PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL E COMMERCE MELALUI ARBITRASE

(1)

commit to user

PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL

E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh:

TATAK EKO YULIANTO NIM. E0006238

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

(3)

commit to user

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL

E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE

oleh :

Tatak Eko Yulianto NIM. E 0006238

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Rabu

Tanggal : 20 Juli 2011

DEWAN PENGUJI

1.Yudho Taruno M, S.H, M.Hum : ...

NIP. 19770107 200501 1 001 Ketua

2.Djuwityastuti, S.H., M.H. : ...

NIP. 19540511 198003 2 001 Sekretaris

3.Munawar Kholil, S.H., M.Hum : ...

NIP. 19681017 199403 1 003 Anggota

Mengetahui : Dekan,

Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.Hum. NIP. 19570203 198503 2 001


(4)

commit to user

PERNYATAAN

Nama : Tatak Eko Yulianto

NIM : E0006238

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : ”PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS

INTERNASIONAL MENGGUNAKAN E-COMMERCE MELALUI

ARBITRASEadalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya

saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan

dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Mei 2011 yang membuat pernyataan

TatakEkoYulianto NIM. E0006238


(5)

commit to user

ABSTRAK

TatakEkoYulianto, E0006238. PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI

BISNIS INTERNASIONAL E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE.

FakultasHukumUniversitasSebelasMaret Surakarta. 2011.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyelesaian sengketa transaksi

bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase yaitu mengenai dasar

pengaturan yang digunakan dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam

penyelesaian sengketa transaksi bisnis e-commerce melalui arbitrase dan

ketentuan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif untuk menemukan jawaban atas isu hukum mengenai penyelesaian sengketa transaksi bisnis e-commerce melalui arbitrase. Pendekatan penelitian yang digunakan meliputi pendekatan undang-undang. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa studi kepustakaan untuk selanjutnya dianalisis dengan teknik silogisme dan interpretasi.

Hasil penelitian diperoleh bahwa dalam pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis e-commerce di Indonesia menggunakan beberapa prinsip yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan yaitu, prinsip kesepakatan para pihak yang terdapat dalamPasal 4 ayat (1) Undang-Undang APS, prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UU ITE, prinsip kebebasan memilih hukum yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (2) UU ITE dan Pasal 56 ayat (2) UU APS, prinsip itikad baik terdapat dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3), prinsip pengedepanan penyelesaian sengketa menggunakan Hukum Nasional terdapat dalam Pasal 2 UU ITE. Hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnise-commerce melalui arbitrase, dalam UU ITE pada dasarnya dikembalikan pada kebebasan para pihak dan jika para pihak tidak menentukan maka hukum yang berlaku dikembalikan ke asas-asas Hukum Perdata Internasional. Mengenai putusan arbitrase asing di Indonesia sepenuhnyadiaturdalamUndang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dimana putusan tersebut harus didaftarkan kePengadilan Negeri Jakarta Pusat.


(6)

commit to user

ABSTRACT

Tatak Eko Yulianto, E0006238. DISPUTE SETTLEMENT OF

TRANSACTION INTERNATIONAL BUSINESS E-COMMERCE THROUGH ARBITRATION. Faculty of Law University of Surakarta Eleven March. 2011.

This study aims to find the dispute settlemen transaction internasional business e-commerce trough arbitration about the principles used in dispute resolution business transactions using e-commerce, laws that apply in the dispute resolution business e-commerce transactions with arbitration and enforcement of foreign arbitration in Indonesia.

This research is a normative laws that are prescriptive to find answers to legal issues regarding dispute resolution business e-commerce transactions through arbitration.The approach used in this research include law approach. Type of data used are secondary data. Secondary data sources used include the primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary. Data collection techniques being used are literature studies were subsequently analyzed by syllogism technique and interpretation.

The results showed that in international business transactions using e-commerce in Indonesia there are some principles concerning the settlement of disputes arbitrationnamely, the principle agreement of the parties in Article 4 clause (1) of Act APS, the principle of freedom to choose the ways of dispute resolution in Article 18 clause (4) of Act ITE, the principle of freedom of choice of law in Article 18 clause (2) of Act APS and Article 56 clause (2) of the Act APS,the principle of good faith inCivil Code Section 1338 subsection (3), the

principle preposing settlement of disputes using the National

Lawinparties contained in Article 2 of Act ITE. Applicable law in dispute settlement business e-commerce transactions through arbitration, in the of Act ITE basically returned to the freedom of the parties and if the parties do not specify the applicable law is returned to the principles of Private International Law. Applicable law in e-commerce transactions is the law of the seller and this is in line with the theory of the Most Characteristic Connection, where the law of the seller assumed to have the most distinctive achievement (characteristics). Regarding the foreign award is fully regulated in of Actno. 30 of 1999 in which the decision shall be registered with the Central Jakarta District Court.


(7)

commit to user

HALAMAN MOTTO

Ketahuilah, kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan berkelana enam perkara, yaitu : cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk/bimbingan

guru, dan waktu yang lama (Ali bin Abi Thalib)

Carilah ilmu dengan sungguh-sungguh sampai kamu merasakan nikmatnya mencari ilmu, dan tetaplah mempelajarinya dengan cara yang terpuji.


(8)

commit to user

PERSEMBAHAN

Penulis dengan sepenuh hati mempersembahkan karya ini kepada :

Orang tua penulis Bpk. Slamet Siswo Harjono dan Ibu Hartini yang tak kenal lelah mendidik, membimbing, memberi kritik yang membangun dan memberikan pendidikan yang terbaik serta do’a yang tak pernah terputus

bagi penulis.

Kedua adiku Totok Siswanto dan BimaTri Atmojo yang selalu berbagi kebahagiaan dengan penulis.

Setyo Wardani atas doa dan motivasinya yang telah membuat semangat yang takkunjung padam bagi penulis.

Sahabat-sahabat dan teman-teman penulis, yang telah memberi kesan mendalam bagi penulis akan berharganya hidup ini

Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun dan menyelesaikan karya ini


(9)

commit to user

KATA PENGANTAR

AssalamualaikumWr. Wb.

Pujisyukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan segalakarunia, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini dengan judul

:”PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL

E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE”. Penulisan Hukum ini bertujuan

untuk melengkapi tugas akhir sebagai persyaratan guna meraih gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Penulisan Hukum (Skripsi) initidak terlepas dari dukungan serta bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ibu Djuwityastuti, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Perdata dan

Pembimbing I penulis yang telah memberikan bimbingan, nasehat, semangat, arahan, bantuan dan selalu menyempatkan maupun meluangkan waktu untuk penulis berkonsultasi dengan tangan terbuka.

3. Bapak Munawar Kholil, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing II penulis yang

telah memberikan bimbingan, nasehat, semangat, arahan, bantuan dan selalu menyempatkan maupun meluangkan waktu untuk penulis berkonsultasi dengan tangan terbuka.

4. Sabto Hermawan, S.H. selaku Pembimbing Akademik penulis di Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

5. Segenap Pimpinan Fakultas hukum, Dosen dan seluruh Staff Administrasi

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

6. Untuk kedua orang tua penulis, Bapak Slamet Siswo Harjono dan Ibu Hartini yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang,


(10)

commit to user

mendoakan, mendidik, dan mencurahkan segalanya demi terwujudnya segala hal yang terbaik bagi diri penulis, yang semua itu tak akan habis diungkapkan dengan kata-kata, tak dapat tergantikan, dan tak ternilai dengan apapun.

7. Untuk kedua Adiku Totok Siswanto dan Bima Tri Atmojo yang selalu

memberikan semangat bagi penulis.

8. Untuk Setyo Wardani yang telah selalu menemani dan memberikan dukungan baik moril dan spirituil meskipun terpisah jarak. Semoga hari esok akan terus lebih baik.

9. Teman-teman Ari, Qomar, Andri Kurnia, SFC Mania (Made,Wayan dkk),

LPM NOVUM FH UNS (Dedi, Yoyo dkk), Yolanda FC (Ponggih dkk),Wild

Hogs(Othonk dkk) dan Justitia 2006 terima kasih atas warna dan silaturahmi selama perjalanan pendidikan di Fakultas Hukum. Semoga ini menjadi awal dari kehidupan yang lebih dewasa.

10.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun dan

menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum (Skripsi) ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga Penulisan Hukum (Skripsi) ini bermanfaat bagi diri pribadi penulis maupun para pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surakarta, Juli 2011

Penulis

Tatak Eko Yulianto NIM. E0006238


(11)

commit to user

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR BAGAN` ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

a. Latar Belakang Masalah ... 1

b. Rumusan Masalah ... 5

c. Tujuan Penelitian ... 5

d. Manfaat Penelitian ... 6

e. Metode Penelitian ... 7

f. Sistematika Penulisan Hukum ... 10

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Kerangka Teori... 12

1. Tinjauan Umum tentangBisnis Internasional ... 12

a. Pengertian Bisnis Internasional ... 12

b. Dasar Hukum Bisnis Internasional ... 14

2. Tinjauan Umum tentang Electronic Commerce ... 18

a. Peristilahan Electronic Commerce ... 18


(12)

commit to user

c. Mekanisme Transaksi Electonic Commerce

d. dan Waktu Terjadinya Kontrak ... 20

e. Karakteristik Transaksi E-Commerce ... 24

f. Jenis-jenis Transaksi Electonic Commerce ... 26

g. Pihak-pihak dalam Transaksi Electronic Commerce 28 h. Pengaturan Electronic Commerce dalam Bisnis Internasional ... 29

i. Sengketa Electronic Commerce ... 34

j. Pilihan Hukum Penyelesaian Electronic Commerce 3. Tinjauan tentang Arbitrase ... 37

a. Pengertian Arbitrase ... 37

b. Sejarah Arbitrase ... 41

c. Badan Arbitrase Asing ... ` 49

d. Prosedur Penggunaan Arbitrase ... 50

e. Prinsip-Prinsip Arbitrase ... 54

B. Kerangka Pemikiran ... 56

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 58

A. Dasar Pengaturan yang Digunakan dalam Pengaturan Penyelesaian Sengketa Transaksi Bisnis Internasional E-commerce di Indonesia ... 58

B. Pilihan Hukum yang Berlaku dalam Penyelesaian Sengketa Transaksi Bisnis E-commerce Melalui Arbitrase ... 69

C. Prosedur Pelaksanaan Eksekusi dan Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional ... 90

BAB IV : Kesimpulan dan Saran ... 97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 98


(13)

commit to user

DAFTAR TABEL

Tabel1. Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa bisnis internasional yang menggunakan e-commerce dan pengaturan hukumnya di


(14)

commit to user

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Kerangka Pemikiran... 56 Bagan 2. Tahap-Tahap Eksekusi Putusan Arbitrase... 92


(15)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdagangan merupakan salah satu sektor jasa yang menunjang kegiatan ekonomi antar anggota masyarakat dan antar bangsa. Indonesia dengan ekonominya yang bersifat terbuka, perdagangan sangat vital bagi upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi sekaligus guna memelihara kemantapan stabilitas nasional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna merealisasikan pertumbuhan ekonomi adalah melalui proses pengintegrasian antara sistem perekonomian, termasuk perdagangan dengan perkembangan teknologi informasi.

Pada permulaan abad ke- 20, salah satu penemuan besar di bidang teknologi informasi yang sangat mempengaruhi perkembangan perekonomian adalah ditemukannya internet (Interconnection Networking), sebagai media komunikasi yang cepat dan handal. Sistem perdagangan dengan memanfaatkan internet telah mengubah wajah dunia bisnis dari pola perdagangan tradisional kebentuk yang lebih modern, yaitu secara virtual. Mengenai hal ini Alinafiah dan Prasetyo

menyatakan e-commerce lahir selain disebabkan oleh adanya perkembangan

teknologi informasi, juga karena tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang serba cepat, mudah, praktis, dan menghendaki kualitas lebih yang baik (http//:perkembanganinternet.mkn.com: diakses tanggal 15 Agustus 2010).

Negara-negara maju, perkembangan e-commerce di Indonesia dari waktu ke waktu menunjukan peningkatan yang sangat signifikan, sekalipun dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Pasifik, seperti Malaysia, Filipina, Singapura, Australia, Taiwan, perkembangan penggunaan internet di Indonesia masih jauh tertinggal.


(16)

commit to user

Teknologi internet memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perdagangan global dalam hal layanan (service). Kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain (Ahmad Yahya Zein, 2008:45):

1. Electronic commerce memiliki kemampuan untuk menjangkau lebih banyak

pelanggan dan setiap saat pelanggan dapat mengakses seluruh informasi yang terus menerus.

2. Electronic commerce dapat mendorong kreatifitas dari pihak penjual secara

cepat dan tepat dan pendistribusian informasi yang disampaikan berlangsung secara periodik.

3. Electronic commerce dapat menciptakan efisiensi yang tinggi, murah serta

informatif.

4. Electronic commerce dapat meningkatkan kepuasan pelanggan, dengan

pelayanan yang cepat, mudah, aman dan akurat.

Transaksi perdagangan melalui internet sangat menguntungkan banyak pihak, sehingga transaksi perdagangan ini sangat diminati, tidak saja bagi

produsen tetapi juga konsumen. Bagi konsumen electronic commerce telah

mengubah cara konsumen dalam memperoleh produk yang diinginkan, sedangkan bagi produsen, electronic commerce telah mempermudah proses pemasaran suatu produk. Michael Pattison mengemukakan, sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar

Munir yang menyatakan (Abu bakar Munir, 2003:67): There are several

features,which distinguish electronic commerce from business conducted by traditional means. In particular:

1. Electronic commerce establishes a global market-place, where traditional

geographic boundaries are not only ignored, they are quite simply irrelevant.

2. Electronic commerce allows business to be conducted anonymously.

3. Rather than direct selling between parties, electronic commerce requires

business to be conducted through the use of intermediaries of unknown trustworthiness. This means that the transactions are inherently insecure.

Penggunaan internet dalam transaksi bisnis menjanjikan berbagai kemudahan,

hal ini tidak berarti e-commerce adalah suatu sistem yang bebas dari


(17)

commit to user

berbagai permasalahan, khususnya bagi negara yang belum sepenuhnya mampu menguasai teknologi tersebut, seperti halnya Indonesia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh sebuah lembaga internasional, telah banyak kasus yang merugikan

konsumen sebagai akibat dari penggunaan media internet dalam transaksi

perdagangan, sebagai contoh satu dari setiap sepuluh kasus pengiriman barang dapat dipastikan terlambat atau tidak sampai kepada konsumen, dua orang pembeli (buyers) dari Hongkong dan Inggris menunggu sampai lima bulan untuk mendapatkan refund (pembayaran kembali) dari barang yang dibeli tapi tidak sesuai dengan pemesanan dan barangnya tidak dikirim, banyak penjual (suppliers

atau sellers) yang tidak mampu memberikan kuitansi atau bukti transaksi dan lain-lain (http://rmarpaung.tripod.com//ElectronicCommerce.doc, diakses: 28 Agustus 2010).

Kondisi ini tentunya akan merugikan baik bagi produsen terlebih konsumen yang memiliki posisi tawar (bargaining position) lebih rendah. Hal yang sama dikemukakan Riyeke Ustadiyanto saat menyatakan besarnya nilai transaksi

electronic commerce di dunia masih dibayangi masalah “kurang amannya”

(unsecure) transaksi online ini. Internet telah menimbulkan berbagai masalah

terutama yang berkaitan dengan masalah yang berkaitan dengan hukum yang mengatur transaksi tersebut (Riyeke Ustadiyanto, 2002:93).

Apabila permasalahan-permasalahan di atas tidak segera diselesaikan secara memadai tidak tertutup kemungkinan kepercayaan masyarakat pada sistem

e-commerce akan hilang, akibatnya pertumbuhan ekonomi akan berjalan lambat.

Salah satu upaya yang dapat ditempuh guna menyelesaikan masalah-masalah di atas adalah dengan digunakannya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien, disertai biaya murah. Penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien serta berbiaya murah merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda lagi realisasinya guna terwujudnya kepercayaan para pihak (produsen atau

merchant dan konsumen) pada sistem electronic commerce (http :// www.hukum

online.com, Makalah Ahmad Zakaria atau J: arbitrase %20onlineatau arbitrase-online-terobosan-baru-di html, diakses: 31 Agustus 2010).


(18)

commit to user

Pentingnya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien, dan berbiaya murah agar segera diterapkan, dilatarbelakangi kenyataan bahwa transaksi electronic commerce sangat rentan terhadap lahirnya berbagai sengketa ataumasalah diantara para pihak, sebagai akibat dari saling berjauhannya domisili para pihak yang bertransaksi serta bahasa, budaya dan sistem hukum yang berbeda serta adanya keinginan untuk menyelesaikan setiap sengketa melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution)

dalam hal ini arbitrase, dilatarbelakangi masih banyaknya ditemukan berbagai kelemahan dari penyelesaian sengketa melalui sistem peradilan (litigasi), seperti (Yahya Ahmad Zein, 2009:67):

1. litigasi memaksa para pihak bberada pada posisi yang ekstrim dan

memerlukan pembelaan (advocacy);

2. litigasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, sehingga

mendorong para pihak untuk melakukan penyelidikan terhadap kelemahan-kelemahan pihak lainnya;

3. proses litigasi memakan waktu yang lama dan memakan biaya yang mahal; 4. hakim seringkali bertindak tidak netral dan kurang mengikuti perkembangan

ilmu pengetahuan yang mendasari penyelesaian suatu masalah hukum baru. Kelemahan di atas jelas bahwa penyelesaian melalui jalur peradilan atau litigasi sangat berlawanan dengan hakikat dari electronic commerce sebagai suatu sistem perdagangan virtual (maya) yang membutuhkan sistem yang efektif dan efisien. Mekanisme penyelesaian sengketa (bisnis) yang sifatnya konvensional atau tradisional sangat dibatasi oleh letak geografis dan hukum tempat aktivitas bisnis dilakukan. Penentuan mengenai hukum serta pengadilan (yurisdiksi)

manakah yang berwenang memeriksaatau mengadili suatu sengketa, sering

menjadi masalah pada saat para pihak akan membuat suatu kontrak, sekalipun akhirnya, dalam transaksi konvensional penentuan hukum mana yang akan berlaku relatif lebih mudah ditentukan.

Kondisi di atas sangat berlainan pada saat transaksi perdagangan terjadi di dunia maya (cyberspace), pertanyaan yang sering timbul adalah hukum serta yurisdiksi manakah yang akan digunakan apabila dikemudian hari muncul


(19)

commit to user

sengketa di antara para pihak, sedangkan dalam cyberspace setiap interaksi tidak dibatasi oleh batas wilayah (borderless). Oleh karena itu, adanya kebutuhan terhadap suatu lembaga yang bertugas untuk menyelesaikan setiap sengketa bisnis

(e-commerce) merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda lagi pelaksanaannya.

(Imamulhadi, 2001:80).

Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di bidang

e-commerce melalui arbitrase persoalan yang mungkin muncul adalah mengenai

hukum yang berlaku mengingat transaksi dilakukan melalui media internet.

Dari uraian diatas penulis mencoba untuk mengangkat persoalan mengenai PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL

E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE.

B. Perumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang di atas, ada beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan, yaitu:

1. Apa yang menjadi dasar pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce di Indonesia?

2. Pilihan hukum manakah yang dapat digunakan dalam penyelesaiaan sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase?

3. Bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian disini ialah penelitian berkenaan dengan maksud penulis melakukan penelitian, terkait dengan perumusan masalah dan judul Penulis mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Tujuan itu berupa tujuan secara obyektif dan tujuan secara subyektif. Tujuan penelitian ini adalah:


(20)

commit to user

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan dalam pengaturan

penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce di Indonesia.

b. Untuk mengetahui pilihan hukum di Indonesia yang berlaku dalam

penyelesaiaan sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase.

c. Untuk mengetahui pelaksanan putusan arbitrase asing di Indonesia. 2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum

serta pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktik di lapangan Hukum Perdata, khususnya Hukum Bisnis dan Teknologi Informasi.

b. Untuk mengetahui kemampuan penulis dalam meneliti di bidang ilmu

hukum khususnya Perdata.

c. Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan

Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

D. Manfaat Penelitian

Setiap peneltian selalu diharapkan dapat memberi manfaat pada berbagai pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

pembangunan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya.

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase.

c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.


(21)

commit to user

2. Manfaat Praktis

a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran,

membentuk pola pikir ilmiah sekaligus mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

b. Memberikan wawasan dan pengetahuan hukum bagi masyarakat luas

terkait dengan penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional

e-commerce melalui arbitrase.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:35). Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan yakni peneliti harus lebih dahulu memahami konsep dasar ilmu pengetahuan yang berisi (sistem dan ilmunya) dan metodologi penelitian disiplin ilmu tersebut (Johny Ibrahim, 2006:26). Penelitian hukum berisi konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan dalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam relevansi dan aktualitasnya (Johnny Ibrahim, 2006:28).

Berdasarkan hal tersebut maka penulis dalam penelitian ini menggunakan metode penulisan sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif menurut adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya (Johnny Ibrahim, 2006:57). Penelitian hukum normatif memilki definisi yang sama dengan penelitian hukum doktrinal (doctrinal research)


(22)

commit to user

yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder (Johnny Ibrahim, 2006:44).

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang subtansial di dalam ilmu hukum. (Peter Mahmud Marzuki, 2008:22).

3. Pendekatan Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki, didalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan didalam penelitian hukum adalah pendekatan Undang-Undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical

approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan

konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93).

Penulis akan menggunakan pendekatan Undang-Undang (statue approach) dari kelima pendekatan penelitian hukum tarsebut.

Peneliti menggunakan pendekatan Undang-Undang (statue approach) dilakukan dengan menelaah Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan permaslahan hukum yang sedang ditangani, untuk menelaah unsur filosofis adanya suatu peraturan perUndang-Undangan tertentu yang kemudian dapat disimpulkan ada atau tidaknya benturan filosofis antara Undang-Undang dengan isu hukum yang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93-94), penelitian ini yang ditelaah yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Kitab Undang-Undang Hukun Perdata.


(23)

commit to user

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perUndang-Undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perUndang-Undangan dan putusan hakim, sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141).

Bahan hukum primer yang digunkan oleh penulis dalam penelitian ini antara lain:

a. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Transaksi dan Informasi

Elektronik.

b. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

c. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

d. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Arbitrase Asing.

Bahan hukum sekunder yang digunakan penulis antara lain:

a. Black Law Dictionary (kamus hukum)

b. Buku-buku tentang E-commerce, Arbitrase dan Transaksi Bisnis

Internasional.

c. Jurnal-jurnal Hukum tentang E-commerce, Arbitrase dan Transaksi Bisnis Internasional.

5. Teknik Pengumpulan bahan hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan sebagai sumber di dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan bahan hukum dengan jalan membaca peraturan perUndang-Undangan, dokumen-dokumen resmi maupun literatur-literatur yang erat kaitannya


(24)

commit to user

dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan hukum penunjang di dalam penelitian ini.

6. Teknik Analisis

Penelitian ini berusaha untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti utuk kemudian mendiskripsikan data-data yang diperoleh selama penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan-bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan sebagaimana telah disinggung diatas.

Metode penalaran yang dipilih oleh penulis adalah metode penalaran deduktif, yaitu hal-hal yang dirumuskan secara umum diterapkan pada keadaan yang khusus. Dalam penelitian ini, penulis mengkritisi teori-teori ilmu yang bersifat untuk kemudian menarik kesimpulan yang sesuai dengan isu hukum yang diteliti atau dianalisis, yaitu mengenai penyelesaian sengketa bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum, serta untuk mempermudah pemahaman berkaitan seluruh isi penulisan hukum ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan hukum ini yang terdiri dari empat bab.

Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini terdiri dari subbab-subbab yaitu latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. Bab pertama ini merupakan awal yang menjadi dasar, bahan pertimbangan, serta patokan dari penulisan hukum ini.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab II ini mengenai Tinjauan Pustaka berisi subbab Kerangka Teori dan subbab Kerangka Pemikiran. Kerangka Teori ini memuat berbagai pengertian yang mendukung dari judul yang ada hingga memudahkan


(25)

commit to user

para pembacanya. Tinjauan pustaka ini diawali dengan menjelaskan pengertian bisnis internasional dan dasar hokum bisnis internasional.

Tinjauan kedua mengenai e-commerce yang di dalamnya memuat

pengertian e-commerce, mekanisme transaksi e-commerce, jenis-jenis transaksi e-commerce, pihak-pihak dalam transaksi, pengaturan internasional mengenai e-commerce, sengketa e-commerce. Tinjauan yang ketiga yaitu mengenai arbitrase yang terdiri dari pengetian arbitrase, sejarah arbitrase, nama-nama badan arbitrase asing, prosedur penggunaan dan prinsip-prinsip arbitrase.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan bab inti dan bab yang paling penting. Memaparkan dan menjabarkan hasil penelitian yang kemudian dengan analisis menghasilkan pembahasan atas pokok permasalahan yang dituju. Bab ini dimulai dengan dasar pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce di Indonesia, pemilihan hukum yang digunakan dalam penyelesaian sengketa e-commerce dan peleksanaan dan pembatalan arbitrase asing di Indonesia.

BAB IV : PENUTUP

Bab Penutup adalah bab terakhir, yang memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan harus tetap merujuk pada pokok rumusan masalah yang ditarik intinya dari hasil analisis pada pembahasan. Saran lebih bersifat universal yang memunculkan ide untuk menciptakan keadaan lebih baik terutama dalam kaitannya dengan inti dari penulisan ini.


(26)

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Bisnis Internasional

a. Pengertian Bisnis Internasional

Bisnis Internasional merupakan kegiatan perdagangan yang melibatkan negara lain, berikut definisi beberapa sarjana mengenai bisnis internasional sebagaimana dikutip dalam bukunya Gunawan Wijaya, antara lain (Gunawan Wijaya, Ahmad Yani, 2003:13):

1) Ball, Mc Culloch, Frantz, Geringer, Minor, “Bisnis yang kegiatannya melampaui batas Negara. Definisi tersebut mencakup perdagangan internasional. pemanufakturan diluar negeri juga industri jasa diberbagai bidang seperti transportasi, pariwisata, perbankan, periklanan, konstruksi, perdagangan eceran, perdagangan besar dan komunikasi massa.

2) Charles WH Hill, ”Perusahaan yang terlibat dalam perdagangan

maupun investasi internasional”.

3) Daniels, Radebaugh & Sullivan, “Semua transaksi komersial baik oleh swasta maupun pemerintah diantara 2 negara atau lebih”.

Bisnis internasional secara umum merupakan kegiatan bisnis yang dilakukan melewati batas - batas suatu negara. Transaksi bisnis seperti ini merupakan transaksi bisnis internasional atau transaksi bisnis yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain yang sering disebut sebagai bisnis internasional (International Trade). Dilain pihak transaksi bisnis itu dilakukan oleh suatu perusahaan dalam suatu negara dengan perusahaan lain atau individu di negara lain disebut pemasaran internasional (International Marketing). Pemasaran internasional inilah yang biasanya diartikan sebagai bisnis internasional, meskipun pada dasarnya terdapat dua pengertian, sehingga kita dapat membedakan adanya dua buah transaksi bisnis internasional yaitu:


(27)

commit to user

1) Perdagangan Internasional (International Trade)

Perdagangan internasional yang merupakan transaksi antar negara itu biasanya dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan cara ekspor dan impor. Transaksi ekspor dan impor yang terjadi akan menimbulkan neraca perdagangan antar negara atau Balance of Trade. Suatu egara dapat memiliki surplus neraca perdagangan atau devisit neraca perdagangannya. Neraca perdagangan yang surplus menunjukan keadaan dimana negara tersebut memiliki nilai ekspor yang lebih besar dibandingkan dengan nilai impor yang dilakukan dari

negara partner dagangnya. Neraca perdagangan yang mengalami

surplus ini mengakibatkan apabila keadaan yang lain konstan maka aliran kas masuk ke negara itu akan lebih besar dengan aliran kas keluarnya ke negara partner dagangnya tersebut. Besar kecilnya aliran uang kas masuk dan keluar antar negara tersebut sering disebut

sebagai neraca pembayaran atau Balance of Payments. Neraca

pembayaran yang mengalami surplus ini sering juga dikatakan bahwa negara ini mengalami pertambahan devisa negara. Sebaliknya apabila negara itu mengalami devisit neraca perdagangannya maka berarti nilai impornya melebihi nilai ekspor yang dapat dilakukannya dengan negara lain tersebut, sehingga negara tersebut akan mengalami devisit neraca pembayarannya dan akan menghadapi pengurangan devisa negara.

2) Pemasaran International (International Marketing)

Pemasaran internasional yang sering disebut sebagai bisnis internasional (International Bussines) merupakan keadaan dimana suatu perusahaan dapat terlibat dalam suatu transaksi bisnis dengan negara lain, perusahaan lain ataupun masyarakat umum di luar negeri. Transaksi bisnis internasional ini pada umumnya merupakan upaya untuk memasarkan hasil produksi di luar negeri. Persoalan semacam ini memungkinkan pengusaha tersebut akan terbebas dari hambatan perdagangan dan tarif bea masuk karena tidak ada transaksi ekspor


(28)

commit to user

impor. Dengan masuknya langsung dan melaksanakan kegiatan produksi dan pemasaran di negeri asing maka tidak terjadi kegiatan ekspor impor. Produk yang dipasarkan itu tidak saja berupa barang akan tetapi dapat pula berupa jasa. Transaksi bisnis internasional semacam ini dapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain :

a) Licencing

b) Franchising

c) Management Contracting

d) Marketing in Home Country by Host Country

e) Joint Venturing

f) Multinational Coporation (MNC)

Semua bentuk transaksi internasional tersebut diatas akan memerlukan transaksi pembayaran yang sering disebut sebagai Fee. Dalam hal itu negara atau Home Country harus membayar sedangkan

pengirim atau Host Country akan memperoleh pembayaran fee

tersebut. Pengertian perdagangan internasional dengan perusahaan internasional sering dikacaukan atau sering dianggap sama, akan tetapi seperti dalam uraian diatas sebenarnya berbeda. Perbedaan utama terletak pada perlakuannya dimana perdagangan internasional dilakukan oleh negara sedangkan pemasaran internasional adalah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan. Pemasaran internasional juga menentukan kegiatan bisnis yang lebih aktif serta lebih progresif dari pada perdagangan internasional.

b. Dasar Hukum Bisnis Internasional

Menurut Munir Fuady dalam bukunya “ Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik” dasar hukum transaksi bisnis internasional antara lain (Munir Fuadi, 1996:13):

1) Contract Provosions

Contrak provision merupakan hal-hal yang diatur dalam kontrak

tersebut oleh kedua belah pihak. Contract provision ini merupakan dasar hukum utama bagi suatu kontrak. Segala sesuatu yang diatur


(29)

commit to user

dalam dalam contract provision terserah pada para pihak. Hukum hanya memberikan rambu-rambu untuk melindungi berbagai kepentingan lain yang lebih tinggi, misalnya keadilan, ketertiban umum, kepentingan negara dan sebagainya. Jika provisi suatu kontrak tidak dapat menampung aspirasi kedua belah pihak, misalnya ada hal dalam pelaksanaan perjanjian yang tidak diatur sama sekali dalam kontrak, hukum akan menyediakan optional law (hukum yang mengatur) untuk mengisi kekosongan hukum dalam masyarakat. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, asa free dom of contract ini juga diperlukan. Dalam konteks perdagangan internasional, kedua belah pihak, yaitu eksportir dan importer diberi kebebasan yang seluas-luasnya untuk menentukan isi kesepakatan dalam kontrak.

2) General Contract Law

Tiap-tiap negara memiliki general contract law masing-masing. Di Indonesia, general contract law ini dapat dilihat dalam ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga. Buku ketiga ini mengatur secara umum dan berlaku bagi seluruh kontrak, seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, dan sebagainya.

3) SpecificContract Law

Selain Ketentuan-ketentuan umum, Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga mengatur tenang ketentuan khusus yang berkenaan dengan kontrak-kontrak tertentu. Dalam Perjanjian jual beli internasional misalnya, jika yang berlaku adalah hukum Indonesia, maka berlaku juga ketentuan tentang perjanjian jual beli yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan 1540.

4) Kebiasaan Bisnis

Kebiasaan-kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum. Demikian pula halnya dengan kebiasaan dalam bisnis (trade usage atau


(30)

commit to user

pedoman dalam menginteprestasi kontrak bisnis tremasuk kontrak jual beli internasional.

5) Yurisprudensi

Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (yurisprudensi) dapat menjadi dasar hukum bagi berlakunya kontrak. Yurisprudensi akan terasa maknanya jika ada hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang, atau yang memerlukan penafsiran-penafsiran terhadap suatu undang-undang. Namun demikian, dalam hukum transaksi perdagangan internasional, peranan yurisprudensi kurang begitu berarti karena biasanya penyelesaian suatu kasus menggunakan arbitrase.

6) Kaidah Hukum Perdata Internasional

Kaidah hukum perdata internasional banyak digunakan karena pada umumnya dalam setiap transaksi perdagangan internasional berbagi pihak dari berbagai negara. Berkaitan dengan hal itu, jika terjadi perselesihan mengenai hukum mana yang berlaku bila mana hal tersebut tidak diatur dalam kontrak, maka digunakan kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional (conflict of law) ini. Salah satu yang terkenal adalah teori yang disebut The Most Caracteristic Conection Rule. Menurut teori ini hukum para pihak yang mempunyai presatasi yang sangat karakteristik. Dalam bidang jual beli internasional, maka ketentuan hukum dari pihak penjual lah yang berlaku karena dianggap mengandung paling banyak karakteristik (yang unik) dalam setiap transaksi perdagangan.

7) Internasional Convention

International convention adalah kesepakatan-kesepakatan

internasional yang telah, sedang atau akan diratifikasi oleh negara-negara di dunia, agar suatu konvensi dapat mengikat maka negara-negara kedua belah pihak tersebut harus merupakan peserta dari konvensi internasional tersebut dan telah meratifikasi sehingga telah menjadi bagian dari hukum nasional masing-masing negara.


(31)

Ketantuan-commit to user

ketentuan konvensi internasional ada juga yang mengatur mengenai perjanjian jual beli internasional. Konvensi-konvensi internasional yang khusus mengatur mengenai jual beli internasional adalah sebagai berikut:

a) United Nations Convention on Contract for the International Sale

of Goods

Konvesi merupakan hasil karya The United Nations

Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dari

perserikatan bangsa-bangsa (PBB), yang kemudian diadopsi oleh Konferensi Diplomatik tanggal 11 April 1980. Konvensi ini mengatur mengenai ketentuan yang seragam tentang jual beli

internasional. Sebelum itu, persiapan terhadap uniform law

mengenai jual beli internasional sudah dilakukan sejak tahun 1930

di International Institute Law for the Unification of Private Law

(UNIDROIT) di Roma.

Sistematika konvensi ini adalah sebagai berikut: (1) ruang lingkup aplikasi dan ketentuan umum (2) formasi dari kontrak

(3) penjualan barang (4) ketentuan penutup

b) Conventionon the Limination Period in the International Sale of

Good

Konvesi ini merupakan hasil kerja UNCITRAL yang kemudian diterima oleh General Assemmbly di New York pada tanggal 14 Juni 1974 dan selanjutnya diamandemir pada tahun 1980. Konvensi ini berisikan keseragaman tentang ketentuan-ketentuan mengenai kadaluwarsanya suatu gugatan yang berhubungan dengan jual beli. Sistemetikanya adalah sebagai berikut:

(1) ruang lingkup penerapan


(32)

commit to user

(3) perhentian dan perpanjangan masa kadaluwarsa (4) total waktu untuk suatu kadaluwarsa

(5) konsekuensi hukum dari lewatnya masa kadaluwarsa (6) ketentuan lain-lain dan ketentuan penutup

8) Ketentuan-ketentuan Domestik

Ketentuan domestik merupakan aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah setempat seperti aturan yang berkenaan dengan ekspor impor, letter of Credit, Asuransi, Bill of Lading, Bill of Ex change, dan lain sebagainya.

2. Tinjauan Umum tentang E-commerce

a. Peristilahan Electronic Commerce

Electronic commerce yang biasa disebut dengan e-commerce

merupakan sistem yang relatif baru dibandingkan dengan sistem perdagangan lainnya. Akibatnya, bagi sebagian pihak masih belum jelas apa yang dimaksud dengan electronic commerce. Munculnya berbagai

pengertian electronic commerce tidak akan mengubah keberadaan

electronic commerce sebagai suatu sistem perdagangan yang sangat

efektif dan efisien. Timbulnya berbagai pengertian electronic commerce

semata-mata lebih disebabkan adanya perbedaan latar belakang keilmuan dari si pembuat definisi.

David Baum, dalam “Business Links”, Oracle Magazine, No. 3, Vol. XIII, 1999, sebagaimana dikutip Onno W. Purbo dan Aang Aris Wahyudi, mendefinisikan electronic commerce: a dynamic set of technologies, applications, and business process that link enterprises, consumers, and communities through electronic transactions and the electronic exchange of goods, service, and

information, Howard E. Abrams,menyatakan: electronic commerce

sebenarnya adalah: refers to the use of computer networks to facilitate transactions involving the production, distribution sale,

and delivery of goods and services in the market (Purbo, Onno, W,

2001: 181).

Sekalipun terdapat berbagai definisi dari electronic commerce, tetapi pada dasarnya semua definisi memiliki kesamaan, yaitu:


(33)

commit to user

1) adanya penawaran melalui Internet;

2) transaksi antara 2 belah pihak; (apabila terjadi kata sepakat) 3) adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi;

4) internet merupakan media utama dalam proses atau mekanisme

transaksi tersebut.

Mengacu pada beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

electronic commerce merupakan suatu transaksi perdagangan antara

penjual dan pembeli dengan menggunakan media internet. Jadi, proses pemesanan barang,pembayaran transaksi sampai dengan pengiriman barang dikomunikasikan melalui internet.

b. Keuntungan Penggunaan Electronic Commerce

Pada dasarnya, keuntungan penggunaan electronic commerce dapat dibagi dalam dua bagian, yakni keuntungan bagi pedagang (merchant)

dan keuntungan bagi pembeli. Menurut Joseph Luhukay (Presiden

Director, Capital Market Society) sebagaimana dikutip oleh PB, Triton,

keuntungan bagi pedagang (merchant) antara lain (PB, Triton, 2006: 76):

1) Dapat digunakan sebagai lahan untuk menciptakan pendapatan

(revenue generation) yang sulit atau tidak dapat diperoleh melalui

cara konvensional, seperti memasarkan langsung produk atau jasa;

menjual informasi, iklan (baner), membuka cybermall, dan

sebagainya.

2) Menurunkan biaya operasional. Berhubungan langsung dengan

pelanggan melalui Internet dapat menghemat kertas dan biaya telepon, tidak perlu menyiapkan tempat ruang pamer (outlet), staf operasional yang banyak, gudang yang besar, dan sebagainya.

3) Memperpendek product cycle dan management supplier. Perusahaan dapat memesan bahan baku atau produk ke supplier langsung ketika ada pemesanan sehingga perputaran barang lebih cepat dan tidak perlu gudang besar untuk menyimpan produk-produk tersebut.

4) Melebarkan jangkauan (global reach). Pelanggan dapat menghubungi perusahaanatau penjual dari manapun di seluruh dunia.


(34)

commit to user

5) Waktu operasi tidak terbatas. Bisnis melalui internet dapat dilakukan selama 24 jam per hari, 7 hari per minggu.

6) Pelayanan ke pelanggan lebih baik. Melalui Internet pelanggan bisa menyampaikan kebutuhan maupun keluhan secara langsung sehingga perusahaan dapat meningkatkan pelayanannya.

Keuntungan bagi pembeli, antara lain (PB, Triton, 2006: 78):

1) Home shopping. Pembeli dapat melakukan transaksi dari rumah

sehingga dapat menghemat waktu, menghindari kemacetan, dan menjangkau toko-toko yang jauh dari lokasi.

2) Mudah melakukan. Tidak perlu pelatihan khusus untuk bisa belanja atau melakukan transaksi melalui Internet.

3) Pembeli memiliki pilihan yang sangat luas dan dapat

membandingkan produk maupun jasa yang ingin dibelinya.

4) Tidak dibatasi waktu. Pembeli dapat melakukan transaksi kapan saja selama 24 Jam per hari, 7 hari per minggu.

5) Pembeli dapat mencari produk yang tidak tersedia atau sulit diperoleh di outlet-outlet atau pasar tradisional.

Keuntungan-keuntungan di atas apabila dipergunakan dengan sebaik-baiknya akan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat

terhadap electronic commerce yang pada akhirnya dapat pula

meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional.

c. Mekanisme Transaksi Electronic Commerce dan Waktu Terjadinya

Kontrak

Transaksi perdagangan melalui media internet atau electronic

commerce pada dasarnya memiliki kesamaan dengan mekanisme

perdagangan biasa (konvensional). Perbedaan antara keduanya adalah dalam electronic commerce, sistem yang digunakan dalam seluruh proses

transaksi dilakukan secara online, mulai dari penawaran produk,

pembelian, sampai dengan pembayaran, sedangkan dalam transaksi biasa, seluruh proses transaksi dilakukan secara manual (off line). Seperti halnya dalam transaksi biasa (konvensional), transaksi electronic


(35)

commit to user

commerce diawali dengan adanya penawaran oleh produsen (merchant)

kepada calon pembeli (consumer) melalui media Internet, sedangkan apabila pembeli (costumer) berpendapat bahwa produk yang ditawarkan dari segi kualitas, harga, jenis telah sesuai dengan keinginannya, maka pembeli dapat langsung memesan (order) atas barang yang dimaksud dengan cara mengisi formulir isian yang telah ditampilkan pada layar monitor. Formulir yang harus diisi umumnya memuat identitas pemesan, seperti nama, alamat, kantor, dan sebagainya. Formulir isian memuat pula syarat- syarat transaksi yang harus disetujui oleh konsumen. Pada tahap akhir setelah semua formulir isian diisi dan syarat-syarat transaksi disetujui, pembeli tinggal menyatakan setuju dengan transaksi tersebut dengan cara mengklik kolom OK atau Submit (PB, Triton, 2006: 92).

Gambaran proses transaksi electronic commerce di atas adalah proses yang umum dilakukan, mengingat dalam prakteknya proses transaksi electronic commerce banyak jenisnya. Permasalahan yang

paling sering muncul dalam transaksi electronic commerce adalah

berkaitan dengan pertanyaan kapan suatu transaksi (kontrak) dikatakan telah terjadi. Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dikemukakan terlebih dahulu beberapa bentuk kontrak electronic commerce yang selama ini berkembang. Beberapa bentuk kontrak elektronik yang selama ini berkembang, yaitu:

1) Suatu kontrak yang dibentuk secara sah melalui e-mail. Penawaran

dan penerimaan dapat dipertukarkan melalui e-mail atau

dikombinasikan dengan alat komunikasi elektronik lainnya, dokumen tertulis, fax, dan lain-lain.

2) Suatu kontrak dapat juga dibentuk melalui web sites dan jasa online

lain, yaitu suatu web site menawarkan penjualan barangatau jasa dan konsumen dapat menerima penawaran dengan mengisi dan mengirimkan suatu formulir yang terpampang pada layar monitor.


(36)

commit to user

3) Bentuk kontrak lain adalah mencakup direct online transfer dari

informasi dan jasa, web site digunakan sebagai medium of

communication dan sekaligus sebagai medium of exchange.

4) Kontrak yang berisi Electronic Data Interchange (EDI), suatu

pertukaran informasi bisnis secara elektronik dalam komputer processable format melalui komputer milik para mitra dagang

(trading partners).

5) Suatu cara berkontrak dalam Internet dapat bersifat perjanjian lisensi

click-wrap dan shrink-wrap. Software yang di download dari Internet

lazimnya dijual dengan suatu lisensi click-wrap. Lisensi tersebut muncul pada monitor pembeli pada saat pertama kali software akan dipasang (install) dan calon pembeli ditanya apakah ia bersedia menerima persyaratan lisensi tersebut sebelum menggunakan program tersebut. Pengguna dapat click “I accept” atau I don’t

accept”. Apabila pembeli menyetujui persyaratan lisensi, software

tersebut dapat dipasang (install). Permasalahan kapan terjadinya suatu kontrak pada perdagangan secara online perlu mendapatkan perhatian khusus, mengingat hal ini membawa akibat hukum pada penentuan lahirnya hak dan kewajiban masing-masing pihak, peralihan kepemilikan, peralihan risiko, juga yurisdiksi mana yang berkompeten untuk menyelesaikan sengketa jika dikemudian hari muncul sengketa (Budi Rahardjo. E-commerce di Indonesia Peluang dan Tantangan (http:// www.cert.or.id/ ~budi/ articles/1999-02.pdf: diakses tanggal 30 Agustus 2010).

Penentuan saat terjadinya perjanjian (kontrak) berkaitan erat dengan tempat dimana perjanjian itu dibuat, ada beberapa teori yang menjelaskan tentang tempat terbentuknya perjanjian yaitu (PB, Triton, 2006: 112):

1) Pada saat disampaikannya persetujuan (consent) oleh pihak penerima penawaran (expedition theory).

2) Pada saat dikirimnya penerimaan tersebut oleh pihak penerima


(37)

commit to user

3) Pada saat diterimanya penerimaan tersebut oleh pihak yang

menawarkan (offeror) atau disebut reception theory.

4) Pada saat pihak yang menawarkan mengetahui adanya penerimaan

(acceptance) tersebut atau disebut information theory.

Menurut Julian Ding dalam bukunya Electronic Commerce, Law and

Practices, sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman

disebutkan bahwa terjadinya kontrak dalam transaksi electronic

commerce adalah a contract is struck when two or more persons agree to

a certain course of conduct, maksudnya bahwa sebagai suatu pertemuan

dimana dua atau lebih pihak setuju melakukan tindakan tertentu, sehingga pada saat itulah kesepakatan tercapai. Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa untuk menentukan kapankah suatu kontrak terjadi, maka dapat dilihat dari syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu offer

(penawaran), acceptance (penerimaan) dan consideration. Suatu offer

merupakan suatu invitation to enter into binding agreement, suatu offer

adalah benar merupakan suatu tawaran jika pihak lain memandangnya sebagai suatu penawaran, namun perlu diperhatikan bahwa suatu offer

haruslah benar merupakan suatu offer dalam hal mana memang benar penawaran telah dilakukan dan ditujukan pada offeree. Jika suatu offer sudah ditujukan pada offeree maka ia dapat choose whether yes or not to

accept it. Suatu offer harus secara jelas dinyatakan dan dalam hal offer

disampaikan dengan mempergunakan e-mail harus disebutkan bahwa jika terjadi suatu offer dari seorang offeror, harus terdapat suatu kepastian berupa diterima atau tidaknya hal tersebut dengan kata-kata “I accept or I

reject and go fourth”. Menemukan offer and acceptance dalam

cybersystem adalah tergantung pada keadaan dari cybersystem itu sendiri.

Seorang offeror adalah bebas untuk menentukan suatu manner of

acceptance, misalnya offeror menentukan bahwa hal penjualan melalui

web site atas barang dagangannya maka penawaran ditujukan pada

halaman dari e-mail addressnya sehingga dalam hal ini acceptance dapat dalam bentuk e-mail saja (Mariam Darus Badrulzaman, 2005: 86).


(38)

commit to user

Jika offer pada web site secara umum mendapatkan acceptance dari publik yang cukup banyak, sedangkan massage dalam offer di web site

tersebut hanya menawarkan sebuah barang saja maka dalam hal ini dipakai prinsip “first come first serve”, maka yang paling awal dinyatakan bahwa ia yang akan menerima tawaran itulah yang berhak. Peraturan ini menyatakan bahwa suatu acceptance dari offer adalah efektif berlaku

pada saat pengiriman pos, dalam hal ini yaitu pada saat pengiriman

acceptance melalui pos tradisional melalui surat (dropping a place of

corespondence in to the mailbox). Cyberspace menerangkan jika suatu

pernyataan setuju dari offeree telah dikirim dan benar telah diterima oleh

offeror, maka dalam hal terjadi keterlambatan atau tidak sampainya pesan

adalah kewajiban dan risiko dari offeror jika tidak ada klausul pembatasan hari dari offeror, namun dalam hal acceptance berlangsung dalam suatu

on line contract, maka tidak akan terjadi keterlambatan sehingga mailbox

rule tidak berlaku (Mariam Darus Badrulzaman, 2005: 87). d. Karakteristik Transaksi E-Commerce

Berbeda dengan transaksi perdagangan biasa, transaksi

e-commerce memiliki beberapa karakteristik yang sangat khusus, yaitu:

(Sakti, Nuransa,2001 :76) 1) Transaksi tanpa batas

Sebelum era internet, batas-batas geografi menjadi

penghalang suatu perusahaan atau individu yang ingin

go-international. Sehingga, hanya perusahaan atau individu dengan

modal besar yang dapat memasarkan produknya ke luar negeri. Dewasa ini dengan internet pengusaha kecil dan menengah dapat memasarkan produknya secara internasional cukup dengan membuat situs web atau dengan memasang iklan di situs-situs internet tanpa bataswaktu (24 jam), dan tentu saja pelanggan dari seluruh dunia dapat mengakses situs tersebut dan melakukan transaksi secara


(39)

commit to user

2) Transaksi anonim

Para penjual dan pembeli dalam transaksi melalui internet tidak harus bertemu muka satu sama lainnya. Penjual tidak memerlukan nama dari pembeli sepanjang mengenai pembayarannya telah diotorisasi oleh penyedia sistem pembayaran yang ditentukan, yangbiasanya dengan kartu kredit.

3) Produk digital dan non digital

Produk-produk digital seperti software komputer, musik dan produk lain yang bersifatdigital dapat dipasarkan melalui internet dengan cara mendownload secara elektronik. Dalam perkembangannya obyek yang ditawarkan melalui internet juga meliputi barang-barang kebutuhan hidup lainnya.

4) Produk barang tak berwujud

Banyak perusahaan yang bergerak di bidang e-commerce

dengan menawarkan barang tak berwujud seperti: data, software dan ide-ide yang dijual melalui internet.

Implementasi e-commerce pada dunia industri yang penerapannya semakin lama semakin luas tidak hanya mengubah suasana kompetisi menjadi semakin dinamis dan global, namun telah membentuk suatu masyarakat tersendiri yang dinamakan Komunitas Bisnis Elektronik

(ElectronicBusiness Community). Komunitas memanfaatkan cyberspace

sebagai tempat bertemu, berkomunikasi dan berkoordinasi ini secara intens memanfaatkan media dan infrastruktur telekomunikasi dan teknologi informasi dalam menjalankan kegiatannya sehari-hari. Seperti halnya pada masyarakat tradisional, pertemuan antara berbagai pihak dengan beragam kepentingan secara natural telah membentuk sebuah pasar tersendiri tempat bertemunya permintaan (demand) dan penawaran

(supply). Transaksi yang terjadi antara demand dan supply dapat dengan

mudah dilakukan walaupun yang bersangkutan berada dalam sisi geografis yang berbeda karena kemajuan dan perkembangan teknologi


(40)

commit to user

informasi. Yang dalam hal ini adalah teknologi e-commerce

(Indrajit,Richardus, 2001: 60)

e. Jenis-jenis Transaksi Electronic Commerce

Electronic commerce dalam pelaksanaannya yang menggunakan media

internet sebagai sarana utamanya tidak terlepas dari ada dalam internet itu sendiri. Kemudahan tersebut diantaranya adalah kemudahan untuk diakses dimana saja dan dengan siapaseorang pengguna akan berhubungan. Selain itu, sudut pandang dari e-commorce sangatlah luas. Berdasarkan sudut pandang para pihak dalam bisnis e-commerce jenis-jenis dari suatu kegiatan e-commerce adalah sebagai berikut:

1) Busines to Busines (B2B)

Busines to Busines merupakan kegiatan bisnis e-commerce yang

paling banyak dilakukan. Busines to Busines (B2B) terdiriatas:

a) Transaksi Inter Organizational System (IOS), misalnyatransaksi extranest, electronic funds transfer, electronic forms,intrgrated messaging, share data based, supply chainmanagement, dan lain-lain.

b) Transaksi pasar elektronik (electronic market transfer) (MunirFuady, 2005 : 408).

Busines to Busines (B2B) juga dapat diartikan sebagai

sistemkomunikasi bisnis online antar pelaku bisnis (Onno

W.Purbo,2000:2). Busines to Busines (B2B) mempunyai karakteristik, dimana menurut Budi Raharjo dalam Mengimplementasikan Electronic

Commerce di Indonesia menyebutkan bahwa karekteristik itu antara

lain:

a) Trading Partners yang sudah diketahui dan umumnya

memilikihubungan (relationship) yang cukup lama. Informasi hanyadipertukarkan dengan partner tersebut. Sehingga jenisinformasi yang dikirimkan dapat disusun sesuai kebutuhan dankepercayaan (trust).

b) Pertukaran data (data exchange) berlangsung berulang-ulangdan secara berkala, dengan format data yang sudah disepakati


(41)

commit to user

bersama. Sehingga memudahkan pertukaran data untuk duaentiti yang menggunakan standar yang sama.

c) Salah satu pelaku dapat melakukan inisiatif untuk mengirimkan data, tidak harus menunggu partner.

d) Model yang umum digunakan adalah per-to-per dimana processing

intelligence dapat didistribusikan di kedua belah pihak

(http://www.cert.or.id/~budi/articles/1999-02.pdf, diakses tanggal 20 Juli 2011).

2) Bussines to Cunsumer (B2C)

Bussines to Cunsumer (B2C) merupakan transaksi ritel

denganpembeli individual (Munir Fuady, 2005 : 408). Selain itu

Bussines to Cunsumer (B2C) juga dapat berarti mekanisme took online

(electronic shoping mall) yaitu transaksi antara e-merchant dengan

e-customer (Onno W.Purbo, 2000:2). Budi Raharjo juga menyebutkan

Bussines to Cunsumer (B2C) mempunyai karakteristik tersendiri,

dimana karakteristik tersebut adalah:

a) Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan ke umum

b) Servis yang diberikan bersifat umum (generic) dengan

mekanisme yang dapat digunakan oleh khayalak ramai. Sebagai contoh, karena system web sudah umum digunakanmaka servis diberikan dengan menggunakan basis web

c) Servis diberikan berdasarkan permohonan (on demand)

Consumer melakukan inisiatif dan produser harus siapmemberikan respon sesuai dengan permohonan.

d) Pendekatan client atau server sering digunakan dimana diambil

asumsi client (consumer) menggunakan sistem yang

minimal(berbasis web) dan processing (bussines procedure)

diletakandi sisiserver (http://www.cert.or.id/~budi/articles/1999-02.pdf, diakses tanggal 20 Juli 2011).


(42)

commit to user

3) Consumer to Consumer (C2C)

Consumer to Consumer(C2C) merupakan transaksi dimana

konsumen menjual produk secara langsung kepada konsumenlainnya. Dan juga seorang individu yang mengiklankan produk barang atau jasa, pengetahuan, maupun keahliannya di salah satusitus lelang (Munir Fuady, 2005 : 408).

4) Consumer to Bussines (C2B)

Consumer to Bussines (C2B) merupakan individu yangmenjual

produk atau jasa kepada organisasi dan individu yangmencari penjual dan melakukan transaksi (Munir Fuady,2005:408).

5) Non-Bussines Electronic Commerce Non-Bussines Electronic

Commerce meliputi kegiatan nonbisnis seperti kegiatan lembaga pendidikan, organisasi nirlaba,keagamaan dan lain-lain (Munir Fuady, 2005 : 408).

6) Intrabussines (Organizational) Electronic Commerce

Kegiatan ini meliputi semua aktivitas internal organisasimelalui internet untuk melakukan pertukaran barang, jasa, dan informasi, menjual produk perusahaan kepada karyawan, dan lain-lain (Munir Fuady, 2005 : 408)

f. Pihak-pihak dalam Transaksi Electronic Commerce

Transaksi electronic commerce melibatkan beberapa pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, tergantung kompleksitas transaksi yang dilakukan, artinya apakah semua proses transaksi dilakukan secara on-line atau hanya beberapa tahap saja yang dilakukan secara on-line. Apabila seluruh transaksi electronic commerce

dilakukan secara on-line, mulai dari proses terjadinya transaksi sampai dengan pembayaran, maka pihak-pihak yang terlibat terdiri dari:

1) Penjual (merchant), yaitu perusahaan atau produsen yang

menawarkan produknya melalui internet. Menjadi seorang merchant, maka seseorang harus mendaftarkan diri sebagai merchant account


(43)

commit to user

pada sebuah bank, tentunya ini dimaksudkan agar merchant dapat menerima pembayaran dari customer dalam bentuk credit card.

2) Konsumen atau card holder, yaitu orang-orang yang ingin

memperoleh produk (barang atau jasa) melalui pembelian secara

on-line.

3) Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan

penerbit) dan perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit).

4) Issuer; perusahaan credit card yang menerbitkan kartu.

5) Certification Authorities; pihak ketiga yang netral yang memegang

hak untuk mengeluarkan sertifikasi kepada merchant, kepada issuer

dan dalam beberapa hal diberikan pula kepada card holde.

Apabila transaksi electronic commerce tidak sepenuhnya dilakukan secara on-line, dengan kata lain hanya proses transaksinya saja yang on-line, sementara pembayaran tetap dilakukan secara manual atau cash, maka pihak acquirer, issuer, dan certification authority tidak terlibat di dalamnya .

g. Pengaturan E-commerce dalam Bisnis Internasional

Transaksi bisnis internasional e-commerce dalam pelaksanaanya dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan perdagangan internasional yaitu:

1) Kontrak Perdagangan Internasional (secara umum) Berdasarkan

United Nations in Contracts for International Sale of Goods

(UNCISG) 1980 dan 1986.

Kontrak perdagangan internasional secara umum (bukan dalam konteks e-commerce) diatur dalam United Nations in Contracts for

International Sale of Goods (UNCISG) 1980 dan 1986. Indonesia

belum meratifikasi untuk UNCISG tahun 1980, meskipun demikian konvensi ini patut kita pertimbangkan sebagai platform bagi konvensi jual beli internasional yang baru. Konvensi ini mengatur masalah-masalah kontraktual yang berhubungan dengan kontrak jual beli internasional. Konvensi ini sebenarnya hanya mengatur masalah jual


(44)

commit to user

beli antara business to business (B2B), sedangkan e-commerce yang kita bahas disini adalah hubungan bisnis antara Business to Consumer

(B2C) dan juga business to business tetapi didalam konvensi tersebut terdapat beberapa prinsip yang dapat di adopsi dalam makalah ini. Konsepsi yang bisa diambil dari konvensi ini antara lain adalah (http//bisnis internasional e-commerce.mkn.com: diakses 15 Agustus 2010):

a) Bahwa kontrak tidak harus dalam bentuk tertulis (in writing form), tetapi kontrak tersebut bisa saja berbentuk lain bahkan hanya berdasarkan saksi. Berdasarkan aturan tersebut suatu kontrak dapat juga dalam bentuk data elektronik (misalnya dalam format data form yang di-sign dengan digital signature) tapi didalam UNCISG ini belum diatur secara spesifik mengenai digital signature. Berdasarkan hal tersebut diatas maka suatu kontrak jual-beli secara internasional yang menggunakan digital signature berdasarkan hukum internasional secara hukum mengikat (legally binding) atau mempunyai kekuatan hukum. Mengenai sahnya suatu kontrak yang berbentuk digital signature ini sebaiknya diatur dalam perUndang-Undangan tersendiri seperti seperti halnya yang dilakukan di Amerika (negara bagian Utah, California), Malaysia, Singapura. b) CISG mencakup materi pembentukan kontrak secara internasional

yang bertujuan meniadakan keperluan menunjukkan hukum negara tertentu dalam kontrak perdagangan internasional serta untuk memudahkan para pihak dalam hal terjadi konflik antar sistem hukum . CISG berlaku terhadap kontrak untuk pejualan barang yang dibuat diantara pihak yang tempat dagangnya berada di negara yang berlainan Pasal 1 ayat (1). Dengan demikian yang menentukan adalah tempat perdagangannya dan bukan kewaarganegaranya. Konteks digital signature tempat kedudukan dari Merchant yang adalah kedudukan hukum yang tercantum di


(45)

commit to user

CISG (misalnya berupa digital signature) atau yang tunduk kepada CISG harus ditafsirkan berdasarkan prinsip-prinsip yang tercantum dalam CISG dan kalau CISG belum menentukan, berdasarkan kaaidah-kaidah hukum perdata internasional. Disamping itu, CISG menerima kebiasaan dagang serta kebiasaan antara para pihak sebagai dasar penafsiran ketentuan kontrak. Seperti halnya dalam hukum kontrak Indonesia, itikad baik dijadikan prinsip utama dalam penaafsiran utama dalam penafsiran ketentuan dan pelaksanaan kontrak. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka hendaknya setiap bentuk kontrak perdagangan internasional dengan menggunakan digital signature selain didasarkan pada peraturan yang mengatur secara spesifik mengatur tentang digital signature

juga didasarkan pada UNCISG karena CISG banyak dipakai oleh negara-negara di dunia.

c) Saat terbentuknya kontrak, Ini menyangkut kapan terjadinya

kesepakatan terutama apabila kesepakatan ini terjadi tanpa kehadiran para pesertaatau pihak. Transaksi di internet kita analogikan sebagai transaksi yang dialukan tanpa kehadiran para pelaku di satu tampat (between absent person). CISG memberikan kepastian di dunia perdagangan internasional mengenai saat terjaadinya suatu kontrak. kepastian ini akan memberikan dalam

e-commerce tanpa adanya kepastian ini, pertukaran antara suatu

digital signature akan sulit menimbulkan hak dan kewajiban yang

diakui oleh hukum kontrak. E-mail meskipun sifatnya

menghubungkan para pihak dengan hampir seketika tetapi tetap saja terjadi kelambatan (delay) dalam masalah transmisinya, demikian juga harus dipertimbangkan adanya sistem yang tidak bekerja secara sempurna sehingga suatu offer atau acceptance tidak dapat diterima secara seketika. Kontrak jual-beli dianggap sudah ada setelah adanya kesepakatan yang datang dari kedua belah pihak.


(46)

commit to user

2) Kontrak Berdasarkan United Nations Commision on International

Trade Law (UNCITRAL) model law on Electronic Commerce.

Model law ini mengatur tentang e-commerce secara umum, mulai dari definisi-definisi yang dipakai, bentuk dokumen-dokumen yang dipakai dalam e-commerce, keabsahan kontrak, saat terjadinya kontrak selain itu model law ini mengatur juga tentang carriage of

goods. Pendekatan yang diambil dalam model law ini adalah bahwa

suatu informasi tidak dapat dikatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum, karena informasi itu berbentuk data message. Berdasarkan pendekatan diatas maka suatu data messaages apapun bentuk atau formatnya tidak dapat dikatakan tidak mempunayai kekuatan hukum hanya karena ia berbentuk suatu data messages. Pendekatan ini akan menimbulkan suatu kepastian dikemudian hari apabila terdapat suatu bentuk atau format data

messages dalam bentuk yang baru. Pendekatan ini juga akan

menyebabkan suatu kontrak atau perjanjian yang dibuat dengan

digital signature mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan apabila

dalam suatu perUndang-Undangan terdapat persyaratan bahwa harus dalam bentuk tertulis, maka persyaratan ini dapat dicapai, selama informasiatau data tersebut dapat diakses. Apabila suatu perUndang-Undangan menghendaki adanya suatu tandatangan sebagai tanda sahnya suatu dokumen maka hal ini dapat dicapai dengan cara:

a) Terdapat suatu metode yang digunakan untuk mengidentifikasi

keberadaan seseorang dan juga dapat mengindikasikan didalam dokumen tersebut telah mendapat persetujuan dari orang tersebut.

b) Bahwa metode tersebut diatas dapat dipercaya atau dapat

dipertanggungjawabkan sehingga data tersebut dapat dengan aman disebarluaskan.

c) Pendekatan tersebut diatas sifatnya adalah sangat luas atau tidak jelas. Metode Digital signature adalah salah satu cara yang dapat


(47)

commit to user

mensiasati kebutuhan adanya suatu tandatangan dalam sebuah dokumen.

3) General Usage for International Digitally Ensured Commerce

(GUIDEC) dari The International Chamber of Commerce (ICC). GUIDEC adalah suatu panduan yang dibuat oleh International

Chamber of Commerce bagi penggunaan suatu metode yang akan

menjamin keberadaan suatu dokumen atau data elektronis dalam

penggunaannya dalam dunia internasional. Panduan ini menggunakan terminologi ensured untuk membedakannya dengan terminologi sign

dalam hal panandatanganan (sign in atau signature) terhadap suatu dokumen (Kantaatmaja, 2002:23).

GUIDEC ini dimaksudkan untuk menunjang perkembangan

dari e-commerce dengan memberikan kepastian bagi penerapan

adanya tandatangan dalam suatu dokumen elektronis. Panduan ini akan menjelaskan berbagai terminologi atau istilah yang ada didalam

UNCITRAL model law on e-commerce seperti apakah sebenarnya

maksud dari penandatangan suatu data messages secara elektronis

(electronically signed Messages). Penandatanganan disini maksudnya

adalah bukan dilakukan secara fisik, tetapi membutuhkan suatu perangkat elektronik. Terminologi dari electronically signed yang dipakai dalam GUIDEC ini adalah penggunaan teknik enkripsi dengan

menggunakan kunci publik yang lebih dikenal sebagai digital

signature. Penggunaan digital signature ini akan memberikan

kepastian akan keamanan, keutuhan dari data messages yang digunakan dalam e-commerce. Faktor keamanan dan keutuhan dari suatu data messages adalah suatu hal yang sangat menentukan dalam menunjang perkembangan e-commerce. E-commerce yang dilakukan melalui media internet yang merupakan suatu jaringan publik akan memberikan berbagai ketidakpastian bagi para penggunaanya.

Panduan mengenai bagaimana suatu data messages dapat dijamin


(1)

commit to user

94

   

dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya. Mengenai peraturan yang mengatur mengenai pelaksanaan eksekusi, terdapat di dalam Pasal 69 UU No. 30 Tahun 1999.

Pasal 69 ayat (2) menyatakan bahwa sita eksekusi dapat dilaksanakan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi. Hal ini sama dengan Perma No. 1 Tahun 1990 Pasal 6 ayat (3), dimana dalam Perma tersebut dikatakan sita eksekutorial dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang-barang milik termohon eksekusi.

Pasal 69 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 memyatakan tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata, sehingga dalam pelaksanaannya, tidal diperlukan lagi peraturan-peraturan yang baru dalam pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase internasional tersebut.

Tentang pembatalan putusan arbitrase, hal ini diatur dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 yang menentukan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan, jika putusan tersebut diduga mengandung unsure-unsur antara lain sebagai berikut:

1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan

dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu,

2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang

disembunyikan oleh pihak lawan, atau

3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak

dalam pemeriksaan sengketa.

Prosedur permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional terdapat di dalam Pasal 71 dan 72 ayat (1) s/d ayat F(3) UU No. 30 Tahun 1999, yaitu permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari tehitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Jika permohonan pembatalan tersebut dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan akibat pembatalan seluruhnya atau sebagai dari putusan arbitrase.


(2)

commit to user

Pasal 71 dapat disimpulkan bahwa pendaftaran putusan arbitrase harus dilakukan terlebih dahulu, sebelum putusan tersebut dapat dimohonkan pembatalannya (Gatot Sumartono, 2006:94). Pendaftaran pembatalan putusan arbitrase harus diajukan dalam format permohonan.

Menurut UU No. 30 Tahun 1999, pembatalan putusan arbitrase internasional hanya dapat dilakukan setelah memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

1. putusan tersebut memenuhi salah satu atau beberapa unsure sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 70,

2. putusan tersebut sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

dilengkapi dengan persyaratan dokumen, dan pendaftarannya pun harus dilakukan oleh arbitrase atau kuasanya,

3. pengajuannya harus dalam bentuk format permohonan.

Pelaksanakan eksekusi putusan arbitrase asing, sering kali mengalami kendala-kendala yang membuat pelaksanaan eksekusi tersebut tertunda bahkan gagl untuk di eksekusi, seperti diketahui bahwa Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional yang mengakui putusan arbitrase asing. Namun, sampai sejauh ini pelaksanaan putusan arbitrase masih menghadapi kendala di dalam praktik.

Keengganan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan putusan arbitrase, khususnya putusan arbitrase asing, telah diingatkan oleh Sunayarti Hartono beliau menyatakan antara lain (Sunaryati Hartono, 1991:15):

“Sayang sekali masih sering dialami, bahwa pihak Indonesia yang sudah dinyatakan wajib membayar ganti rugi oleh instansi yang berwenang di Indonesia, sama sekali tidak menghormati keputusan itu, yang menyebabkan image Indonesia dimata pengusaha asing tidak bertambah baik, sekalipun Indonesia sudah bersedia mengakui dan melaksanakan keputusan arbitrase asing melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990.”

Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia berupa kendala yuridis yang menyebabkan terjadi titik singgung kewenangan Peradilan Umum dengan kewenangan absolute arbitrase (Panggabean, 2002:75). Titik singgung kewenangan itu dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:


(3)

commit to user

96

   

a. bahwa badan arbitrase juga berperan sebagai “particuliere rechtpraak

(Pengadilan Swasta), sebenarnya memberikan putusannya lebih

didasarkan pada aspek keadilan dan kepatutan (redelijkheid en

billijkheid=ex aequo et bono) tanpa menyebut aspek kepastian hukum dan

kemanfaatan, artinya wasit (arbiter) dapat mengesampingkan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Peran seperti ini, para pihak bersangkutan dapat saja “menolak” putusan arbitrase dengan alasan subjektif bahwa putusan arbitrase tersebut kurang sesuai dengan keadilan hukum, atau alasan lainnya,

b. bahwa beberapa putusan arbitrase terdahulu sebelum berlakunya UU No.

30 Tahun 1999 dapat digunakan pedoman untuk mempersoalkan kewenangan absolute badan arbitrase,

c. bahwa UU No. 30 Tahun 1999 sendiri telah mengatur beberapa alasan

untuk membatalkan putusan arbitrase.

d. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dengan tegas mengatur yurisdiksi

arbitrase, namun dalam praktik penyelesaiaan sengketa melalui lembaga arbitrase hanya dapat efektif jika para pihak yang terlibat dalam sengketa mempunyai niat baik untuk menerima dan menghormati keputusan arbiter (Panggabean, 2002:80). Efektifitas putusan arbitrase juga tergantung ketaatan Pengadilan Negeri untuk menggormati yurisdiksi lembaga arbitrase yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang mengandung klausula arbitrase.

Kendala tersebut diatas diakibatkan karena adanya celah hukum dimana peradilan arbitrase atau yang disebut dengan peradilan swasta sering kali dianggap tidak sesuai dengan keadilan hukum, selain itu kendala yang muncul dalam peraturan perUndang-Undangan mengenai arbitrase itu sendiri yaitu dengan mengatur beberapa alasan untuk membatalkan putusan arbitrase yang telah dijatuhkan. Niat baik para pihak juga sangat berpengaruh dalam kelancaran pelaksanaan putusan arbitrase.


(4)

commit to user

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, bahwa:

1. Dasar pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional

e-commerce di Indonesia antara lain, prinsip kesepakatan para pihak

(Konsensus) terdapat dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 4 ayat (1), prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, prinsip kebebasan memilih hukum terdapat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 18 ayat (2) dan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa Pasal 56 ayat (2), prinsip itikad baik (Good Faith)

diatur dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3), prinsip Exhaution of local

remidies (Pengedepanan Penyelesaian Sengketa menggunakan Hukum

Nasional) diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal (2).

2. Hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis

internasional e-commerce melalui arbitrase pada dasarnya diberikan

kebebasan para pihak begitu pula yan diatur dalam peraturan di Indonesia yaitu dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2), apabila tidak menentukan pilihan hukum maka didasarkan pada asas hukum perdata internasional. Hukum

perdata internasional mengenal empat macam choice of law atau pilihan

hukum yaitu: pilihan hukum secara tegas, pilihan hukum secara diam-diam, pilihan hukum yang dianggap dan pilihan hukum secara hipotesis. Apabila pilihan hukum tersebut tidak dipilih maka hakim dapat menentukan pilihan

hukum dengan menggunakan bantuan titik taut diantaranya: lex loci

contractus, mail box theory, lex loci solution, the proper law of contract,


(5)

commit to user

98

   

characteristic conection dapat dijadikan sebagai pilihan hukum dalam

sengketa e-commerce karena penjual dianggap mempunyai prestasi yang

kas sehingga menggunakan hukum dari pihak yang mempunyai prestasi yang terbesar.

3. Ketentuan yang mengatur tentang eksekusi putusan arbitrase asing di

wilayah Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Arbitrase Asing. Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990, yang pada intinya mengatur tentang tahapan-tahapan serta prosedur dan persyaratan yang harus dilalui dalam rangka eksekusi putusan arbitrase asing yang mana harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemungkinan adanya upaya hukum terhadap pemberian eksekuatur pengadilan, dan penggunaan hukum acara perdata dalam hal tata cara eksekusi yang diatur dalam Pasal 195-224 HIR. Pembatalan putusan arbitrase asing diatur dalam Pasal 71 dan 72. Pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia sering terjadi kendala hukum yang menyebabkan terjadi titik singgung kewenangan peradilan umum dengan kewenangan absolut arbitrase sehingga putusan arbitrase

dalam sengketa e-commerce akan mendapat perlakuan yana sama.

B. Saran

Beberapa saran yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak yang terkait antara lain sebagai berikut:

1. Para pelaku bisnis dapat menggunakan teori pemilhan hukum Most

Characteristic Connection dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis

internasional e-commerce dimana hukum dari pihak penjual dianggap

memiliki prestasi yang paling khas, sehingga memberikan perlindungan hukum yang lebih terhadap konsumen apabila terjadi sengketa.

2. Pemerintah perlu melakukan pengkajian ulang terhadap pelaksanaan putusan


(6)

commit to user

yaitu terjadinya titik singgung kewenangan peradilan umum dengan kewenangan absolut arbitrase, sehingga diperlukan ratifikasi peraturan internasional secara keseluruhan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa supaya pelaksanaan arbitrase asing di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.