BERAGAM KENDALA TAUBAT: “MAMPUKAH DIRI KITA MELALUINYA?”
Beragam Kendala Taubat:
“Mampukah Diri Kita Melaluinya?”
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyatakan, bahwa taubat adalah pintu
masuk dan – sekaligus – pintu keluar bagi setiap orang yang beriman untuk
menuju ketakwaan dan mengakhiri kedurhakaan. Namun, taubat yang
sempurna (taubah nashûhâ), dan yang dijamin akan diterima oleh Alah, harus
memenuhi beberapa kriteria: (1) menyadari kesalahannya; (2) menyesali
kesalahan; (3) memohon ampun kepada Allah; (4) berjanji tidak mengulanginya;
dan (5) menutup kesalahan masa lalu dengan amal saleh
Untuk memenuhi kriteria taubat yang benar, ternyata tidak semua orang
bisa menjalaninya. Terlalu banyak kendala yang mengakibatkan seseorang tidak
sampai pada fase taubat. Kendala-kendala itu, ketika dikaitkan dengan
pelakunya, bisa dipilah menjadi tiga tingkatan.
Pertama, Taubat Orang Awam
Biasanya taubat orang-orang awam disertai dengan keberatan di dalam
hati karena menganggap jenis-jenis ketaatan dan kebaikan yang harus dilakukan
terlalu banyak. Jika dibandingkan dengan kedudukan orang-orang yang khusus,
hal ini akan menimbulkan tiga kerusakan:
1. Kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan merupakan keburukan menurut
orang-orang yang khusus. Kebaikan orang awam bisa menjadi keburukan
bagi orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Dia perlu bertaubat dari
kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, karena dia melalaikan aib dan
kekurangannya,
karena
menganggap
kebaikan-kebaikan
yang
dilakukannya itu sudah sangat banyak. Dia mengingkari nikmat Allah,
karena nikmat itu tidak tampak atau ditangguhkan.
Bila hal ini terjadi pada diri Anda, cobalah perhatikan!
Jika Anda menginginkan pemahaman lebih mudah tentang hal ini, maka
perhatikanlah keadaan Anda saat membaca al-Qur'an.
Jika Anda tidak memahami, menelaah dan memikirkannya, menyimak
apa yang dimaksudkan dalam setiap ayat, tidak peduli terhadap seruan
yang seolah-olah ditujukan kepada diri Anda, maka Anda hanya ingin
menamatkan bacaan, Anda tidak merasakan pengobatannya di dalam
hati Anda.
Atau, ketika Anda membacanya secara serampangan, tentu Anda akan
merasa bahwa bacaan Anda terlalu banyak.
Namun, jika Anda menelaah, menyimak maksud ayat-ayat yang Anda
baca, merasa bahwa ayat-ayat itu ditujukan kepada diri Anda, maka
1
Anda akan merasakan pengobatannya di dalam hati Anda, dan Anda
tidak merasa bahwa Anda telah membaca satu ayat atau satu surat dan
seterusnya.
Begitu pula jika Anda memaksakan hati Anda untuk khusyu' pada saat
mengerjakan dua rakaat shalat sunat, maka shalat berikutnya akan Anda
kerjakan dengan berat hati. Tetapi jika hati Anda tidak terbebani dengan
hal itu, maka berapa pun rakaat yang Anda kerjakan, maka Anda pun
tidak akan merasa berat.
2. Orang yang bertaubat merasa memunyai hak terhadap Allah, agar Dia
memberikan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dia kerjakan, dengan
memasukkannya ke surga dan memberinya kenikmatan serta keridhaan.
Akibatnya, pikiran seperti ini jauh lebih banyak dari porsi kebaikan yang
dia lakukan. Sementara amalan orang yang lebih rajin dari dia pun belum
menjamin dirinya masuk surga dan terbebas dari api neraka. Tak seorang
pun yang bisa selamat dari neraka dengan amalnya, kecuali setelah dia
mendapat ampunan dan rahmat Allah.
3. Merasa tidak membutuhkan ampunan Allah, padahal dalam
kenyataannya dia masih membutuhkan ampunan dari kesalahannya dan
pahala dari kebaikan dan ketaatannya. Jika dia menganggap ketaatan
yang dilakukannya sudah sangat banyak, lalu membuatnya merasa tidak
membutuhkan ampunan Allah, maka hal itu benar-benar merupakan
‘kelancangan’ terhadap Allah.
Tidak dapat diragukan bahwa hanya dengan sekadar berbuat dengan
amal-amal anggota tubuh tanpa disertai kehadiran hati dan menghadapkan diri
kepada Allah, maka hal itu bisa menimbulkan tiga macam kerusakan ini dan
(bahkan) juga kerusakan lain-lainnya. Yang demikian ini tidak banyak
memberikan manfaat di dunia maupun di akhirat, seperti amal yang tidak
memerhatikan ketentuan perintah dan tidak disertai keikhlasan kepada Allah.
Sekalipun amal itu banyak, amal itu tidak banyak bermanfaat dan hanya terasa
melelahkan. Sesungguhnya Allah tidak menetapkan pahala bagi hamba dari
shalatnya kecuali yang dia hayati secara sungguh-sungguh. Begitu pula setiap
ibadah yang mengharuskan adanya kekhusyu'an.
Kedua, Taubat Orang Kelas Menengah
Kendala taubat orang-orang kelas menengah ialah: “menganggap sedikit
kedurhakaannya.” Tentu saja hal ini merupakan sikap yang lancang dan merasa
dirinya dalam keadaan terjaga dari kesalahan.
Dengan kata lain, menganggap kedurhakaannya hanya sedikit adalah
perbuatan dosa, sebagaimana menganggap ketaatannya banyak, juga ‘dosa’.
2
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, bahwa orang yang ‘arif ialah:
“orang yang memandang kebaikan-kebaikannya ‘remeh’ (terlalu kecil) dan dosadosanya (terlalu) besar.” Selagi kebaikan-kebaikannya dianggap kecil, maka ia
menjadi besar di sisi Allah. Selagi kebaikan-kebaikan itu terasa banyak dan besar
di dalam hatinya, maka ia menjadi sedikit dan kecil di sisi Allah. Begitu pula
sebaliknya yang berkaitan dengan keburukan. Siapa pun yang mengetahui hakhak Allah dan melaksanakan ibadah sesuai dengan keagungan-Nya, maka
kebaikan-kebaikannya tampak menjadi kecil, dan dia merasa tidak bisa selamat
dari siksaan-Nya.
Ketiga, Taubat Orang Khusus
Kendala taubat orang-orang yang khusus adalah membuang-buang
waktu, lalu lama-kelamaan menjurus kepada kekurangan, memadamkan cahaya
pengawasan dan mengeruhkan kebersamaan dengan Allah. Maksud membuangbuang waktu di sini bukan berarti menghabiskan waktu dalam kedurhakaan dan
canda atau meninggalkan kewajiban. Sebab andaikata mereka berbuat seperti
ini, berarti mereka bukan termasuk orang-orang yang khusus, tetapi orang-orang
awam. Waktu bagi mereka memunyai pengertian yang spesifik. Bahkan di
antara mereka ada yang menyebut waktu di sini adalah kebenaran. Ada pula
yang mengartikannya kebenaran yang diselami hamba, atau pengertianpengertian lain yang serupa. Kendala taubat golongan ini ialah: “dengan
membuang waktu-waktu khusus dan yang sebaiknya digunakan bersama Allah
dan tidak dikotori ‘debu’ pemanfaatan waktu yang tidak menjadikan dirinya
semakin dekat kepada Allah.”
Disamping itu, menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ada pula kedudukan
taubat yang lebih tinggi dan lebih khusus dari gambaran-gambaran ini, yang
tidak diketahui kecuali oleh orang-orang khusus, yang menganggap perbuatan,
perkataan dan tindakannya masih terlalu sedikit untuk memenuhi hak
kekasihnya (Allah). Mereka tidak melihat apa yang ada pada dirinya kecuali dari
sisi kekurangannya saja, melihat keadaan kekasihnya (Allah) lebih agung,
kekuasaannya lebih tinggi dari sekadar meridhai amalnya. Mereka adalah orangorang yang paling menghinakan amalnya sendiri. Jika mereka merasa tidak
mampu memenuhi hak kekasihnya (Allah), maka mereka pun segera bertaubat,
seperti taubat orang yang melakukan dosa besar. Jadi, bagi orang yang
berkualifikasi seperti ini, taubat tidak pernah mereka tinggalkan. Taubat mereka
merupakan satu warna tertentu, sedangkan taubat selain mereka merupakan
warna lain yang berbeda, sehingga tampak jelas perbedaannya.
Taubat, bagi seseorang yang telah memiliki kualifikasi seperti ini, tidak
dianggap sempurna kecuali dengan membebaskan hati dari maksud-maksud
selain Allah, kemudian mengetahui alasan dari taubat itu, kemudian bertaubat
setelah tahu alasan tersebut. Jika sudah begitu keadaannya, maka dia akan
beribadah hanya kepada Allah sesuai dengan perintah-Nya, tidak
menyekutukan-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya, sehingga semua
yang ada pada dirinya bagi Allah dan bersama Allah. Yang demikian ini tidak
3
akan terjadi kecuali orang yang sudah dikuasai rasa cinta, hatinya dipenuhi cinta
kepada Allah, diisi pengagungan, kepasrahan dan ketundukan kepada-Nya.
Oleh karenanya, ‘mumpung’ Allah masih memberikan umur dan
kesehatan, hendaknya seorang mukmin menyegerakan diri menuju ampunan
Allah dengan bertaubat dan meminta maaf kepada sesama sebelum pintu taubat
benar-benar tertutup baginya. Karena menyegerakan taubat merupakan salah
satu karakter bagi orang-orang yang bertakwa. Bisa atau tidaknya ‘kita
bertaubat’, dengan melalui melalui tahapan dan memenuhi kriteria bertaubat,
semuanya bergantung pada kemauan dan keberanian kita untuk melakukannya.
Ibda’ bi nafsik!
Yogyakarta, Ahad - 6 Maret 2016
4
“Mampukah Diri Kita Melaluinya?”
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyatakan, bahwa taubat adalah pintu
masuk dan – sekaligus – pintu keluar bagi setiap orang yang beriman untuk
menuju ketakwaan dan mengakhiri kedurhakaan. Namun, taubat yang
sempurna (taubah nashûhâ), dan yang dijamin akan diterima oleh Alah, harus
memenuhi beberapa kriteria: (1) menyadari kesalahannya; (2) menyesali
kesalahan; (3) memohon ampun kepada Allah; (4) berjanji tidak mengulanginya;
dan (5) menutup kesalahan masa lalu dengan amal saleh
Untuk memenuhi kriteria taubat yang benar, ternyata tidak semua orang
bisa menjalaninya. Terlalu banyak kendala yang mengakibatkan seseorang tidak
sampai pada fase taubat. Kendala-kendala itu, ketika dikaitkan dengan
pelakunya, bisa dipilah menjadi tiga tingkatan.
Pertama, Taubat Orang Awam
Biasanya taubat orang-orang awam disertai dengan keberatan di dalam
hati karena menganggap jenis-jenis ketaatan dan kebaikan yang harus dilakukan
terlalu banyak. Jika dibandingkan dengan kedudukan orang-orang yang khusus,
hal ini akan menimbulkan tiga kerusakan:
1. Kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan merupakan keburukan menurut
orang-orang yang khusus. Kebaikan orang awam bisa menjadi keburukan
bagi orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Dia perlu bertaubat dari
kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, karena dia melalaikan aib dan
kekurangannya,
karena
menganggap
kebaikan-kebaikan
yang
dilakukannya itu sudah sangat banyak. Dia mengingkari nikmat Allah,
karena nikmat itu tidak tampak atau ditangguhkan.
Bila hal ini terjadi pada diri Anda, cobalah perhatikan!
Jika Anda menginginkan pemahaman lebih mudah tentang hal ini, maka
perhatikanlah keadaan Anda saat membaca al-Qur'an.
Jika Anda tidak memahami, menelaah dan memikirkannya, menyimak
apa yang dimaksudkan dalam setiap ayat, tidak peduli terhadap seruan
yang seolah-olah ditujukan kepada diri Anda, maka Anda hanya ingin
menamatkan bacaan, Anda tidak merasakan pengobatannya di dalam
hati Anda.
Atau, ketika Anda membacanya secara serampangan, tentu Anda akan
merasa bahwa bacaan Anda terlalu banyak.
Namun, jika Anda menelaah, menyimak maksud ayat-ayat yang Anda
baca, merasa bahwa ayat-ayat itu ditujukan kepada diri Anda, maka
1
Anda akan merasakan pengobatannya di dalam hati Anda, dan Anda
tidak merasa bahwa Anda telah membaca satu ayat atau satu surat dan
seterusnya.
Begitu pula jika Anda memaksakan hati Anda untuk khusyu' pada saat
mengerjakan dua rakaat shalat sunat, maka shalat berikutnya akan Anda
kerjakan dengan berat hati. Tetapi jika hati Anda tidak terbebani dengan
hal itu, maka berapa pun rakaat yang Anda kerjakan, maka Anda pun
tidak akan merasa berat.
2. Orang yang bertaubat merasa memunyai hak terhadap Allah, agar Dia
memberikan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dia kerjakan, dengan
memasukkannya ke surga dan memberinya kenikmatan serta keridhaan.
Akibatnya, pikiran seperti ini jauh lebih banyak dari porsi kebaikan yang
dia lakukan. Sementara amalan orang yang lebih rajin dari dia pun belum
menjamin dirinya masuk surga dan terbebas dari api neraka. Tak seorang
pun yang bisa selamat dari neraka dengan amalnya, kecuali setelah dia
mendapat ampunan dan rahmat Allah.
3. Merasa tidak membutuhkan ampunan Allah, padahal dalam
kenyataannya dia masih membutuhkan ampunan dari kesalahannya dan
pahala dari kebaikan dan ketaatannya. Jika dia menganggap ketaatan
yang dilakukannya sudah sangat banyak, lalu membuatnya merasa tidak
membutuhkan ampunan Allah, maka hal itu benar-benar merupakan
‘kelancangan’ terhadap Allah.
Tidak dapat diragukan bahwa hanya dengan sekadar berbuat dengan
amal-amal anggota tubuh tanpa disertai kehadiran hati dan menghadapkan diri
kepada Allah, maka hal itu bisa menimbulkan tiga macam kerusakan ini dan
(bahkan) juga kerusakan lain-lainnya. Yang demikian ini tidak banyak
memberikan manfaat di dunia maupun di akhirat, seperti amal yang tidak
memerhatikan ketentuan perintah dan tidak disertai keikhlasan kepada Allah.
Sekalipun amal itu banyak, amal itu tidak banyak bermanfaat dan hanya terasa
melelahkan. Sesungguhnya Allah tidak menetapkan pahala bagi hamba dari
shalatnya kecuali yang dia hayati secara sungguh-sungguh. Begitu pula setiap
ibadah yang mengharuskan adanya kekhusyu'an.
Kedua, Taubat Orang Kelas Menengah
Kendala taubat orang-orang kelas menengah ialah: “menganggap sedikit
kedurhakaannya.” Tentu saja hal ini merupakan sikap yang lancang dan merasa
dirinya dalam keadaan terjaga dari kesalahan.
Dengan kata lain, menganggap kedurhakaannya hanya sedikit adalah
perbuatan dosa, sebagaimana menganggap ketaatannya banyak, juga ‘dosa’.
2
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, bahwa orang yang ‘arif ialah:
“orang yang memandang kebaikan-kebaikannya ‘remeh’ (terlalu kecil) dan dosadosanya (terlalu) besar.” Selagi kebaikan-kebaikannya dianggap kecil, maka ia
menjadi besar di sisi Allah. Selagi kebaikan-kebaikan itu terasa banyak dan besar
di dalam hatinya, maka ia menjadi sedikit dan kecil di sisi Allah. Begitu pula
sebaliknya yang berkaitan dengan keburukan. Siapa pun yang mengetahui hakhak Allah dan melaksanakan ibadah sesuai dengan keagungan-Nya, maka
kebaikan-kebaikannya tampak menjadi kecil, dan dia merasa tidak bisa selamat
dari siksaan-Nya.
Ketiga, Taubat Orang Khusus
Kendala taubat orang-orang yang khusus adalah membuang-buang
waktu, lalu lama-kelamaan menjurus kepada kekurangan, memadamkan cahaya
pengawasan dan mengeruhkan kebersamaan dengan Allah. Maksud membuangbuang waktu di sini bukan berarti menghabiskan waktu dalam kedurhakaan dan
canda atau meninggalkan kewajiban. Sebab andaikata mereka berbuat seperti
ini, berarti mereka bukan termasuk orang-orang yang khusus, tetapi orang-orang
awam. Waktu bagi mereka memunyai pengertian yang spesifik. Bahkan di
antara mereka ada yang menyebut waktu di sini adalah kebenaran. Ada pula
yang mengartikannya kebenaran yang diselami hamba, atau pengertianpengertian lain yang serupa. Kendala taubat golongan ini ialah: “dengan
membuang waktu-waktu khusus dan yang sebaiknya digunakan bersama Allah
dan tidak dikotori ‘debu’ pemanfaatan waktu yang tidak menjadikan dirinya
semakin dekat kepada Allah.”
Disamping itu, menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ada pula kedudukan
taubat yang lebih tinggi dan lebih khusus dari gambaran-gambaran ini, yang
tidak diketahui kecuali oleh orang-orang khusus, yang menganggap perbuatan,
perkataan dan tindakannya masih terlalu sedikit untuk memenuhi hak
kekasihnya (Allah). Mereka tidak melihat apa yang ada pada dirinya kecuali dari
sisi kekurangannya saja, melihat keadaan kekasihnya (Allah) lebih agung,
kekuasaannya lebih tinggi dari sekadar meridhai amalnya. Mereka adalah orangorang yang paling menghinakan amalnya sendiri. Jika mereka merasa tidak
mampu memenuhi hak kekasihnya (Allah), maka mereka pun segera bertaubat,
seperti taubat orang yang melakukan dosa besar. Jadi, bagi orang yang
berkualifikasi seperti ini, taubat tidak pernah mereka tinggalkan. Taubat mereka
merupakan satu warna tertentu, sedangkan taubat selain mereka merupakan
warna lain yang berbeda, sehingga tampak jelas perbedaannya.
Taubat, bagi seseorang yang telah memiliki kualifikasi seperti ini, tidak
dianggap sempurna kecuali dengan membebaskan hati dari maksud-maksud
selain Allah, kemudian mengetahui alasan dari taubat itu, kemudian bertaubat
setelah tahu alasan tersebut. Jika sudah begitu keadaannya, maka dia akan
beribadah hanya kepada Allah sesuai dengan perintah-Nya, tidak
menyekutukan-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya, sehingga semua
yang ada pada dirinya bagi Allah dan bersama Allah. Yang demikian ini tidak
3
akan terjadi kecuali orang yang sudah dikuasai rasa cinta, hatinya dipenuhi cinta
kepada Allah, diisi pengagungan, kepasrahan dan ketundukan kepada-Nya.
Oleh karenanya, ‘mumpung’ Allah masih memberikan umur dan
kesehatan, hendaknya seorang mukmin menyegerakan diri menuju ampunan
Allah dengan bertaubat dan meminta maaf kepada sesama sebelum pintu taubat
benar-benar tertutup baginya. Karena menyegerakan taubat merupakan salah
satu karakter bagi orang-orang yang bertakwa. Bisa atau tidaknya ‘kita
bertaubat’, dengan melalui melalui tahapan dan memenuhi kriteria bertaubat,
semuanya bergantung pada kemauan dan keberanian kita untuk melakukannya.
Ibda’ bi nafsik!
Yogyakarta, Ahad - 6 Maret 2016
4