Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh Sebagai Kota Pusaka Di Provinsi Aceh

i

PELESTARIAN LANSKAP SEJARAH KOTA BANDA ACEH
SEBAGAI KOTA PUSAKA DI PROVINSI ACEH

MUHAMMAD RIZKI MULYA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pelestarian Lanskap
Sejarah Kota Banda Aceh sebagai Kota Pusaka di Provinsi Aceh adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam

bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2017
Muhammad Rizki Mulya
NIM A451130181

iv

RINGKASAN
MUHAMMAD RIZKI MULYA. Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh
sebagai Kota Pusaka di Provinsi Aceh. Dibimbing oleh NURHAYATI H.S
ARIFIN dan HADI SUSILO ARIFIN.
Banda Aceh menjadi salah satu dari sepuluh kota pusaka yang ada di
Indonesia untuk dipersiapkan menjadi The World Heritage City oleh Kementrian
Pekerjaan Umum melalui Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP).

Program kota pusaka ini mewujudkan ruang kota yang aman, nyaman, produktif
dan berkelanjutan berbasis rencana tata ruang, bercirikan nilai-nilai pusaka,
melalui transformasi upaya-upaya pelestarian menuju urban (heritage)
development dengan dukungan dan pengelolaan yang baik serta penyediaan
infrastruktur yang tepat. Hal ini didasarkan melalui UU Cagar Budaya Nomor 11
Tahun 2010 dan UU Penataan Ruang nomor 26 tahun 2007.
Banda Aceh memiliki kawasan situs sejarah yang dapat dibedakan
berdasarkan periodenya, yaitu: masa kerajaan, masa kolonial dan masa
kemerdekaan. Tetapi, dalam pengelolaannya hingga saat ini belum terlihat adanya
strategi pelestarian peninggalan sejarah tersebut. Beberapa lanskap sejarah yang
ada dalam kondisi tidak terawat, terlantar, tidak fungsional dan rusak. Dari
berbagai masalah di atas, dirasakan sudah saatnya perlu dilakukan kajian
pelestarian lanskap sejarah Kota Banda Aceh sebagai kota pusaka di Indonesia.
Penelitian juga dilakukan untuk mengevaluasi proses perlindungan pusaka
peninggalan sejarahnya yang kemudian diharapkan bermanfaat dalam
meningkatkan ekonomi daerah.
Tujuan penelitian ini yaitu: menganalisis karakter dan kualitas lanskap
sejarah Kota Banda Aceh, mengkaji persepsi masyarakat dalam mendukung Kota
Banda Aceh sebagai kota pusaka, dan menyusun strategi pelestarian lanskap
sejarah di Kota Banda Aceh. Metode penelitian yakni analisis karakter dan

kualitas lanskap sejarah, analisis dilakukan dengan tahapan yaitu: penentuan
karakter lanskap sejarah, penilaian signifikansi, serta penilaian keaslian, keunikan
dan kenyamanan. Kemudian dilakukan analisis persepsi masyarakat, yakni untuk
mengetahui pengetahuan terhadap kota pusaka, persepsi masyarakat Kota Banda
Aceh mengenai pelestarian lanskap sejarah yang perlu dilindungi serta aktor yang
berperan untuk melestarikan pusaka di Kota Banda Aceh. Hasil assessment
lanskap sejarah dan survei kepada masyarakat menjadi dasar dalam menyusun
kriteria dalam metode AHP, hasilnya berupa strategi pelestarian lanskap sejarah
Kota Banda Aceh sebagai kota pusaka.
Hasil penelitian ini dapat diidentifikasi bahwa di Kota Pusaka Banda Aceh
terdapat 12 lanskap sejarah dengan karakter tiga masa peninggalan, yaitu masa
kerajaan dan kesultanan, masa kolonial, dan masa kemerdekaan. Dari penilaian
kualitas lanskap sejarah, Lanskap Baiturrahman dan Putroe Phang yang
merupakan lanskap masa Kerajaan dan Kesultanan memperoleh skor tertinggi
sehingga menjadi prioritas untuk dilestarikan. Sebagian besar masyarakat tidak
mengetahui bahwa Kota Banda Aceh telah ditetapkan sebagai kota pusaka, tetapi
mereka setuju 12 lanskap sejarah di Kota Banda Aceh perlu dilestarikan. Perlu
peningkatan upaya sosialisasi melalui berbagai media serta kegiatan-kegiatan
terkait program kota pusaka.


v

Hasil Analytical Hierarchy Process (AHP), menunjukkan bahwa komponen
prioritas dalam upaya pelestarian lanskap sejarah di Kota Banda Aceh adalah
komponen keunikan (0,547), keaslian (0,231), kenyamanan (0,166), dan nilai
penting (0,058). Alternatif prioritas untuk pelestarian lanskap sejarah di Kota
Banda Aceh yaitu peninggalan Lanskap Kolonial (0,551), Lanskap Kerajaan dan
Kesultanan (0,355), dan Lanskap Kemerdekaan (0,095). Komponen keunikan
(integritas, keberagaman, dan kualitas estetik) merupakan komponen prioritas
dalam upaya pelestarian lanskap sejarah sedangkan alternatif prioritasnya yaitu
peninggalan dengan karakter lanskap kerajaan-kesultanan dan kolonial.
Rekomendasi untuk melestarikan lanskap sejarah di Kota Banda Aceh yaitu
penetapan kawasan prioritas pusaka. Produk rekomendasi berupa usulan deliniasi
kawasan prioritas. Produk selanjutnya dari penelitian ini adalah peta pusaka
Banda Aceh beserta informasi mengenai situs-situs sejarah Banda Aceh.
Rekomendasi selanjutnya adalah pemberian insentif atau dana bantuan pelestarian
terhadap situs maupun kawasan cagar budaya yang berada pada lahan
kepemilikan pihak lain (militer, perusahaan swasta, ataupun perorangan).
Penetapan cagar budaya terhadap kawasan tersebut perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas lanskap sejarah. Penetapan

tersebut juga dimaksudkan agar pengelolaannya efektif dan dilakukan oleh
Pemerintah Kota.
Kata kunci: budaya, keaslian, keunikan, lanskap sejarah, masa kesejarahan

vi

SUMMARY
MUHAMMAD RIZKI MULYA. Preservation of Banda Aceh Historical
Landscape as the Heritage City in Aceh Province. Supervised by NURHAYATI
H.S ARIFIN and HADI SUSILO ARIFIN.
Banda aceh being one of ten heritage cities in indonesia to prepared for
world heritage city by the ministry of public works in structuring program and
preservation the heritage city. Heritage City programs are to realize the city safe,
comfortable, productive and sustainable based spatial plan, characterized by
inheritance values, through the preservation efforts to be urban heritage
development with support and proper management and infrastructure. It is based
under law of cultural heritage number 11 year 2010 and spatial planning law
number 26 year 2007.
Banda Aceh City has been developed through long history since Islamic
kingdom, under colonialism, until independence era. There were the existing

heritages of Banda Aceh as heritage city. However, it was not embodied. There
heritages have been not managed properly, abandoned and neglected. Therefore,
preservation of the historical landscape of Banda Aceh as a heritage city in
Indonesia, is necessary due to heritage landscape may enhance economy
regionally.
This research purposes were: (1) to inventory the historic heritage and to
analyze the landscape character. (2) to evaluate public participation and support in
heritage city preservation. (3) to propose preservation management strategy of
historical landscape. The method of this research was preceded by analyzing the
historical aspect to determine the characteristics and to assess the historical
landscape of Banda Aceh. Furthermore, survey to the society was held in order to
explore their perception on heritage city and its preservation. The results of the
assessment and survey was utilitized as bases of criteria to develop Analytical
Hierarchy Process (AHP) method.
The result can be identified that Banda Aceh heritage city there are 12
historical landscape, with three historical character, namely the kingdom, colonial,
and independence period. There are 37 historical sites in banda aceh spread in 9
districts. The historical landscape quality divided into four, namely: authenticity,
uniqueness, significant value and convenience. Qualitative assessment results
against twelve landscape history of banda aceh in the components shows that the

Baiturrahman and Putroe Phang landscape obtain the highest scores so that it
becomes a priority to be preserved and well-managed. The survey shows more
than half were not aware that Banda Aceh set as the heritage city. Society
knowledge of the heritage city, only 48 % respondents understand mean the
heritage city, so should be informed to the society by many mass media and
activities.
Based on AHP result, prioritize of the efforts to preserve Banda Aceh
historical landscape was elucidated the uniqueness component (0,547),
authenticity (0,231), comfort (0,166) and significant component (0,058). The
priority for preservation of Banda Aceh historical landscape are the colonial
period (0,551), kingdom period (0,355), and independence period (0,095)
respectively. By those results, it is suggested that the uniqueness component and

vii

the colonial character should be considered properly in order to preserve historical
landscapes of Banda Aceh heritage city comprehensively.
Recommendations to preserve the historical landscape in Banda Aceh City
is the determination of heritage priority delineation areas. The product of this
research is a map of Banda Aceh Heritage City with information about historical

sites. Second recommendations to preserve the historical landscape in Banda Aceh
City that the incentives or funds to aid the preservation of the site and regional
cultural heritage which is located on the other ownership land. The determination
of cultural heritage against the area needs to be done to prevent a decline in the
quality and quantity of the history of landscape. The determination is also meant
to effective manage by government.

Keywords: authenticity, culture, heritage development, historical period,
uniqueness

viii

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2017
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau
menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


ix

PELESTARIAN LANSKAP SEJARAH KOTA BANDA ACEH
SEBAGAI KOTA PUSAKA DI PROVINSI ACEH

MUHAMMAD RIZKI MULYA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

x


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Kaswanto, SP MSi

xii

PRAKATA
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini. tesis dengan judul
Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh sebagai Kota Pusaka di Provinsi
Aceh dipilih karena terdorong oleh keinginan penulis untuk dapat memberikan
kontribusi kepada Kota Banda Aceh.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr Ir Nurhayati HS Arifin, MSc
dan Prof Dr Ir Hadi Susilo Arifin, MS yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan selama kegiatan penyusunan tesis ini. Selanjutnya, kepada keluarga,
rekan-rekan Pascasarjana Arsitektur Lanskap 2013 dan seluruh pihak yang tidak
dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dorongan yang tulus baik
moril maupun materil, penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya.

Bogor, Februari 2017

Muhammad Rizki Mulya

xiii

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

vi
vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup

1
2
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Pelestarian Lanskap
Kota Banda Aceh
Kota Pusaka
World Heritage

4
4
6
9

METODOLOGI
Waktu dan Tempat Studi
Metode Penelitian

10
10
11

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Situasional
Karakter Lanskap Sejarah
Kualitas Lanskap Sejarah
Kajian Partisipasi Masyarakat
Signifikansi Kawasan Prioritas Kota Pusaka Banda Aceh
Rekomendasi Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh

15
15
16
47
49
51
54

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

58
58
58

DAFTAR PUSTAKA

59

RIWAYAT HIDUP

78

xiv

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Sepuluh Kriteria Outstanding Universal Value
Pengelompokan lanskap sejarah Kota Banda Aceh
Pengetahuan Masyarakat Mengenai Kota Pusaka
Persepsi masyarakat mengenai pelestarian lanskap sejarah
Kota Banda Aceh

11
17
48
49

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pikir
2 Lokasi penelitian (Kota Banda Aceh)
3 Rancangan struktur hierarki menunjukkan komponen dan
variabel yang diperbandingkan
4 Peta sebaran situs sejarah Kota Banda Aceh
5 Peta Karakter Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh
6 Tugu titik nol Banda Aceh dan makam sultan-sultan pada
masa kerajaan Aceh
7 Mesjid dan Makam Teungku Di Anjong
8 Mesjid Raya Baiturrahman
9 Taman Sari dan Tugu Proklamasi
10 Lapangan Blang Padang (Taman Aceh Thanks the World)
11 Komplek makam Sultan Saidil Mukammil
12 Komplek makam Teungku Di Bitai
13 Makam Sultan Iskandar Muda
14 Makam Raja-Raja Bugis
15 Makam Kandang Meuh
16 Makam Kandang XII
17 Makam Jamalul Alam
18 Taman Putroe Phang dan Pinto Khop
19 Gunongan
20 Makam Sutan Iskandar Tsani
21 Keraton atau Pendopo (meligoe) Aceh
22 Krueng (sungai) Daroy
23 Pulau Gajah atau Kodam Iskandar Muda
24 Komplek Makam Kerkhof
25 Sentral Telepon Militer atau kantor PSSI
26 Menara Air Belanda
27 Gedung SMAN 1 Banda Aceh
28 Jembatan Pante Pirak
29 Gedung Bank Indonesia
30 Monumen Belanda
31 Museum aceh, Rumah tradisional Aceh dan Lonceng
Cakra Donya
32 Gedung Baperis atau Gedung Juang
33 Bekas Stasiun Kereta Api Banda Aceh

3
10
14
19
22
23
24
25
25
26
27
28
29
29
30
30
31
32
32
33
34
34
36
36
37
37
38
39
39
40
40
41

xv

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48

Kawasan Pecinan (Peunayong) dan Vihara Dharma Bhakti
Kawasan Pasar Atjeh
Taman memoriam bekas Hotel Aceh
Monumen Pesawat RI-001 Seulawah
Bioskop Garuda Theatre
Tugu Tentara Pelajar
Tugu Darussalam dan tulisan Presiden Soekarno
Rumah Teuku Nyak Arif
Hasil skoring penilaian komponen keaslian, keunikan,
nilai penting, dan kebersihan
Pihak yang harus berperan dalam pelestarian lanskap
sejarah Kota Banda Aceh
Peta Kawasan Strategis Kota Banda Aceh 2009-2029
Peta Kawasan Prioritas Kota Pusaka Banda Aceh
Deliniasi Kawasan Prioritas Kota Pusaka Banda Aceh
Komponen prioritas pelestarian lanskap sejarah Kota
Banda Aceh
Hasil expert choice terhadap faktor pelestarian lanskap
sejarah Kota Banda Aceh

42
43
44
44
45
45
46
47
48
50
52
53
54
55
56

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kriteria penilaian kualitas lanskap
2 Kuisioner penelitian kepada masyarakat
3 Kuisioner AHP
4 Peta Kota Pusaka Banda Aceh

59
61
66
79

xvi

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kota Banda Aceh merupakan ibukota Provinsi Aceh. Dahulu kota ini
bernama Kutaraja yang kemudian pada tanggal 28 Desember 1962, kota ini
berubah nama menjadi Banda Aceh. Saat ini, Kota Banda Aceh telah berumur 811
tahun. Hal tersebut ditentukan berdasarkan tanggal keberadaan Kota Banda Aceh,
yaitu 22 April 1205 yang tertera pada Perda Aceh No.5/1988. Sejak zaman
Kerajaan Aceh, Kota Banda Aceh menjadi pusat segala kegiatan baik kegiatan
politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Saat ini, Kota Banda Aceh selain
sebagai pusat pemerintahan, juga menjadi pusat segala kegiatan ekonomi, politik,
sosial, budaya dan pariwisata.
Banda Aceh memiliki banyak situs sejarah, hal tersebut mengharuskan
pemerintah kota untuk dapat menjaga situs peninggalan sejarah tersebut. Saat ini,
objek wisata sejarah di Pusat Kota Banda Aceh sering dikunjungi. Akan tetapi,
pengunjung baik wisatawan lokal maupun wisatawan asing mengunjungi situssitus sejarah tersebut secara terpisah, sehingga pengunjung belum mendapatkan
pengalaman dan pengetahuan sejarah secara optimal, terutama alur sejarah Pusat
Kota Banda Aceh. Oleh karena itu, perlu adanya pelestarian lanskap pada situssitus sejarah yang berada di Pusat Kota Banda Aceh. Selain itu, hal yang harus
diperhatikan dalam pelestarian tersebut adalah jalur interpretasi lanskap kawasan
wisata sejarah, karena situs-situs yang berada pada kawasan tersebut merupakan
peninggalan sejarah Kota Banda Aceh yang berbeda dimensi waktunya.
Kini Banda Aceh menjadi salah satu dari sepuluh kota pusaka yang ada di
Indonesia untuk dipersiapkan menjadi World Heritage City oleh Kementrian
Pekerjaan Umum melalui Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP).
Pengertian kota pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang
bernilai dan memiliki pusaka alam, pusaka budaya berwujud, dan pusaka budaya
tidak berwujud, serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset
pusaka dalam wilayah/kota atau bagian dari wilayah/kota yang hidup,
berkembang, dan dikelola secara efektif.
Program kota pusaka adalah mewujudkan ruang kota yang aman, nyaman,
produktif dan berkelanjutan berbasis rencana tata ruang, bercirikan nilai-nilai
pusaka, melalui transformasi upaya-upaya pelestarian menuju urban (heritage)
development dengan dukungan dan pengelolaan yang baik serta penyediaan
infrastruktur yang tepat. Hal ini didasarkan melalui UU Cagar Budaya Nomor 11
Tahun 2010 dan UU Penataan Ruang nomor 26 tahun 2007.
Banda Aceh memiliki kawasan wisata sejarah masa kerajaan, kolonial dan
masa kemerdekaan, tetapi dalam pengelolaannya belum terlihat adanya strategi
pelestarian peninggalan-peninggalan sejarah tersebut. Beberapa lanskap sejarah
tersebut juga dalam kondisi tidak terawat, terlantar dan rusak. Sebagian
peninggalan bangunan sejarah juga ada yang dihancurkan akibat telah rapuh
setelah lebih dari 10 tahun pasca terkena dampak tsunami. Tetapi, pada kasus
penghancuran peninggalan sejarah terdapat dikotomi, seperti yang terjadi di
Medan, Surbakti (2008) memberikan contoh kasus peristiwa penghancuran pusaka
budaya berupa bangunan bersejarah yang disikapi secara berbeda oleh pemerintah
dan masyarakat setempat. Pemerintah menyetujui penghancuran tersebut untuk

2

pembangunan dengan alasan terciptanya lapangan kerja sekaligus peningkatan
pendapatan. Sebaliknya, masyarakat memperjuangkan kelestarian bangunan
bersejarah sebagai bukti sejarah yang plural dan multikultural. Sebagai modal
budaya, pusaka sejarah tersebut memiliki potensi besar dalam mengantisipasi
kecenderungan pariwisata global dan modernisasi. Dari berbagai masalah di atas
sehingga perlu dilakukan kajian pelestarian lanskap sejarah Kota Banda Aceh
sebagai kota pusaka di Indonesia, serta untuk mengevaluasi proses perlindungan
pusaka peninggalan sejarahnya yang kemudian akan bermanfaat dalam
meningkatkan ekonomi daerah.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu:
1 menganalisis karakter dan kualitas lanskap sejarah Kota Banda Aceh
2 mengkaji persepsi masyarakat dalam mendukung Kota Banda Aceh
sebagai kota pusaka
3 menyusun strategi pelestarian lanskap sejarah Kota Banda Aceh sebagai
kota pusaka
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mendukung Kota Banda Aceh sebagai kota
pusaka untuk menjadi The World Heritage City. Menjadi bahan masukan bagi
Pemerintah Kota Banda Aceh dan pihak-pihak yang terkait dalam merencanakan
dan mengembangkan lanskap kawasan wisata sejarah Kota Banda Aceh serta
sebagai wahana pendidikan yang dapat menambah wawasan mengenai sejarah
Pusat Kota Banda Aceh, baik bagi masyarakat Aceh maupun bangsa Indonesia,
serta bangsa-bangsa lain.
Ruang Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian ini dibatasi pada kajian lanskap sejarah di Kota Banda
Aceh dan dipertimbangkan pula wilayah sekitar yang memiliki hubungan erat.
(Putra et al. 2013) menjelaskan bahwa pusaka sejarah ada yang berwujud
(tangible) dan tidak berwujud (intangible), baik peninggalan kebudayaan Banda
Aceh maupun peninggalan zaman kerajaan, kolonial dan kemerdekaan.
Kerangka pikir dari rencana penelitian ini yakni, Kota Banda Aceh sebagai
kota pusaka di Indonesia memiliki beberapa lanskap sejarah. Kota Banda Aceh
merupakan ibukota provinsi Aceh yang pernah mengalami peristiwa sejarah
tertentu. Lanskap Kota Banda Aceh terbentuk melalui perkembangan kota sejak
masa Kerajaan dan kesultanan Aceh hingga masa kolonial dan kemerdekaan.
Perkembangan tersebut meninggalkan elemen-elemen yang mempunyai nilai
sejarah penting yang berupa monumen atau tugu (Pintoe Khop, Gunongan,
Menara/Tugu Modal, Pesawat RI 001 Seulawah, Tugu Aceh Thanks to World)
serta situs (Taman Putroe Phang, Makam Sultan Iskandar Muda, Museum Aceh,
Pendopo, Pemakaman Belanda, Mesjid Raya Baiturrahman dan Museum
Tsunami). Elemen-elemen tersebut terkonsentrasi pada kawasan Pusat Kota

3

Banda Aceh. Kemudian peninggalan-peninggalan pusaka tersebut dikelompokkan
sesuai dengan periode kesejarahannya.
Aspek sejarah budaya dan religi juga perlu diperhatikan karena budaya dan
religi Islam yang kental di Banda Aceh mempengaruhi karakter Kota tersebut.
Kemudian dilakukan pengkajian dengan melakukan penilaian kondisi laskap
sejarah tersebut dan survei kepada masyarakat disekitar situs peninggalan sejarah
atau kepada pengunjung maupun pengelola dan ahli sejarawan dan budayawan.
Hasil kajian tersebut kemudian diolah dengan Analytical Hierarchy Process
(AHP) sehingga dapat diambil kesimpulan secara efektif untuk menentukan
strategi pelestarian lanskap sejarah Kota Banda Aceh sebagai Kota Pusaka.
Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh
Cagar Budaya
(UU No. 11 Tahun 2010)
Benda, Bangunan, Struktur,
Monumen, Situs, Kawasan

Pengkajian Unit Lanskap Sejarah

Masa Kerajaan dan
Masa Kesultanan
Masa Kolonial
Masa Kemerdekaan

Keaslian

Kecamatan

Pemerintah Daerah

Keunikan

Usia

Penduduk

Nilai penting

Profesi

Pengunjung

Kenyamanan

Pendidikan

Metode
Assessment

Metode
Survey

Analisis Karakter
Lanskap

Kajian Partisipasi Masyarakat

Metode
(AHP)
Analytical
Hierarchy Process
Rekomendasi Pelestarian
Lanskap Sejarah

Gambar 1 Kerangka Pikir

4

TINJAUAN PUSTAKA
Pelestarian Lanskap Sejarah
Lanskap sejarah secara sederhana dapat dinyatakan sebagai bentukan
lanskap tempo dulu dan merupakan bentuk fisik dari keberadaan manusia di atas
bumi ini (Harris dan Dines 1988). Lanskap sejarah merupakan bagian dari
peninggalan kebudayaan dalam periode waktu tertentu. Manusia menciptakan
pola fisik yang merupakan hasil kebudayaan yang diekspresikan melalui nilai dan
sikap dalam bentuk peninggalan artefak. Bentuk peninggalan ini menjadi suatu
bukti yang membantu memahami suatu motif kesejarahan (Lennon dan Mathews
1996).
Lanskap sejarah merupakan sebuah makna. Makna tersebut dapat
digolongkan menjadi dua yaitu makna individual dan makna komunitas. Makna
individual yaitu makna berupa memori, hasrat, kebahagian, ataupun melankolis
seseorang pada suatu tempat pada periode waktu tertentu, sedangkan makna
komunitas sama seperti dengan makna individual tetapi diyakini sama oleh suatu
kelompok atau komunitas. Keunikan lanskap sejarah yaitu pemaknaannya dapat
secara individu, kelompok, ataupun individu dan kelompok (Melnick 2008).
Menurut UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010, pelestarian ialah upaya
untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara
melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Pelestarian berasal dari
kata lestari yang artinya tetap seperti keadaan semula, tidak berubah, kekal.
Menurut Mimura, pelestarian adalah perlindungan dari kemusnaan atau
kerusakan, pengawetan, konservasi. Pelestarian adalah memperhatikan bangunan
yang dimiliki nilai sejarah dan juga mempersoalkan berbagai nilai
kemasyarakatan seperti benteng kota yang akrab dikatakan tata perumahan
tradisional, maupun kerakyatan, kegiatan masyarakat, dan memelihara kebersihan
lingkungan, pesta adat, keagamaan dan budaya (Antonius 2013).
Tindakan pelestarian dibedakan menjadi enam yaitu preservasi, konservasi,
rehabilitasi, restorasi, rekonstruksi, dan rekonstitusi. Preservasi ialah kegiatan
mempertahankan suatu lanskap tanpa menambah maupun mengurangi bagiannya.
Konservasi ialah kegiatan pencegahan bertambahnya kerusakan yang biasanya
terdapat penggantian maupun penambahan. Rehabilitasi merupakan tindakan
meningkatkan suatu standar yang bersifat lebih modern dengan tujuan
memperkenalkan dan mempertahankan karakter sejarah. Restorasi merupakan
pengembalian sebagaimana kondisi awal apabila terjadi sedikit kerusakan.
Rekonstruksi yaitu kegiatan menciptakan kembali seperti kondisi awal karena
kondisi eksisting sudah tidak ada lagi. Terakhir, rekonstitusi yaitu kegiatan
menempatkan atau mengembalikan suatu kawasan sejarah yang sesuai dengan
kondisi saat ini (Harris dan Dinnes 1988).
Kota Banda Aceh
Pusat Kota Banda Aceh terdiri dari beberapa wisata sejarah yang sangat
penting untuk dikenang. Wisata sejarah pada kawasan ini merupakan peninggalan
sejarah yang berbeda masanya, sehingga setiap tempat memiliki nilai historis
tersendiri. Sejarah Kota Banda Aceh dimulai dari masa Kerajaan Aceh yang

5

meninggalkan situs sejarah berupa Taman Putroe Phang, Makam Sultan Iskandar
Muda dan Museum Aceh. Pada masa itu, Taman Putroe Phang merupakan bagian
dari wilayah kompleks Istana Sultan Aceh di Banda Aceh. Taman ini dibuat
khusus untuk sang Permaisuri Sultan Iskandar Muda bernama Putroe Phang yang
berarti Putri Pahang, yang berasal dari Pahang, Malaysia. Pada awalnya, area
Taman Putroe Phang digunakan untuk kepentingan serdadu kerajaan. Namun
seiring berjalan dengan waktu, Taman Putroe Phang menjadi bagian dari taman
sultan (Lowres 2007).
Pada Taman Putroe Phang juga terdapat sebuah monumen yang bernama
Gunongan. Lokasi monumen ini dipisahkan oleh jalan raya dari Taman Putroe
Phang, tetapi monumen ini tetap termasuk ke dalam lingkup area Taman Putroe
Phang. Penamaan Gunongan dibuat oleh masyarakat setempat karena bangunan
ini dibuat menyerupai bukit-bukit yang terletak di Pahang, Malaysia. Pembuatan
bangunan ini didasari atas permintaan sang Permaisuri sendiri yang selalu rindu
kampung halamannya. Selain itu, bersebelah dengan Gunongan terdapat Kandang
(Makam) Sultan Iskandar Tsani yang merupakan putra dari Sultan Iskandar Muda.
Situs sejarah lain pada masa Kerajaan Aceh adalah Kompleks Makam
Sultan Iskandar Muda dan Museum Aceh. Sultan Iskandar Muda merupakan
tokoh penting dalam sejarah Aceh. Aceh pernah mengalami kejayaan saat Sultan
memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1607-1636. Sultan Iskandar Muda mampu
menempatkan Kerajaan Aceh pada peringkat kelima di antara kerajaan terbesar
Islam di dunia pada abad ke-16. Beberapa peninggalan Kerajaan Aceh, termasuk
peninggalan milik Sultan Iskandar Muda terdapat pada Museum Aceh. Museum
ini termasuk salah satu dari 18 museum terpenting yang ada di Indonesia karena
memiliki koleksi yang langka dan lengkap. Salah satunya adalah manuskrip
literatur kuno hasil karya penulis ulama nusantara dan Melayu kuno, koleksi etnis
botani dan benda purbakal lainnya. Koleksi tersebut merupakan warisan dari
perjalanan sejarah Kerajaan Aceh sejak dari Kerajaan Samudera Pasai, Sultan
Iskandar Muda hingga Sultan Muhammad Daud Syah. Selain itu, pada museum
ini juga terdapat Rumah Tradisional Aceh dan Cakra Donya yang merupakan
salah satu simbol dari Kota Banda Aceh.
Pada abad ke-16, Belanda memasuki tanah Aceh. Kedatangan Belanda
perlahan memudarkan kejayaan Kerajaan Aceh. Pada tahun 1880, salah satu situs
sejarah pada masa penjajahan Belanda yang bernama Pendopo dibangun di bekas
peninggalan Kerajaan Aceh. Pendopo merupakan salah satu pembangunan awal
kolonial Belanda di Aceh. Pendopo juga merupakan bekas kediaman Gubernur
Belanda dan sekarang menjadi rumah dinas Gubernur Aceh (Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata 2011).
Pada masa penjajahan Belanda, Belanda bersama koloninya berniat ingin
menguasai tanah Aceh, sehingga banyak pertempuran yang terjadi antara pasukan
Belanda dengan masyarakat Aceh. Salah satu peperangan besar yang pernah
tercatat dalam sejarah adalah peperangan yang terjadi di Masjid Raya
Baiturrahman. Banyak korban yang berjatuhan pada perang tersebut, hingga
seorang jenderal Belanda yang bernama Kohler juga tewas tertembak. Pada
peperangan ini, Mesjid Raya Baiturrahmann juga mengalami kerusakan dan
terbakar habis. Akan tetapi, pada tahun 1935 M, Mesjid Raya Baiturrahman ini
dibangun kembali dan diperluas bahagian kanan serta kirinya dengan tambahan
dua kubah. Pada tahun 1975 M, terjadinya perluasan kembali. Perluasan ini

6

bertambah dua kubah lagi dan dua buah menara sebelah utara dan selatan. Pada
perluasan kedua ini, Masjid Raya Baiturrahman mempunyai lima kubah dan
diselesaikan hingga tahun 1967 M. Selain itu, tahap pengembangan ini juga dibuat
sebuah menara atau tugu yang disebut dengan Menara/Tugu Modal (Badrudin
2009).
Selama masa penjajahan Belanda di Aceh banyak memakan korban, baik
dari pihak masyarakat Aceh maupun dari pihak serdadu Belanda. Beberapa
serdadu Belanda yang tewas dalam peperangan atau mati terkena wabah penyakit
dimakamkan pada sebuah pemakaman umum Belanda. Pemakaman umum
Belanda ini dinamakan dengan Kerkhof Peutjoet. Saat ini, pemakaman Belanda
tersebut telah menjadi salah satu objek wisata di Kota Banda Aceh. Pada
pemakaman ini terdapat kurang lebih sekitar 2.200 makam orang Belanda, mulai
dari yang berpangkat serdadu sampai dengan yang berpangkat Jenderal.
Makamnya mulai dari berbagai suku bangsa yang tergabung dalam tentara
kolonial Belanda pada saat itu sampai kepada makam sekelompok orang Yahudi
yang dulu pernah tinggal di Aceh. Bahkan, pada kuburan tersebut masih dapat
dibaca nama-nama dan pangkat para tentara serta tahun-tahun dan tempat-tempat
dimana mereka gugur.
Pada awal masa kemerdekaan Republik Indonesia (RI), masyarakat Aceh
turut berpartisipasi dalam membantu Soekarno sebagai Presiden RI yang pertama
pada masa itu untuk menjalankan tugas kenegaraan. Pesawat RI 001 Seulawah
merupakan bukti nyata dukungan yang diberikan masyarakat Aceh dalam proses
perjalanan Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Pesawat
ini merupakan angkutan udara pertama yang dimiliki Indonesia dan dibeli dengan
sumbangan ikhlas Rakyat Aceh pada awal Kemerdekaan. Pesawat ini
disumbangkan melalui pengumpulan harta pribadi masyarakat dan saudagar Aceh,
sehingga Presiden Soekarno menyebut “Daerah Aceh adalah Daerah Modal bagi
Republik Indonesia”. Untuk mengenang jasa masyarakat Aceh tersebut, maka
dibuat replika Pesawat RI 001 Seulawah sebagai monumen yang berada di
Lapangan Blang Padang, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh
(Bagusriyanto 2009).
Kota Pusaka
Pusaka menurut Piagam Pelestarian dan Pengelolaan Pusaka Indonesia
Tahun 2003 meliputi pusaka alam, pusaka budaya dan pusaka saujana. Pusaka
alam adalah bentukan alam yang istimewa. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa,
karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 (lima ratus) suku bangsa di tanah
air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia dan dalam
interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka budaya
mencakup pusaka berwujud (tangible) dan pusaka tidak berwujud (intangible).
Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan
ruang dan waktu (Kota Pusaka 2013).
Penggunaan kata pusaka dalam kegiatan konservasi dimaksudkan untuk
benar-benar memproteksi peninggalan-peninggalan bersejarah. Istilah warisan
juga sesungguhnya memiliki kesamaan tetapi terdapat pemikiran bahwa warisan
itu dapat dibagi dan dapat dijual sehingga menjadi kecil dan dapat habis
sedangkan pusaka, akan dijaga sebaik-baiknya bahkan terus diturunkan ke

7

generasi selanjutnya. Pelestarian (konservasi) pusaka bukanlah romantisme masa
lalu, bukan pula hanya mengawetkan (preservasi). Pelestarian pusaka bertujuan
membangun masa depan secara berkelanjutan yang menyinambungkan berbagai
peninggalan yang bernilai dengan dinamika jaman secara terseleksi. Sekaligus
menjadi alat dan modal untuk pengembangan budaya dan ekonomi. Upaya
pelestarian Kota Pusaka adalah mengelola Kota Pusaka berdasar pada Rencana
Pengelolaan yang disusun agar keunggulan nilai kota pusaka tetap terjaga
keberlanjutannya, suatu proses terus menerus yang membutuhkan pelaku
pelestarian yang berkompetensi.
Sebagaimana dilansir dari Kota Pusaka (2013), kota pusaka bermakna kota
yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, pusaka
budaya berwujud dan pusaka budaya tidak berwujud, serta rajutan berbagai
pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka dalam wilayah/kota atau bagian
dari wilayah/kota yang hidup, berkembang, dan dikelola secara efektif. Maksud
dari dicanangkannya kota pusaka yakni untuk mewujudkan reformasi di bidang
perencanaan dari tataran perencanaan RTRW ke arah aksi implementasi konkrit
yang berbasis kekuatan ruang kota dengan nilai-nilai pusaka di dalamnya sebagai
tema utama. Program ini juga dimaksudkan untuk mendorong diakuinya Kota
Pusaka Indonesia sebagai Kota Pusaka Dunia oleh UNESCO. Secara universal,
pelestarian kota pusaka diantaranya mengacu pada Piagam Washington (Piagam
Pelestarian Kota dan Kawasan Perkotaan Pusaka) yang diadopsi dari Sidang
Umum International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) di Washington
D.C., Oktober 1987, dan Pedoman Pengelolaan Kota Pusaka Dunia yang
dikeluarkan oleh Organization of World Heritage Cities (Pedoman OWHC,
2003).
Kota Pusaka memilki tujuan untuk mewujudkan ruang kota yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berbasis rencana tata ruang, bercirikan nilainilai pusaka, melalui transformasi upaya-upaya pelestarian menuju sustainable
urban (heritage) development dengan dukungan dan pengelolaan yang handal
serta penyediaan infrastruktur yang tepat menuju Kota Pusaka Dunia.
Program Penataan dan Pelestarian kota Pusaka (P3KP) diprioritaskan
kepada kota/kabupaten anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) mengingat
kota/kabupaten tersebut sekurang-kurangnya telah memiliki komitmen dan
kepedulian dalam melindungi kekayaan pusaka alam, budaya, dan saujana yang
dimilikinya yang ditunjukkan disusunnya RTRW dan heritage map.
Di dalam jaringan inilah, para anggota JKPI secara bersama-sama berupaya
mencari jalan dan langkah-langkah nyata dalam mendaya-upayakan kekayaan
pusaka bangsa menjadi aset yang bernilai jual tinggi, baik dimata bangsa
Indonesia maupun di mata bangsa-bangsa lain di dunia. Tujuan didirikannya
jaringan ini adalah untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya peninggalan
sejarah di Indonesia dan memiliki peran penting didalam melindungi, menata dan
melestarikan aset-aset pusaka Indonesia.
Dari puluhan kabupaten/kota yang tergabung dalam JKPI, terpilih 26
kabupaten/kota yang menyatakan komitmennya dalam mendukung P3KP.
Sebanyak 26 kabupaten/kota tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kelompok
yakni kelompok A, B, dan C yang pada intinya disesuaikan dengan tingkat
pemahaman pusaka, kelengkapan dan kedalaman substansi proposal, kesiapan dan
keseriusan daerah di dalam melaksanakan program P3KP (yang telah dan akan

8

dilaksanakan), dan kompetensi SDM daerah terkait. Penjabaran ketiga kelompok
tersebut sebagai berikut:
1. Kota dan kabupaten kelompok A yang telah memiliki kesiapan dan
pengalaman dalam pengelolaan kawasan pusaka dan kepadanya akan
diberikan fasilitasi penyusunan Rencana Manajemen Kota Pusaka
(Heritage City Management Plan), fasilitasi awal dukungan pemangku
kepentingan, dan fasilitasi kampanye publik.
2. Kota dan kabupaten kelompok B yang sudah memiliki identifikasi
kawasan pusaka namun pengelolaannya masih terbatas dan kepadanya
akan diberikan pendampingan capacity building tingkat lanjut agar pada
tahun berikutnya siap menerima fasilitasi penyusunan Rencana
Manajemen Kota Pusaka (Heritage City Management Plan).
3. Kota dan kabupaten kelompok C yang masih pada tahap persiapan dan
kepadanya akan diberikan pendampingan capacity building tingkat dasar
dan kemudian dipersiapkan untuk memperoleh fasilitasi capacity building
tingkat lanjutan.
Sebagai tahap awal, P3KP ditawarkan dan diprioritaskan kepada 48
kota/kabupaten yang tergabung dalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI)
serta telah menyelesaikan Peraturan Daerah RTRW atau sekurang-kurangnya
telah mendapat Persetujuan Menteri Pekerjaan Umum.
Kemudian terhadap 48 Kabupaten Kota tersebut, terseleksi 10
kota/kabupaten yang kesiapannya sebagai kandidat Kota Pusaka Indonesia
(Indonesia Heritage City) yang memiliki keunggulan nilai budaya Indonesia
(Outstanding Indonesia Values), dan akan di deklarasikan pada tahun 2015,
selanjutnya dipersiapkan untuk diusulkan sebagai World Heritage City pada 2020.
Sepuluh kota/kabupaten yang telah ditetapkan sebagai pilot project Kota Pusaka
Indonesia yaitu; Banda Aceh (Aceh), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Bau Bau
(Sulawesi Tenggara), Karangasem (Bali), Denpasar (Bali), Yogyakarta (DIY),
Semarang (Jawa Tegah), Bogor (Jawa Barat), Palembang (Sumatera Selatan), dan
Sawahlunto (Sumatera Barat). Para pimpinan dari 10 kota/kabupaten tersebut,
telah menandatangani Piagam Komitmen Kota Pusaka untuk menjalankan
Rencana Aksi Kota Pusaka. Kesepuluh kota ini akan dipersiapkan untuk
menjadi World Heritage City (Kota Warisan Dunia) dan akan mendapat fasilitas
untuk inventarisasi dan dokumentasi aset pusaka.
Tindak lanjut dari program ini adalah adanya sebuah Dokumen Rencana
Aksi Kota Pusaka yang berisikan berbagai upaya baik yang telah maupun yang
akan dilaksanakan dalam melestarikan keunggulan nilai pusakanya. Dokumen ini
kemudian akan menjadi pedoman dalam upaya pelestarian pada untuk setiap
pusaka berdasarkan keunikan dan keotentikan masing-masing. Dokumen ini
berisikan pula upaya perlindungan dan pengembangan, agar pusaka warisan
tersebut tidak hanya bernilai sejarah tetapi juga mempunyai manfaat ekonomis
yang memadai bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya, agar lebih peduli.

9

World Heritage
World heritage dapat dibedakan menjadi menjadi cultural heritage, natural
heritage, dan mixed cultural and natural heritage (World Heritage Centre 2005).
Cultural heritage dapat berupa:
1 Monumen: karya arsitektur, karya patung monumental, dan lukisan,
elemen atau struktur yang bersifat arkeologis, prasasti, gua tempat tinggal
dan kombinasi fitur, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari
sudut pandang sejarah, seni atau ilmu pengetahuan.
2 Kelompok bangunan: kelompok bangunan yang terpisah atau terhubung
yang, karena arsitekturnya, homogenitas atau tempat dalam lanskap, yang
memilki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni
atau ilmu pengetahuan.
3 Situs: karya manusia atau karya gabungan alam dan manusia, dan daerah
termasuk situs arkeologi yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari
sejarah, estetika, poin etnologis, atau pandangan antropologi.
Selanjutnya, natural heritage dapat berupa:
1 Fitur alam yang terdiri dari formasi fisik dan biologis atau kelompok
formasi tersebut, yang memiliki nilai universal luar biasa dari titik
pandang estetika atau sains.
2 Formasi geologi dan fisiografi yang merupakan habitat spesies terancam
hewan dan tumbuhan nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang
ilmu pengetahuan, atau konservasi.
3 Situs alam atau daerah alam yang digambarkan nilai universal luar biasa
dari sudut pandang ilmu pengetahuan, konservasi, atau keindahan alam.
Untuk properti dianggap sebagai mixed cultural and natural heritage jika
memenuhi sebagian atau seluruh definisi dari kedua warisan budaya dan alam.
Dalam penetapannya sebagai world heritage, minimal terdapat satu dari sepuluh
kriteria yang dirangkum dalam World Heritage Convention.
Pada kasus perkotaan, World Heritage Centre (2005) menyatakan bahwa
kelompok perkotaan yang memenuhi syarat menjadi prasasti di World Heritage
List dikelompokkan ke dalam tiga utama kategori, Kategori pertama yaitu kotakota yang tidak lagi dihuni, tetapi menyediakan perubahan arkeologi sebagai bukti
dari masa lalu. Umumnya pada kategori ini kota tersebut memenuhi kriteria
keaslian dan konservasi oleh negara dapat relatif mudah dikontrol. Kategori kedua
yaitu kota-kota bersejarah yang masih dihuni dan sifatnya dapat dikembangkan
dan akan terus berkembang di bawah pengaruh sosial-ekonomi dan perubahan
budaya. Situasi yang membuat penilaian keaslian kota pada kategori ini lebih sulit
dan setiap kebijakan konservasi lebih problematis. Kategori terakhir yaitu kotakota baru dari abad kedua puluh yang memiliki kesamaan dengan kedua kategori
sebelumnya. Organisasi perkotaan jelas dikenali dan keaslian mereka bisa
dipungkiri, namun masa depan kota ini cenderung tidak jelas karena
perkembangan mereka sebagian besar tak terkendali.

10

METODOLOGI
Waktu dan Tempat Studi
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh (Gambar 2).
Keberadaan wilayah geografis Kota Banda Aceh terletak antara 05˚16'15" 05˚36'16" Lintang Utara dan 95˚16'15" - 95˚22'35" Bujur Timur. Kota Banda
Aceh terdiri dari 9 Kecamatan dan 90 Desa. Luas wilayah administratif Kota
Banda Aceh sebesar 61.359 ha atau kisaran 61.36 km2 dengan batas-batas sebagai
berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, batas Selatan dengan
Samudera Hindia, batas Timur dengan Kabupaten Aceh Besar, dan batas Barat
dengan Kabupaten Aceh Besar.
PROVINSI ACEH

KOTA BANDA ACEH

Sumber: BAPPEDA Kota Banda Aceh 2012

Gambar 2 Lokasi penelitian (Kota Banda Aceh)

11

Metode Penelitian
Penelitian ini diawali dengan pengkajian lanskap sejarah yang kemudian
hasilnya digunakan dalam melakukan assesment guna mengetahui karakter
lanskap sejarah Kota Banda Aceh. Selanjutnya dilakukan survei kepada
masyarakat Kota Banda Aceh perihal persepsi mereka terhadap Kota Pusaka dan
lanskap sejarah kota Banda Aceh. Komponen dari assesment lanskap sejarah, dan
survei kepada pakar dijadikan sebagai dasar dalam menyusun kriteria Analytical
Hierarchy Process (AHP).
Analisis Karakter dan Kualitas Lanskap Sejarah
Pengkajian karakter dan kualitas lanskap sejarah dilakukan dengan tahapan
yaitu: Penentuan karakter lanskap sejarah, penilaian signifikansi, serta penilaian
keaslian, keunikan dan kenyamanan (Syahadat 2015). Penilaian tersebut melalui
assessment yang mengacu pada Shamsuddin et al. (2012), dikombinasikan dengan
assessment keaslian dan keunikan berdasarkan Harris dan Dinnes (1988), nilai
penting/signifikansi (Supriadi 2010), dan ditambahkan dengan aspek
kenyamanan. Luaran dari tahapan ini yaitu didapatkan karakter dan kualitas pada
lanskap sejarah di Kota Banda Aceh, beserta nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Penilaian ini dilakukan untuk menyatakan derajat keaslian, keunikan,
nilai penting dan kenyamanan pada masing-masing lanskap sejarah (Lampiran 1).
Historical character and identity
Hasil identifikasi nilai sejarah pada tahapan sebelumnya digunakan untuk
penilaian signifikansi yang akan dijabarkan secara deskriptif. Penilaian
signifikansi ini menentukan kriteria pada lanskap Kota Banda Aceh yang
mewakili sepuluh kriteria Outstanding Universal Value (OUV) (Tabel 1).
Tabel 1 Sepuluh kriteria Outstanding Universal Value
Kriteria
Deskripsi
i
ii

iii
iv

v

Mewakili sebuah karya jenius kreatif manusia.
Menunjukkan pentingnya pertukaran nilai-nilai kemanusiaan, selama
rentang waktu atau dalam wilayah budaya dunia, pada perkembangan
arsitektur atau teknologi, seni yang monumental, perencanaan kota, atau
desain lanskap.
Menanggung kesaksian yang unik atau setidaknya luar biasa untuk tradisi
budaya atau peradaban yang hidup atau yang telah hilang.
Menjadi sebuah contoh luar biasa dari jenis bangunan, ensemble atau
lanskap yang menggambarkan signifikansi dalam sejarah manusia
arsitektur atau teknologi.
Menjadi sebuah contoh luar biasa dari permukiman tradisional manusia,
penggunaan lahan, atau laut yang merupakan perwakilan dari budaya, atau
interaksi manusia dengan lingkungan terutama ketika telah menjadi rentan
di bawah dampak perubahan yang tidak dapat pulih.

12

Lanjutan Tabel 1 Sepuluh kriteria Outstanding Universal Value
Akan secara langsung atau nyata terkait dengan peristiwa atau tradisi yang
vi

vii
viii

ix

x

hidup, ide-ide, keyakinan, karya seni, dan sastra yang memiliki signifikansi
universal yang luar biasa. (Komite menganggap bahwa kriteria ini
sebaiknya digunakan dalam hubungannya dengan kriteria lain).
Mengandung fenomena alam superlatif atau daerah keindahan alam yang
luar biasa dan estetis.
Menjadi contoh luar biasa yang mewakili tahap utama dari sejarah bumi,
termasuk rekaman kehidupan, berlangsung proses geologi yang signifikan
dalam pengembangan bentang alam, geomorfik, atau fitur fisiografi.
Menjadi contoh luar biasa yang mewakili berlangsungnya proses ekologi
dan biologi yang signifikan dalam evolusi dan pengembangan darat, air
tawar, ekosistem dan komunitas tumbuhan, serta hewan pesisir dan laut
Mengandung nilai penting dan signifikan terhadap habitat alami untuk
konservasi in-situ keanekaragaman hayati, termasuk spesies yang terancam
mengandung nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang ilmu
pengetahuan atau konservasi.

Landscape and open space
Tahapan landscape and open space ini yaitu dengan menggolongkan pusaka
berdasarkan gaya khasnya masing-masing baik tangible maupun intangible. Pada
tahap ini juga dilakukan pengumpulan informasi mengenai panorama dan vista
lokal pada masing-masing lanskap.
Penilaian keaslian dan keunikan
Penilaian ini dilakukan untuk menyatakan derajat keaslian dan keunikan
pada masing-masing lanskap sejarah. Kriterianya disajikan pada Lampiran 1.
Analisis Persepsi Masyarakat
Analisis persepsi masyarakat dilakukan untuk mengetahui pengetahuan
terhadap kota pusaka, persepsi masyarakat Kota Banda Aceh mengenai
pelestarian lanskap sejarah yang perlu dilindungi serta aktor yang berperan untuk
melestarikan pusaka di Kota Banda Aceh. Analisis menggunakan metode survei
dengan menyebarkan kuisioner (Lampiran 2). Terdapat 20 pertanyaan pada
kuisioner, kuisioner tersebut telah dinyatakan valid dengan nilai realibilitas
sebesar 0.857 dan rtabel sebesar 0,291. Pengujian validitas instrumen dengan
melibatkan 10 orang di luar responden. Survei dilakukan pada 90 responden.
Responden terdiri dari penduduk, pengunjung dan pemerintah daerah. Responden
adalah laki-laki dan perempuan yang tersebar di sembilan kecamatan di Kota
Banda Aceh. Profesi responden terbagi atas pelajar, mahasiswa, PNS, wiraswasta.
Latar belakang pendidikan responden antara lain SMA, D3, S1 dan S2. Parameter
populasi diasumsikan 50 persen dengan tingkat kepercayaan 95%.
Hasil survei kepada masyarakat ini diolah dengan statistika deskriptif dan
untuk melihat adanya dua variabel yang berkaitan maka diuji dengan chi-square
(Faisal 2008). Untuk menjamin ketepatan dan konsistensi kuisioner penelitian
yang disusun maka dilakukan uji validitas instrumen dengan menggunakan

13

validitas konstruksi dan pengujian reabilitas dengan metode belah dua (Rianse dan
Abdi 2009). Perangkat lunak yang digunakan dalam menggolah data survei antara
lain Microsoft Excel 2007, SPSS 16. Adapun formulasinya sebagai berikut:
Chi-square

Keterangan:
X2
= Chi-square
O
= Frekuensi hasil observasi
E
= Frekuensi yang diharapkan

= ∑[

�−�
]


(1)

Pengujian validitas instrumen
1. Pearson product moment
�ℎ�

��

=

Keterangan:
rhitung = Koefisien korelasi
Σxi
= Jumlah skor item
Σyi
= Jumlah skor total
N
= Jumlah responden

√{�. ∑

� ∑

− ∑

− ∑

. ∑

. �. ∑

− ∑

}

(2)

2. Uji-t

�ℎ�

��

=

Keterangan:
thitung = Nilai thitung
r
= Koefisien korelasi
n
= Jumlah responden

�√� −

(3)

. ��
+ ��

(4)

√ −�

Pengujian reabilitas dengan metode belah dua


=

Keterangan:
r11
= Koefisien korelasi internal seluruh item
rb
= Koefisien product moment antara belahan

14

Penyusunan Strategi pelestarian Lanskap Sejarah Kota Banda Aceh
Hasil penelusuran sejarah, assessment lanskap sejarah, dan survei kepada
masyarakat menjadi dasar dalam menyusun kriteria dalam AHP (Gambar 3). AHP
adalah alat yang digunakan untuk mengorganisasikan informasi dan judgment
dalam memilih alternatif. Dengan menggunakan AHP suatu persoalan dapat
dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga
memungkinkan untuk pengambilan keputusan yang efektif dalam persoalan
tersebut (Marimin 2004).
Kriteria lanskap sejarah yang akan digunakan sebagai komponen pemilihan
dalam rancangan struktur hierarki. Komponen-komponen tersebut adalah: 1)
keaslian, 2) keunikan, 3) nilai penting, 4) kenyamanan. Setiap komponen terdiri
atas beberapa variabel yang mendukung terciptanya lanskap sejarah. Alternatif
pilihan yang ingin dicapai dalam menentukan strategi pengelolaan kota pusaka
dibagi menjadi tiga, yaitu masa kerajaan-kesultanan, masa kolonial, dan masa
kemerdekaan. Dengan menggunakan metode AHP, diharapkan dapat diketahui
prioritas utama dari ketiga alternatif pembentuk lanskap sejarah tersebut untuk
dapat menentukan arah strategi pengelolaan kota pusaka Banda Aceh. Hirarki
tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Setelah kriteria disusun, maka langkah selanjutnya yaitu menyusun
kuisioner yang kemudian diisi oleh pakar. Adapun pakar dimintai partisipasinya
antara lain pakar kota pusaka, pemerintah Kota Banda Aceh, serta sejarawan dan
budayawan Banda Aceh. Informasi yang telah dikumpulkan dari para pakar ini
kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak Expert Choise. Hasil dari
AHP berupa strategi pelestarian lanskap sejarah Kota Banda Aceh sebagai kota
pusaka.

Gambar 3 Rancangan struktur hierarki menunjukkan komponen
dan variabel yang diperbandingkan

15

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Situasional
Kota Banda Aceh merupakan ibukota Provinsi Aceh. Berdasarkan data dari
BPS Kota Banda Aceh (2014), secara astronomis Kota Banda Aceh terletak antara
05˚16'15"05˚36'16" Lintang Utara dan 95˚16'15"95˚22'35" Bujur Timur.
Berdasarkan posisi geografisnya, Kota Banda Aceh memiliki batas-batas: (1)
sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka; (2) sebelah Selatan berbatasan
dengan Kabupaten Aceh Besar; (3) sebelah Barat berbatasan dengan Samudera
Hindia; (4) sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar. Berdasarkan
letak geografisnya, Kota Banda Aceh berada di ujung Utara Pulau Sumatera
sekaligus menjadi wilayah paling Barat dari Pulau Sumatera.
Luas wilayah Kota Banda Aceh adalah 61.36 km2, luas wilayah tersebut
terbagi kedalam 9 (sembilan) kecamatan, yaitu Kecamatan Meuraksa 7.26 km2,
Kecamtan Jaya Baru 3.78 km2, Kecamatan Banda Raya 4.79 km2, Kecamatan
Baiturrahman 4.54 km2, Kecamatan Lueng Bata 5.34 km2, Kecamatan Kuta Alam
10.05 km2, Kecamatan Kuta Raja 5