Formulasi Strategi Komunikasi Kebijakan Kehutanan Kasus Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan

FORMULASI STRATEGI KOMUNIKASI KEBIJAKAN
KEHUTANAN: KASUS PEMBANGUNAN KESATUAN
PENGELOLAAN HUTAN

JULIJANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Formulasi Strategi Komunikasi
Kebijakan Kehutanan: Kasus Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya ini kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Pebruari 2015

Julijanti
E161100111

iv

RINGKASAN
JULIJANTI. Formulasi Strategi Komunikasi Kebijakan Kehutanan: Kasus
Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan. Dibimbing oleh Bramasto Nugroho,
Hariadi Kartodihardjo, dan Dodik Ridho Nurrochmat.
Penelitian ini mengambil tema tentang komunikasi kebijakan di tingkat
pemerintahan. Kasus yang dipilih adalah kebijakan pembangunan Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) yang menurut pengamatan peneliti terdapat hambatan

dalam proses komunikasinya. Proses pengambilan keputusan kebijakan kerap kali
mengabaikan masalah komunikasi, padahal salah satu sebab kegagalan kebijakan
menurut beberapa ahli terkait masalah komunikasi. Kebijakan pembangunan KPH
merupakan mandat UU No. 41/1999 yang digulirkan sebagai upaya preventif dalam
sistem pengelolaan hutan di Indonesia yang sebelumnya berorientasi pada
pengusahaan hutan. Perjalanan panjang pemahaman konsep/kebijakan KPH yaitu
perubahan paradigma pengusahaan hutan ke paradigma pengelolaan hutan, telah
mendapatkan bentuknya dengan lahirnya PP No. 6/2007. Namun dalam proses
mengkomunikasikan kebijakan KPH ke daerah banyak mengalami kendala terutama
terkait dengan adanya kesenjangan pengetahuan konsep (kebijakan) KPH. Hal ini
berimplikasi pada lambatnya proses adopsi kebijakan KPH.
Lambatnya adopsi kebijakan KPH mengindikasikan adanya hambatan dalam
(1) proses komunikasinya, sehingga perlu ditelusuri guna mengetahui (2) faktorfaktor yang memengaruhinya (tujuan antara: internalisasi dan operasionalisasi),
sehingga diperlukan (3) strategi-strategi komunikasi guna akselerasi adopsi kebijakan
KPH (tujuan utama). Penelitian didekati secara kualitatif dengan pilihan lokasi di
KPH Provinsi Lampung (KPHL Batutegi, KPHL Kotaagung Utara, dan KPHP Reg
47 Way Terusan) dan dilaksanakan sejak Oktober 2012-Oktober 2013. Data dan
informasi secara keseluruhan dianalisis secara kualitatif. Analisis isi kualitatif
digunakan untuk menganalisis proses komunikasi kebijakan KPH dan proses
pengambilan keputusan kebijakan KPH oleh Daerah. Proses internalisasi dan

operasionalisasi kebijakan KPH dianalisis dengan menggunakan analisis interaksi
yang dikembangkan oleh International Development Studies (IDS) melalui tiga
kerangka pendekatan yaitu discourse/narrative, actors/networks, dan politics/interest.
Analisis interaksi melalui analisis jaringan (logical diffusion) digunakan untuk
menganalisis proses internalisasi kebijakan KPH. Strategi komunikasi kebijakan KPH
menggunakan analisis situasi selama proses kebijakan berlangsung.
Temuan terkait proses komunikasi KPH yaitu (1) masih ada ketidaksepahaman
konsep/kebijakan KPH pada tahap internalisasi di Pusat (birokrat, profesional,
akademisi), (2) pola komunikasi kebijakan KPH menggunakan model satu arah, (3)
sistem komunikasi kebijakan KPH merupakan kombinasi antara sistem difusi terpusat
dan terdesentralisasi. Temuan terkait proses internalisasi kebijakan KPH meliputi (1)
pola adopsi kebijakan KPH memiliki struktur jaringan komunikasi linier, (2) elit
politik daerah (DPRD) berperan besar dalam akselerasi adopsi kebijakan KPH, (3)
faktor-faktor yang memengaruhi proses internalisasi kebijakan KPH adalah network,
peran agen perubahan yaitu pemimpin opini (KPHL/P, DPRD dan Dinas) dan

v

profesional, kemauan mengenal dan memahami konsep KPH. Temuan terkait proses
operasionalisasi kebijakan KPH yaitu (1) kewenangan yang kurang jelas dan tidak

cukup berimplikasi pada legitimasi kebijakan KPH, (2) legitimasi kebijakan KPH
terjadi sebagai akibat belum optimalnya proses operasionalisasi KPH, (3) kondisi
pemungkin operasionalisasi KPH terkait dengan kapasitas SDM dan efektifitas sistem
pengawasan, kelembagaan KPH, sistem informasi dan pengawasan, serta pembiayaan
dan sistem penghargaan, (4) proses operasionalisasi kebijakan pembangunan KPH
dipengaruhi oleh kejelasan dan ketercukupan kewenangan KPH sebagai pengelola
hutan di tingkat tapak, legitimasi kebijakan KPH dan hak kelolanya, dukungan
stakeholders terkait legalitas dan tindakan, dan adanya hambatan psikologis dan trust.
Temuan-temuan penting tersebut mengerucut pada akar masalah komunikasi
kebijakan KPH dan akar masalah struktural kebijakan KPH yaitu (1) adanya
kesenjangan pengetahuan antara pemerintah, elit politik daerah, lembaga non
pemerintah, dan masyarakat terhadap konsep/kebijakan KPH, dan (2) kewenangan
KPH yang dapat berimplikasi pada legitimasi kebijakan KPH. Strategi-strategi
komunikasi guna mengatasi kedua akar masalah tersebut adalah (1) strategi terkait
kognisi stakeholders, (2) strategi promosi kebijakan KPH, (3) memperjelas
kewenangan KPH dengan menyusun suatu tata hubungan kerja yang clear, dan (4)
strategi mengurangi in-efisiensi dan in-efektifitas institusi.
Perlu adanya perubahan orientasi komunikasi kebijakan yang sebelumnya
bersifat konvensional menjadi lintas institusi karena kesamaan ideologi politik
ternyata telah berimplikasi pada akselerasi proses internalisasi kebijakan KPH

(KPHL Kotaagung Utara). Sistem komunikasi kebijakan KPH sebaiknya
menggunakan kombinasi sistem difusi terpusat dan terdesentralisasi, karena dalam
perkembangannya sistem ini dapat mempercepat proses adopsi kebijakan KPH.
Percepatan operasionalisasi KPH dapat terjadi jika ada dukungan yang kuat dari
Pemprov/Pemkab beserta jajarannya, sehingga kewenangan KPH dan kejelasan hak
kelolanya dapat diterjemahkan dan dipahami dengan baik oleh KPHL/P. Percepatan
proses internalisasi dan operasionalisasi kebijakan KPH perlu dipelihara dan
diperkuat melalui mobilisasi seluruh potensi sumber daya melalui Sekretariat
Bersama baik berupa SDM, dana, pengetahuan, informasi, teknologi, network, dan
kelembagaan yang ada untuk berpartisipasi aktif dalam proses tersebut.
Kondisi pemungkin operasionalisasi KPH perlu diikuti dengan sistem
pengawasan yang dilakukan secara menyeluruh terhadap semua aspek pengelolaan
hutan, baik fisik maupun non fisik dengan akuntabilitas publik sebagai tolok ukurnya.
Sistem pengawasan ini diberlakukan terhadap ijin-ijin yang sudah ada, lalu lintas
alokasi anggaran dan penggunaannya. Konsep pemberdayaan institusi dengan
mekanisme reward system dapat dilakukan terhadap (1) alokasi anggaran Bappenas
melalui pemberian insentif bertahap berdasarkan kesiapan KPH, (2) dalam konteks
kelembagaan secara keseluruhan yaitu melalui penyesuaian-penyesuaian aturan yang
terindikasi menghambat operasionalisasi KPH dan hak kelola stakeholders yang
berkepentingan dengan sektor kehutanan.

Kata kunci: strategi komunikasi, proses pengambilan keputusan, difusi pengetahuan,
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), internalisasi, operasionalisasi

vi

SUMMARY
JULIJANTI. Formulation on Communication Strategy of Forest Policy: The
Case of Forest Management Unit. Supervised by Bramasto Nugroho, Hariadi
Kartodihardjo, and Dodik Ridho Nurrochmat.
This study takes the theme of policy communication at the level of government.
The selected case is the policy of Forest Management Unit (FMU), which is
according to the observation of researcher was still there obstacle in the
communication process. Decision-making processes often ignore the problem of
communication, whereas one of policy failure, according to some experts related to
communication problems. FMU development policy is the mandate of Law No.
41/1999 as a preventive measure in the forest management system in Indonesia, were
previously oriented on forest concession. Length of understanding of FMU concept
(policy) i.e. the changes of forest concession paradigm to the forest management
paradigm has been getting its shape with the declaration of PP 6/2007. Many
problems in the communication process of FMU policy mainly related to the

knowledge gap of FMU concept (policy). It has implications to the slow process of
adoption of FMU policy.
The slow adoption of FMU policy indicates a bottleneck in (1) communication
process, so it should be explored in order to determine (2) factors that affect it
(purpose of the internalization and operationalization); (3) communication strategy in
order to accelerate the FMU policy adoption (main purpose). This research was
approached qualitatively with locations in Lampung (PFMU Batutegi, PFMU
Kotaagung Utara, and the Production FMU Reg 47 Way Terusan) and implemented
since October 2012-October 2013. Data and information were analyzed qualitatively.
Qualitative content analysis was used to analyze the communication process of FMU
policy and decision-making processes by regional FMU. The process of
internalization and operationalization of FMU policy were analyzed by using
interaction analysis which developed by the International Development Studies via
three framework of approaches i.e. discourse/narrative, actors/networks, and
politics/interest. Analysis of interaction through a network analysis (logical diffusion)
was used to analyze the internalization process of FMU policy. Communication
strategy of FMU policy was using the situation analysis of during the policy process
takes place.
Findings related to the FMU communication process i.e. (1) disagreement of
FMU concept on stage internalization at Government (bureaucrats, professionals,

academics), (2) communication patterns of FMU policy using one-way model, (3)
communication system is a combination of FMU policy between centralized and
decentralized diffusion system. Findings related to the internalization process of
FMU policy i.e. (1) adoption pattern of FMU policy has the linear communication
network structure, (2) local political elites (Local Parliament) which plays a major
role in accelerating the FMU policy adoption, (3) factors that affect the
internalization process of FMU policy are network, role of change agents namely
opinion leaders (three FMU, local parliament and Forestry Service) and professional,

vii

willingness to know and understand the FMUs concept. Findings related to the
operationalization process of FMU policy i.e. (1) unclearly authority and not enough
have implications to the legitimacy of FMU policy, (2) legitimacy of FMU policy
occurs because of FMU operationalization process was not optimal, (3) the enabling
conditions for the FMU operationalization related to human resource capacity and
effectiveness of surveillance systems, institutional of FMU, systems of information
and surveillance, as well as funding and reward systems, (4) operationalization
process of the FMU development policy is influenced by the clarity and adequacy of
FMU authority as forest managers on site level, legitimacy of FMU policy and its

management rights, endorsement from stakeholders related to legality and actions,
and psychological barriers and trust.
Key findings in this research are the problem root of policy communication of
FMU and the problems root of structural of FMU i.e. (1) knowledge gap between
government, local political elite, non-governmental organizations, and community to
FMUs concept (policy), and (2) FMU authority have implications to legitimacy of
FMU policy. Communication strategies to overcome of both the root of problems are
(1) strategies related to cognition of stakeholders, (2) promotion strategy of FMU
policy, (3) clarify of FMU authority with arrange an clearer working relationship
system, and (4) strategies to reduce in-efficiency and in-effectiveness of institutions.
Orientation change of policy communication was needed from conventional
communication become to cross-institutional because the similarity of political
ideology have been implications to acceleration of the internalization process of FMU
policy (PFMU Kotaagung Utara). Communication system of FMU policy should be
using a combination of centralized and decentralized diffusion systems, because this
system can speed up the process adoption of FMU policy. Acceleration of the FMU
operationalization can occur if there is strong support from the Provincial/District
Government and its ranks, so the FMU authority and clarity of its management rights
can translated and understood by three FMU. Acceleration of the process of
internalization and operationalization of FMU policies need to be maintained and

strengthened through mobilization of all resources potential through the Joint
Secretariat either in the form of human resources, funding, knowledge, information,
technology, network, and institutions to actively participate in the process.
The enabling conditions to FMU operationalization should be followed by
surveillance system which is conducted to all aspects of forest management, both
physical and non-physical with the public accountability criteria. It is also applicable
to existing permits, traffic of funding allocation and its utilizing. Concept of the
institution empowerment with a reward system mechanism can made to (1) budget
allocation from Bappenas through incentives gradually based on readiness of FMU,
(2) in the all-institutional context i.e. an adjustments of rules that inhibiting to FMU
operationalization and management rights of stakeholders with an interest in forestry
sector.
Keywords: communication strategy, decision-making process, knowledge diffusion,
Forest Management Unit (FMU), internalization, operationalization

viii

© Hak cipta milik IPB, tahun 2015
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

ix

FORMULASI STRATEGI KOMUNIKASI KEBIJAKAN
KEHUTANAN: KASUS PEMBANGUNAN KESATUAN
PENGELOLAAN HUTAN

JULIJANTI

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Progran Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

x

Penguji pada Ujian Tertutup

: Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc.

Penguji pada Ujian Terbuka

: `Dr. Ir. Bambang Soepijanto, MM
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA

xi

xii

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya disertasi yang berjudul “Formulasi Strategi Komunikasi Kebijakan
Kehutanan: Kasus Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan” ini dapat
diselesaikan. Disertasi ini penulis persembahkan untuk Bapak H. Abdul Rochim
(Alm.) dan Hj. Chomsijah yang selalu menjadi pendorong semangat dan keyakinan
penulis. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1 Prof. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof.
Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS dan Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat,
MSc.F.Trop selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala masukan, saran dan
arahannya selama proses pembimbingan yang semakin menambah wawasan dan
pemahaman penulis terhadap substansi disertasi
2 Dr. Ir. Bambang Soepijanto, MM dan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA
selaku penguji luar komisi pada Sidang Terbuka, Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, Dr.
Ir. Leti Sundawati, MSc., selaku penguji luar komisi pada Sidang Tertutup, dan
Dr. Ir. Sarwititi S. Agung dan Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS, MPPA selaku
penguji luar komisi pada prelim lisan, atas masukan, saran dan kritikannya
3 Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan jajarannya atas kesempatan yang
diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendididkan S3 di IPB dan
melakukan penelitian di Ditjen Planologi Kehutanan
4 Kepala Pusdiklat Kehutanan dan jajarannya yang telah memberikan dana
pendidikan S3 kepada penulis
5 Narasumber penelitian: Pak Trisno, Pak Ismu, Pak Trijoko M, Prof. Endang, Pak
Agus Setiyarso, Pak Haryanto, Pak Buce, Pak Ali Djajono, Pak Ubaidillah Salabi
dan narasumber lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
6 Seluruh pihak yang telah membantu penyediaan data, informasi, literatur dan
semua kebutuhan penelitian selama proses penelitian dan penyusunan disertasi
7 Seluruh pihak pengelola Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Institut
Pertanian Bogor selama proses pendidikan penulis di IPB
8 Teman-teman IPH angkatan 2007, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, dan 2013 atas
ketersediaan waktu untuk diskusi dan tukar pendapat. Khususon angkatan 2010:
Bu Retno, Mas Yano, Mbak Maya, Mas Bejo, Mbak Yayuk, Mbak Asihing, Mas
Nurdin dan Mas Safe’i atas kebersamaan dan kekeluargaannya selama ini
9 Ibu, Ibu Mertua, kakak-kakak dan adik-adikku atas do’a, dukungan dan
bantuannya selama penulis menempuh pendidikan S3
10 Suami dan anak-anakku atas do’a, dukungan, perhatian dan pengertiannya
sehingga disertasi ini dapat selesai sesuai keinginan dan harapan.
Disertasi ini masih belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Pebruari 2015
Julijanti

xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Batasan Penelitian
State of The Art dan Novelty
Metodologi Penelitian
Pendekatan Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data
Keterbatasan Penelitian
2 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Batutegi
Sejarah Kawasan
Kondisi Fisik Kawasan
Potensi Sumber Daya
Kawasan Hutan
Hasil Hutan
Sosial Budaya Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Kotaagung Utara
Sejarah Kawasan
Kondisi Fisik Kawasan
Potensi Sumber Daya
Kawasan Hutan
Hasil Hutan
Sosial Budaya Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Ijin Pemanfaatan Hutan
Ijin Penggunaan Kawasan Hutan
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Reg 47 Way Terusan
Sejarah Kawasan
Kondisi Fisik Kawasan
Potensi Sumber Daya
Kawasan Hutan
Hasil Hutan

xv
xvi
xvii
1
1
5
6
6
7
7
9
9
10
10
12
16
17
17
17
17
19
19
19
20
20
20
21
24
24
26
28
29
29
30
30
30
30
32
32
32

xiv

3

4

5

Sosial Budaya Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan
Ijin Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
KOMUNIKASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KESATUAN
PENGELOLAAN HUTAN
Pendahuluan
Metodologi Penelitian
Pendekatan Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data
Hasil dan Pembahasan
Menuju Pemahaman Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan
Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan
Proses Komunikasi Kebijakan Pembangunan Kesatuan Pengelolaan
Hutan
Difusi Kebijakan KPH: Sentralisasi atau Desentralisasi?
Simpulan
PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN: ANALISIS PROSES
INTERNALISASI KEBIJAKAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN
Pendahuluan
Metodologi Penelitian
Pendekatan Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data
Hasil dan Pembahasan
Pola Adopsi kebijakan KPH
KPHL Batutegi
KPHL Kotaagung Utara
KPHP Register 47 Way Terusan
Menuju Adopsi Kebijakan KPH
KPHL Batutegi
KPHL Kotaagung Utara
KPHP Register 47 Way Terusan
Bagaimana Stakeholders Bekerja?
Simpulan
PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN: ANALISIS PROSES
OPERASIONALISASI KEBIJAKAN KESATUAN PENGELOLAAN
HUTAN
Pendahuluan
Metodologi Penelitian
Pendekatan Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data
Hasil dan Pembahasan
Operasionalisasi Kebijakan Pembangunan KPH
KPHL Batutegi

32
33
35
35
38
38
38
39
39
39
49
53
59
62
63
63
65
65
66
66
67
67
67
70
73
76
77
77
79
80
84
85

85
88
88
88
88
89
89
89

xv

KPHL Kotaagung Utara
KPHP Register 47 Way Terusan
Kondisi Pemungkin Operasionalisasi KPH
Bagaimana Stakeholders Bekerja?
KPHL Batutegi
KPHL Kotaagung Utara
KPHP Register 47 Way Terusan
Simpulan
6 STRATEGI KOMUNIKASI KEBIJAKAN KESATUAN
PENGELOLAAN HUTAN: SEBUAH SINTESIS
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

91
92
93
95
98
100
102
104
105
110
110
111
111
143

DAFTAR TABEL

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15

Tipologi informan
Category system
Keterkaitan antara tujuan penelitian dengan metode penelitian
Kemiringan lahan di wilayah KPHL Kotaagung Utara
Distribusi blok dan petak pada areal KPHL Kotaagung Utara
Penggunaan ruang dan lahan di KPHL Kotaagung Utara
Jumlah penduduk kecamatan yang berbatasan langsung
dengan KPHL Kotaagung Utara tahun 2010
Data kelompok HKm di wilayah KPHL Kotaagung Utara
sampai dengan tahun 2010
Tipe penutupan hutan/lahan
Karakteristik sistem difusi terpusat dan terdesentralisasi
Interpretasi makna dalam UU No. 5 Tahun1967
Interpretasi makna dalam Buku I, II, III Manual KPHP
Interpretasi makna dalam Undang-Undang No. 41 Tahun
1999
Interpretasi makna dalam PP No. 34/2002 dan Kepmenhut
No. 230/Kpts-II/2003
Interpretasi makna dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun
2004

11
14
15
23
25
25
28
29
32
37
41
43
44
45
46

xvi

Tabel 16
Tabel 17
Tabel 18
Tabel 19
Tabel 20
Tabel 21
Tabel 22
Tabel 23
Tabel 24
Tabel 25

Interpretasi makna dalam PP No. 6 Tahun 2007 jo PP No. 3
Tahun 2008
Persepsi stakeholders terhadap konsep (kebijakan) KPH
Persepsi stakeholders terhadap daya inovasi KPH
Proses komunikasi kebijakan KPH
Taktik mempengaruhi yang dilakukan Pemerintah dalam
pembangunan KPH
Sistem difusi kebijakan pembangunan KPH
Perbandingan laju difusi pengetahuan di tiga lokasi penelitian
Interaksi stakeholders dalam proses internalisasi kebijakan
KPH
Interaksi stakeholders dalam proses operasionalisasi kebijakan
KPH
Strategi komunikasi kebijakan pembangunan KPH

48
48
53
55
56
60
80
82
96
107

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8
Gambar 9
Gambar 10
Gambar 11
Gambar 12

Kerangka pikir penelitian
Peta lokasi KPHL Batutegi
Peta Lokasi KPHL Kotaagung Utara
Peta KPHP Register 47 Way Terusan
Sistem difusi kebijakan KPH
Kerangka konseptual internalisasi kebijakan KPH
Difusi pengetahuan konsep KPH di KPHL Batutegi tahun
2004-2012
Difusi pengetahuan konsep KPH di KPHL Kotaagung Utara
tahun 2004-2012
Difusi pengetahuan konsep KPH di KPHP Reg 47 Way
Terusan tahun 2004-2012
Perkembangan adopsi kebijakan KPH di tiga lokasi penelitian
Kerangka konseptual operasionalisasi kebijakan KPH
Perkembangan operasionalisasi kebijakan KPH di tiga lokasi
penelitian

5
18
22
31
61
65
68
71
74
76
87
90

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Lampiran 8
Lampiran 9
Lampiran 10
Lampiran 11
Lampiran 12
Lampiran 13

Pembagian resort di KPHL Batutegi didasarkan atas
keberadaan areal pemanfaatan HKm
Klasifikasi stakeholders atas dasar pengetahuan dan
pemahaman terhadap konsep KPH di tiga lokasi penelitian
Pola interaksi stakeholders dalam jaringan komunikasi
kebijakan KPH di KPHL Batutegi
Pola interaksi stakeholders dalam jaringan komunikasi
kebijakan KPH di KPHL Kotaagung Utara
Pola interaksi stakeholders dalam jaringan komunikasi
kebijakan KPH di KPHP Register 47 Way Terusan
Persepsi stakeholders dalam proses internalisasi kebijakan
KPH
Pengelompokan isu strategis (kategori) ke dalam tema
(naratif) berdasarkan stakeholders pengusungnya
Kegiatan KPHL Batutegi
Kegiatan KPHL Kotaagung Utara
Kriteria operasionalisasi KPH
Persepsi stakeholders dalam proses operasionalisasi kebijakan
KPH
Pengelompokan stakeholders atas dasar tema isu-isu strategis
dalam proses operasionalisasi kebijakan KPH
Contoh transkrip wawancara

121
126
126
127
127
128
131
132
133
134
138
140
141

xviii

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Proses kebijakan khususnya dalam proses pengambilan keputusan kebijakan
kerap kali mengabaikan masalah komunikasi. Komunikasi adalah penting bagi
pemerintah, namun sekaligus menjadi hal yang paling diabaikan arti pentingnya
(Dwijowijoto 2004). Sejalan dengan pendapat Dwijowijoto, Edward III
(Subarsono 2011) mengidentifikasi bahwa salah satu sebab kegagalan kebijakan
adalah terkait masalah komunikasi. Ketika suatu kebijakan dikomunikasikan
kepada target kebijakan, maka terjadi proses komunikasi yang diawali dengan
adanya kognisi yaitu proses memperoleh pengetahuan (efek kognitif) terhadap
kebijakan tersebut.
Proses transmisi pengetahuan terjadi pada proses kognitif, dimana dalam
proses ini dapat mengakibatkan munculnya persepsi-persepsi terhadap
pengetahuan (inovasi/kebijakan) yang dikomunikasikan. Persepsi-persepsi yang
muncul selama berlangsungnya proses komunikasi dapat menimbulkan perbedaan
cara pandang (pendapat/persepsi) ketika inovasi (kebijakan) yang
dikomunikasikan tersebut tidak dipahami oleh partisipan komunikasi
(stakeholders yang terlibat dalam proses komunikasi). Demikian juga yang terjadi
dalam kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dimana
konsep KPH harus dipahami oleh partisipan komunikasi. Perbedaan persepsi
terhadap kebijakan (konsep KPH) dapat berimplikasi pada proses adopsinya.
Perbedaan persepsi ini mengindikasikan adanya gap/kesenjangan pengetahuan
terhadap konsep KPH di antara partisipan komunikasi (stakeholders).
Komunikasi adalah berbagi makna melalui pertukaran informasi. Schiller
(Castells 2009) mengidentifikasi bahwa proses komunikasi antara lain ditentukan
oleh ruang lingkup proses komunikasi. Proses komunikasi dapat dipahami ketika
ada interaksi sosial dimana informasi dan komunikasi tersebut diproses. Definisi
lain dikemukakan oleh Bungin (2009) bahwa komunikasi adalah sebuah tindakan
untuk berbagi informasi, gagasan ataupun pendapat dari setiap partisipan
komunikasi yang terlibat didalamnya guna mencapai kesamaan makna. Hal ini
mengindikasikan pentingnya membangun kesepahaman bersama (common
understanding) terhadap suatu inovasi (kebijakan/konsep KPH) melalui
komunikasi.
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki karakteristik
sumberdaya bersama (Common Pool Resources/CPRs) yang dikuasai oleh negara,
sehingga dalam pengelolaannya harus mempertimbangkan keterlibatan
stakeholders terkait. Apabila keterlibatan stakeholders diabaikan maka rawan
terjadi konflik kepentingan dalam hak aksesnya yaitu hak kelola dan
pemanfaatannya. Hutan negara merupakan kawasan hutan yang pengurusannya
dipercayakan kepada Pemerintah yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya. Oleh karena
merupakan hutan negara maka hak penguasaannya ada di tangan negara (state)
sehingga membawa konsekuensi bagi negara untuk membuat dan menetapkan

2

aturan-aturan dalam pengelolaannya. Kekuasaan ”mengatur” ini apabila tidak
diikuti dengan azas keadilan dan kejelasan dalam hak kepemilikan (property
right), hak pemanfaatan dan hak kelolanya oleh para pihak, maka akan berpotensi
konflik yang akhirnya dapat memengaruhi kinerja pemerintah.
Ngadiono (2004) menyatakan bahwa sistem pengelolaan hutan di Indonesia
sebelumnya sangat berorientasi pada kegiatan ”pengusahaan hutan.” Sementara
itu, kegiatan pengelolaan hutan menjadi terabaikan. Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH) merupakan wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan
peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, terdiri dari hutan
konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. KPHL Batutegi merupakan KPH
Provinsi yang meliputi Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Tengah,
Kabupaten Pringsewu, dan Kabupaten Lampung Barat. Luas KPHL Batutegi
mencapai 58.174 ha, namun ± 95% kawasannya telah beralih fungsi menjadi areal
pertanian lahan kering/kebun campuran/semak belukar. KPHL Kotaagung Utara
merupakan KPH Kabupaten dengan wilayah kelola di Kabupaten Tanggamus.
Luas wilayah KPHL ini adalah 56.020 ha dengan tutupan hutan hanya 8,82%,
sedangkan 91,18% berupa non hutan. KPHL Batutegi dan KPHL Kotaagung
Utara berfungsi sebagai catchment area. KPHP Register 47 Way Terusan
memiliki wilayah kelola di Kabupaten Lampung Tengah dan berfungsi sebagai
hutan produksi. Luas wilayah KPHP ini ± 12.500 ha terdiri dari 8% berhutan, 52%
tidak berhutan, dan rawa 40%. Kondisi ini mengindikasikan bahwa Pemerintah
belum berhasil dalam mengelola hutan melalui kebijakan-kebijakannya.
Ketidakberhasilan pengelolaan hutan di Indonesia pada umumnya justru
disebabkan oleh ketiadaan atau kelemahan ”rumah dan penghuninya” yaitu
pengelola hutan di tingkat tapak. Ketiadaan pengelola di tingkat tapak inilah yang
ditengarai sebagai faktor utama kegagalan melaksanakan pengelolaan hutan dan
terputusnya informasi antara apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan dengan
keputusan-keputusan yang dibuat, baik di tingkat pemerintah kabupaten/kota,
pemerintah provinsi maupun pemerintah (Kartodihardjo et al. 2011). Birkland
(2001) mengidentifikasi beberapa faktor yang ditengarai sebagai penyebab
ketidakberhasilan atau kegagalan kebijakan yaitu adanya keterbatasan
pengetahuan tentang kebijakan tersebut, keterbatasan sumber daya, keadaan yang
tak terduga, resistensi selama proses kebijakan, dan liku-liku proses politik.
Diamond (Kartodihardjo 2006) menyatakan bahwa kegagalan dan keberhasilan
pengelolaan sumberdaya alam akibat lemahnya para pengambil keputusan
memahami adanya kondisi sosial yang kompleks. Hal ini memunculkan
pemikiran perlu adanya perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan.
UU No. 41/1999 yang diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah No.
6/2007 telah menyemangati lahirnya konsep KPH sebagai pola pengelolaan hutan
yang merupakan lembaga yang diharapkan akan dapat menjadi solusi pemecahan
permasalahan sektor kehutanan. Keberadaan KPH diharapkan akan dapat
memberikan peran optimal hutan bagi terwujudnya kelestarian hutan dan
kesejahteraan masyarakat. Dilihat dari perjalanan waktunya, pembentukan KPH
sejak lahirnya UU No. 41/1999 hingga saat ini merupakan perjalanan yang
panjang (± 15 tahun). Ini merupakan suatu perkembangan yang ”lambat”.
Penetapan wilayah KPH hingga tahun 2013 telah mencapai 25 provinsi dari 28
provinsi di Indonesia, namun tiga provinsi yang belum ditetapkan tersebut sudah
memiliki peta arahan pencadangannya (Dit. WP3H 2014). Lima provinsi lainnya

3

berada di bawah kewenangan Perum Perhutani yaitu DKI, Banten, Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Jumlah keseluruhan KPHL dan KPHP (provinsi dan kabupaten) yang telah
ditetapkan dan sudah ada arahan pencadangannya sebanyak 530 unit terdiri atas
34,5% atau 183 unit KPHL dan 65,5% atau 347 unit KPHP (Direktorat WP3H
2014). Kementerian Kehutanan telah menetapkan 120 unit KPH Model (22,64%)
dari 530 unit KPH di Indonesia, terdiri dari 40 unit KPHL Model dan 80 unit
KPHP Model. 120 unit KPH Model tersebut meliputi 115 unit KPH yang telah
terbentuk kelembagaannya dengan 102 unit berbentuk Unit Pelaksana Teknis
Dinas (UPTD) dan 13 unit berbentuk Satuan Perangkat Kerja Daerah, sedangkan
lima unit KPH masih dalam proses pembentukan organisasinya. Sebanyak 74 unit
KPH Model telah mendapatkan sarana dan prasarananya, sementara itu 82 unit
KPH Model telah melakukan tata hutan dan menyusun rencana pengelolaan hutan
jangka panjang KPH.
Lambatnya perkembangan kebijakan pembangunan KPH mengindikasikan
bahwa penerimaan terhadap kebijakan KPH masih menyiratkan adanya kendala.
Kendala ini terjadi selama proses pembangunan KPH yaitu dalam proses
internalisasi dan operasionalisasinya di lapangan. Kemauan menerima (adopsi)
atau menolak (resisten) stakeholders terhadap suatu kebijakan merupakan respon
stakeholders ketika kebijakan tersebut disosialisasikan (diterapkan). Hal ini
mengindikasikan adanya proses-proses komunikasi yang terjadi antara pembuat
kebijakan
dengan
target/subyek
kebijakan,
yaitu
dalam
upaya
mengkomunikasikan kebijakan yang disusun (dalam hal ini adalah KPH). Respon
stakeholders ini terjadi sebagai akibat dari adanya persepsi stakeholders selama
proses internalisasi dan operasionalisasi kebijakan KPH.
Pemahaman ini sangat penting untuk dikritisi melalui suatu penelitian agar
kesalahan masa lalu dalam mengenali suatu permasalahan yang akhirnya
melahirkan suatu kebijakan tertentu, tidak terulang lagi, minimal dapat dikurangi
tingkat kegagalannya ketika diterapkan (hambatan dalam implementasinya).
Situasi dan kondisi tersebut merupakan respon stakeholders terhadap suatu
kebijakan, sehingga ada suatu pemikiran yang terkait dengan bagaimana persepsi
stakeholders dalam merespon kebijakan yang terinterpretasi melalui interaksinya.
Proses pengambilan keputusan inovasi adalah proses dimana seorang
individu (atau unit pengambilan keputusan) setelah mendapatkan pengetahuan
awal tentang suatu inovasi, membentuk sikap terhadap inovasi, membuat
keputusan untuk mengadopsi atau menolak, melaksanakan ide baru tersebut, dan
melakukan konfirmasi terhadap keputusan ini (Rogers 2003). Suatu inovasi akan
diadopsi atau tidak tergantung dari “keunggulan” inovasi itu sendiri, yang
menurut Rogers (2003) harus memiliki karakteristik-karakteristik tertentu, yaitu:
relative advantage (keuntungan relatif), compatibility (kemampuan menyesuaikan
diri/kecocokan), complexity, trialability dan observalilty. Proses pengambilan
keputusan kebijakan merupakan proses politik, yang didalamnya stakeholders
(aktor) saling berinteraksi dengan berbagai kepentingan untuk mencapai
tujuannya (organisasi). Selama proses ini berlangsung, stakeholders memerlukan
media/alat untuk berinteraksi yaitu komunikasi.
Komunikasi adalah alat kebijakan yang ditujukan untuk menciptakan
pemahaman bersama atau mengubah persepsi (dan perilaku), sehingga melakukan
komunikasi baik secara internal maupun eksternal menjadi hal yang sangat

4

penting (Dwidjowijoto 2004). Menurut Rogers (2003), ada lima tahapan dalam
proses pengambilan keputusan inovasi/kebijakan baik oleh individu maupun unit
pengambilan keputusan, yaitu tahap knowledge, persuasion, decision,
implementation dan confirmation. Penelitian ini membagi kelima tahap dalam
proses pengambilan keputusan tersebut menjadi dua tahapan inti yaitu tahap
internalisasi kebijakan KPH dan tahap operasionalisasi kebijakan KPH. Tahap
internalisasi kebijakan meliputi tahap knowledge, persuasion, dan decision, yang
mengarah pada keputusan stakeholders untuk mengadopsi atau tidak mengadopsi
kebijakan. Tahap internalisasi kebijakan KPH dapat diketahui dari difusi
pengetahuan konsep KPH yang terjadi di antara stakeholders. Dalam
perjalanannya, pemahaman terhadap konsep difusi inovasi (pengetahuan) telah
berimplikasi pada berkembangnya penggunaan konsep tersebut dalam berbagai
penelitian kebijakan, yang menggambarkan tentang pengaruh difusi pengetahuan
dan interaksi stakeholders dalam proses kebijakan (Spilsbury & Nasi 2004,
Hermans & Thissen 2009; Reed et al. 2009; Weiss et al. 2011). Tahap
operasionalisasi kebijakan meliputi tahap implementation dan confirmation, yang
berimplikasi pada keputusan stakeholders untuk terus mengadopsi atau
stagnan/menghentikan adopsi.
Respon stakeholders berdasarkan persepsinya sangat berpengaruh terhadap
proses pengambilan keputusan kebijakan KPH. Persepsi-persepsi yang muncul
terhadap kebijakan pembangunan KPH ini harus dapat diantisipasi melalui
strategi-strategi untuk mengamankan proses adopsinya. Strategi dapat dipandang
sebagai pola tujuan, kebijakan, program, tindakan, keputusan, atau alokasi sumber
daya yang mendefinisikan bagaimana organisasi itu, apa yang dikerjakan
organisasi, dan mengapa organisasi melakukannya (Bryson 2003). Berdasarkan
latar belakang masalah maka dibangunlah teori-teori yang relevan guna menjawab
masalah penelitian yang dituangkan dalam kerangka pikir penelitian (Gambar 1).

5

Masalah Penelitian

GAP

Proses pengambilan keputusan kebijakan
KPH (Rogers 2003)

Komunikasi kebijakan
KPH (Tujuan antara 1)
- Pemahaman
konsep KPH
- Proses
komunikasi
kebijakan KPH
- Sistem difusi
kebijakan KPH

Latar belakang masalah

Internalisasi kebijakan
KPH (Tujuan antara 2)
- Knowledge
- Persuasion
- Decision

Operasionalisasi kebijakan
KPH (Tujuan antara 3)

Analisis:
1 Retrospektif
2 Isi kualitatif
3 Interaksi (logical
diffusion & IDS)
4 Deskriptif
kualitatif
5 Analisis situasi

- Adopsi KPH
- Tidak adopsi
KPH
Respon stakeholders

- Implementation
- Confirmation

- Terus adopsi
- Stagnan/menghentikan adopsi
Respon stakeholders

Persepsi stakeholders

Tujuan Utama: Strategi Komunikasi Kebijakan KPH
(Ansoff, King, Pflaum & Delmont di dalam Bryson 2003)

Simpulan dan Saran

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Rumusan Masalah

Masalah komunikasi seringkali diabaikan dalam proses kebijakan, namun
seperti yang dikatakan Dwijowijoto (2004) bahwa kebijakan gagal karena
mengabaikan arti pentingnya komunikasi. Hal ini mengindikasikan bahwa
ketidakberhasilan kebijakan perlu ditelusuri melalui proses komunikasi
kebijakannya. Demikian juga dengan kebijakan pembangunan KPH yang
ditengarai masih mengalami hambatan dalam mengkomunikasikannya, sehingga
hal yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana proses komunikasi kebijakan
KPH selama ini terjadi?

6

Proses komunikasi dapat dipahami sebagai proses transmisi ide atau
informasi dan proses interaksi ide dan gagasan (Dwijowijoto 2004). Proses
komunikasi kebijakan umumnya memiliki pola tertentu yang digunakan untuk
meyakinkan target kebijakan. Ketika kebijakan dikomunikasikan maka terjadi
transmisi kebijakan dan interaksinya dengan pola tertentu. Hal ini menunjukkan
ada proses pemberian pemahaman (internalisasi) kepada target yang mengarahkan
target untuk mengambil keputusan. Lamanya proses kebijakan pembangunan
KPH mngindikasikan adanya kendala terutama dalam proses internalisasinya.
Proses internalisasi sangat berkaitan dengan pola adopsi kebijakan karena melalui
proses internalisasi maka kebijakan memiliki peluang besar untuk diadopsi.
Demikian juga dengan proses operasionalisasi kebijakannya. Proses internalisasi
tidak dapat menjamin suatu kebijakan terus diadopsi ketika dalam
operasionalisasinya, kebijakan tersebut tidak dapat meyakinkan target kebijakan
untuk terus adopsi. Kedua proses tersebut merupakan satu kesatuan dalam proses
pengambilan keputusan kebijakan. Keberhasilan kedua proses ini tidak terlepas
dari munculnya persepsi stakeholders selama proses tersebut berlangsung melalui
interaksi sosialnya. Pertanyaan penelitian yang kemudian muncul adalah
bagaimana proses internalisasi dan operasionalisasi kebijakan pembangunan KPH
dalam proses pengambilan keputusannya berdasarkan interaksi stakeholders
tersebut? Apa faktor-faktor penyebabnya dan bagaimana kemungkinan strategi
yang dapat dilakukan untuk perbaikan dan antisipasinya?

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah merumuskan strategi komunikasi
kebijakan pembangunan KPH melalui tujuan antara:
1 Menganalisis komunikasi kebijakan KPH.
2 Menganalisis proses internalisasi kebijakan KPH dalam kerangka proses
pengambilan keputusannya dan faktor-faktor yang memengaruhi stakeholders
dalam berinteraksi.
3 Menganalisis proses operasionalisasi kebijakan KPH dalam kerangka proses
pengambilan keputusannya dan faktor-faktor yang memengaruhi stakeholders
dalam berinteraksi.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang
berkepentingan baik dari sisi keilmuan (akademis) maupun lingkungan praktis,
yaitu:
A Manfaat dalam lingkup keilmuan (akademis):
1 Memberikan pemahaman tentang proses komunikasi kebijakan melalui
difusi pengetahuan dari kebijakan yang dikomunikasikan.

7

B

2 Memberikan pemahaman tentang proses pengambilan keputusan kebijakan
berikut faktor-faktor yang memengaruhinya dan proses interaksinya
berdasarkan persepsi/isu strategis yang berkembang.
3 Memberikan pemahaman tentang pelembagaan kebijakan KPH.
4 Sebagai informasi dan referensi untuk penelitian lebih lanjut.
Manfaat dalam lingkungan praktis
1 Sebagai bahan masukan bagi Unit Eselon I lingkup Kementerian
Kehutanan khususnya Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, agar
kedepan dapat mengantisipasi ataupun menyusun strategi guna
meminimalisasi hal-hal yang menghambat keberhasilan dan kegagalan
internalisasi maupun operasionalisasi kebijakan, yang ditengarai dapat
berpengaruh terhadap kinerja Kementerian Kehutanan.
2 Sebagai bahan masukan atau referensi bagi unit Eselon I lingkup
Kementerian Kehutanan dan para pihak yang berkepentingan terkait
dengan proses pengambilan keputusan kebijakan berdasarkan pola
interaksi stakeholders yang terlibat didalamnya, yang berpengaruh kuat
terhadap kinerja institusi.

Batasan Penelitian

Kajian dalam penelitian ini dibatasi pada (1) waktu penelitian ini yaitu
sampai dengan bulan Oktober 2013; (2) sumber data berupa peraturan
perundangan dibatasi pada peraturan yang diterbitkan sampai dengan tahun 2013;
(3) proses internalisasi konsep KPH dalam proses adopsinya melalui pola difusi
pengetahuan kebijakan KPH; (4) proses operasionalisasi kebijakan KPH; (5)
analisis terhadap faktor-faktor yang memengaruhi proses pengambilan keputusan
kebijakan KPH (internalisasi dan operasionalisasi) berdasarkan hasil interaksi
stakeholders; (6) merumuskan strategi komunikasi kebijakan pembangunan KPH;
(7) strategi komunikasi kebijakan yang dimaksud adalah strategi untuk
meng”opini publik”kan kebijakan KPH atau dalam istilah kelembagaan adalah
“pelembagaan” kebijakan KPH.

State of The Art dan Novelty

Beberapa penelitian terdahulu yang membahas masalah penelitiannya dari
perspektif komunikasi, antara lain adalah:
1 Akhsan (1998) meneliti tentang “Proses Adopsi dan Difusi Inovasi Pemberian
Makanan Tambahan Bayi,” yang bertujuan untuk mengetahui proses adopsi
dan difusi inovasi pemberian makanan tambahan bayi dan faktor-faktor yang
memengaruhinya. Penelitian didekati secara kuantitatif dengan menggunakan
alat analisis statistik yaitu korelasi untuk mengetahui hubungan di antara
peubah-peubahnya.

8

2

Penelitian yang dilakukan oleh Michael J. Spilsbury dan Robert Nasi (2004)
dengan judul “The interface of policy research and the policy development
process: challenges posed to the forestry community.” Fokus studi ini
menggambarkan pengaruh penelitian terhadap kebijakan, yang berkaitan
dengan difusi inovasi dan transfer teknologi berdasarkan literatur dan temuan
empiris dan kemudian membuat kesimpulan dengan menyusun strategi untuk
meningkatkan penyerapan dan penggunaan penelitian tersebut pada umumnya
dan khususnya dalam proses kebijakan.
3 Penelitian yang dilakukan oleh Julijanti (2005) dengan judul “Perubahan
Pemanfaatan Lahan di Kawasan Dataran Tinggi Dieng: Studi Kasus Difusi
Spasial Usaha Tani Kentang di Desa Batur dan Desa Dieng Kulon Kecamatan
Batur Kabupaten Banjarnegara.” Penelitian ini menganalisis tentang adopsi
inovasi oleh petani dalam melakukan pola usaha pertaniannya serta faktorfaktor yang memengaruhi pola perkembangan usaha tani tersebut, yang
berimplikasi terhadap peningkatan kesejahteraan petani tetapi sekaligus
mengubah pola ruang yang ada sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi
lingkungan. Metode penelitian yang dianut adalah deduktif kuantitatif dengan
teknik analisis logical contouring dan analisis statistik X2.
4 Penelitian yang dilakukan oleh Raffaella Bellanca (Tanpa Tahun) dengan
judul “Diffusion of Innovations: Reforestation in Haiti.” Teori komunikasi
dengan konsep difusi inovasi digunakan untuk menjelaskan adopsi program
reboisasi di Haiti dengan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian ini
mencoba menggambarkan adanya pergeseran konsep pembangunan yang
dilahirkan dari teori modernisasinya (difusi inovasi) sebagai akibat dari
adanya ancaman ekologi (kerusakan lingkungan).
5 Penelitian Krishnarini Matindas (2011) yang berjudul “Strategi Komunikasi
Petani Sayuran Organik dalam Mencari dan Menggunakan Informasi
Pertanian Berbasis Gender.” Fokus penelitian ini adalah merancang strategi
komunikasi informasi pertanian sayuran organik berbasis gender melalui
penggabungan pola pembagian kerja, relasi gender untuk akses dan control
pada informasi pertanian dan faktor-faktor komunikasi dengan penggunaan
informasi pada komunitas petani sayuran organik. Pendekatan penelitian
dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif dengan desain penelitian secara
deskriptif eksplanatori.
Berdasarkan hasil pencermatan maka penelitian ini jelas berbeda dengan
keempat penelitian sebelumnya karena fokus penelitian dan bidang kajiannyapun
berbeda. Novelty dalam penelitian ini adalah:
1 Terdepan di bidangnya (advance). Hal ini terkait dengan tema/topik
penelitian yaitu proses kebijakan kehutanan yang dilihat dari sudut pandang
komunikasi (masalah komunikasi kebijakan kehutanan) pada tingkat top
management dalam organisasi/institusi.
2 Fokus (focus) penelitian, yaitu merumuskan strategi komunikasi kebijakan
KPH berdasarkan hasil analisis terhadap proses pengambilan keputusan.
Proses pengambilan keputusan kebijakan KPH ini dipengaruhi oleh persepsi
(isu-isu strategis) yang berkembang dan faktor-faktor yang memengaruhi
stakeholders dalam berinteraksi.
3 Ilmiah (scholar), yaitu adanya proses pencarian pengetahuan dengan
menggunakan metode analisis data berupa analisis logical diffusion untuk

9

mengetahui pola interaksi stakeholders dalam proses komunikasinya. Analisis
ini dilakukan guna mengetahui jaringan komunikasi stakeholders dalam
adopsi kebijakan kehutanan (KPH). Interaksi stakeholders juga dianalisis
dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh International
Development Studies (IDS).

Metodologi Penelitian

Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Herdiansyah (2011)
mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai suatu penelitian ilmiah yang bertujuan
untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan
mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti
dengan fenomena yang diteliti. David D. Williamson (Muslimin 2002)
menyatakan ada 13 kriteria penelitian kualitatif yaitu:
1 Pengumpulan data dilakukan secara alamiah (natural setting).
2 Peneliti merupakan instrumen utama dalam mengumpulkan dan
menginterpretasikan data.
3 Kebanyakan bersifat deskriptif (analisis dilakukan secara holistik).
4 Mengutamakan proses yang terjadi dan interaksinya dibandingkan hasil.
5 Kebanyakan penelitian kualitatif menggunakan analisis induktif, terutama
pada tahap-tahap awal.
6 Berorientasi pada makna.
7 Peneliti melakukan sendiri kegiatan penelitian di lapangan.
8 Verifikasi data dengan melakukan triangulasi.
9 Orang yang distudi diperhitungkan sebagai partisipan, konsultan atau kolega
peneliti dalam menangani kegiatan penelitian.
10 Menggunakan perspektif emik/partisipan.
11 Temuan penelitian jarang dianggap sebagai “temuan final” sepanjang belum
ditemukan bukti-bukti kuat yang tak tersanggah melalui bukti-bukti
penyanggah (contrary evidence).
12 Pengambilan sampel secara purposive.
13 Baik data kuantitatif maupun data kualitatif dalam penelitian kualitatif samasama digunakan.
Penelitian kualitatif juga memerlukan suatu grand theory sebagai landasan
berpijak dalam menelaah data dan informasi yang diperoleh dari lapangan. Hal
ini mengindikasikan bahwa pendekatan penelitian ini mengarah pada tipe
penelitian deskriptif kualitatif (quasi-kualitatif), dimana teori masih digunakan
sebagai alat penelitian (Bungin 2010). Tipe penelitian deskriptif kualitatif
menggunakan model deduksi dalam membangun teori (teori-pengamatantriangulasi). Teori dan pendekatan penelitian ini dapat mengarahkan peneliti pada
alat analisis yang digunakan dan arah pertanyaannya (panduan wawancara) guna
menjawab tujuan penelitian.

10

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012-Oktober 2013 dan
sebagian di tahun 2014. Penelitian dilakukan di Kementerian Kehutanan dengan
pemilihan lokasi secara purposive yaitu KPH di Provinsi Lampung yang meliputi
KPHL Batutegi, KPHL Kotaagung Utara, dan KPHP Reg 47 Way Terusan.

Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan oleh peneliti
untuk memperoleh data (Alfandi 2001). Teknik pengumpulan data dilakukan
melalui (Patton 2002):
1 In-depth interview (wawancara mendalam)
Memiliki sifat pertanyaan yang terbuka (open-ended) dan menghasilkan
kutipan-kutipan langsung dari responden tentang pengalaman, persepsi, opini,
feelings, dan pengetahuan mereka.
2 Direct observation (observasi langsung)
Data dari hasil observasi lapangan secara langsung dapat berupa deskripsi
yang lebih detail tentang aktivitas responden, perilaku, aksi, dan berbagai
interaksi interpersonal dan proses organisasi yang merupakan bagian dari
pengalaman manusia yang dapat diamati.
3 Document analysis (studi dokumentasi)
Studi dokumentasi ini termasuk kutipan belajar, kutipan, atau bagian dari
seluruh organisasi, catatan klinis, atau program; memorandum dan
korespondensi; publikasi resmi dan laporan; buku harian pribadi, dan terbuka
untuk tanggapan tertulis, kuesioner dan survei.
Data yang diperoleh adalah dokumen pembangunan KPH, notulensi (hasilhasil rapat, workshop, FGD/Focus Group Discussion), dokumen publikasi KPH,
Peraturan Daerah, dan dokumen pendukung penelitian lainnya. Wawancara
dilakukan melalui teknik snowball dengan sebelumnya menentukan informan
kunci. Hal paling krusial dalam teknik snowball adalah ketika menentukan
gatekeeper atau biasa dikenal sebagai informan kunci, karena informan kunci
merupakan petunjuk awal dalam melakukan wawancara, sehingga kesalahan atau
kekurangcermatan dalam menentukan informan kunci akan sangat berpengaruh
terhadap akurasi informasi yang diperoleh. Peranan informan ini sangat penting,
karena data dan informasi yang dibutuhkan akan sangat tergantung dari
pengetahuan, keahlian dan penguasaan terhadap persoalan yang