Perkembangan Muhammadiyah dI Banda Aceh (1923-1943)

(1)

PERKEMBANGAN MUHAMMADIYAH DI BANDA ACEH

(1923-1943)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : ALFIAN NIM : 080706003

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI

PERKEMBANGAN MUHAMMADIYAH DI BANDA ACEH (1923-1943)

Yang diajukan oleh : Nama : ALFIAN

Nim : 080706003

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsioleh: Pembimbing,

Dra. Fitrianty Harahap, S.U.

NIP. 195406031983032001 Tanggal,

Ketua Departemen Sejarah

Drs. Edi Sumarno, M.Hum

NIP. 196409221989031001 Tanggal,

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI PERKEMBANGAN MUHAMMADIYAH DI BANDA ACEH (1923-1943)

Skripsi Sarjana Dikerjakan O

L E H

Nama : ALFIAN Nim : 080706003 Pembimbing,

Dra. Fitrianty Harahap, S.U. NIP. 195406031983032001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

LEMBAR PERSETUJUAN KETUA DEPARTEMEN SEJARAH

DISETUJUI OLEH:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum NIP. 196409221989031001


(5)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI OLEH DEKANDAN PANITIA UJIAN

PENGESAHAN :

Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada : Hari : Tanggal :

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M. A. NIP. 195110131976031001

Panitia Ujian :

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M.Hum. ( ...) 2. Dra. Nurhabsyah, M.Si. ( ...) 3. Dra. Fitrianty Harahap, S.U. ( ...) 4. Drs. Timbun ( ...) 5. Dra. S.P Dewi Murni, M.A. ( ...)


(6)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat beriring salam tidak lupa penulis sanjung sajikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kebodohan ke zaman penuh ilmu pengetahuan.

Adapun skripsi ini beberjudul :PERKEMBANGAN MUHAMMADIYAH DI BANDA ACEH (1923-1943). Penulis sangat bersyukur karena mendapat dukungan dan dorongan yang tidak henti-hentinya diberikan oleh berbagai pihak selama ini. Motivasi-motivasi yang diberikan kepada penulis sangat membantu moral sehingga memberikan semangat dan kekuatan bagi penulis untuk segera menyelesaikannya, walaupun melalui proses yang tersendat-sendat, mulai dari proses pengumpulan data sampai pada akhir penulisan.

Medan, Oktober 2014


(7)

ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama kali penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Syahron Lubis, M. A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU dan Drs. Edi Sumarno, M. Hum selaku Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, yang memberikan kemudahan dalam penulisan skripsi ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Dra. Fitrianty Harahap, S.U, selaku dosen pembimbing yang dengan sabar memberikan perhatian serta gagasan dan bimbingannya dalam penyelesaian skripsi ini dan juga kepada seluruh staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU.

Ucapan terima kasih yang dalam dan penghargaan sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya, Mukhtar Ahmad dan Nur Hayati Adnan yang selama ini telah banyak memberikan dukungan baik materi dan doa yang tak pernah putus serta selalu mendukung penulis dalam setiap langkah. Semangat yang diberikan kepada penulis sebagai anaknya untuk terus belajar dan menggapai pendidikan setinggi-tingginya juga ketulusan serta kekuatan hati dalam mendidik penulis sungguh sebuah nilai yang tiada harganya dan sebagai pelecut semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Kepada adik saya Muhammad Afdhal, Afifah, dan Siti Aminah terima kasih atas dukungan yang telah diberikan kepada penulis, akhirnya abangmu sarjana juga.

Untuk pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan data, Bang Apit dari BPSNT serta kawan-kawan terima kasih.


(8)

iii

Tidak lupa juga kepada kawan-kawan seperjuangan di Jurusan Sejarah angkatan 2008, Fahmi, Wenny, Yani, Hotman, Eko, Eri Gondrong, Marco, Azis, Roy dan lain-lain, terima kasih atas kebersamaan kita lewati masa perkuliahan. Juga kepada semua kawan-kawan kumpul juga sahabat dalam keadaan susah maupun senang Fahmi Maulana, Ifrat, Tira, Dwi, Dek Jen, Indra Gunawan, Pay, Bang Herbar, Bang Edi, Bang Ajir, Bang Joel, Bang Boy, Isan Panyang, Januar Hidayat. Kepada semua pegawai “Ulee Kareng Kupi 2”, Muhammad Ayi, Iwan Kusula, Ong, dan special kepada Bang Juned selaku Manejer yang selalu memotivasi penulisdan kepada yang lain tidak penulis sebutkan satu persatu, terima kasih sebanyak-banyaknya.

Penulis juga menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum sempurna baik dalam penulisan maupun isi disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun diri pembaca untuk kesempurnaan isi skripsi ini.

Medan, Oktober 2014


(9)

iv

ABSTRAK

Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan yang berdasarkan Islam. Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912, dan merupakan gerakan pembaharuan Islam terbesar di Indonesia bahkan dunia.

Gagasan tentang Muhammadiyah sendiri sudah muncul di Aceh pada tahun 1923, yang mulanya diperkenalkan oleh seorang pegawai pegadaian Belanda asal sunda almarhum Djajasoekarta. Namun menurut catatan, organisasi Muhammadiyah baru resmi didirikan di Banda Aceh pada tahun 1927 yang kemudian baru berkembang ke pesisir timur dan wilayah Aceh lainya.

Gerakan ini juga mulai melaksanakan ajaran-ajaran Islam secara modern dengan mendirikan sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainya, Muhammadiyah di Aceh juga ikut brkiprah dalam bidang politik, selain dalam bidang sosial yaitu membantu fakir miskin dan anak yatim guna memperoleh pendidikan yang layak di Aceh dan Banda Aceh khususnya. Disamping misi utamanya yaitu melakukan pemurnian ajaran Islam sesuai dengan Al-Quran dan Hadist.

Metode yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah metode sejarah yaitu: Heuristik, Kritik Sumber, Interpretasi dan Histiografi. Dalam Heuristik, sumber tentang Perkembangan Muhammadiyah Di Aceh didapatkan dengan mengumpulkan sumber tertulis. Untuk kritik sumber digunakan agar keabsahan data tersebut dapat dinilai keobjektifannya melalui kritik intern dan kritik ekstern. Untuk metode interpretasi digunakan agar memastikan hasil penelitian dengan membandingkan dengan penelitian sebelumnya. Dan histografi dilakukan penyusunan hasil penelitian kedalam karya tulis sejarah yang deskriptif dan analisis.

Tujuan penelitian tentang Perkembangan Muhammadiyah Di Banda Aceh (1923-1943) adalah untuk menjelaskan tentang perjalanan Muhammadiyah dimulai dari masuk dan perkembangannya dalam masyarakat dan budaya Aceh sebelum merdeka serta peran dan andil Muhammadiyah dalam pembangunan masyarakat Aceh baik di bidang agama, pendidikan, politik maupun sosial.


(10)

v

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ………... i

UCAPAN TERIMA KASIH ………. ii

ABSTRAK ……….. iv

DAFTAR ISI ……….. v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ……… 1

1.2 Rumusan Masalah ………. 8

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 9

1.4 Tinjauan Pustaka ……….. 10

1.5 Metode Penelitian ………. 12

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA BANDA ACEH PADA AWAL ABAD KE-20 2.1 Letak Geografis Dan Keadaan Alam ……… 14

2.2 Penduduk ……….. 18

2.3 Kehidupan Religius ……….. 19

2.4 Ajaran Muhammadiyah ………... 20

BAB III KEMUNCULAN MUHAMMMADIYAH DI BANDA ACEH (1923-1927) 3.1 Merintis Muhammadiyah di Kutaraja ……….. 26

3.2 Tantangan-Tantangan Yang Dihadapi (pro-kontra) ………. 27

3.3 Diterimanya Muhammadiyah Sebagai Ajaran Baru ……… 33

BAB IV PENGARUH MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN PEMBAHARUAN DI BANDA ACEH (1927-1942) 4.1 Pelebaran Sayap Organisasi Muhammadiyah ………. 35

4.1.1 Dalam Bidang Agama ………... 36

4.1.2 Dalam Bidang Pendidikan ………... 42

4.1.3 Dalam Bidang Politik ……….. 48

4.1.4 Dalam Bidang Sosial ………... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ………. 57


(11)

vi

DAFTAR PUSTAKA ………. 61


(12)

iv

ABSTRAK

Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan yang berdasarkan Islam. Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912, dan merupakan gerakan pembaharuan Islam terbesar di Indonesia bahkan dunia.

Gagasan tentang Muhammadiyah sendiri sudah muncul di Aceh pada tahun 1923, yang mulanya diperkenalkan oleh seorang pegawai pegadaian Belanda asal sunda almarhum Djajasoekarta. Namun menurut catatan, organisasi Muhammadiyah baru resmi didirikan di Banda Aceh pada tahun 1927 yang kemudian baru berkembang ke pesisir timur dan wilayah Aceh lainya.

Gerakan ini juga mulai melaksanakan ajaran-ajaran Islam secara modern dengan mendirikan sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainya, Muhammadiyah di Aceh juga ikut brkiprah dalam bidang politik, selain dalam bidang sosial yaitu membantu fakir miskin dan anak yatim guna memperoleh pendidikan yang layak di Aceh dan Banda Aceh khususnya. Disamping misi utamanya yaitu melakukan pemurnian ajaran Islam sesuai dengan Al-Quran dan Hadist.

Metode yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah metode sejarah yaitu: Heuristik, Kritik Sumber, Interpretasi dan Histiografi. Dalam Heuristik, sumber tentang Perkembangan Muhammadiyah Di Aceh didapatkan dengan mengumpulkan sumber tertulis. Untuk kritik sumber digunakan agar keabsahan data tersebut dapat dinilai keobjektifannya melalui kritik intern dan kritik ekstern. Untuk metode interpretasi digunakan agar memastikan hasil penelitian dengan membandingkan dengan penelitian sebelumnya. Dan histografi dilakukan penyusunan hasil penelitian kedalam karya tulis sejarah yang deskriptif dan analisis.

Tujuan penelitian tentang Perkembangan Muhammadiyah Di Banda Aceh (1923-1943) adalah untuk menjelaskan tentang perjalanan Muhammadiyah dimulai dari masuk dan perkembangannya dalam masyarakat dan budaya Aceh sebelum merdeka serta peran dan andil Muhammadiyah dalam pembangunan masyarakat Aceh baik di bidang agama, pendidikan, politik maupun sosial.


(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Nama Muhammadiyah,mengandung pengertian sebagai kelompok orang yang berusaha mengidentifikasikan dirinya atau membangsakan dirinya sebagai pengikut, penerus dan pelanjut perjuangan dakwah Rasul dalam mengembangkan tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian Muhammadiyah dimaksudkan sebagai organisasi yang gerak perjuangannya ditujukan untuk mengembangkan suatu tata kehidupan masyarakat sebagaimana dikehendaki Islam. Usaha-usaha dilakukan berdasarkan yang telah dicontohkan Rasulullah Muhammad saw.1

Sebagai gerakan modernist Islam, Muhammadiyah mencoba memperkenalkan pembaharuan pemikiran lewat ijtihat dan berupaya memerangi bid’ah, takhyul, dan

khufarat (perilaku menyimpang dari ajaran Al-Quran dan Hadist).2

1

Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan Dan Muhammadiyah Dalam Perspektif Perubahan Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 1990. Hal 4-5

Gerakan pembaharuan dalam Islam disebut juga Gerakan Modern atau gerakan reformasi. Gerakan tersebut adalah gerakan yang dilakukan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan upaya pembaharuan itu para pemimpin Islam berharap agar umat Islam dapat terbebas dari ketertinggalannya, bahkan dapat mencapai kemajuan setaraf dengan bangsa-bangsa lain.

2

Bahrein T. Sugihen, ”Muhammadiyah dalam Kultur Keacehan”, dalam Zamroni Mashuda dkk, Muhammadiyah Dalam Perspektif Cendikiawan Aceh, (Banda Aceh: Gua Hira’, 1995), hal 141


(14)

2

Gerakan pembaharuan seperti ini memang terjadi di sepanjang perjalanan sejarah islam. Adapun pembagian perkembangan dalam sejarah Islam yaitu Periode Klasik (650-1250 M), Periode Pertengahan (1250-1800 M) dan Periode Modern (yang dimulai tahun 1800 M).3

Dari sekian banyak pembaharuan dalam ajaran Islam, gerakan Muhammadiyah yang lahir di Indonesia adalah salah satu yang terbesar dilihat dari kenyataan besarnya jumlah anggota gerakan ini, yang terbesar tidak saja di Indonesia tapi juga menembus Singapura, Malaysia, Penang serta luasnya bidang pelayanan yang digarap: sekolah, rumah sakit, poliklinik, rumah yatim dan lain-lain. Jadi pada kesimpulannya bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan reformasi Islam yang terkuat yang ada di kalangan Islam Asia Tenggara, bahkan mungkin di seluruh dunia.

Dari periode – periode tersebut, ada beberapa contoh dari pembaharuan dalam ajaran Islam yaitu : Mutaffarika di Turki, Wahabia di Arabia, Muhammadiyah di Indonesia dan masih banyak lagi yang lainnya.

4

Pembaharuan Islam yang ditawarkan Muhammadiyah adalah Islam yang sistematik, yaitu Islam yang ajarannya merupakan kesatuan dari akidah, akhlak, ibadah, dan muamalah. Islam yang bercorak demikian itu adalah hasil dari pemahaman agama yang berdasarkan pada Alquran dan Sunnah.5

Disini Muhammadiyah sendiri menyebut dirinya sebagai gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi munkar, yang berakidah Islam dan bersumber pada

3

Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Harapan, 1995. hal 18

4

Weinata Sairin, Op.cit, hal 18

5


(15)

3

Alquran dan sunnah.6 Dakwah dalam hal mengajak, menyeru dan mendorong bangsa Indonesia supaya bangkit dari keterpurukan demi membangun kembali seluruh tatanan masyarakat melaui agama Islam. Karena Islam memang merupakan agama dakwah.7

Organisasi Muhammadiyah sendiri didirikan pada tanggal 18 November 1912 (18 Dzulhijjah 1330) oleh K.H.A Dahlan di Yogyakarta.8 Menurut Solichin Salam, seorang yang banyak menulis tentang Muhammadiyah, menyebutkan adanya faktor intern dan faktor ekstern yang mendorong lahirnya gerakan Muhammadiyah. Namun, dengan mengacu pada berbagai pandangan tokoh Islam, maka dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya ada tiga faktor utama yang menyebabkan lahirnya gerakan pembaharuan Muhammadiyah, yaitu: Kondisi Islam di Jawa, Pengaruh gerakan modernisasi Islam di Timur Tengah, dan Politik Islam Pemerintah Belanda.9

Selain sebagai gerakan pembaharuan dan pemurnian pemikiran keislaman, Muhammadiyah juga disebut sebagai gerakan sosial keagamaan, yang pada dasarnya adalah sebuah lembaga yang lahir dalam lingkungan budaya dunia ketiga. Rakyat dunia ketiga pada umumnya ditandai oleh adanya tiga tantangan, yaitu kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Agama Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia, tetapi pada kenyatannya sebagian besar dari mereka

6

Ibid, hal 2

7

Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah. Jakarta: Prenada Media,2004. hal 15

8

Sri Waryanti, Seno, Indriani, Sejarah Perkembangan Muhammadiyah di Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2005. Hal 8-9

9


(16)

4

hidup dalam kemiskinan dan tidak mempunyai lembaga-lembaga modern dalam hal pendanaan, meskipun kondisi umat Islam adalah kelompok mayoritas.10

Perbaikan mutu pendidikan adalah langkah merubah pola pemikiran, cara berbuat dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kodisi umat Islam yang selalu berada dalam kemiskinan dan keterbelakangan tampaknya telah menempatkan Islam sebagai agama yang belum dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai yang diinginkan.

Dengan jumlah anggota dan partisipasinya yang boleh dikatakan cukup besar Muhammadiyah perlu memantapkan jati dirinya secara prima agar berbagai tantangan dapat diubah menjadi peluang. Mengubah tantangan menjadi peluang adalah makna dari sebuah gerakan pembaharuan. Peluang-peluang sejenis hendaklah dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan agama, bangsa dan Negara serta dijadikan tulang punggung menghadapi tantangan.

Kebangkitan ilmu dan amal di kalangan Muhammadiyah khususnya di abad kelima belas Hijriah diharapkan mampu memandang dan menatap realitas sosial secara tajam dan dapat memperhitungkan karakteristik secara tepat. Keberadaan kaum intelektual yang berwawasan luas untuk menerjemahkan ajaran-ajaran dasar Islam ke dalam kehidupan nyata sangat dibutuhkan sehingga pemurnian ajaran Islam kedalam kehidupan keseharian bukan merupakan sebuah keniscayaan.

Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan Islam di Indonesia lahir atas dorongan kondisi-kondisi yang hadir dan mengelilingi dunia Islam Indonesia pada permulaan abad ke-20, antara lain kondisi sosial-politik, kultural dan keagamaan.

10


(17)

5

Deliar Noer agaknya cukup tepat dalam memformulasikan kondisi itu, ketika dia menulis :

Kira-kira pada pergantian abad ini banyak orang Islam Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menentang dari pihak Kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen dan perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain Asia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tradisional dalam menegakkan Islam. Mereka mulai menyadari perlunya perubahan-perubahan, apakah ini dengan menggali mutiara-mutiara Islam dari masa lalu yang telah memberi kesanggupan kepada kawan-kawan mereka seagama di Abad Tengah untuk mengatasi barat dalam ilmu pengetahuan serta dalam memperluas daerah pengaruh atau mempergunakan metode-metode baru yang telah di bawa ke Indonesia oleh kekuasaan Kolonial serta pihak misi Kristen.

Pengamatan Noer yang cermat sebagaimana diungkap dalam kutipan di atas mungkin bisa dijadikan semacam dalil utama tentang sebab-sebab munculnya gerakan pembaharuan, yang terjadi di kalangan Islam Indonesia.11

Setelah beberapa tahun berdiri, barulah Muahammadiyah mengembangkan sayapnya ke daerah-daerah lain diluar pulau Jawa. Untuk wilayah Sumatera, yang menjadi sentral pengembang Muhammadiyah adalah Sumatera Barat. Dari Sumatera Barat kemudian disebar kader-kader Muhammadiyah ke berbagai pelosok Sumatera,

11


(18)

6

seperti ke Sumatera Selatan, Bengkulu, Tapanuli, Sumatera Timur, termasuk juga ke daerah Aceh, bahkan ke Kalimantan dan Sulawesi.12

Di Aceh sendiri, khususnya Kuta Raja (sekarang Banda Aceh) sudah muncul gagasan-gagasan tentang Muhammadiyah pada tahun 1923. Orang yang pertama memperkenalkan Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan Islam ialah Djaja-Soekarta. Beliau adalah seorang pegawai Pemerintah Belanda asal Sunda yang selalu ditugaskan oleh pemerintah untuk berkunjung ke daerah-daerah guna melakukan pemantauan dan pemeriksaan. Djaja-Soekarta menyampaikan gagasan-gagasan Muhammadiyah pertama kalinya di musholla yang terletak di pinggiran jalan Seutui, Banda Aceh. Namun, meskipun gagasan-gagasan Muhammadiyah telah mulai disemaikan sejak tahun 1923, secara resmi Muhammadiyah baru berdiri pada tahun 1927 di Banda Aceh. Jumlah anggotanya yang resmi terdaftar pada saat itu adalah 102 orang laki-laki dan 52 orang perempuan. Dan pada akhir tahun 1932 jumlah anggota organisasi ini menjadi 191 orang laki-laki dan 132 orang perempuan, yang anggota tersebut pada umumnya adalah orang-orang yang berdinas dalam pemerintahan yang terdiri dari para perantau Minangkabau dan Jawa.13

Di Aceh sendiri, khususnya Banda Aceh pada awal dilancarkannya pembaharuan ini, ada tiga aspek yang menjadi sasaran pembaharuan Muhammadiyah tersebut, yaitu sosial kemasyarakatan, pendidikan dan paham keagamaan.

Kehadiran Muhammadiyah di Aceh tidaklah disambut dengan tangan terbuka. Hal ini adalah wajar-wajar saja, karena Muhammadiyah ingin menembus kejumudan,

12

Sri Waryanti, Seno, Indriani. Op.cit, hal 9

13


(19)

7

khufarat dan bid;ah yang telah terbentuk dan terbentang selama berabad-abad.

Berbagai macam kenduri seperti kenduri sawah, kenduri laut, kenduri 100 hari dan kenduri dirumah orang kematian, pembacaan qunut pada salat subuh dan sebagainya merupakan objek kritikan dari da’i Muhammadiyah.14

Dalam kurun waktu yang cukup lama perkembangan Muhammadiyah di Aceh telah diwarnai oleh suatu fenomena yang menarik untuk dikaji. Fenomena tersebut dimulai pada dekade tahun 1930-an dimana gerakan selain bergerak di bidang sosial kemasyarakatan, pendidikan, keagamaan juga pada gerakan politik yang jika dikaji lebih lanjut ternyata berawal dari tataran gagasan dan visi ke-Islaman dan kemanusiaan yang cukup tajam seiring dengan situasi saat ini.15

Selama ini kebanyakan orang menyadari pengaruh Muhammadiyah di Aceh hanya mencakupi bidang agama saja, maka disini penulis ingin lebih menjelaskan tentang besarnya pengaruh Muhammadiyah pada awal abad 19 dan akhir abad 20 di Aceh yang meliputi berbagai aspek, seperti faham keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik telah membawa pengaruh besar pada perkembangan masyarakat Aceh secara luas dana Banda Aceh khususnya. Skop waktu penelitian ini diawali pada tahun 1927 karena tahun tersebut merupakan awal berdirinya Muhammadiyah di Aceh secara resmi. Adapun tahun 1942 sebagai batasan akhir dari penelitian ini dikarenakan pada tahun ini merupakan akhir masa pemerintahan Belanda di Aceh. Dan dari awal berdirinya tersebut sampai akhir pemerintahan Belanda di Aceh, banyak terjadi

14

M. Hasan Su’ud, “Kontribusi Gerakan Muhammadiyah Bagi Pembangunan Daerah Istimewa Aceh”, dalam Zamroni dkk, Muhammadiyah Dalam Perspektif Cendikiawan Aceh. (Banda Aceh: Gua Hira’, 1995) hal 153

15


(20)

8

pergerakan-pergerakan berbau politik dan pertumbuhan pendidikan di Aceh yang turut di pengaruhi oleh Muhammadiyah dan juga melibatkan cendikiawan-cendikiawan Aceh yang secara langsung terjun dalam organisasi Muhammadiyah.

Maka dari itu, sebagai suatu gerakan pembaharuan Islam yang besar yang lahir di Indonesia, Muhammadiyah tidak bisa di pandang sebelah mata. Namun, kelahiran Muhammadiyah harus kita mengerti adalah sebagai wujud nyata respon umat Islam terhadap masalah-masalah sosial, pendidikan, keagamaan dan politis yang menyelimuti bangsa Indonesia pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.

2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan suatu landasan yang digunakan untuk mengetahui hal-hal apa saja yang akan di bahas dan menjadi akar permasalahan dalam sebuah penelitian. Berdasarkan latar belakang diatas untuk mempermudah menghasilkan penelitian yang objektif, maka perlu diberikan batasan masalah terhadap penelitian tentang “Perkembangan Muhammadiyah di Banda Aceh” untuk itu dibuatlah pokok permasalahan yang kemudian dirangkum dalam beberapa pertanyaan, antara lain :

1. Bagaimana perkembangan pergerakan Muhammadiyah di Banda Aceh sejak munculnya pada tahun 1923, resmi berdirinya 1927, awal perkembangan 1938, sampai dengan tahun 1942, terutama yang menyangkut dalam usaha dibidang sosial, pendidikan, politik dan faham keagamaan?

2. Apa yang menjadi andil Muhammadiyah dalam pembangunan masyarakat di Banda Aceh?


(21)

9

3. Apakah usaha Muhammadiyah untuk mendapat sambutan baik dari masyarakat maupun pemerintah Banda Aceh?

4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Di dalam sebuah penelitian tentunya memiliki suatu tujuan dan manfaat dari penelitian yang dilakukan. Sehingga sedikit banyaknya dapat menjawab mengapa penelitian tersebut dilakukan. Dalam prosesnya penelitian bertujuan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Sehingga harus relevan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian penulis.

1. Untuk mengetahui perkembangan pergerakan Muhammadiyah di Banda Aceh sejak muculnya pada tahun 1923, resmi berdirinya 1927, awal perkembangan 1938, sampai dengan tahun 1942, terutama yang menyangkut dalam usaha dibidang sosial, pendidikan, politik dan paham kegamaan.

2. Untuk mengetahui andil Muhammadiyah dalam pembangunan masyarakat di Banda Aceh.

3. Untuk mengetahui usaha-usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah tersebut mendapat sambutan baik dari masyarakat maupun pemerintah Banda Aceh.

Sehubungan dengan penulisan dan penelitian yang dilakukan oleh penulis maka manfaat dari tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Guna memberikan tambahan pengetahuan dalam rangka pengembangan Ilmu Sejarah, khususnya yang berkaitan dengan sejarah Muhammadiyah di Banda Aceh, dimulai dari masuk dan perkembangannya.


(22)

10

2. Menambah wawasan masyarakat Aceh, khususnya Banda Aceh tentang Muhammadiyah dan mengisi syariat Islam di Aceh melalui ilmu-ilmu yang dikembangkan oleh gerakan Muhammadiyah.

3. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan bacaan umum tentang sejarah perkembangan Muhammadiyah di Banda Aceh.

5. Tinjauan Pustaka

Dalam penyelesaian penelitian ini tentunya dibutuhkan buku-buku yang berhubungan dengan penelitian tentang Muhammadiyah dan perkembangannya di Aceh, khususnya Banda Aceh. Ada beberapa buku yang digunakan sebagai tinjauan pustaka untuk mendekatkan konsep-konsep teori yang diajukan dalam penelitian ini dan diharapkan mampu mendekatkan dengan pokok permasalahan yang ada. Dalam hal ini, buku yang digunakan antara lain, Weinata Sairin dalam bukunya “Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah”, (1995). Sri Waryani, Seno, Indriani dalam buku “Sejarah Perkembangan Muhammadiyah di Aceh”, (2005). Syaifullah dalam bukunya “Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi”, (1995). Dan Moh. Ali Aziz dalam bukunya “Ilmu Dakwah”, (2004).

Wienata Sairin dalam bukunya “Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah”,(1995). Menjelaskan tentang sebab-sebab gambaran umum lahirnya gerakan pembaharuan Muhammadiyah. Selain itu, buku ini juga menjelaskan pemikiran-pemikiran K.H.A. Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah serta pengaruhnya bagi gerakan Muhammadiyah dan juga partisipasi Muhammadiyah dalam membangun kehidupan bangsa.


(23)

11

Sri Waryani, Seno, Indriani dalam buku “Sejarah Perkembangan Muhammadiyah di Aceh”, (2005). Buku ini menjelaskan tentang masuknya Muhammadiyah di Aceh dan perkembangan organisasi itu sendiri di aceh. Dalam buku ini juga diterangkan bagaimana system organisasi yang di kembangkan Muhammadiya di Aceh serta sejauh mana Organisasi Muhammadiyah berkiprah di Aceh sejak masuknya tahun 1923 yang diresmikan tahun 1927 sampai berkembangnya tahun 1938.

Syaifullah dalam bukunya “Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi”, (1995). Juga menjelaskan tentang latar belakang lahirnya Muhammadiyah dan gerak perilaku Muhammadiyah dalam percaturan politik Indonesia, termasuk juga didalamnya kontribusi Muhammadiyah dalam bidang politik di Indonesia dan kecendrungan corak politik Islam yang dianut Muhammadiyah dalam kurun waktu tahun 1945-1959, yaitu menjelang Republik Indonesia merdeka sampai akhir demokrasi liberal.

Moh. Ali Aziz dalam bukunya “Ilmu Dakwah”, (2004). Menerangkan tentang proses-proses perjalanan dalam penyebaran agama Islam, yaitu melalui jalan yang disebut “Dakwah” (penyampaian agama Islam keepada orang lain dengan cara bijaksana untuk tercitanya individu dan masyarakat yang menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dalam semua lapangan kehidupan).16 Buku ini juga menjelaskan makna dan cara penyebaran Agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.

16


(24)

12

6. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu hal penting yang tidak terpisahkan dari suatu petunjuk teknis. Dalam rangka menuliskan sebuah peristiwa bersejarah ini penulis menggunakan metode sejarah. Metode sejarah dapat diartikan sebagai proses menguji dan menganalis kesaksian sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu dapat menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya.17

Langkah-langkah dalam penelitian sejarah tersebut adalah:

1. Heuristik yaitu langkah awal untuk mengumpulkan sumberyang terkait dengan objek penelitian penulis. Dalam hal ini penulis menggunakan metode library research (studi kepustakaan) yaitu mengumpulkan berbagai sumber tertulis seperti buku, skripsi (belum diterbitkan), makalah dan sumber-sumber lainnya yang dianggap penting. Sebagian sumber buku, penulis dapatkan di perpustakaan wilayah Banda Aceh (PUSWIL), Pusat Dokumentasi dan Arsip Aceh (PDIA), Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Banda Aceh dan juga perpustakaan Universitas Muhammadiyah Aceh (UNMUHA). Penelitian ini tidak menggunakan sumber lisan seperti wawancara, karena penelitian ini berkisar sekitar abad 19 dan awal abad ke-20.

2. Kritik sumber (verifikasi), yaitu proses yang dilakukan peneliti untuk mencari nilai kebenaran data sehingga dapat menjadi penelitian yang objektif. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keaslian sumber yang telah

17

Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press. Hal 32


(25)

13

dikumpulkan.Dimana dalam pendekatan intern yang harus dilakukan yakni menelaah dan memferifikasi kebenaran isi atau fakta sumber baik yang bersifat tulisan (buku, artikel, laporan, dan arsip). Kritik ektstern yang dilakukan dengan cara memverifikasi untuk menentukan keaslian sumber. Hal ini dilaksanakan agar penulis dapat menghasilkan suatu tulisan yang benar – benar objektif yang berasal dari data-data yang terjaga keasliannya dan keobjektifannya tanpa ada unsur subjektifitas yang mempengaruhi hasil penulisan.

3. Interpretasi, yaitu tahap dimana peneliti berusaha untuk menghubungkan data-data yang didapatkan dilapangan dengan fakta yang ada. Sehingga diharapkan data tersebut menjadi data yang objektif.

4. Historiografi, merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang dilakukan. Penulisan hasil penelitian sejarah hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal (fase perencanaan) sampai dengan akhirnya (penarikan kesimpulan). Berdasarkan penulisan sejarah itu pula akan dapat dinilai apakah penelitiannya berlangung sesuai dengan prosedur yang digunakannya tepat atau tidak, apakah sumber dan data yang mendukung penarikan kesimpulannya memiliki validitas yang memadai atau tidak, dan lain sebagainya. Jadi dengan penulisan sejarah itu akan dapat ditentukan mutu penelitian dan penulisan sejarah itu sendiri.


(26)

14 BAB II

GAMBARAN UMUM KOTA BANDA ACEH AWAL ABAD KE-20

2.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam

Aceh adalah salah satu provinsi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan status Daerah Istimewa. Letaknya dibagian paling barat kepulauan Indonesia dan diujung utara Pulau Sumatera. Nama Aceh menurut tradisionil dianggap perubahan dari bahasa Keling, Aceh, yang berarti kakak dan di pergunakan oleh awak kapal Keling yang terdampar ke pantai daerah itu dengan wanita-wanita penjual barang-barang. Menurut kisah lain berasal dari bahasa Keling “Atja” yang berarti cantik, indah yang dipergunakan oleh orang-orang Keling ketika melihat keindahan sebatang pohon besar di Gampong Pande Meunasah Kandang sewaktu mereka berteduh dari hujan sehingga pohon itu dinamakan Ba’si Atjeh-Atjeh. Daerah ini dinamakan oleh orang Aceh sendiri “Aceh”.

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam18

a. Sebelah Utara dengan Teluk Benggala/Selat Malaka

yang juga merupakan pintu gerbang di bagian barat Nusantara, secara geografis membentang dari arah barat laut ke tenggara pada posisi 2° - 6° Lintang Utara dan 95° - 98° Bujur Timur dengan batas :

b. Sebelah Selatan dengan Propinsi Sumatera Utara

18

Penyebutan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam baru dilaksanakan pada tahun 2001 (lihat Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), sebelumnya disebut sebagai Provinsi Daerah Istimewa Aceh.


(27)

15 c. Sebelah Timur dengan Selat Malaka d. Sebelah Barat dengan Samudera Indonesia

Sesuai dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. I/Missi/59 tanggal 26 Mei 1959, Aceh menjadi Daerah Istimewa dengan otonomi yang seluas-luasnya terutama dalam lapangan keagamaan, peradatan dan pendidikan. Sesuai dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah maka Pemerintahan Daerah Istimewa Aceh terdiri dari Kepala Daerah (Gubernur) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II terdiri dari Kepala Daerah (Bupati/Walikotamadya) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Daerah Istimewa Aceh terbagi dalam 10 Daerah Tingkat II, yaitu 2 Kotamadya dan 8 Kabupaten, terdiri dari :

a. Kotamadya Banda Aceh, Ibukotanya Banda Aceh b. Kotamadya Sabang, Ibukotanya Sabang

c. Kabupaten Pidie, Ibukotanya Sigli

d. Kabupaten Aceh Utara, Ibukotanya Lhokseumawe e. Kabupaten Aceh Tengah, Ibukotanya Takengon f. Kabupaten Aceh Timur, Ibukotanya Langsa g. Kabupaten Aceh Tenggara, Ibukotanya Kutacane h. Kabupaten Aceh Barat, Ibukotanya Meulaboh i. Kabupaten Aceh Selatan, Ibukotanya Tapak tuan


(28)

16

Dengan Ibukota Propinsi (Daerah Istimewa Aceh) adalah Banda Aceh, dahulu bernama Kutaraja.19

Banda Aceh menjadi pusat segala kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Banda Aceh atau Banda Aceh Darussalam telah dikenal sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam sejak tahun 1205 dan merupakan salah satu kota Islam Tertua di Asia Tenggara. Kota ini didirikan pada hari Jumat, 1 Ramadhan 601H (22 April 1205) oleh Sultan Alaidin Johansyah setelah berhasil menaklukkan kerajaan Hindu/Budha dengan ibukotanya Bandar Lamuri.

Pada saat terjadi perang melawan ancaman kolonialisme, Banda Aceh menjadi pusat perlawanan Sultan dan rakyat Aceh selama 70 tahun sebagai jawaban atas ultimatum Kerajaan Belanda yang bertanggal 26 Maret 1837. Setelah rakyat Aceh kalah dalam peperangan ini maka diatas puing kota ini pemerintahan kolonial Belanda mendirikan Kutaraja yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal Van Swieten di Bataviadengan beslit yang bertanggal 16 Maret 1874.

Sedangkan keberadaan wilayah geografis Kota Banda Aceh yang menjadi Ibukota provinsi terletak antara 050 16’ 15’’ – 050 36’ 16’’ Lintang Utara dan 950 16’ 15’’ – 950 22’ 35’’ Bujur Timur dengan tinggi rata-rata 0,80 meter diatas permukaan laut. Luas wilayah administratif Kota Banda Aceh sebesar 61.359 Ha atau kisaran 61,36 km², luas ini dibagi ke dalam 9 Kecamatan, yaitu:

1. Kecamatan Meuraxa 2. Kecamatan Jaya Baru 3. Kecamatan Banda Jaya

19


(29)

17 4. Kecamatan Baiturrahman 5. Kecamatan Lueng Bata 6. Kecamatan Kuta Alam 7. Kecamatan Kuta Raja 8. Kecamatan Syiah Kuala 9. Kecamatan Ulee Kareng

Adapun batas-batas wilayahnya yaitu sebagai berikut: a. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

b. Sebelah Barat berbatasan denganKecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Darul Imarah dan Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar

d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Barona Jaya, Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar dan Samudera Hindia

Kota Banda Aceh merupakan dataran rawan banjir dari luapan Sungai Krueng Aceh dan 70% wilayahnya berada pada ketinggian kurang dari 10 meter dari permukaan laut. Ke arah hulu dataran ini menyempit dan bergelombang dengan ketinggian hingga 50 meter di atas permukaan laut. Dataran ini diapit oleh perbukitan terjal di sebelah Barat dan Timur dengan ketinggian lebih dari 500 meter sehingga mirip kerucut dengan mulut menghadap ke laut.

Daerah pesisir Kota Banda Aceh secara garis besar dibagi menjadi:

a. Dataran terdapat di pesisir pantai utara dari Kecamatan Kuta Alam hingga sebagian Kecamatan Kuta Raja


(30)

18

b. Pesisir pantai wilayah barat di sebagian Kecamatan Meuraxa

Sedangkan daerah yang termasuk pedataran sampai dengan elevasi ketinggian 0 hingga lebih dari 10 meter, kemiringan lereng 0 – 2% terletak antara muara-muara sungai dan perbukitan. Dari kondisi geologi Pulau Sumatera dilalui oleh patahan aktif Sesar Semangko yang memanjang dari Banda Aceh hingga Lampung. Patahan ini bergeser sekitar 11 cm/tahun dan merupakan daerah rawan gempa dan longsor. Kota Banda Aceh diapit oleh dua patahan di Barat dan Timur kota, yaitu patahan Darul Imarah dan Darussalam, sehingga Banda Aceh adalah suatu daratan hasil ambalasan sejak Pilosen membentuk suatu Graben. Ini menunjukkan ruas-ruas patahan Semangko di Pulau Sumatera dan kedudukannya terhadap Kota Banda Aceh, dan kedua patahan yang merupakan sesar aktif tersebut diperkirakan bertemu pada pegunungan di sebelah Tenggara sehingga dataran Banda Aceh merupakan batuan Sedimen yang berpengaruh kuat apabila terjadi gempa di sekitarnya.

2.2. Penduduk

Berapa jumlah penduduk di Banda Aceh sebelum pecahnya perang antara Belanda dengan pihak Aceh tidak ditemukan data yang konkrit. Namun untuk wilayah Aceh keseluruhannya, menurut K.F.H. van Langen jumlahnya berkisar sekitar 500.000 jiwa dan pada bulan Desember 1905 jumlah penduduk ini ± 600.000 jiwa, yang dapat diperinci sebagai berikut:

1. Masyarakat Eropa 761 jiwa 2. Masyarakat Cina 8.575 jiwa 3. Masyarakat Arab 101 jiwa


(31)

19 4. Timur Asing lainnya 1.361 jiwa 5. Masyarakat Aceh, terdiri dari:

- Laki-laki 292.379 jiwa - Perempuan 279.098 jiwa

Data pada masyarakat Aceh di atas merupakan penduduk dari daerah: a. Gayo dan Alas (Aceh bagian tengah) sekitar 60.000 jiwa b. Siemeulu (Pulau Siemeulu) ± 10.000 jiwa.

Namun menurut sensus penduduk tahun 1930, di Kutaraja (Banda Aceh) pada saat itu sedikit sekali didiami oleh suku Aceh, yaitu 746 orang. Sebagian besar penduduk pribumi yang oleh orang Belanda disebut dengan istilah Inlander yang mendiami kota Banda Aceh yaitu terdiri dari:

- Suku Jawa 1937 jiwa - Suku Melayu 676 jiwa dan

- Suku Minangkabau sebanyak 482 jiwa.

Keseluruhan penduduk Banda Aceh waktu itu, termasuk dengan orang Eropa, orang-orang Cina dan Timur Asing lainnya adalah sebanyak 10.726 jiwa. Minimnya jumlah orang-orang Aceh yang berdomisili di Banda Aceh mungkin karena ke-engganan mereka untuk tinggal bersama-sama dengan orang-orang Belanda dan suku-suku bangsa lainnya yang dianggap pro Belanda.20

2.3. Kehidupan Religius


(32)

20

Aceh terletak di ujung Pulau Sumatera, merupakan bagian yang paling utara dan paling barat dari Kepulauan Indonesia. Di sebelah Barat terbentang Lautan Hindia sementara di sebelah Utara dan Timurnya terletak Selat Malaka. Dalam posisi yang demikian atau sebagai gerbang sebelah Barat untuk masuk ke Nusantara, menjadikan Aceh sarat dengan kontak budaya dan pengaruh dari luar. Salah satu diantaranya ialah agama Islam.

Islam yang masuk ke wilayah ini adalah Islam yang telah berbaur dengan unsur-unsur budaya Persia dan India sehingga telah memberi corak tersendiri terhadap budaya dan agama di Aceh. Pengaruh agama Islam yang begitu kuat menyebabkan pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat Aceh dalam kehidupan sehari-hari sedapat mungkin disesuaikan dengan kaidah-kaidah Islam. Sebaliknya, juga praktik-praktik keagamaan, mereka sesuaikan pula dengan tradisi atau adat istiadat yang berlaku. Hal ini terlihat dalam kehidupan sosial budaya masyarakat yang tercakup sebagai unsurnya telah diwarnai dengan ajaran agama Islam. Akibatnya, antara budaya dan agama telah menyatu, sehingga sukar untuk dipilah dan dipisahkan. Hal ini tercermin dalam sebuah ungkapan Aceh yang sangat populer, yaitu “Adat ngon hukom hanjeut cree lagee zat ngon sifeut”, artinya adat dengan hukum syariat Islam tidak dapat dipisahkan seperti unsur dengan sifatnya. Di sini kaidah Islam sudah merupakan bagian daripada adat atau telah diadatkan.

Jadi, bisa kita simpulkan bahwa Islam di Aceh sudah sangat berakar sehingga praktik keagamaan dan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Aceh tidak jauh dari ajaran Islam sendiri.


(33)

21 2.4 Ajaran Muhammadiyah

Muhammadiyah sebagai organsasi sosial yang berasaskan Islam membawa aspirasi dan cita-cita murni membebaskan, membongkardan memperbaiki keadaan umat Islam yang telah diam dalam kejumudan. Dalam mewujudkan cita-citanya banyak mendapat halangan dan rintangan. Untuk mencapai maksud dan tujuan, Muhammadiyah berjuang mempertahankan hidupnya dengan segala kemampuan yang ada demi tercapainya cita-cita yang diharapkan yaitu menuju masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Dalam menghadapi berbagai halangan tersebut Muhammadiyah telah menampakkan ciri-ciri dan sifatnya yang khusus yang merupakan pernyataan jiwa dan semangat pembaharuan yang telah tertanam dengan suburnya dalam hati sanubari masing-masing anggotanya.

Kekhususan dari sifat inilah yang menyebabkan Muhammadiyah dapat menggerakkan roda organisasinya untuk mempertahankan dirinya serta berusaha mencegah dari kemunduran dan mengembangkan diri sampai sekarang.

Cirri dan sifat khusus itu dijadikan pedoman dan pegangan hidup serta diajarkan dan diterapkan kepada seluruh keluarga Muhammadiyah tanpa ada pengecualiannya. Cirri dan sifat khas ini dinamakan dengan “Kepribadian Muhammadiyah”.

Adapun kepribadian Muhammadiyah yang dijadikan pedoman dan harus diajarkan kepada seluruh keeluarga Muhammadiyah dirumuskan dalam beberapa materi pokok, dapat penulis kemukakan sebagai berikut :


(34)

22 1. Apakah Muhammadiyah itu.

Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan gerakan Islam. Maksudnya ialah dakwah Islam dan amar makruf nahi munkar, pada bidang pertama terbagi dua golongan ; kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid) yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang asli murni. Yang kedua, kepada yang belum Islam bersifat seruan dan ajakan untu memeluk Islam.

Adapun dakwah dan amar makruf nahi munkar kedua ialah kepada masyarakat, bersifat perbaikan dan bimbingan serta peringatan kesemuanya itu dilaksanakan bersama dengan musyawarah atas dasar taqwa dan mengharapkan keridhaan ALLAH semata.

Dengan melaksanakan dakwah dan amar makruf nahi munkar dengan cara masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah menggerakkan masyarakat menuju masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

2. Dasar Amal Usaha Muhammadiyah.

Dalam perjuangan melaksanakan usahanya menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dimanakesejahteraan, kebaikan dan kebahagiaan luas merata, Muhammadiyah mendasarkan segala gerak amal dan usahanya atau prinsip-prinsip yang tersimpul dalam mukaddimah anggaran dasar yaitu:

a. Hidup manusia harus berdasarkan tauhid, ibadah dan taat kepada Allah. b. Hidup manusia bermasyarakat.

c. Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan berkeyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.


(35)

23

d. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah.

e. Ittiba’ kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad SAW.

f. Melancarkan amal usaha dan perjuangan dengan ketrtiban organisasi. 3. Pedoman amal usaha dan perjuangan Muhammadiyah.

Menilik dasar prinsip tersebut diatas, maka apapun yang diusahakan dan bagaimanapun cara perjuangan Muhammadiyah untuk mncapai tunggalnya harus berpedoman.Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasul-Nya, bergerak membangun disegala bidangdan lapangan dengan mengunakan cara dan menempuh jalan yang diridhoi Allah.

4. Sifat Muhammadiyah.

Memperhatikan uraian tersebut diatas tentang; a. Apakah Muhammadiyah itu.

b. Dasar dan amal usaha Muhammadiyah dan

c. Pedoman amal usaha Muhammadiyah; maka Muhammadiyah memiliki dan wajib memelihara sifat-sifatnya, terutama yang terjalin dibawah ini :

1. Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan. 2. Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhwah Islamiyah. 3. Lapang dada, luas pandangan dan memegang teguh ajaran Islam. 4. Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.

5. Mengindahkan segala hokum, undang-undang, peraturan serata dasar dan falsafah Negara yang sah.


(36)

24

6. Amar makruf nahi munkar dalam segala lapangan srta menjadi contoh tauladan yang baik.

7. Aktif dalam perkembangan masyarakat denan maksud ishlah pembangunan sesuai dengan ajaran Islam.

8. Krja sama dengan golongan Islam manapun dalam usaha mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya.

9. Membantu pemerintah serta bekerja sama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah.

10.Bersifat adil srta kreatif kedalam dan keluar dengan bijaksana.21

Empat materi pokok yang menjadi rumusan Muhammadiyah tersebut, keempat-empatnya tidak dapat dipisahkan karena diantaranya erat hubungan dan banyak kaitannya. Semuanya merupakan suatu kesatuan yang diberi nama dengan “Kepribadian Muhammadiyah”.

Kepribadian Muhammadiyah inilah yang menjadi dasar dan pedoman kerja dalam menggerakkan perjuangan menuju cita-cita terbinanya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dan kepribadian Muhammadiyah perlu diajarkan kepada semua keluarga Muhammadiyah, tanpa mengenali dan mengetahuia kepribadian ini, arah dan tujuan yang digerakkan Muhammadiyah akan mengalami jalan yang

21

H.M. Djindar Tamimy, H.Djarnawi Hadiusumo, Penjelasan Muqaddimah Anggaran Dasar dan Kepribadian Muhammadiyah, P.T. Persatuan Yoyakarta, tt, hal. 43-45


(37)

25

likusehingga sukar diperoleh tujuan yang diharapkan dan memperoleh hambatan-hambatan dalam perjuangannya.22

Dengan mengetahui dan memahami kepribadian ini berarti juga memudahkan bagi kelancaran usaha dalam menggerakkan perjuangan persyarikatan menuju ketempat tujuan yang dikehendaki.Dengan demikin dapat disimpulkan bahwa ajaran-ajaran yang harus diajarkan kepada segenap keluarga Muhammadiyah meliputi Kepribadian Muhammadiyah, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta hal-hal yang dapat menguntungkan bagi perjuangan persyarikatan.

22


(38)

26 BAB III

KEMUNCULAN MUHAMMADIYAH DI BANDA ACEH 1923 - 1927

3.1. Merintis Muhammadiyah di Kutaraja

Lahirnya Muhammadiyah tidak terlepas dari misi dan srategi Muhammadiyah dalam upaya penegakan nilai-nilai ke-Islaman dan kemanusiaan. Penderitaan berkepanjangan yang telah dialami oleh bangsa Indonesia terlepas dari ajaran pemurnian Islam sendiri supaya bangsa Indonesia bangkit dari keterpurukan dan kembali ketatanan kehidupan Islam yang sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Hadist.

Pada mulanya Muhammadiyah lahir dipulau Jawa. Namun, dalam perkembangannya Muhammadiyah sebagai organisasi pemurnian Islam juga mengembangkan sayapnya kedaerah-daerah lain diluar pulau Jawa seperti Sumatera yang menjadi pusat perkembangannya adalah Sumatera Barat dan barulah kemudian Muhammadiyah sampai ke Aceh.

Sebelum Muhammadiyah masuk, masyarakat Aceh telah menganut ajaran Islam Ahlussunnah Waljamaah yaitu mengikuti sunnah rasul dan sahabatnya. Muhammadiyah mulai masuk pada tahun 1923; dibawa oleh sekretaris Muhammadiyah cabang Betawi yang bernama S. Djaja Soekarta yang pindah ke Kutaraja (Banda Aceh) dan bekerja pada Jawatan Kereta Api Aceh. Namun pada waktu itu belum memungkinkan untuk mendirikan sebuah cabang disana, karena personalia pengurus belum ada. Baru pada tahun 1927 dengan mendapat bimbingan dari seorang utusan pengurus Pusat Muhammadiyah yang bernama A.R Soetan Mansoer, organisasi ini resmi berdiri di Kutaraja. Adapun pimpinannya dipilih R.O


(39)

27

Armadinata yaitu seorang dokter gigi yang pada waktu itu bertugas di Kutaraja. Selaku konsul pertama dijabat oleh Teuku Muhammad Glumpang Payoeng, pegawai kantor pusat kas-kas kenegerian di Kutaraja.23

Menurut catatan,kantor Muhammadiyah terletak di jalan Meduati (kini jalan K.H.A Dahlan, disekitar SD Muhammadiyah), kemudian baru tempat kegiatan Muhammadiyah meluas ke daerah Taman Siswa dan Punge Blang Cut II. Sesudah itu barulah Muhammadiyah mmbentangkan sayapnya di daerah-daerah lain di Aceh. Namun demikian, Muhammadiyah di setiap daerah tidaklah sama, bahkan di beberapa daerah, Organisasi Muhammadiyah didirikan sesudah zaman penjajahan Jepang.24

3.2. Tantangan-Tantangan yang di Hadapi (Pro dan Kontra)

Organisasi Muhammadiyah yang telah berkembang di Daerah Aceh sampai pada saat ini dalam perkembangannya banyak mengalami hambatan dan tantangan-tantangan, seperti halnya dengan Muhammadiyah pada saat pemulaan didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta.

Kehadiran Muhammadiyah awalnya tidak berjalan dengan baik, dakwah amar makruf nahi munkar yang dilakukan Muhammadiyah tidak mudah diterima masyarakat dan mereka melemparkan tuduhan kepada Muhammadiyah sebagai kaum muda, kaum wahabi kaum tak bermazhab bahkan pernah dikatakan bahwa Muhammadiyah itu Kristen halus. Pada masa itu karena kaum penjajah ingin tetap

23

Rusdi Sufi. Op.cit, hal 121

24


(40)

28

mempertahankan kedudukannya di Indonesia maka kehadiran Muhammadiyah dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda untuk memecah belah umat dengan cara menghasut golongan umat Islam lainnya agar membenci Muhammadiyah. Disamping itu juga banyak yang menganggap bahwa Muhammadiyah terlalu keras sehingga Muhammadiyah tidak mendapat simpati dari masyarakat. Akan tetapi para Muballiq Muhammadiyah dengan berpedoman pada sejarah dakwah Rasulullah tidak gentar menghadapi rintangan apapun dalam usaha menyebarkan gagasan-gagasan Muhammadiyah.

Adapun tantangan yang dihadapi oleh Muhammadiyah Aceh secara umum dapat digambarkan bahwa Muhammadiyah di Aceh yang lahir pada tahun 1923 di Banda Aceh dibawah pimpinan R.A. Kartadinata, seorang amtenar Belanda yang bekerja pada kantor Pegadaian Negara Banda Aceh.

Sebagian masyarakat Aceh menganggap, bahwa Muhammadiyah di Daerah Aceh adalah hasil bawaan suku Minang yang datang ke Aceh, baik dia sebagai pedagang maupun sebagai pegawai negeri dan juga beranggapan bahwa Muhammadiyah hasil bawaan suku Minang ini akan merubah kepercayaan dan adat-istiadat masyarakat Aceh yang sudah turun-temurun dibina serta berkembang dikalangan masyarakat Aceh. Anggapan ini oleh masyarakat Aceh pada waktu itu disebarluaskan keseluruh pelosok daerah Aceh sehingga dapat mengakibatkan hambatan bagi perjuangan Muhammadiyah di daerah Aceh.25

25

Skripsi, perkembangan muhammadiyah di aceh, hal 47

Tantangan yang disebabkan oleh perrbedaan suku yaitu suku Minang dengan suku Aceh, dimana


(41)

29

rakyat Aceh menganggap bahwa Muhammadiyah ini dibawa oleh orang-orang Minang yang datang ke Aceh baik dia sebagai pedagang maupun sebagai pegawai Belanda pada waktu itu.

Pertentangan suku ini menyebabkan perubahan adat-istiadat yang menjurus ke arah ibadat, dimana Muhammadiyah dalam gerakannya merupakan gerakan pembaharuan baik dalam masalah ibadah maupun dalam pergaulan masyarakat. Masyarakat Aceh menganggap bahwa Muhammadiyah datang ke Aceh ini hendak merubah sikap dan pandangan hidup masyarakat Aceh yang sejak dari dulu telah menjadi adat dan membudaya dikalangan masyarakat Aceh. Dalam pergaulan sehari-hari tetap berpegang teguh pada tradisi-tradisi lama yang diperoleh dari orang-orang tua dahulu. Kendatipun mereka tidak meneliti secara mendalam apakah yang diwarisi dari orang tuanya itu benar-benar dari ajaran Islam yang murni ataupun sudah bercampur dengan ajaran Hindu yang juga pernah berkembang di daerah Aceh. Oleh karena tantangan tersebut, Muhammadiyah Aceh sukar sekali berkembang dengan baik dan sempurna ditengah-tengah masyarakat Aceh pada waktu itu. Tetapi seiring berjalannya waktu anggapan yang demikian berangsur-angsur menghilang dan Muhammadiyah dapat bergerak sebagaimana mestinya.

Kerikil kecil ini sebenarnya masih saja berbenturan dikalangan umat dengan masing-masing pihak mempunyai dalilnya yang khas. Bahkan dikaitkan dengan adanya salah satu keistimewaan Aceh dibidang peradatan yang bersemboyan “gadoh aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat tamita” (hilang anak ada kuburannya, hilang adat kemana hendak dicari). Namun sampai dimana sebenarnya adat yang bersumber daari budaya Islam dan dimana yang berasal dari budaya sebelum Islam adalah kurang


(42)

30

terdapat kesepakatan untuk dipertegas, karena ini merupakan hal yang agak sensitif.26

Disamping pertentangan yang bersumber pada adat dan suku tersebut, juga sangat menonjol pertentangan antara sesama suku Aceh sendiri yaitu antara keturunan Ulei Balang dengan rakyat biasa. Masyarakat Aceh ada yang beranggapan bahwa Muhammadiyah yang berkembang di Daerah Aceh tersebut adalah milik kaum bangsawan (Ulei Balang). Anggapan ini dapat dilihat bahwa banyak dari pimpinan Muhammadiyah terdiri dari kaum Ulei Balang, seperti Teuku Cut Hasan, Teuku Hasan Dik Gelumpang Payoeng dan lain-lain. Mereka dari keturunan Ulei Balang ini banyak menjadi amtenar Belanda, sehingga rakyat menganggap bahwa Muhammadiyah ada hubungan dengan Belanda. Padahal anggapan yang demikian itu pada hakikatnya tidak benar, namun demikian pernyataan tersebut disampaikan keseluruh daerah Aceh sampai ke kampung-kampung agar Muhammadiyah tidak berkembang dengan baik di daerah Aceh, sebagaimana yang dikemukakan oleh Tgk. Mohd. Amin Teupin Raya bahwa “Persyarikatan Muhammadiyah Aceh lebih menonjol dalam lapangan pendidikan semata-mata dan bersifat Padang Sentris”.

Seperti kita ketahui, adat dan agama Islam pada masyarakat Aceh sulit dipisahkan karena sudah begitu berakar dan merupakan pegangan hidup masyarakat Aceh umumnya.

27

Hal ini sangat menonjol dikalangan masyarakat Aceh, karena pada umumnya para Ulei Balang bekerja sebagai amtenar Belanda. Para pimpinan Muhammadiyah dulu banyak diantaranya berasal dari keturunan Ulei Balang. Anggapan masyarakat

26

Zamroni Masuda. Dkk, Op.cit,.hal.154

27


(43)

31

terhadap Ulei Balang bahwa mereka bersekutu dengan Belanda. Sedangkan masyarakat Aceh telah tertanam dalam jiwanya, bahwa Belanda itu menjadi musuh utama yang perlu dikikiskan dimuka bumi Aceh.

Oleh karena anggapan ini telah ditanamkan rakyat keseluruh kampung-kampung dalam daerah Aceh, maka para Ulei Balang yang menjadi pimpinan Muhammadiyah pada waktu itu agak sukar memberikan pandangan dan keyakinan pada masyarakat Aceh terutama di kampung-kampung tentang wujud dan hakekat dari Muhammadiyah. Menurut penelitian ternyata pihak Belanda dengan halus menyuruh para Ulei Balang untuk memimpin Muhammadiyah, dengan demikian gerak majunya Muhammadiyah di Aceh menjadi lambat atau tertahan-tahan seperti yang diinginkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Kesulitan lain yang dihadapi Muhammadiyah Aceh adalah karena perpindahan tugas dari pimpinan, sebab para pimpinan Muhammadiyah Aceh dahulu kebanyakan bekerja pada Pemerintah Belanda dan ada juga yang bukan pegawai negeri.Dengan berpindahnya para pimpinan ini kegiatan persyarikatan sedikit banyaknya akan mengalami kemacetan, mereka berusaha mencoba semaksimal mungkin agar lajunya perkembangan persyarikatan ini tetap berjalan dengan lancar, namun secara kenyataan tetap mengalami hambatan.

Tantangan ini memang sukar sekali dihadapi, baik oleh Muhammadiyah maupun organisasi lainnya, terlebih lagi Muhammadiyah pada waktu itu banyak para pimpinannya terdiri dari unsur-unsur pegawai Belanda. Jika pemerintah menghendaki pegawainya pindah ketempat lain yang kebetulan ia menjadi pimpinan Muhammadiyah tentu saja ia akan menuruti perintah tersebut. Sedangkan jabatannya


(44)

32

sebagai pimpinan Muhammadiyah di daerah tersebut harus diserahkan kepada orang lain. Dalam proses peralihan ini sedikit banyaknya akan mempengaruhi kelancaran roda organisasi.

Disamping kesulitan-kesulitan diatas, masalah pendanaan juga merupakan suatu hambatan yang sangat besar dalam suatu organisasi, lebih lagi organisasi Muhammadiyah ini yang merupakan organisasi sosial yang bergerak dibidang dakwah amar makruf nahi munkar.Persyarikatan ini selalu mengalami keterbatasan dalam bidang dana. Karena persyarikatan pada umumnya memperoleh dana-dana secara sukarela disamping bantuan pemerintah. Kadang kala hal-hal yang menjadi program persyarikatan untuk dilaksanankan sering terbentur ditengah jalan disebabkan tidak tersedianya dana yang mencukupi.Dengan adanya dana yang mencukupi dan memadai diharapkan akan lebih mudah menggerakkan roda organisasi sesuai dengan program yang telah ditetapkan sebelumnya. Apalagi dengan Persyarikatan Muhammadiyah setiap saat membutuhkan dana yang sangat besar. Kebutuhan ini adalah untuk menggerakkan perjuangan persyarikatan dengan melaksanakan usaha di lapangan sosial dan pendidikan seperti pendirian rumah-rumah panti asuhan, rumah-rumah sakit atau poliklinik dan sekolah-sekolah.28

28

Skripsi, perkembangan muhammadiyah di aceh, hal 50

Pengadaan dana yang memadai merupakan unsur penting dalam suatu organisasi, oleh karena itu persyarikatan Muhammadiyah Aceh mengajak masyarakat agar dapat menyumbang baik moral maupun material guna menambah kekayaan persyarikatan sehingga cita-cta yang akan dicapai menjadi lebih mudah terwujud sesuai dengan apa yang diharapkan.


(45)

33

3.3. Diterimanya Muhammadiyah Sebagai Ajaran Baru

Kiprah Muhammadiyah di Aceh dihadapkan dengan berbagai masalah internal maupun eksternal. Sebagai contoh masalah internal misalnya pada waktu itu tingkat kepercayaan anggota Muhammadiyah terhadap pendidikan yang dilahirkan Muhammadiyah Menurun dimana banyak anggota Muhammadiyah sendiri tidak menyekolahkan anaknya pada sekolah Muhammadiyah sehingga banyak sekolah-sekolah Muhammadiyah terpaksa tutup karena kekurangan murid. Masalah eksternal yang dihadapi Muhammadiyah adalah masalah yang berjalan dengan misi pembaharuan Islam yang dibawanya kadang-kadang berbenturan dengan nilai adat yang telah berbaur dengan nilai ritual keagamaan yang menyatu dengan kebiasaan masyarakat Islam yang telah lebih dahulu ada.

Dalam rentang waktu yang cukup lama ini telah banyak kegiatan-kegiatan dan upaya-upaya yang dilakukan oleh Muhammadiyah sehingga sampai akhirnya organisasi Muhammadiyah ini dapat dikatakan merupakan suatu organisasi yang dapat hidup dan berkembang di Aceh, yang mana amal usaha Muhammadiyah yang dahulunya dicemoohkan dan dihalangi akhirnya telah merupakan amal usaha yang dikerjakan oleh sebagian masyarakat, walaupun awal perkembangannya organisasi ini hanya berkembang diperkotaan dan tidak berkembang di sampai pedesaan.

Ada beberapa hal yangmenyebabkan organisasi ini tidak berkembang di pedesaan yaitu pertama, politik di zaman Belanda. Pada masa ini organisasi Muhammadiyah dianggap sebagai suatu gerakan yang dapat menggiring masyarakat sehingga diaturlah bahwa yang menjadi pemimpin-pemimpin Muhammadiyah dari


(46)

34

golongan feodal, oleh karena yang memimpin Muhammadiyah dari golongan feodal menyebabkan masyarakat tidak tertarik karena adanya perbedaan yang kontras sekali antara rakyat dengan kaum feodal. Kedua, dari segi ubudiyah yang bertolak belakang dengan ubudiyah yang dianut masyrakat di pedesaan dimana pada waktu itu masyarakat tidak lagi melakukan ubudiyah seperti sunnah, banyak terjadinya kurabang, takhayul di kampung-kampung yang semuanya itu sudah bercampur baur dengan akidah.

Bebagai macam kenduri seperti kenduri sawah, kenduri laut, kenduri seratus hari, kenduri dirumah orang kematian, pembacaan Qunut pada sholat subuh dan zikir-zikir maulid dan sebagainya merupakan objek kritikan Muhammadiyah dan Muhammadiyah berbenturan terus dengan paham-paham seperti itu. Benturan-benturan ini menjadi tugas bagi Muhammadiyah dan ini tidak terlepas dari cita-cita Muhammadiyah supaya umat Islam diseluruh Indonesia dan khususnya di Aceh dapat melaksanakan ajaran Islam dengan semurni-murninya. Sejalan dengan itu perkembangan Muhammadiyah berjalan dengan pesat dan merakyat dimana lapisan-lapisan masyarakat sekarang ini banyak yang masuk ke Muhammadiyah tidak hanya dari golongan pegawai tetapi juga petani baik dari Desa maupun dari Kota.


(47)

35 BAB IV

PENGARUHMUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN PEMBAHARUAN DI BANDA ACEH (1927-1942)

4.1 Pelebaran Sayap Organisasi Muhammadiyah

Ahmad Dahlan (1868-1923) tentu saja mendirikan Muhammadiyah tidak dengan kepala kosong, tetapi dengan aspirasi (keinginan dan cita-cita) Islam yang akan dibangun. Dengan kebesaran dan ketahan ujian Muhammadiyah dalam berbagai gelombang pada masa penjajahan, masa pendudukan, masa kemerdekaan dan masa pembangunan dewasa ini, maka akar pemikiran lahirnya Muhammadiyah, yang diantaranya tampak pada aspirasi Ahmad Dahlan, tidaklah bias dinafikan.

Aspirasi Ahmad Dahlan bisa diungkap dari perjalanan intelektual, spiritual, dan sosial dalam dua fase. Fase pertama, setelah Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji yang pertama (1889); fase kedua, setelah menunaikan ibadah haji yang kedua (1903) dan bermukim di timur tengah selama 20 bulan. Saat Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji yang pertama pada usia 20 tahun, motivasi utamanya memang menunaikan ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelimabagi yang mampu; motivasi lainnya dalah tuntutan untuk mengembangkan studi Islam. Pengembangan dan pengembaraan intelektual ini merupakan suatu keharusan karena pada waktu itu pusat studi Islam adalah timur tengah, dan Ahmad Dahlan sendiri , dalam pengembaraan intelektualnya dikawasan local, merasa gelisah akan Islam. Kegelisahannya tercermin dalam metodeloginya untuk memahami ajaran Islam.


(48)

36

Kegelisahannya semakin memuncak karena adanya tarik-menarik antara pengalaman intelektualnya di satu sisi, bahwa Islam yang ditransformasikan Muhammmad SAW, mampu mengadakan perubahan besar pada masyarakat, dan Islam yang dilihatnya disisi lain, yang tidak mampu mengadakan perubahan sosial.29

Maka, guna melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat dan Islam yang ditransformasikan Muhammad SAW sebagai acuannya, organisasi Muhammadiyah di Aceh turut melakukan usaha-usaha dalam memajukan pendidikan dan pengajaran demi mendapatkan pemuda Islam yang lebih baik dan berguna dalam kehidupan sosial masyarakat.

4.1.1 Dalam Bidang Agama

Sebagai gerakan modernist Islam, Muhammadiyah mencoba memperkenalkan pembaruan pemikiran melalui ijtihad dan berupaya memerangi bid’ah, tahayul dan kufarat, perilaku keberagaman yang menyimpang dari ajaran Al-Quran dan Hadist. Disisi lain, Muhammadiyah juga melahirkan aksi-aksi kemasyarakatan untuk meningkatkan kualitas Hidup yang mempermudah umat Islam dalam mengadopsi piranti modernisasi dengan benar. Piranti ini amat penting dan dapat dipakai untuk membina suatu kehidupan yang serasi dan harmonis sebagai manifestasi dari keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.30

Berbedadengan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang lahir dari dan dengan latar belakang keacehan, Muhammadiyah adalah produk proses modernisasi

29

Syaifullah, Gerakan Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi, Jakarta: Grafiti, 1995, hal. 28

30


(49)

37

pemikiran Islam dengan latar belakang berbeda, walaupun tujuan utama dari gerakan tersebutadalah pemurnian ajaran Islam yang dianggap telah menyimpang dari sumbernya. Artinya Muhammadiyah itu dibawa dan diperkenalkan kepada Masyarakat Aceh oleh seorang pegawai pemerintah kolonial Belanda penganut faham modernist.

Tujuan didirikan organisasi Muhammadiyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ialah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga tercipta masyarakat Islam yang sesungguhnya. Tugas pokok yang diemban oleh organisasi ini untuk mengembalikan umat Islam kepada ajaran-ajaran Islam yang murni. Ini berarti Muhammadiyah harus berjuang membebaskan umat dari segala jenis dogma karena “semangat yang benar dari ajaran kitab Suci Al-Quran dan tidak mengizinkan adanya sembarang dogma” untuk mengubah kenyataan yang terdapat dalam masyarakat ini Muhammadiyah meningkatkan dirinya diatas kondisi umum masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, Muhammadiyah harus mampu menunjukkan kepada masyarakat bahwa ajaran yang dianjurkan benar-benar didasarkan pada ajaran Islam yang murni dan pelaksanaan ajaran-ajaran ini di tengah-tengah masyarakat memberikan dampak positif bagi kemajuan umat Islam.31

Umat Islam ketika Muhammadiyah baru masuk ke Aceh pada tahun 1930-an banyak sekali digerogoti oleh pengaruh bid’ah dan khufarat.Bid’ah adalah suatu pekerjaan atau perbuatan yang diada-adakan sesudah masa Rasulullah s.a.w., tetapi pekerjaan atau perkataan itu tidak pernah dilaksanakan oleh para sahabat, dan tidak

31


(50)

38

ada dasarnya dalam Al-Quran dan Hadist. Khufarat adalalah ‘tahayul’ hal-hal yang tidak masuk akal atau perkara-perkara yang sulit untuk dipercaya kebenarannya, yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya dan tidak terdapat dalam ajaran Islam, misalnya upacara kenduri tron u laot (turun ke laut), upacara kenduri blang (sawah), dan sebagainya. Bentuk-bentuk bid’ah dan khufarat yang dikenal pada awal Muhammadiyah masuk ke Aceh adalah:

1. Kenduri pada waktu ada yang meninggal, setelah jenazah dimakamkan, maka pada malam harinya terus diadakan do’a/kenduri. Do’a baca yasin, tahlil, tahmid pada malam pertama, kedua sampai tujuhn malam berturut-turut yang dilakukan orang lain yang dtang kerumah duka.

2. Kenduri/doa pada waktu seorang ibu mengandung tujuh bulan. 3. Selamatan pada waktu kelahiran.

4. Pengkeramatan terhadap kuburan dan orang suci, yaitu dengan melakukan ziarah kubur dan meminta doa kepada roh orang yang telah meninggal. Pengkeramatan terhadap kuburan ulama.

5. Upacara tahlil dan talkin. Talkin adalah acara pembacaan doa dan nasehat kepada orang yang telah meninggal, setelah upacara penguburan, dengan menggunakan bahasa Arab. Isi upacara ini adalah peringatan kepada orang yang telah meninggal bahwa andaikata nanti datang malaikat yang akan bertanya di dalam kubur, agar dijawab Allah itu adalah Tuhan saya, Al-Quran iman saya dan semua orang Islam saudara saya. Tahlil adalah upacara membaca doa bersama-sama dan membaca wirid(bacaan yang biasa


(51)

39

diamalkan setiap waktu tertentu sebagai amal ibadah kepada Allah), bersama-sama pula dibawah teungku atau ulama, atau orang yang dituakan dan memahami amalan tersebut.

6. Kepercayaan terhadap jimat. Dilingkungan masyarakat Aceh, benda-benda pusaka ada yang dianggap jimat sedangkan di gampong-gampong(desa) ada benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib atau dianggap jimat.32 Kehadiran Muhammadiyah di Aceh berusaha untuk memurnikan ajaran Islam dari pengaruh bid’ah dan khurafat sebagai mana yang disebutkan di atas. Islam mempunyai dasar Al-Quran dan Hadist sebagai dasar dan tolak ukur dalam upaya pemurnian agama.

Dengan mengingat bahwa tugas-tugas Muhammadiyah adalah memurnikan ajaran Islam dari senkreitisme dan mistisme, maka peran Muhammadiyah dalam bidang agama sangat besar.

Muhammadiyah menyadari benar bahwa kebanyakan umat Islam khususnya pada awal masuknya organisasi ini ke Aceh, belum mendalami benar nilai hakiki ajaran Islam. apalagi menjalankan ajaran agama itu dalam kehidupan sehari-hari. Muhammadiyah di Aceh mengajak umat Islam untuk menjalankan amar makruf nahi munkar (menyeru kepada perbuatan yang baik dan mencegah perbuatan yang munkar). Bagi Muhammadiyah melakukan perbuatan yang baik (amar makruf) tidak berarti lain kecuali percaya sepenuhnya kepada Keesaan Tuhan (tauhid) dan menolak perbuatan yang menyekutukan Tuhan (syirik). Sejalan dengan itu, Muhammadiyah

32


(52)

40

menekankan pentingnya umat Islam untuk menjalankan Rukun Iman dan Rukun Islam dalam kehidupan mereka.

Adapun rukun Iman terdiri dari : 1. Iman kepada Allah SWT.

2. Iman kepada Malaikat-MalaikatNya. 3. Iman kepada Kitab-KitabNya. 4. Iman kepada Rasul-rasulNya. 5. Iman kepada Hari kemudian. 6. Iman kepada Qadar Allah.

Sedangkan rukun Islam terdiri dari :

1. Mengucap dua kalimat syahadat. 2. Mendirikan salat.

3. Membayar zakat.

4. Berpuasa sebulan penuh di bulan ramadhan.

5. Munaikan ibadah haji ke Mekkah sekali dalam hidupnya bagi yang mampu.

Adapun Usaha-usaha yang dilakukan Muhammadiyah di bidang agama diantaranya yaitu :

1. Menentukan arah kiblat yang tepat dalam menjalankan salat, sebagai koreksi terhadap kebiasaan sebelumnya dengan mengahadap tepat kearah Barat.


(53)

41

2. Penggunaan perhitungan astronomi dalam menentukan permulaan dan akhir bulan ramadhan (hisab), sebagai cara lain dari pengamatan perjalanan bulan oleh petugas agama.

3. Mengumpulkan dan pembagian zakat fitrah dan daging kurban pada hari-hari raya oleh panitia khusus mewakili masyarakat Islam setempat, yang dapat dibandingkan dengan kebiasaan masyarakat sebelumnya dengan memberikan hak istimewa dalam persoalan ini pada pegawai atau petugas agama.

4. Penyederhanaan upacara dan ibadah dalam peristiwa kelahiran, kitana, perkawinan dan pemakaman dengan menghilangkan hal-hal yang bersifat poloteistik.

5. Penyederhanaan makam.

6. Menghilangkan kebiasaan berziarah ke makam-makam orang suci atau makam keramat.

7. Menghilangkan anggapan seolah-olah ada berkat yang sifatnya gaib yang dimiliki oleh ulama serta pengaruh ekstrim terhadap mereka.

8. Penggunaan kerudung pada wanita dan pemisahan laki-laki dan perempuan pada pertemuan yang bersifat keagamaan.33

Muhammadiyah benar-benar mendidik para remaja putra dan putri guna memperoleh kecerdasan yang dilandasi oleh iman dan ilmu pengetahuan dan berbakti pada masyarakat. Karena Muhammadiyah menyadari bahwa pendidikan tanpa

33


(54)

42

dilandasi atas iman atau ilmu agama akan menuju kehancuran dan kebinasaan, ilmu tanpa amal akan menuju kemelaratan. Ilmu tanpa dilandasi atas keimanan menuju kesesatan dan iman tanpa ilmu adalah buta. Karena ilmu tidak akan mampu memecahkan serta menjangkau masalah-masalah gaib, sedangkan iman akan dapat menembus jalan buntu yang dijumpai oleh ilmu. Karena hal ini juga Muhammadiyah menjadikan ilmu agama dan ilmu pendidikan modern berjalan beriringan dalam mendidik anak-anak bangsa.

4.1.2 Dalam Bidang Pendidikan

Pendidikan memegang peranan sentral dalam perkembangan individu dan umat manusia secara keseluruhan serta dalam membudayakan umat manusia. Disadari bahwa pendidikan merupakan suatu kekuatan dinamis dalam kehidupan setiap individu yang mempengaruhi perkembangan fisik, mental emosianal, sosial ataupun etikanya. Ulasan dalam “Dictionary Of Education” menunjukan bahwa pendidikan adalah :

1. proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku kelainan dalam masyarakat dimana dia hidup.

2. proses sosial dimana oaring dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khusus yang dating dari sekolah) sehingga ia dapat


(55)

43

memperoleh ataupun mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum.34

Muhammadiyah didirikan untuk menyerukan pentingnya kembali pada Al Qur’an dan Sunnah sebagai usaha mengatasi perbuatan menyimpang dalam kehidupan beragama umat islam di Indonesia yang melakukan praktik takhayul, bid’ah, dan kurafat dengan tidak mendasarkan dirinya pada madzhab atau pemikiran tertentu. Dari latar belakang yang demikian, membuat Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dan didalamnya didirikan Lembaga Pendidikan yang disesuaikan dengan sistem pendidikan Islam agar tidak terisolasi.35

Sebagai suatu organisasi pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam serta menafsirkan ajaran Islam secara modern, dalam bidang pendidikan Muhammadiyah berusaha mengadakan pembaharuan sistem pendidikan dan pengajaran yang berorientasi Islam, baik disekolah, madrasah maupun pendidikan dalam masyarakat yang bersifat non formal. Artinya, dengan memajukan pendidikan maka masyarakat Islam dengan sendirinya menjadi pribadi yang berkualitas baik dalam hal agama maupun dalam hal ilmu pengetahuan umum. Oleh sebab itu muhammadiyah sejak awal berdirinya melakukan kegiatan-kegiatan seperti membangun sekolah, madrasah yang diiringi dengan pembaharuan dalam sistem pendidikan.36

34

Zamroni Masuda, dkk, Op.cit,.hal. 155 35

Di unduh daripada

tanggal 15 Juli 2014.

36


(56)

44

Kita ketahui bahwa pada masa awal berdirinya Muhammadiyah, lembaga-lembaga pendidikan yang ada dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar sistem pendidikan. Dua sistem pendidikan yang berkembang saat itu, pertama adalah sistem pendidikan tradisional pribumi yang diselenggarakan dalam pondok-pondok pesantren dengan Kurikulum seadanya. Pada umumnya seluruh pelajaran di pondok-pondok adalah pelajaran agama. Proses penanaman pendidikan pada sistem ini pada umumnya masih diselenggarakan secara tradisional, dan secara pribadi oleh para guru atau kyai dengan menggunakan metode srogan (murid secara individual menghadap kyai satu persatu dengan membawa kitab yang akan dibacanya, kyai membacakan pelajaran, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya) dan weton (metode pengajaran secara berkelompok dengan murid duduk bersimpuh mengelilingi kyai juga duduk bersimpuh dan sang kyai menerangkan pelajaran dan murid menyimak pada buku masing-masing atau dalam bahasa Arab disebut metode Halaqah) dalam pengajarannya. Dengan metode ini aktivitas belajar hanya bersifat pasif, membuat catatan tanpa pertanyaan, dan membantah terhadap penjelasan sang kyai adalah hal yang tabu. Selain itu metode ini hanya mementingkan kemampuan daya hafal dan membaca tanpa pengertian dan memperhitungkan daya nalar. Kedua adalah pendidikan sekuler yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah kolonial dan pelajaran agama tidak diberikan.37

37

Di unduh dar


(57)

45

Citra pembaruan yang muncul dalam bidang pendidikan sepertinya berawal dari rasa tidak puas terhadap sistem pendidikan yang diterapkan pada dua lembaga pendidikan yang ada pada saat itu, yaitu lembaga pendidikan pesantren yang dianggap konservatif dan pendidikan kolonial yang modern dan sekular. Muhammadiyah melihat adanya segi-segi yang positif sehingga harus diangkat dari kedua lembaga pendidikan tersebut dan melahirkan pendidikan yang ketiga, yang merupakan kompromitas antara sistem pendidikan tradisional dan sistem pendidikan kolonial. Sistem pendidikan yang baru ini diterapkan untuk pertama kalinya dalam lembaga pendidikan pondok pesantren Muhammadiyah.

Dengan menyadari kondisi yang seperti itu maka Muhammadiyah mengambil langkah-langkah dalam upaya mewujudkan cita-citanya, yaitu lahirnya intelektual-agama dan sekaligus yang intelektual-agama-intelektual.

Dalam hubungan ini penting sekali dicatat upaya Muhammadiyah dalam merumuskan pemahaman yang konsepsioanal tentang pendidikan sebagai panduan bagi pelakssanaan amal usaha gerkan itu dibidang pendidikan. Untuk maksud tersebut Muhammadiyah memulainya dari gagassan Ahmad Dahlan sendiri selaku tokoh pendiri Muhammadiyah.

Menurut gagasan Ahmad Dahlan, untuk mencapai tujuan Muhammadiyah maka jenis pendidikan Muhammadiyah yang perlu dikembangkan adalah yang bias melahirkan :


(58)

46

2. Yang berpandangan luas, dengan memiliki ilmu pengetahuan umum.

3. Siap berjuang mengabdi untuk kegiatan Muhammadiyah dalam menyantuni nilai-nilai keutamaan pada masyarakat.

Dalam kongres Muhammadiyah yang ke-25 pada tahun 1936 di Jakarta (waktu itu disebut betawi), gagasan Ahmad Dahlan diatas lebih dipertajam lagi, sehingga kongres tersebut memberi batasan tentang pendidikan.

Muhammadiyah dengan bentuk amal usaha yang mengarah pada :

a. Pendidikan manusia Muslim.

b. Memiliki sikap mental berjuang menegakkan agamanya.

c. Pendidikan sejahtera jasmaniah, rohaniah.

d. Pendidikan ketrampilan, kemandirian dengan mengembangkan pendidikan ketrampilan untuk keluarga dan masyarakat sejahtera.38

Pada masa kolonial banyak anak yang ditolak masuk ke HIS (Hollandsch Inlandscehe School). Hal tersebut disebabkan adanya berbagai persyaratan yang ketat sehingga pintu sejolah HIS hanya terbuka untuk anak-anak golongan bangsawan dan anak-anak dari orang yang berkedudukan saja. Sedangkan bagi anak-anak dari kalangan biasa ataupun anak-anak saudagar yang meskipun mungkin mereka sanggup

38


(59)

47

membiayai anak-anak mereka bersekolah disekolah ini, namun tetap sulit diterima di HIS.39

Sistem pendidikan yang dikenal pada saat itu telah menciptakan suatu kondisi dimana hanya orang yang berpengaruh sajalah yang dapat bersekolah yaitu golongan bangsawan dan golongan orang-orang yang mempunyai kedudukan seperti umara. Meskipun orang merasa mampu secara finansial, namun tetap saja tidak bias bersekolah sebagaimana mestinya. Melihat kondisi tersebut maka pada tahun 1928 pengurus Muhammadiyah Cabang Sigli mengutus pengurus Muhammadiyah yaitu Sutan Machudum, Rafi Tamimi. P.K. Abdul Madjid, Sutan Nagari dan Burhan untuk menemui Abor Bakar seorang penilik sekolah (schoollpziener) dan Mohd. Salim seorang mantra polisi. Adapun tujuan menemui mereka adalah untuk meminta nasehat dan petunjuk tentang pendirian sekolah HIS Muhammadiyah di Sigli. Selanjutnya tim ini juga menghadap Teuku Pakeh Mahmud seorang pemuka masyarakat di Pidie.40

Setelah mendapat persetujuan dari puhak yang berwenang, maka pengurus Muhammadiyah menetapkan untuk mendirikan HIS Muhammadiyah. Pada tanggal 30 Maret 1930 dibentuk panitia yang terdiri dari Teuku Johan Meuraxa sebagai ketua, Teuku Raden (sekretaris), H.M Amin (bendahara), Amir Hamzah, M. Yusuf, Habib

39

Sri waryanti, dkk, Op.cit., hal.45-46

40


(60)

48

Sutan Maradjo, Hasan, Marah Hakim, Teuku Hasan Glumpang Minyeuk (komisaris) dan Aboe Bakar sebagai penasihat.41

Pada awal berdirinya HIS Muhammadiyah ini meminjam gedung Diniyah Muhammadiyah dan surau Muhammadiyah dengan diadakan perbaikan seperlunya. Sekolah HIS Muhammadiyah maju dan mendapat sambutan, karena membuka pintu seluas-luasnya kepada anak rakyat biasa.

Dengan adanya HIS Muhammadiyah ini sebahagian anak-anak rakyat biasa talah dapat melanjutkansekolahnya pada sekolah HIS Muhammadiyah. Biaya sekolah pada sekolah HIS Muhammadiyah jauh le bih rendah darpada sekolah HIS Pemerintah Belanda. Selain HIS Muhammadiyah juga medirikan sekolah-sekolah agama di berbagai tempat di daerah Aceh.yaitu sekolah diniyah. Dengan medirikan sekolah-sekolah ini Muhammadiyah secara lansung telah membantu rakyat Aceh yang kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan yang layak guna mendapatkan pendidikan modern dan lebih maju dalam bersaing dan meciptakan anak-anak Aceh yang lebih bermartabat.

4.1.3 Dalam Bidang Politik

Muhammadiyah pada saat itu bukanlah sebuah partai politik. Namun, peran Muhammadiyah dalam membidani lahirnya kemerdekaan Indonesia tidak kalah, atau bahkan lebih banyak dari partai-partai pergerakan nasionalis. Muhammadiyah lahir

41


(61)

49

pada 18 November 1912 di Kauman, Yogyakarta. Usianya lebih tua 33 tahun disbanding kelahiran Negara Indonesia sebagai (nasion-state) pada Agustus 1945. Melalui amal usahanya dalam bidang pendidikan dan kesehatan, Muhammadiyah menjelma menjadi salah satu tiang penyangga Negara yang tidak bias diabaikan. Bahkan, sang proklamator Soekarno dalam pidato pengukuhan doktor kehormatan (honoris causa) dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) tahun1963, menceritakan pengalamannya selama menjadi pengurus Muhammadiyah bidang Pengajaran pada tahun 1940-an di Bengkulu. Sebagai tanda penghormatan, ia meminta agar jasadnya kelak, dikafani dengan bendera Muhammadiyah. Begitupula Soeharto saat berpidato pada pembukaan Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh menyampaikan pengakuan bahwa dirinya merupakan bibit Muhammadiyah. Sebagaimana diketahui, Soeharto pernah mengenyam pendidikan di MTs Muhammadiyah.42

Sebagai suatu proses sosial, masuknya kepentingan dan proses politik kedalam tubuh organisasi kemasyarakatan seperti Muhammadiyah, memang tidak dapat dihindarkan dan wajar adanya. Tidaka aka nada satu kekuatan sosial masyarakat dimanapun yang dapat lepas dari keterkaitan dengan kekuatan politik. Namun, dengan khittah dan peneguhan gerakan non-politik, masuknya kepentingan dan proses politik itu dapat dieliminasi dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga tetap berada dalam bingkai gerkan yang bersifat cultural transformatif.

42

Di unduh dar


(62)

50

Muhammadiyah merupakan organisasi Muslim modernis terbesar di Indonesia bahkan dunia yang masih mampu bertahan dan berkembang pesat. Setidanya ditinjau dari skala amal usaha yang terus menerus meningkat secara kuantitatif, terutama sekolah-sekolah, perguruan tinggi dan rumah sakit atau poliklinik. Berbeda dengan nasib organisasi se-zamannya, Serikat Islam (SI), dan Budi Oetomo (BO) dapat dikatagorikan sebagai organisasi yang telah punah.

Menurut Ahmad Syafi’I Maarif (2001) dalam kata pengantar buku Muhammadiyah sebagai Oposisi, salah satu alasan mengapa Muhammadiyah mampu bertahan adalah karena organisasi ini sejak awal, menjauhkan diri dari politik (praktis), dan berusaha mempertahankan jatidirinya sebagai gerakan cultural, organisasi dakwah sosial-keagamaan dan pendidikan. Meskipun pada saatnya, Muhammadiyah tak dapat lagi menolak untuk terjun ke dunia politik praktis. Sebagaimana keterlibatan tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam membidani lahirnya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), Majelis Syuro Muslim Indonesia(Masyumi), Partai Muslim Indonesia (Parmusi) atau bahkan Partai Amanat Nasional (PAN). Bahkan sking kentalnya peran Muhammadiyah dalam sejarah politik Indonesia, sejarawan Taufik Abdullah (1990) dalam bukunya Muhammadiyah dan Perspektif Sejarah, menyatakn bahwa Muhammadiyah hanya dapat dipahami kalauy sejarahnya ditempatkasn dalam konteks dinamika hubungan “masyarakat dan Negara” di tanah air kita. Penilaian tersebut dapat ditafsirkan bahwa Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan sama sekali dari relasi atau hubungan antara Islam dengan politik Indonesia.


(63)

51

Sebagai gerakan Islam, Muhammadiyah sebenarnya murni berperan sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi munkar yang mencurahkan perhatian utama pada bidang keagamaan, sosial dan pendidikan. Dengan begitu, Muhammadiyah bukan merupakan gerakan politik atau dengan kata lain bersifat non-politik. Kendatipun demikian kiprah gerakan Muhammadiyah membawa implikasi sosial-politik yang luas di Indonesia, sebagaimana dibuktikan sepanjang sejarahnya.

Ketika K.H Ahmad Dahlan pada tahun 1912 mendirikan Organisasi atau Persyarikatan Muhammadiyah kondisi tanah air kita masih terbelenggu oleh rantai penjajahan sekaligus didalam kondisi rakyat yang sangat terbatas. Terbatas hak-haknya dalam mengemukakan pendapat, baik dengan lisan ataupun tulisan, terbatas dalam kesempatan menikmati pendidikan, terbartas dalam memperbaiki tingkat kesehatan, beroleh dalam kesempatan kerja dan keikutsertaannya dalam bidang politik serta pemerintahan dan lain sebagainya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa keterbatasan itu mencerminkan kehidupan sebagai “anak negeri jajahan”.43

Hal tersebut menjadi salah satu pemikiran K.H Ahmad Dahlan untuk mendirikan persyarikatan Muhammadiyah guna membantu masyarakat pribumi dalam masalah pendidikan, sosial, politik dan juga agama. Selain hal ini, Muhammadiyah juga membantu masyarakat untuk mendapatkan kehidupan selayaknya terlepas dari kehidupan dalam penjajahan kolonial dengan cara berorganisasi.

43


(64)

52

Perkembangan Muhammadiyah di Aceh yang berkaitan dengan bidang politik mempunyai keistimewaan tersendiri. Dikatakan istimewa karena dalam perjanlanannya peranan politik Muhammadiyah sangat menonjol dibandingkan dengan daerah lain. Begitu juga bila dibandingkan dengan organisasi-organisasi lain yang dating dari jawa misalnya Budi Utomo, Serikat Islam, insulinde, taman siswa, jonng Islamieten Bond (JIB) dan Perindra. Muhammadiyah mrupakan organisasi yang relative dapat hidup dan berkembang di Aceh. Sekelompok cendekiawan Aceh juga menjadi pendukung dan anggota Muhammadiyah.melalui organisasi ini mereka menyalurkan asoirasi-aspirasi politik dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang kelihatannya bersifat sosial sehingga telah member warna tersendiri bagi Muhammadiyah di Aceh. Di Jawa gerakan Muhammadiyah menitik beratkan pada bidang agama dan sosial maka di Aceh Muhammadiyah juga turut dalam bidang politik.44

Berikut ini dipaparkan sejumlah gerakan yang berbau politik tersebut.

Pada tahun 1931 pemerintah Hindia Belanda di Aceh menghendaki supaya bahasa Aceh dipergunakan sebagia bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat menggantikan bahasa Melayu (bahasa Indonesia) yang sudah digunakan sebelumnya. Alasan yang diberikan pemerintah kepada rakyat Aceh adalah dengan menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar, murid-murid akan lebih cepat mengerti dan cepat menangkap pelajaran yang diberikan oleh guru-guru mereka. Selain itu juga

44


(65)

53

murid-murid akan dapat membaca dan menulis bahasa ibunya sendiri dengan menggunakan huruf latin, sehingga bahasa Aceh sebagai bahasa literatur akan dapat dihidupkan kembali. Untuk melaksanakan maksud tersebut, pemerintah telah menetapkan tanggal 1 Juli 1932 sebagai tonggak pemakaian secara resmi bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat, sebagai pengganti bahasa Melayu.

Kehendak pemerintah di atas tidak disetujui oleh para cendekiawan Aceh waktu itu. Untuk menghalang-halanginya, pada tanggal 5 Maret 1932 mereka membentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Teuku Muhammad Hasan Glumpang Payong dan wakilnya Teuku Cut Hasan Meuraksa. Keduanya adalah aktifis Muhammadiyah daerah Aceh (Teuku Muhammad Hasan Glumpang Payong selaku konsul Muhammadiyah yang pertama untuk daerah Aceh dan Teuku Cut Hasan Meuraksa adalah konsul yang kedua). Dengan mengambil tempat di Deli Bioscoop Kutaraja, panitia ini pada tanggal 6 Maret 1932 melaksanakan suatu rapat terbuka untuk membahas lebih lanjut tentang masalah tersebut. Sekitar 20 orang cendekiawan Aceh yang kebanyakan dari uleebalang Aceh yang kebanyakan dari uleebalang dan juga selaku anggota Muhammadiyah, hadir dalam rapat itu. Mereka secara terang-terangan menentang kehendak pemerintah.11 Menurut mereka, maksud pemerintah itu akan menyebabkan tidak berkembangnya bahasa Indonesia di daerah Aceh. Dengan demikian akan menghambat terwujudnya cita-cita persatuan nasional sebagaimana telah diikrarkan melalui Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Selain itu juga akan menghambat rakyat Aceh untuk mengerti bahasa tersebut yang


(66)

54

amatdiperlukan bagi pengembangan ekonomi mereka dan dalam berhubungan dengan suku-suku lain di daerah-daerah sekitarnya.45

4.1.4 Dalam Bidang Sosial Budaya.

Islam sangat mengutamakan fungsi sosisal dalam kehidupan, sehingga seorang muslim menginginkan akan kebahagiaan dirinya serta kebahagiaan saudara-saudaranya yang lain. Dia akan merasa aman dan tenteram bila saudara-saudara-saudaranya dalam keadaan aman dan tenteram pula. Dan begitu juga sebaliknya, Oleh karena itu Islam mengajarkan bila bahwa seseorang memperoleh kenikmatan atau keuntungan, baik dari hasil usaha perdagangan maupun hasil pertanian dan sebagainya agar dia membantu saudara-saudaranya yang berada dalam kemiskinan atau dalam keadaan kemelaratan. Demikianlah Islam mengatur tata kehidupan manusia dalam kemasyarakatan dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban sosial.

Kebangkitan Muhammadiyah sebagai suatu organisasi adalah dengan maksud dan tujuan melaksanakan amal-amal usaha sosial yang sesuai menurut ajaran Islam. Dalam melaksanakan tugas sosial ini Muhammadiyah membentuk sebuah majelis yaitu majelis Pembina Kesejahteraan Umat (PKU). Kepada majelis ini diserahkan tugas-tugas membina kesejahteraan masyarakat untuk membantu pimpinan dalam melaksanakan segala amal usaha sosial Muhammadiyah.

45

Di unduh dar


(1)

69


(2)

70


(3)

71

Gambar : Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah Aceh


(4)

(5)

(6)