Potensi Jamur Endofit dalam Mengendalikan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici) pada Tanaman Cabai (Capsicum annum) Chapter III V

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2012 sampai dengan Mei 2014.
Isolasi dan perbanyakan jamur endofit dilakukan di laboratorium Penyakit
Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, sedangkan
penelitian lapang

dilaksanakan di Dusun Sentosa Desa Gampong Blang

Kecamatan Langsa Kota, Kota Langsa, Provinsi Aceh.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laminar air flow
cabinet, autoklaf, oven, cawan petri, jarum inokulasi, bunsen, kompor gas,
pengaduk kaca, pinset, kertas saring, inkubator, aluminium foil, mikroskop, cover
glass, gelas objek, gelas ukur, tabung reaksi, pipet volume, erlenmeyer, jangka
sorong, botol media, shaker, sentrifugasi, timbangan analitik dan silet.
Bahan-bahan yang digunakan adalah akar, batang dan buah tanaman cabai,
buah cabai yang terinfeksi jamur Colletotrichum, benih cabe Lado F-1, natrium
hipoklorit 1%, akuadest, potato dextrose agar (PDA), etanol, dan sebagainya.
Metode Penelitian

Di laboratorium (In Vitro)
Metode Penelitian menggunakan Rancangan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) non Faktorial dengan 3 kali ulangan, yaitu :
-

Hanya Colletotrichum

-

B1 (endofit asal batang)

-

B2 (endofit asal batang)

-

C1 (endofit asal buah)
14
Universitas Sumatera Utara


15

-

C2 (endofit asal buah)

-

A (endofit asal akar)

Sehingga diperoleh 6 x 3 = 18 satuan perlakuan, dari hasil uji F terdapat pengaruh
nyata maka akan dilanjutkan dengan Uji beda rerata DMRT 5%.
Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini yaitu (Gomez &
Gomez, 1995) :
Yi =  + ζi +Ei
Dimana :
Yi

= Hasil pengamatan yang diperoleh pada perlakuan daya hambat

jamur endofit terhadap Colletotrichum



= Nilai tengah

ζi

= Pengaruh perlakuan

Ei

= Pengaruh error dari perlakuan

Di Rumah kasa (In Vivo)
Metode Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
Faktorial dengan 2 faktor dan 3 kali ulangan, yaitu :
Faktor Pertama ; cara aplikasi isolat endofit (A) terdiri dari 4 taraf, yaitu :
A1
A2

A3
A4

= perendaman benih cabai pada isolat endofit
= perendaman akar cabai pada isolat endofit
= penyemprotan isolat endofit pada daun cabai
= penyemprotan isolat endofit pada buah cabai

Faktor kedua ; Asal isolat jamur endofit (E) terdiri dari 4 taraf, yaitu :
E0
= Tanpa isolat jamur endofit (kontrol).
E1
= Isolat jamur endofit dari akar cabai
E2
= Isolat jamur endofit dari batang cabai
E3
= Isolat jamur endofit dari buah cabai
Sehingga didapat 4 x 4 = 16 kombinasi perlakuan yaitu :

Universitas Sumatera Utara


16

A1E0

A2E0

A3E0

A4E0

A1E1

A2E1

A3E1

A4E1

A1E2


A2E2

A3E2

A4E2

A1E3

A2E3

A3E3

A4E3

Untuk ulangan perlakuan dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
( t − 1) (r − 1) ≥ 15
(16 – 1) (r – 1) ≥ 15
15 (r – 1) ≥ 15
15r ≥ 30

r≥2
Jumlah ulangan

:3

Jumlah plot

: 48

Jumlah tanaman sampel

:3

Jumlah tanaman seluruhnya : 144 tanaman
Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini yaitu (Gomez &
Gomez, 1995) :
Yijk =  + i + Aj + Ek + (AE) jk +Eijk
Dimana :
Yijk


= Hasil pengamatan yang diperoleh pada perlakuan cara aplikasi
isolat endofit ke j (j = 1, 2, 3 dan 4) dan asal isolat jamur
endofit ke k (k = 0, 1, 2 dan 3) pada blok ke i (i = 1, 2, dan 3).



= Nilai tengah

i

= Pengaruh blok ke i

Universitas Sumatera Utara

17

Aj

= Cara aplikasi isolat endofit ke j


Ek

= Asal isolat jamur endofit ke k

(AE) jk = Pengaruh interaksi cara aplikasi isolat endofit ke j dan asal isolat
jamur endofit ke k.
Eijk

= Pengaruh error dari perlakuan cara aplikasi isolat endofit ke j
dan isolat jamur endofit ke k pada blok ke i.

Pelaksanaan Penelitian
Di laboratorium (In Vitro)
1. Isolasi dan pemurnian jamur endofit
Jamur endofit diisolasi dari akar, batang dan buah cabai sehat yang
dilakukan dengan metode Radu & Kqueen (2002) yang dimodifikasi. Sampel
diambil secara acak dari tanaman cabai sehat di lapangan. Sampel di masukkan
dalam plastik polietilen dan dibawa ke laboratorium. Setiap sampel ditulis lokasi,
tanggal pengambilan, varietas dan umur tanaman. Selanjutnya di laboratorium
setiap sampel dicuci dengan air mengalir. Setelah itu sampel dipotong-potong

kecil dengan ukuran ± 1cm dan disterilkan dengan etanol 70% selama satu menit
lalu, natrium hipoklorit 1,5% selama tiga menit. Setelah itu dibilas dengan
akuades steril sebanyak dua kali, dan dikeringkan dengan kertas saring steril.
Potongan dari sampel ditumbuhkan pada media PDA. Biakan diinkubasi
pada temperatur ruang selama 5 hari. Jamur yang tumbuh diisolasi hingga
diperoleh biakan murni.

Universitas Sumatera Utara

18

2. Isolasi dan identifikasi jamur patogen
C. capsici diperoleh dari buah cabai yang telah terinfeksi patogen di
lapangan. Buah cabai di potong kecil-kecil di bagian perbatasan antara yang sehat
dan yang sakit. Setelah itu potongan-potongan tersebut didesinfeksi dengan
larutan natrium hipoklorit 1 % selama ± 5 menit, dibilas dengan air steril
sebanyak 2 kali, selanjutnya diletakkan di atas kertas saring steril sampai kering.
Potongan tersebut ditumbuhkan pada media PDA, hingga diperoleh biakan murni.
Selanjutnya setiap jamur yang tumbuh diidentifikasi dengan menggunakan buku
kunci identifikasi berdasarkan buku Illustrated Genera of Imperfect fungi oleh

Barnett (1972).
3. Uji antagonisme jamur endofit dengan jamur C. capsici
Uji antagonisme mengacu pada metode dua biakan (dual culture method)
(Benhamou & Chet, 1993). Percobaan dilakukan untuk menguji apakah jamur
endofit menghambat pertumbuhan jamur Colletotrichum. Jamur endofit dan
Colletotrichum di ambil dengan cock borer ditumbuhkan dalam satu cawan petri
yang berisi media PDA dengan jarak 3 cm dari masing-masing cawan petri yang
berlawanan, diinkubasi pada suhu ruang, pengamatan dilakukan setiap hari sampai
hari ke 7. Peubah yang diamati adalah pertumbuhan jamur endofit, Colletotrichum
dan zona penghambatan. Persentase penghambatan (P) dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
P=

x 100 %

Dimana:
P = Persentase penghambatan (%)

Universitas Sumatera Utara

19

r1 = Jari-jari koloni jamur patogen yang tumbuh berlawanan arah
(menjauhi) koloni jamur endofit
r2 = Jari-jari koloni jamur patogen yang tumbuh ke arah (mendekati)
koloni jamur endofit
Lebar zona penghambatan adalah lebar zona antara kedua ujung koloni
jamur diukur setiap hari sampai hari ke tujuh setelah kedua koloni jamur
ditumbuhkan pada cawan petri (Purwantisari & Rini 2009).
4. Identifikasi jamur endofit
Jamur endofit yang didapat diidentifikasi dengan melihat ciri makroskopis
dan mikroskopis, dengan mengacu pada buku petunjuk klasifikasi Illustrated
Genera Imperfect Fungi menurut Barnet & Hunter (1972).
5. Uji patogenisitas jamur endofit
Untuk membuktikan bahwa jamur endofit tidak menyebabkan gejala
penyakit maka perlu dilakukan uji patogenisitas jamur endofit pada tanaman
cabai. Buah cabai dicuci bersih dengan air mengalir dan didesinfeksi dengan
alkohol 70%, kemudian dikeringkan dengan menggunakan kertas tissu steril.
Setelah itu diletakkan di bak plastik yang telah dialasi dengan tissu basah.
Inokulasi pada buah dilakukan dengan metode penempelan biakan dan pelukaan
jaringan. Dari masing-masing biakan dibuat potongan-potongan berukuran 0,4
cm. Potongan-potongan biakan tersebut ditempelkan pada permukaan buah cabai
yang telah dilukai dengan jarum steril, sedang pada kontrol hanya dengan PDA.
Masing-masing bak plastik diisi 5 buah cabai untuk setiap perlakuan jamur
endofit untuk setiap ulangan. Biakan diinkubasi pada temperatur ruang.

Universitas Sumatera Utara

20

Pengamatan dilakukan setiap hari hingga 10 (sepuluh) hari setelah inokulasi (hsi)
(Hafsah, 2007).
6. Uji Postulat Koch untuk jamur C. capsici pada buah cabai
Uji ini dimaksudkan untuk membuktikan dan meyakinkan bahwa benar
isolat C. capsici yang telah berhasil diisolasi merupakan penyebab utama penyakit
antraknosa pada buah cabai. Pengujian dilakukan dengan menggunakan buah
cabai masak dan sehat sebagai unit percobaan. Selanjutnya buah didesinfeksi
dengan alkohol 70% dan dilukai dengan jarum steril kemudian ditusukkan
sedalam ± 1 mm pada sekitar 3 cm di bawah pangkal buah.
Setelah pelukaan, segera diteteskan 50 μl suspensi konidia C. capsici (106
konidia/ml) pada luka tersebut (Indratmi, 2009). Buah cabai yang telah
diperlakukan kemudian diinkubasi pada temperatur ruang di dalam kotak plastik
tertutup dan lembab. Sebagai kontrol buah cabai diperlakukan dengan air steril
dengan menggunakan teknik yang sama. Pengamatan dilakukan setiap hari setelah
inokulasi sampai hari ke 9.
Di Rumah kasa (In Vivo)
1. Persiapan media tanam
Tanah untuk media tanam terlebih dahulu dibersihkan dari akar, rumputrumputan, batu dan kerikil. Setelah itu tanah dicampur dengan pupuk kandang
dengan perbandingan 2:1. Campuran tanah dan pupuk kandang tersebut kemudian
disterilkan dengan cara dipanaskan di dalam tong pengukus selama 2 jam. Setelah
itu tanah steril siap digunakan.

Universitas Sumatera Utara

21

2. Perlakuan benih
Benih yang akan digunakan didesinfeksi dahulu dengan larutan natrium
hipoklorit 1% selama 2 menit, kemudian dibilas dengan akuades steril sebanyak
tiga kali dan disemaikan pada media tanam steril (Istikorini, 2008) .
3. Persiapan lahan
Lahan yang digunakan adalah rumah kasa dengan ukuran panjang x lebar
x tinggi : 17 x 6 x 3 m, atap rumah kasa terbuat dari plastik transparan yang
tembus cahaya dan di sekelilingnya ditutupi dengan kain kasa yang halus guna
mencegah masuknya serangga dan hama lainnya. Lahan yang digunakan terletak
di dusun Sentosa desa Gampong Blang Kecamatan Langsa Kota, Kota Langsa,
Provinsi Aceh dengan membuat plot sesuai dengan kombinasi perlakuan.
4. Persiapan tanaman uji
Menyemai cabai
Arah persemaian menghadap ke timur dengan naungan atap plastik. Media
tumbuh dari campuran tanah dan pupuk kandang steril yang telah disaring dengan
perbandingan 1 : 1. Media dimasukkan kedalam polibeg bibit ukuran 4 x 6 cm.
Biji cabai varietas Lado F1 diletakkan satu per satu per polibeg, lalu ditutup
selapis tanah + pupuk kandang. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi atau
sore hari untuk menjaga kelembaban.
Memilih bibit cabai
Setelah bibit memiliki 5-6 helai daun (umur 30 hari), bibit cabai dapat
dipindahkan ke pertanaman. Bibit yang akan ditanam dipilih yang seragam dan
sehat.

Universitas Sumatera Utara

22

Menanam cabai
Penanaman dilakukan pada sore hari dengan mengeluarkan bibit dari
polibeg bibit dan memasukkannya ke dalam polibeg besar kapasitas 5 kg. Setelah
penanaman selesai, tanaman langsung disiram. Penempatan polibeg dilakukan
dengan jarak tanam yang seragam pada masing-masing plot perlakuan, jarak antar
plot 30 cm sedangkan jarak antar ulangan 50 cm.
5. Aplikasi perlakuan
Aplikasi Colletotrichum capsici
C. capsici diaplikasikan dengan metode semprot, yaitu dengan
menyemprotkan inokulum jamur sebanyak 25 ml per tanaman pada periode ±
75% tanaman telah berbunga pada masa pembungaan pertama yaitu umur 11
minggu setelah tanam (mst). Inokulum yang digunakan adalah biakan murni
jamur dengan kepadatan 106 spora/ml (Indrasari, 2002).
Aplikasi jamur endofit
Persiapan inokulum jamur endofit
Inokulum jamur endofit yang digunakan adalah biakan murni hasil isolasi
pada medium PDA. Setelah biakan berumur 7 hari, miselium jamur yang tumbuh
pada permukaan medium PDA dikumpulkan dengan memberikan air steril
sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Setelah itu di shaker
dengan kecepatan 100 rpm selama 5 menit agar spora menyebar dalam suspensi.
Untuk mendapatkan kerapatan konidia 105/ml air dilakukan pengenceran secara
bertahap. Perhitungan kerapatan konidia dilakukan dengan menggunakan
haemositometer.

Universitas Sumatera Utara

23

Aplikasi jamur endofit pada tanaman cabai dilakukan dengan beberapa
metode sebagai berikut:
a. Perendaman benih
Benih yang akan digunakan pertama-tama harus didesinfeksi dahulu
dengan larutan natrium hipoklorit 1 % selama 2 menit, kemudian dibilas dengan
akuades steril sebanyak tiga kali. Benih selanjutnya direndam dalam suspensi
konidia jamur endofit dengan konsentrasi 105 selama 6 jam (Istikorini, 2008).
b. Perendaman akar
Perendaman akar dilakukan pada bibit cabai umur 30 hari setelah semai
(hss) atau pada saat dipindahtanamkan ke polibeg di rumah kasa dengan cara
memotong ujung rambut akar dan merendamnya pada masing–masing larutan
jamur endofit dengan konsentrasi 105 konida/ml selama 30 menit. Selama
perendaman bibit diguncang di atas shaker dengan kecepatan 100 rpm selama 30
menit. Setelah itu bibit tanaman cabai ditanam kembali dalam polibeg (Istikorini,
2008).
c. Penyemprotan pada daun
Penyemprotan pada daun tanaman cabai dilaksanakan pada saat tanaman
berumur 10 hari setelah dipindahtanamkan ke polibeg di rumah kasa yang
dilakukan pada pagi hari. Penyemprotan dilakukan hingga daun basah merata.
Volume penyemprotan disesuaikan dengan luas kanopi tanaman. Penyemprotan
dilakukan 5 kali dengan interval waktu 1 minggu sekali.

Universitas Sumatera Utara

24

d. Penyemprotan pada buah
Aplikasi pada buah dilakukan satu kali yaitu setelah tanaman berbuah
muda. Penyemprotan suspensi konidia jamur endofit dengan konsentrasi 105
konida/ml dilakukan pada semua buah yang ada dipohon sampel dan
disemprotkan sampai semua permukaan buah basah secara merata (Nurjanani,
2010).
6. Pemupukan dan pemeliharaan
Pemupukan dilakukan 1 hari setelah pindah tanam ke polibeg besar di
rumah kasa, yaitu pemberian pupuk kandang sapi 100 gr/tanaman dan diulang 2
minggu sekali. Setelah tanaman cabai berumur 2 minggu di rumah kasa, tanaman
diberi ajir (sokongan) sebagai penopang tanaman, agar batang tanaman cabai tidak
rebah sehingga dapat memperkokoh tanaman. Penyiraman dilakukan setiap hari
sesuai kondisi lapangan. Penyiangan dilakukan setiap sebulan sekali atau jika dibutuhkan
untuk membuang gulma yang tumbuh.

Peubah amatan
1. Periode inkubasi (Hari Setelah Tanam)
Periode inkubasi yaitu dimana gejala penyakit pertama sekali muncul.
Pengamatan dimulai dari sehari setelah tanaman dipindahkan ke rumah kasa untuk
semua perlakuan hingga ditemukan gejala penyakit tersebut. Pengamatan
dilakukan setiap hari sampai timbulnya gejala pertama.
2. Keparahan penyakit (%)
Pengamatan keparahan penyakit mulai dilakukan 1 minggu setelah
inokulasi C. capsici. Keparahan penyakit dihitung dengan mengamati panjang

Universitas Sumatera Utara

25

bercak yang terjadi pada setiap buah, pengamatan dilakukan setiap satu minggu
sekali sampai panen pertama . Penghitungan keparahan penyakit dihitung dengan
menggunakan rumus:

KP

Σ(ni×vi)
= ----------- x 100%
Z×N

Dimana:
KP
ni
vi
N
Z

= Keparahan penyakit (%)
= Jumlah buah tiap kelas panjang bercak
= Nilai skor tiap kelas panjang bercak
= Jumlah buah yang diamati
= Nilai skor kelas panjang bercak yang tertinggi (Unterstenhofer,
1976) modifikasi.

Pengkelasan panjang bercak adalah sebagai berikut:
Skor
Panjang Bercak (cm)
0
0
1
0 < Panjang Bercak ≤ 1 cm
2
1 < Panjang Bercak ≤ 2 cm
3
2 < Panjang Bercak ≤ 3 cm
4
3 < Panjang Bercak ≤ 4 cm
5
≥ 4 cm
Sumber: Unterstenhofer, 1976 (modifikasi)
3. Kejadian penyakit (%)
Persentase kejadian penyakit C. capsici dihitung berdasarkan buah yang
terserang pada tanaman sampel dibandingkan dengan buah seluruh pengamatan.
Persentase (%) kejadian penyakit dilakukan setiap satu minggu sekali setelah
inokulasi C. capsici sampai panen pertama. Persentase kejadian penyakit dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut:

Kp

=

a
---------- x 100%
b

Universitas Sumatera Utara

26

Dimana :
Kp

= Persentase kejadian penyakit (%)

a

= Jumlah buah yang terserang / sampel

b

= Jumlah buah / sampel (Moekasan et al., 2000)

4. Tingkat kerusakan (%)
Pengamatan tingkat kerusakan buah cabai dilakukan setiap satu minggu
sekali setelah inokulasi C. capsici sampai pengamatan ke-5 dengan cara
menghitung perkalian keparahan penyakit dan persentase kejadian penyakit,
dengan menggunakan rumus:
TK = KP x Kp
Dimana:
TK

= Tingkat kerusakan (%)

KP

= Keparahan penyakit

Kp

= Persentase kejadian penyakit (Indrasari, 2002).

5. Tinggi tanaman (cm)
Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai dengan titik tumbuh
tertinggi. Pengukuran dilakukan mulai umur satu minggu setelah tanam di polibeg
besar (minggu ke-5 setelah semai) dengan interval waktu satu minggu sekali
sampai panen ke-lima.
7. Panjang akar (cm)
Panjang akar diukur pada saat panen terakhir yaitu umur 19 minggu
setelah tanam (mst). Akar dibersihkan dari tanah menggunakan air mengalir dan
diukur dari pangkal hingga ujung akar.

Universitas Sumatera Utara

27

8. Berat basah akar (g)
Berat akar basah dihitung pada saat panen terakhir yaitu umur 19 minggu
setelah tanam (mst), akar dicabut lalu dibersihkan, kemudian ditimbang dengan
menggunakan timbangan analitik.
9. Berat kering akar (g)
Berat akar kering dihitung dengan memasukkan akar ke dalam amplop dan
dimasukkan pada oven dengan suhu 600C selama 48 jam.
6. Hasil produksi (ton/ha)
Hasil produksi buah cabai ditimbang setiap panen per pohonnya untuk
memperoleh jumlah berat per gramnya. Produksi dihitung mulai panen pertama
dengan ciri cabai telah berwarna merah merata, sampai dengan panen ke-5 yaitu
umur 19 minggu setelah tanam (mst). Pemanenan dilakukan dengan interval
waktu 5 hari sekali dengan menimbang berat buah cabai yang dipanen dari setiap
tanaman perlakukan (g/tanaman) dari 3 tanaman sampel, kemudian dikonversikan
ke dalam ton/ha dengan menggunakan rumus berikut :
Luas areal dalam 1 ha (10.000 m2)
Produksi (Ton/Ha) = -------------------------------------------- x Produksi /plot
Luas plot
(Girsang, 2008).

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN

Di laboratorium (In Vitro)
6. Identifikasi jamur patogen
Hasil isolasi jamur yang berasal dari bercak buah cabai terlihat miselium
jamur berwarna putih yang lama-kelamaan menjadi keabu-abuan, berbentuk
seperti kapas tebal dengan tepi tidak rata (Gambar 1a.) Pengamatan secara
mikroskopis jamur menunjukkan bahwa hifa bersekat dan bercabang. Konidia
tumbuh di bawah setae dan berbentuk bulan sabit dan tidak bersekat (Gambar 1b).
Setae menyebar, berwarna coklat gelap sampai coklat muda.
Menurut

Barnett

(1972)

jamur

dengan

ciri

seperti

itu

adalah

Colletotrichum capsici, patogen penyebab penyakit antraknosa. Penyakit
antraknosa tersebut memiliki gejala serangan pada buah yang diawali dengan
terbentuknya bercak kecil berwarna kehitaman dan berlekuk dengan diameter 2,5
mm atau lebih. Bercak ini tepinya berwarna kuning, membesar dan memanjang.
Pada tengah bercak terdapat kumpulan titik-titik hitam yang terdiri dari kelompok
seta dan konidia jamur. Pada hasil pengamatan mikroskopis terlihat banyaknya
konidia dan seta yang berwarna coklat. Hal ini sesuai dengan Holliday (1980)
yang menyatakan seta C. capsici bersepta 1-5, kaku dan pada bagian dasarnya
membesar. Konidiofor tidak bercabang, memanjang dengan konidia yang terdapat
diujungnya. Warna konidia hialin, satu sel, seperti bulan sabit dengan ukuran 1322 x 4,4-5,3 mikrometer.
Adapun miselium berwarna hialin, bercabang dan bersekat, konidia
tumbuh dibawah seta dan berbentuk bulan sabit serta tidak bersekat. Hal ini juga

28
Universitas Sumatera Utara

29

sesuai dengan pendapat Kalie (1992) bahwa C. capsici mempunyai miselium
bersekat, dan berwarna hialin. Konidia berbentuk bulan sabit dan tidak bersekat.

Makroskopis jamur C. capsici
pada media PDA

a
c

b

Mikroskopis jamur C. capsici
(perbesaran 40x10)

c
1
2

Keterangan:
1. Seta
2. Konidia

2

Konidia jamur C. capsici.
Tanda panah menunjukkan
konidia jamur

Sumber: Nugroho, et al. 2014
Gambar 1. Jamur C. capsici : a. ciri makroskopis
b. ciri mikroskopis

Universitas Sumatera Utara

30

Di alam jamur C. capsici mempunyai kemampuan melakukan penetrasi
secara langsung melalui permukaan tanaman inang yang utuh. Penetrasi ini dapat
dilakukan dengan menggunakan hifa runcing atau pasak infeksi atau apresorium.
Adapun gejala awal yang dapat dikenali dari serangan jamur C. capsici mula-mula
membentuk bercak cokelat kehitaman lalu meluas menjadi busuk lunak. Pada
tengah bercak terdapat kumpulan titik-titik hitam yang terdiri dari kelompok seta
dan konidium jamur. Serangan yang berat dapat menyebabkan seluruh buah
mengering dan mengerut. Buah yang seharusnya berwarna merah menjadi
berwarna seperti jerami. Gejala tersebut sesuai dengan deskripsi yang dilaporkan
oleh Joseli et al. (2002) gejala awal yang terlihat pada permukaan buah yang
terserang antraknosa adalah bercak coklat, keluarnya lateks pada titik kecil yang
kemudian meluas menjadi bercak-bercak coklat. Bahkan pada lingkungan yang
kondusif penyakit ini dapat menghancurkan seluruh area pertanaman cabai
(Syukur, 2007). Penyakit ini dapat juga ditularkan melalui biji (benih) yang
ditanam. Biji cabai yang terserang penyakit ini biasanya berkerut dan berwarna
kehitam-hitaman (Sunaryono, 2003).
7. Uji antagonisme jamur endofit dengan jamur C. capsici
Hasil eksplorasi jamur endofit dari akar, batang, dan buah cabai yang sehat
didapat 5 isolat jamur endofit masing-masing 1 dari akar, 2 dari batang dan 2 dari
buah. Selanjutnya ke-5 isolat jamur endofit ini dilakukan uji antagonis untuk
melihat kemampuannya sebagai agens hayati (Gambar 2).
Hasil uji antagonis menunjukkan bahwa semua jamur endofit yang diuji
mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menghambat C. capsici. Jamur

Universitas Sumatera Utara

31

Universitas Sumatera Utara

32

terhadap zona hambat dari pertumbuhan jamur endofit terhadap C. capsici. Ratarata zona hambat jamur endofit terhadap C. capsici terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata persentase penghambatan jamur endofit terhadap C. capsici (%)
Pengamatan

Perlakuan
1 hsi

2 hsi

3 hsi

4 hsi

5 hsi

Hanya
Colletotrichum

6 hsi

7 hsi

0,00 a

0,00 a

0,00 a

0,00 a

0,00 a

0,00 a

0,00 a

C1(Buah 1)

19.56 ab

27.17 b

30.54 b

36.47 bc

39.20 b

41.04 b

41.87 b

C2 (Buah 2)

29.12 b

34.01 c

37.34 c

42.17 c

44.88 c

47.19 c

47.92 bc

B1 (Batang 1)

19.00 ab

26.58 b

29.72 b

36.43 b

41.83 bc

44.79 bc

46.02 b

B2 (Batang 2)

28.51 b

31.65 bc

36.32 bc

41.65 c

45.70 c

48.73 c

50.17 c

A (Akar)

26.15 ab

34.89 c

37.56 c

43.56 c

46.97 d

49.64 c

51.01 c

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata menurut uji jarak duncan pada taraf 5%.
hsi: hari setelah inokulasi
K: Kontrol

Hasil uji beda rerata DMRT pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pada umur
1 hari setelah inokulasi (hsi) persentase zona hambat tertinggi dijumpai pada
perlakuan endofit C2 (buah 2) yang tidak berbeda nyata dengan C1 (buah 1), B1
(batang 1), B2 (batang 2) dan A (akar). Pada umur 2, 3 dan 7 hari setelah
inokulasi (hsi) persentase zona hambat terbesar terdapat pada perlakuan endofit A
(akar) yang tidak berbeda nyata dengan B2 (buah 2) dan B2 (batang 2) tetapi
berbeda nyata dengan C1 (buah 1) dan B1 (batang 1). Pada umur 4 hari setelah
inokulasi (hsi) persentase zona hambat terbesar terdapat pada perlakuan endofit A
(akar) yang tidak berbeda nyata dengan C1 (buah 1), C2 (buah 2) dan B2 (batang
2) tetapi berbeda nyata dengan B1 (batang 1). Pada umur 5 hari setelah inokulasi
(hsi) persentase zona hambat terbesar terdapat pada perlakuan endofit A (akar)
yang berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya. Pada umur 6 hari setelah

Universitas Sumatera Utara

33

inokulasi (hsi) persentase zona hambat terbesar terdapat pada perlakuan endofit A
(akar) yang tidak berbeda nyata dengan C2 (buah 2), B1 (batang 1) dan B2
(batang 2) tetapi berbeda nyata dengan C1 (buah 1).
Hasil ini menunjukkan secara umum seluruh isolat jamur endofit dapat
menghambat pertumbuhan jamur C. capsici, namun tingkat penghambatannya
berbeda-beda. Dari pengamatan diketahui pertumbuhan jamur endofit lebih cepat
daripada pertumbuhan jamur C. capsici sehingga mampu menghambat
pertumbuhan jamur C. capsici. Terhambatnya pertumbuhan patogen disebabkan
oleh pertumbuhan jamur endofit yang mendekati patogen. Penghambatan ini
dikarenakan adanya senyawa biologi atau metabolit sekunder yang dihasilkan oleh
jamur endofit. Hal ini sesuai dengan pendapat Shehata et al. (2008) yang
menyatakan bahwa salah satu sifat mikroba antagonis adalah pertumbuhannya
lebih cepat dibanding dengan patogen dan menghasilkan senyawa antibiotik yang
dapat menghambat pertumbuhan patogen.
Beberapa jamur endofit dapat memproduksi enzim seperti selulosa dan
lignin, serta memproduksi senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid, paxillin,
lolitrems dan tetranone steroid (Strobel & Daisy, 2003). Adanya perbedaan
kemampuan menghambat diantara jamur endofit diduga karena jumlah senyawa
biologi atau metabolit sekunder yang dihasilkan oleh masing-masing jamur
endofit berbeda. Sudantha & Abadi (2011) menyebutkan bahwa jamur endofit
antagonis mempunyai aktivitas tinggi dalam menghasilkan enzim yang dapat
digunakan untuk mengendalikan patogen. Penghambatan pertumbuhan jamur
patogen dapat dilakukan melalui mekanisme kompetisi ruang (jamur endofit lebih

Universitas Sumatera Utara

34

cepat pertumbuhnya), mikoparasit (hifa jamur endofit membelit dan melakukan
penetrasi ke dalam hifa jamur patogen) dan antibiosis (jamur endofit
mengeluarkan antibiotik yang mudah menguap yang didifusikan ke medium).
Pada Tabel 1 dapat dilihat daerah hambatan tertinggi pada 7 hsi terdapat
pada perlakuan akar yaitu sebesar (51,01%) yang tidak berbeda nyata dengan
batang 2 (50,17%) dan buah 2 (47,925%). Jamur yang berasal dari akar
merupakan jamur yang memiliki pertumbuhan yang lebih cepat sehingga
menghasilkan senyawa biologi atau metabolit skunder dalam jumlah yang lebih
banyak dibandingkan dengan jamur endofit lainnya, senyawa metabolit skunder
tersebut diduga dapat mengakibatkan terjadinya endolisis atau autolisis yaitu
pecahnya sitoplasma suatu sel yang diikuti kematian yang mungkin disebabkan
kekurangan hara dan terjadinya kerusakan pada dinding sel patogen. Berdasarkan
hasil penelitian jamur endofit yang berasal dari akar tersebut dapat digunakan
sebagai agens hayati. Hal ini sesuai dengan pendapat Tan & Zou (2001) yang
mengatakan bahwa pada umumnya jamur endofit memiliki pertumbuhan yang
cepat sehingga dapat digunakan sebagai agens hayati.
Zona penghambatan ini tidak bersifat tetap selama pengamatan. Sampai
pada hari ketujuh lebar zona bening yang terbentuk semakin menyempit. Di sisi
lain, pertumbuhan jamur endofit semakin cepat dengan diameter yang hampir
memenuhi cawan petri sehingga C. capsici semakin terdesak karena kehabisan
ruang tumbuh. Akibatnya jari-jari pertumbuhan biakan jamur C. capsici yang
mendekati biakan jamur endofit lebih kecil daripada yang menjauhi jamur endofit.
Hal ini didukung oleh pernyataan Purwantisari & Hastuti (2009) bahwa jamur

Universitas Sumatera Utara

35

yang tumbuh cepat mampu mengungguli dalam penguasaan ruang dan pada
akhirnya dapat menekan pertumbuhan jamur lawannya.
Pengamatan makroskopis pada uji antagonisme masa inkubasi 7 hari
menunjukkan bahwa bagian tepi koloni jamur patogen C. capsici mulai terdesak
oleh jamur endofit dan pertumbuhan koloni jamur patogen C. capsici cenderung
tumbuh kearah bawah. Hawker (1950), menyatakan bahwa adanya kompetisi
ruang dan makanan pada kedua jamur yang saling berinteraksi menyebabkan
pertumbuhan salah satu jamur terdesak di sepanjang tepi koloninya, sehingga
pertumbuhannya akan ke bawah tidak menyamping.
Hasil isolasi jamur endofit dari bagian tanaman yang berbeda dari satu
tumbuhan inang, mengandung lebih dari 1 jenis jamur endofit. Hal ini sesuai
dengan pendapat Wahyudi (2008) yang menyatakan bahwa mekanisme adaptasi
dari endofit terhadap mikroekologi dan kondisi fisiologis yang spesifik dari
masing-masing tumbuhan inang dapat menyebabkan dari satu jaringan hidup
suatu tumbuhan dapat diisolasi lebih dari 1 jenis jamur endofit.
8. Identifikasi jamur endofit
Hasil uji antagonis diperoleh 3 jamur endofit yang memiliki kemampuan
yang cukup baik dalam menghambat C. capsici. Ke-3 jamur endofit tersebut
selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan buku petunjuk identifikasi
menurut Barnett (1972). Hasil selengkapnya dapat dilihat sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

36

a. Penicillium sp. (isolat asal akar = A)
a

Makroskopis Penicillium sp. pada media
PDA

b

Mikroskopis Penicillium sp.
pengamatan (perbesaran 40x10)
Keterangan:

5

1. Percabangan konidiofor

3

2. Konidiofor

2

4

hasil

1

3. Metula
4. Fialid
5. Konidia

Keterangan:
5

4
3
2
1

1. Percabangan konidiofor
2. Konidiofor
3. Metula
4. Fialid
5. Konidia

Sumber: Wiwin, 2012
Gambar 3. Jamur Penicilium sp. : a. ciri makroskopis
b. ciri mikroskopis
Berdasarkan gambaran ciri makroskopis koloni jamur berwarna hijau
dengan tepi berwarna putih berserabut, tepi koloni tidak rata (Gambar 3a). Jamur
ini diisolasi dari akar tanaman cabai yang ditumbuhkan pada medium PDA. Ciri
mikroskopis menunjukkan bentuk konidiofor yang panjang dan pada satu

Universitas Sumatera Utara

37

konidiofor terdapat dua atau tiga fialid dengan masing-masing fialid terdiri dari 35 konidia berbentuk bulat telur (Gambar 3b). Gams et al. (1987) menyatakan
koloni Penicillium sp. biasanya berwarna hijau, terkadang putih, sebagian besar
memiliki konidiofor. Konidiofor tunggal (mononematus) atau majemuk
(synematous),

terdiri

dari

batang

tunggal

membagi

beberapa

fialid

(sederhana/monoverticillata). Semua sel diantara metula dan batang berpotensi
menjadi cabang. Percabangan satu tingkat (biverticillata-simetris), percabangan
dua tingkat (biverticillata asimetris/terverticillata), tiga macam atau lebih
tingkatan cabang (quaterverticillata). Fialid merupakan struktur yang menopang
konidia, berbentuk silindris dibagian basal yang menyempit dibagian leher, atau
lancoelate (kurang lebih sebagian bagian basal tertanam pada bagian ujung
pucuk). Dengan demikian isolat dari akar cabai termasuk kelas Deuteromycetes,
ordo Monilliales Famili Moniliaceae, genus Penicillium sp.
b. Rhizoctonia sp. (isolat asal batang = B2)
Adapun ciri makroskopis dari isolat batang cabai menunjukkan miselium
berwarna putih kemudian menjadi kehitaman dengan tepi koloni yang rata
(Gambar 4a). Ciri mikroskopis berupa hifa berwarna coklat bersekat (septa) dan
tidak memiliki konidia dengan percabangan hifa membentuk suduk lancip
(Gambar 4b).

Universitas Sumatera Utara

38

Makroskopis Rhizoctonia
medium PDA

1
a

sp.

pada

Mikroskopis Rhizoctonia sp. hasil
pengamatan (perbesaran 40x10)

b
1

Keterangan:
1. Sekat atau septa
2. Percabangan 90⁰
2

2

Keterangan:
1. Sekat atau septa
1

2. Percabangan 90⁰

Sumber : Ridho, 2006
Gambar 4. Jamur Rhizoctonia sp.: a. ciri makroskopis
b. ciri mikroskopis
Beberapa karakteristik Rhizoctonia sp. yang disampaikan oleh Sneh et al.
(1991), adalah jamur ini mempunyai pigmen hifa berwarna cokelat, membentuk
percabangan di dekat sekat pada hifa vegetatif yang muda, membentuk hifa dan
sekat yang pendek di dekat asal tempat percabangan, dan bersekat dolipori.

Universitas Sumatera Utara

39

Karakteristik yang dikemukakan oleh Barnett & Hunter (1998) antara lain
miseliumnya bening pada beberapa jenis dan gelap pada jenis lainnya, sel-sel
miselium biasanya panjang, septa pada cabang berbentuk dari tubuh utama, tidak
memiliki konidia dan sel reproduksi lainnya, memiliki sclerotia yang berwarna
coklat atau hitam.
Alexopoulos et al. (1996), menambahkan bahwa Rhizoctonia memiliki
susunan percabangan hifa yang tegak lurus atau hampir tegak lurus, adanya septa
yang berpori (dolipore septa), tidak ada sambungan apit (clamp connection) dan
tidak terjadi penyempitan hifa didekat titik percabangan. Dengan demikian isolat
dari batang cabai termasuk genus Rhizoctonia dengan klasifikasi sebagai berikut:
Divisi Amastigomycota, Subdivisi Deuteromycotina, Class Deuteromycetes,
Subclass Hyphomycetidae, Ordo Mycelia Sterilia, Genus Rhizoctonia.
c. Geotrichum sp. (isolat asal buah = C2)
Isolat dari buah cabai memiliki ciri makroskopis berupa koloni tebal yang
menyebar, berwarna putih bersih seperti kapas atau berserat (Gambar 5a). Ciri
mikroskopis hifa memiliki septa dan hialin, tidak terdapat konidiofor, konidia
tersusun silendris serta pendek, terdiri dari satu sel berbentuk untaian panjang
(Gambar 5b). Menurut Samson et al. (1995) bentuk konidia Geotrichum adalah
silindris atau elips, hifa bersepta dengan percabangan dikotom. Dengan demikian
isolat dari buah cabai termasuk genus Geotrichum dengan klasifikasi sebagai
berikut: Kingdom Myceteae, Divisi Amastigomycota, Subdivisi Deuteromycotina,
Clas Deuteromycetes, Subclass Hypomycetidae, Order Moniliales, Family
Moniliaceae, Genus Geotrichum.

Universitas Sumatera Utara

40

Universitas Sumatera Utara

41

yang diinokulasi dengan jamur endofit menyebabkan luka dipermukaan buah
mengering dan tidak terjadi gejala penyakit (Gambar 6a, b dan c). Sebaliknya
buah cabai yang tidak diinokulasi dengan jamur endofit (kontrol) menunjukkan
buah menjadi busuk (Gambar 6d).
Hal ini menunjukkan bahwa jamur endofit bukan merupakan patogen. Hal
ini diduga sel-sel jamur endofit berkembangbiak pada jaringan buah cabai yang
dilukai tersebut dan membentuk sel-sel baru pada buah cabai yang dilukai
sehingga menutupi jaringan buah yang pecah akibat pelukaan. Caroll (1990)
menyatakan bahwa jamur endofit adalah jamur yang hidup pada bagian dalam
jaringan tanaman sehat tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tanaman inang.
Sementara gejala busuk pada buah cabai yang tidak diberi jamur endofit
disebabkan hilangnya pertahanan mekanis pada buah akibat pelukaan yang
dilakukan (Indratmi, 2009). Hal ini mempermudah terjadinya infeksi oleh
patogen.
Kemampuan jamur endofit mengkolonisasi jaringan tanaman merupakan
faktor penting untuk menekan kejadian penyakit. Jamur yang mampu
mengkolonisasi jaringan tanaman berkembangbiak dengan cepat dan mampu
berkompetisi dengan mikroorganisme yang lain akan menjadi agens hayati yang
baik untuk pengendalian hayati (Tan & Zou, 2001). Hal ini disebabkan jamur
endofit menghasilkan suatu senyawa antimikrobial baik berupa enzim, toksin
maupun antibiotik (Caroll, 1990). Gao et al. (2010), menambahkan penghambatan
pertumbuhan patogen secara langsung melalui senyawa antibiotik dan enzim litik
yang dihasilkan oleh jamur endofit sedangkan penghambatan secara tidak

Universitas Sumatera Utara

42

langsung melalui perangsangan endofit terhadap tanaman dalam pembentukan
metabolit sekunder seperti asam salisilat, asam jasmonat, dan etilene yang
berfungsi dalam pertahanan tanaman terhadap serangan patogen atau yang
berfungsi sebagai antimikroba seperti fitoaleksin.
a

c

b

d

Gambar 6. Uji patogenisitas jamur endofit: a. buah yang diinokulasi dengan jamur
endofit dari akar (10 hsi), b. buah yang diinokulasi dengan jamur
endofit dari batang (10 hsi), c. buah yang diinokulasi dengan jamur
endofit dari buah (10 hsi), d. Kontrol (10 hsi). Tanda panah
menunjukkan buah busuk
Dari sel-sel rusak dan nekrotik (sel yang mati sebelum waktunya) akan
dikeluarkan suatu zat yang berdifusi ke dalam sel sehat di sekitarnya sehingga
muncul respon dari sel sehat berupa pengeluaran fitoaleksin. Fitoaleksin akan
menjadi pertahanan tumbuhan saat terakumulasi/menumpuk dalam jumlah yang
cukup untuk mencegah perkembangan patogen. Fitoaleksin diproduksi oleh
tanaman sebagai racun untuk menyerang organisme yang masuk melalui dinding

Universitas Sumatera Utara

43

sel, menghambat pematangan, mengganggu metabolisme atau mencegah
reproduksi patogen tersebut (Lisnawita, 2003).
10. Uji Postulat Koch untuk jamur C. capsici pada buah cabai
Hasil penelitian menunjukkan bahwa patogen penyebab antraknosa pada
buah cabai adalah jamur C. capsici. Persamaan ciri-ciri gejala penyakit pada buah
cabai yang diuji di laboratorium dengan buah cabai terinfeksi penyakit antraknosa
di lapangan membuktikan benar isolat C. capsici yang telah diisolasi merupakan
penyebab utama penyakit antraknosa pada buah cabai (Gambar 7).
a

b

Gambar 7. Uji Postulat Koch untuk jamur C. capsici: a. buah cabai yang terinfeksi
jamur C.capsici di lapangan, b. hasil uji di Laboratorium. Tanda panah
menunjukkan area infeksi
Pengamatan morfologi pada buah menunjukkan gejala antraknosa,
keadaan ini ditandai dengan timbulnya bercak berwarna merah kehitaman pada
permukaan cabai. Bercak tersebut lama-kelamaan melebar dan pada bagian tengah
menjadi berwarna hitam. Hal ini sesuai dengan Novizan (2002) yang
menyebutkan bahwa gejala penyakit antraknosa oleh jamur C. capsici pada buah
cabai adalah berupa bercak cokelat kehitaman, kemudian meluas menjadi busuk
lunak dan di tengah-tengah bercak terdapat titik-titik hitam.

Universitas Sumatera Utara

44

Keberhasilan infeksi jamur C. capsici didukung oleh adanya pelukaan
pada permukaan buah cabai tersebut yang berarti hilangnya pertahanan mekanis
pada permukaan buah (Indratmi, 2009). Proses infeksi penyakit antraknosa
diawali dengan masuknya spora kedalam buah melalui celah antar sel epidermis
atau melalui luka pada buah. Bagian luar dari spora tersebut mengandung perekat
yang dapat dengan mudah menempel pada buah yang terinfeksi (Suryaningsih et
al., 1996).
Di Rumah kasa (In Vivo)
1. Periode inkubasi (hari setelah inokulasi)
Hasil pengamatan dan analisis sidik ragam terhadap periode inkubasi
jamur C. capsici disajikan pada Lampiran 2. Rata-rata periode inkubasi jamur C.
capsici dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat dilihat periode inkubasi C.
capsici dengan berbagai cara aplikasi antar 5-11 hsi. Periode inkubasi tercepat
yaitu 5 hsi didapat pada perlakuan A1E0, A1E3, A2E0, A2E2 , A3E0, A3E1, A4E2
sedangkan perlakuan A4E0 periode inkubasinya adalah 6 hsi dan perlakuan A1E2,
A2E3, A3E3 periode inkubasi 10 hsi. Pada perlakuan A1E1 dan A3E2 periode
inkubasinya adalah 11 hsi. Sebaliknya perlakuan A2E1, A4E1, A4E3 sampai akhir
penelitian tidak terdapat gejala infeksi C. capsici.
Lamanya periode inkubasi yaitu 11 hari setelah inokulasi jamur patogen
disebabkan karena jamur endofit asal akar (Penicillium sp.) yang diaplikasikan
melalui perendaman akar dan asal batang (Rhizoctonia sp.) yang diaplikasikan
melalui penyemprotan ke daun (A1E1 dan A3E2) memiliki kemampuan dalam
menekan perkembangan penyakit antraknosa karena kedua jamur tersebut dapat

Universitas Sumatera Utara

45

bertindak sebagai kompetitor ruang dan nutrisi dengan inokulum C. capsici
sehingga mampu memperpanjang masa inkubasi. Kedua jamur tersebut juga dapat
menimbulkan ketahanan terimbas pada tanaman, akibatnya pertumbuhan jamur
patogen menjadi seperti tertekan menyebabkan infeksi patogen terhambat
sehingga masa inkubasi menjadi tertunda. Jamur Penicillium sp. dan Rhizoctonia
sp. diduga mampu menghasilkan senyawa biologis atau metabolit sekunder yang
dapat menghambat pertumbuhan patogen C. capsici. Panda et al. (2005)
mengatakan Penicillium sp. menghasilkan senyawa anti mikroba griseofulvin
yang bersifat menghambat pertumbuhan jamur patogen dengan cara mengganggu
fungsi benang spindel dan mikrotubulus sitoplasma sehingga menghambat mitosis
sel jamur patogen. Jamur Rhizoctonia sp. menghasilkan senyawa metabolit
sekunder berupa fitoaleksin yang dapat memberikan pertahanan bagi tanaman
untuk mencegah perkembangan patogen (Irawati, 2004).

Hasil penelitian

Nurjannah (2014), jamur endofit Rhizoctonia sp. yang diisolasi dari tanaman cabai
mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam mengendalikan F. oxysporum.
Perlakuan dengan kedua jamur endofit tersebut menunjukkan aktivitas
penghambatan terhadap C. capsici dengan lebih lamanya muncul bercak pada
buah cabai.
Pada perlakukan kontrol menunjukkan periode inkubasi mulai tampak
setelah 5 hari setelah inokulasi patogen dilakukan. Hal ini disebabkan pada
perlakuan kontrol tidak ada hambatan bagi patogen untuk menginfeksi dan
berinvasi di dalam jaringan tanaman. Lebih cepatnya muncul gejala pertama pada
perlakuan tersebut dapat disebabkan karena tidak adanya jamur endofit sebagai

Universitas Sumatera Utara

46

agens hayati yang mampu menghambat petumbuhan jamur C. capsici. Menurut
Sastrahidayat (1992) pada tanah yang telah disterilkan, yang tidak mengandung
mikroba-mikroba

termasuk

mikroba

antagonis,

jamur

patogen

yang

diinokulasikan akan lebih cepat menyebar dengan serangan yang hebat.
Tabel 2. Rata-rata periode inkubasi jamur C. capsici akibat perlakuan cara aplikasi
(A) dan asal isolat jamur endofit (E)
Perlakuan
Periode inkubasi (hari)
A1 E0
5
A1 E1
11
A1 E2
10
A1 E3
5
A2 E0
5
A2 E1
0
A2 E2
5
A2 E3
10
A3 E0
5
A3 E1
5
A3 E2
11
A3 E3
10
A4 E0
6
A4 E1
0
A4 E2
5
A4 E3
0
Keterangan: A1E0 (Perendaman benih tanpa jamur endofit), A1E1 (Perendaman benih
dengan Penicillium sp.), A1E2 (Perendaman benih dengan Rhizoctonia sp.), A1E3
(Perendaman benih dengan Geotrichum sp.), A2 E0 (Perendaman akar tanpa jamur
endofit), A2E1(Perendaman akar dengan Penicillium sp.), A2E2 (Perendaman akar dengan
Rhizoctonia sp.), A2 E3(Perendaman akar dengan Geotrichum sp.), A3E0 (Penyemprotan
pada daun tanpa jamur endofit),A3E1 (Penyemrotan pada daun dengan Penicillium sp.),
A3E2 (Penyemprotan pada daun dengan Rhizoctonia sp.) A3E3 (Penyemprotan pada daun
dengan Geotrichum sp.), A4E0 (Penyemprotan pada buah tanpa jamur endofit), A4E1
(Penyemprotan pada buah dengan Penicillium sp.), A4E2 (penyemprotan pada buah
dengan Rhizoctonia sp.), A4E3 (Penyemprotan pada buah dengan Geotrichum sp.).

Pada beberapa perlakuan yang diberi jamur endofit juga menyebabkan
lebih cepatnya muncul gejala infeksi hal ini kemungkinan dikarenakan antibiotik
yang diproduksi kurang efektif terhadap patogen dan juga terdapat faktor lain
yang mempengaruhinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Kasutjianingati (2004)

Universitas Sumatera Utara

47

yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan agens hayati
dalam menghambat pertumbuhan patogen yaitu antibiotik yang diproduksi jamur
endofit kurang efektif terhadap patogen diantaranya konsentrasi antibiotiknya
rendah dan terurai oleh mikroorganisme lain. Sedangkan patogen C. capsici
berada dalam kondisi virulen dan kondisi lingkungan sangat mendukung/cocok
untuk terjadinya infeksi (Indratmi, 2009).
Perlakuan dengan Penicillium sp. dan Geotrichum sp. yang diaplikasikan
dengan perendaman akar dan penyemprotan ke buah (A2E1, A4E1, dan A4E3) tidak
memiliki masa inkubasi atau tidak terjadi serangan C.capsici terhadap tanaman
cabai. Perlakuan dengan kedua jamur tersebut menyebabkan tanaman menjadi
lebih tahan, hal ini dikarenakan jamur Penicillium sp. yang diaplikasikan melalui
akar akan masuk ke dalam jaringan tanaman terutama melalui perakaran sekunder,
selanjutnya berkoloni pada titik tempatnya masuk yaitu pada zona akar kemudian
hidup dalam sel, ruang interseluler atau dalam sistem pembuluh sehingga akar
terlindungi dari serangan patogen (Prasetyoputri & Ines, 2006). Selain
mengeluarkan senyawa alkaloid, Penicillium sp. juga menghasilkan enzim
kitinase dan selulase yang dapat mendegradasi kitin jamur patogen (Nugroho et
al., 2013). Jamur Penicillium sp. juga memiliki kemampuan dalam menghambat
pertumbuhan jamur patogen karena adanya kompetisi dan pengeluaran beberapa
senyawa alkaloid seperti agroklavine dan ergometrine yang memiliki sifat
antifungi (Haggag & Hala, 2007).
Aplikasi Penicillium sp. dan Geotrichum sp. melalui penyemprotan ke
buah juga menyebabkan tanaman menjadi lebih tahan ini dikarenakan buah cabai

Universitas Sumatera Utara

48

yang diinokulasikan dengan kedua jamur endofit tersebut menjadikan buah lebih
tahan karena permukaannya dilapisi oleh kedua jamur tersebut sehingga mampu
menghambat infeksi patogen. Ini diduga karena jamur endofit dapat mengeluarkan
senyawa antibiotik atau alkaloid yang mudah menguap. Berdasarkan hasil
penelitian Ting et al. (2010) membuktikan bahwa jamur Penicillium sp.
menghasilkan senyawa antijamur yang mudah menguap (volatil) yaitu glicidol, 2asetil-5-metilfuran, asam asetat pentil ester, 1-propanol 2-metil, 1-butanol 2-metil,
dan α-pellandrin. Beberapa senyawa volatil tersebut merupakan golongan
senyawa fenol yang dapat menyebabkan kerusakan pada membran plasma jamur
patogen, sedangkan Geotrichum sp. mengandung metabolit skunder yang bersifat
nematisida (Li et al., 2007).
Lamanya periode inkubasi dipengaruhi oleh kekhususan kombinasi inang
patogen, dengan tingkat perkembangan inang, dan dengan suhu lingkungan
tumbuhan yang terinfeksi. Hal ini sesuai dengan literatur Wahyu et al. (2012)
yang menyatakan bahwa masa inkubasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu ketahanan tanaman inang terhadap ras patogen yang menginfeksi, keganasan
ras patogen tersebut, dan kesesuaian kondisi lingkungan.
Keberadaan jamur endofit memberikan peranan terhadap besarnya
kejadian timbulnya infeksi oleh patogen tanaman. Tanaman dengan populasi
jamur endofit yang rendah diduga lebih rentan terhadap serangan patogen.
Sedangkan tanaman-tanaman dengan komplek populasi jamur endofit yang tinggi
diduga dapat lebih tahan atau terlindungi dari serangan patogen. Hal ini
disebabkan karena jamur endofit memberikan barier alami terhadap serangan

Universitas Sumatera Utara

49

patogen. Selain itu diantara jamur tersebut sangat mungkin bertindak sebagai
kompetitor

ataupun bersifat antagonis terhadap patogen, sehingga bersifat

menguntungkan tanaman (Indratmi, 2001).
2. Keparahan Penyakit (%)
Hasil pengamatan dan analisis sidik ragam keparahan penyakit jamur C.
capsici pada tanaman cabai dapat dilihat pada Lampiran 15-24. Analisis sidik
ragam menunjukkan perlakuan cara aplikasi (A) dan asal isolat jamur endofit (E)
berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit pada umur 1, 2, 3, 4 dan 5
minggu setelah inokulasi. Rata-rata keparahan penyakit jamur C. capsici akibat
cara aplikasi dan asal isolat jamur endofit dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil uji beda rerata DMRT pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pada umur
1 dan 5 minggu setelah inokulasi (msi) persentase keparahan penyakit terbesar
terdapat pada perlakuan A2E0 yang berbeda nyata dengan semua perlakuan
lainnya. Pada umur 2 minggu setelah inokulasi (msi) persentase keparahan
penyakit terbesar terdapat pada perlakuan A1E0 yang tidak berbeda nyata dengan
A2E0. Pada umur 3 dan 4 minggu setelah inokulasi (msi) persentase keparahan
penyakit terbesar terdapat pada perlakuan A2E0 yang tidak berbeda nyata dengan
A1E0.
Tingkat keparahan penyakit diamati dengan menghitung diameter bercak
yang terjadi pada setiap buah dari tanaman sampel. Pada penelitian ini perlakuan
tanpa inokulasi jamur endofit menimbulkan serangan patogen jamur C. capsici
meningkat. Adanya perlakuan jamur endofit (Penicillium sp, Rhizoctonia sp. dan
Geotrichum sp.) tanaman menjadi lebih tahan terhadap serangan penyakit, hal ini

Universitas Sumatera Utara

50

ditunjukkan dengan berkurangnya keparahan penyakit antraknosa pada tanaman
cabai setelah diinokulasi dengan jamur endofit.
Tabel 3. Rata-rata persentase keparahan penyakit jamur C. capsici
perlakuan cara aplikasi (A) dan asal isolat jamur endofit (E)
Perlakuan
Keparahan penyakit (%)
1 msi
2 msi
3 msi
4 msi
A1 E0
0.27 b
0.27 b
0.22 b
0.28 b
A1 E1
0.00 a
0.01 a
0.00 a
0.01 a
A1 E2
0.00 a
0.00 a
0.00 a
0.00 a
A1 E3
0.00 a
0.00 a
0.04 a
0.00 a
A2 E0
0.52 c
0.26 b
0.23 b
0.39 b
A2 E1
0.01 a
0.00 a
0.00 a
0.00 a
A2 E2
0.00 a
0.03 a
0.00 a
0.00 a
A2 E3
0.00 a
0.00 a
0.00 a
0.00 a
A3 E0
0.02 a
0.03 a
0.04 a
0.05 a
A3 E1
0.00 a
0.00 a
0.02 a
0.02 a
A3 E2
0.00 a
0.01 a
0.00 a
0.00 a
A3 E3
0.00 a
0.00 a
0.01 a
0.01 a
A4 E0
0.00 a
0.00 a
0.00 a
0.02 a
A4 E1
0.00 a
0.00 a
0.00 a
0.00 a
A4 E2
0.00 a
0.00 a
0.00 a
0.00 a
A4 E3
0.00 a
0.00 a
0.00 a
0.00 a

(%) akibat

5 msi
0.32 b
0.01 a
0.00 a
0.02 a
0.46 c
0.03 a
0.01 a
0.00 a
0.07 a
0.02 a
0.02 a
0.00 a
0.03 a
0.00 a
0.01 a
0.00 a

Keterangan : A1E0 (Perendaman benih tanpa jamur endofit), A1E1 (Perendaman benih
dengan Penicillium sp.), A1E2 (Perendaman benih dengan Rhizoctonia sp.), A1E3
(Perendaman benih dengan Geotrichum sp.), A2E0 (Perendaman akar tanpa jamur
endofit), A2E1(Perendaman akar dengan Penicillium sp.), A2E2 (Perendaman akar dengan
Rhizoctonia sp.), A2 E3(Perendaman akar dengan Geotrichum sp.), A3E0 (Penyemprotan
pada daun tanpa jamur endofit),A3E1 (Penyemrotan pada daun dengan Penicillium sp),
A3E2 (Penyemprotan pada daun dengan Rhizoctonia sp.) A3E3(Penyemprotan pada daun
dengan Geotrichum sp.), A4E0 (Penyemprotan pada buah tanpa jamur endofit), A4E1
(Penyemprotan pada buah dengan Penicillium sp), A4E2 (penyemprotan pada buah dengan
Rhizoctonia sp.), A4E3 (Penyemprotan pada buah dengan Geotrichum sp.).
Angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata pada uji
DMRT taraf. msi : minggu setelah inokulasi

Hasil ini menunjukkan baik Penicillium sp., Rhizoctonia sp., maupun
Geotrichum sp. mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam mengendalikan
C. capsici. Mekanisme kerja penghambatan terhadap pertumbuhan jamur patogen
oleh senyawa antimikroba yang dikeluarkan oleh ke tiga jamur endofit tersebut

Universitas Sumatera Utara

51

dalam melawan mikroorganisme patogen yaitu dengan cara merusak dinding sel,
mengganggu metabolisme sel mikroba, menghambat sintesis sel mikoba,
mengganggu permeabilitas membran sel mikroba, menghambat sintesis protein
dan asam nukleat sel mikroba patogen (Dolakatabadi et al., 2012). Cara lain agens
hayati dalam menghambat patogen yaitu dengan lisis. Lisis yaitu miselium dari
agens hayati mampu menghancurkan dan atau memotong motong miselium dari
patogen sehingga pada akhirnya menyebabkan kematian pada patogen (Sunarwati
& Yoza, 2010).
Pengendalian hayati penyakit antraknosa sangat dimungkinkan dengan
adanya populasi jamur endofit pada permukaan tanaman, yang dapat bertindak
sebagai kompetitor ruang dan nutrisi dengan inokulum C. capsici, atau
menghambat perkecambahan konidia. Ketiga isolat jamur endofit yang digunakan
dalam penelitian ini telah diketahui dapat menghambat pertumbuhan patogen C.
capsici penyebab penyakit antraknosa pada tanaman cabai. Hal ini dikarenakan
ketiga jamur endofit dan inangnya dapat membentuk hubungan yang saling
menguntungkan. Mikroba endofit dapat melindungi tumbuhan inang dari serangan
patogen dengan senyawa yang dikeluarkan. Senyawa yang dikeluarkan mikroba
endofit berupa senyawa metabolit sekunder yang merupakan senyawa bioaktif dan
dapat berfungsi untuk