Potensi Cendawan Endofit Dalam Upaya Pengendalian Penyakit Antraknosa (Colletotrichum Capsici) Pada Tanaman Cabai Merah

POTENSI CENDAWAN ENDOFIT DALAM UPAYA
PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKNOSA
(Colletotrichum capsici) PADA TANAMAN CABAI MERAH

RIANA MURTI HANDAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Potensi Cendawan
Endofit dalam Upaya Pengendalian Penyakit Antraknosa (Colletotrichum
capsici) pada Tanaman Cabai Merah adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Riana Murti Handayani
NIM A352110051

_________________________
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait

RINGKASAN
RIANA MURTI HANDAYANI. Potensi Cendawan Endofit dalam Upaya
Pengendalian Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici) pada Tanaman Cabai
Merah. Dibimbing oleh WIDODO dan SURYO WIYONO.
Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas pertanian penting.
Produktivitas tanaman cabai masih rendah dibandingkan nilai produksi
optimumnya, disebabkan oleh adanya serangan penyakit. Antraknosa merupakan
salah satu penyakit yang menyerang cabai merah. Penyakit ini disebabkan oleh
cendawan Colletotrichum capsici, dan dapat mengakibatkan kerusakan serta
kehilangan hasil panen hingga 100%. Usaha pengendalian penyakit antraknosa
dengan menggunakan pestisida sintetis belum dapat menanggulangi masalah

tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan alternatif upaya pengendalian antraknosa,
diantaranya adalah dengan pengendalian hayati menggunakan cendawan endofit.
Cendawan endofit telah diketahui mampu membantu tanaman inang dalam
membangun ketahanan terhadap patogen tanaman. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui kemampuan cendawan endofit asal tanaman cabai merah dalam
mengendalikan perkembangan penyakit antraknosa. Penelitian ini terdiri atas 5
tahapan, yaitu 1) Eksplorasi cendawan endofit dari tanaman cabai, 2) Uji
patogenisitas, 3) Identifikasi, 4) Uji efektivitas penghambatan perkembangan
penyakit antraknosa pada buah, 5) Pengujian in vitro dan in vivo untuk mengetahui
mekanisme cendawan endofit dalam mengendalikan penyakit antraknosa.
Hasil isolasi diperoleh 237 isolat cendawan endofit, yang terdiri atas 24 isolat
dari Cianjur, 65 isolat dari Bogor, dan 148 isolat dari Garut. Isolasi cendawan
endofit tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar diperoleh dari daun
dibandingkan bagian tanaman lainnya. Cendawan endofit hasil isolasi umumnya
berpotensi patogen, hanya berkisar antara 4-12% yang berpotensi non patogenik.
Hasil uji patogenisitas terdapat 14 isolat cendawan endofit yang berpotensi non
patogenik. Cendawan endofit E9D10G2 mampu menunjukkan penghambatan
perkembangan antraknosa pada buah dari tanaman yang telah diberi perlakuan
endofit.
Cendawan endofit E1Bh5G1 dan E3Cb7B2 memiliki kemampuan antibiosis

terhadap C. capsici, masing-masing pada uji kultur ganda dan uji kultur fitrat
endofit. Pengujian in vivo diketahui bahwa umumnya cendawan endofit yang
diperoleh dalam penelitian ini berpotensi sebagai plant growth promoting fungi
(PGPF), dan menginduksi pembentukan peroksidase tanaman.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui ketepatan waktu dalam
aplikasi cendawan endofit pada tanaman cabai merah, dan mengetahui mekanisme
lainnya yang mendukung keefektivan cendawan endofit dalam mengendalikan
penyakit antraknosa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif
pengembangan teknologi dalam bidang pertanian. Teknologi yang memanfaatkan
interaksi tanaman dengan cendawan endofit dalam pengendalian penyakit tanaman,
serta dapat menunjang peningkatan produksi dan mutu cabai merah.
Kata kunci: antifungi, interaksi, mekanisme antibiosis, penghambatan pertumbuhan

SUMMARY
RIANA MURTI HANDAYANI. Potency of Endophytic Fungi as Biocontrol
Against of Anthracnose Caused by Colletotrichum capsici in Chili Pepper.
Supervised by WIDODO and SURYO WIYONO.
Chili pepper (Capsicum annuum L.) is an important horticultural crop in
Indonesia. However, the production yield is below the optimum target due to some
diseases. Anthracnose disease caused by Colletotrichum capsici could lead to lost

harvest up to 100%. The use of chemically synthetic pesticides was not sufficient
to control anthracnose, thus the use of endophytic fungi as biocontrol against could
serve as a good alternative.
Endophytic fungi has been known to help the host plant’s survival against
pathogens. Therefore, this research was aimed to study the effectiveness of chili
pepper’s endophytic fungi to inhibite the anthracnose. The research was consisted
of five stages; 1) Isolation of endophytic fungi from chili pepper plant,
2) Pathogenicity test, 3) Identification, 4) Effectiveness test of anthracnose
inhibition growth in chili, 5) In vitro and in vivo study to elucidate the mechanism
of disease control by endophytic fungi.
A total of 237 isolates of endophytic fungi were obtained from Bogor,
Cianjur, and Garut with a composition of 24, 65, and 148, respectively. Most of the
isolates used in this study were obtained from the leaves. Most of the isolates are
pathogenic endophytic fungi, and only 4-12% of them are non-pathogenic. The
pathogenicity test showed that 14 isolates are non-pathogenic. Among of the nonpathogenic obtained in this study, isolate E9D10G2 potentially suppressed chili
pepper anthracnose in in planta test.
Isolate E1Bh5G1 and E3Cb7B2 exhibited antibiotic activity toward
C. capsici in dual culture and in vivo test on detached fruits respectively. Based on
the in vivo study, most of the non-pathogenic endophytic fungi in this research are
potentially as plant growth promoting fungi (PGPF) and showed the ability to

induce plant peroxidase production.
Further research should be conducted to know the best application methods
of endophytic fungi to promote chili pepper growth and understand the mechanism
of anthracnose inhibition by endophytic fungi. This research might be expected for
developing the technology in agricultural fields, especially in plant disease
management and optimization of chili pepper quality and production.
Keywords: antibiotic mechanism, antifungal, growth inhibition, interaction
ecies, between species a
environmental conditions will affect for biodiversity and living species. It is also
applies to insects which environmental factors influence the life cycle
of insect. Oil palm is plant of crude palm oil and palm kernel oil, it’s
leading commodity non-oil sector. This plant has a production life
up to 25-30 years, and the plant is cultivated as plantations.
At oil palm plantations known presence of ground vegetation, ie plant
communities making up the bottom stratification near the soil surface. Cultivation

practices and different habitat conditions of each oil palm’s age will certainly affect
for existing ground vegetation. Ground vegetation at palm oil estate is one of the
factors that influence the diversity of insects.
The aim of this reseach was to determine the diversity of insect at oil palm

plantation. The reseach was conductedbasedage groupsof plant: 1styear, 7th years,
and20th years at Rambutan EstatePTPNIII, North Sumatra, Indonesia. Ineach age
group15plots(50 m x50m) was specified for insects sampling. Insectswere
collectedby pitfaltrap, light trap, insectnet, yellow pan trap, andyellowstickytrap
methods.
Total of15 960 insect specimentswerecollected, consisting of12orders,
120familiesand244morphospecies. Diversityof insects that foundin threeage
groupsof plantsshoweda highindex. This result suggestthat age of the planthas no
effect oninsectdiversity. Insect composition in three age groups of plant are
different. At 1stand7th years, the ecological functions of insects dominated by
insects as hebivor, and at20th yearsecological functions of insects dominated by
insect as detritivores.
Positive relationship shown by the abundance of ground vegetation around
the plant oil palm for insect abundance. The higher the percentage of ground
vegetation covering land, the higher abundance of insects can be found

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

POTENSI CENDAWAN ENDOFIT DALAM UPAYA
PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKNOSA
(Colletotrichum capsici) PADA TANAMAN CABAI MERAH

RIANA MURTI HANDAYANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Kikin H. Mutaqin, MSi

Judul Tesis

Nama
NIM

: Potensi Cendawan Endofit dalam Upaya Pengendalian
Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici) pada Tanaman
Cabai Merah
: Riana Murti Handayani
: A352110051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Widodo, MS

Ketua

Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc.Agr
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Fitopatologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 5 Februari 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema
penelitian ini ialah biologi kontrol terhadap penyakit antraknosa pada tanaman
cabai, dengan judul Potensi Cendawan Endofit dalam Upaya Pengendalian
Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici) pada Tanaman Cabai Merah.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih
kepada:
1. Dr. Ir. Widodo, MS, dan Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc.Agr, selaku komisi
pembimbing atas segala kesabarannya memberikan bimbingan, dan saran
selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis.
2. Direktorat Perguruan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Republik Indonesia, yang telah mendanai penelitian ini dalam Program Hibah
Penelitian Unggulan Strategis Nasional.
3. Prof. Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc atas bantuannya dan sebagai ketua
tim peneliti dalam Program Hibah Penelitian Unggulan Strategis Nasional,
Direktorat Perguruan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Republik Indonesia.
4. Dr. Ir. Kikin H. Mutaqin, MSi selaku dosen penguji luar komisi yang telah
memberikan wawasan baru bagi kami.
5. Bapak Rebo dan keluarga, staf dan keluarga besar CV WiSH Indonesia-Bogor,

serta Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman IPB,
atas segala bantuan, dan semangatnya.
6. Ayah (Wahyono), Ibu (Rubiyati), dan adik-adik (Rizki, Tatag), serta Mas Gani
atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya yang tulus.
7. Bapak Katiman dan Ibu Suparni, Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, MSc, serta Prof.
Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, MSc dan Dr. dr. Sri Budiarti beserta keluarga, atas
doa, dukungan, dan semangat yang telah diberikan.
8. Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, MSc, Prof. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS,
Dr. Ir. Efi Toding Tondok, Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, MSc, serta Dr. Ir.
Gayuh Rahayu, atas motivasi, bimbingan, serta semangat yang telah diberikan
selama ini.
9. Bapak, Ibu dosen pengajar IPB yang telah memberikan banyak ilmu selama
penulis menempuh pendidikan di program S2.
10. Sahabat-sahabatku dan semua pihak yang selalu memberikan semangat dan
doa serta bantuannya, sehingga penelitian dan tulisan ini terselesaikan dengan
baik.
Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016
Riana Murti Handayani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xvi

DAFTAR GAMBAR

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

xvi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian

1
1
2
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Antraknosa (Colletotrichum spp.) pada Cabai
Patogenesis dan Siklus Hidup Colletotrichum spp.
Pengendalian Penyakit Antraknosa (Colletotrichum spp.)
Cendawan Endofit
Cendawan Endofit sebagai Agens Pengendalian Hayati

3
3
4
4
5
6

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Bahan
Metode

7
7
7
7

HASIL
Isolasi Cendawan
Uji Patogenisitas
Identifikasi Cendawan Endofit
Kemampuan Cendawan Endofit Menghambat Perkembangan Gejala
Antraknosa pada Buah secara In planta
Kemampuan Cendawan Endofit Menghambat Pertumbuhan Koloni
Cendawan C. capsici, dan Perkembangan Gejala Antraknosa secara
In vitro pada Buah

12
12
12
14
14

14

PEMBAHASAN

17

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

19
19
19

DAFTAR PUSTAKA

20

LAMPIRAN

26

RIWAYAT HIDUP

37

DAFTAR TABEL
1. Isolat cendawan endofit dari beberapa bagian tanaman cabai merah
sehat
2. Patogenisitas cendawan endofit asal berbagai bagian tanaman cabai
merah
3. Patogenisitas cendawan endofit asal tanaman cabai merah dari berbagai
daerah
4. Diameter gejala antraknosa dan kejadian penyakit pada buah dari
tanaman perlakuan
5. Kemampuan penghambatan cendawan endofit terhadap pertumbuhan
cendawan C. capsici pada interaksi koloni ganda
6. Pengaruh kultur filtrat cendawan endofit dalam pengendalian penyakit
antraknosa

12
13
13
14
15
15

DAFTAR GAMBAR
1. Bagan alir penelitian
2. Uji patogenisitas cendawan endofit, (A) benih tidak dapat berkecambah,
(B) Kontrol, (C) benih berkecambah dan terdapat gejala nekrotik
3. Keragaan pertumbuhan tanaman cabai dengan perlakuan cendawan
endofit
4. Nilai uji aktivitas enzim (UAE) peroksidase pada perlakuan bibit
tanaman cabai merah

11
13
16
16

DAFTAR LAMPIRAN
1. Lokasi pengambilan sampel tanaman cabai sehat (A) Cianjur, (B) Bogor,
(C) Garut
2. Beberapa isolat cendawan endofit yang telah diisolasi
3. Hasil isolasi cendawan patogen penyebab antraknosa pada cabai merah,
(A, B) struktur morfologi C. capsici pengamatan dengan mikroskop
compound pada perbesaran 400x, dan (C) koloni cendawan C. capsici
pada media PDA
4. Gejala yang muncul pada kecambah cabai merah dalam uji patogenisitas,
(A dan B) kecambah nekrotik, (C) benih tidak berkecambah, (D)
kecambah tidak berkembang, (E) Kecambah pada kontrol, dan (F)
Kecambah pada perlakuan cendawan endofit non patogenik
5. Hasil identifikasi cendawan endofit berpotensi non fitopatogenik
6. Uji kultur ganda (A) mekanisme antibiosis, (B) mekanisme lisis
7. Keragaan pertumbuhan tanaman dengan perlakuan endofit pada 35 hari
setelah pindah tanam
8. Lahan percobaan (A) Dramaga, (B) Desa Loa-Tamansari

27
28

29

29
30
33
34
35

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan suatu komoditas pertanian yang
penting (KEMENTAN 2015). Produktivitas cabai merah nasional pada tahun 2014
mengalami peningkatan dari tahun 2013 sebesar 8.16 ton per hektar dengan total
luas panen 124.110 hektar, menjadi 8.35 ton per hektar dengan total luas panen
128.734 hektar (BPS 2015). Besarnya produktivitas cabai merah berdasarkan data
tersebut masih di bawah potensi produksinya yang dapat mencapai 20 ton per
hektare (Nurahmi et al. 2011). Produktivitas yang masih rendah tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain anomali iklim, hama, serta penyakit
pada tanaman cabai. Penyebab penyakit pada tanaman cabai yaitu virus, bakteri,
nematoda dan cendawan. Cendawan penyebab penyakit pada tanaman cabai
diantaranya yaitu genus Colletotrichum. Penyakit antraknosa disebabkan oleh
cendawan Colletotrichum spp., dicirikan dengan adanya bercak coklat kehitaman
pada permukaan buah, yang selanjutnya meluas menjadi busuk lunak, pada bagian
tengah bercak terdapat kumpulan titik-titik hitam yang terdiri dari sekelompok seta
dan konidium cendawan (Agrios 2005).
Usaha pengendalian penyakit antraknosa secara hayati perlu dilakukan
sebagai upaya alternatif selain penggunaan pestisida sintetis yang terkadang masih
kurang efektif dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman. Cendawan
endofit merupakan mikroorgnisme yang hidup di dalam jaringan tanaman secara
mutualistik, komensalistik, atau parasitik dengan inangnya (Schulz et al. 1999).
Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa mikroorganisme
endofit mampu membantu tanaman inangnya dalam membangun ketahanan
terhadap patogen (Rodriguez dan Redman 2008). Cendawan endofit juga memiliki
kemampuan menghasilkan metabolit sekunder yang menekan perkembangan
beberapa cendawan patogen, sehingga dapat mengendalikan penyakit tanaman
(Schulz et al. 2002).
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa beberapa cendawan endofit
mampu mengendalikan cendawan penyebab penyakit antraknosa. Istikorini (2008)
mengungkapkan bahwa cendawan endofit yang diisolasi dari akar tanaman cabai,
yaitu Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. mampu menghambat cendawan
Colletotrichum sp. secara langsung. Penggunaan elisitor berupa konidia Fusarium
oxysporum CB5 lebih efektif menghambat pertumbuhan koloni C. acutatum.
Penelitian Wilia (2010) menyebutkan bahwa penekanan penyakit antraknosa oleh
cendawan Acremonium sp., F. oxysforum CT1, dan F. solani CJ1 lebih efektif
dibandingkan dengan penekanan penyakit oleh Trichoderma sp. dan Gliocladium
sp., tetapi tidak terjadi mekanisme antibiosis antara cendawan endofit tersebut
dengan C. acutatum pada uji kultur ganda. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut terkait kemampuan penghambatan cendawan endofit dan
potensi cendawan endofit sebagai agens biokontrol dalam upaya pengendalian
penyakit yang disebabkan oleh cendawan dari genus Colletotrichum ini.

2
Tujuan Penelitian
1. Eksplorasi cendawan endofit asal tanaman cabai.
2. Memperoleh cendawan endofit yang potensial dalam menghambat
perkembangan penyakit antraknosa (C. capsici) pada tanaman cabai merah
(C. annuum L.).
3. Mengetahui mekanisme cendawan endofit potensial dalam menekan
perkembangan penyakit antraknosa (C. capsici) pada tanaman cabai merah
(C. annuum L.).
Hipotesis
Cendawan endofit yang berasal dari tanaman cabai merah mampu
menghambat perkembangan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh
Colletotrichum capsici.
Manfaat Penelitian
Pemanfaatan cendawan endofit yang potensial dalam pengendalian penyakit
antraknosa (C. capsici), dapat memberikan alternatif pengendalian antraknosa.
Alternatif pengendalian antraknosa tersebut diharapkan dapat mengurangi
kehilangan hasil baik pada pertanaman atau pun pascapanen.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Antraknosa (Colletotrichum spp.) pada Cabai
Colletotrichum sp. merupakan penyebab penyakit antraknosa, selain juga
dilaporkan sebagai busuk merah tebu, penyakit buah kopi, busuk mahkota pada
stroberi dan pisang, serta bercak coklat kacang tunggak (Waller et al. 2002).
Penyakit antraknosa merupakan salah satu penyakit yang banyak terjadi dan
merugikan cabai merah. Penyakit antraknosa disebabkan oleh cendawan
Colletotrichum sp., dengan gejala yang diawali oleh bercak coklat kehitaman pada
permukaan buah, yang selanjutnya meluas menjadi gejala busuk lunak. Pada gejala
ini akan muncul kumpulan titik-titik hitam yang merupakan tubuh buah cendawan
tersebut. Gejala yang timbul pada persemaian jika terbawa benih, dapat berupa
kegagalan perkecambahan dan menyebabkan kelayuan. Serangan pada tanaman
dewasa dapat menyebabkan mati pucuk, serta busuk kering pada daun dan batang.
Tingkat serangan antraknosa akan sangat parah ketika musim hujan, dan dapat
menyebabkan kehilangan hasil mencapai 50-100% (Hariati 2007; Pakdeevaraporn
et al. 2005).
Antraknosa pada cabai disebabkan oleh beberapa spesies Colletotrichum
spp., antara lain Colletotrichum gloeosporioides, C. acutatum, C. dematium,
C. capsici, C. truncatum dan C. coccodes (Kim et al. 1999; Pakdeevaraporn et al.
2005; Than et al. 2008; Sharma et al. 2014). Cendawan C. gloeosporioides
memiliki dua strain yaitu strain R dan G. Strain R hanya menyerang buah cabai
masak yang berwarna merah, sedangkan strain G dapat menyerang semua tanaman,
termasuk buah cabai yang masih berwarna hijau maupun buah yang berwarna
merah C. gloeosporioides dan C. capsici (Kim et al. 1985). Jenis patogen tersebut
dapat bertahan di benih dalam waktu yang cukup lama dengan membentuk
acervulus, sehingga merupakan penyakit tular benih. Buah yang terserang C.
capsici menjadi busuk dengan warna seperti terbakar sinar matahari yang diikuti
busuk basah berwarna hitam. Gejala berwarna hitam karena adanya seta yaitu
bagian cendawan yang terbentuk pada aservulus. Cendawan ini pada umumnya
menyerang buah cabai menjelang masak ketika buah mulai berwarna kemerahan
(Mahasuk et al. 2008).
Colletotrichum capsici, C. gloeosporioides, dan C. acutatum merupakan tiga
dari beberapa spesies Colletotrichum yang dilaporkan sebagai penyebab penyakit
antraknosa di Asia (Montri et al. 2009; Kanchana-udomkan et al. 2004; Raj et al.
2014). C. capsici merupakan spesies Colletotrichum yang banyak ditemukan pada
penelitian tersebut. C. capsici menginfeksi buah cabai, dan dapat bertahan pada
benih dengan membentuk aservulus dan mikrosklerotia (Raj dan Chrishtopher
2009). Infeksi C. capsici yang terjadi pada stadia tanaman dewasa lebih tinggi
dibandingkan pada pada fase awal pertumbuhan tanaman cabai (Raj et al. 2013).
C. capsici dipencarkan dari tanaman sakit ke tanaman sehat melalui percikan air,
dan dapat bertahan di dalam benih, sehingga menjadi sumber inokulum patogen
pada pertanaman berikutnya. Penyakit ini juga dapat bersifat sistemik jika tanaman
berasal dari benih yang telah terinfeksi, dan dengan kondisi lingkungan yang sesuai
serta inang rentan akan mendukung bagi perkembangan penyakit (Garg et al. 2013).

4
Patogenesis dan Siklus Hidup Colletotrichum spp.
Spesies cendawan Colletotrichum ini banyak yang bersifat tular benih dan
bertahan hidup dengan baik sebagai saprob pada sisa tanaman mati yang berada di
tanah. Spora seksual dan aseksualnya dapat disebarkan melalui percikan air atau
bersamaan uap air yang terkandung dalam angin (Garg et al. 2013; Nicholson dan
Moraes 1980). Kondisi permukaan tanaman yang basah secara langsung
berpengaruh terhadap perkecambahan spora cendawan, proses infeksi dan
pertumbuhan patogen pada tanaman inang. Pada umumnya infeksi terjadi selama
cuaca hangat dan basah, pada kisaran suhu 27 oC dengan kelembaban tinggi (80%)
yang optimum bagi perkembangan penyakit antraknosa (Than et al. 2008).
Karakteristik hemibiotropik dari beberapa spesies Colletotrichum merupakan gabungan fase biotrofik awal yang singkat, di mana sel inang tetap hidup,
diikuti dengan perkembangan nekrotrofik yang sangat merusak ditandai dengan
meluasnya daerah jaringan mati. Pada proses kolonisasi, keberhasilan kolonisasi
terjadi dengan terbentuknya struktur infeksi selama awal dan pasca fase invasi pada
proses infeksi. Infeksi terjadi dengan apresorium yang berkembang dari
perkecambahan spora pada permukaan jaringan tanaman, yang diikuti penetrasi
dipicu oleh perubahan turgor pada kutikula (Deising et al. 2000) serta dalam
beberapa kasus infeksi ini juga melalui hifa infektif pada sel epidermis inang
(Bailey et al. 1992). Perkecambahan konidia Colletotrichum, terjadi pada saat
patogen menginvestasi sel epidermis inang, dengan membentuk tabung kecambah
pendek yang dikenal sebagai apresorium segera setelah pengenalan inang.
Apresorium dewasa memiliki lapisan melanin dalam dinding sel apressorial dan
senyawa osmotik aktif yang disintesis pada konsentrasi tinggi (Mendgen dan
Deising 1993; Deising et al. 2000). Infeksi yang muncul dalam jaringan tanaman
dibantu oleh produksi efektor penginduksi virulensi terhadap inang (Kleemann et
al. 2012; O'Connell et al. 2012). Koloni baru yang muncul dalam beberapa kasus
akan memasuki fase biotrofik pada jaringan terinfeksi tanpa menunjukkan gejala
eksternal dan dalam jangka waktu yang singkat (1-3 hari) (O’connel et al. 2000).
Gejala eksternal yang tidak muncul tersebut dapat lebih lama dengan melibatkan
faktor dan proses yang menyebabkan patogen tidak aktif (Prusky dan Plumbley
1992). Cendawan memasuki fase nekrotrofik yang menyebabkan kematian pada sel
tumbuhan dan munculnya lesio akibat serangan patogen (Colletotrichum sp.). Jika
terdapat infeksi laten, serangan yang tertunda tersebut akan menyebabkan buah
tampak sehat dan gejala penyakit akan muncul pada pasca panen sehingga kualitas
buah menurun selama masa penyimpanan (Prusky dan Plumbley 1992). Strategi
biotrofik pada spesies Colletotrichum yang hadir dengan tanpa gejala juga dapat
menjadikan Colletotrichum sp. bersifat endofitik dalam jaringan tanaman hidup
(Lu et al. 2004; Joshee et al. 2009; Rojas et al. 2010; Yuan et al. 2011). Fase
teleomorf dari cendawan ini adalah Glomerella. Beberapa spesies dari cendawan
antraknosa mampu menghasilkan jumlah spora aseksual (konidia) yang sangat
banyak dari genus mitosporik atau tidak sempurna (Agrios 2005).
Pengendalian Penyakit Antraknosa (Colletotrichum spp.)
Upaya pengendalian antraknosa (Colletotrichum spp.) perlu dilakukan untuk
mengoptimalkan produktivitas cabai, menekan kehilangan hasil, dan penurunan

5
kualitas buah akibat pemanenan tersebut. Beberapa penelitian telah dilakukan
untuk mengendalikan penyakit antraknosa, diantaranya melalui upaya perakitan
varietas tahan (Wusani 2004), bioteknologi dalam rekayasa genetik tanaman
(Mahasuk et al. 2008), modifikasi lingkungan, pemanfaatan ekstrak tanaman
(Rahman et al. 2011), serta pemanfaatan agens hayati (Istikorini 2008; Wilia 2010).
Pada penelitian Chaisemsaeng et al. (2013) telah diketahui bahwa khamir
isolat HS6 memiliki kemampuan penghambatan tertinggi (46.25%) terhadap
pertumbuhan C. capsici. Penelitian lain melaporkan khamir antagonis (Candida
quercitrusa isolat L2) yang diisolasi dari cabai, menunjukkan penghambatan
sebesar 66.40% terhadap C. capsici (Chanchaichaovivat et al. 2007). Aktivitas
antifungi dari 24 ekstrak tanaman dan metabolit sekunder dari 5 strain Trichoderma
telah terbukti dapat menekan perkecambahan konidia dan perkembangan tabung
kecambah Colletotrichum capsici (Rahman et al. 2011). Cendawan endofit
Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dilaporkan mampu menghambat cendawan
C. acutatum secara langsung, demikian juga dengan elisitor berupa konidia
Fusarium oxysporum CB5 efektif dalam menghambat pertumbuhan koloni
C. acutatum (Istikorini 2008). Patogen penyebab penyakit antraknosa secara in
vitro dapat ditekan pertumbuhannya oleh cendawan Acremonium sp., F. oxysforum
CT1, dan F. solani CJ1, serta tidak terjadi mekanisme antibiosis dalam
penghambatan pertumbuhan C. acutatum oleh cendawan endofit tersebut (Wilia
2010).
Cendawan Endofit
Cendawan endofit merupakan simbion mutualis, yang hidup dalam jaringan
tanaman. Endofit didefinisikan sebagai organisme yang hidup dalam periode waktu
tertentu dan dalam siklus hidupnya mengkolonisasi jaringan hidup tanaman
inangnya tanpa menimbulkan gejala apapun (Schulz dan Boyle 2005). Keragaman
endofit selain ciri morfospesiesnya, dapat diketahui berdasarkan beberapa
karakteristiknya. Karakteristik cendawan endofit meliputi interaksi mutualistik dan
sifat simbiosis antara inang dengan endofit, kemampuan endofit dalam
menginduksi ketahanan pada inang, relatifitas dari infeksi utama dalam
hubungannya dengan evolusi terkait asal cendawan endofit, kelimpahan,
keragaman, atau komposisi cendawan endofit pada inang, mutualistik vertikal dan
horizontal cendawan endofit, regulasi intrinsik cendawan endofit pada tanaman
terkait hubungannya dengan kemampuan kompetisi, antagonisme, dan sifat
interaksi lainnya (Arnold et al. 2003)
Asosiasi tanaman inang dengan beberapa cendawan endofit, mampu
memberikan perlindungan bagi tanaman inang terhadap patogen virulen dan/ atau
kondisi ekstrim lingkungan maupun hama (herbivora). Cendawan endofit juga
dapat memacu pertumbuhan dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
kekeringan dan suhu tinggi (Lehtonen et al. 2005), serta sebagai bioindikator
kesehatan tanaman (Genarro et al. 2003). Peran protektif cendawan endofit pada
tanaman rumput dapat meningkatkan ketahanan tanaman tersebut terhadap
penyakit (Popay dan Bonos 2008). Beberapa penelitian sebelumnya juga
menunjukkan adanya perlindungan inang terhadap serangan cendawan patogen
(Clarke et al. 2006;. Tian et al. 2008). Cendawan endofit dapat bersifat komensalis
(Gundel et al. 2012) atau bahkan membentuk simbiosis mutualis bagi inangnya

6
(Krauss et al. 2007). Cendawan endofit mampu menghasilkan perubahan fisiologis
dan ekologis tanaman, yang berdampak pada peningkatan vigor tanaman (Gundel
et al. 2011; Uchitel et al. 2011). Cendawan endofit membantu tanaman dalam
mengatasi stres abiotik dan biotik (Rasmussen et al. 2008; White dan Torres 2010).
Cendawan Endofit sebagai Agens Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati didefinisikan sebagai pemanfaatan organisme hidup,
hidup selain ketahan genetik tanaman, untuk menekan aktivitas dan populasi satu
atau lebih patogen tanaman, serta membantu dalam pembentukan ketahanan inang
terhadap suatu penyakit (Cook dan Baker 1993). Beberapa cendawan dalam
perannya di alam, hidup di dalam tanaman tanpa menimbulkan kerusakan jaringan
atau gejala akibat adanya infeksi dari cendawan tersebut (Hyde dan Soytong 2008).
Kohabitasi tanaman dan cendawan tersebut berkembang menjadi asosiasi
mutualistik yang spesifik, asosiasi tersebut dapat menghasilkan keunggulan
kompetitif. Penelitian Saikkonen et al. (2010) menunjukkan bahwa beberapa
spesies Neotyphodium dapat membantu tanaman dalam membangun ketahanan
terhadap cendawan lainnnya dan serangga, serta tanaman toleran terhadap
kekeringan. Interaksi ini secara signifikan dapat mempengaruhi kesehatan tanaman
dengan berbagai mekanisme. Mekanisme pengendalian dapat dipahami melalui
cara interaksi organisme tersebut. Organisme yang bersifat biotrof dan hidup dalam
tanaman, secara langsung memanfaatkan fotosintat tanaman inang. Interaksi
tersebut belum dapat diungkapkan dengan pasti, akan tetapi pada interaksi tertentu
cendawan endofit berperan dalam efisiensi fotosintesis (Yan et al. 2013).
Beberapa cendawan endofit mampu mengurangi infeksi patogen dalam
pengendalian penyakit. Dingle dan Mc Gee (2003) mengemukakan bahwa filtrat
kultur Chaetomium dan Phoma sp. dapat mengaktivasi reaksi pertahanan aktif dari
tanaman, sehingga mampu membatasi penyebaran dan replikasi Puccinia recondita
f.sp tritici. Cendawan endofit dapat menghasilkan senyawa metabolit yang berperan
melindungi inang. Li et al. (2004) menunjukkan bahwa kultur cendawan endofit
Neotyphodium sp. yang diisolasi dari rumput Poa ampla Merr. dapat membantu
mengekskresikan enzim kitinase, yang berperan sebagai enzim hidrolitik dalam
menyediakan nutrisi, pertumbuhan atau pertahanan bagi endofit. Kapang endofit
Monotospora sp. yang berasal dari tanaman Cynodon dactylon mampu menghasilkan enzim lakase (Wang et al. 2006). Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh
kapang endofit pun bervariasi dan memiliki aktivitas biologis yang bervariasi pula,
sehingga pemanfaatan cendawan endofit atau pun senyawa metabolit yang dihasilkan banyak dimanfaatkan di bidang pertanian, industri, maupun farmasi (Tan dan
Zou 2001; Zhang et al. 2006).
Mejía et al. (2008) mengemukakan bahwa cendawan endofit yang diisolasi
dari jaringan sehat Theobroma cacao dan diseleksi secara in vitro diketahui bersifat
antagonis terhadap patogen utama kakao. Cendawan endofit umumnya pada
kondisi alami dalam tanaman inang mampu mengkolonisasi inang dengan baik dan
secara in vitro dapat tumbuh cepat serta memiliki kemampuan antibiosis yang
relatif langka terjadi secara alami. Beberapa cendawan endofit secara in vitro juga
cenderung tumbuh lambat, dan tidak mampu mengkolonisasi inang dengan baik.
Clay dan Schardl (2002) menyatakan bahwa hubungan antara dua cendawan dari
famili yang sama menimbulkan efek yang berbeda pada tanaman Lolium

7
multiflorum, yaitu endofit mutualistik (Neotyphodium occultans) dan patogenik
(Claviceps purpurea). Neotyphodium merupakan cendawan endofit yang
membentuk simbiosis sistemik dan tanpa gejala dengan rumput pada musim dingin.
Infeksi alami berpengaruh dalam menghasilkan interaksi simbiotik atau pun nonsimbiotik dengan tanaman pada berbagai kondisi stres terhadap herbisida
N. occultans secara signifikan mengurangi 70% dari infeksi yang ditimbulkan oleh
C. purpurea (Pérez et al. 2013). Penelitian Pérez et al. (2013) menunjukkan bahwa
cendawan endofitik dapat menjadi simbion konstitutif yang bersifat sistemik dan
dapat memediasi interaksi antara inang dengan patogen, pada tingkat stres tanaman
terhadap lingkungan.

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor (PTN-IPB), Lahan percobaan di
CV WiSH Indonesia, serta pertanaman penduduk di Desa Loa, Kecamatan
Tamansari, Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai dengan
Desember 2015.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tanaman dengan buah cabai
merah yang tidak menunjukkan gejala antraknosa, yang berasal dari daerah Cianjur,
Garut, dan Bogor. Cendawan patogen (C. capsici) yang diperoleh dari hasil isolasi
asal buah cabai yang bergejala antraknosa.
Metode
Isolasi Cendawan
Isolasi cendawan patogen. Cendawan patogen yang digunakan dalam
penelitian ini berasal dari buah cabai merah yang menunjukkan adanya gejala
antraknosa. Cabai merah bergejala antraknosa disterilisasi permukaan dengan
dicelup dalam larutan NaOCl 1% selama 30 detik, dan dibilas dengan air destilata
steril, kemudian dikeringkan di atas kertas tisu steril. Bagian buah dipotong dengan
ukuran 1x1 cm, dan ditanam pada media Potato Dextrose Agar (PDA), kemudian
diinkubasikan pada suhu ruang (25-30 oC). Pengamatan dilakukan setiap hari
terhadap pertumbuhan miselium pada potongan jaringan tanaman. Cendawan yang
tumbuh pada potongan jaringan, kemudian disubkultur sehingga diperoleh koloni
murni. Koloni cendawan yang telah murni diamati di bawah mikroskop dan
diidentifikasi.
Isolasi cendawan endofit. Cendawan endofit diisolasi dari bagian tanaman
(akar, batang, cabang, daun, dan buah) yang telah dicuci dengan air dan disterilisasi
permukaannya. Sterilisasi permukaan dilakukan secara bertahap dengan merendam

8
dalam etanol 70% (1 menit), kemudian dengan NaOCl 1% (daun dan buah) dan 3%
(akar, batang, dan cabang) selama 3 menit dan etanol 70% selama 30 detik. Setelah
disterilisasi kemudian dibilas dengan air destilata steril dan dikeringkan di atas
kertas tisu steril. Setelah dipotong dengan ukuran 0.5-1 cm, bagian tanaman
tersebut ditanam pada media Malt Extract Agar (MEA) 10%, dan diinkubasikan
pada suhu ruang (25-30 oC). Pengamatan dilakukan setiap hari terhadap
pertumbuhan miselium pada potongan jaringan tanaman. Uji awal kesterilan
jaringan tanaman dilakukan dengan cara membuat goresan air destilata steril pada
bilasan terakhir di permukaan media MEA 10% dan selanjutnya diinkubasi selama
3-5 hari. Uji kesterilan dilakukan untuk meyakinkan bahwa cendawan yang muncul
berasal dari dalam jaringan tanaman. Hasil isolasi cendawan endofit tidak dapat
digunakan jika pada media uji kesterilan masih ditemukan kontaminan (modifikasi
Rodriguez dan Redman 2008).
Uji Patogenisitas
Seleksi cendawan non patogenik dilakukan dengan metode penanaman biji
cabai di atas permukaan koloni isolat cendawan endofit (7 hari setelah masa
inkubasi koloni cendawan) pada media Potato Dextrose Agar (PDA). Biji yang
akan ditanam, direndam dalam air destilata steril selama 15 menit, kemudian
disterilisasi permukaan dengan larutan NaOCl 1% selama 2 menit, dan dibilas
sebanyak tiga kali dengan air destilata steril, kemudian dikeringanginkan di atas
kertas tisu steril. Pengamatan patogenisitas cendawan endofit dilakukan pada 14
hari setelah penanaman benih pada media PDA dengan koloni cendawan endofit.
Patogenisitas cendawan endofit terhadap benih cabai dan perkecambahan cabai
diketahui berdasarkan penghambatan cendawan endofit terhadap perkecambahan
benih cabai, daya kecambah benih cabai, serta gejala nekrotik yang ditimbulkan
pada kecambah cabai. Cendawan endofit non patogenik tidak akan menimbulkan
gejala penyakit atau kerusakan jaringan pada tanaman tersebut (Istikorini 2008).
Identifikasi
Isolat-isolat cendawan endofit yang diperoleh tersebut diidentifikasi
berdasarkan karakter morfologi secara mikroskopik yang meliputi bentuk konidia,
bentuk hifa, dan beberapa karakter lainnya yang dicocokkan dengan pustaka acuan
identifikasi menurut Barnett dan Hunter (1998), dan Watanabe (2002).
Penyiapan Pembibitan Cabai, Inokulasi Cendawan Endofit dan Uji
Ketahanan Buah terhadap C. capsici secara In planta
Inokulum yang digunakan dalam aplikasi untuk pembibitan cabai adalah
suspensi cendawan endofit. Cendawan endofit yang membentuk konidia, dilakukan
panen konidia dengan menambahkan air steril (10 ml), kemudian menggosok
permukaan koloni dengan jarum ose untuk memisahkan konidia dari media.
Cendawan endofit yang berupa miselia steril disiapkan dengan menumbuhkan
cendawan endofit tersebut dalam media Potato Dextrose Broth (PDB), dan
digoyang dengan shaker selama 7 hari pada kecepatan 100 rpm. Miselia yang telah
tumbuh dipisahkan dari PDB dan dibilas 3 kali menggunakan air destilata steril,
kemudian dimasukkan ke dalam wadah berisi 100 ml air destilata steril. Suspensi
miselium tersebut dihancurkan menggunakan ultra disperser (IKA ULTRA-

9
TURRAX T18 Basic) dengan kecepatan 3500-24000 rpm selama 5 menit atau
hingga didapatkan suspensi yang relatif homogen. Kerapatan propagul cendawan
endofit yang digunakan adalah 106 cfu ml-1.
Inokulasi cendawan endofit dilakukan 2 kali, yaitu inokulasi dengan
perendaman benih selama 12 jam sebelum ditanam, dan penyiraman suspensi
cendawan endofit pada bibit cabai berumur 3 minggu setelah semai. Perlakuan
dengan air destilata steril untuk perendaman dan penyiraman digunakan sebagai
perlakuan kontrol. Benih cabai yang telah diberi perlakuan ditanam pada baki semai
dengan media semai terdiri atas sekam bakar, pupuk kandang, dan media tanam
komersil dengan perbandingan 1:1:1 (v/v). Tanaman persemaian yang telah
berumur 4 minggu setelah semai dipindah tanam ke lahan pertanaman. Perawatan
tanaman dilakukan dengan penyiraman dan pemupukan tanaman secara berkala,
sampai tanaman berbuah.
Buah cabai yang dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan endofit dipanen.
Buah dicuci bersih dan disterilisasi permukaan menggunakan NaOCl 1%, serta
dibilas dengan air destilata steril sebanyak tiga kali, kemudian dikeringanginkan di
atas kertas buram steril. Buah yang telah disterilisasi permukaan tersebut dilukai
dengan jarum, kemudian ditetesi suspensi konidia C. capsici (kerapatan 106
cfu ml-1) sebanyak 20 l pada setiap titik pelukaan. Pengamatan dilakukan terhadap
jumlah titik inokulasi yang bergejala antraknosa dan diameter gejala yang timbul
pada titik pelukaan buah tersebut.
Kejadian penyakit diamati 7 hari setelah inokulasi. Pengamatan dilakukan
terhadap 3 buah cabai setiap perlakuan yang diulang 5 kali. Kejadian penyakit
antraknosa dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
KP =

n
×
N

%

Keteranganμ
KP = Kejadian penyakit
n
= Jumlah titik luka yang bergejala
N
= Jumlah titik luka pada buah yang diamati
Uji Daya Penghambatan Cendawan Endofit terhadap Pertumbuhan
Cendawan C. capsici secara In vitro
Uji daya hambat dengan metode kultur ganda. Medium yang digunakan
untuk uji ini adalah media PDA. Masing-masing cendawan non patogenik (diameter
0.5 cm) diletakkan pada media PDA dalam cawan Petri (diameter 9 cm) dengan
jarak 2.2 cm dari pinggir cawan, kemudian dipasangkan dengan potongan media
yang ditumbuhi C. capsici (diameter 0.5 cm) pada jarak ± 4 cm dari cendawan
endofit. Masing-masing perlakuan terdiri atas 5 ulangan. Pengamatan dilakukan
pada 7 hari masa inkubasi, dengan mengukur diameter koloni cendawan patogen.
Pengamatan dilakukan terhadap diameter koloni pertumbuhan cendawan C. capsici
dan lebar zona penghambatan antara kedua ujung koloni cendawan. Persentase
penghambatan cendawan patogen (Colletotrichum sp.) dihitung dengan persamaan
sebagai berikut:
(dk − dp )
x
%
PR =
dk

10
Keterangan:
PR
dk
dp

= Persentase penghambatan relatif
= Diameter koloni patogen yang tumbuh sebagai kontrol
= Diameter koloni patogen yang tumbuh pada uji kultur ganda

Uji kemampuan filtrat kultur cendawan endofit terhadap penyakit
antraknosa pada buah cabai. Inokulum cendawan endofit yang telah diinkubasi
selama 7 hari pada medium PDA, dibiakkan ke dalam media PDB dan digoyang
dengan penggojok (shaker) pada kecepatan 100 rpm selama 14 hari. Kultur filtrat
yang dihasilkan oleh cendawan endofit dalam media PDB (14 hari) kemudian
disaring menggunakan saringan milipore 0.22 m, kemudian disentrifugasi dengan
kecepatan 6000 rpm selama 1 menit dan diambil supernatannya. Supernatan
tersebut diencerkan dengan air destilata steril sampai konsentrasi larutan 5% (v/v).
Suspensi patogen diperoleh dengan cara menuangkan air destilata (3-5 ml) ke
dalam koloni C. capsici yang telah diinkubasi selama 7 hari pada medium PDA.
Suspensi disaring dengan kain kasa (3 lapis) untuk memisahkan hifa dan miselia,
kemudian disentrifugasi 1500 rpm selama 1 menit, dan dibuang cairannya.
Buah cabai dari pertanaman dicuci bersih dan disterilisasi permukaannya
menggunakan NaOCl 1% dengan direndam selama 2 menit, serta dibilas dengan air
destilata steril sebanyak tiga kali. Buah yang telah disterilisasi permukaannya
direndam (selama 5 menit) dalam kultur filtrat 5% (v/v), dan dikeringanginkan.
Buah yang telah direndam tersebut, kemudian dilukai dengan jarum, dan diteteskan
suspensi konidia C. capsici (kerapatan 106 cfu ml-1) sebanyak 20 l pada tiap titik
luka. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah titik bergejala dan diameter dari gejala
yang timbul di titik pelukaan pada buah tersebut, pada 7 hari setelah inokulasi.
Karakterisasi Mekanisme Agens Hayati terhadap Pertumbuhan
Cendawan C. capsici secara In vivo
Evaluasi adanya induksi resistensi pada tanaman cabai. Evaluasi adanya
induksi resistensi pada tanaman cabai dilakukan melalui analisis fitokimia enzim
peroksidase (modifikasi Hammerschmidt et al. 1982). Enzim peroksidase
diekstraksi dari bagian batang tanaman yang sudah diberi perlakuan digerus dalam
buffer fosfat 0.01 M, pH 6.0 dengan perbandingan 1:4 (g ml-1) menggunakan
mortar. Hasil gerusan disaring dengan kain, kemudian disentrifugasi dengan
kecepatan 5 000 rpm selama 30 menit pada suhu 4 oC. Supernatan diencerkan
dengan larutan bufer fosfat 0.01 M, pH 6.0 (1:3) dan dihomogenkan (sebagai
sumber enzim).
Analisis kuantitatif enzim peroksidase dilakukan dengan metode
spektrofotometri. Blanko yang digunakan dalam analisis ini adalah larutan pereaksi
tanpa sumber enzim. Larutan pereaksi terdiri atas 5 ml larutan pirogallol 0.5 M dan
0.5 ml H2O2 1%. Larutan pirogallol 0.5 M terbuat dari 10 ml pirogalol 0.5 M, 12.5
ml bufer fosfat 0.066 M, pH 6.0 dan air destilata hingga volume 100 ml. Larutan
pereaksi ditambahkan pada 0.2 ml larutan sumber enzim. Campuran tersebut
selanjutnya dihomogenkan selama 5 sampai 10 detik dan diamati pada panjang
gelombang ( ) 420 nm. Nilai absorban diamati setiap 30 detik selama 150 detik.
Perhitungan unit aktivitas enzim (UAE) dilakukan dengan mengurangi nilai
absorbansi yang diperoleh dengan blanko, dan rata-rata nilai absorbansi ((Absorban

11
Optical Density) AOD = b) dari suatu pengamatan dihitung melalui persamaan
regresi (Y=a+bx).
Unit aktivitas enzim (UAE) dihitung dengan persamaan :
UAE = AOD x sediaan enzim (ml) / bobot basah kontrol (g)
Kemampuan cendawan endofit dalam memacu pertumbuhan tanaman
cabai. Bibit tanaman cabai yang telah diinokulasi cendawan endofit, dan berumur
35 hari setelah tanam, diambil sebanyak 5 tanaman. Sampel tanaman tersebut
diukur tinggi tajuk, dan panjang akar, serta jumlah daun.

Eksplorasi Cendawan Endofit
Koleksi

Isolasi
Uji Patogenisitas

Patogenik
Tidak diuji

Non Patogenik

Uji Efikasi
Plant Growth
Promoting
Fungi

Uji Buah
(Pascapanen)

Evaluasi
Mekanisme

Uji Peroksidase

Uji Kultur Ganda
(Uji Antagonis)

Uji Kultur
Filtrat
Isolat cendawan Potensial
(Agens Biokontrol Antraknosa)

Gambar 1 Bagan alir penelitian

12

HASIL
Isolasi Cendawan
Sampel buah cabai merah sakit bergejala antraknosa diperoleh dari
pertanaman di daerah Gunung Bunder (Bogor) dan berhasil teridentifikasi sebagai
Colletotrichum capsici. Colletotrichum capsici (Syd.) Butler dan Busby memiliki
konidia agak meruncing seperti bulan sabit (falcate) berukuran panjang 16-30 µm
dan banyak seta (Sutton 1992).
Pada penelitian ini telah dilakukan pengambilan sampel dan isolasi
cendawan. Sampel tanaman cabai diperoleh dari daerah Cianjur (Mangunkerta,
Varietas Tanjung), Bogor 1 (Gunung Bunder, Varietas TW), Bogor 2 (Situ Gede,
Varietas TM 99), Garut 1 (Desa Panjiwangi, Varietas TM 99) dan Garut 2 (Desa
Rancabango, Varietas TM 99), masing-masing lokasi 10 tanaman cabai merah,
dengan umur tanaman antara 3-3.5 bulan. Lokasi pengambilan sampel umumnya
merupakan dataran tinggi (604-800 mdpl).
Cendawan endofit yang berhasil diisolasi dari wilayah Cianjur, Garut, dan
Bogor berjumlah 237 isolat, yang terdiri atas 24 isolat dari Cianjur, 65 isolat dari
Bogor, dan 148 isolat dari Garut (Tabel 1). Hasil isolasi cendawan endofit dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar cendawan endofit pada tanaman
cabai ditemukan dari daun dibandingkan bagian tanaman lainnya (Tabel 1).

Tabel 1 Isolat cendawan endofit dari beberapa bagian tanaman cabai merah sehat
Asal
Isolat

Akar
7 (2λ.17)1

Jumlah isolat dari bagian tanaman
Batang
Cabang
Daun
6 (25.00)
1 (4.17)
6 (25.00)

Cianjur
Bogor
13 (20.00) 13 (20.00)
7 (10.77)
28 (43.08)
Garut
23 (15.54) 10 (6.67)
4 (2.70)
83 (56.08)
Total
43 (18.10) 2λ (12.24) 12 (5.06) 117 (4λ.37)
Keterangan : 1 Angka di dalam kurung menunjukkan persentase.

Buah
4 (16.70)

Total
24

(λ.λ5)

4 (6.15) 65 (26.70)
28 (18.λ0) 1 48 (63.35)
36 (15.20) 237 (100.00)

Uji Patogenisitas
Pengujian cendawan endofit pada benih cabai mengindikasikan adanya
pengaruh cendawan endofit terhadap perkecambahan benih. Isolat yang menyebabkan benih tidak berkecambah, menunjukkan gejala nekrosis, atau pertumbuhan
kecambah yang lebih lambat dari kontrol, dan diduga cendawan endofit tersebut
berpotensi sebagai patogen. Cendawan yang menyebabkan perkecambahan dan
pertumbuhan yang lebih baik atau sama dengan kontrol diduga tidak bersifat
patogenik. Cendawan endofit yang berhasil diisolasi dari tiap bagian tanaman cabai
merah besar umumnya berpotensi sebagai patogen dan hanya sebagian kecil
dengan kisaran 4-12% yang bersifat non patogenik (Tabel 2). Cendawan endofit
yang di isolasi dari daerah pertanaman di Cianjur secara keseluruhan berpotensi
patogen, sedangkan cendawan endofit hasil isolasi dari daerah Bogor dan Garut

13
terdapat beberapa cendawan endofit yang berpotensi non patogenik, masingmasing ditemukan 8% dan 12% (Tabel 3).
Tabel 2 Patogenisitas cendawan endofit asal berbagai bagian tanaman cabai
merah
Jumlah isolat dari bagian tanaman
Akar
Batang
Cabang
Daun
Potensi patogen 41 (λ5.35)1 28 (λ3.33) 17 (λ4.44) 55 (88.8λ)
Non patogenik
2 (4.65)
2 (6.67)
1 (5.56)
7 (11.11)
43(100.00) 30 (100.00) 18(100.00) 63 (100.00)
Total
Keterangan : 1 Angka di dalam kurung menunjukkan persentase
Patogenisitas

Total
Buah
1λ (λ0,48) 161 (λ2.00)
2 (λ.52)
14 (8.00)
21 (100.00) 175(100.00)

Tabel 3 Patogenisitas cendawan endofit asal tanaman cabai merah dari berbagai
daerah
Patogenisitas

Cianjur
22 (100.00)1
0 (0.00)

Potensi patogen
Non patogenik

Asal isolat
Bogor
38 (88.37)
5 (11.63)

Garut
101 (λ1.82)
λ (8.18)

Keterangan : 1 Angka di dalam kurung menunjukkan persentase

Hasil uji patogenisitas cendawan endofit terhadap benih menunjukkan
beberapa respon yang beragam. Respon tersebut diantaranya yaitu benih tidak dapat
berkecambah, benih berkecambah dan terdapat gejala berupa nekrosis pada
kecambah, serta benih berkecambah tanpa adanya gejala nekrosis (Gambar 2).
Perkecambahan benih dengan perlakuan cendawan endofit pada umumnya
menunjukkan daya kecambah yang lebih kecil dari kontrol.

A

B

C

Gambar 2 Uji patogenisitas cendawan endofit, (A) benih tidak dapat berkecambah,
(B) Kontrol, (C) benih berkecambah dan terdapat gejala nekrotik

14
Identifikasi Cendawan Endofit
Cendawan endofit non patogenik merupakan yang berhasil ditemukan berpotensi sebagai kandidat agens pengendalian hayati. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa dari 14 cendawan endofit non patogenik 2 diantaranya tidak dapat
digunakan lebih lanjut, yaitu isolat E6D9B2 dan isolat E8B3G2. Cendawan endofit
E6D9B2 dan E8B3G2 diidentifikasi sebagai Paecilomyces sp.
Uji lanjut dalam mengetahui potensi cendawan endofit dari tanaman cabai
merah dilakukan terhadap 12 isolat cendawan endofit yang teridentifikasi yaitu
sebagai cendawan dengan miselia steril (E1Bh5G1, E2A3B2, E5BH4G1, E7B8B2,
E11D9B2, E13A7G1, E14D2G2), Curvularia sp. (E3Cb7B2), Verticillium sp.
(E9D10G2, E12D6G2), Colletotrichum gloeosporioides (E4D5G1), Fusarium
solani non patogenik (E10D6G1) (Lampiran 5).
Kemampuan Cendawan Endofit Menghambat Perkembangan Gejala
Antraknosa pada Buah secara In planta
Tingkat insidensi penyakit dan diameter gejala antraknosa pada buah yang
berasal dari tanaman perlakuan tidak berbeda nyata dengan kontrol. Namun dari
hasil uji pada buah menunjukkan adanya potensi penghambatan oleh isolat
E9D10G2 (Tabel 4).

Tabel 4 Diameter gejala antraknosa dan insidensi penyakit pada buah dari tanaman
perlakuan
Perlakuan
Kontrol
E1Bh5G1
E2A3B2
E3Cb7B2
E4D5G1
E5Bh4G1
E7B8B2
E9D10G2
E10D6G1
E11D9B2
E12D6G2
E13A7G1
E14D2G2

Diameter gejala antraknosa (cm)
0.64 ± 0.28
1.18 ± 0.11
1.21 ± 0.18
0.96 ± 0.25
0.78 ± 0.15
1.64 ± 0.04
0.96 ± 0.14
0.48 ± 0.10
0.91 ± 0.11
1.20 ± 0.24
1.29 ± 0.03
1.20 ± 0.27
1.35 ± 0.22

Insidensi penyakit (%)
44.44
72.22
64.44
71.11
60.00
77.78
55.56
36.67
61.11
65.56
66.67
62.22
72.22

Kemampuan C