1. Perjanjian Bilateral
Pengadopsian Draft Convention on the Protection of Foreign Property oleh OECD pada 12 Oktober 1967 menjadi titik awal perkembangan pesat
investasi asing di dunia internasional. Pengaruh ini dibuktikan dengan
46
meningkatnya jumlah BITs yang dibuat antara negara berkembang dan negara maju pada awal hingga akhir tahun 1960an. Salah satu fitur utama yang menonjol
adalah rujukan terhadap “fair and equitable treatment”. Standar FET diketahui sebagai salah satu standar yang paling sering digunakan dalam perjanjian
investasi. Namun tidak demikian halnya dalam perjanjian yang dibuat negara-
47
negara di benua Asia, misalnya, pada perjanjian yang ditandatangani oleh Pakistan, Arab Saudi dan Singapura, tidak terdapat referensi terhadap FET.
48
Dalam beberapa tahun terakhir, bahkan negara-negara yang awalnya lebih mendukung prinsip national treatment daripada standar FET kini telah
mencantumkan standar FET dalam BITs mereka. BIT antara Chile dan China
49 50
serta antara Peru dan Thailand, Bulgaria dan Ghana, Arab Saudi dan Malaysia, selurunya mencantumkan standar FET. Dalam kategori ini, perlu diketahui
51
Lihat Bab I
46
R. Dolzer dan M. Stevens, Bilateral Investment Treaties The Hague: M.
47
Nijhoff,1995, hlm. 58. UNCTAD, Bilateral Investment Treaties in the Mid 1990s, 1998, hlm. 54.
48
Model Treaty, Pasal 4 tentang Perlakuan terhadap Investasi 1994, lihat
49
UNCTAD, op. cit., hlm. 54. Pasal 3 China Model Treaty
50
Lihat ICSID, Investment Laws of the World: Bilateral Investment Treaties
51
1972.
25
bahwa negara-negara Amerika Latin telah menjadi penganut doktrin Calvo sejak
52
awal abad ke 20 dan awalnya secara tegas menolak penggunaan prinsip FET. Beberapa perjanjian yang masih tergolong baru, seperti Perjanjian
Perdagangan Bebas antara Amerika Serikat dan Australia, Amerika Tengah
53
CAFTA, Chile, Maroko, dan Singapura , dalam bagian yang mengatur
54 55
56 57
tentang investasi, memberikan spesifikasi yang lebih besar bahwa setiap negara anggota memiliki kewajiban untuk “memperlakukan investasi asing sesuai dengan
hukum kebiasaan internasional, termasuk prinsip FET dan full protection and security”.
Perjanjian Perdagangan Bebas antara Australia dan Thailand, pada Pasal
58
909, juga mengatur bahwa setiap pihak memiliki kewajiban untuk memastikan FET terhadap investasi asing yang terdapat dalam wilayahnya.
Standar FET juga terdapat dalam beberapa BITs yang dibuat oleh pemerintah Indonesia, antara lain dalam BITs dengan Inggris, Australia, dan
59 60
Doktrin Calvo adalah salah satu doktrin dalam kebijakan asing yang mengatur
52
bahwa sengketa investasi akan menjadi kewenangan pengadilan setempat dari negara tempat investasi dilakukan host state. Negara-negara penganut doktrin Calvo tidak ingin
terlibat dalam perjanjian yang akan menyebabkan adanya pemindahan yurisdiksi atas properti yang dimiliki oleh investor asing dari pengadilan domestik ke pengadilan
internasional.
US-Australia Free Trade Agreement, ditandatangani pada 1 Maret 2004.
53
US-Central America Free Trade Agreement CAFTA, ditandatangani pada 28
54
Januari 2004. Negara-negara Amerika Tengah antara lain: Kosta Rika, El Salvador, Guatemala, Honduras, Nikaragua.
US-Chile Free Trade Agreement, ditandatangani pada 6 Juni 2003.
55
US-Morocco Free Trade Agreement, ditandatangani pada 15 Juni 2004.
56
US-Singapore Free Trade Agreement, ditandatangani pada 6 Mei 2003.
57
Australia-Thailand Free Trade Agreement, ditandatangani pada 19 Oktober
58
2003. United Kingdom-Indonesia BIT 1977
59
Australia-Indonesia BIT 1993
60
26
Korea Selatan. Sebagai contoh, klausa FET dalam Pasal 3 Ayat 2 UK-
61
Indonesia BIT berbunyi sebagai berikut. “Investments of nationals or companies of either Contracting
Party shall at all times be accorded fair and equitable treatment and shall enjoy full protection and security in the territory of the
other Contracting Party . Each Contracting Party shall ensure that the management, maintenance, use, enjoyment or disposal of
investments in its territory of nationals or companies of the other Contracting Party is not in any way impaired by unreasonable or
discriminatory measures. Each Contracting Party shall observe any obligation it may have entered into with regard to investments
of nationals or companies of the other Contracting Party.”
2. Perjanjian Regional