Opsi Strategi Kebijakan Tenurial Pengelolaan Hutan Lindung

(1)

OPSI STRATEGI KEBIJAKAN TENURIAL

PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG

ASIS BUDIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Opsi Strategi Kebijakan Tenurial Pengelolaan Hutan Lindung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2015 Asis Budiawan NIM. E151120051


(4)

RINGKASAN

ASIS BUDIAWAN. Opsi Strategi Kebijakan Tenurial Pengelolaan Hutan Lindung. Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO dan DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Kawasan hutan, khususnya hutan lindung berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan dalam ekosistem, seperti mengatur tata air dan mencegah banjir. Hutan lindung sebagai sumber daya alam berkarakteristik common pool resources (CPRs) karena sumber daya hutan ini memiliki sifat sebagai public goods dan private goods. Sehingga, pengelolaan kawasan hutan lindung perlu mekanisme pengaturan pengelolaan komprehensif yang melibatkan lintas stakeholder.

Penelitian mengungkapkan arti penting pengelolaan HLSW bagi masyarakat dalam mempertahankan fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan sebagai tematik utama dalam narasi kebijakan. Selain itu, analisis forest governance selain dapat mengidentifikasi bagaimana kinerja pengelolaan hutan lindung, juga mampu mengungkapkan kesenjangan antara kebijakan dan implementasi di tingkat tapak. Masalah utama kesenjangan implementasi pengelolaan hutan di tingkat tapak, yakni peranan kelembagaan pengelolaan yang lemah akibat pergeseran komitmen stakeholder dan ketidakpastian tenurial (tenure insecurity) pengelolan hutan lindung.

Persoalan kelembagaan berkaitan dengan kurang dapat ditegakkannya kesepakatan bersama atau pun kesepakatan tersebut belum mampu mengatur keselarasan kepentingan antar pihak, akibat pergeseran motivasi dan komitmen yang dinamis. Selain itu, kapasitas pelaksana kebijakan mempengaruhi efektivitas kelembagaan pengelolaan. Inti sari pengelolaan hutan lindung adalah menjaga keseimbangan (equity) agar terjaga keberlangsungan fungsi hutan dan memberikan kemanfaatan secara berkeadilan bagi masyarakat. Sedangkan persoalan tenurial akibat ketidakjelasan overlapping klaim penguasaan lahan. Sistem penguasaan tenurial yang mantap (tenure security) mampu mengantisipasi ketidakpastian (uncertainty) sumber daya hutan berkarakteristik CPRs. Selain itu, sistem tenurial yang mantap mampu menjamin para pihak guna memperoleh komitmen (manfaat) yang kredibel secara berkesinambungan. Dengan demikian, alternatif strategi kebijakan tenurial yang bisa diadaptasi oleh pengelola adalah melalui mekanisme pengelolaan tenurial masyarakat sekitar hutan lindung melalui alokasi hak dasar (bundle of rights) penguasaan tenurial, tetapi dibatasi penggunaannya sebagai kawasan lindung. Kepastian tenurial (tenure security) akan mengurangi ketidakpastian (uncertainty) sistem penguasaan tenurial secara terkendali. Implikasinya mengurangi pengaruh negatif terhadap keseimbangan sistem perlindungan hutan dalam memberikan keadilan sosial bagi masyarakat, sesuai konteks ruang, waktu dan pelaku.


(5)

SUMMARY

ASIS BUDIAWAN. Tenure Policy Strategic Option on Protected Forest Managements. Supervised by HARIADI KARTODIHARDJO and DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Forest areas, especially protected forest served as live support systems protection in ecosystems, such as maintaining the hydrological functions, providing the water supplies and avoids the floods. Protected forests as common pool resources (CPRs) characterized as a public and private goods, has tendency to produced negative externalities. This situations, of course will raise a new problems that challenges, not only the management unit, and even attracted the attention of national and global levels. Managing protected forests required comprehensive management regulatory mechanisms that involves many parties. We argued that the protected forest has highly inherent risks. Therefore, those risks should became the main concerns. This situations should be managed as early detection to avoids and decrease the leverage of forest tenure problems. This situations needed to be fix up to maintains the equity of roles dan fuctions of protected forest in the futures, within to increase the social wellfares.

This study revealed that the importance of management HLSW for society to maintain its function as a life support systems pointed as thematic management policy. This study also revealed that analysis based forest governance frameworks could identify the gap performance of forest managements, also reavealed the disparity of policies implementation at site levels. The main problems is the weakness of management institutions caused by the frictions of stakeholders commitment and the tenure insecurity.

Institutional problems related to lack enforcements of collective choice nor the choice doesn‟t fit to regulate the equity of each interests, caused by the frictions of the comitment and motivation dynamics. Hence, the capacities also influence on how the institutions could works effectivelly. The main objectives of protected forest managements are to keep the equitable of forest fuctions still awake and to provided the sustainability of people benefits. Whereas tenure problems related to the obscurity of overlapping tenure claims. Basically tenure security could anticipated the uncertainty of forest resources which has the CPRs characteristics. Tenure security also gave assurance to conducted the credibel commitments continously. Therefore, tenure policy strategic alternatives which can be adapted through the mechanism of the tenure managements by providing the basic rights (bundle of rights) of tenure claims, but with limited allotments. Tenure security could reduces and controls the uncertainty of land tenure systems. Implicated to reduces the negavite effects to maintains the equity which provides social justice, adapted to the space, time and actor contexts.


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

OPSI STRATEGI KEBIJAKAN TENURIAL

PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG

ASIS BUDIAWAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(8)

(9)

Judul Tesis : Opsi Strategi Kebijakan Tenurial Pengelolaan Hutan Lindung Nama : Asis Budiawan

NIM : E151120051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Ketua

Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, MSc.F.Trop Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 13 April 2015


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei 2004 ini aalah kelembagaan dan kepastian tenurial dalam pengelolaan hutan lindung, dengan judul Opsi Strategi Kebijakan Tenurial Pengelolaan Hutan Lindung. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian dalam rangka penulisan Tesis untuk memperoleh gelar Master Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS dan Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, MSc.F.Trop selaku komisi pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bappenas RI selaku penyelenggara Program Beasiswa SPIRIT Intake 2012. Penghargaan juga penulis ucapkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan RI yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak lupa, kami ucapkan terima kasih Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Wain dan DAS Manggar di Balikpapan yang membantu penyusunan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri, anak serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2015 Asis Budiawan


(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

DAFTAR AKRONIM xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Kerangka Pemikiran 4

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Konsepsi Kebijakan Desentralisasi Pengelolaan Sumber Daya Hutan 6

Konsepsi Wacana 10

Konsepsi Governance 14

Konsepsi Kelembagaan 16

Konsepsi Property Rights (Hak Kepemilikan) 18

Konsepsi Konflik Tenurial 20

3 METODE PENELITIAN 23

Pendekatan Penelitian 23

Waktu dan Lokasi Penelitian 23

Jenis Data 24

Teknik Pengumpulan Data 24

Analisis Data 25

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 32

Kondisi Umum Hutan Lindung Kota Balikpapan 32

Keragaan Wacana Kebijakan Daerah dalam Pengelolaan Hutan 45

Kinerja Pengelolaan HLSW dan DAS Manggar 56

Formulasi Opsi Strategi Kebijakan Tenurial 84

5 SIMPULAN DAN SARAN 95

Simpulan 95

Saran 96

DAFTAR PUSTAKA 96

LAMPIRAN 103


(12)

DAFTAR TABEL

1 Alur narasi dan pendekatan analisis wacana 11

2 Karakteristik rezim property rights 19

3 Property rights terkait dengan bundle of power yang dimiliki oleh para

pelaku 19

4 Framing komponen analisis wacana kebijakan daerah pengelolaan

hutan lindung 26

5 Sistem kategori keragaan wacana kebijakan daerah dalam pengelolaan

hutan lindung 28

6 Pilar dan komponen utama forest governance dalam evaluasi kinerja

pengelolaan HLSW 28

7 Kerangka tujuan penelitian, pendekatan, komponen yang diamati dan teknik pengumpulan data dan informasi penelitian 31 8 Komposisi pernyataan berdasarkan aktor dalam pembahasan kebijakan

pengelolaan HLSW 45

9 Keyword yang sering muncul dalam rancangan dan pembahasan

kebijakan pengelolaan HLSW 46

10 Klasifikasi stakeholder berdasarkan kategori pernyataan dalam

pembahasan pengelolaan HLSW 54

11 Struktur Perda No.11 Tahun 2004 tentang Pengelolaan HLSW 57 12 Kerjasama pengelola bersama stakeholder lain 72 13 Matriks kesenjangan (gap) implementasi kebijakan di lapangan 82 14 Karakteristik tenurial dan masyarakat di lokasi penelitian 87 15 Makna kepastian (tenure security) para pihak dalam pengelolaan hutan

lindung 89

16 Rangkuman karakteristik tenurial di lokasi penelitian 91

DAFTAR GAMBAR

1 Konsep kerangka pemikiran penelitian 5

2 Kerangka kerja forest governance PROFOR–FAO (2011) 16 3 Lokasi penelitian di HLSW dan DAS Manggar, Balikpapan 24 4 Peta rencana pola ruang Kota Balikpapan tahun 2012-2032 34

5 Sejarah pengelolaan HLSW & DAS Manggar 36

6 Struktur organisasi BP–HLSW dan DAS Manggar 39

7 Perubahan tutupan lahan di HLSW periode tahun 1990 sd. 2012 40 8 Perubahan tutupan lahan di DAS Manggar periode tahun 1990 sd. 2012 40 9 Tren perbandingan perubahan tutupan lahan di HLSW & DAS Manggar 41 10 Perbandingan perubahan tutupan lahan pada masing-masing kawasan

hutan lindung 43

11 Kondisi eksisting areal HKm di HLSW tahun 2014 44

12 Kondisi eksisting DAS Manggar tahun 2014 44


(13)

14 Kontestasi aktor kebijakan dalam ajang diskusi pembahasan kebijakan

pengelolaan HLSW 53

15 Indikator forest governance di HLSW & DAS Manggar 59 16 Perbandingan kondisi aktual dan ideal berdasarkan indikator forest

governance 59

17 Penguasaan lahan di HLSW seluas ± 1.394,97 ha sebelum penetapan

perda pengelolaan HLSW 64

18 Perbandingan anggaran UP HLSW & DAS Manggar dan penerimaan

DBH sektor kehutanan 67

19 Contoh dokumen penguasaan lahan di DAS Manggar 69 20 Tingkat pendidikan karyawan UP HLSW & DAS Manggar 74 21 Perbandingan alokasi anggaran terhadap belanja daerah 75 22 Perbandingan lahan kelompok tani HKm berdasarkan luas persil lahan 79 23 Karakteristik arena tenurial di HLSW dan DAS Manggar 86

24 Matriks opsi tenurial di lokasi penelitian 93

DAFTAR LAMPIRAN

1 Informasi umum kelompok tani HKm di HLSW 105

2 Peta kerja areal HKm seluas 1.400 ha di HLSW 106

3 Dokumen yang dianalisis dalam kajian discourse kebijakan daerah 107 4 Matriks perubahan rancangan kebijakan dalam naskah kebijakan

pengelolaan HLSW 108

5 Matriks kerangka kerja forest governance yang diadaptasi dari

PROFOR–FAO (2011) dan PROFOR (2012) 115

DAFTAR AKRONIM

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Balikpapan Bappeda : Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota Balikpapan BKO : Bawah kendali operasi

BLH : Badan Lingkungan Hidup Kota Balikpapan BOSF : Borneo Orangutan Survival Foundation BP–HLSW &

DAS Manggar : Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Wain & Derah Aliran Sungai Manggar

BP DAS : Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai Mahakam Berau Kementerian Kehutanan

BPKH : Balai Pemantapan Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan BPS : Badan Pusat Statistik Kota Balikpapan

CDK : Cabang Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur CPRs : Common Pool Resources


(14)

DPRD : Dewan Perwakilan Daerah Kota Balikpapan

FAO : Food and Agriculture Organization of the United Nations HKm : Hutan Kemasyarakatan

HLSM : Hutan Lindung Sungai Manggar atau yang lebih dikenal dengan DAS Manggar

HLSW : Hutan Lindung Sungai Wain

Kemenhut : Kementerian Kehutanan Republik Indonesia KK : Kepala keluarga

LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

NGO : Non Govermental Organization NRM : Natural Resource Management

PDAM : Perusahaan Daerah Air Minum Kota Balikpapan PP : Peraturan Pemerintah

Pemkot : Pemerintah Kota Balikpapan

Pemprov : Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur Perda : Peraturan Daerah Kota Balikpapan

Pokja : Kelompok kerja HLSW dan DAS Manggar

PROFOR : Project on Forest World Bank–Food and Agriculture Organization of the United Nations

RTRW : Rencana Tata Ruang dan Wilayah SK : Surat Keputusan Walikota

SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah TGHK : Tata Guna Hutan Kesepakatan

UNDP : United Nation of Development Programme UP–HLSW &

DAS Manggar : Unit Pelaksana Hutan Lindung Sungai Wain dan DAS Manggar UPT : Unit Pelaksana Teknis

USAID : United States Agency for International Development

UU : Undang-Undang


(15)

(16)

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kawasan hutan, khususnya hutan lindung berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan ekosistem, seperti mengatur tata air dan mencegah banjir. Hutan lindung merupakan sumber daya alam berkarakteristik common pool resources (CPRs) karena aliran manfaatnya sebagian bersifat sebagai barang publik dan privat, cenderung menghasilkan eksternalitas negatif (Ekawati et al. 2012). Situasi tersebut menimbulkan beragam persoalan yang menjadi tantangan berat banyak pihak, tidak hanya unit manajemen. Bahkan telah menjadi perhatian di level nasional maupun global. Oleh karenanya pengelolaan kawasan hutan lindung memerlukan mekanisme pengaturan komprehensif yang melibatkan multi stakeholders. Menyeimbangkan tujuan pengelolaan yang mampu memberikan kemanfaatan secara berkeadilan bagi masyarakat sekitar hutan dan pengelola.

Pengaturan pengelolaan hutan di Indonesia, khususnya hutan lindung telah ditetapkan pemerintah, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.62 Tahun 19981. Pengaturan ini mendahului revisi Undang-Undang (UU) Pokok Kehutanan melalui UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada prinsipnya, kebijakan PP No.62 Tahun 1998 mengamanatkan peluang pengelolaan hutan lindung kepada pemerintah kabupaten/kota. Sejalan dengan peluang alokasi kewenangan dalam desentralisasi kehutanan, situasi ini dimanfaatkan Pemerintah Kota (Pemkot) Balikpapan melalui pengaturan pengelolaan hutan lindung di wilayahnya. Pada tahun 2004 ditetapkan Peraturan Daerah (Perda) No.11 Tahun 20042 tentang Pengelolaan Hutan Lindung Sungai Wain.

Tujuan utama pembentukan perda adalah menjamin keberadaan hutan yang telah mengalami degradasi akibat aktivitas kebakaran hutan, perambahan lahan dan pembalakan liar. Saat ini, luas total pengelolaan kawasan hutan lindung mencapai ±14.741,38 ha, termasuk penambahan Hutan Lindung Sungai Manggar pada tahun 2007 seluas ±4.999 ha. Penetapan kawasan hutan lindung yang mencapai ±30% dari luas wilayah kota Balikpapan, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, terutama masyarakat yang telah tinggal dan menggantungkan hidupnya kepada hutan. Subyek konflik adalah pemerintah kota dan masyarakat sekitar hutan, maupun antar kelompok masyarakat. Persoalan ini apabila tidak diantisipasi dan dikelola dengan baik akan memunculkan eskalasi kejadian maupun potensi konflik.

Kemunculan implementasi kebijakan pengelolaan hutan lindung oleh pemerintah daerah, tidak terlepas dari euforia desentralisasi penyelenggaraan

1

Peraturan Pemerintah ini ditetapkan pada tanggal 23 Juni 1998. Narasi yang termaktub dalam Pasal 5 huruf (e) secara eksplisit memberikan kewenangan kepada Pemerintah Kota/Kabupaten salah satunya adalah untuk mengelola hutan lindung.

2 Perda Pengelolaan Hutan Lindung Sungai Wain ini, spesifik ditujukan bagi pengelolaan Hutan Lindung Sungai Wain serta mengamanatkan Pembentukan Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Wain sebagai pengelola hutan lindung. Walaupun terdapat dua kawasan hutan lindung di Balikpapan, yakni Hutan Lindung Sungai Wain dan DAS Manggar. Badan pengelola tersebut secara langsung bertanggung jawab kepada Walikota. Saat ini, struktur kelembagaan atau bentuk pengelolaan berada di luar dari struktur organisasi Pemerintah Kota Balikpapan.


(18)

2

urusan pemerintahan. Desentralisasi resmi dimulai sejak pemberlakuan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Seiring berjalannya waktu, konteks desentralisasi mengalami perubahan mendasar, sejak munculnya revisi melalui UU No.32 Tahun 2004. Harus disadari dan dipahami alokasi kekuasaan dan kewenangan pemerintah daerah ditentukan dinamika politik pemerintah di level nasional.

Seharusnya, desentralisasi merupakan bentuk pendelegasian kekuasaan kepada tingkat yang lebih rendah berdasarkan hierarki teritorial daerah, terkait pelimpahan kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) (Ekawati et al. 2012; Wollenberg et al. 2009; Barr et al. 2006; Fisher et al. 2000; Smith 1985). Namun pada kenyataannya, implementasi di lapangan tidak berjalan efektif (Marwa et al. 2010; Nurrochmat 2005). Perubahan konteks otonomi daerah membuat semangat implementasi desentralisasi menjadi tidak berdevolusi. Devolusi dimaknai sebagai suatu proses pemindahan sebagian atau seluruh kekuasaan dari pemerintah pusat ke daerah (Rosyadi et al. 2003; Fisher et al. 2000). Sehingga skema desentralisasi berjenis menjadikan pemerintah daerah sebagai penerima tanggung jawab untuk melindungi hutan. Namun tidak memiliki hak dan kewenangan dalam pengambilan kebijakan yang mandiri dan akuntabel.

Secara umum, Kementerian Kehutanan menyebutkan baik pada kawasan hutan yang dikelola maupun tidak dikelola telah terjadi konflik atau potensi konflik pemanfaatan hutan. Kawasan hutan berkonflik diperkirakan mencapai luas 17,6-24,4 juta ha. Selain itu, 24.572 desa berada dan menggantungkan sumber kehidupannya terhadap hutan. Termasuk didalamnya 6.243 desa yang berada di kawasan hutan lindung (Kartodihardjo et al. 2011). Dengan demikian, karakteristik hutan lindung yang secara de facto bersifat open access semakin meningkatkan potensi risiko pengelolaan. Terjadi melalui perebutan akses dan penguasaan lahan oleh masyarakat sekitar maupun luar hutan lindung.

Selama ini, aktivitas perambahan hutan dan praktik illegal logging dianggap sebagai faktor utama penyebab konflik kawasan hutan lindung dan taman nasional (Wulan et al. 2004). Namun, Ekawati et al. (2012) memberikan pendapat berbeda. Perambahan dan pembalakan liar hanya sebagai gejala awal (preliminary symptom) permasalahan kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan lindung. Pokok permasalahan sebenarnya berkaitan dengan bagaimana kebijakan sesuai dengan karakteristik hutan lindung yang beragam. Persoalan menjadi semakin pelik, saat kajian de Jong et al. (2006) di Bolivia mengungkapkan bukti empiris mengenai partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan melalui desentralisasi, ternyata tidak serta merta menghilangkan konflik maupun potensi konflik tenurial. Sehingga, identifikasi persoalan tenurial dalam perlindungan hutan dan perubahan pemanfaatan lahan menjadi suatu keharusan. Identifikasi sebagai alternatif bagi unit manajemen atau pemerintah dalam pengambilan strategi kebijakan.

Dalam konteks pembangunan nasional, akar masalah kehutanan bertautan pada tiga hal dasar, yakni persoalan kawasan hutan, kelembagaan pembangunan kehutanan dan nilai tambah kehutanan (Kartodihardjo et al. 2011; Nurrochmat et al. 2007; Nurrochmat 2005a). Salah satu kondisi akar masalah dimaksud adalah mengenai ketidakjelasan kawasan yang ditandai munculnya konflik dan potensi konflik penguasaan dan penggunaan ruang di dalam kawasan (Kartodihardjo et al. 2011). Persoalan tenurial kawasan hutan menjadi lazim saat peran dan kehadiran


(19)

3 pemerintah di tingkat tapak lemah dan masyarakat masih sangat menggantungkan hidupnya kepada hutan. Oleh karenanya bagaimana bentuk pengelolaan hutan lindung yang mampu memberikan kemanfaatan bagi masyarakat menjadi pertanyaan mendasar penelitian ini. Khususnya apabila ditinjau dari bagaimana strategi mengantisipasi dan mengurangi persoalan tenurial kawasan hutan lindung.

Perumusan Masalah

Pengelolaan hutan lindung telah diserahkan ke daerah melalui kebijakan desentralisasi kehutanan. Namun dalam praktiknya, belum mampu menyelesaikan akar masalah kehutanan sesuai dengan yang diharapkan. Permasalahan ini ditandai dengan meningkatnya laju deforestrasi hutan dan kejadian konflik di kawasan hutan (Ekawati et al. 2012; Kartodihardjo et al. 2011). Kondisi ini semakin diperparah dengan skema pengelolaan hutan lindung yang cenderung menjadi costs center karena nilai manfaat hutan lindung yang bersifat intangible. Selain itu, sebagai sumber daya yang berkarakteristik CPRs, secara de facto hutan lindung cenderung open access. Kondisi hutan lindung yang memiliki inherent

risks seperti ini dapat mengakibatkan terjadinya potensi konflik tenurial. Fisher et al. (2001) mendefinisikan konflik sebagai hubungan interdepensi

individu maupun kelompok yang memiliki atau merasa memiliki tujuan yang tidak sejalan akibat ketidakseimbangan akses sumber daya alam. Potensi konflik terjadi akibat hubungan interdependensi antar pihak, yang akan mempengaruhi preferensi dalam melihat potensi aliran manfaat suatu sumber daya hutan.

Membahas pengelolaan hutan lindung, tidak terlepas dari bagaimana peran pengetahuan dikonstruksikan dalam proses kebijakan dan implementasinya di tingkat tapak. Sebagai bagian pengelolaan, sesungguhnya pemahaman masalah kebijakan adalah mengenai nilai, kepentingan dan kesempatan yang belum tercapai. Yakni, mengenai bagaimana aturan main dibuat dan interaksi para aktor dalam menyikapi potensi aliran manfaat sumber daya hutan. Elemen kunci sistem kebijakan adalah mengurai interaksi antara pelaku, lingkungan, dan narasi secara komprehensif di dalam pengambilan suatu kebijakan (Dunn 1994).

Berkaitan dengan pencapaian outcomes kebijakan dalam memberikan keadilan bagi masyarakat, diperlukan usaha bersama untuk mengevaluasi dan memahami persoalan sebenarnya. Kinerja kebijakan (policy performance) dapat dilihat sebagai kontribusi guna pencapaian nilai dan manfaat (Dunn 1994). Evaluasi berguna untuk mengurangi potensi risiko dan mengantisipasi ketidakpastian (uncertainty) suatu sumber daya hutan. Evaluasi ini diharapkan mampu mendeskripsikan dengan jelas masalah implementasi kebijakan di tingkat tapak dan faktor penyebab utamanya serta mampu memberikan alternatif solusi. Hal ini sesuai pandangan Dunn (1994) bahwa informasi kinerja kebijakan dapat digunakan untuk meramalkan masa depan kebijakan, bahkan menyusun ulang masalah kebijakan itu sendiri.

Berdasarkan pemaparan rangkaian permasalahan di atas, diperlukan kajian mendalam mengenai permasalahan implementasi pengelolaan hutan lindung di tingkat tapak. Pemerintah daerah perlu melakukan terobosan strategi kebijakan baru, agar tercipta tata kelola hutan lindung yang berkesinambungan dan lebih baik. Terobosan strategi ini dilaksanakan melalui mekanisme identifikasi potensi


(20)

4

masalah tenurial yang relevan dengan kondisi dinamika sosial, ekonomi dan karakteristik ekologi hutan lindung.

Bertitik tolak dari permasalahan tersebut, penelitian ini berusaha mengevaluasi implementasi kebijakan, khususnya ditinjau dari aspek tenurial. Selanjutnya, fokus penelitian dirumuskan dalam tiga pertanyaan penelitian.

a. Bagaimana keragaan wacana kebijakan daerah tentang pengelolaan hutan lindung?

b. Bagaimana kesenjangan implementasi kebijakan daerah?

c. Bagaimana formulasi opsi strategi kebijakan tenurial yang sesuai dan tepat dalam pengelolaan hutan lindung?

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah mengevaluasi implementasi kebijakan pengelolaan hutan lindung yang ditinjau dari aspek tenurial. Tujuan utama tersebut dijabarkan ke dalam tiga tujuan pendukung.

a. Memahami keragaan wacana kebijakan daerah dalam pengelolaan hutan lindung.

b. Mengidentifikasi dan memahami kesenjangan implementasi kebijakan daerah. c. Memformulasikan opsi strategi kebijakan pengelolaan hutan lindung ditinjau

dari aspek tenurial.

Kerangka Pemikiran

Hutan lindung yang berkarakteristik sebagai sumber daya CPRs sering menimbulkan pembonceng gratis (free-rider) dan penggunaan yang berlebihan (Ostrom dan Hess 2008; Ostrom 2005). Hal ini tentunya berdampak terhadap meningkatnya inherent risks dalam pengelolaan sumber daya hutan lindung, khususnya ditinjau dari persoalan tenurial. Masalah tenurial lahan dapat memunculkan konflik kepentingan (Malik et al. 2003). Sehingga, identifikasi bentuk kebijakan, implementasi dan risiko masalah tenurial yang mungkin terjadi dalam pengelolaan hutan wajib dipahami oleh unit manajemen dan pengambil kebijakan. Pengetahuan dan pemahaman tentang risiko diharapkan mampu meningkatkan kinerja pengelolaan hutan lindung. Merujuk Davis et al. (2013) tenurial yang mantap mampu mengatur hubungan antar individu dalam memperoleh aliran manfaat sumber daya hutan, dalam waktu dan kondisi tertentu. Tenurial yang jelas dan aman menjadi kondisi pemungkin utama untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan yang berkesinambungan.

Narasi kebijakan merupakan awal proses kebijakan. Isi narasi kebijakan dikonstruksikan dari bagaimana kepentingan, aktor dan diskursus disusun dalam produk kebijakan (IDS 2006). Isi produk kebijakan akan mempengaruhi baik buruknya implementasi kebijakan, sehingga diperlukan instrumen untuk mengevaluasinya. Analisis kebijakan digunakan sebagai instrumen untuk mengetahui apakah produk kebijakan tersebut mampu dijalankan (workable) atau tidak. Atau sebagai alat untuk menilai policy performance (Dunn 1994). Pemahaman yang baik mengenai kesenjangan kebijakan dan implementasi menjadi tujuan utama sistem analisis kebijakan. Penggunaan pendekatan analisis yang multi disiplin telah menjadi suatu keharusan. Yaitu dengan menggunakan


(21)

5 perspektif teori dan konsep yang beragam dalam melihat hasil kebijakan secara holistik. Kajian ini diharapkan mampu mendeskripsikan secara lugas masalah implementasi kebijakan di tingkat tapak dan faktor penyebab utamanya.

Penelitian ini berfokus kepada kebijakan pengelolaan hutan lindung dalam mengurangi potensi masalah tenurial sumber daya hutan yang berkarakteristik CPRs. Kajian diarahkan untuk mengurangi potensi risiko serta mengantisipasi ketidakpastian (uncertainty) pengelolaan hutan lindung. Outcome penelitian adalah menyusun alternatif strategi kebijakan tenurial bagi pengambil keputusan maupun unit manajemen di tingkat tapak. Secara skematis, konsep kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Konsep kerangka pemikiran penelitian

Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah:

a. Pada level ilmu pengetahuan diharapkan dapat berkontribusi secara positif dalam penggunaan pendekatan analisis kebijakan retrospektif guna mengidentifikasi kesenjangan implementasi kebijakan.

b. Secara keseluruhan, penelitian ini diharapkan berkontribusi dalam penentuan alternatif pilihan strategi kebijakan pemerintah daerah yang berorientasi terhadap asas kesejahteraan masyarakat.

- Stakeholders: Pemerintah Kota

Civil society lokal (LSM, tokoh masyarakat dan akademisi) Masyarakat sekitar hutan - Deklarasi Sungai Wain

- Karakteristik hutan lindung: CPRs

Open access Potensi intangible Cost center

- Implementasi pengelolaan hutan lindung.

Kebijakan Daerah:

Perda No. 11 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Hutan Lindung Sungai Wain

Teks:

Kognisi Sosial:

Analisis Kebijakan Formulasi Kebijakan

Wacana Kebijakan

Konteks Sosial:

Opsi Strategi Tenurial Pengelolaan HLSW & DAS

Manggar Kinerja Pengelolaan Hutan

Kajian Tenurial dan Kelembagaan Evaluasi

Kesenjangan Kebijakan

Modifikasi Kriteria Forest Governance (FAO–PROFOR 2011& PROFOR


(22)

6

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian adalah proses, implementasi dan evaluasi kebijakan daerah dalam kerangka pengelolaan hutan lindung yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, khususnya ditinjau dari aspek tenurial dan kelembagaan.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Konsepsi Kebijakan Desentralisasi Pengelolaan Sumber Daya Hutan a. Definisi kebijakan

Istilah kebijakan (policy) menurut tinjauan etimologis berasal dari bahasa Yunani yakni “polis” yang berarti negara. Sedangkan dalam bahasa Latin disebut “politia” yang bermakna negara. Sesuai maknanya dalam bahasa Inggris “policie” berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan pengendalian masalah publik atau administrasi pemerintahan (Dunn 1994). Kebijakan dapat ditetapkan sebagai tujuan bersifat netral, bebas nilai dan dapat disebut sebagai hukum atau bahasa ilmiah yang menekankan kepada rasionalitas (IDS 2006). Prinsip utama kebijakan adalah menitikberatkan penyelesaian masalah publik, sehingga disebut kebijakan publik.

Ide kebijakan publik menganggap ruang atau domain dalam kehidupan bukan privat atau murni milik individu, tetapi milik bersama. Ruang publik berisi aktivitas manusia yang perlu diatur atau diintervensi oleh pemerintah, sebagai aturan sosial atau tindakan bersama. Kebijakan publik membahas bagaimana persoalan terjadi, didefinisikan dan diletakkan dalam agenda kebijakan dan politik (Parsons 2001). Konsekuensinya hubungan individu yang semula merupakan hak privat berubah menjadi domain publik.

Ketertiban sebagai implikasi pengaturan (Parsons 2001) merupakan hasil spontan pilihan privat. Kepentingan privat harus sejalan dengan kepentingan publik. Menurut Sabatier (2007) dalam proses pembuatan kebijakan publik, masalah kebijakan dikonsepsikan dan diserahkan kepada pemerintah guna memperoleh solusi. Institusi pemerintahan berkewajiban memformulasikan alternatif dan memilih solusi kebijakan yang tepat. Sutton (1999) berpendapat proses pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai proses politik, bersifat incremental, rumit, berantakan dan terdapat agenda yang tumpang tindih dan bersaing, dampaknya keputusan menjadi tidak diskret atau teknis.

Implementasi kebijakan memerlukan keleluasaan dan negosiasi antara pengambil keputusan. Sutton (1999) mengungkapkan empat model proses kebijakan, salah satunya kebijakan sebagai pembelajaran melalui proses interaksi. Artinya, kebijakan merupakan proses interaksi serta berbagi ide antar pembuat kebijakan yang dipengaruhi tujuan yang hendak dicapai. Senada dengan pendapat Sabatier (2007) yang mengungkapkan memahami proses kebijakan membutuhkan pengetahuan sesuai tujuan serta pemahaman persepsi dan kepentingan masing-masing aktor. Merujuk pendapat Parsons (2001) pengetahuan menjadi kunci


(23)

7 utama dalam memahami kebijakan, terkait bagaimana pengetahuan tersebut berada dalam (in), untuk (for) dan tentang (about) dalam proses kebijakan.

b. Masalah kebijakan desentralisasi kehutanan Indonesia

Kebijakan desentralisasi kehutanan dimulai sejak era reformasi tahun 1998. Ditandai oleh pengesahan PP No.62 Tahun 1998; UU No.41 Tahun 1999; dan UU No.22 Tahun 1999 jo. UU No.32 Tahun 2004 serta peraturan pelaksanaan lainnya. Mengenai kebijakan kehutanan Indonesia, Ribot et al. (2006) dan Mccarthy (2004) mengungkapkan terdapat kecenderungan pemberian kewenangan pusat ke daerah bersifat terbatas. Hal ini dipengaruhi perspektif mempertahankan kepentingan dan kekuasaan pusat terhadap daerah dan sumber daya alam.

Menurut Ribot et al. (2006) desentralisasi merupakan tindakan politik formal pemerintah pusat yang mendelegasikan kekuatan kepada aktor dan kelembagaan di tingkat yang lebih rendah, menurut hierarkhi administrasi, politik dan teritorial. Senada pemikiran tersebut, Larson dan Ribot (2004) menjelaskan transfer kewenangan sumber daya alam, menjadi ancaman bagi otoritas pusat dan elit tertentu yang takut kehilangan pendapatan dan kendali. Terkait konflik kepentingan politik mengenai distribusi kewenangan sumber daya alam. Menjadi ancaman serius kemajuan nasional yang dapat menimbulkan resistensi terhadap reformasi.

Hambatan dimaksud mengakibatkan implementasi desentralisasi berbasis sumber daya alam tidak berjalan optimal. Menurut Nurrochmat et al. (2012) disebabkan oleh fragmentasi masif semua arena kenegaraan, akibat rivalitas aktor politik yang tajam. Selain itu, juga dipengaruhi oleh ketidakjelasan pembagian urusan pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam skema desentralisasi berjenis. Desentralisasi ini merupakan penyerahan kewenangan pusat kepada daerah sesuai jenis urusan pemerintahan. Desentralisasi dimaksud berbeda dengan desentralisasi berjenjang yang jelas menegaskan batas kewenangan. Bahkan Santoso (2013) dalam artikel yang berjudul “Keniscayaan Tatanan Asimetris: Refleksi Metodologis Penataan Pemerintahan Indonesia” menyebutkan dalam penataan pemerintahan daerah, desentralisasi asimetrisme menjadi keniscayaan sejarah Indonesia sebagai negara bangsa (nation–state). Pendapat ini berlandaskan atas keberagamaan entitas daerah di Indonesia.

Secara de facto, desentralisasi kehutanan merupakan proses pengaturan penggunaan lahan untuk mengisi kekosongan otoritas pusat (Palmer dan Engel 2007). Menurut Karsudi et al. (2010) kebijakan sektor kehutanan hanya sekedar melaksanakan fungsi administrasi pengurusan hutan dan belum melaksanakan pengelolaan hutan secara fungsional. Sehingga, sebagian besar kawasan hutan belum memiliki kelembagaan pengelola di tingkat tapak. Permasalahan di atas memberikan ruang sempit bagi pemerintah daerah dalam membuat inisiatif kebijakan yang mungkin tidak koheren dengan agenda pusat. Oleh karenanya analisis kebijakan dapat menjadi instrumen pendeteksi masalah implementasi kebijakan di tingkat tapak.

Awalnya, pengaturan pengurusan hutan Indonesia dituangkan dalam UU No.5 Tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan yang terakhir diubah melalui UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. UU No.19 Tahun 2004. Sedangkan khusus pengelolaan hutan lindung diserahkan kepada daerah (kabupaten/kota)


(24)

8

merujuk PP No.62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah. Pasal 5 huruf (e) secara eksplisit menyatakan Daerah Tingkat II diberikan sebagian urusan pemerintahan bidang kehutanan, diantaranya pengelolaan hutan lindung.

Berdasar ruang lingkup urusan kewenangan, menurut Nurrochmat et al. (2012) terdapat tiga aspek penting yang dapat diberikan kepada daerah. Yakni, melalui penyerahan desentralisasi administratif, fiskal dan politik. Salah satu bentuknya adalah desentralisasi administratif yang dimaknai sebagai penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah, dalam melaksanakan fungsi pelayanan publik. Sedangkan menurut Fisher et al. (2000) terdapat tiga pendekatan desentralisasi sektor kehutanan. Pertama, pemerintah pusat mendorong partisipasi publik melalui program skala besar. Kedua, melibatkan peran manajemen melalui penyerahan kewajiban dari pemerintah pusat ke daerah. Dan ketiga, penyerahan kontrol kepada kelompok masyarakat lokal atau individu. Ketiga tipologi tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Pada tipe pertama, masyarakat diberikan tanggung jawab dan manfaat. Namun kewenangan yang diserahkan sedikit atau bahkan tidak memperoleh kewenangan dalam pengambilan keputusan yang mandiri. Pada tipe kedua, berkembang isu mengenai distribusi tanggung jawab dan kewenangan yang menjadi permasalahan tersendiri. Sedangkan tipe ketiga, cenderung tidak dapat berhasil dilaksanakan di tingkat tapak, bahkan menimbulkan kebingungan dan konflik.

Senada dengan pendapat Fisher et al. (2000), Nurrochmat et al. (2012) mengelompokkan empat tipe desentralisasi kehutanan berdasarkan entitas. Pertama, pelaksanaan urusan kehutanan diberikan kepada kantor pusat yang berkedudukan di daerah. Kedua, pelaksanaan urusan yang didelegasikan kepada otoritas daerah. Ketiga, kewenangan diberikan kepada otoritas pemerintahan daerah atau kelompok masyarakat. Dan yang terakhir, kewenangan pengelolaan hutan diberikan kepada individu atau perusahaan pemegang ijin konsesi pemanfaatan kawasan hutan. Penentuan pilihan alternatif tersebut dipengaruhi kepentingan dan pengetahuan pembuat kebijakan tentang makna sumber daya hutan.

Desentralisasi kehutanan tipe ketiga dikenal dengan istilah desentralisasi yang berdevolusi. Lebih lanjut Nurrochmat et al. (2012) mendefinisikannya sebagai penyerahan kewenangan dan kekuasaan kepada daerah secara penuh. Senada dengan pendapat sebelumnya, Wollenberg dan Kartodihardjo (2002) mengartikulasikan devolusi sebagai pemindahan kekuasaan dan kewenangan (transfer of power and authority) kepada daerah maupun adat. Namun kecenderungannya, penyerahan dimaksud melekat pada entitas pemerintah daerah, belum sampai ke masyarakat. Selanjutnya kewenangan dan kekuasaan diterjemahkan sebagai pengaturan dengan pembentukan peraturan daerah dan pengalokasian sumber daya ekonomi. Implikasi positifnya, pengelolaan hutan akan memperoleh perhatian dan dukungan yang solid dan berkesinambungan. Namun, implikasi negatifnya masyarakat tidak dilibatkan dalam pengelolaan sehingga berpotensi terjadi penggunaan yang berlebihan.

Idealnya, kewenangan pusat terbatas menetapkan norma, standar, pedoman dan kriteria (NSPK) sebagai panduan operasional pemerintah daerah. Hal ini senada dengan paragraf 10 penjelasan UU Kehutanan. Paragraf ini pada


(25)

9 prinsipnya menjelaskan pelaksanaan pengurusan hutan bersifat operasional diserahkan kepada daerah dan yang bersifat nasional atau makro dijalankan oleh pusat.

Sumber permasalahan yang diduga menjadi penyebab kegagalan desentralisasi kehutanan menurut Nurrochmat et al. (2012) adalah (i) tafsir, konsep dan tujuan desentralisasi di level nasional dan daerah, (ii) konteks kesejarahan dan hal asal usul kawasan hutan serta lingkup lingkungan makro, (iii) inkonsistensi kebijakan dan materi peraturan perundang-undangan, (iv) keragaman bentuk, peran dan kapasitas kelembagaan kehutanan daerah dan (v) motif dan kemauan politik pemegang otoritas daerah. Selain itu, juga dipengaruhi lemahnya peran stakeholder akibat kesenjangan narasi dan implementasi kebijakan (Ekawati et al. 2012). Strategi pemerintah pusat dalam mengurangi kekuatan dan kewenangan daerah adalah dengan membatasi devolusi, memilih institusi lokal yang sesuai harapan pusat (Ribot et al. 2006).

Elemen utama desentralisasi adalah mengenai legitimasi keterwakilan penyelenggaraan urusan pemerintahan (Ekawati et al. 2012). Namun dalam implementasinya, partisipasi atau keterwakilan masyarakat lokal kurang mendapat perhatian. Sehingga guna mencapai keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan, mutlak diperlukan dukungan civil society lokal. Melalui peran media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), tokoh masyarakat dan akademisi. Kelembagaan berperan memberikan dukungan lintas sektor melalui jaringan civil society lokal, sedangkan pemerintah berperan dalam mekanisme checks and balances pencapaian makna dan arti devolusi kehutanan. Sejalan dengan ide tersebut, Nugroho (2011) menegaskan penguatan peran masyarakat sekitar hutan telah menjadi suatu keharusan, dibalik menguatnya hegemoni dominasi kekuasaan pusat.

Ternyata, pendelegasian kebijakan desentralisasi tidak serta merta merubah bentuk penguasaan pemerintah pusat terhadap daerah (Barr et al. 2006). Pengaruh pusat terhadap sumber daya hutan biasanya berbentuk penguasaan kebijakan (Wollenberg et al. 2009). Pada tingkat praktik, otoritas daerah terbatas untuk pemanfaatan bernilai ekonomi rendah, seperti hasil hutan bukan kayu dan pengelolaan hutan lindung. Penyerahan ini tidak didukung kekuasaan dan kewenangan menentukan kebijakan, selain ketetapan pusat (Fisher et al. 2000). Implikasi pilihan kebijakan ini pun tidak serta merta mampu menyelesaikan persoalan di level akar masalahnya. Dipengaruhi disparitas peran pengetahuan, kepentingan dan politik aktor kebijakan dalam menyoroti persoalan kehutanan. c. Analisis kebijakan

Narasi kebijakan (Sutton 1999) merupakan sebuah cerita yang memiliki awalan, pertengahan dan akhir yang membentuk wacana khusus peristiwa, terkait arena pembangunan yang dipengaruhi kebijakan. Narasi berusaha membentuk pengaturan interaksi dan proses yang kompleks. Penyusun kebijakan kadang membuat keputusan kebijakan berdasarkan cerita narasi pembangunan. Lebih lanjut Sutton (1999) menjelaskan narasi berbeda dengan wacana kebijakan. Wacana kebijakan merupakan serangkaian nilai dan cara berfikir yang lebih luas. Sehingga narasi menjadi bagian wacana kebijakan, apabila narasi mampu menjelaskan cerita yang sesuai dengan nilai dan prioritas sebuah wacana. Oleh karena itu, proses identifikasi kebijakan memerlukan pemahaman konstruksi


(26)

10

wacana dan narasi kebijakan. Pemahaman dimaksud diperoleh melalui serangkaian kegiatan yang disebut sebagai analisis kebijakan.

Menurut Dunn (1994), analisis kebijakan sebagai pendekatan pemecahan masalah sosial melalui pengujian eksplisit yang menghubungkan pengetahuan dan tindakan. Senada dengan pendapat sebelumnya, Keeley dan Scoones (1999) berpendapat riset kebijakan harus memahami keterkaitan pengetahuan dan proses kebijakan. Pendapat lain yang senada menyatakan analisis kebijakan sebagai sarana meningkatkan metode dalam mengidentifikasi, mendefinisikan persoalan, menentukan tujuan, mengevaluasi alternatif pilihan, memilih alternatif serta mengukur kinerja (Parsons 2001).

Dunn (1994) mengelompokkan tiga bentuk analisis kebijakan yang sering digunakan oleh analis kebijakan, yaitu:

 Analisis prospektif

Merupakan produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Namun, sering menimbulkan kesenjangan antara pemecahan masalah dengan usaha pembuat kebijakan.

 Analisis retrospektif

Merupakan penciptaan dan transformasi informasi setelah implementasi kebijakan. Meliputi, analisis berorientasi disiplin (discipline-oriented analysis); berorientasi masalah (problem-oriented analysis); serta analisis yang berorientasi pada aplikasi (aplication-oriented analysis).

Kajian ini menggunakan pendekatan analisis retrospektif guna mengidentifikasi masalah tenurial dalam mengevaluasi kebijakan pengelolaan hutan oleh pemerintah daerah.

 Analisis kebijakan terintegrasi

Merupakan analisis yang mengombinasikan gaya operasi praktisi yang berfokus penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah kebijakan. Analisis mampu memulai penciptaan dan transformasi informasi pada setiap level, baik sebelum maupun sesudah aksi kebijakan.

Memahami kebijakan tidak terlepas dari kepentingan aktor kebijakan. Dunn (1994) menambahkan memahami masalah kebijakan harus menjadi fokus utama. Mengingat terdapat kecenderungan seorang analis sering kelihatan gagal dalam memecahkan masalah yang salah, dibanding memperoleh solusi yang salah atas masalah yang tepat.

Konsepsi Wacana a. Definisi wacana

Wacana didefinisikan sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Kadang kala, wacana diartikan sebagai pembicaraan atau diskursus. Pemakaian istilah wacana sering diikuti beragamnya istilah dan definisi, bahkan banyak ahli memberikan definisi dan batasan berbeda. Ragam makna disebabkan perbedaan penggunaan lingkup dan disiplin ilmu (Eriyanto 2001). Sehingga pemilihan penggunaan istilah wacana harus menyesuaikan konteksnya.

Analisis wacana merupakan alternatif analisis isi (Eriyanto 2001). Untuk dapat memahami analisis wacana, terlebih dahulu perlu dipahami definisi analisis


(27)

11 isi. Analisis isi menurut Ekayani (2012) merupakan metodologi penelitian sosial yang mempelajari konteks komunikasi. Berguna untuk menganalisis transkrip wawancara, laporan, berita maupun narasi kebijakan. Secara umum, perspektif analisis wacana dapat dikelompokkan menjadi tiga pandangan, yakni: i) positivisme-empiris; ii) konstrukstivisme; dan iii) kritis (Eriyanto 2001). Riset ini menggunakan wacana dalam konteks pandangan kritis, merujuk pandangan van Dijk.

Menurut Eriyanto (2001) analisis wacana pandangan kritis menekankan konstelasi kekuatan dalam proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subyek yang netral karena dipengaruhi kekuatan sosial. Ragam bahasa dalam narasi kebijakan merupakan representasi yang berperan membentuk subyek dan tema wacana maupun penggunaan strategi.

b. Analisis wacana

Analisis wacana (Van Dijk 1988) berfungsi untuk melihat lebih dalam proses produksi dan penggunaan pengetahuan dalam konteks wacana tertentu. Sehingga penggunaan bahasa berdasarkan pengetahuan tertentu akan membentuk pola pikir konteks tertentu, sehingga dapat diterima individu maupun kelompok masyarakat. Analisis ini dikategorikan sebagai paradigma kritis. Perspektif ini memiliki pandangan tertentu tentang bagaimana sebuah narasi dipahami dalam keseluruhan proses produksi dan struktur sosial (Eriyanto 2001). Pendekatan analisis wacana berbeda-beda, tergantung konsep yang digunakan. Alur analisis wacana berdasarkan pendekatan ahli dikelompokkan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Alur narasi dan pendekatan analisis wacana

Paradigma Kritis

Teori wacana Michel Fouchault

Louis Althusser Model analisis Roger Fowler et al.

Theo van Leeuwen Sara Mills

Teun A van Dijk Norman Fairclough

Sumber: Eriyanto (2001)

Karaktristik utama analisis wacana menurut ahli yang disadur dan dirangkum Eriyanto (2001), dikelompokkan menjadi lima, yaitu:

 Tindakan (action)

Mengasosiasikan wacana sebagai interaksi. Wacana dilihat sebagai hal yang memiliki tujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat maupun bereaksi terhadap tema tertentu.

 Konteks

Analisis wacana mempertimbangkan konteks wacana, seperti latar belakang, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana harus dipandang, diproduksi, dimengerti dan dianalisis dalam konteks tertentu. Dilakukan dengan menggambarkan teks dan konteks secara terintegrasi dalam proses komunikasi.


(28)

12

 Historis

Meletakkan wacana dalam konteks sosial, artinya bagaimana wacana diproduksi dalam konteks tertentu. Hal ini tidak dapat dipahami tanpa menyertakan konteks yang mengikutinya, dengan menempatkan wacana dalam konteks historis tertentu.

 Kekuasaan

Wacana yang muncul tidak hanya dipandang sebagai proses alami, namun merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan menjadi kunci hubungan wacana dengan masyarakat.

 Ideologi

Teks dipandang sebagai bentuk praktik ideologi atau pencerminan ideologi. Ideologi dibangun kelompok dominan dengan tujuan mereproduksi serta melegitimasi dominasi, dengan membuat kesadaran bagi masyarakat sehingga dominasi diterima secara taken for granted.

Eriyanto (2001) mengungkapkan pandangan Van Dijk tentang analisis wacana dapat diklasifikasikan menjadi tiga dimensi utama. Yakni, i) dimensi narasi kebijakan sebagai teks, ii) dimensi kognisi sosial dan terakhir iii) dimensi konteks sosial. Uraian masing-masing dimensi diuraikan berikut.

Dimensi pertama adalah teks. Menurut Eriyanto (2011), analisis wacana dalam pandangan Van Dijk adalah melihat teks yang terdiri beberapa struktur atau tingkatan yang saling mendukung. Tingkatan dikelompokkan dalam tiga elemen utama, yaitu.

 Struktur makro

Merupakan makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik yang diangkat. Menjadi tema atau topik yang diarusutamakan pembuat teks kebijakan. Dalam konteks riset ini, merupakan makna yang tertuang dalam Perda No.11 Tahun 2004 dan peraturan turunannya.

 Struktur meso

Merupakan kerangka dari teks, meliputi bagian pendahuluan, isi, penutup dan kesimpulan. Struktur membentuk bagian dan urutan yang diskemakan dalam isi teks kebijakan. Dalam konteks riset ini, mengenai struktur atau bagian dimaksud dikonstruksikan dalam Perda No.11 Tahun 2004.

 Struktur mikro

Merupakan makna lokal teks kebijakan, diamati dari pilihan kata, kalimat dan gaya yang dipakai. Struktur menekankan makna yang dimunculkan secara detail dan tersirat dalam teks.

Ketiga elemen tersebut merupakan satu kesatuan yang saling terhubung dan mendukung. Makna global teks kebijakan didukung oleh kerangka teks, ditandai pilihan penggunaan kata dan kalimat.

Dimensi kedua adalah kognisi sosial. Dalam pandangan Van Dijk, analisis wacana tidak dibatasi struktur teks, namun menunjukkan makna, pendapat dan ideologi yang diidentifikasi dalam kognisi sosial. Pendekatan kognitif didasari asumsi teks tidak memiliki makna. Makna tersirat dipengaruhi pemakai bahasa atau kesadaran mental pemakai bahasa. Untuk memahami proses kognisi sosial digunakan skema yang dikonseptualkan dari struktur mental, tentang cara pandang manusia, peranan sosial dan peristiwa. Sehingga skema akan aktif untuk


(29)

13 mengkonstruksikan realitas yang membantu proses pemahaman, memaknai dan ingatan tentang tema atau topik tertentu.

Uraian masing-masing skema dijelaskan sebagai berikut.

 Skema persons (person schemas): menggambarkan bagaimana seorang individu melihat dan menggambarkan orang lain.

 Skema diri (self schemas): bagaimana diri sendiri dipandang, dipahami dan digambarkan oleh individu lain.

 Skema peran (role schemas): bagaimana seseorang memandang dan menggambarkan peranan dan posisi individu di dalam masyarakat.

 Skema peristiwa (event schemas): peristiwa yang ditafsirkan dan dimaknai dalam skema tertentu (Eriyanto 2011).

Dimensi terakhir atau ketiga adalah analisis konteks sosial. Wacana merupakan bagian yang berkembang di masyarakat, sehingga guna meneliti teks diperlukan kajian intertekstual, dalam memahami bagaimana wacana diproduksi dan dikonstruksikan. Hal krusialnya adalah bagaimana makna dihayati bersama, kekuatan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi, atau melalui kekuasaan (power) dan akses (access). Kekuasaan merupakan kepemilikan kelompok yang mampu mengontrol kelompok atau anggota kelompok lain. Akses menguraikan bagaimana kelompok memiliki kesempatan, mempengaruhi dan mengarahkan kesadaran masyarakat (Eriyanto 2011).

Guna meyakinkan dan memastikan analisis telah memenuhi kaidah tertentu, menurut Ekayani (2012) perlu dilakukan tiga tahap kegiatan utama, yakni: (i) menyusun framing dan agenda setting terkait tema tertentu; (ii) mengembangkan kategori sistem yang merujuk kepada tujuan yang hendak dicapai; dan terakhir (iii) menyusun coding. Uraian masing-masing tahapan disajikan di bawah ini. 1. Menyusun framing dan agenda setting

Scheufele (1999) mendefinisikan framing sebagai konsep yang melekat dalam konteks lebih luas dari efek media. Sedangkan, agenda setting (Ekayani 2012) dimaknai sebagai pengaruh penyusun bagi pihak lain, berdasarkan pilihan yang dikonstruksikan di dalam narasi. Agenda setting merupakan salah satu cara mempengaruhi opini pihak tertentu dan tema tertentu yang menjadi fokus perhatian masyarakat. Agenda setting akan diterima, apabila mampu memprediksi apa yang akan dilakukan individu atau masyarakat, dalam konteks isu dengan kepentingan yang sama. Menurut IDS (2006), agenda setting berguna dalam mengidentifikasi isu atau masalah tertentu. Agenda setting dikonstruksikan oleh pengetahuan atau diskursus guna mengungkapkan apa yang salah serta bagaimana cara memperbaikinya.

Agenda kebijakan merupakan representasi kesepakatan bersama beberapa pihak atas suatu tema dalam kurun waktu tertentu. Perubahan agenda pemerintah dan publik mempengaruhi agenda kebijakan yang sedang dibangun. Oleh karenanya agenda setting harus dinamis sesuai konteks tema permasalahan yang dihadapi. Lebih lanjut Ekayani (2012) mengungkapkan terdapat dua tingkat agenda setting dalam penelitian. Pertama, pengambil kebijakan menggunakan isu atau tema tertentu untuk mempengaruhi masyarakat dan merekomendasikan yang harus dilakukan masyarakat. Kedua, pengambil kebijakan berfokus terhadap


(30)

14

karakteristik obyek maupun isu, guna mengetahui pertanyaan jika dan bagaimana karakteristik tersebut mempengaruhi masyarakat atau kebijakan isu tertentu. 2. Membangun sistem kategori

Hal utama analisis isi adalah membangun sistem kategori (Ekayani 2012). Masalah utama menyusun disain penelitian adalah pemilihan dan definisi dari kategori (Holsti 1968). Membangun coding dalam sistem kategori merupakan tahap penting dalam analisis, untuk melihat bagaimana perspektif narasi kebijakan. Seluruh artikel dan pernyataan terkait kebijakan pengelolaan hutan lindung oleh pemerintah daerah dianalisis untuk mengetahui dan memahami karakteristiknya (Ekayani 2012). Data untuk menyusun sistem kategori adalah produk kebijakan daerah serta dokumen lainnya yang mempengaruhi pengelolaan hutan lindung. Merujuk konsep Holsti, Ekayani (2012) mencatat terdapat lima persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam menyusun sistem kategori. Yakni, (i) kategori yang dikembangkan memenuhi kecukupan analisis yang menggambarkan pertanyaan penelitian, (ii) kategori mencakup seluruh coding dalam kategori, (iii) kategori bersifat tunggal, artinya tidak dapat ditampilkan dalam beberapa tempat, (iv) kategori bersifat independen, dan (v) kategori tidak boleh mempengaruhi klasifikasi data lain, kategori harus dibangun dari satu prinsip klasifikasi.

3. Menyusun coding

Coding didefinisikan oleh Holsti (1968) sebagai proses sistematis yang mentransformasikan data mentah menjadi unit tertentu, guna menghasilkan deskripsi karakteristik isi secara tepat dan relevan. Penyusunan coding ditujukan untuk mengonsolidasi data dan memudahkan peneliti dalam mengidentifikasi temuan. Holsti menambahkan pembuatan aturan penyusunan coding, berfungsi menjembatani data peneliti dan teori maupun konsep. Biasa digunakan untuk menjawab:

 Bagaimana pertanyaan penelitian didefinisikan ke dalam kategori?

 Apa unit satuan yang harus diklasifikasikan?

 Sistem penghitungan apa yang harus digunakan?

Namun, ketiga pertanyaan dalam penyusunan coding, tidak selalu mempengaruhi pemilihan bentuk kategori, unit dan sistem penghitungan. Merupakan keputusan bersifat independen berdasarkan asumsi yang digunakan.

Dalam konteks penelitian ini, ruang lingkup dibatasi kerangka perspektif wacana kebijakan daerah dalam pengelolaan hutan lindung. Unit analisis untuk mengelompokkan stakeholder adalah pernyataan (statements) dalam naskah kebijakan. Sehingga penyusunan koding yang relevan merujuk wacana kebijakan pengelolaan hutan lindung, khususnya ditinjau dari perspektif tenurial.

Konsepsi Forest Governance

Saat ini, beragam lembaga internasional telah mendefinisikan istilah governance dalam perspektif yang bervariasi. Merujuk dokumen kebijakan United


(31)

15 Nation of Development Programme (UNDP) tahun 1997 yang berjudul Governance for Sustainable Human Development, governance didefinisikan sebagai pengimplementasian kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk mengelola urusan negara di setiap tingkatan. Governance dianggap sebagai mekanisme yang kompleks, proses, hubungan relasional dan kelembagaan bagi masyarakat maupun kelompok masyarakat dalam menyuarakan kepentingan, serta hak dan kewajiban yang yang berbeda.

Governance memiliki tiga dimensi utama, yakni: ekonomi, politik dan administrasi. Implikasinya maka dalam penentuan prioritas politik, sosial dan ekonomi wajib memperhatikan konsensus masyarakat, khususnya pengambilan keputusan pengalokasian sumber daya pembangunan. Dalam hal ini, termasuk didalamnya adalah pengalokasian sumber daya hutan. Membicarakan governance tidak bisa dilepaskan dari istilah yang saling melekat antara satu dengan yang lain, yakni good governance. Istilah ini pun juga diterminologikan sebagai makna yang beragam. Merujuk UNDP (1997) good governance diartikulasikan sebagai proses dan struktur yang mengarahkan hubungan politik dan sosial-ekonomi.

Good governance memiliki sembilan karakteristik utama yang tidak bisa saling dipisahkan, yaitu:

- Participation (partisipasi) - Rule of law (penegakan hukum) - Transparency (transparansi)

- Responsiveness (mengajak semua stakeholder)

- Consensus orientation (berorientasi terhadap konsensus) - Equity (kesetaraan)

- Effectiveness and efficiency (efektif dan efisien) - Accountability (akuntabilitas)

- Strategic vision (memiliki visi strategis)

Unsur governance meliputi negara, swasta dan civil society. Setiap unsur memiliki keunggulan dan kekurangan. Oleh karena itu guna mencapai good governance perlu interaksi yang baik guna menciptakan keseimbangan.

Secara umum forest governance diartikulasikan sebagai: a) Serangkaian instrumen formal dan informal, struktur pengaturan swasta dan publik (contohnya kelembagaan yang terdiri dari aturan, norma, prinsip, prosedur pengambilan keputusan dan pemanfaatan dan konservasi hutan; b) Interaksi antar aktor publik dan swasta; serta c) Implikasi terhadap hutan (Giessen dan Buttoud 2014). Kualitas tata kelola sering dikaitkan dengan pemanfaatan hutan yang dilakukan secara efisien, berkelanjutan, berkeseimbangan guna mencapai tujuan utama pembangunan. Dalam konteks penelitian ini, pembangunan kehutanan dimaknai sebagai pencapaian tujuan yang mampu memberikan keseimbangan manfaat hutan lindung secara berkelanjutan. Tata kelola yang jelek memiliki dampak yang buruk dan sering merefleksikan sejumlah kelemahan tata kelola negara.

Merujuk pendapat Nugroho (2013), tujuan good forestry governance yang mengacu fungsi pemerintahan UNDP (2006) guna memperoleh outcome pengelolaan hutan lestari dan kesejahteraan masyarakat, yaitu:

- Alokasi sumber daya hutan sesuai fungsi yang berimbang dan diakui oleh stakeholders agar berkelanjutan

- Distribusi aliran manfaat hutan secara adil dan merata


(32)

16

- Berkembangnya sektor riil kehutanan

- Terjaganya keutuhan dan fungsi alokasi kawasan hutan

Menurut PROFOR-FAO (2011) forest governance dapat diartikulasikan sebagai bentuk pengelolaan hutan yang efektif dan efisien serta akuntabel dalam memberikan keseimbangan alokasi sumber daya dan manfaat. Lebih lanjut Kishor dan Rosembaum (2012) mendefinisikan forest governance sebagai serangkaian norma, proses, instrumen, orang dan organisasi yang mengatur bagaimana interaksi manusia terhadap hutan.

Inti good forestry governance (Nugroho 2013) adalah mengatur mekanisme inter-relasi para aktor melalui instrumen pengontrol untuk mencapai tujuan bersama. Pencapaian predikat good governance akan diperoleh melalui dukungan dan hubungan kerjasama yang baik antara pemerintah, swasta dan civil society. Walaupun pemerintah merupakan kunci keberhasilan, pihak swasta dan civil society juga memberikan peranan penting dalam tata kelola hutan. Forest governance yang baik (Kishor dan Rosembaum 2012) menjadi fundamental pencapaian manfaat pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, terkait efisiensi pengelolaan hutan, peningkatan kontribusi ekonomi yang mampu memberikan keseimbangan distribusi manfaat.

Kerangka kerja forest governance ini (PROFOR–FAO 2011) melihat dan menganalisis kelembagaan dan interaksi dalam sektor kehutanan yang mampu menciptakan kondisi dan kemungkinan tata kelola kehutanan (Gambar 2). Uraian mengenai kerangka kerja dimaksud terdiri atas pilar, komponen, kriteria dan sub-kriteria yang didaptasi dalam kajian kinerja pengelolaan hutan lindung dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 2 Kerangka kerja forest governance PROFOR–FAO (2011)

Konsepsi Kelembagaan

Terminologi kelembagaan menurut Kasper dan Streit (1998) dimaknai sebagai seperangkat aturan yang membatasi aktivitas individu. Bertujuan mempermudah tingkat pendugaan apa yang bisa atau tidak mungkin dilakukan


(33)

17 oleh individu dalam suatu komunitas. Menurut Schmid (2004) kelembagaan merupakan hubungan antar manusia yang membentuk kesempatan dan kendala. Kendala bagi seseorang merupakan kesempatan bagi orang lain. Dengan kata lain, kelembagaan memungkinkan individu atau kelompok individu untuk berbuat sesuatu yang tidak mungkin dapat dilakukan sendiri tanpa pihak lain. Sedangkan Ostrom (2005) lebih mengartikan kelembagaan sebagai preskripsi (rules of the game) yang dipahami oleh manusia secara bersama-sama, dalam situasi berulang dan membentuk interaksi antar individu. Interaksi antar individu ditentukan oleh aturan, norma dan strategi yang berimplikasi terhadap tindakan individu.

Dalam analisis kelembagaan, variabel kontekstual yang membentuk dan mempengaruhi arena aksi perlu didefinisikan secara spesifik. Termasuk variabel yang terkait dengan biofisik yang mempengaruhi interaksi aktor, atribut komunitas dan kelembagaan atau rule in-use. Pada dasarnya, kelembagaan ditentukan manusia untuk meningkatkan pendugaan dan menentukan arah dari kondisi lingkungan yang tidak pasti. Hal ini dapat meningkatkan kecenderungan individu untuk bekerja sama dan memfasilitasi produksi public goods (Crawford dan Ostrom 1995).

Fenomena kelembagaan (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006) merupakan transaksi antar organisasi maupun anggota dalam organisasi. Pendekatan biaya transaksi dipengaruhi oleh hak kepemilikan, penguasaan faktor produksi, pengetahuan maupun akses informasi. Secara umum, Field (1994) mengartikan biaya transaksi sebagai biaya untuk mencapai dan mengatur kesepakatan, yang menggambarkan perilaku organisasi atau anggota organisasi. Perilaku terbentuk menurut Schmid (2004) memiliki ambang batas stabilitas dan perilaku kolektif tertentu yang dapat berubah, sesuai dengan situasi yang dihadapinya.

Merujuk beberapa definisi dan ruang lingkup di atas, mengisyaratkan betapa pentingnya penguatan kelembagaan yang ada. Peran kelembagaan adalah mengatur hubungan interdependensi antar individu dalam situasi tertentu. Kasper dan Streit (1998) menjelaskan terdapat tiga fungsi utama kelembagaan. Pertama, kelembagaan mampu menjelaskan dan memprediksi proses hubungan interaksi individu yang kompleks. Kedua, kelembagaan dapat menegakkan hak privat yang bersifat otonomi dari pengaruh kekuatan pihak luar. Dan ketiga, kelembagaan berperan dalam memitigasi konflik dalam interaksi antar individu. Ketiga fungsi dapat berjalan, apabila terdapat penegakan aturan dan norma yang disepakati bersama.

Kegagalan kelembagaan erat hubungannya dengan konflik kepentingan, kekuasaan, kewenangan, perilaku oportunistik dan motivasi pencari rente, ketidakseimbangan informasi serta masalah dalam implementasi kebijakan (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006). Guna menghindari kegagalan kelembagaan perlu upaya bersama untuk penguatan kapasitas para aktor dan penegakan aturan main. Menurut Ostrom (2008) untuk memperoleh bentuk kelembagaan yang efektif, perlu pendekatan berbasis eksperimental di tingkat tapak, dibanding pendekatan top-down. Salah satunya, melalui kolaborasi kelembagaan formal dan informal sistem pengelolaan hutan agar mendukung kelestarian.

Aturan dimaknai sebagai norma formal maupun informal yang mengijinkan, melarang serta tindakan tertentu atau kemanfaatan dan pemberian sanksi apabila aturan tidak dijalankan (Crawford dan Ostrom 1995). Ostrom et al. (1994) berpendapat aturan membentuk serangkaian informasi mengenai tindakan aktor,


(34)

18

berupa kewajiban, batasan atau ijin apabila tidak ingin terkena sanksi. Selain itu, Schlager dan Ostrom (1992) mengartikulasikan aturan sebagai pembatasan yang membentuk otorisasi. Sedangkan Kasper dan Streit (1998) mendefinisikan aturan sebagai hal yang membatasi atau melarang kemungkinan perilaku oportunistik, dalam hubungan interaksi antar individu atau kelompok. Lebih lanjut, aturan main tegak apabila ada nilai saling percaya (mutual trust), asas timbal balik (reciprocity and exchanges) serta norma lainnya yang terakumulasi menjadi modal sosial (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006). Ketika aturan main sudah tidak mampu membatasi perilaku oportunistik dan membahayakan, dapat disimpulkan kelembagaan gagal memenuhi tujuan bersama dalam mempengaruhi hubungan interdependensi.

Kelembagaan berperan penting ketika seorang individu sudah tidak mampu berinteraksi secara baik dengan individu lain. Atau saat individu tidak memahami bagaimana individu akan merespon. Serta implementasi sanksi, apabila pihak lain melanggar kesepakatan bersama yang disepakati (Kasper dan Streit 1998). Bagi masyarakat adat atau lokal, aturan main dipengaruhi oleh nilai kearifan lokal yang didominasi norma dan etika. Kearifan bersumber dari adat istiadat dan kepercayaan yang diterima serta diyakini secara turun-temurun. Kearifan lokal mampu menjadi sistem yang dapat mengintegrasikan pengetahuan, budaya, kelembagaan serta praktik pengelolaan hutan.

Konsepsi Property Rights (Hak Kepemilikan) a. Definisi property rights

Property rights didefinisikan Ostrom dan Hess (2008) sebagai tindakan dalam relasi antar individu terhadap suatu barang. Apabila seorang individu memiliki hak, maka orang lain memiliki kewajiban untuk mengakui hak tersebut. Sedangkan, Bromley (1992) mendefinisikan property rights sebagai klaim memperoleh aliran manfaat atau keuntungan. Property rights jenis ini bukan menjadi objek, namun sebagai hubungan sosial untuk memastikan pemegang properti atau aliran manfaat diakui orang lain atau negara. Atau sering disebut sebagai instrumen sosial. Property rights juga dimaknai sebagai klaim untuk memperoleh aliran manfaat dari pihak lain yang biasanya dilakukan oleh negara, yang pada akhirnya negara akan mengakui klaim tersebut, melalui pembebanan kewajiban kepada pihak yang lain, terkait dengan aliran manfaat. Selain itu, Nugroho (2011) mendefinisikan property rights sebagai kelembagaan, karena didalamnya terdapat aturan yang mengatur hubungan antar individu.

Terdapat perbedaan krusial mengenai hak di level operasional (operational– level) dan tindakan bersama (collective–choice). Otoritas dalam menentukan hak level operasional, membuat hak tindakan bersama menjadi sangat kuat (Schlager dan Ostrom 1992). Bentuk implementasi aturan kelembagaan merupakan rezim property rights, karena mengandung norma dan aturan main yang mengatur interaksi sosial antar individu (Nugroho 2011).

Selanjutnya, ditinjau dari karakteristiknya, rezim property rights dikelompokkan oleh Hanna et al. (1996) ke dalam empat kelompok hak kepemilikan (Tabel 2).


(35)

19 Tabel 2 Karakteristik rezim property rights

Property rights Pemilik Hak pemilik Kewajiban pemilik

Privat Individual -Penggunaan diterima oleh masyarakat -Mengontrol akses

Menghindari penggunaan yang dapat mengganggu kepentingan masyarakat Komunal/Adat Bersama/

kelompok

Dapat diekslusi oleh bukan pemilik

Mempertahankan dan membatasi penggunaan

Negara Masyarakat Menentukan aturan Menjaga tujuan sosial

Open access Tidak ada Mengekstraksi Tidak ada

Sumber: Hanna et al. (1996)

Lebih lanjut, Ostrom dan Schlager (1996) mengelompokkan lebih rinci jenis property rights yang berkaitan dengan bundle of rights pelaku kepemilikan ke dalam lima golongan (Tabel 3).

Tabel 3 Property rights terkait dengan bundle of power yang dimiliki oleh para pelaku

Jenis property rights Owner Proprietor Claimant Authorized user

Authorized entrant

Access:

Hak untuk memasuki dan memperoleh manfaat non– substraktif

X X X X X

Withdrawal:

Hak untuk memperoleh unit sumber daya

X X X X

Management:

Hak untuk mengatur dan

mentransformasikan sumber daya

X X X

Exclusion:

Hak untuk menentukan siapa yang bisa mengakses dan mengalihkan hak, serta bagaimana hak tersebut dapat dipindahkan

X X

Aleination:

Hak untuk menjual atau

menjaminkan hak pengelolaan dan eksklusi

X

Sumber: Ostrom dan Schlager (1996)

b. Karakteristik sumber daya hutan yang bersifat common-pool resources

(CPRs)

Kondisi sumber daya yang secara de facto cenderung open access, menurut Bromley (1992) dan McGinnis (2011) disebut sebagai kondisi yang tidak ada property rights atau pun pengaturan yang efektif. Situasi seperti ini hanya ada kesempatan untuk mengekstraksi sumber daya yang ada. Oleh karena itu guna menjembatani persoalan sumber daya yang bersifat open access, muncul istilah


(36)

20

CPRs. Definisi CPRs adalah kondisi munculnya pembatasan hak penggunaan (excludable) potensi sumber daya, terjadi pada saat sifat sumber daya dapat dimanfaatkan (subtractable). CPRs juga dimaknai sebagai sistem sumber daya yang memerlukan pengorbanan untuk membuatnya, sehingga penerima manfaat akan berusaha untuk memperoleh manfaat tanpa melihat jenis property rights (Ostrom 1990; Schlager dan Ostrom 1992; Ostrom et al. 1994). Karakteristik yang pertama, ditinjau dari sifat barang dan jasa dalam perspektif ekonomi sebagai barang publik. Sedangkan karakteristik yang kedua, dilihat sebagai barang dan jasa yang ditinjau dari perspektif barang privat. Penggunaan unit sumber daya CPRs secara berlebihan atau bahkan cenderung destruktif akan menghasilkan situasi open access (Ostrom dan Schlager 1996).

Ostrom dan Schlager (1996) mengungkapkan pada prinsipnya mayoritas sumber daya alam tersebut dapat diklasifikasikan sebagai CPRs, apabila ditinjau dari sudut pandang sebagai barang dan jasa. Menurut pendapat Ostrom dan Schlager (1996) dan Ostrom (1992) terdapat dua kriteria yang dapat dipakai untuk menentukan apakah suatu sumber daya alam dapat dikategorikan sebagai CPRs. Pertama, adanya biaya yang timbul untuk mengambil (excludable) manfaat sumber daya. Biaya eksklusi ini berkaitan dengan jenis dan ukuran batasan sistem sumber daya alam dan teknologi. Kedua, apakah ada unit sumber daya alam yang dapat diekstraksi (substractable) atau apa yang dapat diproduksi dari sistem sumber daya alam tersebut.

Berkenaan dengan karakteristik CPRs hutan lindung, Schlager dan Ostrom (1992; 1996) menjelaskan tingkat operasional property rights yang sesuai adalah access dan withdrawal rights. Apabila pengelola hutan lindung (authorized user; Tabel 3) memiliki hak akses, maka pengelola tersebut memiliki otoritas untuk memasuki dan menentukan siapa yang dapat mengakses hutan lindung. Menurut Ostrom (1999), beberapa hasil penelitian CPRs di lapangan menantang bagaimana kemampuan generalisasi teori konvensional. Teori ini mampu menduga manfaat ketika pengguna bekerja sama atau tidak mampu berkomunikasi efektif, namun belum menjelaskan bagaimana para pengguna membentuk dan mempertahankan kesepakatan akibat generalisasi teori tersebut.

Merujuk rezim property rights (Hanna et al. 1996), kebanyakan sumber daya hutan lindung di Indomesia dapat dikategorikan sebagai state property karena dikuasai negara. Serta disebut communal property apabila dikuasai kelompok masyarakat adat. Namun, hutan lindung sebagai state property, ternyata de facto cenderung open access sehingga penuh dengan ketidakpastian (uncertainty). Oleh karena itu hutan berkarakteristik CPRs akan memiliki atribut risiko bawaan (inherent risks) tinggi. Sehingga menurut Schmid (2004), situasi sumber daya ini, memerlukan implementasi kelembagaan yang baik dalam mengurangi pengaruh risiko bawaan serta mengantisipasi ketidakpastian sumber daya.

Konsepsi Konflik Tenurial a. Definisi konflik dan tenurial

Beberapa ahli mendefinisikan konflik dalam berbagai perspektif. Pertama, Fisher et al. (2001) menganggap konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau


(1)

115

Lampiran 5 Matriks kerangka kerja

forest governance

yang diadaptasi dari

PROFOR

FAO (2011) dan PROFOR (2012)

Pilar

Komponen

Kriteria

Sub-kriteria

I Kerangka kebijakan, kelembagaan dan pengaturan kehutanan.

1 Kualitas kebijakan dan pengaturan daerah tentang kehutanan.

1 Kualitas kebijakan dan pengaturan pengelolaan hutan dalam peraturan daerah.

1 Apakah pemerintah daerah memiliki kebijakan kehutanan daerah.

2 Apakah kebijakan daerah terdapat pernyataan spesifik mengenai tujuan kebijakan adalah untuk menjalankan kehutanan berkelanjutan. 3 Apakah perencanaan hutan

dan penganggaran berusaha untuk mengurangi deforestasi hutan.

4 Dalam pembuatan kebijakan dan perencanaan sektor kehutanan, apakah pembuatan kebijakan dan strategi kehutanan daerah, menyadari peran sektor privat.

5 Apakah kebijakan pemerintah daerah mengakomodir HHBK di kawasan hutan lindung (jasa lingkungan dan manfaat sosial).

6 Apakah aturan memberikan celah bagi pejabat publik melakukan deskresi serta memiliki standar penilaian deskresi.

2 Efektivitas dan efisiensi

implementasi

pengaturan tata kelola kehutanan yang dilaksanakan oleh badan pengelola.

7 Apakah aturan tata kelola hutan simpel atau membingungkan.

2 Kerangka kerja perlindungan hutan yang berkaitan dengan tenurial dan property rights.

3 Kebijakan kehutanan dalam perlindungan dan property rights.

8 Selain lahan dan vegetasi hutan, apakah kepemilikian/ pemanfaatan sumberdaya lainnya telah jelas.

4 Pengaturan

kehutanan

mengakomodir hak masyarakat lokal dalam pemanfaatan hutan.

9 Apakah aturan mengakomodir masyarakat adat dan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya hutan.

5 Konsistensi hak formal dan informal terhadap sumberdaya hutan.

10 Apakah terjadi konflik terhadap hak formal dan informal.


(2)

116

Lanjutan Lampiran 6

Pilar

Komponen

Kriteria

Sub-kriteria

6 Kebijakan pengaturan kehutanan

memberikan hasil efektif dalam menyelesaikan sengketa tenurial dan property rights.

11 Apakah aturan telah efektif dijalankan untuk menyelesaikan sengketa tenurial, property rights dan hak pemanfaatan/ penguasaan.

3 Peran dan fungsi kerangka kerja utama kelembagaan.

7 Mandat desentralisasi kehutanan jelas dan mendukung

kebijakan daerah.

12 Apakah kebijakan desentralisasi kehutanan mendukung kebijakan daerah secara optimal. 8 Penyediaan anggaran

yang cukup untuk mendukung kegiatan pengelola hutan.

13 Apakah anggaran kehutanan berdasarkan tujuan nasional mengenai SFM, dan pengelolaan penerimaan dari sektor kehutanan. 4 Instrumen insentif

keuangan dan ekonomi (pay-off) untuk pemerataan aliran manfaat sumberdaya hutan.

9 Kesetaraan distribusi akses, hak dan pemanfaatan

sumberdaya hutan bagi masyarakat lokal.

14 Apakah masyarakat lokal memiliki akses terhadap sumberdaya hutan secara fair.

10 Kebijakan insentif mendorong nilai tambah dan keberlanjutan pengelolaan hutan.

15 Apakah aturan dan kebijakan daerah mendukung insentif ekonomi bagi kehidupan masyarakat sekitar hutan dengan tetap mempertahankan

pemanfaatan HHBK. 11 Mekanisme untuk

menginternalisasi eksternalitas sosial dan lingkungan pada pengelolaan

sumberdaya hutan.

16 Apakah peraturan mampu mengkonservasikan dan melindungi fungsi hutan lindung yang berhubungan dengan sumberdaya hutan.

II Perencanaan dan proses

pengambilan keputusan.

5 Partisipasi stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

12 Aturan membolehkan partisipasi publik dalam kebijakan kehutanan. Serta efektif dalam menjamin partisipasi stakeholder kunci, termasuk pengenaan sanksi.

17 Apakah masyarakat yang dipengaruhi oleh kebijakan kehutanan daerah, memiliki mekanisme formal untuk terlibat didalamnya.

13 Pemerintah mendukung partisipasi

masyarakat hutan dalam pengambilan keputusan.

18 Apakah pemerintah daerah mendukung dan membuat celah bagi partisipasi civil society dan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengambilan keputusan.


(3)

117

Lanjutan Lampiran 6

Pilar

Komponen

Kriteria

Sub-kriteria

14 Kapasitas pemerintah dalam berhubungan dengan civil society dan stakeholder terkait untuk penentuan dan implementasi

kebijakan.

19 Apakah pemerintah daerah memiliki kapasitas untuk mengajak stakeholder dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi yang berkaitan dengan kehutanan.

15 Efektivitas resolusi konflik dan mekanisme

pengaduan masyarakat.

20 Apakah terdapat rencana praktis dan efektif bagi stakeholder untuk mereview atau menelusur keputusan pengelola hutan.

6 Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sumberdaya hutan.

16 Aturan mendukung akses publik terhadap informasi berkaitan dengan kebijakan kehutanan dan pemberian sanksi.

21 Apakah terdapat kerangka legal yang mendukung akses publik untuk memperoleh informasi kehutanan.

17 Efektivitas

pengawasan dan monitoring eksternal terhadap pengelola hutan.

22 Apakah terdapat mekanisme monitoring dan evaluasi eksternal terhadap pengelola hutan lindung secara independen.

18 Mekanisme

akuntabilitas internal pengelolaan hutan secara independen.

23 Apakah terdapat mekanisme akuntabilitas internal guna mengevaluasi kinerja pengelolaan hutan secara independen.

7 Kapasitas dan tindakan stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

19 Organisasi yang independen (NGO, LSM) bertindak sebagai pengawas.

24 Apakah sektor kehutanan daerah memiliki civil society independen yang melaksanakan fungsi pengawasan.

20 Kapasitas masyarakat lokal, civil society dan pengusaha berpartisipasi dalam perencanaan,

pengambilan

keputusan dan implementasi

kebijakan.

25 Apakah stakeholder terkait memiliki kapasitas untuk secara aktif terlibat dalam pengelolaan dan perencanaan hutan lindung.

III Implementasi, penegakan hukum dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

8 Administrasi sumberdaya hutan.

21 Kecukupan kapasitas SDM dan efektivitas penyelenggaraan administrasi hutan.

26 Apakah petugas memiliki kapasitas untuk melakukan pemantauan seluruh kawasan hutan lindung. 22 Efektivitas distribusi

pendapatan sektor kehutanan.

27 Apakah pengumpulan, pembagian dan redistribusi pajak hutan, royalti, dan hasil pemanfaatan telah dilaksanakan secara efektif.


(4)

118

Lanjutan Lampiran 6

Pilar

Komponen

Kriteria

Sub-kriteria

9 Penegakan kebijakan hutan.

23 Efektivitas

pengukuran dan perangkatnya untuk mencegah kejahatan di bidang kehutanan.

28 Apakah strategi penegakan hukum yang dilakukan pemerintah daerah memiliki pengukuran yang efektif untuk mencegah, mendeteksi dan penindakannya.

24 Kapasitas penegakan aturan untuk mendeteksi dan mencegah aktivitas kejahatan kehutanan.

29 Apakah penegakan hukum telah dilaksanakan oleh pengelola dengan baik.

10 Administrasi tenurial dan property rights.

25 Tingkat komprehensi dan akurasi dalam dokumentasi dan aksesibilitas

informasi berkaitan dengan tenurial dan property rights.

30 Apakah tata batas kawasan hutan lindung telah dilakukan dan diberikan tanda dengan jelas.

31 Apakah masyarakat dapat mengidentifikasikan dengan jelas siapa yang memiliki hak terhadap kawasan hutan.

32 Apakah property rights dicatat dengan lengkap dan terbebas dari indikasi fraud. 26 Efektivitas

implementasi proses dan mekanisme penyelesaian

sengketa tenurial dan property rights.

33 Apakah terjadi konflik serius antara pemerintah negara dan stakeholder terkait dengan pemanfaatan penggunaan hutan.

34 Apakah terjadi konflik serius antara masyarakat yang berbeda dan kelompok pengguna dalam konteks akses dan penggunaan hutan.

35 Apakah konflik yang berkaitan dengan penggunaan sumberdaya hutan akan semakin parah atau dapat diselesaikan. 36 Apakah terdapat cara

penyelesaian konflik secara informal terkait dengan pemanfaatan sumberdaya hutan.

27 Efektivitas mekanisme

kompensasi terhadap pembatasan hak dan akses masyarakat lokal.

37 Ketika pemerintah membatasi hak atas tanah, apakah pemegang hak diberikan kompensasi.


(5)

119

Lanjutan Lampiran 6

Pilar

Komponen

Kriteria

Sub-kriteria

28 Kecukupan

mekanisme dan pengukuran untuk menjamin tenure security bagi pemilik hutan (pengelola) dan pemegang hak.

38 Apakah masyarakat memiliki stabilitas dan keamanan hak terhadap sumberdaya hutan untuk merencanakan aktivitas. 39 Apakah komunitas yang

bergantung terhadap hutan memiliki akses yang aman terhadap sumber daya hutan tersebut.


(6)

120

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah pada

tanggal 18 Februari 1982. Penulis merupakan putra bungsu dari empat bersaudara

dari pasangan Bapak Slamet dan Ibu Partini. Pada tahun 2008, penulis menikah

dengan Badriah dan baru memiliki seorang putri bernama Jihan Safierah.

Pendidikan dasar ditempuh penulis di SDN 01 Tegalrejo, Kabupaten

Semarang selesai pada tahun 1994, dilanjutkan pendidikan menengah pertama di

SMPN 1 Salatiga selesai tahun 1997, dan pendidikan menengah atas di SMUN 1

Salatiga selesai tahun 2000. Pada tahun 2000, penulis melanjutkan pendidikan

Diploma Tiga Teknik Sipil Bangunan Gedung pada Fakultas Teknik Universitas

Sebelas Maret dan tamat tahun 2004. Selang satu tahun kemudian, penulis

melanjutkan pendidikan Strata 1 di program studi Agronomi Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret dan tamat tahun 2006. Pada akhir tahun 2011, penulis

berhasil lolos seleksi beasiswa

Scholarships Program for Strengthening the

Reforming Institution

(SPIRIT) Intake 2012 yang diselenggarakan oleh Bappenas

RI bekerja sama dengan World Bank dan 10 kementerian/lembaga negara. Dan

selanjutnya pada tahun 2012, penulis melanjutkan kuliah Strata 2 di Program

Studi Ilmu Pengelolaan Hutan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Saat ini, penulis bekerja sebagai fungsional pemeriksa pada Badan

Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) sejak tahun 2007. Penugasan

terakhir penulis pada BPK RI Perwakilan Sumatera Selatan di Palembang.

Sebelum akhirnya melanjutkan penugasan pada Biro Sumber Daya Manusia BPK

RI guna penyelesaian studi Strata 2.

Guna memperoleh gelas Magister Sains (M.Si) Program Studi Ilmu

Pengelolaan Hutan Institut Pertanian Bogor, penulis menyelesaikan tesis dengan

judul Opsi Strategi Kebijakan Tenurial Pengelolaan Hutan Lindung di bawah

bimbingan Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS dan Dr. Ir. Dodik Ridho

Nurrochmat, MSc.F.Trop.