksi virus pada tanaman mentimun di Kabupaten
Bogor (a-c), Karawang (d-f), dan Subang (g-i). a. klorosis disertai
penebalan tulang daun, b-c. malformasi daun disertai keriting, d.
klorosis disertai penebalan daun, e. klorosis, f-g. mosaik, h. klorosis,
malformasi, dan penebalan tulang daun, dan i. mosaik kuning

9
Tabel 4 Variasi gejala infeksi virus pada tanaman mentimun di Jawa Barat
Lokasi
Bogor
Karawang
Subang

M




Tipe gejala1
MK
K
Ptd










Kdl



Kultivar
Bandana, Wulan, Bulan
Bandana, Etana
Labana, Sabana, Bandana

1)

M = Malformasi, MK = mosaik, K = kuning, Ptd = Penebalan tulang daun, Kdl =
kerdil

Insidensi Penyakit
Berdasarkan uji serologi dari 150 sampel yang diuji menunjukkan tanaman
terinfeksi CABYV, CGMMV, CMV, PRSV, SqMV, WMV, dan ZYMV.
Insidensi penyakit CABYV di Kabupaten Bogor paling tinggi dibandingkan
CGMMV, CMV, PRSV, SqMV, WMV, dan ZYMV. Persentase insidensi
penyakit masing-masing sebesar 100%, 86%, 98%, 0%, 8%, 32%, dan 6%.
Insidensi CABYV juga dominan ditemukan di Kabupaten Karawang dan Subang.
Insidensi penyakit CABYV, CGMMV, CMV, PRSV, SqMV, WMV, dan ZYMV
di Kabupaten Karawang berturut-turut adalah 100%, 98%, 100%, 14%, 72%,
68%, dan 64%, dan di Kabupaten Subang berturut-turut adalah 100%, 88%, 86%,
2%, 8%, 60%, dan 46%. Insidensi PRSV merupakan yang terendah dengan
persentase insidensi penyakit pada Kabupaten Karawang dan Subang masingmasing adalah 14% dan 2% dan hanya terdeteksi pada sampel di Kabupaten
Subang dan Karawang, Jawa Barat (Tabel 5).
Tabel 5 Insidensi penyakit oleh beberapa virus berdasarkan uji serologi
Antiserum
virus
CABYV
CGMMV
CMV
PRSV
SqMV
WMV
ZYMV

Insidensi penyakit1 (%) dari tiap lokasi
Bogor
Karawang
Subang
50/50 (100)
50/50 (100)
50/50 (100)
43/50 (86.0)
49/50 (98.0)
44/50 (88.0)
49/50 (98.0)
50/50 (100)
43/50 (86.0)
0/50 (0.0)
7/50 (14.0)
1/50 (2.0)
4/50 (8.0)
36/50 (72.0)
4/50 (8.0)
16/50 (32.0)
34/50 (68.0)
30/50 (60.0)
3/50 (6.0)
32/50 (64.0)
23/50 (46.0)

Total (%)
150/150
136/150
142/150
8/150
44/150
80/150
58/150

(100)
(90.6)
(94.6)
(5.3)
(29.3)
(53.3)
(38.7)

1)

Insidensi penyakit = n/N x 100%; n = jumlah tanaman positif terdeteksi virus, N = total tanaman
yang diuji.

Infeksi Campuran
Berdasarkan hasil deteksi serologi, terdeteksi adanya infeksi campuran pada
beberapa tanaman mentimun. Infeksi campuran CABYV, CGMMV, dan CMV
merupakan yang paling dominan dideteksi di Kabupaten Bogor dan Subang.
Infeksi campuran lainnya terdeteksi pada 22 sampel tanaman (15%) dari
Kabupaten Bogor, 27 sampel tanaman (18%) dari Kabupaten Subang, dan 53
sampel tanaman (35%) dari Kabupaten Karawang (Tabel 6, Lampiran 1-3).

10
Tabel 6 Infeksi tunggal dan infeksi campuran virus
Tipe infeksi

Bogor

Lokasi
Subang

Karawang

1

0

0

0
3
0
23
0
0
2
0
2
10
1
1
0
0
2
1
0
0

1
1
1
16
3
2
0
0
2
6
0
2
1
0
0
12
2
0

0
0
0
2
0
0
0
5
8
0
2
1
0
5
3
9
17
3

1

Infeksi tunggal
I
Infeksi ganda1
I II
I III
I VII
I II III
I II VI
I II VII
I III VI
I II II IV
I II III V
I II III VI
I II III VII
I III VI VII
I III IV VI VII
I II III IV V
I II II V VI
I II III VI VII
I II II V VI VII
I II III IV V VI VII
1

I= CABYV, II = CGMMV, III = CMV, IV = PRSV, V = SqMV, VI = WMV, VII =ZYMV.

Amplifikasi DNA
Pita DNA PRSV asal Karawang teramplifikasi dengan ukuran ~ 470 pb
(Gambar 2a). DNA Polerovirus asal Subang berukuran ~ 450 pb (Gambar 2b) dan
amplifikasi DNA Begomovirus asal Subang dan Karawang berukuran ~ 900 pb
(Gambar 2c). WMV dan CGMMV belum berhasil teramplifikasi dengan primer
universal (data tidak ditampilkan), sehingga perlu dideteksi lebih lanjut dengan
primer spesifik virus untuk mengkonfirmasi hasil deteksi serologi.
L

L

K+ KKA

K+

SMA

L

K+ SPU SMA KJA

+
470 pb

a

450 pb

b

900 pb

c

Gambar 2 Amplifikasi DNA PRSV (a), Polerovirus (b), dan Begomovirus (c).
Ukuran DNA ditunjukkan dengan panah. L = penanda DNA 100 pb (a
dan b), 1 kb (c) (Thermo Scientific), K+ = kontrol positif, KKA =
PRSV asal Karawang, SMA = Polerovirus asal Subang, SPU =
Begomovirus asal Subang, SMA = Begomovirus asal Subang, KJA =
Begomovirus asal Karawang dlfjdkjfkdjkjkjklfjdlkdjgkjjdkjkljdkjjdl

PEMBAHASAN
Gejala penyakit yang ditemukan di lapangan berupa mosaik pada daun,
klorosis, malformasi daun, penebalan tulang daun, keriting, dan kuning. Gejala
mosaik yang dominan ditemukan bercampur dengan permukaan daun yang tidak
rata, malformasi disertai klorosis. Selain menyebabkan mosaik pada daun, infeksi
virus juga menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas buah. Identifikasi
berdasarkan gejala saja tidak dapat menentukan virus penyebab, karena gejala
dapat disebabkan oleh infeksi tunggal atau campuran.
Infeksi campuran pada beberapa tanaman mentimun terdeteksi merupakan
interaksi virus kemungkinan berupa interaksi sinergis dan antagonis antara dua
atau lebih virus. Interaksi sinergis adalah infeksi campuran antara dua atau lebih
virus yang meningkatkan replikasi dari satu atau kedua virus dan meningkatkan
gejala dibandingkan infeksi tunggal. Interaksi tersebut juga meningkatkan
kerusakan pada tanaman terutama pada kultivar rentan sehingga meningkatkan
kehilangan hasil panen (Syller 2012). Kehilangan hasil panen pada mentimun
dilaporkan terjadi akibat infeksi tunggal maupun campuran antara PRSV, WMV,
dan ZYMV (Arteaga et al. 1998). Menurut Poolpol dan Inouye (1986) interaksi
antara ZYMV dengan CMV pada mentimun merupakan interaksi sinergis.
Interaksi antagonis adalah interaksi yang menyebabkan hanya satu virus yang
memperoleh keuntungan dan menurunkan aktivitas virus lainnya (Syller 2012).
Infeksi campuran pada satu tanaman mentimun kemungkinan terjadi karena
penyebaran virus oleh kutu daun dan secara mekanis melalui alat pertanian.
Infeksi campuran menyebabkan variasi gejala yang berbeda dari infeksi tunggal
masing-masing virus.
Gejala tunggal yang disebabkan oleh CMV berupa mosaik, belang, kerdil,
dan keriting (Palukaitis et al. 1992). Gejala yang disebabkan oleh ZYMV berupa
mosaik kuning, malformasi buah dan daun, pelepuhan, pengurangan ukuran
lamina daun, nekrosis, dan kerdil, dan gejala yang disebabkan oleh SqMV berupa
mosaik hijau kuning, penyempitan ukuran daun dan kerdil (Zitter et al. 1996;
Desbiez dan Lecoq 1997; Lestari dan Nurhayati 2014). Gejala yang disebabkan
oleh infeksi tunggal PRSV berupa mosaik, kerdil, dan warna buah yang tidak
sempurna (Gonsalves 1998). Gejala yang disebabkan oleh CABYV berupa,
bintik-bintik seperti klorosis pada daun, daun menebal, dan menjadi rapuh (Lecoq
et al. 2011). Gejala yang disebabkan oleh CGMMV berupa klorosis pada daun,
nekrosis pada pedikel, dan kerusakan pada buah (Boubourakas et al. 2004). Gejala
infeksi tunggal CABYV yang ditemukan di Kabupaten Bogor sesuai dengan
gejala CABYV yang dilaporkan oleh Lecoq et al. (2011). Gejala infeksi
CGMMV, CMV, PRSV, SqMV, WMV, dan ZYMV yang ditemukan dalam
penelitian ini berbeda dengan gejala tunggal yang telah dilaporkan. Gejala
campuran yang disebabkan oleh infeksi ganda antara CGMMV dan WMV berupa
pemucatan tulang daun, belang kuning hijau, dan mosaik (Moradi dan Jafarpour
2010).
RT-PCR pita DNA PRSV asal Karawang teramplifikasi menggunakan
primer spesifik protein selubung PRSV-P. Berdasarkan kisaran inangnya ada 2
strain PRSV, yaitu PRSV-W dan PRSV-P. Strain PRSV-W hanya dapat

12
menginfeksi tanaman dari famili Cucurbitaceae (Gonsalves 1998), sedangkan
strain PRSV-P menginfeksi famili Caricaeae dan Cucurbitaceae. Oleh karena
PRSV dapat teramplifikasi dengan primer PRSV-P hal ini menunjukkan PRSV
pada tanaman tersebut kemungkinan adalah PRSV-W atau PRSV-P, namun perlu
dikonfirmasi dengan perunutan DNA. Tanaman Cucurbitaceae yang terinfeksi
oleh PRSV menunjukkan gejala berupa mosaik, kerdil, dan warna buah yang tidak
sempurna. Menurut Rosales et al. (2000) gejala khas PRSV hanya ditemukan
pada tanaman pepaya, sedangkan pada Cucurbitaceae menunjukkan gejala ringan.
Tanaman muda yang terinfeksi PRSV tidak dapat berkembang, sedangkan
tanaman tua yang terinfeksi akan menghasilkan buah namun mengalami
malformasi dan perubahan warna. Menurut Harmiyati (2015) infeksi PRSV juga
memengaruhi bobot kering tanaman Cucurbitaceae. Tanaman dari famili
Cucurbitaceae, kecuali kabocha tidak menunjukkan penurunan bobot, melainkan
kenaikan bobot. Faktor yang memengaruhi penambahan bobot tanaman adalah
tanaman mengeluarkan senyawa tertentu sehingga dapat mengeliminasi atau
mengurangi infeksi virus dan keberadaan virus tidak mengganggu metabolisme
tanaman (Harmiyati 2015).
Sampel asal Subang yang terdeteksi serologi dengan antiserum CABYV
juga teramplifikasi dengan ukuran ~ 450 pb menggunakan primer universal gen
protein selubung genus Polerovirus. Ukuran DNA ini lebih pendek dibandingkan
dengan DNA kontrol positif PeVYV (Pepper vein yellow virus) yang dilaporkan
oleh Apindiati et al. (2015) yang berukuran 650 pb (Gambar 2b). Polerovirus
menyebabkan gejala kuning pada tanaman mentimun (Knierim et al. 2010).
Gejala kuning banyak ditemukan pada pertanaman mentimun di lokasi
pengambilan sampel. Gejala tersebut ikuti oleh penebalan tulang daun seperti
yang ditemukan di Kabupaten Bogor, Subang, dan Karawang. Spesies dari genus
Polerovirus yang menginfeksi mentimun yaitu CABYV, MABYV (Melon aphid
borne yellows virus), dan SABYV (Suakwa aphid borne yellow virus) (Lecoq et
al. 1992; Knierim et al. 2010). Oleh karena ukuran DNA virus yang teramplifikasi
lebih pendek dibandingkan kontrol positif, perlu dilakukan konfirmasi dengan
perunutan DNA untuk mengetahui spesies virus yang terdeteksi dari sampel
dalam penelitian ini.
Gejala kuning yang teramati di tiga lokasi diikuti oleh beberapa gejala lain
seperti mosaik, kerdil, dan keriting. Gejala yang terlihat pada tanaman mentimun
diduga diinfeksi oleh Begomovirus. Pita DNA Begomovirus teramplifikasi dengan
ukuran DNA yang sama dengan kontrol positif ToLCNDV (Tomato leaf curl new
delhi virus) (Gambar 2c). Septariani et al. (2014) melaporkan ToLCNDV
ditemukan di Tegal, Sleman, Sukoharjo, dan Bogor. Gejala yang terlihat berupa
mosaik kuning, melepuh, menguning, dan mosaik hijau muda. Gejala kuning pada
mentimun juga dilaporkan oleh Adnyani (2015), namun disebabkan oleh SLCCV
(Squash leaf curl china virus). SLCCV menginfeksi tanaman mentimun di Bali
dan menyebabkan produksi mentimun menurun meskipun tidak terjadi penurunan
secara drastis.
Deteksi RT-PCR terhadap sampel CGMMV dan WMV belum berhasil
teramplifikasi dengan primer universal. Sampel yang tidak berhasil teramplifikasi
dapat disebabkan beberapa faktor, yaitu kualitas DNA yang kurang baik, tidak
terdapat kesesuaian antara basa nukleotida target dengan basa nukleotida
penyusun primer, virus yang diamplifikasi bukan merupakan virus target

13

(Padmalatha dan Prasad 2006), dan kondisi penyimpanan sampel yang kurang
baik sehingga RNA terdegradasi (Grisoni et al. 2006). Oleh karena itu CGMMV
dan WMV perlu dideteksi dengan menggunakan primer spesifik virus.

14

SIMPULAN DAN SARAN

Diagnosis virus pada mentimun tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan
gejala saja karena gejala yang bervariasi. Gejala infeksi virus pada tanaman
mentimun di semua lokasi pengambilan sampel dapat disebabkan oleh infeksi
tunggal dan campuran CABYV, CGMMV, CMV, SqMV, WMV, dan ZYMV.
Infeksi PRSV hanya ditemukan di Kabupaten Karawang dan Subang. CABYV
(Polerovirus) dan CGMMV merupakan virus yang masih baru ditemukan di
Indonesia. Untuk konfirmasi identitas genetik CABYV, CGMMV, dan WMV
perlu dilakukan RT-PCR dengan primer spesifik dan perunutan DNA. Perlu
dilakukan pengamatan rutin terhadap intensitas penyakit dan deteksi virus pada
pertanaman di daerah lainnya di Indonesia untuk tujuan pemetaan sebaran virus
dan pemutakhiran data.klklkkjkkjjkhhjhjhjhghghghghggggjfkjfjfsjfjsjjfjfjsffjskjkjf

DAFTAR PUSTAKA
Adlerz WC. 1987. Cucurbit potyvirus transmision by alate aphids (Homoptera:
Aphididae) trapped alive. Journal of Economic Entomology 80:87-92.
Adnyani NNP. 2015. Kloning gen Squash leaf curl china virus (SLCCNV)
penyebab penyakit daun kuning pada tanaman mentimun [Tesis]. Bali (ID):
Universitas Udayana.
Ali A, Mohammad O, Khattab A. 2012. Distribution of viruses infecting cucurbit
crops and isolation of potential new virus like sequences from weeds in
Oklahoma. Plant Disease 96(2): 243-248.
Al-Shahwan IM, Abdalla OA, Al-Saleh MA. 1995. Response of greenhousegrown cucumber cultivars to an isolate of Zucchini yellow mosaic virus
(ZYMV). Plant Disease 79(9): 898-901.
Apindiati RK, Suastika G, Mutaqin KH. 2015. Identifikasi Polerovirus penyebab
klorosis pada cabai asal Bali, Indonesia. Jurnal Fitopatologi Indonesia
11(2):43-50.
Arteaga ML, Alvarez JM, Prados JLA, Bernal JJ, Arenal FG, Lavina A, Batlle A,
Moriones E. 1998. Occurrence, distribution, and relative incidence of
mosaic virus infecting field grow melon in Spain. Plant Disease 82:979982.
Asniwita, Hidayat SH, Suastika G, Sujiprihati S. 2013. Penggunaan galur lemah
Chili veinal mottle virus untuk proteksi silang. Jurnal Fitopatologi
Indonesia 5(9):145-152.
Aulia R. 2004. Inventarisasi dan deteksi virus penyebab mosaik pada famili
Cucurbitaceae di Kotamadya Bogor, Pasir Muncang, dan Cibodas [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Babadoost M. 2012. Viral Disease of Cucurbits. Report on Plant Disease.
University of Illionis.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi sayuran di Indonesia, 1997-2013
[Internet]. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik; [diunduh 2014 April 17].
Tersedia pada: http://www.bps.go.Id/tab_sub/view.Php?kat=3&tabel=1
&daftar=1&id_subyek=55& notab=70.
Boubourakas IN, Hatziloukas E, Antignus Y, Katis NI. 2004. Etiology of leaf
chlorosis and deterioration of the fruit interior of watermelon plants. Journal
of Phytopathology 152(10): 580-588.
Campbell RN. 1971. Description of Plant Viruses. University of Idaho.
Cohen S, Duffus JE, Larsen RC, Liu HY, Flock RA. 1983. Purification, serology,
and vector relationships of squash leaf curl virus, a whitefly-transmitted
Geminivirus. The American Phytopathological Society 73(12): 1669-1673.
Coutts BA, Jones RAC. 2005. Incidence and distribution of viruses infecting
cucurbit crop in the Northem Territory and Western Australia. Australian
Journal of Agricultural Research 56(8):847-858.
Correa RL, Silva TF, Araujo S, Barroso PAV, Vidal MS, Vaslin FS. 2005.
Molecular characterization of a virus from the family Luteoviridae
associated with cotton blue disease. Archives of Virology 150:13571367.doi:10.1007/s00705-004-0475-8.

16
Desbiez C, Lecoq H. 1997. Zucchini yellow mosaic virus. Plant Pathology
46(6):809-829.
Doyle JJ, Doyle JL. 1990. Isolation of plant DNA from fresh tissue. Focus
22(1):13-15.
Duriat AS, Sulyo Y, Sutarya R, Muharam A, Korlina E, Asandhi AA. 1992.
Evaluasi penggunaan vaksin CARNA-5 pada tanaman cabai. Jurnal
Hortikultura 22(4):41-50.
Gonsalves D. 1998. Control of Papaya ringspot virus in papaya. Phytopathology
36:15-37.
Grisoni M, Moles M, Farreyrol K, Rassaby L, Davis R, Pearson M. 2006.
Identification of Potyvirus infecting vanilla by direct sequencing of a short
RT-PCR amplicon. Plant Pathology 55:523-529.
Hadidi A, Khetarpal RK, Koganzewa H. 1998. Plant Virus Diseases Control. St
Paul (US): The American phytopathological Sociaty.
Harmiyati T. 2015. Kisaran inang dan penularan Papaya ringspot virus [Tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hidayat SH, Nurulita S, Wiyono S. 2012. Infeksi papaya ringspot virus pada
tanaman pepaya di provinsi Nanggro Aceh Darussalam. Jurnal Fitopatologi
Indonesia 6(8):184-187.
Hunter WB, Hiebert E, Webb SE, Tsai JH, Polston JE. 1998. Location of
Geminivirus in the whitefly Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae).
Plant Disease 82: 1147-1151.
Jeanne MV, Loos R, Peyre J, Alliot B, Signoret P. 2000. Differentiation of
Poaceae Potyviruses by reverse transcription polymerase chain reaction and
restriction analysis. Phytopathology 148(3):141-151. doi:10.1046/j.14390434.2000.00473.x
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2011. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 93
tahun 2011 tentang Jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina.
Jakarta (ID): RI.
Knierim D, Deng TC, Tsai WS, Green KS, Kenyon L. 2010. Molecular
identification of three distinct Polerovirus species and a recombinant
Cucurbit aphid-borne yellows virus strain infecting cucurbit crops in
Taiwan. Plant Pathology 59:991-1002.
Lecoq H, Bourdin D, Wipf S, Bon C, Lot, Lemaire O, Herrbach E. 1992. A new
yellowing disease of cucurbits caused by a luteovirus, Cucurbit aphid-borne
yellows virus. Plant Pathology 41(6):749-761.
Lecoq H, Desbiez C. 2008. Watermelon mosaic virus and Zucchini yellow mosaic
virus. Di dalam: Smith HG, Barker H, editor. Encyclopedia of Virology. Ed
ke-3. Oxford (GB): Elsevier. hlm 433-440.
Lecoq H, Fabre F, Joannon B, Schiebel WC, Chandeysson C, Schoeny A, Desbiez
C. 2011. Search for factor involved in the rapid shift in Watermelon mosaic
virus (WMV) populations in South-Eastern France. Virus Research
159(2):115-123.
Lestari SM, Nurhayati E. 2014. Efisiensi tular benih Squash mosaic virus pada
Cucurbitaceae. Jurnal Fitopatologi Indonesia 10(3):81-86.
Letschert B, Gunter A, Lesemann DE, Willingmann P, Heinze C. 2002. Detection
and differentiation of serologically cross-reacting Tobamoviruses of

17
economical importance by RT-PCR and RT-PCR-RFLP. Virological
Method 106:1-10.
Li R, Salih S, Hurtt S. 2004. Detection of Geminivirus in sweetpotato by
polymerase chain reaction. Plant Disease 88:1347-1351.
Mohammed H, Manglli A, Zicca S, Mohammed M, Tomassoli L. 2012. First
report of Papaya ringspot virus in pumpkin in Sudan [Internet]. London
(UK): New Disease Report; [diunduh 2015 September 24]. Tersedia pada:
http://www.ndrs.org.uk/article.php?id=026026.
Moradi Z, Jafarpour B. 2010. Mixed infections of Watermelon mosaic potyvirus
and Cucumber green mottle mosaic Tobamovirus in cucurbit hosts. Plant
Protection Journal 2(4):353-365.
Padmalatha K, Prasad MNV. 2006. Optimation of DNA isolation and PCR
protocol for RAPD analysis of selected medicinal and aromatic plants of
conservation on concern from penisular India. African Journal of
Biotechnology 5(3):230-234.
Palukaitis P, Roossinck MJ, Dietzgen, Francki RIB. 1992. Description of plant
viruses: Cucumber mosaic virus [Internet]. Cambridge (GB): Association of
Applied Biologists; [diunduh 2014 April 16]. Tersedia pada: Tersedia
pada:http://www.dpvweb.net/dpv/showdpv.php?dpvno=400.
Poolpol P, Inouye T. 1986. Enhancement of cucumber mosaic virus multiplication
by Zucchini yellow mosaic virus in doubly infected cucumber plants.
Phytopathological Society of Japan 52:22-30.
Roossinck MJ, Russell DW. 2002. Evolutionary of Cucumber mosaic virus
deduced by phylogenetic analyses. Virology 76(7):3882-3887.
Rosales LS, Leor NB, Castro SR, Ortiz DT, Carrazana JCN. 2000. Coat protein
sequence comparisons of three Mexican isolates of Papaya ringspot virus
with other geographical isolates reveal a close relationship to American and
Australian isolates. Archives of Virology 145:835-843.
Rukmana. 1994. Budidaya Mentimun. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Septariani DN, Hidayat SH, Nurhayati E. 2014. Identifikasi penyebab penyakit
daun keriting kuning pada tanaman mentimun. Jurnal Hama Penyakit
Tanaman Tropika 14(1):80-86.
Shang H, Xie Y, Zhou X, Qian Y, Wu J. 2011. Monoclonal antibody-based
serological methods for detection of Cucumber green mottle mosaic virus.
Virology Journal 8(1): 228-235.
Shtayeh MSA, Jamous RM, Husein EY, Alkhader MY. 2010. First report of
Squash leaf curl virus in squash (Cucurbita pepo), melon (Cucumis melo),
and cucumber (Cucumber sativus) in the Northern West Bank of the
Palestinan Authority. American Phytopathological Society 94(5): 640.
Syller J. 2012. Facilitative and antagonistic interaction between plant viruses in
mix infection. Molecular Plant Pathology 13(2):204-216.
Taufik M, Hidayat SH, Suastika G, Sumaraw S, Sujiprihati S. 2005. Kajian plant
growth promoting rhizobacteria sebagai agens proteksi Cucumber mosaic
virus dan Chili veinal mottle virus pada cabai. Hayati 12(4):139-144.
Tripathi S, Suzuki JY, Ferreira SA, Gonsalves D. 2008. Papaya ringspot virus-P:
characteristics, pathogenicity, sequence variability, and control. Molecular
Plant Pathology 9(3):269-280.

18
Wakman W, Kontong MS, Paersley DM. 2002. Watermelon mosaic virus of
pumpkin (Cucurbita maxima) from Sulawesi: identification, transmission,
and host range. Indonesian Journal of Agricultural Science 3(1):33-36.
Zitter TA, Hopkins DL, Thomas CE. 1996. Compendium of Cucurbits Disease. St
Paul (US): APS Press.

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jaharun B, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli
Serdang, Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1993 dari pasangan Sutimin dan
Sutiani dan merupakan anak kedua dari empat bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan menengah Atas di SMA Negeri 1
Tembilahan Hulu pada tahun 2011. Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai
mahasiswa program studi mayor Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota divisi
keprofesian dalam Himpunan Profesi Proteksi Tanaman (Himpro). Penulis juga
aktif sebagai panitia di beberapa kegiatan kampus seperti Masa Pengenalan
Fakultas (MPF), IPB Social and Health care (I-Share), dan National Plant
Protection Event (NPV).
Selama masa studi penulis merupakan asisten praktikum mata kuliah
Pengantar Virologi tahun 2012 dan 2013, Ilmu Penyakit Tumbuhan Dasar tahun
2014 dan 2015 dan Dasar-dasar Proteksi Tanaman tahun 2015 dan 2016. Tahun
2015 penulis mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dengan judul
“Ekstrak Tanaman Kendalikan Virus” yang danai oleh Diretorat Pendidikan
Tinggi (Dikti).

LAMPIRAN

21
Lampiran 1 Hasil Dot blot immunobinding assay Kabupaten Bogor
Nomer
sampel

CABYV

CGMMV

CMV

PRSV

SqMV

WMV

ZYMV

1

3

0

1

0

0

0

0

2

2

1

2

0

0

0

0

3

2

1

2

0

0

0

0

4

3

1

2

0

0

0

0

5

1

0

0

0

0

0

0

6

3

1

2

0

0

0

0

7

3

1

2

0

0

0

0

8

3

1

2

0

0

0

0

9

2

1

2

0

0

1

0

10

2

1

1

0

0

0

0

11

2

1

2

0

0

1

0

12

2

1

2

0

0

0

0

13

1

1

2

0

0

0

0

14

1

1

1

0

0

1

0

15

1

1

1

0

0

1

0

16

1

1

1

0

0

0

0

17

1

1

1

0

0

0

0

18

1

0

1

0

0

0

0

19

1

1

1

0

0

0

0

20

1

1

1

0

0

0

0

21

1

1

1

0

0

0

0

22

1

1

1

0

0

0

0

23

1

1

1

0

0

0

0

24

1

1

1

0

0

0

0

25

1

2

2

0

0

1

0

26

1

1

2

0

1

1

0

27

2

1

2

0

0

0

0

28

2

1

2

0

0

0

0

29

2

1

2

0

0

0

0

30

1

2

2

0

1

1

0

31

1

1

2

0

1

0

0

32

1

1

2

0

0

0

0

33

1

2

1

0

1

0

0

34

3

1

1

0

0

0

0

35

1

1

1

0

0

0

0

36

1

1

1

0

0

0

1

37

1

1

1

0

0

1

0

38

1

1

1

0

0

0

0

39

1

1

1

0

0

1

0

40

1

1

1

0

0

1

0

41

1

1

1

0

0

1

0

42

1

1

1

0

0

1

1

43

1

0

1

0

0

1

0

44

1

0

1

0

0

0

0

45

1

1

1

0

0

0

0

46

1

1

1

0

0

1

0

47

1

1

1

0

0

1

1

48

1

0

1

0

0

0

0

49

2

1

1

0

0

0

0

50
1
1
1
0
0
0
0
Nilai reaksi warna ungu pada metode DIBA. 0 = tidak ter