Karbon Nanoporous dari Biomasa Hutan melalui Proses Karbonisasi Bertingkat Pirolisis, Hidrotermal dan Aktivasi

KARBON NANOPOROUS DARI BIOMASA HUTAN
MELALUI PROSES KARBONISASI BERTINGKAT:
PIROLISIS, HIDROTERMAL DAN AKTIVASI

SAPTADI DARMAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Karbon Nanoporous
dari Biomasa Hutan melalui Proses Karbonisasi Bertingkat: Pirolisis, Hidrotermal
dan Aktivasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Saptadi Darmawan
NIM E262090044



Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
SAPTADI DARMAWAN. Karbon Nanoporous dari Biomasa Hutan melalui
Proses Karbonisasi Bertingkat: Pirolisis, Hidrotermal dan Aktivasi. Dibimbing
oleh WASRIN SYAFII, I NYOMAN J WISTARA, AKHIRUDIN MADDU dan
GUSTAN PARI.
Karbon nanoporous memiliki sifat unik sehingga banyak digunakan pada
beragam aplikasi seperti untuk baterai, superkapasitor, pendukung katalis dan
sensor. Karbon nanoporous dengan struktur mikropori, luas permukaan besar dan
volume pori tinggi dapat dihasilkan dari prekursor batu bara, turunan minyak
bumi dan biomasa berlignoseluosa. Batu bara dan turunan minyak bumi

bersumber dari fosil dimana suatu saat akan habis dan harganya cenderung naik,
sementara itu biomasa berlignoselulosa jumlahnya melimpah, dapat diperbaharui
dan lebih ramah terhadap lingkungan. Kayu dan limbah yang berbasiskan biomasa
merupakan sumber potensial untuk pembuatan karbon nanoporous karena
mengandung unsur karbon dan materi mudah menguap tinggi.
Karbon nanoporous dari biomasa berlignoselulosa dapat diperoleh melalui
tahapan karbonisasi dan aktivasi. Karbonisasi konvensional yang umum dilakukan
adalah karbonisasi pirolisis (KP) pada suhu antara 400-600oC. Pada kondisi ini
telah terbentuk struktur aromatik karbon pada arang (prekursor) sehingga untuk
menghasilkan karbon aktif dengan porositas tinggi diperlukan aktivator dalam
jumlah banyak. Dampak lain dari penggunaan aktivator adalah terbentuknya
produk turunan selama proses aktivasi. Untuk mendapatkan karbon dengan
tingkat kemurnian tinggi perlu menghilangkan produk pengotor tersebut melalui
proses pencucian menggunakan pelarut asam seperti HCl sehingga semakin
banyak aktivator yang digunakan, kebutuhan bahan kimia pencuci juga akan
semakin besar.
Alternatif teknik karbonisasi yang lebih ramah lingkungan adalah
karbonisasi hidrotermal (KH). Proses ini dilakukan pada suhu rendah (hemat
energi) dan berlangsung dalam reaktor tertutup menggunakan media air. Polutan
berupa gas sebagai bahan pencemar dapat diminimalisir. Produk karbonisasi

berupa arang-hidro bersifat amorf dan mengandung materi mudah menguap tinggi
sehingga akan lebih sedikit aktivator yang diperlukan untuk menghasilkan karbon
aktif dengan porositas tinggi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pada penelitian ini dilakukan
karbonisasi hidrotermal dan pirolisis pada suhu rendah untuk mendapatkan aranghidro dan arang dalam kondisi lunak.
Porositas tinggi pada karbon aktif dapat diperoleh melalui aktivasi kimia
menggunakan aktivator KOH. Melalui teknik ini dihasilkan luas permukaan lebih
dari 1,900 m2/g. Jumlah KOH yang digunakan masih cukup besar yaitu pada
perbandingan KOH:karbon berkisar antara 1:2 hingga 6:1 dan bahkan 8:1.
Perbandingan optimum untuk menghasilkan karbon aktif berukuran pori mikro
(nanoporous) rata-rata sebesar 3:1.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas kinerja KOH selama proses
aktivasi, maka teknik yang dapat dilakukan adalah mengkombinasikan antara
aktivasi kimia (KOH) dan uap air. Prinsip dari proses ini adalah memanfaatkan

produk turunan KOH seperti K2CO3, K dan K2O menjadi KOH melalui bantuan
uap air sehingga terjadi siklus KOH sehingga penggunaan KOH dapat dikurangi.
Tujuan penelitian ini adalah diversifikasi produk biomasa hutan menjadi
karbon nanoporous konduktif melalui proses karbonisasi pirolisis dan hidrotermal
suhu rendah, aktivasi menggunakan KOH rendah dikombinasikan dengan uap air,

dan pemanasan lanjutan untuk meningkatkan konduktivitas. Sasaran yang
diharapkan adalah diperoleh jenis biomasa hutan dan kondisi proses paling baik
untuk menghasilkan karbon nanoporous konduktif. Analisis dilakukan
menggunakan beberapa instrumen diantaranya XRD, FTIR, SEM, EDS, SAA,
TEM, LCR meter dan Py-GCMS serta dilakukan juga analisis proksimat dan
ultimat.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa karakteristik setiap biomasa
berpengaruh terhadap sifat karbon aktif yang dihasilkan. Kemampuan dalam
pembentukan porositas tidak hanya ditentukan oleh kandungan dan kadar
komponen kimia tetapi juga oleh sifat lain seperti morfologi, struktur kristalin,
materi mudah menguap dan proses karbonisasi. Pembentukan awal kerangka
karbon bersifat amorf merupakan kunci untuk mendapatkan arang dan arang-hidro
yang baik sebagai prekursor pembuatan karbon aktif atau karbon nanoporous.
Karbon nanoporous terbaik dihasilkan dari biomasa kayu pinus. Kayu pinus
memiliki kandungan selulosa rendah, lignin tinggi, morfologi permukaan porous
(permeabilitas baik), derajat kristalinitas rendah dan kandungan materi mudah
menguap lebih tinggi dibandingkan dengan kayu mangium. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kandungan selulosa tinggi dan lignin rendah pada kayu
mangium bukan merupakan faktor utama yang berdiri sendiri dalam menghasilkan
karbon aktif dengan porositas tinggi. Struktur kristalin dan morfologi permukaan

turut berperan menciptakan porositas yang tinggi.
Karbonisasi kayu pinus pada suhu 200oC merupakan tahap awal
pembentukan kerangka aromatik karbon bersifat amorf (lunak) dengan kadar
karbon terikat dan indeks kematangan karbon rendah serta materi mudah menguap
tinggi. Pada kayu mangium, awal perubahan terjadi pada suhu karbonisasi 300oC
sedangkan untuk tempurung kemiri diperlukan suhu lebih tinggi karena
kandungan ligninnya sangat besar.
Proses KH menghasilkan arang-hidro dengan struktur amorf dan memiliki
kandungan materi mudah menguap tinggi daripada karbonisasi pirolisis. Pada
proses aktivasi kondisi ini membantu penataan ulang unsur karbon bersifat
porous.
Aktivasi menggunakan KOH dalam jumlah kecil yang dikombinasikan
dengan uap air mampu menghasilkan karbon nanoporous dari biomasa kayu pinus
dan mangium. Porositas terbaik diperoleh dari prekursor arang-hidro pinus suhu
200oC menghasilkan luas permukaan sebesar 2,240 m2/g, total volume pori 1.58
cc/g dan diameter pori rata-rata 1.7 nm.
Pemanasan lanjutan berhasil
meningkatkan konduktivitas akan tetapi menurunkan porositas karbon
nanoporous.
Kata kunci: karbon nanoporous, hidrotermal, pirolisis, aktivasi KOH-uap air,

konduktivitas, biomasa.

SUMMARY
SAPTADI DARMAWAN. Nanoporous Carbon Derived from Forest Biomass
Through The Staged Carbonization: Pyrolysis, Hydrothermal and Activation.
Supervised by WASRIN SYAFII, I NYOMAN J WISTARA, AKHIRUDIN
MADDU and GUSTAN PARI.
Nanoporous carbon has unique properties that are widely used in various
applications such as for battery, supercapacitor, catalyst support and sensor.
Nanoporous carbon with microporous structure, wide surface area and high
porous volume can be produced from coal, petroleum derivate, and lignocellulose
biomass precursor. Coal and petroleum are derived from fossil which considered
as non-renewable resource and the price will always increase. On the contrary,
lignocellulose biomass is abundant, renewable resource and environmentally
friendly resource. Wood and waste biomass are regarded as potential source for
the production of nanoporous carbon due to the high carbon and volatile matter
content.
Nanoporous carbon from lignocellulose biomass can be produced through
carbonization and activation process. Conventional carbonization which
extensively used is pyrolysis carbonization (PC) at temperature 400-600oC. This

condition has produced large amount of aromatic carbon structure at char
(precursor). Large amount of activator is needed to produce high porosity.
However, it impacts on higher requirement of activator and impurity as by product
resulted from activator reaction will be formed at the activated carbon. In order to
obtain pure carbon, impurity material should be dilluted using acid solvent such as
hydrochloride acid. Thus, high number of activator will require higher solvent.
Another technique to produce precursor is hydrothermal carbonization
(HTC). This process takes place in a closed reactor using low temperature and
water as medium. The result of this process is hydrochar. The advantage of this
process is a low temperature reaction (saving the energy) and able to minimize the
gaseous pollutant as takes place in a closed reactor. Hydrochar products contain
high volatile matter and amorphous structure that facilitates the formation of
porosity in activated carbon. According to the situation mentioned above, this
research used HTC and PC at low temperature to produce charcoal and hydrochar
that have mild condition.
Among chemical activator, KOH is the best activator to generate high
porosity of activated carbon. Activation using KOH could produce surface area of
more than 1,900 m2/g with the addition of KOH into carbon varies from 1:2 to 6:1
and even 8:1. The optimum ratio to produce activated carbon with microporous
structure is 3:1. An effort which combines the chemical activation (KOH) and

steam could be a technique to improve the effectiveness performance of KOH
during activation process. The principle of this process is by utilizing the KOH
derivatives such as K2CO3, K and K2O into KOH using steam. Thus, the cycle of
KOH will be happened and the uses of KOH could be minimized.
The objective of this research was diversification product of forest biomass
into nanoporous carbon conductive through PC and HTC at low temperature,
lower KOH as activator agent combined by steam, and follow through heating to
increase conductivity. Intended target is acquired types of forest biomass and the

best process conditions to produce nanoporous carbon conductive. Analysis was
performed using several instruments i.e. XRD, FTIR, SEM, EDS, SAA, TEM,
LCR meter, ultimate and proximate analysis.
The results showed that the characteristics of each biomass influence on the
properties of activated carbon. The capacity to form porosity was not only
determined by the content and the level of chemical component on biomass but
also by other properties such as morphology, crystalline structure, volatile matter
and the carbonization process. The initial formation of amorphous carbon skeletal
is the key to get the char and hydrochar as good precursors to manufacture
nanoporous carbon. The best of nanoporous carbon produced from pine wood
biomass. Pine wood had lower cellulose, higher lignin, good permeability, lower

degree of crystallinity and higher volatile matter than mangium wood. This
indicated that higher cellulose and lower lignin at mangium were not a standalone major factor that affected high porosity of activated carbon. The crystalline
structure and surface morphology more affected the pine wood decomposition to
produce nanoporous carbon. Carbonization of pine wood at 200oC was the first
stage in the formation amorphous carbon skeleton with low fixed carbon, low
carbon maturity index and high volatile matter. For mangium wood, the early
changes occurred at 300oC while candlenut shell required higher temperature.
HTC process produced hydrochar with amorphous structure and had
higher volatile matter compared to pyrolysis carbonization. During the activation
process, this condition supported the re-arrangement of carbon element into high
porosity.
Activation process using small amount of KOH combined with steam
could produce nanoporous carbon from pine and mangium wood. The best
porosity was obtained from hydrocar pine precursors at carbonization temperature
200oC produces a surface area of 2,240 m2/g, total pore volume 1.58 cc/g and
average pore diameter 1.7 nm. Heating staged in order to increase the conductivity
was successfully performed but it decreased the porosity on carbon nanoporous.
Keywords: nanoporous carbon, hydrothermal, pyrolysis, KOH-steam activation,
conductivity, biomass.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KARBON NANOPOROUS DARI BIOMASA HUTAN
MELALUI PROSES KARBONISASI BERTINGKAT:
PIROLISIS, HIDROTERMAL DAN AKTIVASI

SAPTADI DARMAWAN

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada

Mayor Teknologi Serat dan Komposit

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

8

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS
Prof (R) Dr Ir Bambang Subyakto, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Erliza Noor, MS
Prof Dr Ir Buchori, MS

Judul Disertasi : Karbon Nanoporous dari Biomasa Hutan melalui Proses
Karbonisasi Bertingkat: Pirolisis, Hidrotermal dan Aktivasi
Nama
: Saptadi Darmawan
NIM
: E262090044

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Wasrin Syafii, MAgr
Ketua

I Nyoman J Wistara, PhD
Anggota

Dr Akhirudin Maddu, MSi
Anggota

Prof (R) Dr Gustan Pari, MSi BSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Serat dan Komposit

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Fauzi Febrianto, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 29 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ialah karbon nanoporous dengan judul Karbon Nanoporous dari
Biomasa Hutan melalui Proses Karbonisasi Bertingkat: Pirolisis, Hidrotermal dan
Aktivasi yang dilaksanakan melalui beberapa tahapan penelitian yaitu tahap
pendahuluan untuk memperdalam pemahaman materi dilakukan pada tahun 20112012 dan dilanjutkan dengan penelitian utama sejak akhir tahun 2012.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Wasrin Syafii,
MAgr selaku ketua komisi, I Nyoman J Wistara PhD, Dr Akhirudin Maddu MSi
dan Prof (R) Dr Gustan Pari, MSi BSc selaku anggota komisi pembimbing yang
telah dengan tulus dan sabar memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis
sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan Litbang
Kehutanan, Kementerian Kehutanan yang telah memberikan bantuan studi melalui
program research school pada tahun 2009, Kepala Balai dan keluarga besar Balai
Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPTHHBK) Mataram yang telah
mendukung sepenuhnya program ini, Kepala Pusat Litbang Keteknikan
Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) Bogor yang telah
memfasilitasi penggunaan sarana dan prasarana laboratorium, terutama keluarga
besar Laboratorium Terpadu, Kelti Kimia dan HHBK yang sangat mendukung
penulis, teman-teman program pascasarjana IPB, serta semua pihak yang telah
membantu kelancaran penelitian dan proses ini.
Khusus kepada kedua orang tua, Sukarya (alm) dan Dewi Sodja (alm),
penulis sampaikan rasa terimakasih yang tidak ternilai atas segala kasih sayang
dan bimbingannya selama membesarkan penulis. Berkat bekal doa dan
nasehatnyalah penulis dapat menyelesaikan studi ini. Seyogyanya kebahagiaan
yang penulis rasakan saat ini dapat juga dirasakan keduanya. Rasa terimakasih
disampaikan juga kepada mertua tercinta, Zainal Rakhmanudin dan D Habibah
(alm) serta keluarga besar penulis dan istri. Untuk istri tercinta Sitti Hanifah dan
keempat putra putri tersayang Syifa Kamila AD, Ilham Fadhilah SD, Akmal
Haidar MD dan Rafa Kemal FD mohon maaf apabila kurang mendapat perhatian
selama penulis melaksanakan studi, terimakasih atas segala dukungannya,.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014
Saptadi Darmawan

1

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Teknologi Nano
Karbon dan Karbon Nanoporous
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis Penelitian
Kebaruan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 BIOMASA HUTAN SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN
KARBON NANOPOROUS
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Persiapan dan Pengujian Komponen Kimia
Karakterisasi Nano Struktur (XRD)
Karakterisasi Morfologi Permukaan dan Kandungan Unsur
(SEM dan EDS)
Karakterisasi Gugus Fungsi (FTIR)
Hasil dan Pembahasan
Komponen Kimia
Morfologi Permukaan dan Kandungan Unsur (SEM dan EDS)
Nano Struktur (XRD)
Gugus Fungai (FTIR)
Simpulan dan Saran
3 KARBONISASI PIROLISIS DAN HIDROTERMAL PADA SUHU
RENDAH
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Karbonisasi Pirolisis (KP)
Karbonisasi Hidrotermal (KH)
Karakterisasi
Hasil dan Pembahasan
Karbonisasi Pirolisis (KP)
Karbonisasi Hidrotermal (KH)
Analisis Lanjutan Terhadap Prekursor Berpotensi Menghasilkan
Karbon Nanoporous
Simpulan dan Saran

1
1
1

1
3
4
4
4
5
5
8
8
9
9
9
10
10

10
10
11
14
17

17
18
18
19
19
19
20

22
22
29
36

39

2

4 SINTESIS DAN KARAKTERISASI KARBON NANOPOROUS
MELALUI AKTIVASI KOH DAN UAP AIR
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Bahan baku
Aktivasi
Karakterisasi
Hasil dan Pembahasan
Proksimat dan Gugus Fungsi (FTIR)
Nano Struktur (XRD)
Daya Jerap Iodin dan Konduktivitas Elektrik
Porositas dan Morfologi Permukaan (SEM dan TEM) Karbon
Aktif dari Prekursor Pinus Suhu 200oC
Simpulan dan Saran
5 SINTERING UNTUK MENINGKATKAN KONDUKTIVITAS
ELEKTRIK KARBON NANOPOROUS
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Persiapan Bahan Baku
Sintering Konvensional Modifikasi (SKM)
Spark Plasma Sintering (SPS)
Karakterisasi
Hasil dan Pembahasan
Sintering Konvensional Modifikasi (SKM)
Sprak Plasma Sintering (SPS)
Nanokarbon komersial
Simpulan dan Saran

40
40
41
41
41
43

44
44
46
50
53

56
57
57
58
58
58
59
59

60
60
63
64

67

6 PEMBAHASAN UMUM

69

7 SIMPULAN DAN SARAN

72

DAFTAR TABEL
2.1
2.2
2.3
2.4
3.1
3.2
3.3
3.4

Komponen kimia kayu pinus, mangium dan tempurung kemiri
Analisis proksimat kayu pinus, mangium dan tempurung kemiri
Kandungan unsur relatif biomasa menggunakan EDS
Analisis struktur kristal selulosa pinus, mangium dan tempurung
kemiri dari biomasa dan selulosa
Kandungan karbon terikat, materi mudah menguap dan kadar abu
pada produk karbonisasi pirolisis
Nano struktur arang dari proses karbonisasi pirolisis
Derajat kristalinitas, indeks kematangan karbon, tingkat aromatisasi
dan konduktivitas arang
Kandungan karbon terikat, materi mudah menguap dan kadar abu pada
produk karbonisasi hidrotermal

10
11
13
16
23
26
27
31

3

3.5
3.6

Struktur arang-hidro dari hasil analisis XRD
Derajat kristalinitas, indeks kematangan karbon, tingkat aromatisasi
dan konduktivitas arang-hidro
3.7 Analisis ultimat kayu, arang dan arang-hidro pinus suhu 200oC
3.8 Karakteristik isotermal adsopsi/desorpsi nitrogen pada arang dan
arang-hidro suhu 200°C
3.9 Kandungan senyawa hasil analisis Py-GCMS
4.1 Simbol perlakuan pada penelitian karbon aktif
4.2 Analisis proksimat karbon aktif
4.3 Struktur karbon aktif berdasarkan analisis XRD
4.4 Analisis sinar-X, daya jerap iodin dan konduktivitas karbon aktif
4.5 Karakteristik isotermal adsopsi/desorpsi nitrogen pada karbon aktif
arang dan arang-hidro pinus suhu 200°C
5.1 Analisis sinar-X karbon nanoporous hasil pemanasan lanjutan
5.2 Analisis sinar-X, daya jerap iodin dan konduktivitas karbon
nanoporous hasil pemanasan lanjutan
5.3. Karakteristik isotermal adsorpsi/desorpsi nitrogen karbon nanoporous
setelah sintering dan karbon nano komersial

33
34
36
38
39
42
44
47
49
54
62
62
66

DAFTAR GAMBAR
1.1
1.2
2.1
2.2

Skema kerangka pemikiran penelitian
Diagram alir penelitian
Morfologi permukaan kayu pinus, mangium dan tempurung kemiri
Hubungan antara unsur karbon terhadap karbon terikat dan unsur
oksigen terhadap materi mudah menguap
2.3 Derajat kristalinitas selulosa dan biomasa
2.4 Difraksi sinar-X biomasa dan selulosa dari mangium (merah),
pinus (biru) dan T. Kemiri (hijau)
2.5 Hubungan antara derajat kristalinitas dengan selulosa, lignin dan
karbon terikat
2.6 Plot nilai Z selulosa mangium, pinus, T. kemiri (SM, SP, STK) dan
biomasanya (KM, KP, TK)
2.7 Spektrum FTIR biomasa
3.1 Perangkat karbonisasi pirolisis
3.2 Perangkat karbonisasi hidrotermal
3.3 Produk karbonisasi pirolisis biomasa
3.4 Spektrum FTIR arang dari proses karbonisasi pirolisis
3.5 Difraktogram sinar-X arang
3.6 Morfologi permukaan arang kayu pinus, mangium dan T. kemiri
pada suhu 200oC dan 300oC
3.7 Produk karbonisasi hidrotermal
3.8 Skema hidrolisis biomasa pada karbonisasi hidrotermal
3.9 Spektrum FTIR arang dari proses karbonisasi hidrotermal
3.10 Difraktogram sinar-X arang-hidro

6
7
12
13
14
14
15
16
17
19
20
23
24
25
28
29
30
32
33

4

3.11 Morfologi permukaan arang-hidro kayu pinus, mangium dan
T. kemiri pada suhu 200oC dan 300oC
3.12 Morfologi permukaan arang (A) dan arang-hidro (B) pinus pada
suhu 200°C
3.13 Kurva isotermal adsopsi/desorpsi nitrogen arang (A) dan
arang-hidro (B)
4.1 Perangkat aktivasi
4.2 Spektrum FTIR karbon aktif dari prekursor arang (A) dan
arang-hidro (B)
4.3 Difraktogram karbon aktif dari prekursor arang (A) dan arang-hidro (B)
4.4 Difraktogram KA-KH2P dan KA-KH2P sebelum dicuci HCl
4.5 Hubungan antara jarak lapisan aromatik karbon terhadap aromatisasi (฀)
dan indeks kematangan karbon () pada karbon aktif
4.6 Hubungan antara derajat kristalinitas dengan daya jerap iodin pada
karbon aktif
4.7 Morfologi permukaan karbon aktif dari prekursor arang-hidro
4.8 Morfologi permukaan karbon aktif dari prekursor arang
4.9 Potensi karbon sphere pada karbon aktif
4.10 Kurva isotermal adsorption/desorpsi nitrogen KA-KP2P dan
KA-KH2P (A) dan NLDFT distribusi pori KA-KH2P (B)
4.11 Morfologi permukaan KA-KP2P (A) dan KA-KH2P (B)
4.12 Analisis TEM KA-KP2P (A) dan KA-KH2P (B)
5.1 Contoh holder untuk sintering konvensional dan SPS
5.2 Skema spark plasma sintering
5.3 Difraktogram sinar-X karbon aktif sintering SKM dan SPS
5.4 Morfologi permukaan karbon nanoporous disintering SKM
5.5 Morfologi permukaan karbon nanoporous disintering SPS
5.6 Difraktogram sinar-X karbon mesopori (biru) dan karbon
nanopowder (merah)
5.7 Morfologi permukaan karbon nano komersial
5.8 Kurva isotermal adsorption/desorpsi nitrogen karbon nanoporous
disintering SKM dan SPS
5.9 Analisis TEM pada permukaan karbon mesoporous (A),
nanopowder (B) dan nanoporous-SKM Li2O (C)

35
37
38
42
45
46
47
50
50
51
52
53
54
55
55
58
59
61
63
64
65
65
66
67

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Teknologi Nano
Teknologi nano secara garis besar didefinisikan sebagai: 1) penelitian dan
pengembangan teknologi pada tingkat atom, molekul atau makromolekul
berukuran 1-100 nm; 2) membentuk dan menggunakan nano struktur, peralatan
dan sistem dalam skala nano untuk mendapatkan sifat-sifat dan fungsi baru; 3)
memanipulasi dan mengontrol bahan dalam skala atom (EPA 2007). Definisi
sederhana teknologi nano adalah mempelajari dan merangkai materi berukuran 1100 nm yang sifatnya secara fisik, kimia dan biologi benar-benar berbeda dari
material sebelumnya (Moon et al. 2011). Teknologi nano tidak hanya sebatas pada
bahan berukuran nano meter saja akan tetapi dipengaruhi juga oleh bentuk dan
komposisi (fisik, kimia dan biologi).
Suatu bahan berukuran nano belum dapat dikategorikan sebagai produk
teknologi nano apabila memiliki sifat sama dengan bahan sebelumnya yang
berukuran makro (Ratner 2009). Cara membentuk dan memanipulasi materi
berukuran nano dapat dilakukan melalui proses penumbuhan bahan berukuran
nano dari atom atau molekul (bottom-up); dan pembentukan bahan nano dengan
cara menghancurkan, menghaluskan atau menguraikan bahan berukuran makro
(top-bottom) (EPA 2007). Bahan berlignoselulosa merupakan salah satu
polisakarida alami yang melimpah sebagai bahan baku pembuatan selulosa nano
serat (Beecher 2007) dan sumber karbon untuk pembuatan karbon nano seperti
carbon nanofiber, carbon nanoparticle dan carbon nanoporous. Keunggulan dari
biomasa berlignoselulosa sebagai bahan baku pembuatan produk nano adalah
sifatnya yang dapat diperbaharui dan mengandung unsur karbon cukup tinggi.
Aplikasi teknologi nano telah diterapkan pada kehidupan sehari-hari di
bidang elektronik, otomotif dan kesehatan atau kosmetik. Produk teknologi nano
diantaranya transistor, chip, sensor, sel surya, baterai, superkapasitor, cat, kaca,
pelapis pada mesin, perangkat interior untuk otomotif, pakaian, dan hemodialisis.
Produk nano sederhana dalam kehidupan sehari-hari yang telah komersilkan dan
mudah dijumpai diantaranya terdapat pada produk pembersih wajah, sikat gigi dan
alas kaki untuk kesehatan.
Karbon dan Karbon Nanoporous
Karbon bersifat unik tidak seperti kebanyakan unsur lain karena memiliki
keragaman bentuk (Beecher 2007). Polimorf tersusun dari unsur-unsur karbon
dengan struktur fisik dan nama berbeda seperti grafit dan berlian. Istilah karbon
lebih ditekankan sebagai material yang memiliki struktur atom sp 2 diantaranya
grafit, serat karbon, karbon aktif dan pirolitik karbon (Pierson 1993).
Grafit dan amorphous karbon (karbon aktif) banyak digunakan dalam
bidang elektrokimia karena bersifat porous, tahan terhadap bahan kimia, relatif
murah dan konduktif. Sifat konduktif karbon khususnya pada lapisan graphene
disebabkan oleh pergerakan elektron dan hole. Elektron bermuatan negatif,
posisinya sangat dekat dengan atom C pada struktur heksagonal, sedangkan hole

2

bermuatan positif berada ditengah-tengah struktur heksagonal karbon (Fujita dan
Suzuki 2010). Keistimewaan karbon ini tidak dimiliki oleh senyawa lain seperti
logam, lempung dan transisi metal sulfida. Sifat bimodial inilah yang menjadikan
material karbon banyak digunakan sebagai elektroda pada perangkat energi.
Karbon nanoporous adalah material karbon dengan pori berskala nano,
dapat dihasilkan melalui proses template dan aktivasi. Pada proses templat
digunakan bahan anorganik seperti silika dan zeolit sebagai template dan bahan
polimer diantaranya poly(vinyl alcohol), poly(ethylene terephthalate), polyimide
dan propilene sebagai sumber karbon. Pada akhir proses, template harus
dihilangkan dengan menggunakan pelarut asam kuat bersifat korosif seperti
hidrogen sulfida sehingga untuk produksi dalam skala besar masih sulit dilakukan
(Enterría et al. 2012). Teknik aktivasi guna mendapatkan karbon nonoporous
lebih memungkinkan digunakan dalam skala besar. Teknik ini pada umumnya
dilakukan dalam dua tahap yaitu karbonisasi dan aktivasi. Pirolisis atau
karbonisasi kering merupakan karbonisasi konvensional yang selama ini banyak
digunakan untuk menghasilkan karbon. Alternatif karbonisasi yang saat ini sedang
dikembangkan dan ramah lingkungan untuk menghasilkan karbon nano adalah
karbonisasi hidrotermal. Karbonisasi hidrotermal (KH) dilakukan dalam reaktor
tertutup menggunakan media air. Pada proses KH dibawah titik kritis air
(subcritical water) dihasilkan tekanan yang dibangkitkan secara alami dari uap air
dalam reaktor (Titirici et al. 2008a).
Aktivasi dilakukan untuk menciptakan luas permukaan yang tinggi pada
karbon, baik melalui aktivasi kimia, fisik atau kombinasi dari keduanya (Simon
dan Burke 2008, Doménech-Carbo 2010). Selama proses aktivasi terjadi penataan
unsur karbon bersamaan dengan keluarnya bahan mudah menguap (GomezSerrano et al. 1996) sehingga tercipta porositas. Gas yang dilepaskan selama
proses karbonisasi dan aktivasi diantaranya CO2 dan CO (Ehrburger et al. 1986).
Kemampuan dalam mengendalikan pembentukan struktur pori dan sifat
dinding pori yang terdiri dari lapisan karbon heksagonal, menjadikan karbon ini
banyak digunakan untuk beragam aplikasi (Demiral et al. 2008, Inagaki et al.
2010). Untuk aktivasi kimia, aktivator KOH memiliki keunggulan daripada
aktivator lain (Raymundo-Pinero et al. 2005). KOH dapat bereaksi secara efektif
pada berbagai macam bahan polimer dan karbon, termasuk tingginya penyusunan
struktur heksagonal karbon dan pembentukan pori berukuran nano (Kierzek et al.
2006). Kalium lebih mudah terinterkalasi diantara lapisan graphene (RaymundoPinero et al. 2005), karena potassium memiliki titik didih lebih rendah (Guo et al.
2002) dan tekanan uap lebih besar dari natrium. Interkalasi ini merupakan salah
satu proses pembentukan porositas. Karbon aktif atau karbon nanoporous dengan
luas permukaan 2,110 m2/g, volume pori 0.92 cm3/g dan diameter pori rata-rata
2.01 nm dapat dicapai pada kondisi aktivasi inert dengan menggunakan KOH
tinggi (Cao et al. 2014).
Kedepan, kemampuan karbon nanoporous untuk beberapa aplikasi tidak
hanya ditentukan oleh porositas yang tinggi dengan struktur mikropori tetapi juga
harus bersifat konduktif (Tseng et al. 2008). Untuk mendapatkan karbon
nanoporous konduktif dengan struktur mikropori maka pada penelitian ini
dilakukan aktivasi bertahap. Tahap pertama adalah karbonisasi biomasa pada
suhu rendah menggunakan proses pirolisis dan hidrotermal. Pada tahap kedua
dilakukan aktivasi menggunakan KOH dalam jumlah kecil yang dikombinasikan

3

dengan uap air pada suhu 800oC. Tahapan berikutnya pemanasan lanjutan
(sintering) untuk meningkatkan konduktivitas.

Perumusan Masalah
Setiap biomasa berlignoselulosa memiliki karakteristik tersendiri yang
akan berpengaruh terhadap proses dan sifat karbon aktif yang dihasilkan.
Biomasa berlignoselulosa sangat potensial menggantikan atau mensubtitusi
karbon nanoporous yang bersumber dari minyak bumi, batu bara dan produk
turunannya. Pada penelitian ini digunakan tiga jenis biomasa yaitu kayu pinus,
kayu mangium dan tempurung kemiri, dimana masing-masing mewakili dari
kelompok kayu daun jarum, kayu daun lebar dan non-kayu. Karakteristik dari
ketiga bahan baku tersebut perlu dipelajari lebih mendalam, sifat-sifat apa saja
yang mempengaruhi proses dan produk karbon aktif.
Pirolisis merupakan teknik karbonisasi konvensional pada suhu sekitar 400500oC untuk mendapatkan produk antara (Chen et al. 2009) berupa arang sebagai
prekursor pembuatan karbon aktif. Arang-hidro dari proses karbonisasi
hidrotermal merupakan proses alternatif yang sangat potensial untuk mendapatkan
karbon dengan porositas tinggi (Chen et al. 2009, Inagaki et al. 2010). Aranghidro kaya gugus fungsi yang akan berperan dalam pembentukan pori. Sejauh ini
karbonisasi hidrotermal banyak diteliti untuk mendapatkan karbon sphere dari
bahan baku berbasis sakarida atau polisakarida sederhana (Cagnon et al. 2009,
Wang et al. 2011).
Prekursor dengan tingkat derajat kristalinitas tinggi akan membutuhkan
aktivator dalam jumlah besar dan lebih sulit mendapatkan karbon aktif dengan
porositas tinggi. Aromatik karbon mulai terbentuk pada karbonisasi pirolisis suhu
350°C (Shafizadeh dan Sekiguchi 1983) dan semakin meningkat dengan naiknya
suhu. Sehubungan dengan hal tersebut maka pada peneltian ini dilakukan
karbonisasi pirolisis dan hidrotermal pada suhu rendah. Melalui karbonisasi yang
lunak ini diperoleh prekursor dengan tingkat keteraturan (derajat kristalinitas)
rendah dan materi mudah menguap tinggi sehingga dapat memudahkan
pembentukan karbon aktif dengan porositas tinggi.
Proses aktivasi yang selama ini banyak diteliti, menggunakan aktivator
dalam jumlah besar dan kondisi hampa udara (inert atmosphere) menggunakan
gas nitrogen dan helium (Yoon et al. 2004, Perez et al. 2006, Adebowale dan
Adebowale 2008). Secara operasional penggunaan gas tersebut memerlukan
biaya tinggi (Li et al. 2010). Pemakaian KOH dalam jumlah besar selain akan
meningkatkan biaya juga berdampak terhadap pemakaian pelarut asam (HCl)
yang tinggi. Pelarut HCl digunakan untuk memurnikan karbon dari pengotor
seperti mineral, KOH dan produk turunan KOH dari proses aktivasi. Untuk
mengurangi pemakaian KOH dan menghindari kondisi inert maka diperlukan
metode lain. Pada penelitian dilakukan teknik aktivasi kimia menggunakan KOH
rendah yang dikombinasikan dengan uap air dalam kondisi atmosfer.
Penelitian material karbon dengan tingkat kristalinitas rendah (amorphous
karbon) belum banyak mengungkap mengenai sifat konduktivitas elektrik
walaupun untuk beberapa aspek sudah banyak pelajari (Kennedy et al. 2005).
Karbon aktif dengan porositas tinggi (nano porous) memiliki keterbatasan dari

4

sifat konduktivitas. Beberapa peneliti memperoleh konduktivitas karbon porous
yang masih rendah yaitu sebesar 8.02x10-3 - 3.28x10-2 Sm-1 dan 0.67 Sm-1 (Kim
dan Choi 2002, Kennedy et al. 2005), sehingga perlu dilakukan proses lanjutan
untuk meningkatkan sifat konduktivitas.
Pembentukan karbon nanoporous konduktif dari biomasa melalui proses
pemanasan bertingkat (karbonisasi pirolisis dan hidrotermal pada suhu rendah,
aktivasi KOH-uap air dan pemanasan lanjutan) perlu dikaji lebih mendalam.
Berdasarkan uraian diatas maka beberapa masalah penelitian yang perlu
dijawab adalah:
1. Apakah ketiga bahan baku yang digunakan pada penelitian ini akan
menghasilkan karbon nanoporous?
2. Apakah penggunaan KOH dalam jumlah kecil yang dikombinasikan dengan
uap air mampu menghasilkan karbon nanoporous?
3. Apakah pemanasan bertingkat mampu menghasilkan karbon nanoporous
dengan konduktivitas baik?
4. Bagaimana karakteristik produk dari setiap tahap yang dilakukan?

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Diversifikasi produk biomasa hutan menjadi karbon nanoporous konduktif
melalui proses karbonisasi (pirolisis dan hidrotermal) pada suhu rendah,
aktivasi „lunak‟ dan pemanasan lanjutan.
2. Mempelajari karakteristik bahan baku dan pengaruhnya terhadap sifat karbon
nanoporous yang dihasilkan.
3. Menentukan jenis dan kondisi karbonisasi dalam menghasilkan arang atau
arang-hidro terbaik sebagai prekursor pembuatan karbon nanoporous.
4. Mempelajari teknik aktivasi kimia menggunakan KOH yang dikombinasikan
dengan uap air dan pemanasan lanjutan untuk mendapatkan karbon nanoporous
konduktif.

Manfaat Penelitian
1. Diversifikasi produk biomasa hutan menjadi karbon nanoporous konduktif.
2. Menyediakan informasi mengenai karakteristik bahan baku dan proses
karbonisasi yang potensial mendapatkan karbon aktif/nanoporous dari biomasa
terbarukan.
3. Mendapatkan produk karbon nanoporous dari proses karbonisasi dan aktivasi
pada kondisi lunak yaitu karbonisasi pada suhu rendah (pirolisis dan
hidrotermal) dan penggunaan aktivator dalam jumlah kecil.

Hipotesis Penelitian
1. Kayu mangium dan pinus dapat menghasilkan karbon nanoporous konduktif.

5

2. Karbon aktif dengan porositas tinggi (nanoporous) dapat diperoleh dari
biomasa berlignoselulosa yang memiliki kandungan selulosa tinggi dan lignin
rendah.
3. Karbon aktif dari prekursor arang-hidro menghasilkan karbon aktif dengan
porositas tinggi.
4. Konduktivitas dapat ditingkatkan melalui pemanasan lanjutan.
Kebaruan Penelitian
Kebaruan penelitian ini adalah diketahuinya karakteristik biomasa dan
arang/arang-hidro yang berpengaruh terhadap pembentukan porositas, dan teknik
menghasilkan karbon aktif dengan porositas tinggi menggunakan kondisi
karbonisasi dan aktivasi „lunak‟.
Ruang Lingkup Penelitian
Kerangka pikir penelitian ini selengkapnya disajikan pada Gambar 1.1.
Untuk mencapai tujuan, ruang lingkup penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap
kegiatan sebagaimana disajikan pada diagram alir penelitian (Gambar 1.2).
Pada BAB 1 merupakan pendahuluan yang menguraikan mengenai
latarbelakang, perumusan malasah, tujuan, manfaat, hipotesis, kebaruan dan ruang
lingkup penelitian. Penelitian tahap pertama (BAB 2) dititik beratkan pada
karakterisasi dan analisis biomasa hutan sebagai bahan baku pembuatan karbon
nanoporous. Tahap kedua (BAB 3) berisikan proses karbonisasi, karakterisasi dan
analisis terhadap produk karbonisasi pirolisis dan hidrotermal suhu rendah sebagai
prekursor pembuatan karbon aktif atau karbon nanoporous. Selanjutnya pada
tahap ketiga (BAB 4) adalah proses aktivasi, karakterisasi dan analisis produk
aktivasi. Untuk meningkatkan konduktivitas maka tahap keempat (BAB 5)
dilakukan aktivasi konduktivitas melalui pemanasan lanjutan menggunakan teknik
sintering dengan penambahan (doping) logam. Tahapan selanjutnnya (BAB 6 dan
BAB 7) adalah pembahasan umum dan kesimpulan.

6

Bahan Baku

Proses

Sifat Konduktivitas

Latar Belakang

Biomasa berlignoselulosa
merupakan sumber karbon
terbarukan untuk pembuatan
karbon nanoporous

Prekursor pembuatan karbon nanoporous dari
dihasilkan dari proses pirolisis biomasa pada
suhu tinggi

Karbon nanoporous
konduktif sangat prospektif

Permasalahan

- Setiap bahan baku memiliki
karakteristik tersendiri
- Sumber karbon nanoporous
umumnya berasal dari bahan
baku tidak terbarukan

Prekursor dari karbonisasi suhu tinggi bersifat
kaku (derajat kristalinitas tinggi) sehingga
diperlukan aktivator dalam jumlah besar dan
kondisi inert

Konduktivitas karbon
nanoporous masih rendah

Karbon nanoporous dapat
dihasilkan dari biomasa dengan
kandungan selulosa tinggi dan
lignin rendah seperti kayu
mangium dan pinus

- Karbon aktif dari prekursor arang-hidro
menghasilkan karbon aktif dengan porositas
tinggi (nanoporous)
- Konduktivitas dapat ditingkatkan melalui
pemanasan lanjutan

- Porositas dan konduktivitas
berkorelasi negatif
- Konduktivitas dapat
ditingkatkan melalui
pemanasan lanjutan

Karakterisasi dan kajian bahan
baku

- Karbonisasi hidrotermal dan pirolisis suhu
rendah
- Aktivator rendah dikombinasikan dengan
uap air (aktivasi)

Meningkatkan
konduktivitas dengan
teknik sintering

Diversivikasi biomasa
berlignoselulosa

Teknologi pembentukan karbon nanoporous
konduktif pada kondisi karbonisasi dan
aktivasi lunak

Karbon nanoporous
konduktif

Hipotesis

Pemecahan masalah

Tujuan

Gambar 1.1 Skema kerangka pemikiran penelitian

7
Tahap 1: Persiapan dan Karakterisasi Bahan Baku
Serbuk kayu pinus,
mangium dan
tempurung kemiri

Karakterisasi:
2, 10 (terpilih);
1, 3, 4, 6, 7
Karakterisasi
1. Komponen Kimia

Tahap 2: Karbonisasi
Pirolisis (KP)
Suhu
: 200 dan 300 oC
Waktu : 6 jam

Arang dan
arang-hidro

Hidrotermal (KH)
Suhu
: 200 dan 300oC
Waktu : 6 jam
Air
: 1/3 volume digester
Biomas : 15% berat air

Karakterisasi:
2, 9, 10
(terpilih);
3, 4, 6, 7, 8

Karbon nanoporus terpilih (daya
jerap iodin, konduktivitas)

3. Kandungan unsur
(EDS)
4. Gugus fungsi (FTIR)
5. Porositas (daya jerap
iodin)
6. Morfologi permukaan
(SEM)
7. Nano struktur (XRD)

Tahap 3: Aktivasi
KOH:arang/arang-hidro : 1:3 (b/b)
Suhu
: 800oC
Steam
: 30 menit

2. Senyawa kimia
(Py- GCMS)

Karbon aktif
Karakterisasi:
2, 9, 11 (terpilih);
4, 5, 6, 7, 8,

Tahap 4: Peningkatan Konduktivitas
Karbon nanoporous terpilih
Sintering+doping = Logam : Karbon = 1:5
Sintering konvensional
SPS
o
Suhu : 900 C
Suhu : 1.300oC
Waktu : 1 jam
Waktu : 18 menit
Karbon Nanoporous
Konduktif
Karakterisasi: 6, 7, 8, 9

Gambar 1.2 Diagram alir penelitian

8. Konduktivitas elektrik
(LCR meter)
9. Luas permukaan,
volume pori dan
diameter pori (SAA)
10. C,H,O,N,S (analisis
ultimat)
11. Morfologi skala nano
(TEM)

8

2 BIOMASA HUTAN SEBAGAI BAHAN BAKU
PEMBUATAN KARBON NANOPOROUS
Pendahuluan
Bahan baku pembuatan karbon nanoporous sebagian besar bersumber dari
minyak bumi dan batu bara serta produk turunannya. Batu bara dapat
menghasilkan karbon aktif dengan struktur mikropori (diameter pori < 2 nm), luas
permukaan tinggi dan volume pori besar (Ahmadpour dan Do 1996) yang
dikategorikan sebagai karbon nanoporous. Ketersediaan bahan baku dari sumber
fosil sangat terbatas karena tidak terbarukan dimana suatu saat akan habis. Bahan
baku alternatif yang potensial untuk pembuatan karbon aktif dengan porositas
tinggi adalah biomasa berlignoselulosa (Chuenklang et al. 2002, Ishida et al.
2004, Adebowale dan Adebowale 2008, Choi et al. 2012). Biomasa mengandung
unsur karbon sekitar 50%, bersifat terbarukan, ketersediaan di alam melimpah dan
ramah terhadap lingkungan (Sharon et al. 2007, Bin et al. 2008, Hu et al. 2008).
Biomasa berlignoselulosa disusun oleh tiga komponen utama yaitu selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Masing-masing komponen mempunyai karakteristik
berbeda. Selulosa memiliki derajat kristalinitas tinggi sementara itu hemiselulosa
dan lignin bersifat amorf. Selulosa disusun dari unit monomer -D-Glukopiranosa
dengan derajat polimerisasi tinggi dan berantai lurus; hemiselulosa disusun oleh
beragam sakarida seperti xilosa, manosa, glukosa dan galaktosa dalam susunan
tidak teratur, bercabang dan berstruktur amorf sehingga lebih mudah
terdekomposisi pada suhu rendah dibandingkan dengan selulosa; sementara itu
lignin disusun dari unit phenil propana berupa cincin aromatik dengan susunan
bercabang sehingga memiliki rentang suhu yang lebar untuk terdekomposisi.
Kandungan unsur karbon pada lignin lebih tinggi dari komponen lainnya
yaitu sebesar 61% sedangkan untuk selulosa dan hemiselulosa masing-masing
sebesar 42% dan 40% (Cao et al. 2014). Biomasa dengan kandungan selulosa
tinggi dan lignin rendah berpotensi menghasilkan karbon aktif dengan struktur
mikropori (Simon dan Burke 2008, Doménech-Carbo 2010). Hal tersebut sejalan
dengan penelitian Petrov et al. (1999) yang melakukan simulasi pembuatan
karbon porous dari selulosa dan lignin pada komposisi berbeda.
Komponen lain dalam biomasa, jumlahnya sangat sedikit diantaranya adalah
ekstraktif dan bahan anorganik atau mineral. Ekstraktif mengandung monomer
gula terutama glukosa dan fruktosa yang rentan terhadap dekomposisi oleh panas
pada suhu rendah begitu juga halnya dengan tanin, resin dan pati sementara itu
mineral bersifat stabil (Garrote et al. 1999, Knezevic et al. 2009, Reza et al.
2013a, Reza et al. 2013b).
Selulosa alami memiliki struktur kristal selulosa Iα dan I. Komposisi
selulosa Iα dan I pada biomasa sangat bervariasi (Wada et al. 2001). Selulosa I
dengan struktur kristal monoklinik lebih tahan terdekomposisi oleh panas
dibandingkan selulosa Iα yang memiliki struktur triklinik (Wada et al. 2010).
Pada tumbuhan kayu keras, struktur kristal didominasi oleh selulosa I (Wada et
al. 2001). Struktur kristal ini akan berpengaruh terhadap pembentukan karbon
nanoporous.

9
Pada penelitian ini digunakan biomasa dari jenis kayu pinus (Pinus
merkusii), mangium (Acacia mangium) dan tempurung kemiri (Aleurites
moluccana). Pinus termasuk ke dalam kelompok kayu daun jarum, mangium
kayu daun lebar dan tempurung kemiri merupakan produk hasil hutan bukan kayu.
Karakteristik dari masing-masing biomasa berlignoselulosa ini akan diidentifikasi
untuk mengetahui potensinya sebagai bahan baku pembuatan karbon nanoporous.
Beberapa instrumentasi yang digunakan untuk menganalisis biomasa tersebut
diantarnya scanning electron microscope (SEM) yang digabung dengan energy
dispersive X-ray spectroscopy (EDS), fourier transform infra-red (FTIR) dan Xray diffraction (XRD).

Bahan dan Metode
Persiapan dan Pengujian Komponen Kimia
Kayu pinus, mangium dan tempurung kemiri dibuat serbuk berukuran lolos
saringan 40 dan tertahan di 60 mesh. Kadar lignin ditetapkan berdasarkan standar
TAPPI 222 om-88, untuk lignin terlarut asam digunakan metode
spektophotometer pada bilangan gelombang 205nm, penetapan kelarutan dalam
alkohol-benzena menggunakan TAPPI 204 om-88, selulosa TAPPI T17m-55.
Untuk analisis proksimat yaitu penentuan kadar karbon terikat, kadar abu dan
materi mudah menguap dilakukan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI)
1-3730 mengenai Arang Aktif (BSN 1995).
Karakterisasi Nano Struktur (XRD)
Analisis struktur kristalin biomasa dan selulosa dari biomasa dilakukan
menggunakan instrumen difraktometer sinar-X (XRD) Shimadzu 7000 dengan
sumber radiasi tembaga (Cu). Analisis dilakukan pada energi sebesar 40kV, arus
30mA, kecepatan pemindai 2°/menit, pencatatan data setiap 0.02° dan sudut
pemindaian antara 10-80o. Parameter yang diamati dari analisis XRD adalah
derajat kristalinitas, nilai Z (penentuan dominansi antara selulosa Iα dan I) dan
perbandingan antara selulosa Iα dan I. Penetapan nilai Z dilakukan menggunakan
parameter d1 (100 dan 010) dan d2 (110 dan 1-10) (Wada et al. 2010) dengan
persamaan:
Z = 1693d1 - 902d2 - 549
Apabila nilai Z > 0 mengindikasikan dominasi selulosa Iα dan apabila Z < 0
didominasi selulosa I. Untuk penetapan perbandingan antara selulosa Iα/I
digunakan persamaan:
d1x/y = 0.613(x/10) + 0.602(y/10)
d2x/y = 0.535(y/10) + 0.529(x/10)
dimana x + y = 10. Apabila perbandingan Iα/I adalah 0:10 maka selulosa
didominasi oleh selulosa I dengan nilai d1=0.602 nm dan d2=0.535 nm. Rasio
nilai Iα/I diplotkan dalam diagram Z.

10
Karakterisasi Morfologi Permukaan dan Kandungan Unsur (SEM dan EDS)
Instrumen scanning electron microscope (SEM) EVO 50 Carl Zeiss
dignakan untuk melihat morfologi permukaan biomasa. Penetapan kandungan
unsur dilakukan dengan energy dispersive X-ray spectroscopy (EDS) yang
ditandem (gabung) dengan perangkat SEM. Pengambilan contoh dilakukan dalam
bentuk area (luasan) pada energi sebesar 20kV.
Karakterisasi Gugus Fungsi (FTIR)
Analisis FTIR dilakukan dengan cara mencampur contoh uji sebanyak 4 mg
dengan KBr seberat 200 mg, kemudian dibuat pelet berukuran diameter 1.3 cm
dan tebal 0.5 dengan tekanan kempa 6 ton. Serapan ukur menggunakan spektrum
infra merah FTIR Tensor Bruker. Data yang diambil dalam bentuk transmisi pada
bilangan gelombang 400-4000cm-1 dengan resolusi sebesar 16cm-1 dan pemindai
5 scan.

Hasil dan Pembahasan
Komponen Kimia
Kadar komponen kimia dari ketiga bahan baku sangat bervariasi, perbedaan
yang cukup besar terjadi pada tempurung kemiri (T. kemiri) dibandingkan dengan
kayu pinus dan magium (Tabel 2.1). Kandungan selulosa tertinggi terdapat pada
kayu mangium diikuti kayu pinus dan T. kemiri. Kadar lignin tertinggi terdapat
pada T. kemiri diikuti kayu pinus dan kayu mangium. Kandungan lignin yang
besar pada T. kemiri berpotensi menghasilkan karbon aktif dengan rendemen
tinggi (Cagnon et al. 2009, Peters 2011) karena unsur karbon pada lignin lebih
banyak (Cao et al. 2014) dan sifatnya lebih tahan terhadap dekomposisi panas
(Poletto dan Zattera 2013) dibandingkan selulosa dan hemiselulosa.
Tabel 2.1 Komponen kimia kayu pinus, mangium dan tempurung kemiri
Komponen Kimia
Selulosa (%)
Hemiselulosa (%)
Lignin total (%)
Lignin klason
Lignin terlarut asam
Kel. alkohol-benzena (%)

Pinus
43.74
16.20
29.14
28.99
0.15
3.20

Biomasa
Mangium
44.69
22.39
27.91
27.76
0.15
5.55

T. kemiri
25.77
28.73
36.02
36.00
0.02
8.53

Potensi rendemen tinggi juga dapat diketahui dari besarnya kandungan
karbon terikat (Tabel 2.2), namun demikian struktur lignin yang kaku dan sedikit
mengandung materi mudah menguap akan sulit menciptakan karbon aktif dengan
porositas tinggi dibandingkan dengan kayu pinus dan mangium. Kandungan
selulosa akan berkontribusi terhadap pembentukan mikropori dan sebaliknya
untuk lignin (Cagnon et al. 2009). Untuk mendapatkan karbon aktif dengan

11
porositas tinggi, aktivasi T. kemiri perlu dilakukan pada kondisi lebih „keras‟.
Terdapatnya abu atau mineral yang tinggi pada T. Kemiri juga akan menghambat
terbentuknya porositas (Moreno-Castilla et al. 1998). Kayu mangium lebih
berpeluang menghasilkan karbon nanoporous dibandingkan kayu pinus apabila
dilihat dari kandungan selulosa dan lignin. Hal ini didukung juga dari komponen
hemiselulosa yang jauh lebih tinggi. Hemiselulosa dapat menyumbang sebagai
materi mudah menguap atau gas (Cagnon et al. 2009) yang membantu
pembentukan pori.
Analisis proksimat ternyata menunjukkan hasil yang tidak sejalan dengan
komposisi komponen kimia terutama antara kayu pinus dan mangium.
Kandungan materi mudah menguap kayu pinus justru lebih tinggi dibandingkan
dengan kayu mangium (Tabel 2.1 dan Tabel 2.2). Untuk T. kemiri
kecenderungannya telah sesuai dengan komposisi kimia yang ada. Fenomena ini
diduga dipengaruhi oleh morfologi dan sifat kristalografi, yang akan diungkap
pada pembahasan selanjutnya menggunakan instrumentasi SEM dan XRD.
Materi mudah menguap berperan dalam pembentukan porositas pada saat
karbonisasi dan aktivasi dilakukan (Manocha et al. 2010). Kandungan materi
mudah menguap pada kayu pinus lebih tinggi mengindikasikan bahwa kayu pinus
berpotensi menghasilkan karbon aktif dengan porositas tinggi. Tingginya
kandungan ini berdampak terhadap kandungan karbon terikat. Pelepasan karbon
dalam bentuk gas CO dan CO2 saat karbonisasi dan aktivasi akan mengurangi
jumlah karbon terikat atau akan menghasilkan rendemen lebih rendah.
Tabel 2.2 Analisis proksimat kayu pinus, mangium dan tempurung kemiri
Parameter
Karbon terikat
Materi mudah menguap
Kadar abu

Pinus
15.64
84.05
0.31

Biomasa
Mangium
17.47
82.01
0.52

T. kemiri
28.30
65.39
6.31

Morfologi Permukaan dan Kandungan Unsur (SEM dan EDS)
Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui morfologi permukaan
terutama rongga atau porositas biomasa. Berdasarkan hasil analisis SEM, ketiga
biomasa memiliki morfologi yang sangat berbeda (Gambar 2.1). Pada bidang
radial dan tangensial, struktur kayu pinus lebih porous dibandingkan kayu
mangium. Rongga (pembuluh) kayu pinus tampak lebih terbuka dan memanjang.
Sifat ini merupakan ciri khas dari kelompok kayu daun jarum yaitu memiliki serat
panjang berupa sel trakeida sehingga permeabilitas pada kayu pinus akan lebih
baik. Ukuran serat pada kayu mangium yang termasuk dalam kelompok kayu
daun lebar, lebih pendek dan kecil. Rongga yang tebuka lebih sedikit dan pada
permukaan bahan cenderung mempertahankan keutuhan serat. Rongga yang
tampak pada bidang tangensial kayu mangium merupakan celah diantara jalinan
serat kayu. Sementara itu struktur T. kemiri sangat berbeda dengan kayu.
Kandungan lignin yang tinggi menyebabkan struktur T. kemiri terlihat sangat
padat sehingga sangat sedikit rongga alami yang tersedia.
Morfologi permukaan karbon dan karbon aktif yang terbent