Hasil Penelitian dan Pembahasan

7 yang diperoleh melalui penelaahan bahan-bahan pustaka. Metode analisis 5 yang digunakan adalah induksi- interpretasi-konseptualisasi yaitu dengan melakukan penyusunan, pengkategorian dalam tema, validasi, rekonstruksi dan analisis secara induktif kualitatif.

E. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Posisi Hukum Pidana Islam sebagai Sumber Materiil dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional Pembangunan secara sederhana mengandung pengertian upaya melakukan perbaikan dari kondisi yang kurang baik menuju ke arah yang lebih baik. Menurut pengertian ini pembangunan semakna dengan pembaharuan reform 6 . Sedangkan hukum pidana nasional merupakan bagian sistem hukum nasional yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan 5 Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI Press, 1992, hlm. 22. 6 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 28-29. 8 hukuman berupa siksa badan 7 . Hukum pidana nasional adalah hukum yang didasarkan pada landasan ideologi dan konstitusi negara, yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 UUD NRI 1945 8 yang berlaku secara nasional. Pembangunan hukum pidana merupakan suatu proses memperbarui hukum positif yang saat ini berlaku. Prosesnya hingga saat ini masih berlangsung yang dikemas melalui legislasi. Memiliki hukum pidana produk sendiri bagi bangsa Indonesia merupakan upaya menampakkan jati diri bangsa sesuai dengan harapan dan cita-cita kemerdekaan. Tujuannya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila. Hal ini merupakan garis kebijakan umum yang menjadi landasan dan tujuan politik hukum di Indonesia 9 . Teori prasarat fungsional imperatif-fungsional Talcott Parsons dan pengembangannya oleh pemikir lain dapat menjelaskan tentang urgensi pembangunan hukum 7 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1999, hlm. 2. 8 M. Sularno, “Syari‟at Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di Indonesia”, dalam Jurnal al-Mawardi, Edisi XVI, 2006, hlm. 215. 9 Qodri Abdillah Azizy, Membangun Integritas Bangsa, Jakarta: Renaisan, 2004, hlm. 20-21. 9 serta tujuannya yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia. Parsons merumuskan bahwa masyarakat mencakup sebuah sistem yang luas dan elemen-elemennya mengisi empat fungsi dasarnya yaitu adaptasi Adaptation , melanjutkan tujuan Goal , integrasi Integration dan memelihara norma-norma Laten Pattern Maintenance atau pendekatan AGIL. AGIL yang dikembangkan Parsons merupakan nomoteknis dalam mempertimbangkan fungsi- fungsi sistem sosial. Masing-masing fungsi ini terkait dengan sebuah sub sistem. Sub sistem ekonomi bertujuan untuk melakukan adaptasi; sub sistem politik bertanggung jawab memberi definisi tujuan akhir; sub sistem kultural agama dan sekolah bertugas untuk mendefinisikan dan memelihara norma-norma dan nilai; sub sistem sosial termasuk hukum bertugas sebagai integrasi sosial 10 . Parsons menempatkan hukum sebagai salah satu sub- sistem dalam sistem sosial yang lebih besar. Hukum menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan main bersama rule of the game . Harry C. Bredemeier mengembangkan teori yang dirumuskan Parsons tersebut. Hukum menurut Bredemeier 10 Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory, Homewood Illinois: The Dorsey Press, 1975, hlm. 38-39. 10 dapat digunakan sebagai pengintegrasi sosial di dalam masyarakat. Keserasian antara warga masyarakat dengan norma yang mengaturnya menciptakan suatu keserasian dalam hubungan di dalam masyarakat yang bersangkutan 11 . Menjadi hal yang tidak logis apabila hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia adalah hukum yang tidak sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai yang yang dianut bangsa Indonesia. KUHP yang merupakan peninggalan Belanda banyak yang tidak sesuai dengan nilai dan budaya yang dianut bangsa Indonesia. Apabila hal ini terus dipaksakan berarti terjadi ketidakserasian dalam hubungan bermasyarakat. Diperlukan hukum baru yang sesuai dengan nilai yang dianut bangsa Indonesia yang dapat disebut hukum Pancasila yang di dalamnya mengakomodasi hukum-hukum yang berasal dari agama. Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa Indonesia perlu diimplementasikan khususnya postulat moral kalimat ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam setiap usaha pembangunan perundang-undangan nasional. Demikian halnya dalam pembangunan hukum pidana nasional yang mendasarkan pada filsafat Pancasila, dalam 11 Bernard T. Tanya, dkk., Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm. 152-153. 11 pengejawantahannya harus dijiwai nilai-nilai Pancasila termasuk keseimbangan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang dapat digali dari hukum-hukum agama. Perlu dilakukan penggalian terhadap nilai-nilai hukum agama yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Hukum-hukum dari agama dapat dijadikan sumber dalam pembangunan hukum pidana nasional. Hukum Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam, dan sebagai salah satu dari tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, di samping hukum adat dan hukum Barat, mempunyai kedudukan penting dan strategis dalam pembangunan hukum pidana nasional. Sepanjang sejarah perjalanan hukum di Indonesia, hukum Islam selalu memperteguh eksistensinya sebagai hukum tertulis maupun tidak tertulis. Hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional mempunyai dua fungsi; 1 Sebagai hukum positif yang berlaku hanya bagi pemeluk Islam saja. 2 Sebagai ekspresi nilai-nilai yang akan berlaku bagi semua warga negara 12 . 12 Muhammad Julijanto, “Implementasi Hukum Islam di Indonesia; Sebuah Perjuangan Politik Konstitusionalisme”, dalam Makalah “Conference Procedings Annual International Conference on Islamic Studies”, Mataram, September 2013, hlm. 78. 12 Dari sisi pelaksanaannya, hukum Islam dapat digolongkan tiga macam; 1 Dapat dilaksanakan oleh individu secara langsung tanpa bantuan Negara, seperti hukum-hukum di bidang peribadatan ritual. 2 Pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara dalam kerangka administratif atau pelayanan, seperti hukum keluarga. 3 Tidak mungkin dapat dilaksanakan kalau tidak ada campur tangan negara, seperti hukum pidana 13 . Hukum pidana Islam merupakan bagian dari hukum Islam yang membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia yang tidak boleh dilakukan terlarang dan yang harus dilakukan, ancaman pidananya, dan pertanggungjawabannya. Perbuatan-perbuatan yang termasuk tindak pidana menurut hukum pidana Islam dapat berbeda penggolongan dan cara peninjauannya. Dilihat dari segi berat-ringannya ancaman pidana, tindak pidana dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu tindak pidana yang diancam pidana had jarimah hudud , tindak pidana yang diancam pidana qişâş -diyat jarimah qişâş -diyat dan tindak pidana yang diancam pidana ta‟zir jarimah ta‟ zir . 13 Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: RM. Books, 2007, hlm. 14. 13 Ditinjau berdasarkan karakter khusus tindak pidana, dapat dibagi menjadi tindak pidana masyarakat jaraim al- jama‟ah, tindak pidana perseorangan jaraim al-afrad , tindak pidana biasa jaraim „adiyah dan tindak pidana politik jaraim siyasah 14 . Hukum pidana Islam pernah diterapkan secara formal di Nusantara pada zaman kerajaan-kerajaan Islam, hingga akhirnya dianulir oleh penjajah Belanda. Sepanjang abad ke-19 di kalangan ahli hukum Hindia Belanda berkembang pendapat bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam seperti dikemukakan oleh Salomon Keyzer 1823- 1868 dan dikuatkan oleh Lodewijk Williem Christian van den Berg 1845-1927. Menurut Berg, hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika telah memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya 15 . Orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhan bidangnya sebagai satu kesatuan atau receptio in complexu. 14 Abd al-Qâdir Audah, al- Tasyrî‟i al-Jinâ‟î al-Islâmî; Muqâranân bi al- Qânun al- Wadh‟î, Jilid I, Beirut: Muasasah al-Risâlah Litibâah wa al-Nasyr wa al- Tauzi‟î, 1992, hlm. 79-99. 15 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke-11, 2004, hlm. 242. 14 Hukum pidana Islam sangat penting untuk diperhitungkan dalam pembangunan hukum pidana nasional sebagai sumber. Karena hukum pidana di Indonesia menganut unifikasi, yakni hanya satu hukum, maka hukum pidana Islam posisinya sebagai sumber materiil atau bahan yang disandingkan dengan sumber atau bahan lain. Berbeda dengan hukum perdata khususnya hukum keluarga yang menganut pluralisme hukum, hukum Islam di bidang perdata dapat menjadi sumber formil. Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang belum memiliki bentuk tertentu atau masih berupa bahan sehingga belum bisa diterapkan. Sedangkan sumber hukum formil adalah sumber hukum yang telah memiliki bentuk tertentu sehingga bisa langsung diterapkan 16 . Sebagai sumber materiil, ketentuan-ketentuan yang ada di dalam hukum pidana Islam dapat diserap meskipun tidak semuanya, dapat deliknya, pidananya, atau untuk bagian tertentu keduanya. Untuk tindak pidana menghilangkan nyawa, dapat diserap deliknya maupun pidananya. Pidana ganti rugi diyat untuk tindak pidana terhadap nyawa dan penganiayaan, lebih diterima 16 Moh. Mahfud MD., “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syari‟ah”, dalam Jurnal Hukum, No. 1 Vol. 14, Januari 2007, hlm. 15. 15 masyarakat Indonesia dibanding pidana penjara. Secara metodologis hukum pidana Islam sebagai sumber materiil, merupakan corak hukum Islam yang menekankan pada aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ada sebuah kaidah dalam u ş l fiqh; ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu apa yang tidak dapat diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya 17 . Apabila hukum pidana Islam tidak dapat menjadi sumber formil, maka menjadi sumber materiil merupakan posisi yang dapat diterima. Namun demikian, posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil, akan menemui problem internal maupun eksternal. Problem internalnya adalah apabila posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil bersamaan dengan sumber-sumber lain, hukum pidana tersebut bukan lagi sebagai hukum pidana Islam. Posisi ini tentu akan sulit diterima oleh umat Islam yang menghendaki hukum pidana Islam sebagai sumber formiil dan diterapkan secara total. Tidak ada keterikatan teologis bagi orang untuk tunduk terhadap hukum tersebut. Sedangkan problem eksternalnya adalah memungkinkan 17 Muhammad Khayr Haykal, al-Jihâd wa al-Qitâl fi al-Siyâsah al- Syar‟iyyah, Juz I, Beirut: Dâr al-Bayariq, Cet. II, 1996, hlm. 735. 16 adanya anggapan akan menjadikan hukum pidana Islam sebagai hukum positif, dan masalah pergumulan antara hukum Islam, hukum adat, dan hukum Barat dalam wacana akademik di kalangan pakar hukum, maupun dalam pergumulan sejarah eksistensinya. Tidak sedikit pandangan pakar hukum yang tidak mengetahui eksistensi hukum pidana Islam, dan ada pula yang memandangnya sebagai subsistem dari hukum adat sehingga harus disesuaikan dengan hukum adat. 2. Kontribusi Ketentuan Qişâş -Diyat dalam Hukum Pidana Islam terhadap Pembangunan Hukum Pidana Nasional Tindak pidana jarimah qişâş -diyat dalam hukum pidana Islam merupakan tindak pidana yang diancam pidana qişâş setimpal dan diyat ganti rugi, untuk tindak pidana terhadap nyawa dan penganiayaan pelukaan. Penentuan pidananya menjadi hak korban atau ahli warisnya. Korban atau ahli warisnya dapat membatalkan pidana tersebut dengan memberikan amnesti pemaafan kepada pelaku. Apabila memaafkan, gugurlah pidana qişâş, diganti dengan diyat ganti rugi, bahkan tanpa diyat sama sekali. Apabila pemaafan tersebut tanpa diyat, pemerintah 17 masih berhak menjatuhkan pidana ta‟zir kepada pelaku. Tindak pidana qişâş -diyat bersifat perseorangan dan lebih banyak menyentuh kehidupan serta fisik korban daripada menyentuh kehidupan masyarakat, sehingga penentuan pidananya menjadi hak korban 18 . Untuk mempermudah penjelasan tentang pidana qişâş- diyat dan jenis pidananya dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 1 Tindak Pidana Qişâş- Diyat dan Sanksi Pidananya 18 Audah, Jilid I, op.cit., hlm. 613. No Tindak Pidana Sanksi Pidana Hak Pidana Pokok Pengganti Tambahan 1 Pembunuhan Sengaja Qişâş Diyat Ta‟zir Tanpa Diyat Pencabutan hak waris dan wasiat Ahli Waris Korban 2 Pembunuhan Menyerupai Sengaja Diyat Kifarat Ta‟zir Tanpa Diyat Pencabutan hak waris dan wasiat Ahli Waris Korban 3 Pembunuhan karena Kesalahan Diyat Kifarat - Pencabutan hak waris dan wasiat Ahli Waris Korban 4 Pelukaan Sengaja Qişâş Diyat Ta‟zir Tanpa Diyat - Korban 5 Pelukaan karena Kesalahan Diyat - - Korban 18 Proses penentuan pidana qişâş -diyat melibatkan pelaku, pihak ketiga dan korban atau ahli warisnya melalui proses şulh perdamaian. Dari perdamaian akan diketahui sikap korban atau keluarganya atas sanksi yang akan dijatuhkan kepada pelaku , apakah qişâş ataukah dimaafkan. Penegak hukum hanyalah sebagai legitimator dan pelaksana saja dari sanksi yang telah ditentukan melalui proses perdamaian. Pidana qişâş -diyat mengandung unsur perlindungan hukum terhadap korban, pelaku, dan masyarakat. Pelaku tindak pidana akan dikenai pidana mati, tetapi disepakati terlebih dahulu oleh keluarga korban. Apabila pelaku dimaafkan oleh keluarga korban, pelaku bebas dari qişâş, sebagai gantinya harus membayar diyat ganti rugi, yang diberikan pada keluarga korban. Diyat yang harus dibayarkan pelaku sejumlah 100 ekor unta. Apabila sekarang harga unta tiap ekornya Rp 15.000.000,00 denda yang harus dibayarkan Rp 1.500.000.000,00. Seandainya yang dibunuh meninggalkan seorang istri dan empat anak, maka dengan uang Rp 1.500.000.000,00 akan dapat membiayai kehidupan keluarga korban termasuk biaya pendidikan anak-anaknya. Dapat dibandingkan jika dalam kasus tersebut digunakan KUHP, pelaku dipidana 15 atau 19 20 tahun penjara. Tentu saja keluarga korban akan kecewa karena tidak pernah diajak bicara. Bahkan yang lebih sengsara lagi, dia kehilangan hak nafkahnya. Secara psikologis, dendam keluarga korban juga tidak akan hilang dengan penjara 15 tahun. Penjatuhan pidana qişâş -diyat lebih manusiawi dan lebih adil. Esensi dari pidana qişâş ialah memberi hak kepada orang yang dirugikan untuk membalas kepada yang merugikannya dengan kadar yang seimbang setara. Esensi diyat adalah sebagai social security perlindungan social bagi keluarga korban. Sedangkan esensi melalui perdamaian şulh adalah untuk menghilangkan dendam dan potensi korban selanjutnya. Ketentuan qişâş -diyat sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat yang lebih mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan perkara. Setiap tindak pidana dapat menyentuh eksistensi masyarakat, namun terkadang tidak sampai mengancam sistem dasarnya secara langsung. Tindak pidana terhadap nyawa dan penganiayaanpelukaan tidak mempengaruhi keamanan dan ketentraman masyarakat meskipun sangat berbahaya bagi keselamatan perseorangan. Setiap orang tidak takut terhadap pembunuhan atau pelukaan orang lain 20 karena mengetahui bahwa pembunuhan atau pelukaan hanya didorong oleh motif perseorangan seperti dendam pribadi. Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana RUU KUHP, yang terbaru konsep 20142015 terdiri atas 2 dua Buku, yaitu Buku I tentang Ketentuan Umum, terbagi dalam VI Bab terdiri atas 219 Pasal, dan Buku II tentang Tindak Pidana, terbagi dalam XXXIX Bab terdiri atas 786 Pasal. Beberapa pasal dalam RUU KUHP tersebut mencantumkan pedoman pemidanaan, hak korban dan keluarganya, tentang pembayaran ganti kerugian, dan pengampunan oleh hakim. Hal ini merupakan terobosan baru dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia ke depan, karena sebelumnya tidak ada ketentuan tersebut. Ada beberapa hal baru dalam RUU KUHP sebagai hasil pembaharuan yang akomodatif terkait dengan tujuan pemidanaan yang disebutkan dalam Buku I Bab III Bagian Pertama Pemidanaan, Tujuan Pemidanaan, Pasal 55 ayat 1 dan 2, yaitu: 1 Pemidanaan bertujuan: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; 21 b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 2 Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Konsep tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP mengesankan prinsip tentang syarat dapat dipidananya seseorang yang bertolak dari pilar paling fundamental dalam hukum pidana, yaitu “asas legalitas” sebagai asas kemasyarakatan dan “asas culpabilitaskesalahan” yang merupakan asas kemanusiaan perorangan 19 . Secara substantif juga mencerminkan diikutinya teori utilitarianisme yang menetapkan target-target pemidanaan. Orientasi pemidanaan menurut teori utilitarianisme adalah kemanfaatan bagi korban kejahatan yang bersifat individual korban langsung, korban yang bersifat sosialmasyarakat korban tidak langsung maupun bagi pelaku pidana. 19 Barda Nawai Arief, Bunga Rampai ... op.cit., hlm. 98-99. 22 RUU KUHP juga memuat adanya ketentuan tentang pedoman pemidanaan yang akan sangat membantu dan memudahkan hakim dalam menetapkan ukuran pemidanaan dan mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, di antaranya pemaafan dari korbankeluarganya. Disebutkan dalam Buku I, Paragraf 2, Pedoman P emidanaan, Pasal 56 ayat 1 huruf … j. Pemaafan dari korban danatau keluarganya. Pasal 2 Perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Terkait dengan sanksi pidana, dalam RUU KUHP memperlihatkan perubahan yang signifikan dibanding dengan KUHP lama. Disebutkan dalam Buku I Bab III Bagian Kedua, Pidana, Paragraf 1, Jenis Pidana sebagai berikut: Pasal 66 1 Pidana pokok terdiri atas: 1. Pidana penjara; 2. Pidana tutupan; 3. Pidana pengawasan; 4. Pidana denda; dan 5. Pidana kerja sosial. 23 2 Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menentukan berat ringannya pidana. Pasal 67 Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Pasal 68 1 Pidana tambahan terdiri atas: a. Pencabutan hak tertentu; b. Perampasan barang tertentu danatau tagihan; c. Pengumuman putusan hakim; d. Pembayaran ganti kerugian; dan e. Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. 2 … Bab III Bagian Kedua Paragraf 2 Pidana Penjara, Pasal 72: Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 55 dan Pasal 56 pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut : … d. Terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban; Bab III Paragraf 12 Pidana Tambahan Pasal 101: 1 Dalam putusan hakim dapat ditetapkan kewajiban terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli warisnya. 24 2 Jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dilaksanakan, maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti pidana denda. Bab III Bagian kelima, faktor-faktor yang memperingan dan memperberat Pidana, Pasal 139: Faktor- faktor yang memperingan pidana meliputi: … e. Pembertian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang di lakukan. … h. Faktor-faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. Bab IV Gugurnya kewenangan penuntutan dan pelaksanaan pidana, bagian kesatu, gugurnya kewenangan penuntutan, Pasal 153 huruf d, kewenangan penuntutan gugur, jika: “… penyelesaian di luar proses ...”. Buku II tentang Tindak Pidana Bab XXIII Tindak Pidana terhadap Nyawa Bagian Kesatu, Pembunuhan, Pasal 584: 1 Setiap orang yang merampas nyawa seorang lain, dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun. 2 … Pasal 585 Setiap orang yang dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena 25 pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun. Bab XXIV Tindak Pidana Penganiayaan, Bagian Kesatu, Penganiayaan terhadap Badan, Pasal 594: 1 Setiap orang yang melakukan penganiayaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 3 tiga tahun paling banyak Kategori II. 2 Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan luka berat, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun. 3 Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan matinya orang, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling paling lama 7 tujuh tahun. 4 … Bab XXV Tindak Pidana yang Mengakibatkan Mati atau Luka karena Kealpaan, Pasal 604: Pasal 604 1 Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan orang lain luka sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan jabatan, profesi, atau mata pencaharian selama waktu tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III. 2 ... 26 Delik pembunuhan dan pelukanaan secara prinsip ada kesamaan antara hukum pidana Islam dengan RUU KUHP karena merupakan kejahatan yang universal. Sedangkan sanksinya berbeda, KUHP yang ada dan RUU KUHP menentukan pidana penjara, sedangkan dalam hukum pidana Islam menentukan pidana qişâş -diyat. Ketentuan qişâş -diyat yang esensinya memberikan perhatian dan perlindungan hukum kepada keluarga korban, mewujudkan keadilan, kebaikan dan kemaslahatan. Secara umum korban atau keluarga korban pembunuhan, penganiayaan atau pelukaan, menghendaki agar pelaku dihukum yang setimpal dengan perbuatannya, meskipun sebagai ungkapan spontan. Sanksi dengan pidana “setimpal‟, dalam hukum pidana Islam disebut qişâş. Sanksi diyat, ganti rugi juga dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Apalagi masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat pemaaf dan selalu mengedepankan kebersamaan dan musyarawarah dalam menyelesaikan persoalan. Banyak kasus hukum yang dalam KUHP sebagai kelalaian sehingga menyebabkan orang lain mati Pasal 359 dapat diselesaikan secara kekeluargaan, saling memaafkan dan mengganti kerugian. 27 Tiga kasus yang dijadikan obyek penelitian ini dapat menjadi fakta, yaitu kasus; 1 Tabrakan dua sepeda motor yang mengakibatkan ada korban yang meninggal dunia di Demak. 2 Kasus tabrakan dua sepeda motor yang mengakibatkan ada korban yang meninggal dunia di Semarang. 3 Kasus mobil Suzuki Cary menabrak sepeda motor yang mengakibatkan pengendara sepeda motor meninggal dunia, di Pekalongan. Ketiga kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan dengan berdamai dan pemberian ganti kerugian. Penyelesaian perkara tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain melalui musyawarah mirip dengan ketentuan qişâş -diyat dalam hukum pidana Islam. Hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana Islam sedikit banyak telah menjadi hukum yang hidup the living law . Rumusan yang terdapat dalam RUU KUHP khususnya terkait dengan pedoman pemidanaan, pidana mati, hak korban, pembayaran ganti rugi dan pengampunan, tentunya masih dapat berubah untuk disempurnakan. Hal ini memberikan peluang terhadap hukum pidana Islam agar khususnya ketentuan qişâş -diyat untuk dapat dikontribusikan. Harapannya konsep hukum 28 yang dihasilkan juga memberikan manfaat dan maslahat seperti halnya tujuan utama dari hukum Islam. Apabila disandingkan dengan hukum pidana Islam, sanksi pidana dalam RUU KUHP ada kemiripan. Misalnya tentang orientasi tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, kewenangan hakim dalam penerapan sanksi pidana, dan ganti rugi. Apabila tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP mencakup pandangan-pandangan yang menggabungkan kepentingan semuanya, dalam konsep Islam juga sama 20 . Hanya saja, dalam hubungannya dengan aspek utilitas kemanfaatan pemidanaan khususnya yang dapat dirasakan oleh korban kejahatan secara individu individual victim , hukum pidana Islam memiliki komitmen yang lebih kuat dibandingkan RUU KUHP. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan qişâş -diyat yang merupakan hak korban atau ahli warisnya. Konsep ini sangat viktimologis seperti yang dikembangkan sebagai ilmu bantu hukum pidana dewasa ini, dan ternyata telah ada dan menjadi perhatian dalam hukum pidana Islam. Begitu juga 20 Menurut Muladi rumusan dalam RUU KUHP tentang tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, kewenangan hakim dalam penerapan sanksi pidana, pemaafan, dan ganti rugi juga mengadopsi dari ketentuan dalam hukum pidana Islam. Hasil wawancara tanggal 25 Nopember 2013, jawaban via email. 29 aspek kemanfaatan, hukum pidana Islam jauh lebih terdepan dalam menekankan bahkan hukum harus memberi manfaat. Hukum “Islam” diadakan untuk menciptakan kemaslahatan manusia selaku individu maupun masyarakat. Maşlahat berarti menarik manfaat dan menolak madharat. Maşlahat merupakan unsur utama bangunan hukum “Islam” yang mengikat unsur-unsur lain. Bahkan maşlahat merupakan inti dan substansi dari hukum Islam 21 . Menurut al-Syathibi, hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umum maslalah al- „ammah dengan cara menjadikan aturan hukum yang paling utama dan sekaligus shalih li kuli zaman wa makan kompatibel dengan kebutuhan ruang dan waktunya untuk sebuah kehidupan manusia yang adil, bermartabat, dan bermanfaat. Al-Syathibi memberikan rambu-rambu untuk mencapai tujuan- tujuan syari‟at yang bersifat dharuriyyah, hajjiyyah, dan tahsiniyyah, dan berisikan lima asas hukum syara‟ 22 . Teori maşlahat yang diperkenalkan al-Syathibi 21 Abû Hamid al-Ghâzali, Al- Muştaşfa min „Ilm al-Uşul, Beirut: Dâr al- Ihya al-Turats al-Arabi, Jilid I, t.th., hlm. 281-282. 22 Abî Ishâq Ibrâhim bin Musâ al-Syathibî, al-Muwâfaqât fî U şûl al- Ahkâm, Jilid II, Beirut: al-Maktabah al- „Aşiriyah, 2011, hlm. 5. 30 dalam konsep maqashid al- syari‟yah ini tampaknya relevan untuk menjawab persoalan hukum di masa depan. Hukum menurut Savigny bukan hanya sekadar ungkapan yang terdiri atas sekumpulan peraturan judicial precedent . Ada suasana dialogis antara hukum dengan kondisi sosial masyarakat yang ada 23 . Berbicara tentang hukum, harus membicarakan tentang masyarakat, karena tidak mungkin hukum tersebut terlepas dari masyarakat. Savigny menyatakan “ Das recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke ” hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat 24 . Memandang hukum, berarti memandang masyarakat yang bersangkutan. Apabila hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, maka hukum pidana Islam yang berasal dari ajaran agama Islam juga bagian dari masyarakat. Apalagi di Indonesia, praktek penyelesaian perkara pidana dengan musyawarah untuk berdamai yang sejalan dengan ketentuan qişâş -diyat dalam hukum pidana Islam membentuk kesadaran hukum masyarakat. 23 Roger Cotterrell, The Sociologi of Law an Introduction, London: Butterwoths, 1984, hlm. 2. 24 Darji Darmodiharjo dan B. Arief Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 2008, hlm. 124 31 Ketentuan qişâş -diyat menjanjikan maşlahat bagi korban dan keluarganya, dan juga masyarakat bersifat riil. Dengan diserapnya ketentuan qişâş -diyat aspek kemaslahatan dapat terpenuhi dalam pemidanaan, meskipun sebagai sumber materiil simbolnya tidak lagi menyebut hukum pidana Islam. Kebijakan hukum yang memberikan hak penuh kepada korban kejahatan untuk menentukan ada tidaknya proses hukum terhadap pelaku kejahatan, merupakan perhatian dan perlindungan kepada korban. Apabila korban atau ahli warisnya mengambil sikap memaafkan pelaku kejahatan, maka proses penyelesaian perkara secara hukum tidak boleh diteruskan. Sebaliknya, apabila korban atau walinya menghendaki proses penyelesaian perkara secara hukum, maka institusi peradilan tidak boleh mengupayakan cara lain yang tidak menjadi kehendak korbankeluarga korban. Logika hukum demikian karena korban kejahatan merupakan pihak yang langsung mengalami penderitaan dibanding pihak lain seperti masyarakat luas ataupun negara, sehingga wajar hukum berpihak kepadanya. Apabila korban mengalami penderitaan psikologis maupun material hingga meluapkan perasaan emosional untuk balas dendam, maka diaturlah keinginan balas dendamnya 32 tersebut agar proporsionaltidak berlebihan melalui hukuman yang setimpal. Apabila korban dapat memahami penderitaan akibat suatu kejahatan melalui nasehat-nasehat keagamaan sehingga akhirnya lebih menempuh sikap yang bijak, yakni dengan memaafkan pelaku, maka institusi peradilan tidak dibenarkan memaksakan proses hukum yang dapat berujung pada pemidanaan. 3. Konstruksi Pendekatan Restorative Justice dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional Berbasis Ketentuan Qişâş -Diyat dalam Hukum Pidana Islam Restorative justice telah menjadi wacana global dan dipandang sebagai filosofi pemidanaan baru yang sifatnya berbeda dari pidana konvensional yang menempatkan pelaku melawan negara. Kejahatan tidak hanya dilihat sebagai pelanggaran undang-undang negara, melainkan pelanggaran orang terhadap orang. Pendekatan restorative justice prinsipnya untuk membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan masyarakat dalam menyelesaikan suatu tindak pidana untuk mencapai win- win solutions serta implikasinya ke masa depan. Setiap lima tahun sekali PBB menyelenggarakan kongres yang disebut ” Congress on Crime Prevention and The 33 Treatment of Offenders ”. Kongres PBB ke-12 di Brasil, 12- 19 April 2010, merekomendasikan untuk mengevaluasi dan mengadakan pembaharuan kebijakan peradilan pidana dengan pengembangan strategi komprehensif termasuk restorative justice 25 . Masyarakat Indonesia juga sudah familier dengan pendekatan yang mirip restorative justice dalam menyelesaikan perkara pidana menghilangkan nyawa dengan bermusyawarah. Bahkan di dalam Pancasila sebagai core philosopy bangsa Indonesia, restorative justice juga dapat diurai. Sila ke-4 Pancasila menyebutkan “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam PermusyawaratanPerwakilan”. Sila ini dapat menjadi panduan dalam menentukan sebuah pilihan melalui cara musyawarah dan mengutamakannya dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kebersamaan sehingga jika di breakdown menjadi kata kunci dalam restorative justice 26 . 25 Kuat Puji Prayitno, “Restorative Justice untuk Peradilan dan Indonesia Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakkan Hukum In Conreto”, dalam Jurnal Dinamika Hukum, Volume 12, Nomor 3, September 2012, hlm. 423. 26 Ibid., hlm. 414. 34 Menurut perkembangan hukum Barat modern, termasuk di Indonesia, yang berhak melaksanakan proses pemidanaan adalah negara, oleh karena itu pelaku tindak pidana berhadapan dengan negara. Akibat korban tidak dilibatkan untuk menentukan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku, banyak menimbulkan masalah bagi korban atau keluarganya karena kerugian yang diderita tidak diganti. Untuk tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain atau yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, pelukaan atau penganiayaan, proses hukum tanpa melibatkan korban atau keluarganya tidak akan memberikan keadilan kepada korban atau keluarganya. Keadilan yang dituju hanyalah keadilan yang diciptakan dan menurut ukuran penguasa, yang tentu saja tidak sama dengan keadilan menurut korban. Fokus perhatian pemidanaan hanya pada upaya bagaimana agar pelaku menjadi orang baik, pelaku menjadi orang yang berguna kembali di masyarakat setelah menjalani hukuman, dan sedapat mungkin dipidana seringan-ringannya. Sedangkan pihak korban atau keluarganya yang dirugikan dan terganggu keharmonisannya tidak mendapatkan perhatian. Model pemidanaan demikian perlu dikaji kembali. Harus dilihat apa yang menjadi penyebab terjadinya tindak 35 pidana. Proses penyelesainnya harus dengan cara melibatkan semua orang yang terkait dengan tindak pidana. Proses ini akan jauh lebih efektif dan lebih diterima oleh masyarakat karena pihak yang berhubungan dengan tindak pidana secara bersama-sama mencari alternatif pemecahannya. Model seperti ini di Indonesia telah dikenal dan dipraktekkan oleh masyarakat, yaitu musyawarah mufakat, yang dalam hukum pidana Islam berlaku untuk tindak pidana qişâş -diyat melalui perdamaian şulh . Evaluasi untuk mendesain kembali model pemidanaan agar lebih efektif dan memberikan keadilan untuk semua pihak perlu dilakukan. Hukum pidana yang ada sekarang, hanya berorientasi pada rehabilitasi pelaku tindak pidana saja, sedangkan perlindungan terhadap korban atau keluarganya tidak menjadi perhatian. Diperlukan rumusan agar pendekatan restotarive justice ke depan dapat dirumuskan dalam RUU KUHP sebagai model penyelesaian perkara pidana dengan mengakomodir ketentuan qişâş -diyat dalam hukum pidana Islam. Qişâş - diyat berorientasi pada perlindungan korban victim oriented dan masyarakat. Pemaafanpengampunan sangat dianjurkan daripada pelaksanaan qişâş, dan pemaafan baru akan terjadi setelah adanya şulh dengan kebersihan hati 36 kedua belah pihak. Şulh mengandung dimensi pemberdayaan diri oleh para pihak melalui upaya dialog, negosiasi, dan rekonsiliasi sehingga dimensi hubungan dapat mengalami proses pemulihan. Perkara pidana pada umumnya diselesaikan melalui jalur formal, yaitu lembaga peradilan litigasi. Jalur ini terkenal dengan istilah in court system. Secara teori, ada tiga hal yang hendak dicapai dari hasil final yang akan dikeluarkan suatu lembaga peradilan tersebut, yaitu; keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum 27 . Meskipun demikian, dalam praktek sangat sulit ketiganya dapat terpenuhi sekaligus. Hasil yang akan tercipta dari proses penyelesaiannya dikenal dengan istilah win lose solution, yaitu akan ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Penegakan hukum pidana yang tersedia di Indonesia dilaksanakan oleh instrumen-instrumen yang diberi wewenang oleh Undang-undang. Pelaksanaan kewenangan dan kekuasaannya dilakukan dalam suatu upaya yang sistematis. Upaya yang sistematis ini dilakukan dengan mempergunakan segenap unsur yang terlibat di dalamnya 27 Sudikno Mertokusumo, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1997, hlm. 98. 37 sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan interelasi , serta saling mempengaruhi satu sama lain. Upaya yang demikian diwujudkan dalam sebuah sistem yang bertugas menjalankan penegakan hukum pidana yaitu Sistem Peradilan Pidana Criminal Justice Sytem yang pada hakikatnya merupakan “sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana” 28 . Sistem peradilan pidana di Indonesia identik dengan penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana ini sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang- undang RI Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dilaksanakan oleh 4 empat sub sistem yaitu: a. Kekuasaan penyidikan oleh lembaga kepolisian. b. Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum atau kejaksaan. c. Kekuasaan mengadili oleh badan peradilan atau hakim. 28 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan , Bandung: Citra Adtya Bakti, 2001, hlm. 28. 38 d. Kekuasaan pelaksanaan hukuman oleh aparat pelaksana eksekusi jaksa dan lembaga pemasyarakatan 29 . Salah satu dari berbagai masalah yang menjadikan proses peradilan pidana adalah dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis perkara one for all mechanism . Selain itu, dalam sistem peradilan pidana posisi korban dan keluarga korban tidak mendapat perhatian. Hal ini berimplikasi pada dua hal yang fundamental, yaitu tidak adanya perlindungan hukum bagi korban, dan putusan hakim tidak akan memenuhi rasa keadilan bagi korban 30 . Kenyataan ini pula yang mendorong sejumlah pakar hukum untuk mencari alternatif penyelesaian perkara hukum di luar mekanisme peradilan. Salah satu instrumen restorative justice adalah mediasi yang untuk perkara pidana diistilahkan dengan 29 Keempat subsistem itu sebagai satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana terpadu. M. Hatta, “Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dalam Konsepsi dan Implementasi; Kapita Selecta”, Yogyakarta: Galang Press, 2008, hlm: 47. 30 Angkasa, dkk., “Kedudukan Korban Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Kajian Tentang Model Perlindungan Hukum Bagi Korban Serta Pengembangan Model Pemidanaan dengan Mempertimbangkan Peranan Korban” dalam Jurnal Penelitian Hukum Supremasi Hukum, Vol. 12 Nomor 2, Agustus 2007, hlm. 119 39 mediasi penal , yang dikenal dengan istilah victim offender mediation mediasi antara korban dan pelaku. Mark Umbreit, salah seorang pakar mediasi penal memakai istilah humanistic mediation pendekatan mediasi yang manusiasi 31 . Dikenal pula istilah victim offender meeting dan victim offender conferencing. Istilah penal mediation mediasi penal juga dipakai karena mediasi digunakan untuk mendamaikan perekara pidana, bukan perkara perdata yang biasanya menjadi fungsi mediasi. Mediasi penal di Belanda diistilahkan strafbemiddeling dan di Prancis diistilahkan dengan de mediation penale 32 . Penelitian yang dilakukan oleh Umbreit menemukan bahwa mediasi penal memberikan tingkat kepuasan yang 31 Mark Umbreit, “Humanistic Mediation; A Transformative Journey of Peacemaking”, dalam Mark Umbreit, Ed., In the Handbook of Victim Offender Mediation; An Essential Guide to Practice and Research, San Fransisco, 2001, hlm. 9. 32 Mediasi penal pertama kali dikenalkan di Kitchener-Ontario, Kanada pada tahun 1974. Program ini kemudian menyebar ke Amerika Serikat, Inggris dan negara Eropa lainnya. Amerika Serikat pertama kali mempraktekkan mediasi penal di Elkhart-Indiana pada tahun 1979, dan di Inggris dipraktekkan oleh The Exeter Youth Support Team, juga pada tahun 1979. Setelah itu, program mediasi penal tersebar ke banyak negara di dunia, dan yang paling berkembang adalah negara-negara di Eropa seperti Austria, Jerman, Belgia, Perancis, Polandia, Slovenia, Norwegia, Denmark, dan Finlandia. DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak, Depok: Indie Publishing, 2011, hlm. 66. 40 tinggi dan adil bagi para pihak dan menghasilkan lebih dari 90 kesepakatan yang sukses diraih untuk mengompensasi korban. Penelitian lain yang dilakukan oleh Umbreit dan Armour mencatat tingkat keberhasilan yang cukup tinggi, yaitu 40-60 di mana para pihak mengikuti proses mediasi penal33. Mediasi penal memberikan manfaat yang besar bagi kedua belah pihak, yaitu korban dan pelaku yang dapat digambarkan dalam tabel berikut: Tabel 2 Manfaat Mediasi dalam Penyelesaian Perkara Pidana 34 No. Bagi Korban Bagi Pelaku 1 Mengenali dan mempelajari pelaku Mengenali korban atau keluarga korban 2 Mencurahkan perasaan dan kebutuhan akibat kejahatan Mengetahui akibat perbuatannya dan kerugian yang diderita korban atau keluarganya 3 Menerima atau menolak permintaan maaf, dan ganti rugi Meminta maaf, menawarkan ganti rugi 4 Menyelesaikan konflik Introspeksi 5 Melupakan kejahatan di masa yang akan datang Tidak akan mengulangi perbuatan 33 Mark Umbreit dan Mearilyn Peterson Armour, Restorative Justice Dialogue: An Essential Guide for Research and Practive, New York: Springer Publishing, 2010, hlm. 129. 34 Ibid., telah dimodifikasi oleh penulis. 41 Sebagai sebuah menakisme penyelesaian tindak pidana, mediasi penal juga memiliki kelemehan- kelemahan. Seperti disebutkan oleh Umbreit dan Coates dari hasil penelitian, ditemukan beberapa faktor kelemahan mediasi penal yang membuat pihak korban mengalami kekecewaan, yaitu: a. Kurangnya tindak lanjut pelaku terhadap kesepakatan yang telah dibuat. b. Penundaan antara perbuatan kriminal yang telah dilakukan dan solusinya karena proses mediasi penal. c. Banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam proses mediasi penal, apabila menggunakan shuttle mediation mediator bertemu kedua belah pihak di tempat yang terpisah atau indirect mediation mediasi tidak langsung. d. Sering kali pelaku yang melakukan tindak kriminal karena miskin tidak mampu membayar ganti rugi yang diajukan oleh korban yang mengakibatkan gagal tercapainya kesepakatan. e. Banyak pelaku yang hanya memanfaatkan mediasi penal sebagai cara untuk menghindar dari peradilan 42 pidana, setelah tercapainya kesepakatan perdamaian, mereka tidak mau melaksanakannya 35 . Potensi pendekatan restorative justice melalui pelembagaan mediasi penal ke depan sudah termuat dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana RUU KUHP seperti disebutkan dalam Buku I Bab IV Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana, Bagian Kesatu, Gugurnya Kewenangan Penuntutan Pasal 153 hurup d. bahwa kewenangan penuntutan gugur jika … penyelesaian di luar proses …. 36 . Namun ketentuan tersebut perlu dipertegas atau diperjelas untuk jenis tindak pidana apa dan di luar proses yang seperti apa, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak dan aparat penegak hukum. Sesuai dengan perkembangan internasional, dengan syarat-syarat tertentu asas restorative justice peacefully solution dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dari retributive justice . Hal ini diversi sudah diwajibkan dalam Undang-undang RI Nomor 11 tahun 2012 tentang 35 DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, op.cit., hlm. 83-89. 36 Menurut Barda Nawawi Arief, rumsuan tersebut belum menyebutkan penyelesaian di luar proses secara spesifik dan dapat dikembangkan dalam RUU KUHAP atau Undang-undang tersendiri. Hasil wawancara Tanggal 11 Pebruari 2015. 43 Sistem Peradilan Pidana Anak, dan dapat dikembangkan dalam RUU KUHAP yang sudah termuat yaitu keseimbangan antara kepentingan pelaku, korban dan masyarakat. Dengan memperjelas “penyelesaian di luar proses”, maka mediasi penal dalam sistem peradilan pidana ke depan menjadi terlembagakan dan memiliki payung hu kum. Maksud “penyelesaian di luar proses” dapat diperjelas dengan menyerap ketentuan perdamaian yang ada dalam hukum pidana Islam. Hukum pidana Islam menekankan penyelasaian perkara dengan cara perdamaian şuhl. Bukan hanya perdata, tetapi juga pidana. Bahkan tindak pidana yang sangat berat yaitu pembunuhan dan pelukaan yang diancam pidana qişâş -diyat. Segala sengketa pada prinsipnya dapat didamaikan apabila ada kesepakatan, meskipun ada pengecualian. Perdamaian şulh mengasumsikan bahwa kejahatan yang berkaitan dengan hubungan pribadi antara orang dengan orang tertentu bukanlah sebuah masalah yang berkaitan dengan publik private . Peran negara harus sebagai penjamin terlaksananya hasil perdamaian. Bukan sebaliknya, mengambil alih atas nama korban yang justru yang keputusannya bertentangan dengan yang dibutuhkan 44 dan dikehendaki korban 37 . Proses penyelesaian perkara pidana melalui şulh dimaksudkan agar dapat lebih fleksibel. Hasil dari proses şuhl dapat berbeda tergantung dari tingkat kejahatannya, kerusakan yang disebabkan, yaitu dapat berupa pemaafan dengan ganti kerugian dan pemaafan tanpa ganti kerugian. Bagi korban atau keluarganya dapat menghasilkan kebesaran hati untuk memaafkan dan menerima ganti kerugian 38 . Seandainya korban atau keluarganya tetap tidak mau memaafkan, dapat membuat pelaku merasakan apa yang dirasakannya. Hal yang seperti ini dinamakan dengan qişâş atau yang biasa disebut dengan pembalasan sistematis. Namun qişâş sedapat mungkin dihindari seperti disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah ayat 178: “… maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang 37 Seperti disebutkan oleh ND yang lebih memilih menyelesaikan perkara pidana terhadap nyawa melalui musyawarah di Pekalongan, dengan salah satu pertimbangan lebih baik biaya yang akan dikeluarkan oleh TMD pelaku yang menabrak isterinya ND hingga meninggal jika menempuh jalur hukum, disumbangkan untuk perawatan jenazah, mitoni dan uang duka. Hasil wawancara tanggal 30 Nopember 2013. 38 Mumtaz M. Qafisheh, “Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A Contribution to the Global System”, dalam International Journal of Criminal Justice Sciences , Volume 7, Issue 1, January – June 2012, hlm. 488. 45 baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat kepada yang member maaf dengan cara yang baik pula …” 39 . Disebutkan pula dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ashab al- Sunnah: “Setiap perkara yang dilaporkan kepada Rasulullah yang berkaitan dengan hukuman qişâş, Rasulullah Saw. selalu memerintahkan pemaafan” 40 . Sedangkan pelaku mendapatkan kesempatan untuk meminta maaf secara langsung pada korban atau ahli warisnya, mengungkapkan penyesalan, dan bertanggung jawab dengan mengganti kerugian. Konstruksi restorative justice berbasis qişâş -diyat adalah sebagai pengganti proses peradilan pidana di mana perkara dialihkan diverted ke proses mediasi. Kesepakatan yang berhasil diraih akan disahkan oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan sebagai legitimator saja atas kesapakatan damai setelah ganti rugi dibayar oleh pelaku, atau atas jaminan ganti rugi akan segera dibayar. Hal ini 39 Tim Penyelenggara Penterjemah al- Qur‟an, al-Qur‟an, dan Terjemahnya, Medinah: Mujamma‟ al-Malik Fadh li Thiba‟at al-Mushaf al- Syarif, 1418 H., hlm. 43. 40 Audah, Jilid II, op.cit., hlm. 287. 46 sesuai dengan ketentuan qişâş -diyat dalam hukum pidana Islam, dan juga pengembangan yang sudah termuat dalam RUU KUHP tentang penyelesaian di luar proses. Konstruksi ini juga merujuk pada praktek masyarakat dalam menyelesaikan tindak pidana, dan juga dalam rangka menguruangi beban sistem peradilan pidana. Peran mediator menjadi sangat penting, sehingga perlu dibentuk komisi atau lembaga pemaafan al-i ş lah wa al-afwun atau dengan istilah lain yang bertindak sebagai mediator sangat diperlukan yang ada di setiap kabupaten-kota. Agar mengikat dan menjadi sistem dalam penyelesaian perkarana pidana ke depan, maka harus termuat di dalam KUHP dengan mengubah rumusan Pasal 153 bahwa kewenangan penuntutan gug ur jika … d. penyelesaian di luar proses melalui lembaga perdamaian atau pemaafan. Rumusan pasal-pasal dalam Buku II tentang Tindak Pidana khususnya Bab XXIII Tindak Pidana terhadap Nyawa Bagian Kesatu, Pembunuhan, Pasal 585 juga diubah seperti contoh berikut: 1 Setiap orang yang dengan sengaja, atau dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa seorang lain, diancam karena pembunuhan 47 berencana, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup. 2 Pidana mati atau pidana seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat gugur jika ahli waris korban memaafkan. 3 Jika ahli waris korban memaafkan, pidana mati atau pidana seumur hidup diganti dengan pidana ganti rugi yang diberikan kepada ahli waris korban yang besarannya disepakati antara ahli waris korban dengan pelaku dengan prinsip kebaikan, perhatian dan perlindungan. 4 Proses pemaafan dan penentuan jumlah ganti rugi dilakukan melalui lembaga pemaafan yang hasilnya akan dilegitimasi oleh pengadilan sebagai jaminan bahwa kesapakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 akan dilaksanakan. Mekanisme kerja lembaga pemaafan adalah di luar proses peradilan, namun masih terintegrasi dalam sistem peradilan sebagai pintukamar tersendiri. Untuk melihat alur penyelsaian perkara pidana melalui lembaga pemaafan sebagai konstruksi pendekatan restorative justice berbasis qişâş -diyat dapat dilihat dalam ragaan berikut: 48 Ragaan Konstruksi Pendekatan Restorative Justice Berbasis Qişâş -Diyat Lembaga pemaafan berfungsi agar perdamaian bisa tercapai dan nilai ganti kerugian disepakati dengan prinsip bi al- ma‟ruf kebaikan dan menghindari tuntutan ganti rugi yang melampaui batas atau komersialisasi ganti rugi. Sedangkan legitimasi pengadilan diperlukan sebagai jaminan bahwa pelaku telah memberikan ganti kerugian PELAKU LAPORANTANPA LAPORAN KORBAN LEMBAGA PEMAAFAN PENYIDIK POLISI JAKSA PENUNTUT UMUM PROSES PERDAMAIAN LEGITIMASI PENGADILAN KESEPAKATAN PERDAMAIAN 49 kepada korban atau ahli warisnya atau ada jaminan bahwa ganti kerugian akan terbayar. Legitimasi pengadilan juga sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam memberikan perhatian dan perlindungan terhadap pihak-pihak.

F. Penutup