PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN KABUPATEN SAMOSIR BERBASIS KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH)

  PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN KABUPATEN SAMOSI R BERBASI S KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN ( KPH)

  1

  2 Oleh : Alfonsus H. Harianja dan Pernando Sinabutar 1.

  Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli, Jalan Raya Parapat Km. 10,5 Sibaganding, Aek Nauli- Parapat 21174 email: 2. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI I Tanjung Pinang, Jalan Ganet Km. 14 Tanjung Pinang-Kepulauan Riau, email:

  Abstrak

  Tulisan ini merupakan kajian desk study dengan tujuan untuk memaparkan pemikiran Comment [ W1] : it al ic konseptual mengenai pengelolaan kawasan hutan di Kabupaten Samosir yang ideal dalam bingkai KPH. Kajian dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari dokumen terdahulu berupa hasil penelitian maupun laporan resmi dari instansi pengelolaan kawasan terkait seperti status kawasan, perencanaan tata ruang dan kebijakan terkini yang mendasari pengelolaan hutan berbasis KPH. Hasil kajian merekomendasikan bahwa kawasan hutan di Kabupaten Samosir berpotensi dikelola menjadi KPH dalam bentuk KPHL yang memiliki fungsi hutan lindung dan hutan produksi dengan mendorong keterlibatan masyarakat pada blok pemanfaatan dan blok pemberdayaan yang diyakini akan memberikan manfaat ekologis, sosial budaya dan ekonomis bagi daerah dan masyarakat setempat. Susunan kelembagaan yang optimal, tata hutan, rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan jangka pendek dan rencana strategi bisnis sesuai tapak menjadi modal awal pembangunan KPH yang efektif di Kabupaten Samosir. Kata-kata Kunci: KPH, Samosir, kelembagaan, tata hutan.

  I . PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

  Comment [ W2] : ur aian pendahuluan diper singkat

  Kewenangan daerah kabupaten/ kota di bidang kehutanan seperti disebutkan dalam UU 23/ 2014 tentang Pemerintahan Daerah hanya terbatas pada pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura). Walau demikian, rencana pembangunan ruang/ wilayah kabupaten/ kota yang dimuat dalam rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota pasti terkait dengan tapak kawasan hutan. Oleh karena itu, pengetahuan akan kebijakan pemerintah dalam mengelola kawasan hutan harus juga dipahami oleh pelaku-pelaku pembangunan di kabupaten/ kota. Sehingga, rangkaian pembangunan untuk mengelola kawasan hutan akan selaras dan sejalan dengan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi maupun stakeholder lainnya. Sejatinya, penyusunan rancangan pengelolaan kawasan hutan hendaknya diawali dari tingkat tapak. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari bias antara perencanaan dan implementasinya di lapangan. Sehubungan dengan itu, peran pemerintah kabupaten/ kota untuk memberikan informasi yang valid dan memiliki nilai kekinian sangat diperlukan untuk menyusun rencana pengelolaan kawasan hutan.

  Kabupaten Samosir yang memiliki kawasan hutan seluas ± 67.407,21 Ha sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 579/ Menhut-I I / 2014 memerlukan perencanaan yang baik, sehingga pengelolaannya lestari dan berkesinambungan. Salah satu permasalahan yang ditemui dalam pengelolaan kawasan hutan, termasuk di Kabupaten Samosir adalah persoalan tenurial (Affandi, 2009). Persoalan tenurial dalam kawasan hutan terus meningkat dari waktu ke waktu.

  Persoalan ini dipicu oleh ketidakpastian penguasaan atas tanah-tanah (tenurial insecurity) atau sumberdaya alam maupun wilayah kelola masyarakat (Fauzi 2013 dan Nugraha 2013). Selain itu, tumpang tindih klaim atas kawasan hutan diantaranya akibat legislasi dan kebijakan yang belum terimplementasi dengan optimal, pemberian ijin yang belum terkoordinasi dan juga belum diakuinya hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal pengguna hutan lainnya. Bromley (1992ª) Comment [ W3] : t idak adakah ref ensi

  up 2000?

  mengungkap bahwa legitimasi kawasan hutan sebagai “ state property” yang tidak diikuti pengelolaan dan pengawasan yang baik dari Pemerintah, mengakibatkan rejim pengelolaannya cenderung “ non property atau “ open access” .

  Konflik tenurial juga diakibatkan oleh persoalan yang terkait dengan karakteristik hak-hak atas sumberdaya hutan, antara lain hutan (terutama yang dikuasai negara) berada pada situasi kompetisi hak-hak (competing claims of ownership) terutama hak akses terhadap sumberdaya hutan (Brown et al. 2002). FWI (2009) menambahkan bahwa persoalan itu dipicu oleh lemahnya tata kelola kehutanan (good forestry governance) yang digambarkan oleh ketimpangan struktur dan proses, lalu keragaman tafsir pengurusan dan pengelolaan hutan oleh para pemangku kepentingan, sehingga regulasi dan kebijakan Pemerintah belum mampu mengarahkan perilaku aktor untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan lestari. Bahkan, Nugraha (2013) menegaskan bahwa kebijakan Pemerintah dalam meningkatkan kepastian tenurial (tenurial security) sejak awal justru berpotensi menimbulkan konflik. Hal ini tidak lain akibat ketimpangan struktur dan proses, termasuk ketimpangan kekuasaan, kewenangan, kerjasama dan konflik dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah terkait alokasi sumber daya hutan dan pengurusannya.

  Dari sisi yuridis, munculnya konflik tenurial disebabkan oleh 2 (dua) hal. Pertama, pengaturan untuk semua tanah termasuk kawasan hutan yang tumpang tindih dan penerapannya yang kurang konsisten (Sumardjo 2002; Contreras-Hermosilla & Fay 2006, Fauzi 2013; Nugraha 2013; Syarief 2014). Kedua, perbedaan pengetahuan dan pemahaman (Wijardjo et al. 2001) dan ketidaksamaan penafsiran tentang isi dan batas-batasnya (Sodiki 1999; Limbong 2012). Dua hal itu menimbulkan konflik kewenangan dan kepentingan (Syarief 2014), konflik data (Wijardjo et al. 2001), konflik lahan (Awang 2013), konflik agraria (Fauzi 2013), dan pengkotakan peraturan perundang- undangan yang diterima sebagai sebuah kenyataan (taken for granted) (Sumardjo 2002). Beberapa persoalan ini membuktikan bahwa ketiadaan pengelola di tingkat tapak dapat memperbesar persoalan dalam pengurusan dan pengelolaan hutan. Oleh karena itu, sebagai pemungkin yang Comment [ W4] : Sal ah sat u alt ernat if dapat diharapkan untuk mengatasi berbagai persoalan itu adalah dengan membentuk lembaga pengelola di tingkat tapak yang disebut dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Bahkan Sinabutar (2015) menyebutkan bahwa salah satu lembaga yang diharapkan mampu melegitimasi kawasan hutan yang dimiliki pemerintah saat ini adalah KPH, terutama perannya dalam menyelesaikan hak-hak pihak ketiga yang belum terselesaikan dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

  Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada

  Pasal 12 yang menyebutkan bahwa salah satu bagian dari perencanaan hutan adalah pembentukan wilayah pengelolaan hutan. Selanjutnya, Pasal 17 menyebutkan bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan tersebut dilakukan pada tingkat unit pengelolaan. Unit pengelolaan dimaksud sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 jo. PP Nomor 7 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). KPH adalah unit pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. KPH akan berperan sebagai penyelenggara pengelolaan hutan di tingkat tapak yang dapat menjamin bahwa pengelolaan hutan dilakukan secara lestari sesuai dengan fungsinya. KPH akan menjadi pusat informasi kekayaan sumberdaya hutan yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai ijin dan/ atau dikelola sendiri pemanfaatannya, melalui kegiatan yang direncanakan dan dijalankan sendiri. Ke depannya, KPH diharapkan menjadi garis depan untuk mewujudkan harmonisasi pemanfaatan hutan oleh berbagai pihak dalam kerangka pengelolaan hutan lestari. Khusus untuk Kabupaten Samosir, pengelolaan hutan berbasis KPH akan berpotensi untuk mengelola kawasan hutannya menjadi lestari. Oleh karena itu, perlu memposisikan KPH sebagai bagian jaringan institusi yang dapat memberi peluang untuk menjadi pengungkit pembangunan Comment [ W5] : pendor ong daerah.

1.2. Tujuan

  Penulisan makalah ini ditujukan untuk : 1.

  Mengungkap sejarah pengelolaan kawasan hutan di Kabupaten Samosir; 2. Menjelaskan urgensi pembangunan KPH di Kabupaten Samosir dalam mengelola kawasan hutan;

3. Menjelaskan potensi pengelolaan hutan berbasis KPH di Kabupaten Samosir.

  Comment [ W6] : ur aian sej ar ah

  I I . SEJARAH PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN DI KABUPATEN SAMOSI R diper singkat

  Kawasan hutan yang pertama kali dikenal oleh masyarakat di Propinsi Sumatera Utara, khususnya Kabupaten Samosir adalah kawasan hutan register. Hutan register ini merupakan peninggalan kolonial Belanda yang dibentuk sesuai dengan

  Geinfortmerd Bisluit dan Zelf pengelola hutan register

  Bestur pada zaman pemerintahan Belanda di I ndonesia. Pada awalnya, zaman Pemerintah I ndonesia dibentuk dengan nama Jawatan Kehutanan Sumatera berdasarkan Surat Keputusan Wakil Presiden Republik I ndonesia Nomor I / WKP/ SUM/ 47 yang berkedudukan di Bukit Tinggi, yang wilayahnya meliputi: (1) Daerah Pengawasan (I nspeksi) Kehutanan Sumatera Utara, berkedudukan di Tarutung, meliputi Karesidenan Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli; (2) Daerah Pengawasan (I nspeksi) Kehutanan Sumatera Tengah, berkedudukan di Bukit Tinggi, meliputi Karesidenan Sumatera Barat, Riau, dan Jambi; dan (3) Daerah Pengawasan (I nspeksi) Sumatera Selatan, berkedudukan di Lubuk Linggau, meliputi Karesidenan Palembang, Bengkulu, dan Lampung. Sebagian besar kawasan hutan register tersebut masih tertata rapi dan kondisi

  hutannya masih bagus sampai dengan saat ini (BPKH Wilayah I Medan, 2015). Batas register juga masih tampak di lapangan yang dikenal dengan istilah “ batas tapak kuda” , walaupun bukan patok beton tetapi masyarakat lebih mengakui batas tersebut.

  Luas kawasan hutan di Kabupaten Samosir berdasarkan hutan register adalah ± 36.188,80 Ha, dengan nama: (1) Register Dairi ± 3.894,75 Ha; (2) Register Harangan Bolak ± 2.013,33 Ha, (3) Register Hutagalung ± 24.723,25 Ha; (4) Register Adian Tinjoan ± 9,87 Ha; (5) Register Samosir ± 3.447,16 Ha; (6) Register Samosir Tonga ± 1.571,80; dan (7) Regiter Tele ± 528,63 Ha.

  Tahun 1982, kawasan hutan register tersebut ditunjuk kembali berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), sehingga luas kawasan hutan di Kabupaten Samosir bertambah menjadi ± 93.715,80 Ha dengan rincian Hutan Lindung ± 53.195,98 Ha dan Hutan Produksi Terbatas seluas ± 40.519,81. Selanjutnya, tahun 1999-2004 dilakukan proses paduserasi antara TGHK dengan RTRW Provinsi Sumatera Utara termasuk Kabupaten Samosir dan tahun 2004 ditunjuk kembali kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara termasuk Kabupaten Samosir melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 44/ Menhut-I I / 2004 dengan luas kawasan hutan ± 91.518.12 Ha, dengan rincian Hutan Lindung seluas ± 75.315,69 Ha; Hutan Produksi ± 16.200,05 Ha dan Hutan Produksi Terbatas ±

  Comment [ W7] : 2,38 Ha. sebut kan sumber put aka nya

  Terakhir, tahun 2004-2014 dilakukan proses review tata ruang (RTRWP Sumatera Utara) karena kawasan hutan di Kabupaten Samosir khususnya belum sesuai dengan kondisi eksistingnya. Hasil dari proses review tersebut ditindaklanjuti dengan penerbitan SK Menteri Kehutanan Nomor 579/ Menhut-I I / 2014 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara termasuk Kabupaten Samosir. Dengan demikian, luas kawasan hutan di Kabupaten Samosir berdasarkan SK tersebut adalah ± 67.407,21 Ha, dengan rincian Hutan Lindung ± 49.731,40 Ha; Hutan Produksi ± 17.673,42 Ha dan Hutan Produksi Terbatas seluas ± 2,38 Ha. Seperti halnya kawasan hutan lain di I ndonesia, kawasan hutan di Kabupaten Samosir juga tidak luput dari beragam persoalan, antara lain ketidakpastian hukum atas kawasan hutan, ketidakjelasan hak kepemilikan dan penguasaan lahan, terbatasnya akses masyarakat terhadap kawasan hutan dan rendahnya pengakuan para pihak atas kawasan hutan. Beberapa kebijakan Pemerintah saat ini antara lain perluasan wilayah kelola masyarakat dalam kawasan hutan (RPJMN 2015-2019), penyelesaian hak ulayat dan penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan hutan (Peraturan Bersama), percepatan pembangunan KPH (Renstra Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015-2019), percepatan pengukuhan kawasan hutan (Renstra Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015-2019) dapat dijadikan momentum untuk merancang pengelolaan kawasan hutan di Kabupaten Samosir.

  I I I . POTENSI PENGELOLAAN HUTAN BERBASI S KPH

3.1. Mengapa KPH?

  Merunut pada sejarah kawasan hutan dan pengelolaan kawasan hutan di Kabupaten Samosir yang dilakukan selama ini, ke depan Pemerintah Kabupaten Samosir memiliki tugas dan tanggung jawab yang cukup berat dalam mengelola kawasan hutannya yang cukup luas (± 67.407,21 Ha) atau sekitar 34,43% dari luas daratan Kabupaten Samosir dan sekitar ± 73,78% merupakan Hutan Lindung. Namun, kebijakan pemerintah yang dicanangkan dalam program Nawacita Presiden Republik I ndonesia dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015- 2019 yang berpihak pada pengelolaan hutan berbasis pembangunan ekonomi kerakyatan antara lain komitmen mengalokasikan sedikitnya 12,7 juta hektar kawasan hutan negara (di seluruh I ndonesia) menjadi wilayah kelola masyarakat melalui pola perhutanan sosial seperti Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Rakyat (HR), Hutan Adat dan kemitraan dengan pemegang izin, merupakan peluang untuk memperbaiki pengelolaan kawasan hutan di Kabupaten Samosir. Selain itu, beberapa kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun kementerian lainnya yang berpihak pada peningkatan kualitas pembangunan sesuai dengan kondisi di lapangan, misalnya penerbitan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri RI , Menteri Kehutanan RI , Menteri Pekerjaan Umum RI , dan Kepala BPN RI Nomor: 79 Tahun 2014; Nomor: PB.3/ Menhut-11/ 2014/ , Nomor: 17/ PRT/ M/ 2014; Nomor: 8/ SKB/ X/ 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di Dalam Kawasan Hutan; kemudian kebijakan pemerintah untuk membangun lembaga pengelola di tingkat tapak untuk mewujudkan kepastian dan kemantapan kawasan hutan dapat menjadi pijakan dan momentum Pemerintah Kabupaten Samosir dalam mengelola kawasan hutannya.

  Kepastian hukum dan kemantapan kawasan hutan merupakan prakondisi yang mutlak diperlukan dalam mengimplementasikan kebijakan pengurusan dan pengelolaan hutan, sehingga hutan lestari yang berkesinambungan dapat diwujudkan. Sayangnya, kepastian hukum dan kemantapan kawasan hutan itu sulit diperoleh karena proses yang dilakukan untuk menghasilkan kepastian dan kemantapan tersebut melalui pengukuhan kawasan hutan belum optimal. Pengukuhan kawasan hutan yang dilaksanakan selama ini lebih menegaskan batas legalitas formal, bukan pada pengakuan para pihak atas hasil pengukuhan tersebut (Sinabutar 2015). Batas kawasan hutan hanya tercermin di atas peta, sedangkan kenyataannya di lapangan sulit dibuktikan. Padahal, upaya mewujudkan pengurusan dan pengelolaan hutan yang lestari sangat memerlukan kepastian hukum dan pengakuan dari para pihak.

  Selain kepastian hukum dan kemantapan yang belum terwujud, kehadiran lembaga pengelola di tingkat tapak juga tidak pernah dirasakan oleh masyarakat, sehingga masyarakat seringkali membentuk lembaga sendiri dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan. Bahkan, hasil pengukuhan kawasan hutan tidak diakui sehingga penentuan kepemilikan dan penguasaan lahan di tingkat tapak/ lapangan ditentukan oleh lembaga lokal (Ajake and Ayandike, 2012). Akibatnya, masyarakat melakukan jual beli lahan dan memanfaatkan sumberdaya hutan tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Hal ini memperkuat pernyataan bahwa ketidak-berhasilan pengelolaan hutan di I ndonesia pada umumnya justru disebabkan oleh ketiadaan atau kelemahan ” rumah dan penghuninya” yaitu pengelola hutan di tingkat tapak/ lapangan. Ketiadaan atau kelemahan ” siapa” yang dari waktu ke waktu mengetahui dan memperhatikan perkembangan sumberdaya hutan di lapangan, memelihara dan menjaga hasil-hasil penanaman di lahan kritis, mengetahui batas-batas kawasan hutan yang berubah, mengetahui siapa kelompok masyarakat yang paling terkait dan memerlukan manfaat sumberdaya hutan dan lain sebagainya. Dengan demikian, ketiadaan pengelola hutan di tingkat tapak ditengarai menjadi penyebab utama kegagalan melaksanakan pengelolaan hutan dan terputusnya informasi antara apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan dengan keputusan-keputusan yang dibuat, baik di tingkat Pemerintah Kabupaten/ Kota, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Untuk itu, kehadiran lembaga pengelola di tingkat tapak yang saat ini diinisiasi pemerintah pembentukan dan pengembangannya yaitu KPH sangat diperlukan.

  Seperti telah diamanatkan dalam Pasal 17 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang lebih lanjut diatur pelaksanaannya di dalam PP No 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan PP No 6 Tahun 2007 Jo. PP No 3 Tahun 2008 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan, serta pemanfaatan hutan, bahwa pembentukan KPH ditujukan untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan yang lestari, dimana terjamin efektifitas dan efisiensi dalam pemanfaatannya secara berkesinambungan dalam rangka mendukung terciptanya keseimbangan terhadap ekologi, ekonomi dan sosial di sekitarnya.

3.2. Manfaat Ekologis, Sosial Budaya dan Ekonomis

  Dalam hal peran terhadap ekologi, ekonomi dan sosial budaya, sumberdaya hutan memiliki 3 (tiga) fungsi pokok, yakni fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Manfaat ekologi berkaitan dengan perannya sebagai pengaturan tata air, penyerapan CO2, produksi oksigen, dan lain-lain. Kawasan hutan Kabupaten Samosir yang terletak pada Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba merupakan hulu DAS Asahan, sehingga kelestarian pengelolaannya akan berpengaruh positif ke bagian hilir, yang merupakan satu kesatuan DAS Asahan Toba. Perencanaan DAS Asahan yang merupakan DAS lintas kabupaten memerlukan kerjasama yang baik dari seluruh wilayah yang terkait (Sukma, 2009 dan Paimin et al, 2012), dan dalam hal ini Kabupaten Samosir yang merupakan wilayah dominan (hulu) memegang peranan penting.

  Selain itu, menurut Kuswanda (2009), di kawasan DTA Danau Toba sedikitnya telah teridentifikasi 16 jenis satwa langka dan dilindungi. Status konservasi dari 16 jenis satwaliar tersebut adalah 13 jenis termasuk mamalia yang dilindungi dalam Departemen Kehutanan (1999) dan 12 jenis termasuk dalam Appendix CI TES, yaitu tujuh jenis termasuk Appendix I , empat jenis Appendix I I , dan satu jenis termasuk Appendix I I I . Adapun status kelangkaan menurut I UCN (2008) adalah satu jenis satwa termasuk kategori kritis punah (critically endangered) yaitu harimau sumatera, lima jenis termasuk terancam punah (Endangered), tiga jenis termasuk rentan (vulnerable), satu jenis termasuk kategori belum terancam (least concern), satu jenis termasuk kurang data (data deficient), dan dua jenis termasuk resiko rendah (lower risk). Dari hasil ini membuktikan bahwa peranan kawasan hutan di DTA Toba selain sebagai daerah serapan air, secara ekologis juga berfungsi sebagai habitat satwa liar langka yang perlu dilindungi. Hal ini berarti bahwa kerusakan hutan DTA Toba akan semakin memicu pula kepunahan beragam jenis satwa yang menjadi kebanggaan bangsa, seperti harimau sumatera. Namun isu penting konservasi satwa saat ini belum banyak mendapat perhatian. Akibatnya, keberadaan satwa-satwa liar I ndonesia semakin memprihatinkan, bahkan tidak sedikit satwa yang menuju kepunahan, seperti orangutan dan gajah.

  Manfaat sosial budaya, akan berkaitan dengan manfaat sumberdaya hutan terhadap peningkatan kesejahteraan dan keamanan hidup masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 4 ditegaskan bahwa semua hutan di dalam wilayah Republik I ndonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemakmuran tersebut (Pasal 3) harus berkeadilan dan berkelanjutan dengan menjamin keberadaan hutan (> 30% ); mengoptimalkan aneka fungsi hutan; meningkatkan daya dukung DAS; mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat melalui partisipasi masyarakat; dan menjamin distribusi manfaat yang adil dan berkelanjutan. Salah satu tujuan pembangunan kehutanan dengan pola KPH adalah penyediaan lapangan pekerjaan, terutama masyarakat di pedesaan yang menggantungkan hidupnya dari sektor kehutanan. Kebijakan atau strategi yang dapat dilakukan sesuai dengan peraturan pembentukan KPH adalah dalam bentuk: a.

  Sistem kerjasama yang bersifat saling menguntungkan antara KPH dengan masyarakat di sekitar wilayah pengelolaan.

  b.

  Pemetaan KPH secara partisipatif.

  c.

  I nventarisasi tegakan hutan menyeluruh secara kontinyu.

  d. Sistem pemanenan semi mekanis, penggabungan antara tenaga manusia dan mesin.

  e.

  Sistem persemaian permanen secara mandiri, baik generatif dan vegetatif.

  f. Sistem penanaman dengan teknik yang disesuaikan dengan kondisi setempat, seperti agroforestry.

  g. Sistem pemeliharaan, perlindungan dan pengamanan tanaman hutan.

  h.

  Sistem PHBM (HTR, HKM, HD, HA) yang bisa menyerap tenaga kerja. i. Sistem kepegawaian dan kewenangan KPH.

  Kehadiran lembaga KPH juga diharapkan akan membuka akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan sebagaimana dimandatkan oleh UU 41/ 1999 tentang Kehutanan pada pasal 3. Hal ini merupakan tantangan yang terus harus diselesaikan agar dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat. Partisipasi masyarakat adalah modal sosial yang diperlukan dalam pembangunan hutan (Maryudi and Krott, 2012), termasuk KPH. Oleh karena itu, perlu membangun kemitraan antara KPH dengan masyarakat serta swasta. Kemitraan tersebut diharapkan dapat mengatasi kelangkaan modal, menajemen, teknologi dan jaringan pemasaran hasil hutan yang diharapkan dihasilkan oleh KPH.

  Manfaat ekonomi adalah pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan dalam bentuk ijin pengusahaan (hutan alam, hutan tanaman, hutan rakyat dan restorasi ekosistem) serta berupa jasa lingkungan/ usaha wisata maupun hasil hutan bukan kayu (HHBK). Di Kabupaten Samosir, pengelolaan hutan rakyat dapat memberikan manfaat ekonomi bagi pengelola dan pemerintah daerah, termasuk karena hutan rakyat juga berfungsi sebagai hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (Sanudin dan Harianja, 2008). Selain itu, sistem pengelolaan hutan rakyat juga dapat dilakukan dengan sistem agroforestri, yang telah terbukti memberikan sumbangan pendapatan penting bagi masyarakat (Sundawati dan Harianja, 2008; Wijayanto, 2009; Meliko et al, 2012 dan Harianja, 2013) dan juga sekaligus memberikan manfaat ekologis bagi tapak tumbuhnya (Hanisch et al, 2011). Selain industri kayu dan agroforestri, manfaat ekonomi lain dari keberadaan hutan di Kabupaten Samosir, juga terdapat manfaat berupa jasa lingkungan, baik dari ketersediaan air yang telah dimanfaatkan untuk pengembangan industri PLTA dan PT I nalum (Subarudi dan Akhmad, 2009; Munawir dan Subarudi, 2009) maupun sebagai penyerap karbon dan penyeimbang ekosistem.

  Comment [ W8] : dengan mengur angi

3.3. Tahapan Pengelolaan Hutan Berbasis KPH

  ur aian pada sub bab sej ar ah dan

  Pada dasarnya membangun KPH adalah membangun institusi/ kelembagaan yang bertujuan pendahuluan, maka masih ada cukup

  hal aman u membahas` kPHnya. uraian

  untuk memperbaiki perilaku pengelola hutan dalam memecahkan segala persoalan menuju

  t t t g : sub bab konsep pengat ur an dan penet apan wil ayah KPh, posisi dan

  pengelolaan hutan lestari. Berdasarkan pendekatan seperti itu, membangun KPH adalah melakukan

  pembagian kegiat an kph, sasar an pembangunanKPH belum Nampak?,

  perubahan nilai-nilai (values) bahwa dalam pengelolaan hutan, bukan lagi sebagian besar

  cont oh KPH model yg sudah ber j al an di sumut .

  diserahkan pada pemegang izin, namun Pemerintah/ Pemda mempunyai tanggungjawab sebagaimana tanggungjawab hak menguasai negara (HMN) terhadap sumberdaya alam. Oleh karena itu, baik dalam pelaksanaan pembangunan KPH, dukungan terhadap pelaksanaannya itu, maupun kerja nyata di lapangan, memerlukan tahapan, sekurang-kurangnya terhadap hal-hal sebagai berikut (Kartodihardjo 2013):

  1. Kerangka peraturan dan pembangunan fisik untuk KPH (kantor, kendaraan, dana, sumberdaya manusia, dan lain-lain) diwujudkan dalam kerangka membangun insentif maupun prasyarat agar KPH mampu menjalankan fungsinya, serta memastikan bahwa segala bentuk peraturan dan pembangunan fisik itu dimaksudkan agar KPH dapat beroperasi dalam jangka panjang. Masalah adanya resistensi pihak-pihak tertentu terhadap pembangunan KPH harus menjadi pertimbangan utama dalam hal ini. Strategi komunikasi sangat penting dan memainkan peran utama karena pada tahap ini pada dasarnya harus terjadi transfer nilai-nilai (values). I ni artinya perlu memahami kepentingan aktor-aktor, jaringan maupun “ narasi kebijakan” yang sedang digunakan dan berkomunikasi dengan “ bahasa” yang tepat;

  2. Kegiatan inventarisasi sumberdaya hutan, penyusunan tata hutan dan rencana pengelolaan hutan jangka panjang maupun jangka pendek, pengembangan usaha, dan lain-lain adalah perangkat kerja KPH yang memerlukan inovasi dan penggunaan ilmu pengetahuan dan hasil penelitian yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi dimana KPH itu berada. Dukungan terhadap berbagai kegiatan tersebut, terutama inovasi yang sedang dan akan dikembangkan perlu dilaksanakan dalam kerangka proses “ implementasi kebijakan” sebagaimana telah diuraikan di atas. I tu artinya perlu dilaksanakan dengan memahami sekaligus memperbaiki nilai-nilai (values) yang dianut dan menjadi kebiasaan “ street level” birokrat; Comment [ W9] : it al ic

  3. Terwujudnya harmoni hubungan-hubungan antara KPH dan pemegang izin, masyarakat adat/ lokal, lembaga Pemerintah/ Pemda/ LSM/ Perguruan Tinggi, merupakan prasyarat sekaligus insentif bagaimana KPH untuk mendapat legitimasi dan dukungan dari berbagai pihak. Dalam hal ini mengenal jaringan, sumberdaya, kepentingan maupun “ narasi kebijakan” yang mana di lapangan cenderung sedang berkontestasi satu sama lain, menjadi kebutuhan yang tidak dapat dielakkan. Tujuan mengenai berbagai “ variable” tersebut adalah agar diketahui “ policy space” Comment [ W10] : it al ic atau besar-kecilnya peluang untuk mewujudkan hubungan yang harmonis dengan mengedepankan kepentingan masing-masing pihak. Jaringan bukan tempat mengambil keputusan (secara legal/ formal), namun jaringan bermanfaat sebagai sumber informasi serta penyesuaian-penyesuaian langkah yang dapat disepakati bersama untuk mendapat legitimasi.

  Berdasarkan beberapa hal itu, maka upaya mengelola kawasan hutan (khususnya di Kabupaten Samosir) ke arah yang lebih baik dapat dilakukan dengan membangun KPH karena KPH dapat dimaknai sebagai sistem yang dapat lebih menjamin terwujudnya kelestarian fungsi dan manfaat hutan dari aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Tahapan pembangunan dan operasionalisasi KPH di Kabupaten Samosir di awali dengan pembentukan wilayah sesuai dengan arahan pencadangan dan penetapan KPH di Provinsi Sumatera Utara. Hasil pembentukan tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan kelembagaannya (organisasi, personil, sarana dan prasarana serta anggaran), kemudian dilakukan penyusunan tata hutan dan rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan jangka pendek. Dengan begitu, KPH akan beroperasi untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan termasuk menjabarkan kebijakan pembangunan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/ kota; melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan pada wilayah tertentu; melaksanakan pemantauan dan penilaian pada wilayah yang diberi ijin pemanfaatan hutan; serta pengembangan peluang investasi.

  Sesuai dengan PP Nomor 6 Tahun 2007 jo. PP Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/ Menhut-I I / 2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Pengelolaan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) serta luas kawasan hutan berdasarkan fungsi hutan di Kabupaten Samosir yaitu Hutan Lindung seluas ± 49.731,40 Ha dan Hutan Produksi ± 17.675,80 Ha (belum dikurangi luas kawasan hutan yang termasuk pada KPH lintas kabupaten yang akan dikelola oleh Provinsi Sumatera Utara), maka KPH Samosir dinamakan KPHL Samosir. Pada masing-masing fungsi hutan akan ditata menjadi blok. Fungsi hutan lindung akan di tata menjadi maksimum 3 (tiga) blok yaitu blok inti, blok pemanfaatan dan blok khusus. Sedangkan pada fungsi hutan produksi ditata menjadi maksimum 6 (enam) blok yaitu blok perlindungan; blok pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan bukan kayu (HHBK), blok pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (HHK-HA), blok pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman (HHK-HT), blok pemberdayaan masyarakat; dan blok khusus. Penentuan blok-blok tersebut akan dilakukan dengan memperhatikan status, penggunaan dan penutupan lahan; jenis tanah, kelerengan lapangan/ topografi; iklim; hidrologi (tata air), bentang alam dan gejala-gejala alam; kondisi sumberdaya manusia dan demografi; jenis, potensi dan sebaran flora; jenis, populasi dan habitat fauna; dan kondisi social, ekonomi dan budaya masyarakat. Tata hutan dan rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan jangka pendek pada KPHL Samosir harus disusun sesuai dengan kondisi tapak, sehingga penentuan blok sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Untuk itu, seluruh pemangku dan instansi terkait harus secara bersama- sama menyusun tata hutan dan rencana pengelolaan hutan dimaksud. Dengan begitu, pembangunan KPHL Samosir akan efektif dan berhasil.

  I V. KESI MPULAN

  Pembangunan KPH di Kabupaten Samosir sangat penting untuk menyelesaikan beragam persoalan terkait pengelolaan lahan dan tapak hutan. Masa depan pengelolaan hutan di Kabupaten Samosir akan dipengaruhi oleh kemampuan pengelola dalam memahami karakteristik sumberdaya hutan yang ada saat ini dan kemampuan pengelola membangun kemitraan dengan masyarakat serta membangun jejaring dengan Pemerintah Pusat (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sebagai sumber pembiayaan pada tahap awal. Masa depan pembangunan KPH di Kabupaten Samosir, juga akan sangat tergantung dengan pengetahuan-pengetahuan baru dari hasil-hasil penelitian terhadap masalah-masalah yang tepat dan benar dalam membangun KPH sebagai bentuk institusi/ kelembagaan dan bukan dianggap sebagai pembangunan fisik belaka. Dalam hal ini, kata kuncinya adalah “ dapat ditemukannya masalah-masalah yang tepat dan benar”. Sebab, kebijakan pengelolaan hutan termasuk pembangunan KPH yang hanya menjawab masalah- masalah yang keliru, tidak akan membawa manfaat, bahkan cenderung menimbulkan masalah baru, yang menurut Dunn (1994) kesalahan tipe ketiga. Untuk itu, penyusunan tata hutan dan rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan jangka pendek di KPH Kabupaten Samosir harus memperhatikan kondisi tapak dan karakteristik sumberdayanya, termasuk sumberdaya manusianya.

DAFTAR PUSTAKA

  Affandi, O. 2009. Solusi Alternatif Atas Masalah-masalah Land Tenure di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba, Sumatera Utara. Prosiding Workshop Diseminasi Hasil Studi I TTO dan Tukar Menukar Pengalaman Dalam Pemulihan Ekosistem Danau Toba di Medan 9 Pebruari 2009. Seri Laporan Kerjasama I TTO PD 394/ 06 REV 1 (F), Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam dan Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara. Pp: 13-37.

  Ajake, A.O. and R.N.C. Ayandike. 2012. Assessment of Forest Management I nstitutions and Their I nitiatives in Rainforest Communities of Cross River State, Nigeria. Journal of Geography and Geology, Vol 4, No. - 1; March 2012: pp 257 268. Diakses daripada tanggal 12 September 2015.

  Awang SA. 2013. Konflik Lahan Pada Kawasan Hutan dan Resolusi Konflik. Jurnal I lmu Pengetahuan Vol. 41: 69-83

  Bromley DW. 1992a. The Commons, Property, and Common Property Regimes (Dalam Bromley D.W. et al Editor. Making the Commons Work ). San Francisco: I CS Press

  Contreras-Hermosilla A., Fay C. 2006. Memperkokoh Pengelolaan Hutan I ndonesia: Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah, Permasalahan dan Kerangka Tindakan. Bogor, I ndonesia: Bogor World Agroforestry Center dan Forest Trends.

  Dunn WN. 1994. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Volume ke-2. Samodra W, Diah A, Agus HH, Erwan AP, penerjemah. Jogyakarta (I D): UGM Pr. Terjemahan dari: Public Policy Analysis: An I ntroduction.

  Fauzi N. 2013. Mengapa Konflik-konflik Agraria Terus Menerus Meletus di Sana Sini?. Jurnal I lmu Pemerintahan Vol. 41: 33-49. Hanisch, S. Z. Dara, K. Brinkman and A. Buerkert. 2011. Soil Fertility and Nutrient Status of

  Traditional Gayo Coffee Agroforestry Systems in Takengon Region, Aceh Province, I ndonesia. Journal of Agriculture and Rural Development in the Tropics and Subtropics Vol 112 No. 2 (2011): 87-100. Diakses dari

   pada tanggal 5 September 2015.

  Harianja, A. H. 2013. Analisis Ekonomi Pengelolaan Hutan Rakyat di Sub DAS Arun. Thesis pada Fakultas Pasca Sarjana, Program Studi I lmu Kehutanan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Tidak diterbitkan.

  Kartodihardjo H. 2013. Memahami Politik Adopsi Hasil Penelitian sebagai Strategi Pengembangan KPH: Studi Literatur dan Pengalaman Empiris. Ekspose Hasil Penelitian di Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.

  Kuswanda, W. 2009. Strategi Pemulihan Kawasan Yang Dilindungi Dalam Mendukung Pelestarian Satwa Liar Langka di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba. Prosiding Workshop Diseminasi Hasil Studi I TTO dan Tukar Menukar Pengalaman Dalam Pemulihan Ekosistem Danau Toba. Hal: 138 - 149. Kerjasama I TTO PD 394/ 06 Rev 1 (F), Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam dan Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara di Medan, 9 September 2015.

  Limbong B. 2012. Konflik Pertanahan. Jakarta: Margaretha Pustaka.

  Maryudi, A. and M. Krott. 2012. Poverty Alleviation Efforts Through a Community Forestry Program in Java, I ndonesia. Journal of Sustainable Development Vol. 5, No.2: 43 - 50. February 2012.

  Diakses dari pada tanggal 13 September 2015. Meliko, M. O., Phinea, K. Chauke and S. A. Oni. 2012. The Efficiency of Small-scale Agriculture in

  Limpopo Province of South Africa. African Journal of Agricultural Research V0l. 7(12), pp.1789-1793,

  26 March 2012. Diakses dari

  pada tanggal 3 September 2015.

  Munawir dan Subarudi, 2009. Membangun Mekanisme Transaksi Hulu-hilir Untuk Perlindungan DAS dan Perbaikan Kehidupan Masyarakat. Prosiding Workshop Peningkatan Kesadaran Masyarakat Terhadap Fungsi Ekosistem Hutan Hal: 61 - 69. Kerjasama I TTO PD 394/ 06 Rev 1 (F), Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam dan Dinas Kehutanan Kabupaten Simalungun di Parapat, 27 - 28 Maret 2009.

  Nugraha A. 2013. Mengakhiri Rezim Konflik Kehutanan: Momentum Pasca Keputusan MK. Dalam: Darurat Hutan I ndonesia. Mewujudkan Arsitektur Kehutanan I ndonesia. Banten: Wana Aksara.

  Paimin, I .B. Pramono, Purwanto dan D.R. I ndrawati. 2012. Sistem Perencanaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR). Bogor.

  Sanudin dan A. H. Harianja. 2008. Pengelolaan Hutan Rakyat Pinus di Kabupaten Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara dan Samosir. Laporan Penelitian Tahun 2008. Tidak diterbitkan.

  Sinabutar P. 2015. Penataan Tenurial dan Peran Para Pihak dalam Mewujudkan Legalitas dan Legitimasi Kawasan Hutan Negara. [ Disertasi] . Bogor(I D): I PB. Sodiki A. 1999. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Brawijaya: 40 Tahun Perjalanan Undang-Undang Pokok Agraria . Soemardjo MSW. 2002. Pembaruan Agraria, Arti dan I mplementasinya. Makalah dalam: “ Seminar

  Nasional Pertanahan Tahun 2002 Pembaruan Agraria” diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Negara, Yogyakarta, 16 Juli 2002. Hal 4. Subarudi dan B. Akhmad. 2009. Natural Resources Economic Value (Valuasi Ekonomi

  Sumberdaya Alam). Prosiding Workshop Peningkatan Kesadaran Masyarakat Terhadap Fungsi Ekosistem Hutan Hal: 61 - 69. Kerjasama I TTO PD 394/ 06 Rev 1 (F), Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam dan Dinas Kehutanan Kabupaten Simalungun di Parapat, 27 - 28 Maret 2009.

  Sukmana, A. 2009. Permasalahan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Antar Daerah.

  Prosiding Workshop Diseminasi Hasil Studi I TTO dan Tukar Menukar Pengalaman Dalam Pemulihan Ekosistem Danau Toba. Hal: 176 - 181. Kerjasama I TTO PD 394/ 06 Rev 1 (F), Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam dan Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara di Medan, 9 September2015.

  Sundawati, L. dan A. H. Harianja. 2008. Sumber Pendapatan Rumah Tangga Yang Potensial di DTA Danau Toba. Centre of Forest and Nature Conservation Research and Development and I nternational Tropical Timber Organization. I TTO Project PD. 394/ 06 Rev. 1 (F).

  Diakses dari pada tanggal 2 September2015. Syarief E. 2014. Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan. Cetakan Kedua. Jakarta: KPG PT. Gramedia. Wijardjo, Budi et al. 2001. Merumuskan Aksi Bersama Pembaharuan Agraria Pro Rakyat miskin di Jawa. Makalah disampaikan pada seminar Menuju Agraria Pro Rakyat. Wijayanto, N. 2009. Sistem Agroforestry Yang Tepat Dalam Pemulihan Ekosistem Danau Toba.

  Prosiding Workshop Diseminasi Hasil Studi I TTO dan Tukar Menukar Pengalaman Dalam Pemulihan Ekosistem Danau Toba di Medan 9 Pebruari 2009. Seri Laporan Kerjasama

  I TTO PD 394/ 06 REV 1 (F), Pusat Penelitian dan Pengembanga n Hutan dan Konservasi Alam dan Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara. Pp: 46-58.

Dokumen yang terkait

ANALISIS TINGKAT KEBERHASILAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KAWASAN HUTAN

2 44 21

UPAYA PERUM PERHUTANI KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN (KPH) NGAWI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN Desa Pacing Kecamatan Padas Kab. Ngawi

0 18 2

AKTIVITAS HUBUNGAN MASYARAKAT (HUMAS) PERUM PERHUTANI PASCA BENCANA ALAM BANJIR DI WILAYAH RESORT POLISI HUTAN LEBAKHARJO BAGIAN KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN DAMPIT (STUDY PADA HUMAS PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN (KPH) MALANG)

0 5 2

PENGARUH KINERJA TERHADAP PROMOSI JABATAN PADA KANTOR PERUSAHAAN UMUM PERHUTANI KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN (KPH) BLITAR

0 6 19

PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL DAN PENGEMBANGAN HUTAN DESA DI MUKIM LUTUENG KECAMATAN MANE, KABUPATEN PIDIE, PROVINSI ACEH

0 4 1

ANALISIS VEGETASI HERBA DI HUTAN SEPUTIH BAGIAN KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN MAYANG KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN JEMBER

0 6 17

PENDUGAAN CADANGAN KARBON TERSIMPAN PADA BERBAGAI PERIODE PENGELOLAAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN LINDUNG REGISTER 22 WAY WAYA – KABUPATEN LAMPUNG TENGAH

0 11 6

ANALISIS HABITAT MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN

5 26 57

UKURAN KELOMPOK SIMPAI (Presbytis melalophos) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN

10 40 47

POPULASI SIAMANG (Hylobates syndactylus) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG RAJABASA, LAMPUNG SELATAN

1 13 47