BABIV H A SI L P E N E L I T I A N
BABIV H A SI L P E N E L I T I A N
G amba r an U mum L ok asi Penelitian
1. Keadaan geografi Desa Blimbing merupakan satu dari 208 desa atau kelurahan yang
ada di wilayah Kabupaten Sragen dan termasuk satu dari sembilan desa di Kecamatan Sambirejo. Desa Blimbing memiliki luas wilayah 419.4470 Ha dengan penggunaan lahan untuk persawahan yaitu 261.036 Ha, ladang atau tegalan 20.000 Ha dan pekarangan atau perumahan 141.1400 Ha. Adapun batas wilayah administrasi Desa Blimbing adalah sebagai berikut :
a. Sebelah utara : Desa Srimulyo, Kecamatan Gondang.
b. Sebelah timur : Desa Dawung, Kecamatan Sambirejo.
c. Sebelah selatan : Desa Sambirejo, Kecamatan Sambirejo.
d. Sebelah barat : Desa Mojorejo, Kecamatan Karangmalang.
2. Keadaan demografi Desa Blimbing terdiri dari 1.262 KK dengan jumlah penduduk
sebanyak 4.982 jiwa, dengan perincian jumlah penduduk laki-laki sebanyak 2.480 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 2.502 jiwa. Data mengenai tingkat pendidikan dan jenis mata pencaharaian penduduk Desa Blimbing dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Tingkat Pendidikan Penduduk di Desa Blimbing Tahun 2008 Jumlah
No .
T ingkat pendidikan
% (orang)
1. Belum Sekolah 214 4,29
2. Belum Tamat SD 1.069 21,4
3. Tamat SD/Sederajat 1.523 30,5
4. Tamat SLTP/Sederajat 1.001 20,0
5. Tamat SLTA/Sederajat 953 19,1
6. Tamat Perguruan Tinggi/Akademi 227 4,55 Jumlah
4 .982 100 Sumber : Data Demografi Kelurahan Blimbing, (2008)
Sedangkan data mengenai mata pencaharian penduduk di Desa Blimbing, dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis Mata Pencaharaian Penduduk di Desa Blimbing Tahun 2008
Jumlah No .
M ata Pencaharian
% (orang)
1. Petani 232 4,65
2. Buruh Bangunan 393 7,88
3. Pegawai Negeri / ABRI 172 3,45
6. Pengusaha / Industri
7. Buruh Industri 179 3,59
8. Pengangkutan / Transportasi
9. Lain-lain 3.723 74,7 Jumlah
4 .982 100 Sumber : Data Demografi Kelurahan Blimbing, (2008)
B . Ha s il A nalisis Univariat
1. Faktor sosiodemografi
a. Umur responden Umur responden dibagi menjadi dua yaitu kategori umur risiko
tinggi (< 20 tahun dan > 35 tahun) dan umur risiko rendah (20 ± 35 tinggi (< 20 tahun dan > 35 tahun) dan umur risiko rendah (20 ± 35
b. Tingkat pendidikan ibu Pendidikan responden dibagi tiga kategori yaitu rendah (tidak sekolah/ tidak tamat SD dan tamat SD), sedang (tamat SMP dan tamat
SMA), dan tinggi (Perguruan Tinggi/Akademi). Sebagian besar responden adalah berpendidikan rendah sebesar 58,6%. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 4.
c. Jenis pekerjaan ibu Pekerjaan responden dibagi menjadi dua kategori yaitu bekerja
dan tidak bekerja. Jenis pekerjaan yang terbanyak yaitu pada responden yang bekerja sebesar 65,7%, sedangkan pada kategori tidak bekerja sebanyak 34,3 %. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Tingkat Pendidikan
dan Pekerjaan
Persen (%) Umur Ibu
K arakteristik
F rekuensi
48 68,6 Risiko tinggi
Risiko rendah
22 31,4 Jumlah
70 100 Tingkat Pendidikan
Tidak bekerja
24 34,3 Bekerja
46 65,7 Jumlah
2. Faktor Lingkungan
a. Sumber air minum Hasil penelitian mengenai sumber air minum diperoleh dari
hasil kuisioner. Sumber air minum dibagi menjadi dua kategori yaitu sumber air minum terlindung dan sumber air minum tidak terlindung. Sumber air minum tidak terlindung sebanyak 54,3% dan sumber air terlindung sebanyak 45,7 %. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 5.
b. Jenis tempat pembuangan tinja Jenis tempat pembuangan tinja dibagi menjadi dua yaitu jamban
tidak sehat dan jamban sehat. Jenis jamban tidak sehat sebanyak 35,7% dan jamban sehat sebanyak 64,3%. Hasil penelitian mengenai jenis tempat pembuangan tinja diperoleh dari hasil kuisioner. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 5.
c. Jenis lantai rumah Jenis lantai rumah dibagi menjadi dua yaitu lantai kedap air dan lantai tidak kedap air. Jenis lantai tidak kedap air sebanyak 61,4% dan
jenis lantai kedap air 38,6%. Hasil penelitian mengenai jenis lantai rumah diperoleh dari hasil kuisioner. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Distribusi Jawaban Responden Menurut Faktor Lingkungan K arakteristik
Persen (%) Sumber air minum
F rekuensi
Terlindung
23 32,9 Tidak terlindung
47 67,1 Jumlah
70 100 Jenis tempat pembuangan tinja
Jamban tidak sehat
25 35,7 Jamban sehat
45 64,3 Jumlah
70 100 Jenis lantai rumah
43 61,4 Lantai kedap air
Lantai tidak kedap air
27 38,6 Jumlah
3. Kejadian diare Hasil penelitian mengenai kejadian diare diperoleh dari hasil
kuisioner yang diberikan kepada responden. Dalam variabel ini responden yang diambil dibatasi pada ibu-ibu yang memiliki balita yang mengalami diare dalam kurun waktu 3 bulan (Juni ± Agustus 2009). Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Distribusi Jawaban Responden tentang Kejadian Diare K arakteristik
Persen (%) Kejadian diare
F rekuensi
Tidak diare
C . Ha s il A nalisis Bivariat Penelitian ini menguji hubungan faktor lingkungan dan faktor sosiodemografi yang berhubungan dengan kejadian diare pada anak balita di
Desa Blimbing, Kecamatan Sambirejo, Sragen. Analisis data secara statistik dilakukan dengan uji chi square, dengan bantuan program SPSS diperoleh hasil sebagi berikut.
1. Faktor sosiodemografi
a. Umur ibu Hubungan antara umur ibu dengan kejadian diare pada balita
disajikan pada Tabel 7, berikut ini. Tabel 7. Hubungan antara Umur Ibu dengan Kejadian Diare K ejadian diare
Diare Umur ibu
Tidak diare
Frek
Persen
Frek Persen
(Balita) (%) Risiko tinggi
(Balita)
7 (10) Risiko rendah
Berdasarkan Tabel 7 di atas dapat diketahui bahwa umur Ibu dengan risiko rendah balitanya lebih banyak mengalami diare dari pada balita dengan ibu yang umur risiko tinggi. Hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa p = 0,114 (p > 0,05), artinya tidak ada hubungan antara umur ibu dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Blimbing, Kecamatan Sambirejo, Sragen.
b. Tingkat pendidikan Hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian diare pada balita, disajikan pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Hubungan antara Tingkat Pendidikan Ibu dengan
Kejadian Diare
K ejadian diare Tidak diare
Pendidikan Ibu Diare
Frek
Persen
Frek Persen
(Balita) (%) Rendah
Berdasarkan Tabel 8 di atas dapat diketahui bahwa Ibu dengan tingkat pendidikan rendah balitanya lebih banyak terkena diare dari pada balita dengan Ibu yang berpendidikan sedang dan berpendidikan tinggi. Hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa p = 0,080, (p> 0,05) artinya tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Blimbing, Kecamatan Sambirejo, Sragen.
c. Jenis pekerjaan Ibu Hubungan antara jenis pekerjaan ibu dengan kejadian diare pada balita disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Hubungan antara Jenis Pekerjaan Ibu dengan Kejadian Diare K ejadian diare
Diare Peker jaan Ibu
Tidak diare
Frek
Persen
Frek Persen
(Balita) (%) Tidak bekerja
(Balita)
10 (14,3) Berkerja
22 (31,4) Jumlah
Berdasarkan tabel 9 di atas dapat diketahui bahwa balita yang lebih banyak mengalami diare pada ibu yang bekerja daripada ibu yang tidak bekerja. Hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa p = 0,623, (p> 0,05) artinya tidak ada hubungan antara jenis pekerjaan ibu dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Blimbing, Kecamatan Sambirejo, Sragen.
2. Faktor Lingkungan
a. Sumber air minum Hubungan antara sumber air minum dengan kejadian diare pada
balita, disajikan pada Tabel 10 berikut ini. Tabel 10. Hubungan Sumber Air Minum dengan Kejadian Diare K ejadian diare
Diare Sumber air minum
Tidak diare
Frek
Persen
Frek Persen
29 (41,4) Tidak Terlindung
Berdasarkan Tabel 10 di atas dapat diketahui bahwa rumah dengan sumber air minum tidak terlindung lebih banyak balita yang mengalami diare dari pada rumah yang jenis sumber air minumnya terlindung. Hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa p = 0,001, (p < 0,05) artinya terdapat hubungan antara sumber air minum dengan Berdasarkan Tabel 10 di atas dapat diketahui bahwa rumah dengan sumber air minum tidak terlindung lebih banyak balita yang mengalami diare dari pada rumah yang jenis sumber air minumnya terlindung. Hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa p = 0,001, (p < 0,05) artinya terdapat hubungan antara sumber air minum dengan
b. Jenis tempat pembuangan tinja Hubungan antara jenis tempat pembungan tinja dengan kejadian
diare pada balita, disajikan pada Tabel 11 berikut ini. Tabel 11. Hubungan Jenis Tempat Pembuangan Tinja dengan
Kejadian Diare
K ejadian diare Jenis tempat
Diare pembuangan tinja
Tidak diare
Frek
Persen
Frek Persen
(Balita) (%) Jamban tidak sehat
Jamban sehat
Berdasarkan Tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa jenis jamban tidak sehat balitanya lebih banyak terkena diare daripada jenis jamban yang sehat. Hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa p = 0,001, (p < 0,05) artinya terdapat hubungan antara jenis tempat pembuangan tinja dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Blimbing, Kecamatan Sambirejo, Sragen.
c. Jenis lantai rumah Hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian diare pada
balita. disajikan pada Tabel 12 berikut ini.
Tabel 12. Hubungan Jenis Lantai Rumah dengan Kejadian Diare K ejadian diare
Jenis lantai
Diare rumah
Tidak diare
Frek
Persen
Frek Persen
(Balita) (%) Kedap air
(Balita)
(%)
1 (1,4) Tidak kedap air
Berdasarkan Tabel 12 di atas dapat diketahui bahwa balita yang terkena diare lebih banyak pada rumah dengan jenis lantai tidak kedap air dari pada rumah dengan jenis lantai yang kedap air. Hasil uji statistik
c hi square menunjukkan bahwa p = 0,001, (p < 0,05) artinya terdapat hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian diare pada anak
balita di Desa Blimbing, Kecamatan Sambirejo, Sragen.
D . Ringkasan H asil U ji Bivariat Ringkasan hasil uji bivariat faktor lingkungan dan faktor sosiodemografi dengan kejadian diare pada balita, disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Ringkasan Hasil Uji Bivariat K ejadian diare
No .
V ariabel
Nilai p
F2 K eputusan
1. Umur ibu
0,114 2,496
Ho diterima
2. Tingkat pendidikan ibu
0,080 5,048
Ho diterima
3. Jenis pekerjaan ibu
0,623 0,241
Ho diterima
4. Sumber air minum 0,001 14,734 Ho ditolak
5. Jenis tempat pembuangan tinja 0.001 18,421 Ho ditolak
6. Jenis lantai rumah 0.001 31,259 Ho ditolak
BAB V PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara faktor lingkungan dan faktor sosiodemografi dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Blimbing, Kecamatan Sambirejo, Sragen. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan responden masih banyak yang berpendidikan rendah yaitu sebesar 58,6%. Kategori pendidikan rendah yaitu tidak sekolah atau tidak tamat SD dan tamat SD. Pendidikan merupakan hal yang penting dalam mempengaruhi pikiran seseorang. Pendidikan masyarakat yang rendah menjadikan mereka sulit diberi tahu mengenai pentingnya kebersihan perorangan dan sanitasi lingkungan untuk mencegah terjangkitnya penyakit menular, yang salah satunya diare (Sander, 2005).
Menurut Notoatmodjo (2003), tingkat pendidikan seseorang dapat meningkatkan pengetahuannya tentang kesehatan. Salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah tingkat pendidikan. Pendidikan akan memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat. Menurut Widyastuti (2005), orang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi lebih berorientasi pada tindakan preventif, mengetahui lebih banyak tentang masalah kesehatan dan memiliki status kesehatan yang lebih baik. Namun pada hasil pengujian pada penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan tingkat pendidikan ibu dengan kejadian diare pada anak balita dengan nilai p = 0,08. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sander (2005), tentang
hubungan faktor sosio budaya dengan kejadian diare di Kecamatan Sidoarjo. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian diare. Hal tersebut memberi arti bahwa tingkat pendidikan seseorang belum menjamin dimilikinya pengetahuan tentang diare dan pencegahannya. Tetapi hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian Yulisa (2008), yang menunjukkan ada pengaruh tingkat pendidikan ibu terhadap kejadian diare pada balita dengan nilai p = 0,001. Hal ini mungkin karena karakteristik responden disuatu daerah dengan daerah lain berbeda-beda, sehingga pemahaman terhadap diare dan penanganannya pun juga berbeda.
Jenis pekerjaan responden sebagian besar bekerja yaitu sebesar 65,7%, dapat dilihat pada Tabel 4. Dengan adanya aktivitas di luar rumah, menjadikan kegiatan untuk mengasuh dan merawat balita terbatas, responden kemungkinan dibantu oleh keluarganya. Pola asuh yang dilakukan kepada balita selain dari ibu (responden) juga dari keluarganya sehingga kemungkinan terjadi perubahan pola pengasuhan. Hasil pengujian menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis pekerjaan ibu dengan kejadian diare pada balita di Desa Blimbing, Kecamatan Sambirejo, Sragen dengan nilai p = 0,623.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Pitono, et al, (2006), yang menunjukkan tidak ada hubungan status pekerjaan ibu dengan lamanya diare yang dialami balita dengan nilai p > 0,05. Pada hasil penelitian Mansyah (2005), juga menunjukkan faktor status ibu bekerja atau tidak bekerja tidak memiliki hubungan dengan kejadian diare pada balita. Hal ini mungkin disebabkan di Desa Blimbing walaupun ibu-ibu banyak yang bekerja tetapi pekerjaan tersebut adalah Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Pitono, et al, (2006), yang menunjukkan tidak ada hubungan status pekerjaan ibu dengan lamanya diare yang dialami balita dengan nilai p > 0,05. Pada hasil penelitian Mansyah (2005), juga menunjukkan faktor status ibu bekerja atau tidak bekerja tidak memiliki hubungan dengan kejadian diare pada balita. Hal ini mungkin disebabkan di Desa Blimbing walaupun ibu-ibu banyak yang bekerja tetapi pekerjaan tersebut adalah
Umur responden terbanyak tergolong risiko rendah yaitu sebesar 68,6%, dapat dilihat pada tabel 4. Kategori umur risiko rendah adalah umur 20 - 35 tahun. Jika dilihat dari hubungannya dengan kejadian diare pada anak balita, umur ibu tidak berhubungan dengan kejadian diare, dengan nilai p = 0,114. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Irianto (1996), yang menunjukkan umur ibu tidak berhubungan dengan kejadian diare pada balita dengan nilai p > 0,05. Hal ini dapat dimengerti karena umur 20 ± 35 tahun, merupakan usia subur seorang ibu. Umur merupakan salah satu variabel yang dipakai untuk memprediksi perbedaan dalam hal penyakit, kondisi dan peristiwa kesehatan (Widyastuti, 2005).
A . H u b u nga n a n t a r a F a k to r L i ng k u nga n d e ngan K ejadian Diare Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara faktor lingkungan yang meliputi sumber air minum, jenis tempat pembuangan tinja dan jenis lantai rumah dengan kejadian diare pada balita di Desa Blimbing, Kecamatan Sambirejo, Sragen.
1. Hubungan antara sumber air minum dengan kejadian diare Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang
menggunakan sumber air minum yang tidak terlindung yang tidak terkena diare sebanyak 18 responden (25,7%), sementara yang terkena diare sebanyak 29 responden (41,4%), sedangkan responden yang menggunakan
sumber air minum terlindung yang tidak terkena diare sebanyak 20 responden (28,6%), sementara yang terkena diare sebanyak 3 responden (4,3%). Dari hasil uji bivariat didapatkan nilai p = 0,01 (p < 0,01). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga ada hubungan antara sumber air minum dengan kejadian diare pada balita di Desa Blimbing, Kecamatan Sambirejo, Sragen. Berdasarkan hasil kuisioner, sebagian masyarakat telah menggunakan sarana PAM yaitu sumber air minum yang terlindung, sebagai sumber air utama keluarga dan sebagian masih menggunakan sumber air minum tidak terlindung yaitu sumur, sebagai sumber air utama keluarga.
Sumber air minum mempunyai peranan dalam penyebaran beberapa penyakit menular. Sumber air minum merupakan salah satu sarana sanitasi yang berkaitan dengan kejadian diare. Sebagian kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fekal oral. Mereka dapat ditularkan dengan memasukkan ke dalam mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja (Depkes RI, 2000).
Sumber air tidak terlindung, seperti sumur masih banyak digunakan sebagai sumber air utama bagi masyarakat di Desa Blimbing, Kecamatan Sambirejo, Sragen. Air yang diperoleh warga dijadikan sebagai air minum, dan mencuci. Kondisi yang berlangsung secara lama dan berulang-ulang mengakibatkan kejadian diare pada balita dapat dikatakan tinggi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Zubir (2006), tentang faktor-faktor risiko kejadian diare akut pada anak 0-35 bulan (Batita) di Kabupaten Bantul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber air minum yang digunakan mempengaruhi terjadinya diare akut dengan nilai p < 0,05 , (OR) = 3,10, dan hasil penelitian Yulisa (2008), yang menunjukkan bahwa ada pengaruh sumber air minum dengan kejadian diare pada balita dengan nilai p = 0,0001 dan OR = 17,7.
Menurut Sukarni (2002), sumber air minum tidak terlindung seperti sumur, harus memenuhi syarat kesehatan sebagai air bagi rumah tangga, maka air harus dilindungi dari pencemaran. Sumur yang baik harus memenuhi syarat kesehatan antara lain, jarak sumur dengan lubang kakus, jarak sumur dengan lubang galian sampah, saluran pembuangan air limbah, serta sumber-sumber pengotor lainnya. Jarak sumur dengan tempat pembuangan tinja lebih baik 10 meter atau lebih.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, untuk keperluan minum keluarga, ibu terlebih dahulu memasak air minum sampai mendidih. Air minum yang telah direbus sampai mendidih, akan mematikan mikroorganisme yang ada dalam air tersebut, sehingga tidak menimbulkan penyakit. Untuk keperluan minum dan memasak sebagian ibu-ibu menampung air tersebut di tempat penampungan air, tetapi ada sebagian ibu yang langsung mengambilnya dari kran air. Meskipun air minum tersebut ditampung di tempat penampungan air dan tertutup, tetapi air tersebut masih dapat tercemar oleh tangan ibu yang menyentuh air saat Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, untuk keperluan minum keluarga, ibu terlebih dahulu memasak air minum sampai mendidih. Air minum yang telah direbus sampai mendidih, akan mematikan mikroorganisme yang ada dalam air tersebut, sehingga tidak menimbulkan penyakit. Untuk keperluan minum dan memasak sebagian ibu-ibu menampung air tersebut di tempat penampungan air, tetapi ada sebagian ibu yang langsung mengambilnya dari kran air. Meskipun air minum tersebut ditampung di tempat penampungan air dan tertutup, tetapi air tersebut masih dapat tercemar oleh tangan ibu yang menyentuh air saat
2. Hubungan antara jenis tempat pembuangan tinja dengan kejadian diare Selain sumber air minum, jenis tempat pembuangan tinja juga merupakan sarana sanitasi yang berkaitan dengan kejadian diare. Jenis
tempat pembuangan tinja yang tidak saniter akan memperpendek rantai penularan penyakit diare.
Dari hasil uji bivariat didapatkan nilai p = 0,001, (p < 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga terdapat hubungan antara jenis tempat pembuangan tinja dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Blimbing, Kecamatan Sambirejo, Sragen.
Jenis tempat pembuangan tinja yang tidak sehat dilihat dari yang terkena diare sebanyak 20 responden (28,6%). Menurut Notoatmodjo (2003), syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan adalah tidak mengotori permukaan tanah di sekitarnya, tidak mengotori air permukaan di sekitarnya, tidak mengotori air dalam tanah di sekitarnya, dan kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai sebagai tempat lalat bertelur atau perkembangbiakan vektor penyakit lainnya. Namun pada kenyataanya masyarakat di Desa Blimbing, Kecamatan Sambirejo, Sragen masih banyak yang belum memiliki jamban sehat. Kondisi ini Jenis tempat pembuangan tinja yang tidak sehat dilihat dari yang terkena diare sebanyak 20 responden (28,6%). Menurut Notoatmodjo (2003), syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan adalah tidak mengotori permukaan tanah di sekitarnya, tidak mengotori air permukaan di sekitarnya, tidak mengotori air dalam tanah di sekitarnya, dan kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai sebagai tempat lalat bertelur atau perkembangbiakan vektor penyakit lainnya. Namun pada kenyataanya masyarakat di Desa Blimbing, Kecamatan Sambirejo, Sragen masih banyak yang belum memiliki jamban sehat. Kondisi ini
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Zubir (2006) tentang faktor-faktor risiko kejadian diare akut pada anak 0-35 bulan (Batita) di Kabupaten Bantul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tempat pembuangan tinja mempengaruhi terjadinya diare akut dengan nilai p<0,05, (OR) = 1,24. Hasil penelitian ini juga mendukung hasil penelitian Wibowo, et al (2004), bahwa tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar 2,55 kali lipat dibandingkan dengan keluarga yang membuang tinjanya secara saniter.
Pada penelitian ini jenis tempat pembuangan tinja dibedakan menjadi jenis jamban sehat dan jenis jamban tidak sehat. Jenis jamban tidak sehat yaitu jenis jamban tanpa tangki septik atau jamban cemplung dan rumah yang tidak memiliki jamban sehingga bila buang air besar mereka pergi ke sungai. Jenis tempat pembuangan tinja tersebut termasuk jenis tempat pembuangan tinja yang tidak saniter. Jenis tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat kesehatan, akan berdampak pada banyaknya lalat. Sedangkan jenis jamban sehat yaitu jamban yang memiliki tangki septik atau lebih dikenal dengan jamban leher angsa. Menurut Entjang (2000), jamban leher angsa (angsa latrine) merupakan jenis jamban yang memenuhi syarat kesehatan. Jamban ini berbentuk leher angsa sehingga akan selalu terisi air, yang berfungsi sebagai sumbat Pada penelitian ini jenis tempat pembuangan tinja dibedakan menjadi jenis jamban sehat dan jenis jamban tidak sehat. Jenis jamban tidak sehat yaitu jenis jamban tanpa tangki septik atau jamban cemplung dan rumah yang tidak memiliki jamban sehingga bila buang air besar mereka pergi ke sungai. Jenis tempat pembuangan tinja tersebut termasuk jenis tempat pembuangan tinja yang tidak saniter. Jenis tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat kesehatan, akan berdampak pada banyaknya lalat. Sedangkan jenis jamban sehat yaitu jamban yang memiliki tangki septik atau lebih dikenal dengan jamban leher angsa. Menurut Entjang (2000), jamban leher angsa (angsa latrine) merupakan jenis jamban yang memenuhi syarat kesehatan. Jamban ini berbentuk leher angsa sehingga akan selalu terisi air, yang berfungsi sebagai sumbat
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui masih ada sebagian masyarakat yang belum memiliki jamban pribadi, sehingga apabila mereka buang air besar mereka menumpang di jamban tetangga, buang air besar di sungai dekat rumah atau buang air besar di jamban cemplung yang ada di kebun dekat rumah. Bila dilihat dari perilaku ibu, masih ada sebagian ibu yang tidak membuang tinja balita dengan benar, mereka membuang tinja balita ke sungai, ke kebun atau pekarangan. Mereka beranggapan bahwa tinja balita tidak berbahaya. Padahal menurut Depkes (2000), tinja balita juga berbahaya karena mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Tinja balita juga dapat menularkan penyakit pada balita itu sendiri dan juga pada orang tuanya. Selain itu tinja binatang dapat pula menyebabkan infeksi pada manusia.
Tinja yang dibuang di tempat terbuka dapat digunakan oleh lalat untuk bertelur dan berkembang biak. Lalat berperan dalam penularan penyakit melalui tinja (faecal borne disease), lalat senang menempatkan telurnya pada kotoran manusia yang terbuka, kemudian lalat tersebut hinggap di kotoran manusia dan hinggap pada makanan manusia (Soeparman dan Suparmin, 2003).
3. Hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian diare Berdasarkan hasil uji bivariat didapatkan nilai p = 0,001 (p < 0,01).
Dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga ada hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian diare pada balita di Desa Blimbing, Kecamatan Sambirejo, Sragen. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Yulisa (2008), yang menunjukkan ada pengaruh jenis lantai rumah terhadap kejadian diare pada balita dengan nilai p = 0,005 dan OR = 0,0001.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang jenis lantainya tidak kedap air yang terkena diare sebanyak 31 responden (44,3%). Jenis lantai tidak kedap air yaitu jenis lantai rumah yang masih dari tanah, dan jenis lantai rumah yang kedap air yaitu jenis lantai yang terbuat dari semen dan ubin atau porselen. Menurut Notoatmodjo (2003), syarat rumah yang sehat memiliki jenis lantai yang tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim penghujan. Dengan banyaknya responden yang memiliki lantai rumah yang masih tidak kedap air sangat memungkinkan lantai menjadi sarang kuman, debu yang dapat menjadi pencetus terjadinya diare pada balita. Lantai tidak kedap air yang berupa lantai tanah akan menyebabkan ruangan kotor dan menjadi sarang mikroorganisme serta mudah menyerap air yang mungkin air tersebut juga mengandung mikroorganisme. Aktivitas balita responden yang bermain di lantai rumah dapat menyebabkan kontak antara lantai rumah yang tidak Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang jenis lantainya tidak kedap air yang terkena diare sebanyak 31 responden (44,3%). Jenis lantai tidak kedap air yaitu jenis lantai rumah yang masih dari tanah, dan jenis lantai rumah yang kedap air yaitu jenis lantai yang terbuat dari semen dan ubin atau porselen. Menurut Notoatmodjo (2003), syarat rumah yang sehat memiliki jenis lantai yang tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim penghujan. Dengan banyaknya responden yang memiliki lantai rumah yang masih tidak kedap air sangat memungkinkan lantai menjadi sarang kuman, debu yang dapat menjadi pencetus terjadinya diare pada balita. Lantai tidak kedap air yang berupa lantai tanah akan menyebabkan ruangan kotor dan menjadi sarang mikroorganisme serta mudah menyerap air yang mungkin air tersebut juga mengandung mikroorganisme. Aktivitas balita responden yang bermain di lantai rumah dapat menyebabkan kontak antara lantai rumah yang tidak
B . K eter batasan Penelitian
Keterbatasan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Pada penelitian ini kualitas fisik sumber air minum tidak diteliti, sumber air minum yang tidak memenuhi syarat fisik berdasarkan kesehatan dapat menyebabkan terjadinya diare.
2. Sumber pembuangan air limbah (SPAL) juga tidak diteliti dalam penelitian ini. Apabila jarak pembuangan air limbah < 10 meter dan tidak
terbuat dari bahan yang kedap air maka air limbah tersebut akan meresap kembali menembus kedalam tanah.
3. Pada penelitian ini faktor sosiodemografi yang tidak diteliti adalah tingkat pendapatan keluarga. Pada umumnya bila penghasilan tinggi sarana atau fasilitas jamban keluarga tersedia dan memadai.