Keterlibatan Masyarakat Desa Hutan Di Daerah Pesisir Dalam Mengembangkan Biofuel Nyamplung (Calophyllum Inophyllum) Berkelanjutan

KETERLIBATAN MASYARAKAT DESA HUTAN DI DAERAH
PESISIR DALAM MENGEMBANGKAN BIOFUEL NYAMPLUNG
(Calophyllum inophyllum) BERKELANJUTAN

BAMBANG URIPNO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Keterlibatan
Masyarakat Desa Hutan Di Daerah Pesisir Dalam Mengembangkan Biofuel
Nyamplung (Calophyllum inophyllum) Berkelanjutan adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor,

Mei 2015

Bambang Uripno

RINGKASAN
BAMBANG URIPNO. Keterlibatan Masyarakat Desa Hutan di Daerah Pesisir
dalam Mengembangkan Biofuel Nyamplung (Calophyllum inophyllum)
Berkelanjutan. Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING, MARGONO
SLAMET, dan SITI AMANAH.
Krisis energi dunia pada era dekade terakhir telah berdampak nyata pada
dinamika harga bahan bakar minyak (BBM). Ketika harga minyak dunia
melambung di atas harga 100 $ US per barel telah mendorong penelitian dan
pengembangan energi alternatif, antara lain Bahan Bakar Nabati (BBN) atau
biofuel. Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi
Nasional menetapkan target produksi biofuel tahun 2025 sebesar lima persen dari

total kebutuhan energi nasional. Namun ketika harga minyak turun sampai 50 $
US per barel tetap saja harga BBM berfluktuasi.
Satu implementasi kebijakan energi nasional diwujudkan untuk kedaulatan
energi melalui Program Desa Mandiri Energi (DME). Program yang dicanangkan
oleh Presiden RI pada tahun 2007 dimaksudkan untuk mempromosikan
diversifikasi energi, energi baru terbarukan dan menyediakan energi dari
sumberdaya lokal. Pada saat pelaksanaan penelitian, Program DME sudah
berjalan lebih dari satu tahun.
Penelitian ini berupaya merancang strategi penyuluhan yang baik untuk
pengembangan silvoindustri biofuel nyamplung melalui: (1) menguraikan proses
dan perkembangan demplot DME Nyamplung, (2) menganalisis keterlibatan
masyarakat desa hutan di lokasi demplot dalam mendukung difusi adopsi
silvoindustri biofuel nyamplung, dan (3) menganalisis kesiapan desa demplot
DME Nyamplung menjadi DME.
Responden penelitian adalah masyarakat Desa Buluagung dan Desa
Patutrejo berjumlah 62 orang, mereka dipilih karena pernah terlibat dalam
pembangunan DME BBN Demplot Nyamplung; seperti mantan (bekas pekerja
proyek) pengada biji, mantan karyawan persemaian, mantan peserta pelatihan
budidaya nyamplung dan mantan peserta pelatihan operator pabrik. Responden
terpilih ialah tokoh kunci (pemimpin formal maupun informal) di dua desa

penelitian. Jumlah populasi peserta sebanyak 100 orang responden di setiap desa.
Responden penelitian seluruhnya, yang dipilih secara purposive proportional dari
setiap desa, atau 31 persen dari populasi.
Penelitian dilaksanakan dengan metode survei menggunakan kuesioner
disertai observasi. Wawancara semi terstruktur digunakan untuk memperoleh data
dari informan terkait. Focused Group Discussion (FGD) di tingkat desa juga
dilakukan untuk mengkonfirmasi data dan triangulasi untuk memverifikasi data.
Peubah penelitian terdiri atas: (1) Karakteristik inovasi teknologi biofuel
nyamplung (2) peranan demplot DME nyamplung (3) fasilitasi tokoh masyarakat
dalam mendukung silvoindustri biofuel nyamplung (4) karakteristik individual
dan sosial-ekonomi responden.
Penelitian ini menemukan bahwa pembentukan demplot DME di Desa
Buluagung dan di Desa Patutrejo dilakukan secara topdown untuk mewujudkan
DME. Lokasi Demplot dipilih karena terdapat bahan baku berlimpah. Demplot
DME Nyamplung dalam difusi adopsi inovasi teknologi biofuel nyamplung belum

berhasil karena belum dapat menunjukkan sebagai usaha yang menguntungkan.
Keterlibatan masyarakat dalam implementasi demplot tergolong tinggi meskipun
belum secara menyeluruh pada lapisan masyarakat. Diketemukan kedua Demplot
DME nyamplung belum berhasil karena karakteristik inovasi biofuel nyamplung

termasuk kerumitan tinggi dalam arti tidak mudah diserap masyarakat. Untuk
memperoleh keberhasilan, maka peran penyuluh dan tokoh masyarakat sebagai
pendamping sangat diperlukan. Modal sosial masyarakat cukup kuat untuk
berpartisipasi, meskipun kapasitas sumber daya manusia (SDM) lembaga DME
dan lembaga LDME masih perlu ditingkatkan.
Strategi terpilih untuk mengembangkan silvoindustri biofuel nyamplung di
desa pasca demplot untuk menuju desa mandiri energi adalah: 1) penguatan
manajemen LDME pasca demplot, 2) pendampingan bisnis hutan rakyat, dan 3)
revitalisasi kebijakan sebagai bentuk dukungan pemerintah dalam silvoindustri
bioenergi nyamplung. Dukungan kebijakan sangat memungkinkan dengan
memaksimalkan peran pemerintah desa sejalan dengan kemandirian desa yang
dipayungi UU Desa No. 6 tahun 2014. Merevitalisasi dukungan pemerintah pusat
dapat dilakukan kebijakan Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan.
Kebijakan yang memihak pada terwujudnya desa mandiri energi diantaranya
berupa: penguatan lembaga Lembaga Desa Masyarakat Hutan (LDMH) atau
Lembaga Desa Mandiri Energi (LDME), penelitian dan pengembangan inovasi
teknologi nyamplung, meningkatkan produktivitas hutan tanaman nyamplung
rakyat dengan adanya insentif dari pemerintah, fasilitasi penyuluh fungsional atau
swadaya Kehutanan, dukungan investasi, dan dukungan dana termasuk Corporate
Social Responsibility (CSR) dari perusahaan kehutanan.

Kata kunci: biofuel, nyamplung, keterlibatan masyarakat, inovasi, fasilitasi.

SUMMARY
BAMBANG URIPNO. The Involvement of Forest Village Community in Coastal
Area to Sustain Biofuel Nyamplung Development. Supervised by LALA M.
KOLOPAKING, MARGONO SLAMET, and SITI AMANAH.
The world energy crisis in the last decade has shown a significant effect on
dynamic price of the fuel supply (BBM). The increase of world fuel price
increased up to US $100 per barrel has made research and development of
alternatif energy such as biofuel. To boost the energy alternative development,
such as phyto fuel (BBN) or biofuel, President RI Decree No. 5 year 2006
regarding National Energy Policy has determined biofuel production target for the
year 2025 as 5 percent from the needs. However, when the world fuel price
decreased down to US $50 per barrel, the fuel price is still unstable.
National energy policy implemented in the form of Desa Mandiri Energy
(DME) programme was proclaimed by President in 2007. DME is potential to
promote energy diversification, to boost the new energy quote and to provide
energy from local resources. During the research implementation, the Program of
Independent Energy Village (DME) had undergone more than one year.
The aim of the research is to formulate appropriate strategies of extension

for developing Nyamplung bio-fuel silvo-industry, through: (1) analysing the
process and the development of Nyamplung DME demplot during implementation, (2) analysing the participation of the forest community surrounding the
location in supporting the diffusion-adoption of nyamplung bio-fuel silvoindustry, and (3) analysing the level of readiness of the village in order to be the
demplot of Nyamplung DME.
The research respondents are the community in Buluagung and Patutrejo
Villages involved in the Nyamplung demplot of BBN DME. They are the
workers who were involved in the project activities, in the seed providing
processes and in the seedling activities. They are also the participants who
attended previous training on Nyamplung cultivitation, and the participants who
were involved in the training of factory operator. The total population of
respondents is 100 (one hundred) people in each village. The other respondents
are key people (both formal and informal leaders) from the two villages. The total
sample of this research is 62 (sixty two) respondents, appointed through purposive
proportional on each village, or through sample intensity of 31 percent.
This research implements the method of questionaire survey and direct
observation. Semi-structured interview is also implemented for the purpose of
obtaining data from the informant. FGD (Focus Group Discussion) in the village
is also implemented in order to confirm data and triangulation for data
verification. The research variable consists of: (1) the characteristics of
Nyamplung bio-fuel technology innovation, (2) the role of Nyamplung DME

Demplot, (3) the facilitation activities of the key people in supporting the
Nyamplung bio-fuel silvo-industry, and (4) the characteristics of individual and
socio-economy of the respondents.
The DME demplot is built through a top-down policy due to the abundant
raw material availability. Nyamplung bio-fuel technology innovation adoption in
Nyamplung DME Demplot both in Buluagung and in Patutrejo is considered not

to be beneficial. The involvement of community in the demplot is categorised as
high, although the involvement does not reach the whole level of community. The
characteristics of Nyamplung bio-fuel innovation is categorised as high
technology in which the roles of extension workers and the key people are
demanded. The social capital to support the program is considered high although
the capacity of the community and LDME still needs improvement.
Selected strategies to develop biofuels silvoindustri nyamplung in villages of
post-village plots to realize the self-energy are: 1) strengthening the management
of post-demplot LDME, 2) mentoring the community forests business, and 3)
revitalizing the policy as a form of government support in bioenergy silvoindustri
nyamplung. It is possible for the policy support to maximize the role of village
government in line with the independence of the village which is pedestrianized
by Village Act 6 of 2014. Revitalizing the central government support can be

carried out by the policy of the Ministry of Energy and the Ministry of Forestry.
The policy in favor of the establishment of such energy independent village
includes strengthening LDMH/LDME institutions, establising research and
development nyamplung technological innovation, increasing productivity of
nyamplung people plantations with incentives from the government, facilitating
extension of functional or non-forestry, investment support, and financial support,
including CSR from forestry companies.
Keywords: biofuel, nyamplung, community involvement, innovation, facilitation.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

KETERLIBATAN MASYARAKAT DESA HUTAN DI DAERAH

PESISIR DALAM MENGEMBANGKAN BIOFUEL NYAMPLUNG
(Calophyllum inophyllum) BERKELANJUTAN

BAMBANG URIPNO

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof Dr Ir Didik Suharjito, MS
Guru Besar Bidang Kebijaksanaan Kehutanan

Departemen Manajemen Hutan, Fahutan-IPB.
2. Dr Ir Ninuk Purnaningsih, MSi
Staf Pengajar FEMA-IPB.
Pelaksanaan

: Jum’at, 15 Agustus 2014.

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr Ir Bambang Tri Hartono
Kepala Pusat Litbang Produktivitas Hutan
Badan Penelitan dan Pengembangan Kehutanan
Kementrian Kehutanan.
2. Prof (R) Dr Ign Djoko Susanto, SKM, APU
Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi,
Kementrian Kesehatan/Staf Pengajar FEMA-IPB.
Pelaksanaan

: Senin, 4 Mei 2015.

iv


PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan ke hadlirat Allah Yang Maha Kuasa, seru sekalian
alam, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah
pengembangan energi alternatif berkelanjutan, dengan judul Keterlibatan
Masyarakat Desa Hutan Di Daerah Pesisir Dalam Mengembangkan Biofuel
Nyamplung (Calophyllum inophyllum) Berkelanjutan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Lala M Kolopaking,
MS, Bapak Prof Dr R Margono Slamet, MSc dan Ibu Dr Ir Siti Amanah, MSc
selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan ilmu
hingga tersusunnya disertasi ini. Kepada Prof Dr Ir Didik Suharjito, MS dan Ibu
Dr Ir Ninuk Purnaningsih, MSi selaku penguji luar komisi pada sidang tertutup.
Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Bambang Tri
Hartono dari Kementerian Kehutanan dan Bapak Prof(R) Dr Ign Djoko Susanto,
SKM, APU selaku penguji pada sidang terbuka, atas pertanyaan kritis yang
disampaikan, kepada Kepala Desa Buluagung dan Kepala Desa Patutrejo beserta
jajarannya selama pengumpulan data.
Terima kasih kepada isteriku Jeany Dewi dan anak-anakku Martha dan
Dimas, atas segala doa dan kasih sayangnya; juga kepada papah dan mamah, mas
Heru dan mbak Ida serta adik-adik sekalian yang selalu memotivivasi penulis.
Kepada teman teman Erwin, Suherdi dan Gamin Gessa yang banyak membantu
penyelesaian disertasi diucapkan terima kasih.
Kepada Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kehutanan
serta Kepala Pusat Diklat Kehutanan, penulis mengucapkan terima kasih untuk
kesempatan dan bea siswa yang diberikan. Terima kasih pula kepada pimpinan
Sekolah Pacasarjana IPB dan jajarannya serta Ketua Prodi Ilmu Penyuluhan
Pembangunan atas pelayaanan dalam studi ini hingga mencapai doktor.
Kepada segenap pihak yang berkenan mendukung pelaksanaan penelitan
ini dalam berbagai bentuk, semoga kerjasama yang erat dapat dibangun dan
ditingkatkan diwaktu yang akan datang. Semua dukungan yamg diberikan adalah
bagian penting dari penyelesaian disertasi ini. Semoga Allah SWT melimpahkan
rahmat atas budi baik yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor,

Mei 2015

Bambang Uripno

v

DAFTAR ISI
RINGKASAN

ii

SUMMARY

iv

PRAKATA

iv

DAFTAR ISI

v

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN

vii
vii

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
9
9
10

2. REVIEW KONSEP DAN PENELITIAN TERDAHULU
Keterlibatan Masyarakat
Falsafah, Konsep dan Prinsip Penyuluhan Pembangunan
Nyamplung Sebagai Bahan Baku Silvoindustri Biofuel
Metode dan Strategi Penyuluhan
Difusi, Adopsi dan Inovasi

15
15
30
33
37
37

3. PROSES PERENCANAAN DAN PERKEMBANGAN DEMPLOT BIOFUEL
NYAMPLUNG DI DESA BULUAGUNG DAN DI DESA PATUTREJO 42
Pendahuluan
42
Tujuan Penelitian
45
Metode Penelitian
45
Hasil dan Pembahasan
46
Simpulan
54
4. KETERLIBATAN MASYARAKAT PADA DEMPLOT DESA MANDIRI
ENERGI BAHAN BAKAR NABATI (BIOFUEL) NYAMPLUNG
(Calophyllum inophyllum)
Pendahuluan
Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

55
55
58
58
65
85

5. TINGKAT KESIAPAN DESA DEMPLOT MENJADI DME
SILVOINDUSTRI BIOFUEL NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)
Pendahuluan

86
86

vi

Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

87
87
88
93

6. STRATEGI PENYULUHAN PENGEMBANGAN SILVOINDUSTRI
BIOFUEL NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) BERKELANJUTAN 94
7. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Simpulan
Implikasi Kebijakan

103
103
100

DAFTAR PUSTAKA

104

LAMPIRAN

114

RIWAYAT HIDUP

120

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Dugaan Luasan Tegakan Hutan Nyamplung di Indonesia
Tabel 2 Comparing and Constrasting Approach to Participatory
Development
Tabel 3 Tumbuhan Penghasil Minyak Lemak Paling Potensial
Tabel 4 Unsur-Unsur Kebudayaan* di Desa Demplot
Tabel 5 Kondisi Demografi Kedua Desa Penelitian
Tabel 6 Perkembangan Demplot Biofuel Nyamplung
Tabel 7 Peubah Teramati, Definisi Operasional, Parameter Pengukuran
dan Kategori Pengukuran
Tabel 8 Sebaran Umur Responden Penelitian
Tabel 9 Kekosmopolitan Responden Peserta DME Nyamplung
Tabel 10 Karakteristik Nyamplung Sebagai Inovasi Energi Terbarukan
Tabel 11 Peranan Demplot DME Nyamplung Menurut Responden
Tabel 12 Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Petani Demplot Biofuel
Tabel 13 Fasilitasi Pendampingan Masyarakat Desa Buluagung dan Desa
Patutrejo
Tabel 14 Keterlibatan Masyarakat Mendukung Pembangunan Silvoindustri
Biofuel Nyamplung
Tabel 15 Kondisi Penyuluhan dan Fasilitasi Tokoh-Tokoh Masyarakat
Tabel 16 Kondisi Demplot dan Bisnis Silvoindustri Nyamplung
Tabel 17 Faktor Internal-Eksternal SWOT di kedua desa penelitian

6
20
34
49
49
54
62
65
67
67
69
70
71
72
83
84
92

vii

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Peta Tebaran Tegakan Nyamplung
Gambar 2 Grafik Sebaran Tegakan Nyamplung di Indonesia
Gambar 3 Kategori Partisipasi Masyarakat
Gambar 4 Siklus Pemberdayaan Masyarakat menuju Kemandirian
Gambar 5 Bentuk Percabangan, Daun, Bunga dan Buah Nyamplung
Gambar 6 Kerangka Studi Hubungan antar Peubah Penelitian
Gambar 7 Partisipasi Masyarakat Menurut Uphoff
Gambar 8 Korelasi Rank Spearman antar Peubah
Gambar 9 Matriks Analisis SWOT
Gambar 10 Temuan-temuan dan Strategi Pengembangan Silvoindustri
Gambar 11 Revitalisasi Kebijakan Pengembangan Silvoindustri Biofuel
Nyamplung Berkelanjutan

5
8
16
22
36
57
76
78
93
94
100

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Hasil Ujicoba
Lampiran 2 Tumbuhan Indonesia Penghasil Minyak Lemak
Lampiran 3 Panduan Pengumpulan Data Sekunder
Lampiran 4 Hasil Pengolahan Data Hubungan Antar Peubah

115
116
118
119

DAFTAR SINGKATAN
BBM
BBN
BPS
CSR
Demplot
DME
FAME
FGD
HET
LDME
LDMH
RAPBN
RAPBN-P

Bahan Bakar Minyak
Bahan Bakar Nabati atau Biofuel
Badan Pusat Statistik
Corporate Social Responsibility
Demonstration plot
Desa Mandiri Energi
methyl/ester asam lemak atau Biodiesel
Focus Group Discussion
Harga Eceran Tertinggi
Lembaga Desa Mandiri Energi
Lembaga Desa Masyarakat Hutan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan

1

1.
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Krisis energi dunia pada era dekade terakhir telah berdampak nyata pada
dinamika harga bahan bakar minyak (BBM), yang memberatkan kehidupan
masyarakat. Bahan bakar minyak seperti premium, solar, dan minyak tanah untuk
konsumsi non-industri atau konsumsi non-transportasi masih harus disubsidi
pemerintah sehingga negara harus mengimpor BBM. Tidak mengherankan apabila
nilai subsidi untuk BBM bernilai sangat besar dan terus bertambah besar yaitu
sebesar Rp 80 triliun pada tahun 2004, Rp 89 triliun pada tahun 2005 dan Rp 106
triliun tahun 2006. Pada asumsi makro RAPBN tahun 2012 nilai subsidi BBM
dialokasikan Rp 123.6 triliun, kemudian sesuai perubahan RAPBN-P diperbaiki
menjadi Rp 137 triliun.
Ketersediaan BBM dalam jumlah yang cukup dan dengan harga yang
terjangkau sangat diperlukan masyarakat, baik untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga maupun kebutuhan mencari nafkah. Pasokan BBM yang terbatas
menyebabkan masyarakat harus rela antri untuk mendapatkan BBM. Tidak
terhitung ongkos tenaga dan waktu yang terbuang percuma. Bahkan tidak jarang
mereka harus membeli BBM dengan harga jauh diatas harga eceran tertinggi
(HET). Harian Kompas beberapa kali melaporkan bahwa di daerah pesisir
Provinsi Lampung nilai solar bisa mencapai Rp 25 000,- per liter, padahal HET
solar Rp 4 500,- per liter. Bahkan di Kabupaten Wamena, Provinsi Papua, harga
minyak tanah bisa mencapai 10 kali lipat dari HET.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2010 dalam kurun waktu 15
tahun terakhir jumlah orang miskin hanya turun 4.4 persen dari 17.7 persen pada
tahun 1995 menjadi 12.49 persen di tahun 2010 atau sekitar 30 juta jiwa yang
dihitung dari katagori miskin absolut nasional diukur dari besar pendapatan.
Apabila menggunakan standar garis kemiskinan internasional yaitu pendapatan
perkapita sebesar 2 dollar AS per hari, jumlah penduduk miskin masih sebanyak
42 persen, atau hampir 100 juta orang.
Kebutuhan energi terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah
penduduk Indonesia, yang rata-rata dari tahun 2000 s.d tahun 2010 sebesar 4.2
persen per tahun (BPS 2010), dan pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata 6.0
persen per tahun (Kemenko Perekonomian 2010). Namun, cadangan minyak bumi
kita tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan di masa mendatang. Sehingga, ketika
harga minyak dunia melambung di atas harga 100 $ US per barel telah mendorong
penelitian dan pengembangan energi alternatif, antara lain Bahan Bakar Nabati
(BBN) atau biofuel. Demikian juga ketika harga minyak dunia turun sampai 50 $
US per barel, tetap saja harga BBN berfluktuasi.
Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi
Nasional menetapkan target produksi biofuel tahun 2025 sebesar lima persen dari
total kebutuhan energi nasional. Kementerian Kehutanan memperoleh mandat
untuk aktif menyediakan bahan baku biofuel. Satu implementasi kebijakan energi
nasional diwujudkan dalam bentuk program Desa Mandiri Energi (DME), yang
dicanangkan oleh Presiden pada tahun 2007.

2
Difinisi DME adalah desa yang memproduksi dan menggunakan energi baru
terbarukan untuk memenuhi dan menyediakan 60 persen dari energi yang
dibutuhkan untuk keperluan sendiri dan lokasinya remote (Permen ESDM Nomor
32 Tahun 2008). Program DME bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi di
pedesaan melalui pengembangan berbagai jenis teknologi dan pendekatan yang
berkaitan dengan energi baru terbarukan, yaitu mulai dari penelitian dan
pengembangan, uji coba lapangan, dan penyebarluasan penggunaan teknologi
yang telah matang dalam skala yang luas. Program DME merupakan program
yang sangat potensial dalam mempromosikan diversifikasi penyediaan energi,
meningkatkan kuota energi baru terbarukan, dan menyediakan energi yang
bersumber dari sumberdaya lokal, khususnya untuk daerah-daerah yang belum
berkembang dan terpencil.
Kriteria dasar pemilihan DME dengan Bahan Bakar Nabati atau biofuel
meliputi: (a) ada masyarakat yang ingin mengembangkan, (b) ada sumberdaya
bahan baku energinya, (c) ada teknologi yang dikembangkan, (d) harus ada
investasi (dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat) dan (e)
harus ada sistem penunjang berupa pendampingan masyarakat.
Pada pustaka energi, terdapat beberapa jenis pengganti energi minyak bumi
yang pernah ditawarkan. Jenis energi tersebut antara lain berupa tenaga baterai
(fuel cells), panas bumi (geothermal), tenaga laut (ocean power), tenaga matahari
(solar power), tenaga angin (wind power), batu bara, gas nuklir (nuclear), fusi,
biomassa (biomass), dan bahan bakar nabati (biofuel). Selain sifatnya dapat
diperbaharui (renewable), energi alternatif juga ramah lingkungan, dan -sampai
pada tingkat tertentu- biaya produksinya lebih murah (Prihardana, 2006).
Baru-baru ini, biodiesel telah digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel
alternatif. Biodiesel terbuat dari sumber daya terbarukan seperti minyak nabati.
Banyak peneliti melakukan penelitian menggunakan bahan baku minyak nabati
bukan untuk dikonsumsi dari beberapa biji seperti jarak (Jatropha curcas), karet
(Hervea brasiliensis), Jojoba (Simmondsia chinensis), Mahua (Madhuca indica),
dan polanga (Calophyllum inophyllum). Kemiri (Aluerites moluccana) tumbuh
secara alami di wilayah timur Indonesia, kini dibudidayakan di provinsi-propinsi
bahagian timur Indonesia sebagai tanaman tahunan (Suprihastuti et al. 2009).
Bahan Bakar Nabati (BBN) atau Biofuel adalah semua bahan bakar yang
berasal dari minyak nabati yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar; baik
dalam bentuk ester (biodiesel) atau anhydrous alkohol (bioetanol), maupun
minyak nabati murni (bio-oil, pure plant oil, atau PPO). Melalui beberapa
persyaratan dan perlakuan tertentu, biodiesel dapat menggantikan solar, bioetanol
dapat menggantikan premium, dan bio-oil atau kerosin dapat mengganti atau
campuran minyak tanah. Produk BBN lainnya biobutanol, yang menghasilkan
energi lebih banyak, penguapan lebih sedikit, dan dapat disalurkan melalui pipa
dengan aman; masih dalam proses penelitian dan pengembangan.
Biodiesel merupakan biofuel yang paling umum dipergunakan di Eropa.
Biodiesel diproduksi dari minyak atau lemak menggunakan transesterifikasi dan
bentuknya berupa cairan yang komposisinya mirip dengan diesel mineral. Nama
kimia biodiesel adalah methyl asam lemak atau ethyl ester (FAME). Minyak solar
dicampur dengan sodium hidroksida dan methanol (atau ethanol) dan reaksi kimia
menghasilkan biodiesel (FAME) dan glycerol. Satu bagian glycerol dapat
dihasilkan untuk setiap 10 bagian biodiesel.

3
Biodiesel dapat digunakan di setiap mesin diesel kalau dicampur dengan
diesel mineral. Lebih dari seratus tahun yang lalu, mesin motor diesel pertama
digerakkan menggunakan bahan bakar biodiesel dari kacang tanah. Di beberapa
negara maju, kalangan produsen biodiesel memberikan garansi untuk penggunaan
100 persen biodiesel (B-100). Kebanyakan kalangan produsen kendaraan
bermotor membatasi rekomendasi mereka untuk penggunaan biodiesel sebanyak
15 persen dicampur dengan diesel mineral (B-15). Kebanyakan negara Eropa telah
mengunakan campuran biodiesel 5 persen (B-05) secara luas dan tersedia di
banyak stasiun bahan bakar.
Di Amerika Serikat, lebih banyak dari 80 persen truk komersial dan bis kota
beroperasi menggunakan diesel, karena itu produksi dan penggunaan biodiesel di
Amerika Serikat bertumbuh sangat cepat, dari sekitar 25 juta galon per tahun pada
2004 menjadi 78 juta galon pada awal 2005. Pada akhir 2006, produksi biodiesel
diperkirakan menjadi 1 milyar galon (Library of Parliament 2006).
Biofuel menawarkan kemungkinan memproduksi energi dengan tanpa
meningkatkan kadar karbon di dalam atmosfer, karena berbagai tanaman yang
digunakan untuk memproduksi biofuel dapat mengurangi kadar karbondioksida di
atmosfer; tidak seperti bahan bakar fosil yang mengembalikan karbon yang
tersimpan di bawah permukaan tanah selama jutaan tahun ke udara. Dengan
begitu biofuel lebih bersifat carbon neutral dan sedikit meningkatkan konsentrasi
gas-gas rumah kaca di atmosfer. Selain itu volumenya yang 600 kali lebih kecil
dibanding gas sehingga kepadatan energi lebih besar, mudah dibawa, dan relatif
sulit terbakar ketimbang gas.
Para pendukung biofuel mengklaim telah memiliki solusi yang lebih baik
untuk meningkatkan dukungan politik dan kalangan industri, dengan percepatan
implementasi biofuel generasi kedua berbahan baku dari sejumlah tanaman yang
tidak digunakan untuk konsumsi manusia maupun hewan, di antaranya cellulosic
biofuel. Proses produksi biofuel generasi kedua menggunakan berbagai tanaman
khusus untuk energi, di antaranya limbah biomassa seperti tangkai gandum,
jagung, kayu, dan tanaman lainnya. Biofuel generasi kedua (2G) juga
menggunakan teknologi yang mengubah biomassa padat menjadi bentuk energi
cair (Pinto 2009).
Memproduksi etanol dari selulosa masih merupakan sebuah permasalahan
teknis yang sulit dipecahkan. Berbagai hewan ternak pemamah biak (seperti sapi
dan domba) memakan rumput lalu menggunakan proses pencernaan, yang
berkaitan dengan pemanfaatan enzim. Prosesnya berlangsung dengan lamban dan
berulang-ulang untuk menguraikannya menjadi glukosa (Nielsen 2008).
Dewasa ini biofuel telah diproduksi secara besar-besaran di banyak negara,
sebagai reaksi atas tingginya harga BBM internasional serta teknologi hasil
litbang yang intensif. Brazil dan Amerika Serikat merupakan negara yang
memproduksi sekitar 70 persen bioethanol dunia yaitu 44.7 juta liter pada tahun
2005. Brazil memproduksi bioethanol dari tanaman atau tetes tebu sedangkan
Amerika Serikat memproduksi bioethanol terutama dari tanaman Jagung.
Canada dengan produksi bioethanol rata-rata sekitar 6 juta liter per tahun,
mendukung pengembangan biofuel dengan insentif kebijakan pajak. Negaranegara di Eropa (EU) merupakan pemimpin produsen biodiesel dunia yang
diproduksi dari lemak hewan, dengan produksi 3.6 juta liter pada tahun 2005;

4
dimana Jerman Barat telah mewajibkan penggunaan campuran biodiesel secara
luas untuk transportasi di seluruh negeri (Library of Parliament 2006).
Keragaman situasi dan kondisi wilayah di Indonesia memerlukan adanya
pola penyediaan energi yang berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya,
antara lain tergantung kepada kondisi alam dan kondisi sumberdaya setempat,
baik di lingkungan perkotaan maupun di masyarakat pedesaan. Di kota-kota besar
telah menjadi mode bagaimana sampah dikembangkan untuk menghasilkan energi
listrik. Di tempat pembuangan sampah akhir di Bantar Gebang Bekasi misalnya,
belum lama ini dikabarkan secara luas melalui berbagai media masa, telah
dioperasikannya delapan unit pembangkit listrik berbahan baku sampah, dengan
total kapasitas terpasang 10.5 megawatt dan produknya telah masuk ke sistem
kelistrikan Jawa dan Bali yang dikelola PLN. Nantinya, listrik yang dialirkan itu
mencapai 26 megawatt.
Mengantisipasi kelangkaan energi, berbagai lembaga riset baik milik
pemerintah maupun kalangan dunia usaha bahkan milik perseorangan di seluruh
Indonesia; terus berpacu untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan,
mulai dari pellet kayu, ganggang laut, sampai memanfaatkan minyak jelantah dari
tumbuhan dan lemak hewan menjadi energi. Beberapa diantaranya yang sudah
berhasil kemudian di populerkan oleh majalah Trubus edisi khusus Agustus 2008
adalah biopremium dengan kandungan 5 persen etanol asal tetes tebu yang dijual
di SPBU Rampai, Malang, Jawa Timur; etanol asal singkong yang digunakan
secara terbatas di Bandung; pengganti solar atau biodiesel dari jarak pagar,
alpukat, dan sorgum di beberapa tempat di pulau Jawa.
Di pedesaan pada umumnya tidak sukar mencari lahan; seperti di lahan
pekarangan, di tepi jalan-jalan desa, bantaran tepian sungai, lahan kritis, dan lahan
gundul atau terlantar. Lahan-lahan tersebut dapat dijadikan sumberdaya alam
untuk memproduksi energi alternatif berbahan baku nabati secara terus-menerus
tanpa perlu takut habis, sepanjang matahari masih terbit.
Indonesia memiliki berbagai jenis tumbuhan yang sangat potensial sebagai
bahan baku industri energi atau bahan bakar biodiesel dan bioetanol. Jika dapat
dimanfaatkan dengan maksimal, maka negeri ini sangatlah mungkin suatu saat
menjadi “Timur Tengah”-nya bioenergi. Indonesia merupakan salah satu
penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia, pemanfaatan minyak kelapa
sawit ini telah dimanfaatkan menjadi salah satu produk biodiesel. Namun hal
tersebut juga mengalami beberapa kendala seperti yang dijabarkan oleh (Rist et al.
2010). “Meskipun mengakui bahwa terjadi implikasi lingkungan yang serius dari
ekspansi kelapa sawit di Indonesia, dan tambahan konsekuensi lainnya terhadap
kehidupan dari dampak kegiatan tersebut, ekspansi di masa mendatang mungkin
tak terelakkan. Pertanyaannya adalah bukan salah satu dari kelapa sawit atau
tidak, tetapi bagaimana kita bisa memaksimalkan manfaat pembangunan dan
meminimalkan dampak negatif sosial dan lingkungan, kita harus terus mencari
skenario produksi alternative yang dapat memungkinkan secara ekologis dan
pengembangan kelapa sawit sosial yang berkelanjutan”.
Upaya pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat berkaitan
dengan penyebarluasan informasi tentang inovasi, pendidikan masyarakat, serta
peningkatan kapasitas. Hal ini didukung pula oleh adanya fakta bahwa sumber
bahan baku energi BBN/biofuel di Indonesia ternyata cukup banyak. Tumbuhan
penghasil minyak lemak yang dapat dijadikan biofuel teridentifikasi sebanyak 50

5
jenis tumbuhan, diantaranya Nyamplung (Calophyllum inophyllum L) (Tatang et
al. 2005). Nyamplung merupakan tumbuhan asli Indonesia (endemic), yang
banyak terdapat di daerah pesisir berpasir dan berhumus. Kelebihan nyamplung
sebagai bahan baku BBN adalah (1) bijinya mempunyai rendemen minyak lemak
sangat tinggi, dapat mencapai 74 persen dan (2) pemanfaatannya menjadi biofuel
tidak berkompetisi dengan pangan.
Potensi alami tumbuhan nyamplung di seluruh Indonesia sampai sekarang
belum dapat diketahui secara tepat. Sungguhpun demikian, berdasarkan pada
penafsiran Citra Satelit Landsat ETM 7+ (Baplan Dephut 2003) luas tumbuhan
nyamplung alam diduga mencapai total luasan areal 252.300 ha, baik yang berada
di luar maupun di dalam kawasan hutan (Gambar 1). Sedangkan total luasan lahan
yang potensial untuk menjadi areal budidaya hutan tanaman nyamplung, baik
yang berada di luar maupun di dalam kawasan hutan, seluruhnya mencapai luasan
sekitar 480.700 hektar (lihat Gambar 2 dan Tabel 1).
Kementerian Kehutanan tahun 2010 telah menyusun buku Rencana Aksi
Pengembangan Energi Alternatif Berbasis Tanaman Nyamplung, dengan arahan
lokasi meliputi sembilan Provinsi, yaitu Provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Gorontalo, Maluku
Tengah, dan Papua. Ruang lingkup kegiatan persiapan meliputi pengembangan
demplots DME di Jawa dan di Sulawesi (Kabupaten: Purworejo, Banyuwangi,
Pandeglang, dan Selayar), dengan pengaturan pasokan buah nyamplung pada
tahap awal berasal dari hutan alam dan dari hutan tanaman Perum Perhutani;
sampai pasokan buah nyamplung dari hutan rakyat sudah dapat dimanfaatkan.

Keterangan:
Indikasi bertegakan alam Nyamplung >500 ha
Sumber Data:
Peta Dasar Tematik Kehutanan skala 1:250.000
Peta Penutupan Lahan hasil Penafsiran Citra Landsat ETM 7+ tahun 2003

Gambar 1 Peta Tebaran Tegakan Nyamplung Alam

6
Berbeda dengan bahan bakar minyak (BBM) dari fosil yang terbentuk alami
selama ratusan juta tahun, produksi BBN lebih ditekankan kepada budidaya energi
(energy farming) dan bukan berburu energi (energy hunting). Energy farming
mengandung pola pikir lebih mengedepankan pengumpulan dan penyimpanan
energi yang berasal dari cahaya sinar matahari (green energy) dan dapat
diperbaharui dengan sendirinya (self sustainable), dan tentu saja tidak akan
merusak lingkungan karena bebas polusi (Timnas BBN 2008).

Tabel 1 Dugaan Luasan Tegakan Hutan Nyamplung di Indonesia
No. Wilayah

1.

Sumatera

Fungsi/Letak

Luar Kawasan
Dalam Kawasan

2.

Jawa

Luar Kawasan
Dalam Kawasan

3.

Luasan Lahan Potensial untuk
Budidaya Nyamplung (hektar)
Bertegakan
Tanah
Total
Nyamplung
Kosong dan
Belukar
6.800
24.600
31.400
7.400

16.800

24.200

14.200

41.400

55.600

2.200

3.400

5.600

Bali dan Nusa
Tenggara

Luar Kawasan

13.500

1.300

14.800

Dalam Kawasan

15.700

4.700

20.400

Kalimantan

Luar Kawasan

21.700

39.400

61.100

Dalam Kawasan

10.100

19.200

29.300

Luar Kawasan

5.600

6.100

11.700

Dalam Kawasan

3.100

5.900

9.000

21.100

30.800

51.900

Dalam Kawasan

8.400

9.700

18.100

Luar Kawasan

5.300

8.100

13.400

28.000

34.900

62.900

9.400

5.000

14.400

Dalam Kawasan

79.800

16.400

96.200

Luar Kawasan

78.200

118.300

196.500

177.100

107.100

284.200

Total
252.300
225.400
Sumber: Rencana Aksi Pengembangan Nyamplung Kementerian Kehutanan

480.700

4.
5.
6.
7.

Sulawesi
Maluku
Papua Barat

Luar Kawasan

Dalam Kawasan
8.
9.

Papua
Wilayah lainnya

Luar Kawasan

Dalam Kawasan

Data luas tegakan nyamplung di Indonesia mencapai 250 ribu hektar lebih
baik di dalam maupun di luar kawasan hutan dengan potensi keseluruhan
mencapai hampir 500 ribu hektar bila ditambah pada areal lahan kosong maupun
semak belukar (Tabel 1). Potensi terbanyak tersebar di wilayah Papua (Gambar 2).
Teknologi pengolahan biofuel nyamplung merupakan suatu inovasi yang
menjanjikan dan masih relatif sangat baru, sehingga perlu didiseminasikan kepada
masyarakat sasaran program DME dengan BBN berbasis Nyamplung secara baik
dan benar. Terkait pengelolaan silvoindustri biofuel nyamplung, sesungguhnya
masyarakat desa hutan setempat dapat berperan ganda (double functions), yaitu
sebagai produsen maupun sebagai konsumen.

7
Silvoindustri BBN/biofuel nyamplung masih belum dapat dilakukan dalam
skala pemanfaatan karena dijumpai beberapa kendala. Perolehan buah nyamplung
sebagai bahan baku, masih mengandalkan dari hutan alam dan hutan produksi
Perum Perhutani yang kualitas maupun kuantitasnya terbatas. Sementara di lain
pihak, teknologi pengolahan biji nyamplung menjadi biofuel belum dipahami
sepenuhnya oleh masyarakat setempat, sehingga partisipasi masyarakat desa hutan
di daerah pesisir belum seperti yang diharapkan (Balitbang Kehutanan 2010).
Keberlanjutan program penyediaan energi melalui pembangunan DME
berbasis nyamplung sangat ditentukan oleh peranserta masyarakat desa hutan di
daerah pesisir yang bersangkutan. Keterlibatan masyarakat dalam silvoindustri
nyamplung memerlukan kebijakan dan strategi penyuluhan yang tepat. Melalui
penyuluhan, diharapkan masyarakat dapat lebih menyadari potensi nyamplung,
merasakan adanya kebutuhan untuk terlibat dalam silvoindustri, dan dapat
mendayagunakan nyamplung sebagai bahan baku energi.
Berkaitan dengan hal-hal di atas, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bekerjasama dengan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan - Kementerian Kehutanan selaku
focal point DME Nyamplung, pada tahun 2009 membangun dua Demontration
Plots (demplot) DME berbasis Nyamplung dengan sumber pembiayaan dari Dana
Stimulus Fiskal APBN pada Kementerian ESDM. Demplot DME Nyamplung
dimaksud berlokasi di (1) Desa Buluagung, Kecamatan Siliragung, Kabupaten
Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, dan (2) di Desa Patutrejo, Kecamatan Grabag,
Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.
Pembangunan demplot DME berbasis nyamplung yang dibangun di Desa
Buluagung dan di Desa Patutrejo memiliki alasan penting baik dari segi modal
maupun dari segi sumber daya yang dimiliki kedua daerah tersebut. Desa
Buluagung dan Desa Patutrejo memiliki potensi bahan alami biofuel berupa biji
nyamplung yang tersedia banyak di kedua desa tersebut. Dari segi sumber daya
manusia kedua desa ini memiliki potensi ketenagakerjaan yang memadai dilihat
dari usia produktif yang tersedia. Adanya teknik yang mudah dipelajari, akan
membuat masyarakat terbuka untuk menerima teknologi baru.
Program pembangunan Demplot DME berbasis Nyamplung meliputi paketpaket kegiatan sebagai berikut: (1) pembangunan pabrik pengolah biodiesel mini
(mini plant compact) dengan kapasitas terpasang sebesar 250 liter, (2)
pembangunan persemaian nyamplung kapasitas 11.000 batang, (3) penanaman
sebanyak 20.000 batang nyamplung (termasuk penanaman dengan bibit dari semai
alami atau kongkoa), (4) pelatihan budidaya nyamplung dan pelatihan operator
pabrik, dan (5) pada tahap awal, penyediaan bahan baku (buah Nyamplung)
berasal dari hutan tanaman Perum Perhutani, sebelum hutan tanaman rakyat dapat
berfungsi optimal menghasilkan buah.
Perkembangan demplot belum seperti yang diharapkan. Diduga karena dari
sisi tehnologi belum belum benar-benar mantap seperti screw press, degumming,
esterifikasi dan transesterifikasi serta perlunya pencerahan keterlibatan
masyarakat luas dalam operasionalisasi silvoindustri nyamplung. Proses
pemantapan teknologi dan difusi adopsi inovasi teknologi biofuel nyamplung
belum terselenggara sebagaimana yang seharusnya. Diperlukan upaya melibatkan
masyarakat desa hutan di daerah pesisir setempat untuk terlibat mengembangkan
silvoindustri Biofuel Nyamplung (Calophyllum inophyllum) yang berkelanjutan.

8

Gambar 2 Grafik Sebaran Tegakan Nyamplung di Indonesia

9

9
Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengembangan demplot nyamplung.
Dari hasil analisis tersebut, dibandingkan dengan teori dan konsep penyuluhan
dalam merancang strategi penyuluhan yang baik untuk pengembangan
silvoindustri biofuel nyamplung. Secara rinci, tujuan penelitian meliputi hal-hal
sebagai berikut:
1. Menguraikan proses dan perkembangan demplot DME Nyamplung dalam
penyuluhan
2. Menganalisis keterlibatan masyarakat desa hutan di lokasi demplot dalam
mendukung difusi adopsi silvoindustri biofuel nyamplung,
3. Menganalisis kesiapan desa demplot DME Nyamplung menjadi Desa Mandiri
Energi.
Kebaruan (Novelty)
Keterlibatan masyarakat desa hutan di daerah pesisir memerlukan dukungan
dan partisipasi aktif dari segenap pihak terkait. Sejauh ini belum ada penelitian
mengenai partisipasi masyarakat untuk mendukung pembangunan silvoindustri
biodiesel nyamplung. Kebaruan ini termasuk kebaruan tipe-1 atau invention
(Sukardi 2009).
Kajian ini juga menemukan bahwa pelibatan masyarakat desa sebaiknya
dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan pihak kehutanan dan penyuluhan
di daerah. Temuan kedua yang mengedepankan pelibatan unsur daerah, menurut
Sukardi (2009) merupakan kebaruan tipe-2 (improvement), yang menguatkan teori
Patton and Miller (1993).
Menurut Sukardi (2009) keterkaitan silvoidustry sebagai bagian integral
pembangunan di daerah merupakan kebaruan tipe-3 (refutation). Berdasarkan
kriteria kebaruan yang harus fokus (specific), terdepan (advance), dan ilmiah
(scholar) maka penelitian ini memenuhi ketiga kriteria tersebut. Fokus perhatian
keahlian baru yaitu pada kebijakan pemberdayaan masyarakat untuk persoalan
DME di daerah pesisir. Hal ini penting karena mengingat masih sangat terbatas
penelitian yang mengkaitkan pemberdayaan dalam silvoindustri dan penyuluhan
di daerah pesisir.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam menyusun konsep strategi
penyuluhan pembangunan silvoindustri nyamplung berbasis masyarakat desa
hutan di daerah pesisir. Kemudian melalui transferability; strategi penyuluhan
pembangunan tersebut diharapkan dapat diimplementasikan di tempat lain, yang
situasi kondisi geografis-ekologis-sosial-ekonominya mirip.
Secara akademik, hasil penelitian diharapkan dapat memberi sumbangan
(contribute) dalam pengembangan teori atau konsep penyuluhan pembangunan
masyarakat desa hutan di daerah pesisir untuk mengembangkan dirinya sendiri

10
(self help) dan belajar terus menerus (life long learning) memenuhi kebutuhan
hidupnya dengan efektif, efisien dan produktif sehingga lebih menguntungkan dan
berkelanjutan. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan
bagi pengambil keputusan di Kementerian Kehutanan, di Kementrian ESDM dan
di Pemerintahan Daerah dalam merumuskan strategi penyuluhan pembangunan
pengembangan energi alternatif dari bahan bakar nabati (BBN) khususnya
Nyamplung, dengan didukung keterlibatan masyarakat desa hutan di daerah
pesisir.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam ruang lingkup penelitian
perilaku (behavioral research) di bidang penyuluhan pembangunan, dengan fokus
melakukan pengamatan terhadap perilaku individu dan perilaku masyarakat
berpartisipasi dalam pembangunan Desa Mandiri Energi (DME) Bahan Bakar
Nabati (BBN) Nyamplung. Demplot DME berbasis biofuel nyamplung yang akan
diteliti sudah berumur 2 tahun, akan tetapi silvoindustri biofuel nyamplung belum
berkembang seperti yang diharapkan. Diduga terdapat beberapa faktor yang
berkaitan dengan hal ini, salah satunya adalah faktor kesiapan dan kesediaan dari
masyarakat Desa Buluagung dan Desa Patutrejo mengembangkan pengusahaan
silvoindustri biofuel nyamplung setelah dibangunnya Demplot.
Pada penelitian ini dilakukan identifikasi terhadap faktor-faktor yang
membentuk keterlibatan masyarakat untuk kemudian diuji hubungannya sehingga
diperoleh pemahaman situasi yang lebih baik. Subyek penelitian ini adalah
kelompok pemanfaat langsung (primary stakeholders/user groups) bahan bakar
nabati nyamplung. Fokus Penelitian ini adalah mengungkap faktor-faktor yang
mempengaruhi besaran keterlibatan masyarakat Desa Hutan di Buluagung dan di
Desa Patutrejo dalam memenuhi kebutuhan energi secara mandiri, setelah
dibangunnya Demplot DME Berbasis Nyamplung.
Pada penelitian sebelumnya Doni (2008) mengungkapkan keterlibatan
masyarakat dalam program Keluarga Berencana (KB) misalnya, dapat menjadi
contoh dari program pembangunan yang berhasil. Hal ini dimungkinkan karena
masyarakat sasaran telah mengetahui manfaat inovasi KB, memiliki kebutuhan
nyata untuk memanfaatkan inovasi, dan adanya kesempatan untuk berpartisipasi.
Pelibatan masyarakat yang dimaksud, terkait dengan perumusan kebijakan,
strategi, dan teknik yang digunakan maupun kemudahan dalam perolehan aset.
Selanjutnya Utama (2010) menyampaikan bahwa rendahnya dinamika
kelompok tani hutan dipengaruhi oleh (1) kurang efektifnya kepemimpinan
kelompok, (2) kurang kondusifnya dukungan lingkungan terhadap peningkatan
kehidupan petani hutan, dan (3) kurangnya kemampuan tenaga Mandor Perum
Perhutani sebagai pendamping masyarakat.
Sedangkan Rayudin (2010) menyimpulkan bahwa tingkat partisipasi petani
dalam pembangunan pedesaan di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi
Tenggara; akan segera muncul dan dapat terwujud secara nyata apabila didukung
oleh adanya kesempatan, kemauan dan kemampuan untuk dapat berperan dan
terlibat secara sadar dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan.

11
Teori difusi inovasi sebenarnya didasarkan atas teori pada abad ke 19 dari
seorang ilmuwan Perancis, Gabriel Tarde. Dalam bukunya yang berjudul “The
Laws of Imitation” (1930), Tarde mengemukakan suatu teori kurva S dari adopsi
inovasi, dan pentingnya komunikasi interpersonal. Tarde juga memperkenalkan
gagasan mengenai opinionleadership, yakni ide yang menjadi penting di antara
para peneliti efek media beberapa dekade kemudian. Tarde melihat bahwa
beberapa orang dalam komunitas tertentu merupakan orang yang memiliki
ketertarikan lebih terhadap ide baru dan hal-hal teranyar, sehingga mereka lebih
berpengetahuan dibandingkan dengan yang lainnya. Orang-orang ini dinilai bisa
memengaruhi komunitasnya untuk mengadopsi sebuah inovasi.
Inovasi merupakan suatu ide, praktik, atau obyek yang dianggap baru oleh
manusia atau unit adopsi lainnya. Teori ini meyakini bahwa sebuah inovasi
terdifusi ke seluruh masyarakat dalam pola yang bisa diprediksi. Beberapa
kelompok orang akan mengadopsi sebuah inovasi segera setelah mereka
mendengar inovasi tersebut. Sedangkan beberapa kelompok masyarakat lainnya
membutuhkan waktu lama untuk kemudian mengadopsi inovasi tersebut. Ketika
sebuah inovasi banyak diadopsi oleh sejumlah orang, maka hal itu dapat
dikatakan exploded atau meledak.
Rogers (1983) dan sejumlah ilmuwan komunikasi dan pendidikan lainnya
telah mengidentifikasi adanya 5 kategori pengguna inovasi:
1. Inovator: adalah kelompok orang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal
baru. Hubungan sosial mereka cenderung lebih erat dibanding kelompok
sosial lainnya. Orang-orang seperti ini lebih dapat membentuk komunikasi
yang baik meskipun terdapat jarak geografis. Biasanya orang-orang ini adalah
mereka yang memiliki gaya hidup dinamis di perkotaan yang memiliki banyak
teman atau relasi.
2. Pengguna awal: adalah kelompok orang yang lebih lokal dibanding banyak
opini kelompok inovator. Kategori adopter inovasi seperti ini menghasilkan
lebih banyak opini dibanding kategori lainnya, serta selalu mencari informasi
tentang inovasi. Mereka dalam kategori ini sangat disegani dan dihormati oleh
kelompoknya karena kesuksesan mereka dan keinginannya untuk mencoba
inovasi baru.
3. Mayoritas awal: kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang tidak
mau menjadi kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. Sebaliknya,
mereka akan dengan berkompromi secara hati-hati sebelum membuat
keputusan dalam mengadopsi inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang
lama. Orang-orang seperti ini menjalankan fungsi penting dalam melegitimasi
sebuah inovasi, atau menunjukkan kepada seluruh komunitas bahwa sebuah
inovasi layak digunakan atau cukup bermanfaat.
4. Mayoritas akhir: kelompok yang ini lebih berhati-hati mengenai fungsi sebuah
inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan orang telah mencoba dan
mengadopsi suatu inovasi sebelum mereka mengambil suatu keputusan.
Terkadang, tekanan dari anggota kelompoknya bisa memotivasi mereka.
Dalam kasus lain, kepentingan faktor ekonomi mendorong mereka untuk
mengadopsi inovasi.
5. Laggard: kelompok ini merupakan orang yang terakhir melakukan adopsi
inovasi. Mereka bersifat lebih tradisional, dan segan untuk mencoba hal hal
baru. Kelompok ini biasanya lebih suka bergaul dengan orang-orang yang

12
memiliki pemikiran yang sama dengan pemikiran mereka. Sekalinya
sekelompok laggard mengadopsi inovasi baru, kebanyakan orang justru sudah
jauh mengadopsi inovasi baru lainnya, dan menganggap mereka sudah
ketinggalan zaman.
Inovasi dapat berupa suatu gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap
baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif
menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu inovasi dianggap
sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat)
elemen pokok, yaitu:
1.

Inovasi; gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang.
Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan
individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang
maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ”baru” dalam ide yang
inovatif tidak harus baru sama sekali.
2. Saluran komunikasi; ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari
sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling
tidak perlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b)
karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka
saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa.
Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku
penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah
saluran interpersonal.
3. Jangka waktu; proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui
sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan
terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak
dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b)
keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima
inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
4. Sistem sosial; kumpul