Pengelolaan Penyakit Akar Gada (Plasmodiophora brassicae Wor.) pada Tanaman Kubis dengan Tanaman Perangkap dan Perlakuan Tanah Pembibitan

PENGELOLAAN PENYAKIT AKAR GADA (Plasmodiophora

brassicae Wor.) PADA TANAMAN KUBIS DENGAN TANAMAN
PERANGKAP DAN PERLAKUAN TANAH PEMBIBITAN

OLEH:

CICU

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

ABSTRAK
CICU. Pengelolaan Penyakit Akar Gada (Plasmodiophora brassicae Wor.) pada
Tanaman Kubis dengan Tanaman Perangkap dan Perlakuan Tanah Pembibitan.
Dibimbing oleh SIENTJE S. MANDANG dan WIDODO. Penyakit akar gada
yang disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae Wor. merupakan salah satu
penyakit penting pada tanaman kubis-kubisan (Brassica spp.). Tanaman perangkap
adalah salah satu komponen dari pengelolaan penyakit tanaman yang diharapkan
dapat mengurangi populasi awal patogen, dan perlakuan tanah pembibitan dengan

solarisasi dan penggunaan bahan organik seperti pupuk kandang ditujukan untuk
meningkatkan aktivitas mikrob tanah yang bersifat antagonis terhadap patogen.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tanaman perangkap dan
perlakuan tanah pembibitan terhadap Plasnzodiopltora brassicae Wor. pada
tanaman kubis. Penelitian dilaksanakan di Kebun Instalasi Penelitian Tanaman
Hias Cipanas di Cipanas (Jawa Barat) dan di Laboratorium Mikologi, Jurusan
Hama dan Penyakit Tumbuhan, IPB dengan menggunakan Rancangan Faktorial
dalam Acak Kelompok dengan dua faktor dan tiga ulangan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi antara tanaman perangkap dan
perlakuan tanah pembibitan dalam menekan P, brassicae. Tanaman perangkap
caisin (satu kali tanam) dapat menurunkan indeks penyakit akar gada pada
tanaman kubis. Perlakuan tanah pembibitan hanya dengan solarisasi, hanya
dengan pupuk kandang ayam, atau dengan solarisasi dan pupuk kandang ayam
dapat menurunkan indeks penyakit akar gada dan meningkatkan produksi kubis.
Perlakuan yang paling baik adalah perlakuan tanah pembibitan dengan pupuk
kandang ayam.

SURAT PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
PENGELOLAAN PENYAKIT AKAR GADA (Plasmodiophora brassicae WOR.)

PADA TANAMAN KUBS DENGAN TANAMAN PERANGKAP DAN
PERLAKUAN TANAH PEMBIBITAN
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri belum pernah dipublikasikan.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas
dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Nopember 2002

NRP. 99524

PENGELOLAAN PENYAKIT AKAR GADA (Plasmodiophora
brassicae Wor.) PADA TANAMAN KUBIS DENGAN TANAMAN
PERANGKAP DAN PERLAKUAN TANAH PEMBIBITAN

CICU

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Entomologi dan Fitopatologi


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

Judul

: Pengelolaan Penyakit Akar Gada

Nama mahasiswa

: Cicu

Nomor pokok

: 99524

Program studi

: Entomologi dan Fitopatologi


(Plasmodiophora
brassicae Wor.) pada Tanaman Kubis dengan Tanaman
Perangkap dan Perlakuan Tanah Pembibitan

Menyetujui:
1. Komisi pembimbing,

Prof.Dr.Ir. ~ientieS. Mandang
Ketua

Dr. Ir. Widodo
Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi

Dr. Ir. Meitv S. ~ i i a g aMSc.
,


Tanggal Lulus: 29 Nopember 2002

Manuwoto,MSc

ki

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kampiri (Sulawesi Selatan) pada tanggal 18
Desember 1962 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari ibu Pancai dan
ayah Andi Badaruddin.
Penulis menyelesaikan pendidikan SD tahun 1974 di SD Negeri Kampiri,
SMP Negeri Kampiri tahun 1977 dan SMA Negeri 226 Siengkang tahun 1981.
Pada tahun .I986 penulis memperoleh gelar sarjana pertanian di Fakultas
Pertanian Universitas Hasanuddin Ujung Pandang dalam bidang Hama dan
Penyakit Tumbuhan. Sejak tahun 1989 hingga sekarang penulis beke rja sebagai
staf peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian dan saat ini

ditempatkan di Kebun Percobaan Jeneponto, BPTP Sulawesi Selatan. Tanggal 1

September 1999 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Pascasarjana (S2),
Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa dari Departemen Pertanian, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang Pertanian) melalui Proyek
Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (ARMP 11).

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayahNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dan sekaligus menyelesaikan
Studi S2 di Program Pascasarjana IPB.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih
kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Sientje S. Mandang, selaku ketua komisi pembimbing dan
Bapak Dr. Ir. Widodo, selaku anggota komisi pembimbing, yang telah banyak
memberikan bimbingan, saran dan arahan kepada penulis.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kepala Pusat

Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Kepala Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Kendari serta Pemimpin Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian (ARMP 11) Departemen Pertanian, atas izin,
kesempatan dan dukungan dana yang diberikan kepada penulis untuk

mengikuti pendidikan program pascasarjana (S2) di IPB, sehingga proses
penyelesaian studi penulis berjalan dengan lancar.

2. Direktur Program Pascasarjana IPB yang telah mengizinkan penulis untuk
mengikuti pendidikan pada Program Pascasarjana IPB.
3. Ketua Program Studi Entomologi dan Fitopatologi dan seluruh staf pengajar

yang telah meniberikan ilmunya kepada penulis selama mengikuti program S2
di IPB.
4. Kepala Kebun Instalasi Penelitian Tanaman Hias Cipanas dan stafnya yang

telah membantu penulis selama penelitian berlangsung.
5. Rekan-rekan yang telah membantu selama penelitian dan penulisan tesis ini

Akhimya terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada AyahlBunda
tercinta atas segala doa dan restunya serta seluruh keluarga yang mendukung studi
penulis di S2 IPB. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmatNya kepada
kita semua ...... .....Amin.

Bogor,


2002
Penulis

DAFTAR IS1
Halaman
DAFTAR TABEL ...............................................................

vi

DAFTAR GAMBAR ............................................................

vii

DAFTAR LAMPIRAN .........................................................

vlll

...


PENDAHULUAN ...............................................................
Latar Belakang ...........................................................
Tujuan .....................................................................
Hipotesis ..................................................................
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................
Penyakit Akar Gada ......................................................
Gejala .............................................................
Patogen ...........................................................
Penyebaran Penyakit dan Virulensi Patogen ................
Pengaruh Faktor Lingkungan ..................................
Pengendalian ....................................................
Peranan Tanaman Perangkap ..................................
Peranan Bahan Organik .........................................
Peranan Solarisasi ...............................................
BAHAN DAN METODE ........................................................
Tempat dan Waktu .......................................................
Metode .....................................................................
Rancangan Percobaan ....................................................

17

17
17
21

HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................

23

KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................

44

DAFTAR PUSTAKA .............................................................

45

LAMPIRAN .......................................................................

52


DAFTAR TABEL
Halaman
1. Pengaruh frekuensi tanam tanaman perangkap terhadap kejadian
penyakit, indeks penyakit akar gada (P. brassicae) dan produksi
kubis ...........................................................................

25

2. Pengaruh perlakuan tanah pembibitan terhadap kejadian penyakit,
indeks penyakit (P. brassicae) dan produksi kubis .....................

25

3. Pengaruh perlakuan tanah pembibitan terhadap total populasi
mikrob rizosfer bibit kubis ..................................................

26

4. Total populasi cendawan rizosfer bibit kubis pada berbagai
perlakuan tanah pembibitan ................................................

28

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Akar tanaman caisin yang sehat atau tanpa gejala penyakit akar gada
P. brassicae (A) dan yang sakit karena infeksi P. brassicae (B),
umur 53 hari setelah semai ..................................................

6

2. Rata-rata temperatur tanah pada kedalaman 15 cm selama solarisasi
berlangsung (23 Oktober- 3 Desember 2001) pada berbagai
perlakuan tanah pembibitan ................................................

23

3. Populasi bakteri total (A), bakteri tahan panas (B), aktinokisetes (C),
dan cendawan (D) rizosfer bibit kubis pada berbagai perlakuan
tanah pembibitan ................................................................................

27

4a. Keadaan tanaman kubis dilapangan pada kontrol (tanpa tanaman
perangkap) dengan kombinasi berbagai perlakuan tanah pembibitan,
pada umur 7 dan 10 minggu setelah tanam ................................

33

4b. Keadaan tanaman kubis di lapangan pada perlakuan satu kali
tanam tanaman perangkap dengan kombinasi berbagai perlakuan
tanah pernbibitan, pada umur 7 dan 10 minggu setelah tanam .......

34

4c. Keadaan tanaman kubis di lapangan pada perlakuan dua kali
tanam tanaman perangkap dengan kombinasi berbagai perlakuan
tanah pembibitan, pada umur 7 dan 10 minggu setelah tanam ............

35

4d. Keadaan tanaman kubis di lapangan pada perlakuan tiga kali
tanam tanaman perangkap dengan kobinasi berbagai perlakuan
tanah pembibitan, pada umur 7 dan 10 minggu setelah tanam ..........

36

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Daftar komposisi media yang digunakan untuk isolasi mikrob
rizosfer bibit kubis .....................................................

53

2. Rata-rata temperatur tanah pada kedalaman 15 cm pada berbagai
perlakuan tanah pembibitan ...........................................

54

3. Analisis sidik ragam pengaruh tanaman perangkap dan perlakuan
tanah pembibitan terhadap kejadian penyakit, indeks penyakit
akar gada dan produksi kubis .........................................

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Akar gada (akar bengkak) yang disebabkan oleh Plasrnodiophora

brassicae Wor. merupakan salah satu penyakit tular tanah yang penting pada
tanaman kubis-kubisan (Brassica spp.) di seluruh dunia (Colhoun 1958; Karling
1968; Ayers 1972; Yoshikawa dan Buczacki 1978; Rowe 1980). Di Australia, P.

brassicae dapat menyebabkan kehilangan hasil tidak kurang dari 10 % setiap
tahun pada tanaman kubis-kubisan yang mengakibatkan kehilangan pendapatan
sebesar A$ 13 juta (Faggian et al. 1999). Di Indonesia, penyakit ini dapat
menyebabkan kehilangan hasil 35

-

100 % (Suryaningsih 1981) dan menurut

Subijanto (1988) kerugian akibat penyakit tersebut diperkirakan senilai Rp 2,8
milyar setiap musim tanam.
Sampai saat ini penyakit akar gada masih sulit diatasi karena tingginya
daya tahan spora rehat P. brassicae di dalam tanah. Spora-spora rehat yang
terlepas dari serpihan-serpihan akar yang terinfeksi menyebabkan peningkatan
inokulum pada areal yang ditanami secara berulang-ulang dengan Brassica spp.
Spora rehat tersebut dapat bertahan hidup di dalam tanah dan pada sisa-sisa
tanaman selama 7 tahun (Colhoun 1958 ; Karling 1968). P. brassicae dapat
menyebar melalui air permukaan (Stakman dan Harrar 1957), tanah, air, angin,
bibit dan benih (Agrios 1997), alat pertanian dan butiran tanah yang terbawa hasil
panen (Walker 1975), serta diduga dapat terbawa melalui pupuk kandang karena

P. brassicae

pada sisa-sisa tanaman kubis yang dimakan oleh ternak dapat

bertahan di dalam pencernaan ternak (Suryaningsih 1981).

2

Berbagai upaya pengendalian penyakit akar gada telah dilakukan baik di
luar maupun di dalam negeri, tetapi belum menunjukkan hasil yang memuaskan
secara teknis maupun ekonomis. Pengapuran tanah dengan dosis 20 t/ha (CaO)
belum mampu menekan serangan P. brassicae dan perendaman tanah selama
45, 75, dan 90 hari sebelum tanam dapat meningkatkan bobot daun kubis, tetapi
pada kondisi lapang tidak dapat mengendalikan serangan P.brassicae (Djatnika
1989). Penggunaan mulsa jagung tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap intensitas penyakit dan berat brankas tanaman (Herdian 2000).
Penggunaan mikrob antagonis (Pseudornonas spp.) dapat menekan serangan P.
brassicae tetapi tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap bobot basah
tanaman (Widodo et al. 1993). Penggunaan varietas resisten kemungkinan tidak
akan berguna dalam jangka waktu yang lama karena perkembangan virulensi ras
patogen (Ayers 1972; Buczacki et al. 1975). Rotasi dengan tanaman selain famili
Brassicaceae membutuhkan waktu yang lama karena spora rehat patogen dapat
bertahan di dalam tanah dalam jangka waktu yang lama (Channon dan Maude
1971). Walaupun beberapa fungisida tersedia untuk pengendalian penyakit akar
gada, tetapi tidak efektif bila kepadatan spora rehat dan virulensi P. brassicae
tinggi (Akanuma et al. 1983; Tanaka et al. 1997).
Solarisasi lahan selama 5 - 7 minggu dapat menekan tingkat kejadian dan
indeks penyakit akar gada serta meningkatkan produksi tanaman kubis di
lapangan (Widodo dan Suheri 1995). Selanjutnya dikatakan bahwa penekanan
penyakit

tidak disebabkan oleh pengaruh langsung dari temperatur tanah

maksimum, tetapi efek kumulatif dari temperatur tanah harian selama solarisasi
berlangsung yang menyebabkan peningkatan populasi mikrob rizosfer, terutama

3

aktinomisetes yang diduga secara langsung dapat menekan P. brassicae. Namun
demikian pengendalian dengan cara ini masih perlu dikaji untuk penerapan di
lapangan karena memerlukan biaya yang cukup tinggi sehingga kemungkinan
penggunaannya tidak efisien. Berkaitan dengan ha1 tersebut dan mengingat bibit
tanaman Brassica sp. sangat rentan terhadap serangan P. brassicae, perlakuan
solarisasi perlu pula dikaji pada lahan pembibitan.

Di samping itu perlu

diupayakan pendekatan lain yang dapat dipadukan dengan cara yang sudah
digunakan dalam pengelolaan penyakit tanaman.
Tanaman perangkap merupakan salah satu komponen dari pengelolaan
penyakit tanaman yang diharapkan dapat mengurangi populasi awal P. brassicae
di dalam tanah sebelum tanaman utama ditanam. Penggunaan tanaman perangkap
dalam pengelolaan penyakit tanaman masih sangat sedikit, khususnya dalam
pengelolaan penyakit akar gada di Indonesia belum pernah dilaporkan.
Perlakuan tanah pembibitan dengan pemberian pupuk kandang ditujukan
untuk meningkatkan aktivitas mikrob tanah yang dapat mengkolonisasi akar dan
bersifat antagonis terhadap patogen. Penggunaan pupuk kandang yang ditujukan
untuk memperbaiki sifat fisik tanah sudah lama diterapkan oleh petani. Namun
demikian untuk tujuan pengelolaan penyakit akar gada belum pernah dilakukan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tanaman perangkap
dan perlakuan tanah pembibitan (telah terinfestasi

P.

brassicae) dengan

solarisasi dan pupuk kandang ayam terhadap penyakit akar gada pada tanaman
kubis

4

Hipotesis

1. Frekuensi tanam tanaman perangkap dengan tiga kali tanam akan memberikan
pengaruh yang lebih baik dalam menekan P. brassicae dibanding dengan
dua kali tanam atau satu kali tanam.

2. Perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi dan pupuk kandang akan
memberikan pengaruh yang lebih baik dalam menekan P. brassicae

di

pembibitan dan di lapangan dari pada perlakuan tanah pembibitan hanya
dengan solarisasi atau pupuk kandang saja.
3. Kombinasi perlakuan frekuensi tanam tanaman perangkap dan perlakuan
tanah pembibitan lebih efektif menekan P. brassicae dibanding perlakuan
tunggal tanaman perangkap atau perlakuan tanah pembibitan.

TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Akar Gada
Gejala
Gejala yang nampak di atas perrnukaan tanah adalah daun-daun tanaman
yang terinfeksi P. brassicae layu pada hari panas dan kering

, pulih kembali

selama malam hari, dan kelihatan normal dan segar pada pagi hari. Selanjutnya
jika penyakit berkembang terus, daun-daun menjadi kuning, tanaman kerdil dan
mungkin mati atau hidup dalam keadaan merana selama musim tanam (Karling
1968). Menurut Agrios (1997) bibit cruciferae yang terinfeksi ketika masih muda
dapat mati dalam beberapa minggu, bahkan mungkin mati segera setelah infeksi
patogen ini. Infeksi pada tanaman yang lebih tua kemungkinan masih aktif tetapi
tanaman menjadi kerdil dan gaga1 membentuk krop sehingga produksi menurun
atau tidak berproduksi sama sekali.
Pembengkakan akar merupakan ciri khas penyakit akar gada (Gambar 1).
Bentuk dan letak tergantung pada spesies inang dan tingkat infeksi. Pada Brassica

oleracea mula-mula pembengkakan berbentuk "spindel" (kurus panjang) yang
sangat kecil pada akar-akar utama dan lateral. Dengan pertumbuhan jaringan
inang yang tidak terkendali, akar-akar menjadi sangat besar dan berubah bentuk,
dan akhirnya bersatu membentuk gada (Channon dan Maude 1971). Makin lama
akar yang membengkak makin besar dan biasanya hancur sebelum akhir musim
tanam karena serangan bakteri dan cendawan lain (Agrios 1997). Pada akar kubis,
pembengkakan dapat mencapai ukuran kepalan tinju manusia dan warnanya
nampak kelabu dan kuning pucat (Karling 1968). Warna akar yang bengkak
kekuning-kuningan berbeda

dengan akar-akar yang sehat berwarna putih

Gambar 1. Akar tanaman caisin yang sehat atau tanpa gejala penyakit akar
gada P. brassicae (A) dan yang sakit karena infeksi P. brassicae
(B), umur 53 hari setelah semai.

7
(Graveland et al. 1992). Apabila infeksi terjadi pada akhir musim tanam, ukuran
gada biasanya kecil dan tanaman dapat bertahan hidup (Karling 1968).
Patogen

Penyakit akar gada disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae Woronin.
Alexopoulos et al. (1996) menggolongkan patogen ini ke dalam:
Kingdom

: Protista

Phylum

: Plasmodiophoromycota

Kelas

: Plasmodiophoromycetes

Ordo

: Plasmodiophorales

Famili

: Plasmodiophoraceae.

Genus

: Plasmodiophora

Spesies

: Plasmodiophora brassicae Wor.

Menurut Agrios (1997), P. brassicae dianggap sebagai "Pseudofungi"
atau organisme yang menyerupai fungi dan diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom

: Protozoa

Phylum

: P1asmodiophoromycota

Kelas

: Plasmodiophoromycetes

Ordo

: Plasmodiophorales

Famili

: Plasmodiophoraceae

Genus

: Plasmodiophora

Spesies

: Plasmodiophora brassicae Wor.

Plasmodiophora brassicae merupakan endoparasit obligat pada jaringan
tanaman dan dapat membentuk struktur bertahan berupa spora rehat yang dapat
terlepas masuk ke dalam tanah (Agrios 1997).

8
Siklus penyakit dimulai dengan perkecambahan satu zoospora primer dari
satu spora rehat haploid di dalam tanah. Zoospora primer ini mempenetrasi
rambut akar dan menginjeksi isi sel masuk ke dalam sel inang (Aist dan Williams
1971 dalam Voorrips 1995). Setelah penetrasi rambut akar atau sel epidermis
inang oleh zoospora primer, protoplas yang berinti satu terbawa masuk ke dalam
sel inang. Pembelahan mitotik terjadi dan protoplas membentuk plasmodium
primer. Setelah plasmodium primer mencapai ukusan tertentu, tergantung pada
ukuran sel epidermis inang,
berkembang

menjadi

membelah menjadi beberapa bagian yang

zoosporangia (Alexopoulos

et

al.

1996). Setiap

zoosporangium mengandung 4 atau 8 zoospora sekunder yang dapat terlepas
melalui lubang atau pori-pori pada dinding sel inang (Agrios 1997), apakah
langsung masuk ke dalam sel inang yang lain atau keluar akar (Alexopoulos et al.
1996). Naiki et al. (1984) dalam Voorrips (1995) menunjukkan bahwa zoospora
sekunder dapat menginfeksi kembali rambut akar, menyebabkan perkembangan
aseksual patogen yang cepat. Menurut Agrios (1997) beberapa zoospora sekunder
bergabung berpasangan menghasilkan zigot yang dapat menyebabkan infeksi baru
dan menghasilkan plasmodium baru. Plasmodium ini mempenetrasi langsung
jaringan akar yang muda, sedangkan akar-akar yang tua, akar-akar yang tebal, dan
pangkal batang dipenetrasi melalui luka-luka. Dari tempat infeksi plasmodium
menyebar ke korteks dan kambium dengan penetrasi langsung, kemudian
plasmodium menyebar ke seluruh bagian kambium dan menuju xilem.
Plasmodium berada di dalam beberapa sel menstimulir pembelahan dan
pembesaran sel secara tidak normal. Menurut Dekhuijzen dan Overeen (1971),
Dekhuijzen (1980) dalarn Voorrips (1995) penyebaran patogen terjadi terutama

9
karena distimulasi dengan pembelahan sel inang yang diduga distimulir oleh
konsentrasi sitokinin dan auksin yang tinggi. Perkembangan selanjutnya, inti
yang haploid dalam plasmodia yang berinti banyak bergabung berpasangan
(Tommerup dan Ingram 1971 dalam Voorrips 1995). Setelah miosis terbentuk inti
diploid yang baru yang kemudian berkembang menjadi spora rehat haploid yang
terlepas masuk ke dalam tanah ketika akar yang sakit rusak (Voorrips 1995).

Penyebaran Penyakit dan Virulensi Patogen
Penyakit akar gada (clubroot) yang disebabkan oleh P. brassicae
menyebar hampir di seluruh pertanaman cruciferae yang ada di dunia (Karling
1968). Di Indonesia penyakit ini telah tersebar di Sumatera Utara, Jawa Tengah,
dan terutama di Jawa Barat (Djatnika 1984).
Akar-akar yang busuk dari tanaman sakit sebelumnya mengandung
sejumlah besar spora rehat P. brassicae yang merupakan sumber inokulum satusatunya untuk penyakit akar gada (Orihara dan Yamamoto 1998). Apabila akarakar yang sakit hancur di lahan , maka spora-spora terlepas masuk ke dalam
tanah dan bertahan hidup dalam waktu yang lama (Karling 1968; Voorrips 1995).
Kemampuan bergerak bentuk amuba dan zoospora patogen merupakan
faktor penting dalam penyebaran penyakit, walaupun jarang berpindah lebih dari 5
inci secara horizontal selama satu musim (Chupp dalam Karling 1968). Sporaspora yang berkecambah dan menginfeksi akar-akar muda

dari cruciferae

kemudian tersebar melalui akar-akar yang sakit pada saat pemindahan tanaman
tersebut ke lapangan (Walker 1975).
Penyakit akar gada dapat terpencar di alam melalui tanah dengan berbagai
cara atau perantara, misalnya transportasi tanah yang terinfestasi P. brassicae

10
melalui perlengkapan usahatani, sepatu pekerja, kuda dan kaki-kaki ternak
merupakan penyebaran penyakit yang efektif (Karling 1968); melalui butiran
tanah yang terbawa hasil panen (Walker 1975); melalui air permukaan (Stakman
dan Harrar 1957); penyebaran penyakit melalui angin juga efektif walaupun
tidak universal (Chupp dalam Karling 1968); melalui pupuk kotoran hewan
(Karling 1968; Suryaningsih 1981). Patogen juga dapat ditularkan oleh biji
melalui kontaminasi permukaan dengan tanah yang terinfeksi. Selain itu sejumlah
tanaman cruciferae liar dan beberapa tanaman inang lain yang rentan terhadap
penyakit akar gada dapat menjadi tempat bertahan hidup patogen pada saat
tanaman budidaya tidak ada (Karling 1968).
Menurut Karling (1968) dari 61 genera cruciferae, lebih dari 300 spesies
dan varietas rentan terhadap P. brassicae dan 9 spesies dari genera bukan
cruciferae ditemukan mengandung zoosporangia P. brassicae

pada rambut-

rambut akarnya. Reyes et al. (1974) melaporkan 9 jenis gulma dari cruciferae
rentan terhadap P. brassicae ras 6. Di beberapa lahan pertanaman kubis-kubisan
di Jawa Barat ditemukan 4 ras P. brassicae (Djatnika 1989).
Pengaruh Faktor Lingkungan
Penyakit akar gada berkembang dengan baik pada pH tanah 5,7, menurun
dengan tajam pada pH tanah antara 5,7 dan 6,2 dan gaga1 berkembang pada pH
tanah 7,8 (Chupp dalam Stakrnan dan Harrar 1957). Menurut Karling (1968)
perkecambahan spora P. brassicae terjadi pada pH

5,4

-

7,5 dan tidak

berkecambah pada pH 8, tetapi pH tanah yang rendah tidak menjamin terjadinya
infeksi untuk semua keadaan (Mattusch 1977).

11
Kisaran temperatur optimum bagi perkembangan P. brassicae adalah 17,8
- 25 OC dengan temperatur minimum dan maksimum 12,2 OC dan 27,2 OC (Agrios

1997; Walker 1957; Channan dan Maude 1971). Menurut Chupp dalam Stakman
dan Harrar (1957), spora-spora P. brassicae berkecambah pada temperatur kamar
dalam media agar yang mengandung bibit kubis yang muda, tetapi spora-spora
tersebut tidak berkecambah atau berkecambah sangat buruk pada kondisi yang
sama tanpa bibit kubis.
Kelembaban optimum selama 18 - 24 jam memungkinkan perkecambahan
dan penetrasi patogen ke dalam jaringan inang (Wellman dalam Stakman dan
Harrar 1957), kemudian infeksi hanya terjadi jika kelembaban tanah di atas 45 %
(Monteith dalam Stakman dan Harrar 1957) dan kelembaban tanah 50 % atau
lebih menyebabkan perkembangan penyakit bertambah cepat, sedangkan
kelembaban tanah 45 % dapat menghambat infeksi (Mattusch 1977).
Tanaman inang yang berada pada lingkungan yang intensitas cahayanya
rendah lebih tahan terhadap serangan P. brassicae dibanding dengan tanaman
inang yang berada pada lingkungan yang intensitas cbhayanya tinggi (Garret 1970
dalaln Djatnika 1989).
Jumlah spora rehat akan menentukan tingkat infeksi pada inangnya.
Suspensi yang mengandung paling sedikit lo6 - lo8 sel spora setiap ml sangat
efektif untuk mengadakan infeksi (Mattusch 1977), sedangkan berdasarkan
penelitian Djatnika (1989) lo4 sel spora masih mampu menginfeksi tanaman.
Disamping itu kondisi inang turut mempengaruhi perkembangan P. brassicae,
seperti kisaran inang, inang yang rentan, dan morfologi dari sistem perakaran
(Mattusch 1977), serta peranan mikrob yang lain seperti cendawan, bakteri, virus

dan nematoda. Mikrob tersebut dapat bersifat antagonistik, sinergistik atau tidak
mempengaruhi aktivitas patogen.

Pengendalian
Beberapa upaya pengendalian yang telah dilakukan, baik di Indonesia
maupun di luar negeri, antara lain pengapuran tanah (Karling 1968; Dobson et al.
1983; Djatnika 1989; Herdian 2000); rotasi tanaman (Karling 1968); perendaman
lahan (Djatnika 1989); penggunaan fungisida (Lambe dan McCart 1975; Rowe
dan Farley 1979; Djatnika 1989); penggunaan mulsa jagung (Djatnika 1989;
Herdian 2000); penggunaan ekstrak bawang putih (Djatnika 1989); pemanfaatan
mikrob antagonis (Murtafingah 1987; Djatnika 1989; Djatnika 1990; Widodo et
al. 1993); varietas resisten (Rowe 1980; Yamagishi 1987); dan solarisasi tanah

(Horiuchi et al. 1982; Widodo dan Suheri 1995).
Pengaturan kemasaman tanah dengan kapur hingga mencapai pH di atas
netral (pH 7,2) pada beberapa kasus memberikan pengendalian yang baik tetapi
pada kasus yang lain tidak efektif (Karling 1968). Menurut Colhoun (1953)
tingkat inokulum P. brassicae yang sangat tinggi mendukung terjadinya infeksi di
dalam tanah dengan pH 8. Myers et al. (1981) dan Horiuchi dan Hori (1980)
melaporkan bahwa pengapuran pada tipe tanah yang berbeda memberikan tingkat
pengendalian penyakit yang berbeda. Pengapuran tanah dipengaruhi oleh
distribusi atau redistribusi kapur di dalam tanah (Dobson et al. 1983), juga ada
kemungkinan ras-ras P. brassicae yang berbeda bereaksi secara berbeda terhadap
pH tanah (Stakman dan Harrar 1957).
Upaya pemuliaan tanaman untuk memperoleh varietas yang resisten
perkembangannya lambat (Dobson et al. 1983). Selain itu varietas resisten dapat

13
kehilangan sifat resistensinya atau varietas tersebut dipatahkan resistensinya oleh
perkembangan ras-ras fisiologi patogen (Reyes et al. 1974; Seaman et al. 1963;
Yoshikawa dan Buczacki 1978). Rotasi tanaman dengan tanaman selain famili
Brassicaceae

memerlukan waktu yang lama karena spora rehat patogen dapat

bertahan di dalam tanah lebih dari 7 tahun (Karling 1968; Channon dan Maude
1971).
Perbaikan drainase tanah dapat mengurangi kehilangan hasil tetapi tidak
memberikan pengendalian yang dapat diandalkan, khususnya selama periode
curah hujan yang berlebihan (Colhoun 1958; Rowe dan Farley 1979).
Pengendalian dengan cara perendaman lahan hanya dapat dilakukan pada lahan
sawah (Djatnika 1989).
Penggunaan pestisida seperti Benlate tidak memberikan pengendalian
yang cukup memuaskan apabila diaplikasikan hanya satu kali dan Vorlex tidak
praktis digunakan untuk pengendalian di lapangan (Reyes et al. 1974). Menurut
Horiuchi et al. (1982) penggunaan pestisida sulit diterapkan pada lahan yang
ditanami

dengan

famili Brassicaceae stcara

terus-menerus.

Walaupun

Flusulfamida dapat menghambat perkecambahan spora rehat P. brassicae, tetapi
tidak efektif mengendalikan P. brassicae yang sudah ada dalam sel korteks
(Tanaka et al. 1999).
Penggunaan mikrob antagonis dapat menekan serangan P. brassibcae
tetapi tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap bobot basah tanaman
(Widodo et al. 1993). Solarisasi tanah selama 5

-

7 minggu dapat menekan

tingkat kejadian dan indeks penyakit akar gada serta meningkatkan produksi
tanaman kubis. Namun demikian solarisasi tanah masih perlu dikaji karena untuk

14
penerapan di lapangan biayanya cukup mahal sehingga kemungkinan
penggunaannya tidak efisien (Widodo dan Suheri 1995).

Peran Tanaman Perangkap
Tanaman perangkap telah banyak digunakan dalam pengelolaan serangga
hama tanaman. Tanaman perangkap juga digunakan dalam pengelolaan penyakit
tanaman walaupun masih sangat sedikit dan dalam cara yang berbeda (Agrios
1997).
Tanaman perangkap yang bukan inang sesungguhnya ditanam dengan
tujuan membuat patogen-patogen tular tanah menjadi lemah potensi infeksinya
(Palti 1981). Ciri khas dari tanaman perangkap adalah mampu menstimulir
perkecambahan biji tanaman parasit, dapat menyebabkan perkecambahan
propagul cendawan yang dorman, atau dapat menstimulir penetasan telur-telur
nematoda dalam bentuk kiste (Parbery dan Morgan 1980).

Pengendalian

nematoda puru akar pada perkebunan nenas berhasil dilakukan dengan menanam
tanaman tomat sebagai tanaman perangkap dan kemudian tanaman tersebut
dimusnahkan sebelum nematoda ini dapat memproduksi telur (Stevens 1960
dalarn Palti 1981).

Pada prinsipnya penggunaan tanaman perangkap dapat merangsang
perkecambahan spora rehat patogen di dalam tanah dan kemudian tanaman
tersebut dipanenldimusnahkan sebelum siklus hidup patogen sempurna (Parbery
dan Morgan 1980). Dengan demikian dapat mengurangi populasi patogen di
dalam tanah sebelum tanaman utama ditanam.

15

Peran Bahan Organik
Bahan organik tanah dapat mempengaruhi sifat-sifat tanah seperti laju
infiltrasi, kepadatan, stabilitas agregat, kapasitas tukar kation dan aktivitas biologi,
dimana sifat-sifat ini berhubungan dengan fungsi-fungsi tanah yang penting
(Sikora dan Stott 1996 dalam Gaskell et al. 2000). Bahan organik menstimulir
pertumbuhan akar tanaman, meningkatkan ketersediaan hara, mengurangi
evaporasi tanah, meningkatkan kapasitas menahan air, mengurangi aliran
permukaan, memperbaiki drainase, mengatur temperatur tanah, dan menyediakan
substrat yang berlimpah bagi mikrob tanah (Chen et al. 1987; Chen et al. 1988).
Penambahan berbagai jenis bahan organik (pupuk hijau, pupuk kandang,
sisa-sisa tanaman atau sampah organik) yang dapat menyebabkan perubahan
keseimbangan mikroflora tanah telah diakui sebagai suatu pendekatan biologi
yang memberikan harapan dalam perbaikan pengelolaan penyakit tular tanah
(William 1970). Hal yang sama dikemukakan oleh Gaskell et al. (2000) bahwa
meningkatnya bahan organik di dalam tanah dapat menyebabkan populasi
organisme tanah menjadi lebih banyak dan lebih beragam dan selanjutnya diduga
dapat meningkatkan pengendalian hama dan penyakit secara biologi. Jenis
substrat yang spesifik yang terdapat di dalam tanah secara nyata mempengaruhi
jenis dan jumlah organisme yang akan menetap dan berkembang di dalam tanah
tersebut (William 1970).

Peran Solarisasi
Solarisasi tanah, sebagai proses peningkatan panas di dalam tanah di
bawah lembaran plastik transparan hingga temperatur yang merugikan patogen,
telah berhasil mengendalikan berbagai jenis penyakit (Stapleton dan DeVay

16
1986). Greenberger et al. (1987) membuktikan bahwa tanah-tanah yang
disolarisasi lebih bersifat supresif terhadap patogen-patogen tular tanah tertentu
dari pada tanah yang tidak disolarisasi. Menurut Horiuchi et al. (1982) solarisasi
tanah menunjukkan efek penekanan terhadap penyakit akar gada. Walaupun
mereka menduga bahwa tidak ada kaitannya antara penekanan penyakit akar gada
dengan peranan mikroorganisme antagonis karena solarisasi. Peneliti lain
melaporkan

adanya korelasi positip antara solarisasi tanah dengan peranan

mikroorganisme antagonis (Gamliel dan Katan 1991). Widodo dan Suheri (1 995)
menduga bahwa tejadinya penekanan penyakit akar gada pada kubis dengan
solarisasi tanah bukan merupakan pengaruh langsung dari peningkatan suhu
akibat solarisasi, melainkan karena adanya perubahan populasi mikrob tanah
terutama aktinomisetes yang umumnya berpotensi sebagai antagonis terhadap
patogen tanaman. Disamping itu, solarisasi tanah mempunyai efek jangka panjang
(Katan et al. 1983).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan dari bulan September 2001 hingga bulan Maret
2002 di Kebun Instalasi Penelitian Tanaman Hias Cipanas (ketinggian 1100 m
dpl) dan di Laboratorium Mikologi, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Lahan yang digunakan sebagai lahan
percobaan telah diketahui terinfestasi P. brassicae.

Metode Pelaksanaan
Penyiapan Bibit Tanaman Perangkap (Caisin)
Media tumbuh yang digunakan untuk pesemaian benih caisin adalah
campuran tanah dan pupuk kandang (2:l vlv kering udara) yang disterilkan
dengan menggunakan uap air panas dalam drum tertutup selama 4 jam (suhu
90°C). Media tumbuh yang sudah disterilkan dibiarkan selama 1 - 3 hari sebelum
digunakan. Benih caisin varietas lokal cipanas disemaikan pada media tumbuh
dalam bak plastik berukuran 45 x 30 x 15 cm yang ditempatkan di rumah kaca
selama 5 hari, kemudian dipindahkan pada kantung-kantung yang terbuat dari
kertas pembungkus nasi berukuran tinggi 6 cm dan diameter 7 cm. Kantungkantung tersebut berisi media tumbuh seperti media tumbuh pada pesemaian.
Bibit dipelihara sampai

berumur 20 hari. Bibit untuk tanaman perangkap

berikutnya dipersiapkan 25 hari sebelum penanaman tanaman perangkap tersebut.

18

Penyiapan Lahan dan Penanaman Tanaman Perangkap
Sambil menunggu bibit siap tanam, lahan dicangkul dengan kedalaman 20
- 30

cm kemudian digemburkan dan diratakan. Petak percobaan (berukuran 3,6 x

2,5 m) dipersiapkan sesuai dengan perlakuan yang akan diuji.
Bibit caisin ditanam pada petak percobaan dengan jarak tanam 20 x 20 cm.
Tanaman tersebut dipelihara berdasarkan kebiasaan petani setempat. Panen
dilakukan pada umur 28 hari setelah tanam dengan cara membongkar tanaman
bersama akarnya. Setiap selesai panen petak percobaan digemburkan dan
langsung ditanami kembali. Petak percobaan yang belum ditanami tanaman
perangkap dan petak kontrol (tanpa tanaman perangkap) dibiarkan kosong tanpa
tanaman atau gulma.

Perlakuan Pembibitan Tanaman Utama (Kubis)
Enam minggu sebelum bibit kubis disemai, media pembibitan
dipersiapkan sesuai perlakuan. Untuk setiap perlakuan, tanah digemburkan
kemudian dibuat bedengan berukuran panjang 10 m dan lebar 1 m.

Pada

bedengan yang mendapat perlakuan pupuk kandang, setelah tanah digemburkan
diberi pupuk kandang ayam sebanyak 50 kg (5 kg/m2). Pada bedengan yang
mendapat perlakuan solarisasi, setelah tanah digemburkan, diratakan, dan dibasahi
ditutup dengan lembaran plastik transparan (tebal 0,3 mm) dengan cara plastik
transparan dibentangkan di atas bedengan dan bagian pinggirnya ditekan dengan
lapisan tanah agar tidak terangkat oleh angin. Sedangkan bedengan yang
mendapat perlakuan pupuk kandang dan solarisasi, sebelum ditutup dengan
lembaran plastik transparan diberi pupuk kandang ayam sebanyak 50 kg per

19

bedeng dan dibasahi. Pengamatan temperatur tanah pada kedalaman 15 cm
dilakukan setiap hari (selama perlakuan solarisasi berlangsung)
Setelah enam minggu, tanah pada setiap bedengan dari masing-masing
perlakuan diayak dengan ayakan keranjang plastik dan dilanjutkan dengan
pengisian bak pesemaian dan kantung-kantung plastik berukuran tinggi 12 cm
dan diameter 8 cm.
Benih kubis varietas Grand 11 disemai pada bak pesemaian. Bibit kubis
umur 7 hari setelah semai dipindahkan pada kantung-kantung plastik yang telah
diisi dengan media hasil perlakuan tanah pembibitan dan selanjutnya dipelihara
hingga berumur 30 hari setelah semai.

Penanaman Tanaman Utama (Kubis)

Setelah perlakuan tanaman perangkap selesai, tanah pada setiap petak
percobaan digemburkan dan diratakan. Selanjutnya dibuat lubang tanam dengan
jarak 60 x 50 cm (30 lubang tanam per petak). Pupuk kandang ayam sebanyak 0,5
kg dan pupuk buatan (TSP sekaligus, Urea dan KC1 setengah dosis) dicampur dan
dimasukkan ke dalam lubang tanam sehari sebelum tanam. Sebelum bibit
ditanam, kantung-kantung plastik dilepas agar tidak menghalangi perkembangan
perakaran dan medianya dibenamkan bersama dengan bibit pada lubang tanam.
Pemupukan berikutnya dilakukan setelah tanaman kubis berumur 4 minggu, yaitu
seperempat dosis Urea dan KC1 dan sisanya diberikan pada saat tanaman berumur
7 minggu.

Pemeliharaan lainnya

seperti penyiraman, penyiangan dan

pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai dengan keperluan. Panen
dilakukan setelah tanaman kubis berumur 70 hari setelah tanam, yaitu pada saat
krop bagian dalam

sudah padat, tepi daun pada bagian atas krop sudah

melengkung keluar dan benvarna agak ungu. Pengamatan kejadian penyakit (KP),
indeks penyakit (IP), dan produksi kubis dilakukan pada saat panen.
Kejadian penyakit dihitung dengan rumus:

n = jumlah tanaman yang menunjukkan pembengkakan
N = jumlah tanaman yang diamati
Indeks penyakit dihitung dengan rumus:

ni = jumlah tanaman dengan skala serangan tertentu
vi = skala serangan

N = jumlah tanaman yang diamati
Skala serangan dihitung berdasarkan skala 0 -3, dimana 0
gejala pembengkakan; 1

=

=

tidak ada

pembengkakan tejadi pada akar utama; 2

=

pembengkakan terjadi pada akar sekunder; dan 3 = pembengkakan terjadi pada
akar utama maupun akar sekunder (Datnoff et al. 1987).
Produksi diukur berdasarkan bobot basah tanaman tanpa akar dengan
menimbang seluruh tanaman dalam plot.
Isolasi Mikrob dari Rizosfer
Isolasi mikrob dari rizosfer bibit kubis umur 30 hari setelah semai (bibit
siap tanam) dilakukan dengan teknik pengenceran. Tiap perlakuan terdiri atas 1
bibit dan diulang 4 kali. Bibit dari masing-masing sampel dipisahkan dari tanah,
kemudian akar bersama dengan tanah yang melekat ditimbang (5 glsampel). Akar

21
tersebut disuspensikan ke dalam 45 ml air steril (pengenceran 10 -')lalu dikocok
selama 30 menit dengan menggunakan shaker. Selanjutnya dengan menggunakan
pipet volumetrik, sebanyak 1 ml suspensi dicampur dengan 9 ml air steril dalam
tabung reaksi (10

-2).

Hal yang sama dilakukan untuk pengenceran berikutnya.

Pengenceran ini dilakukan sesuai dengan keperluan. Pengengenceran terakhir:
untuk cendawan,

untuk aktinomisetes, dan low8untuk bakteri. Dari

setiap pengenceran terakhir diambil 0,l ml untuk disebarkan secara merata pada
cawan petri yang berisi 10 ml masing-masing media tumbuh. Untuk isolasi bakteri
tahan panas, pengenceran terakhir dipanaskan pada suhu 80°C selama 30 menit
sebelum disebarkan. Media tumbuh untuk cendawan digunakan Martin Agar
(MA), untuk bakteri total dan bakteri tahan panas digunakan Tryptic Soy Agar
(TSA),

dan untuk aktinomisetes digunakan Starch Casein Agar (SCA).

Komposisi media tersebut terlampir (Lampiran 1).

Biakan diinkubasikan pada

suhu kamar, kemudian diamati koloni yang terbentuk. Koloni bakteri,
aktinomisetes dan cendawan masing-masing dihitung setelah 48, 72, dan 96 jam
inkubasi.

Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan faktorial dalam
acak kelompok dengan dua faktor. Faktor Pertama adalah frekuensi penanaman
tanaman perangkap (F) terdiri atas empat taraf, yaitu: FO = kontrol (tanpa tanaman
perangkap); F1

=

satu kali tanam tanaman perangkap; F2

tanaman perangkap; dan F3

= tiga

=

dua kali tanam

kali tanam tanaman perangkap. Faktor Kedua

adalah perlakuan tanah pembibitan (N) terdiri atas empat taraf, yaitu: NO = tanpa
perlakuan solarisasi dan pupuk kandang; N1 = perlakuan hanya dengan solarisasi;

22

N2

= perlakuan

hanya dengan pupuk kandang ; dan N3 = perlakuan solarisasi

dan pupuk kandang. Dengan demikian terdapat enam belas kombinasi perlakuan.
Tiap perlakuan diulang tiga kali.
Data dianalisis dengan menggunakan program Statistical Analysis System
(SAS) dan dilanjutkan dengan uji DMRT pada a
1980).

=

0,05 (Steel & Torrie

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Temperatur tanah
Temperatur tanah harian

pada kedalaman 15 cm selama solarisasi

berlangsung, yaitu dari 23 Oktober hingga 3 Desember 2001 tertera pada Gambar
2. Temperatur tanah pada perlakuan solarisasi tanah pembibitan baik dengan
pupuk kandang ayam (N3) atau solarisasi tanah pembibitan tanpa pupuk kandang
(N1) lebih tinggi dibanding dengan perlakuan tanah pembibitan hanya dengan

pupuk kandang (N2) atau kontrol (tanpa pupuk kandang dan tanpa solarisasi
tanah pembibitan /NO). Temperatur tertinggi 30,32"C terjadi pada pukul 12 siang
dicapai dengan perlakuan tanah pembibitan yang diberi pupuk kandang ayam dan
diberi solarisasi yaitu rata-rata 4,82"C lebih tinggi dibanding dengan kontrol dan
temperatur terendah pada perlakuan tersebut yaitu 23,69"C pada pukul6 pagi atau
rata-rata 3,8OC lebih tinggi dibanding dengan kontrol (Tabel Lampiran 2).

Gambar 2. Rata-rata temperatur tanah pada kedalaman 15 cm selama solarisasi
berlangsung (23 Oktober - 3 Desember 200 1) pada berbagai perlakuan
tanah pembibitan, NO = tanpa perlakuan solarisasi dan pupuk
kandang, N1 = perlakuan hanya dengan solarisasi, N2 = perlakuan
hanya dengan pupuk kandang, dan N3 = perlakuan solarisasi dan
pupuk kandang.

24

Kejadian penyakit, indeks penyakit akar gada dan produksi kubis
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa tidak terjadi
pengaruh interaksi antara kedua faktor yaitu frekuensi tanam tanaman perangkap
dan perlakuan tanah pembibitan terhadap kejadian penyakit, indeks penyakit dan
produksi kubis, tetapi masing-masing faktor menunjukkan pengaruh yang nyata
(Tabel Lampiran 3).
Kejadian penyakit akar gada terendah ditemui pada perlakuan satu kali
tanam tanaman perangkap (Fl) berbeda nyata dengan perlakuan tiga kali tanam
tanaman perangkap (F3) dan cenderung lebih baik dari pada perlakuan dua kali
tanam tanaman perangkap (F2) atau tanpa tanaman perangkap (FO) (Tabel 1).
Perlakuan satu kali tanam tanaman perangkap juga menunjukkan pengaruh yang
nyata terhadap indeks penyakit akar gada yaitu lebih rendah dibanding dengan
perlakuan lainnya. Walaupun antara perlakuan tanpa tanaman perangkap, satu
kali tanam tanaman perangkap dan dua kali tanam tanaman perangkap tidak
menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap produksi kubis, tetapi perlakuan satu
kali tanam tanaman perangkap cenderung lebih baik dan produksi kubis nyata
lebih tinggi dibanding dengan perlakuan tiga kali tanam tanaman perangkap.
Pengaruh perlakuan tanah pembibitan terhadap kejadian penyakit, indeks
penyakit akar gada dan produksi kubis bervariasi tergantung jenis perlakuan
(Tabel 2). Walaupun antara ketiga perlakuan tanah pembibitan kubis dan tanpa
perlakuan tanah pembibitan kubis tidak menunjukkan pengaruh yang nyata
terhadap kejadian penyakit akar gada, tetapi indeks penyakit akar gada nyata lebih
rendah ditemui pada perlakuan tanah pembibitan (Nl, N2, N3) dibanding dengan
tanpa perlakuan tanah pembibitan (NO). Produksi tertinggi (29,5 1 kglplot) dicapai

Tabel 1. Pengaruh frekuensi tanam tanaman perangkap terhadap kejadian
penyakit, indeks penyakit akar gada (P. brassicae) dan produksi kubis
Perlakuan

Kejadian Penyakit

Indeks Penyakit

(%)

Produksi
(kg19 m2)

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
DMRT pada a = 0,05.
FO = tanpa tanaman perangkap, F1 = satu kali tanam tanaman perangkap, F2 = dua kali tanam
tanaman perangkap, dan F3 = tiga kali tanam tanaman perangkap.

Tabel 2. Pengaruh perlakuan tanah pembibitan terhadap kejadian penyakit,
indeks penyakit akar gada (P. brassicae) dan produksi kubis
Perlakuan

Kejadian Penyakit

Indeks Penyakit

(%)

Produksi
(kg19 m2)

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
DMRT pada a = 0,05.
NO = tanah pembibitan tanpa perlakuan solarisasi dan pupuk kandang, N1 = perlakuan tanah
pembibitan hanya dengan solarisasi, N2 = perlakuan tanah pembibitan hanya dengan pupuk
kandang, dan N3 = perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi dan pupuk kandang.

oleh perlakuan tanah pembibitan dengan hanya pupuk kandang ayam (N2) dan
tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi dan
pupuk kandang

ayam (N3), tetapi berbeda nyata dengan perlakuan tanah

pembibitan dengan hanya solarisasi (Nl) dan kontrol (NO).

26

Populasi mikrob rizosfer bibit kubis

Populasi mikrob rizosfer bibit kubis meningkat pada tanah pembibitan
yang diberi perlakuan (Tabel 3). Perlakuan tanah pembibitan (Nl, N2 dan N3)
dengan nyata meningkatkan populasi cendawan dibanding dengan kontrol dan
populasi aktinomisetes nyata lebih tinggi diperoleh dari perlakuan tanah
pembibitan

hanya dengan pupuk kandang ayam (N2) dan perlakuan tanah

pembibitan dengan solarisasi dan pupuk kandang ayam (N3) dibanding dengan
perlakuan tanah pembibitan hanya dengan solarisasi (Nl). Populasi mikrob
rizosfer (bkteri total, bakteri tahan panas, aktinomisetes, dan cendawan) bibit
kubis pada berbagai perlakuan tanah pembibitan ditunjukkan pada Gambar 3
dan total populasi cendawan rizosfer bibit kubis pada berbagai perlakuan tanah
pembibitan pada Tabel 4.

Tabel 3. Pengaruh perlakuan tanah pembibitan terhadap total populasi mikrob
rizosfer bibit kubis
Perlakuan
Total

Total populasi (log cfulg akar)
Bakteri
Aktinomisetes
Tahan panas

Cendawan

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
DMRT pada a = 0,05.
NO = tanah pembibitan tanpa perlakuan solarisasi dan pupuk kandang, N1 = perlakuan tanah
pembibitan hanya dengan solarisasi, N2 = perlakuan tanah pembibitan hanya dengan pupuk
kandang, dan N3 = perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi dan pupuk kandang.

Populasi bakteri total (A), bakteri tahan panas (B), aktinomisetes (C) dan cendawan (D) rizosfer bibit kubis pada
berbagai perlakuan tanah pembibitan: NO = tanpa perlakuan solarisasi dan pupuk kandang, N1 = perlakuan hanya
dengan solarisai, N2 = perlakuan hanya dengan pupuk kandang, dan N3 = perlakuan solarisasi dan pupuk kandang.

Tabel 4. Total populasi cendawan rizosfer bibit kubis pada berbagai perlakuan
tanah pembibitan
Perlakuan
Cendawan
NO

N1

N2

...... ...... populasi (log cfulg akar)

N3

... ... .......

Gliomastix

0,000

3,456

4,109

4,109

Aspergillus dan
Cladosporium

0,000

3,757

0,000

3,63 1

Chalaropsis

3,933

4,058

4,301

4,234

* = tidak teridentifikasi
NO = tanah pembibitan tanpa perlakuan solarisasi dan pupuk kandang, N1 = perlakuan tanah
pembibitan hanya dengan solarisasi, N2 = perlakuan tanah pembibitan hanya dengan pupuk
kandang, dan N3 = perlakuan tanah pembibitan dengan solarisasi dan pupuk kandang.

29

Pembahasan
Sistem pertanian intensif dengan penanaman tanaman yang sama secara
berulang-ulang dapat menyebabkan peningkatan jumlah inokulum patogen tular
tanah yang tinggi, yang dapat mengancam produktivitas tanaman. Salah satu
faktor yang sangat penting dalam pengelolaan penyakit yang disebabkan oleh
patogen-patogen tular tanah adalah mengurangi tingkat inokulum patogen tersebut
hingga

tingkat di bawah ambang kritis sebelum suatu tanaman yang peka

ditanam. Dalam ha1 ini, sterilisasi tanah dengan bahan kimia umumnya sering
digunakan, bagaimanapun cara ini tidak mendukung pertanian berkelanjutan
karena berbahaya terhadap lingkungan.
Solarisasi tanah adalah suatu disinfestasi tanah alternatif, merupakan
proses pemanasan tanah di bawah mulsa plastik transparan dengan temperatur
yang merugikan patogen-patogen tular tanah, telah berhasil mengendalikan
berbagai penyakit tanaman (Stapleton dan DeVay 1986), tennasuk penyakit akar
gada (clubroot) pada tanaman cruciferae (Horiuchi 1984; Horiuchi et al. 1982;
Widodo dan Suheri 1995). Solarisasi tanah baik secara tunggal atau kombinasi
dengan penambahan bahan organik adalah efektif mengendalikan patogenpatogen tular tanah (Gamliel dan Stapleton 1993; Katan 1981).
Pada penelitian ini penggunaan tanaman perangkap yang ditujukan untuk
mengurangi populasi awal P.brassicae di dalam tanah yang dikombinasikan
dengan perlakuan tanah pembibitan ternyata tidak

memberikan pengaruh

interaksi terhadap kejadian penyakit, indeks penyakit akar gada ataupun produksi
tanaman kubis. Walaupun demikian masing-masing perlakuan secara tunggal
menunjukkan pengaruh yang nyata (Tabel Lampiran 3).

30

Penggunaan tanaman perangkap caisin dengan perlakuan satu kali tanam
(Fl) secara nyata dapat menurunkan indeks penyakit akar gada dibandingkan
dengan kontrol (Tabel 1). Hal ini berarti tanaman caisin dapat digunakan untuk
memerangkap P. brassicae di dalam tanah sebelum tanaman kubis ditanam.
Inokulum P. brassicae di dalam tanah diduga sudah berkurang karena sebagian
telah menginfeksi tanaman caisin atau sudah terperangkap sehingga inokulum
yang dapat menginfeksi tanaman kubis juga menurun dan dengan demikian
keparahan penyakit akar gada pada tanaman kubis menurun. Inokulum yang
tidak terperangkap diduga tidak terjangkau dengan akar tanaman perangkap yang
ditanam dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Chupp dalam Karling (1968)
melaporkan bahwa pada percobaan rumah kaca, zoospora dan amuba jarang
berpindah lebih dari 5 inc secara horisontal selama satu musim dengan adanya
inang yang peka.
Frekuensi tanam tanaman perangkap dengan perlakuan dua kali tanam
(F2) dan tiga kali tanam (F3) secara nyata meningkatkan indeks penyakit akar
gada pada kubis dibanding dengan perlakuan satu kali tanam (Fl). Hal ini diduga
populasi

P. brassicae di dalam lahan yang digunakan sifat genetik atau

patogenitasnya berbeda karena dapat menginfeksi inang yang berbeda. Menurut
Tinggal dan Webster 1981; Jones et al. (1982a) dalam Voorrips (1995) bah

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Trichoderma koningii Bult Terhadap Penyakit Akar Pekuk {Plasmodiophora brassicae Wor.) Pada Tanaman Sawi (Brassicea juncea Coss.) Dilapangan

1 25 68

Uji Kemampuan Pseudomonas spp. Kelompok Fluoresen dalam Menekan Plasmodiophora brassicae Wor. Penyebab Penyakit Akar Bengkak pada Kubis di Lapang

0 7 52

Pengaruh Mulsa, Sistem Tanam Tumpang Sari dan Pengaturan pH Tanah terhadap Penyakit Akar Gada (Plasmodiophora barssicae Wor.) pada Tanaman Kailan (Brassica oleracea var. acephala DC.)

1 13 54

Pemanfaatancendawanendofitik dan Cendawan Riwsfer Sebagai Agen Pengendali Penyakit Akar Gada (Plasmodiophora Brassicile Wor.)

0 12 56

Nilai Ekonomi Penggunaan Trichoderma harzianum dalam Pengelolaan Penyakit Akar Gada (Plasmodiophora brassicae Wor.) pada Sayuran Kubis-Kubisan di Daerah Puncak, Cianjur

0 9 101

Pemanfaatan Limbah Tanaman Brokoli untuk Pengendalian Penyakit Akar Gada (Plasmodiophora Brassicae Wor.) pada Tanaman Caisin

0 6 57

Pengelolaan Penyakit Akar Gada (Plasmodiophora brassicae Wor.) pada Tanaman Kubis dengan Tanaman Perangkap dan Perlakuan Tanah Pembibitan

0 6 67

Penggunaan Campuran Trichoderma Harzianum Dengan Berbagai Pupuk Kandang Untuk Menekan Akar Gada (Plasmodiophora Brassicae Wor.) Pada Tanaman Pakcoy

0 5 40

Penurunan intensitas akar gada dan peningkatan hasil kubis dengan penanaman caisin sebagai tanaman perangkap patogen

0 4 33

EFEKTIVITAS CAISIN SEBAGAI TANAMAN PERANGKAP PATOGEN UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT AKAR GADA PADA KUBIS

0 3 1