7 yang diperoleh melalui penelaahan bahan-bahan pustaka.
Metode analisis
5
yang digunakan adalah induksi- interpretasi-konseptualisasi
yaitu dengan
melakukan penyusunan,
pengkategorian dalam
tema, validasi,
rekonstruksi dan analisis secara induktif kualitatif.
E. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Posisi Hukum Pidana Islam sebagai Sumber Materiil
dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional Pembangunan
secara sederhana
mengandung pengertian upaya melakukan perbaikan dari kondisi yang
kurang baik menuju ke arah yang lebih baik. Menurut pengertian
ini pembangunan
semakna dengan
pembaharuan
reform
6
. Sedangkan hukum pidana nasional merupakan bagian sistem hukum nasional yang memuat
peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan
5
Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI Press, 1992, hlm. 22.
6
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru,
Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 28-29.
8 hukuman berupa siksa badan
7
. Hukum pidana nasional adalah hukum yang didasarkan pada landasan ideologi dan
konstitusi negara, yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 UUD NRI 1945
8
yang berlaku secara nasional. Pembangunan hukum pidana merupakan suatu proses memperbarui hukum positif yang
saat ini berlaku. Prosesnya hingga saat ini masih berlangsung yang dikemas melalui legislasi.
Memiliki hukum pidana produk sendiri bagi bangsa Indonesia merupakan upaya menampakkan jati diri bangsa
sesuai dengan harapan dan cita-cita kemerdekaan. Tujuannya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
berdasarkan Pancasila. Hal ini merupakan garis kebijakan umum yang menjadi landasan dan tujuan politik hukum di
Indonesia
9
. Teori prasarat fungsional imperatif-fungsional
Talcott Parsons dan pengembangannya oleh pemikir lain dapat menjelaskan tentang urgensi pembangunan hukum
7
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1999, hlm. 2.
8
M. Sularno, “Syari‟at Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di Indonesia”, dalam Jurnal al-Mawardi, Edisi XVI, 2006, hlm. 215.
9
Qodri Abdillah Azizy, Membangun Integritas Bangsa, Jakarta: Renaisan, 2004, hlm. 20-21.
9 serta tujuannya yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia. Parsons merumuskan bahwa masyarakat mencakup sebuah sistem yang luas dan elemen-elemennya
mengisi empat fungsi dasarnya yaitu adaptasi
Adaptation
, melanjutkan tujuan
Goal
, integrasi
Integration
dan memelihara norma-norma
Laten Pattern Maintenance
atau pendekatan AGIL. AGIL yang dikembangkan Parsons merupakan nomoteknis dalam mempertimbangkan fungsi-
fungsi sistem sosial. Masing-masing fungsi ini terkait dengan sebuah sub sistem. Sub sistem ekonomi bertujuan
untuk melakukan adaptasi; sub sistem politik bertanggung jawab memberi definisi tujuan akhir; sub sistem kultural
agama dan sekolah bertugas untuk mendefinisikan dan memelihara norma-norma dan nilai; sub sistem sosial
termasuk hukum bertugas sebagai integrasi sosial
10
. Parsons menempatkan hukum sebagai salah satu sub-
sistem dalam sistem sosial yang lebih besar. Hukum menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan main bersama
rule of the game
. Harry C. Bredemeier mengembangkan teori yang
dirumuskan Parsons tersebut. Hukum menurut Bredemeier
10
Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory, Homewood Illinois: The Dorsey Press, 1975, hlm. 38-39.
10 dapat digunakan sebagai pengintegrasi sosial di dalam
masyarakat. Keserasian antara warga masyarakat dengan norma yang mengaturnya menciptakan suatu keserasian
dalam hubungan di dalam masyarakat yang bersangkutan
11
. Menjadi hal yang tidak logis apabila hukum pidana yang
diberlakukan di Indonesia adalah hukum yang tidak sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai yang yang dianut
bangsa Indonesia. KUHP yang merupakan peninggalan Belanda banyak yang tidak sesuai dengan nilai dan budaya
yang dianut bangsa Indonesia. Apabila hal ini terus dipaksakan berarti terjadi ketidakserasian dalam hubungan
bermasyarakat. Diperlukan hukum baru yang sesuai dengan nilai yang dianut bangsa Indonesia yang dapat
disebut hukum
Pancasila yang
di dalamnya
mengakomodasi hukum-hukum yang berasal dari agama. Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa Indonesia
perlu diimplementasikan khususnya postulat moral kalimat ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam setiap usaha
pembangunan perundang-undangan nasional. Demikian halnya dalam pembangunan hukum pidana nasional yang
mendasarkan pada
filsafat Pancasila,
dalam
11
Bernard T. Tanya, dkk., Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm. 152-153.
11 pengejawantahannya harus dijiwai nilai-nilai Pancasila
termasuk keseimbangan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang dapat digali dari hukum-hukum agama. Perlu
dilakukan penggalian terhadap nilai-nilai hukum agama yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat
Indonesia. Hukum-hukum dari agama dapat dijadikan sumber dalam pembangunan hukum pidana nasional.
Hukum Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam, dan sebagai salah satu dari tiga sistem hukum yang
berlaku di Indonesia, di samping hukum adat dan hukum Barat, mempunyai kedudukan penting dan strategis dalam
pembangunan hukum pidana nasional. Sepanjang sejarah perjalanan hukum di Indonesia, hukum Islam selalu
memperteguh eksistensinya sebagai hukum tertulis maupun tidak tertulis. Hukum Islam dalam pembangunan hukum
nasional mempunyai dua fungsi; 1 Sebagai hukum positif yang berlaku hanya bagi pemeluk Islam saja. 2 Sebagai
ekspresi nilai-nilai yang akan berlaku bagi semua warga negara
12
.
12
Muhammad Julijanto, “Implementasi Hukum Islam di Indonesia; Sebuah Perjuangan Politik Konstitusionalisme”, dalam Makalah
“Conference Procedings Annual International Conference on Islamic Studies”, Mataram, September 2013, hlm. 78.
12 Dari sisi pelaksanaannya, hukum Islam dapat
digolongkan tiga macam; 1 Dapat dilaksanakan oleh individu secara langsung tanpa bantuan Negara, seperti
hukum-hukum di
bidang peribadatan
ritual. 2
Pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara dalam kerangka administratif atau pelayanan, seperti
hukum keluarga. 3 Tidak mungkin dapat dilaksanakan kalau tidak ada campur tangan negara, seperti hukum
pidana
13
. Hukum pidana Islam merupakan bagian dari hukum
Islam yang membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia yang tidak boleh dilakukan terlarang dan yang
harus dilakukan,
ancaman pidananya,
dan pertanggungjawabannya.
Perbuatan-perbuatan yang
termasuk tindak pidana menurut hukum pidana Islam dapat berbeda penggolongan dan cara peninjauannya. Dilihat dari
segi berat-ringannya ancaman pidana, tindak pidana dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu tindak pidana yang
diancam pidana
had jarimah hudud
, tindak pidana yang diancam pidana
qişâş
-diyat
jarimah qişâş
-diyat
dan tindak pidana yang diancam pidana
ta‟zir jarimah ta‟
zir .
13
Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: RM. Books, 2007, hlm. 14.
13 Ditinjau berdasarkan karakter khusus tindak pidana, dapat
dibagi menjadi tindak pidana masyarakat
jaraim al-
jama‟ah, tindak pidana perseorangan
jaraim al-afrad
, tindak pidana biasa
jaraim „adiyah dan tindak pidana politik
jaraim siyasah
14
. Hukum pidana Islam pernah diterapkan secara
formal di Nusantara pada zaman kerajaan-kerajaan Islam, hingga akhirnya dianulir oleh penjajah Belanda. Sepanjang
abad ke-19 di kalangan ahli hukum Hindia Belanda berkembang pendapat bahwa di Indonesia berlaku hukum
Islam seperti dikemukakan oleh Salomon Keyzer 1823- 1868 dan dikuatkan oleh Lodewijk Williem Christian van
den Berg 1845-1927. Menurut Berg, hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika telah memeluk agama
Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya
15
. Orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam
dalam keseluruhan bidangnya sebagai satu kesatuan atau
receptio in complexu.
14
Abd al-Qâdir Audah, al- Tasyrî‟i al-Jinâ‟î al-Islâmî; Muqâranân bi al-
Qânun al- Wadh‟î, Jilid I, Beirut: Muasasah al-Risâlah Litibâah wa al-Nasyr
wa al- Tauzi‟î, 1992, hlm. 79-99.
15
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke-11, 2004, hlm. 242.
14 Hukum pidana Islam sangat penting untuk
diperhitungkan dalam pembangunan hukum pidana nasional sebagai sumber. Karena hukum pidana di
Indonesia menganut unifikasi, yakni hanya satu hukum, maka hukum pidana Islam posisinya sebagai sumber
materiil atau bahan yang disandingkan dengan sumber atau bahan lain. Berbeda dengan hukum perdata khususnya
hukum keluarga yang menganut pluralisme hukum, hukum Islam di bidang perdata dapat menjadi sumber formil.
Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang belum memiliki bentuk tertentu atau masih berupa bahan sehingga
belum bisa diterapkan. Sedangkan sumber hukum formil adalah sumber hukum yang telah memiliki bentuk tertentu
sehingga bisa langsung diterapkan
16
. Sebagai sumber materiil, ketentuan-ketentuan yang
ada di dalam hukum pidana Islam dapat diserap meskipun tidak semuanya, dapat deliknya, pidananya, atau untuk
bagian tertentu
keduanya. Untuk
tindak pidana
menghilangkan nyawa, dapat diserap deliknya maupun pidananya. Pidana ganti rugi
diyat
untuk tindak pidana terhadap nyawa dan penganiayaan, lebih diterima
16
Moh. Mahfud MD., “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syari‟ah”, dalam Jurnal Hukum, No. 1 Vol. 14, Januari 2007, hlm. 15.
15 masyarakat Indonesia dibanding pidana penjara. Secara
metodologis hukum pidana Islam sebagai sumber materiil, merupakan corak hukum Islam yang menekankan pada
aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ada sebuah kaidah dalam
u
ş
l fiqh; ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu
apa yang tidak dapat diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya
17
. Apabila hukum pidana Islam tidak dapat menjadi sumber formil, maka menjadi sumber
materiil merupakan posisi yang dapat diterima. Namun demikian, posisi hukum pidana Islam
sebagai sumber materiil, akan menemui problem internal maupun eksternal. Problem internalnya adalah apabila
posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil bersamaan dengan sumber-sumber lain, hukum pidana
tersebut bukan lagi sebagai hukum pidana Islam. Posisi ini tentu akan sulit diterima oleh umat Islam yang
menghendaki hukum pidana Islam sebagai sumber formiil dan diterapkan secara total. Tidak ada keterikatan teologis
bagi orang untuk tunduk terhadap hukum tersebut. Sedangkan problem eksternalnya adalah memungkinkan
17
Muhammad Khayr Haykal, al-Jihâd wa al-Qitâl fi al-Siyâsah al- Syar‟iyyah, Juz I, Beirut: Dâr al-Bayariq, Cet. II, 1996, hlm. 735.
16 adanya anggapan akan menjadikan hukum pidana Islam
sebagai hukum positif, dan masalah pergumulan antara hukum Islam, hukum adat, dan hukum Barat dalam wacana
akademik di kalangan pakar hukum, maupun dalam pergumulan sejarah eksistensinya. Tidak sedikit pandangan
pakar hukum yang tidak mengetahui eksistensi hukum pidana Islam, dan ada pula yang memandangnya sebagai
subsistem dari hukum adat sehingga harus disesuaikan dengan hukum adat.
2. Kontribusi Ketentuan Qişâş
-Diyat
dalam Hukum Pidana Islam terhadap Pembangunan Hukum Pidana
Nasional Tindak pidana
jarimah
qişâş
-diyat
dalam hukum pidana Islam merupakan tindak pidana yang diancam
pidana qişâş setimpal dan
diyat
ganti rugi, untuk tindak pidana terhadap nyawa dan penganiayaan pelukaan.
Penentuan pidananya menjadi hak korban atau ahli warisnya. Korban atau ahli warisnya dapat membatalkan
pidana tersebut dengan memberikan amnesti pemaafan kepada pelaku. Apabila memaafkan, gugurlah pidana
qişâş, diganti dengan
diyat
ganti rugi, bahkan tanpa
diyat
sama sekali. Apabila pemaafan tersebut tanpa
diyat,
pemerintah
17 masih berhak menjatuhkan pidana
ta‟zir kepada pelaku. Tindak pidana
qişâş
-diyat
bersifat perseorangan dan lebih banyak menyentuh kehidupan serta fisik korban daripada
menyentuh kehidupan masyarakat, sehingga penentuan pidananya menjadi hak korban
18
. Untuk mempermudah penjelasan tentang pidana
qişâş-
diyat
dan jenis pidananya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1 Tindak Pidana
Qişâş-
Diyat
dan Sanksi Pidananya
18
Audah, Jilid I, op.cit., hlm. 613. No
Tindak Pidana
Sanksi Pidana Hak Pidana
Pokok Pengganti
Tambahan 1
Pembunuhan Sengaja
Qişâş
Diyat
Ta‟zir Tanpa
Diyat
Pencabutan hak waris dan wasiat
Ahli Waris
Korban 2
Pembunuhan Menyerupai
Sengaja
Diyat
Kifarat Ta‟zir
Tanpa
Diyat
Pencabutan hak waris dan wasiat
Ahli Waris
Korban 3
Pembunuhan karena
Kesalahan
Diyat
Kifarat -
Pencabutan hak waris dan wasiat
Ahli Waris
Korban 4
Pelukaan Sengaja
Qişâş
Diyat
Ta‟zir Tanpa
Diyat
- Korban
5 Pelukaan
karena Kesalahan
Diyat
- -
Korban
18 Proses penentuan pidana
qişâş
-diyat
melibatkan pelaku, pihak ketiga dan korban atau ahli warisnya melalui
proses şulh perdamaian. Dari perdamaian akan diketahui
sikap korban atau keluarganya atas sanksi yang akan dijatuhkan kepada
pelaku
, apakah qişâş ataukah dimaafkan.
Penegak hukum hanyalah sebagai legitimator dan pelaksana saja dari sanksi yang telah ditentukan melalui
proses perdamaian. Pidana
qişâş
-diyat
mengandung unsur perlindungan hukum terhadap korban, pelaku, dan masyarakat. Pelaku
tindak pidana akan dikenai pidana mati, tetapi disepakati terlebih dahulu oleh keluarga korban. Apabila pelaku
dimaafkan oleh keluarga korban, pelaku bebas dari qişâş,
sebagai gantinya harus membayar
diyat
ganti rugi, yang diberikan pada keluarga korban.
Diyat
yang harus dibayarkan pelaku sejumlah 100 ekor unta. Apabila
sekarang harga unta tiap ekornya Rp 15.000.000,00 denda yang harus dibayarkan Rp 1.500.000.000,00. Seandainya
yang dibunuh meninggalkan seorang istri dan empat anak, maka dengan uang Rp 1.500.000.000,00 akan dapat
membiayai kehidupan keluarga korban termasuk biaya pendidikan anak-anaknya. Dapat dibandingkan jika dalam
kasus tersebut digunakan KUHP, pelaku dipidana 15 atau
19 20 tahun penjara. Tentu saja keluarga korban akan kecewa
karena tidak pernah diajak bicara. Bahkan yang lebih sengsara lagi, dia kehilangan hak nafkahnya. Secara
psikologis, dendam keluarga korban juga tidak akan hilang dengan penjara 15 tahun.
Penjatuhan pidana qişâş
-diyat
lebih manusiawi dan lebih adil. Esensi dari pidana
qişâş ialah memberi hak kepada orang yang dirugikan untuk membalas kepada yang
merugikannya dengan kadar yang seimbang setara. Esensi
diyat
adalah sebagai
social security
perlindungan social bagi keluarga korban. Sedangkan esensi melalui
perdamaian şulh adalah untuk menghilangkan dendam
dan potensi korban selanjutnya. Ketentuan qişâş
-diyat
sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat yang lebih mengedepankan
musyawarah mufakat
dalam menyelesaikan perkara.
Setiap tindak pidana dapat menyentuh eksistensi masyarakat, namun terkadang tidak sampai mengancam
sistem dasarnya secara langsung. Tindak pidana terhadap nyawa dan penganiayaanpelukaan tidak mempengaruhi
keamanan dan ketentraman masyarakat meskipun sangat berbahaya bagi keselamatan perseorangan. Setiap orang
tidak takut terhadap pembunuhan atau pelukaan orang lain
20 karena mengetahui bahwa pembunuhan atau pelukaan
hanya didorong oleh motif perseorangan seperti dendam pribadi.
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana RUU KUHP, yang terbaru konsep
20142015 terdiri atas 2 dua Buku, yaitu Buku I tentang Ketentuan Umum, terbagi dalam VI Bab terdiri atas 219
Pasal, dan Buku II tentang Tindak Pidana, terbagi dalam XXXIX Bab terdiri atas 786 Pasal. Beberapa pasal dalam
RUU KUHP
tersebut mencantumkan
pedoman pemidanaan, hak korban dan keluarganya, tentang
pembayaran ganti kerugian, dan pengampunan oleh hakim. Hal ini merupakan terobosan baru dalam perkembangan
hukum pidana di Indonesia ke depan, karena sebelumnya tidak ada ketentuan tersebut.
Ada beberapa hal baru dalam RUU KUHP sebagai hasil pembaharuan yang akomodatif terkait dengan tujuan
pemidanaan yang disebutkan dalam Buku I Bab III Bagian Pertama Pemidanaan, Tujuan Pemidanaan, Pasal 55 ayat
1 dan 2, yaitu: 1 Pemidanaan bertujuan:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat;
21 b. Memasyarakatkan
terpidana dengan
mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat; dan d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
2 Pemidanaan tidak
dimaksudkan untuk
menderitakan dan
merendahkan martabat
manusia. Konsep tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP
mengesankan prinsip tentang syarat dapat dipidananya seseorang yang bertolak dari pilar paling fundamental
dalam hukum pidana, yaitu “asas legalitas” sebagai asas
kemasyarakatan dan “asas culpabilitaskesalahan” yang merupakan asas kemanusiaan perorangan
19
. Secara substantif
juga mencerminkan
diikutinya teori
utilitarianisme yang menetapkan target-target pemidanaan. Orientasi pemidanaan menurut teori utilitarianisme adalah
kemanfaatan bagi korban kejahatan yang bersifat individual korban langsung, korban yang bersifat
sosialmasyarakat korban tidak langsung maupun bagi pelaku pidana.
19
Barda Nawai Arief, Bunga Rampai ... op.cit., hlm. 98-99.
22 RUU KUHP juga memuat adanya ketentuan tentang
pedoman pemidanaan yang akan sangat membantu dan memudahkan
hakim dalam
menetapkan ukuran
pemidanaan dan mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, di antaranya pemaafan dari
korbankeluarganya. Disebutkan dalam Buku I, Paragraf 2, Pedoman P
emidanaan, Pasal 56 ayat 1 huruf … j. Pemaafan dari korban danatau keluarganya. Pasal 2
Perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian,
dapat dijadikan
dasar pertimbangan
untuk tidak
menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Terkait dengan sanksi pidana, dalam RUU KUHP memperlihatkan perubahan yang signifikan dibanding
dengan KUHP lama. Disebutkan dalam Buku I Bab III Bagian Kedua, Pidana, Paragraf 1, Jenis Pidana sebagai
berikut: Pasal 66
1 Pidana pokok terdiri atas:
1. Pidana penjara;
2. Pidana tutupan;
3. Pidana pengawasan;
4. Pidana denda; dan
5. Pidana kerja sosial.
23 2
Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menentukan berat ringannya pidana.
Pasal 67 Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat
khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Pasal 68
1 Pidana tambahan terdiri atas:
a. Pencabutan hak tertentu; b. Perampasan barang tertentu danatau tagihan;
c. Pengumuman putusan hakim; d. Pembayaran ganti kerugian; dan
e. Pemenuhan kewajiban adat setempat atau
kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
2 …
Bab III Bagian Kedua Paragraf 2 Pidana Penjara,
Pasal 72: Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 55 dan Pasal
56 pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut :
… d. Terdakwa telah membayar ganti kerugian
kepada korban;
Bab III Paragraf 12 Pidana Tambahan Pasal 101: 1
Dalam putusan hakim dapat ditetapkan kewajiban
terpidana untuk
melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau
ahli warisnya.
24 2
Jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak
dilaksanakan, maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti pidana denda.
Bab III
Bagian kelima,
faktor-faktor yang
memperingan dan memperberat Pidana, Pasal 139: Faktor- faktor yang memperingan pidana meliputi: … e.
Pembertian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana
yang di lakukan. … h. Faktor-faktor lain yang bersumber
dari hukum yang hidup dalam masyarakat. Bab IV Gugurnya kewenangan penuntutan dan
pelaksanaan pidana, bagian kesatu, gugurnya kewenangan penuntutan, Pasal 153 huruf d, kewenangan penuntutan
gugur, jika: “… penyelesaian di luar proses ...”. Buku II tentang Tindak Pidana Bab XXIII Tindak
Pidana terhadap Nyawa Bagian Kesatu, Pembunuhan, Pasal 584:
1 Setiap orang yang merampas nyawa seorang lain, dipidana karena pembunuhan dengan pidana
penjara paling lama 15 lima belas tahun. 2
… Pasal 585
Setiap orang yang dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
25 pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama
20 dua puluh tahun.
Bab XXIV Tindak Pidana Penganiayaan, Bagian Kesatu, Penganiayaan terhadap Badan, Pasal 594:
1 Setiap orang yang melakukan penganiayaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
satu tahun dan paling lama 3 tiga tahun paling banyak Kategori II.
2 Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan luka berat, maka
pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun.
3 Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan matinya orang, maka
pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling paling lama 7 tujuh tahun.
4 …
Bab XXV Tindak Pidana yang Mengakibatkan Mati atau Luka karena Kealpaan, Pasal 604:
Pasal 604 1 Setiap orang yang karena kealpaannya
mengakibatkan orang lain luka sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan jabatan,
profesi, atau mata pencaharian selama waktu tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 dua tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.
2 ...
26 Delik pembunuhan dan pelukanaan secara prinsip
ada kesamaan antara hukum pidana Islam dengan RUU KUHP karena merupakan kejahatan yang universal.
Sedangkan sanksinya berbeda, KUHP yang ada dan RUU KUHP menentukan pidana penjara, sedangkan dalam
hukum pidana Islam menentukan pidana qişâş
-diyat.
Ketentuan qişâş
-diyat
yang esensinya memberikan perhatian dan perlindungan hukum kepada keluarga
korban, mewujudkan keadilan, kebaikan dan kemaslahatan. Secara umum korban atau keluarga korban pembunuhan,
penganiayaan atau pelukaan, menghendaki agar pelaku dihukum yang setimpal dengan perbuatannya, meskipun
sebagai ungkapan spontan. Sanksi dengan pidana “setimpal‟, dalam hukum pidana Islam disebut qişâş.
Sanksi
diyat,
ganti rugi juga dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Apalagi masyarakat Indonesia
dikenal sebagai
masyarakat pemaaf
dan selalu
mengedepankan kebersamaan dan musyarawarah dalam menyelesaikan persoalan. Banyak kasus hukum yang
dalam KUHP sebagai kelalaian sehingga menyebabkan orang lain mati Pasal 359 dapat diselesaikan secara
kekeluargaan, saling memaafkan dan mengganti kerugian.
27 Tiga kasus yang dijadikan obyek penelitian ini dapat
menjadi fakta, yaitu kasus; 1 Tabrakan dua sepeda motor yang mengakibatkan ada korban yang meninggal dunia di
Demak. 2 Kasus tabrakan dua sepeda motor yang mengakibatkan ada korban yang meninggal dunia di
Semarang. 3 Kasus mobil Suzuki Cary menabrak sepeda motor yang mengakibatkan pengendara sepeda motor
meninggal dunia, di Pekalongan. Ketiga kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan dengan berdamai dan
pemberian ganti kerugian. Penyelesaian perkara tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain melalui
musyawarah mirip dengan ketentuan qişâş
-diyat
dalam hukum pidana Islam. Hal ini menunjukkan bahwa hukum
pidana Islam sedikit banyak telah menjadi hukum yang hidup
the living law
. Rumusan yang terdapat dalam RUU KUHP
khususnya terkait dengan pedoman pemidanaan, pidana mati,
hak korban,
pembayaran ganti
rugi dan
pengampunan, tentunya masih dapat berubah untuk disempurnakan. Hal ini memberikan peluang terhadap
hukum pidana Islam agar khususnya ketentuan qişâş
-diyat
untuk dapat dikontribusikan. Harapannya konsep hukum
28 yang dihasilkan juga memberikan manfaat dan maslahat
seperti halnya tujuan utama dari hukum Islam. Apabila disandingkan dengan hukum pidana Islam,
sanksi pidana dalam RUU KUHP ada kemiripan. Misalnya tentang
orientasi tujuan
pemidanaan, pedoman
pemidanaan, kewenangan hakim dalam penerapan sanksi pidana, dan ganti rugi. Apabila tujuan pemidanaan dalam
RUU KUHP mencakup pandangan-pandangan yang menggabungkan kepentingan semuanya, dalam konsep
Islam juga sama
20
. Hanya saja, dalam hubungannya dengan aspek utilitas kemanfaatan pemidanaan khususnya yang
dapat dirasakan oleh korban kejahatan secara individu
individual victim
, hukum pidana Islam memiliki komitmen yang lebih kuat dibandingkan RUU KUHP. Hal
ini dapat dilihat dari ketentuan qişâş
-diyat
yang merupakan hak korban atau ahli warisnya. Konsep ini sangat
viktimologis seperti yang dikembangkan sebagai ilmu bantu hukum pidana dewasa ini, dan ternyata telah ada dan
menjadi perhatian dalam hukum pidana Islam. Begitu juga
20
Menurut Muladi rumusan dalam RUU KUHP tentang tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, kewenangan hakim dalam penerapan
sanksi pidana, pemaafan, dan ganti rugi juga mengadopsi dari ketentuan dalam hukum pidana Islam. Hasil wawancara tanggal 25 Nopember 2013,
jawaban via email.
29 aspek kemanfaatan, hukum pidana Islam jauh lebih
terdepan dalam menekankan bahkan hukum harus memberi manfaat.
Hukum “Islam” diadakan untuk menciptakan kemaslahatan
manusia selaku
individu maupun
masyarakat. Maşlahat berarti menarik manfaat dan
menolak madharat. Maşlahat merupakan unsur utama
bangunan hukum “Islam” yang mengikat unsur-unsur lain. Bahkan
maşlahat merupakan inti dan substansi dari hukum Islam
21
. Menurut al-Syathibi, hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umum
maslalah al-
„ammah dengan cara menjadikan aturan hukum yang paling utama dan sekaligus
shalih li kuli zaman wa makan
kompatibel dengan kebutuhan ruang dan waktunya untuk sebuah kehidupan manusia yang adil, bermartabat, dan
bermanfaat. Al-Syathibi memberikan rambu-rambu untuk mencapai tujuan-
tujuan syari‟at yang bersifat
dharuriyyah, hajjiyyah,
dan
tahsiniyyah,
dan berisikan lima asas hukum syara‟
22
. Teori maşlahat yang diperkenalkan al-Syathibi
21
Abû Hamid al-Ghâzali, Al- Muştaşfa min „Ilm al-Uşul, Beirut: Dâr al-
Ihya al-Turats al-Arabi, Jilid I, t.th., hlm. 281-282.
22
Abî Ishâq Ibrâhim bin Musâ al-Syathibî, al-Muwâfaqât fî U şûl al-
Ahkâm, Jilid II, Beirut: al-Maktabah al-
„Aşiriyah, 2011, hlm. 5.
30 dalam konsep
maqashid al-
syari‟yah ini tampaknya relevan untuk menjawab persoalan hukum di masa depan.
Hukum menurut Savigny bukan hanya sekadar ungkapan yang terdiri atas sekumpulan peraturan
judicial precedent
. Ada suasana dialogis antara hukum dengan kondisi sosial masyarakat yang ada
23
. Berbicara tentang hukum, harus membicarakan tentang masyarakat, karena
tidak mungkin hukum tersebut terlepas dari masyarakat. Savigny menyatakan “
Das recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke
” hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat
24
. Memandang hukum, berarti memandang masyarakat yang
bersangkutan. Apabila hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, maka hukum pidana Islam yang
berasal dari ajaran agama Islam juga bagian dari masyarakat. Apalagi di Indonesia, praktek penyelesaian
perkara pidana dengan musyawarah untuk berdamai yang sejalan dengan ketentuan
qişâş
-diyat
dalam hukum pidana Islam membentuk kesadaran hukum masyarakat.
23
Roger Cotterrell, The Sociologi of Law an Introduction, London: Butterwoths, 1984, hlm. 2.
24
Darji Darmodiharjo dan B. Arief Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 2008, hlm. 124
31 Ketentuan
qişâş
-diyat
menjanjikan maşlahat bagi
korban dan keluarganya, dan juga masyarakat bersifat riil. Dengan
diserapnya ketentuan
qişâş
-diyat
aspek kemaslahatan
dapat terpenuhi
dalam pemidanaan,
meskipun sebagai sumber materiil simbolnya tidak lagi menyebut hukum pidana Islam. Kebijakan hukum yang
memberikan hak penuh kepada korban kejahatan untuk menentukan ada tidaknya proses hukum terhadap pelaku
kejahatan, merupakan perhatian dan perlindungan kepada korban. Apabila korban atau ahli warisnya mengambil
sikap memaafkan pelaku kejahatan, maka proses penyelesaian perkara secara hukum tidak boleh diteruskan.
Sebaliknya, apabila korban atau walinya menghendaki proses penyelesaian perkara secara hukum, maka institusi
peradilan tidak boleh mengupayakan cara lain yang tidak menjadi kehendak korbankeluarga korban.
Logika hukum demikian karena korban kejahatan merupakan pihak yang langsung mengalami penderitaan
dibanding pihak lain seperti masyarakat luas ataupun negara, sehingga wajar hukum berpihak kepadanya.
Apabila korban mengalami penderitaan psikologis maupun material hingga meluapkan perasaan emosional untuk balas
dendam, maka diaturlah keinginan balas dendamnya
32 tersebut agar proporsionaltidak berlebihan melalui
hukuman yang setimpal. Apabila korban dapat memahami penderitaan akibat suatu kejahatan melalui nasehat-nasehat
keagamaan sehingga akhirnya lebih menempuh sikap yang bijak, yakni dengan memaafkan pelaku, maka institusi
peradilan tidak dibenarkan memaksakan proses hukum yang dapat berujung pada pemidanaan.
3. Konstruksi Pendekatan
Restorative Justice
dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional Berbasis
Ketentuan Qişâş
-Diyat
dalam Hukum Pidana Islam
Restorative justice
telah menjadi wacana global dan dipandang sebagai filosofi pemidanaan baru yang sifatnya
berbeda dari pidana konvensional yang menempatkan pelaku melawan negara. Kejahatan tidak hanya dilihat
sebagai pelanggaran undang-undang negara, melainkan pelanggaran orang terhadap orang. Pendekatan
restorative justice
prinsipnya untuk membangun partisipasi bersama antara
pelaku, korban,
dan masyarakat
dalam menyelesaikan suatu tindak pidana untuk mencapai
win- win solutions
serta implikasinya ke masa depan. Setiap lima tahun sekali PBB menyelenggarakan kongres yang
disebut ”
Congress on Crime Prevention and The
33
Treatment of Offenders
”. Kongres PBB ke-12 di Brasil, 12- 19 April 2010, merekomendasikan untuk mengevaluasi dan
mengadakan pembaharuan kebijakan peradilan pidana dengan pengembangan strategi komprehensif termasuk
restorative justice
25
. Masyarakat Indonesia juga sudah familier dengan
pendekatan yang
mirip
restorative justice
dalam menyelesaikan perkara pidana menghilangkan nyawa
dengan bermusyawarah. Bahkan di dalam Pancasila sebagai
core philosopy
bangsa Indonesia,
restorative justice
juga dapat diurai. Sila ke-4 Pancasila menyebutkan “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan
dalam PermusyawaratanPerwakilan”. Sila ini dapat
menjadi panduan dalam menentukan sebuah pilihan melalui cara musyawarah dan mengutamakannya dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat
kebersamaan sehingga jika di
breakdown
menjadi kata kunci dalam
restorative justice
26
.
25
Kuat Puji Prayitno, “Restorative Justice untuk Peradilan dan Indonesia
Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakkan Hukum In Conreto”, dalam Jurnal Dinamika Hukum,
Volume 12, Nomor 3, September 2012, hlm. 423.
26
Ibid., hlm. 414.
34 Menurut perkembangan hukum Barat modern,
termasuk di Indonesia, yang berhak melaksanakan proses pemidanaan adalah negara, oleh karena itu pelaku tindak
pidana berhadapan dengan negara. Akibat korban tidak dilibatkan untuk menentukan pidana yang dijatuhkan
kepada pelaku, banyak menimbulkan masalah bagi korban atau keluarganya karena kerugian yang diderita tidak
diganti. Untuk tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain atau yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain,
pelukaan atau penganiayaan, proses hukum tanpa melibatkan
korban atau
keluarganya tidak
akan memberikan keadilan kepada korban atau keluarganya.
Keadilan yang dituju hanyalah keadilan yang diciptakan dan menurut ukuran penguasa, yang tentu saja tidak sama
dengan keadilan menurut korban. Fokus perhatian pemidanaan hanya pada upaya bagaimana agar pelaku
menjadi orang baik, pelaku menjadi orang yang berguna kembali di masyarakat setelah menjalani hukuman, dan
sedapat mungkin dipidana seringan-ringannya. Sedangkan pihak korban atau keluarganya yang dirugikan dan
terganggu keharmonisannya tidak mendapatkan perhatian. Model pemidanaan demikian perlu dikaji kembali.
Harus dilihat apa yang menjadi penyebab terjadinya tindak
35 pidana. Proses penyelesainnya harus dengan cara
melibatkan semua orang yang terkait dengan tindak pidana. Proses ini akan jauh lebih efektif dan lebih diterima oleh
masyarakat karena pihak yang berhubungan dengan tindak pidana
secara bersama-sama
mencari alternatif
pemecahannya. Model seperti ini di Indonesia telah dikenal dan dipraktekkan oleh masyarakat, yaitu musyawarah
mufakat, yang dalam hukum pidana Islam berlaku untuk tindak pidana
qişâş
-diyat
melalui perdamaian şulh
.
Evaluasi untuk
mendesain kembali
model pemidanaan agar lebih efektif dan memberikan keadilan
untuk semua pihak perlu dilakukan. Hukum pidana yang ada sekarang, hanya berorientasi pada rehabilitasi pelaku
tindak pidana saja, sedangkan perlindungan terhadap korban atau keluarganya tidak menjadi perhatian.
Diperlukan rumusan agar pendekatan
restotarive justice
ke depan dapat dirumuskan dalam RUU KUHP sebagai model
penyelesaian perkara pidana dengan mengakomodir ketentuan
qişâş
-diyat
dalam hukum pidana Islam. Qişâş
- diyat
berorientasi pada perlindungan korban
victim oriented
dan masyarakat. Pemaafanpengampunan sangat dianjurkan daripada pelaksanaan
qişâş, dan pemaafan baru akan terjadi setelah adanya
şulh dengan kebersihan hati
36 kedua
belah pihak.
Şulh mengandung dimensi pemberdayaan diri oleh para pihak melalui upaya dialog,
negosiasi, dan rekonsiliasi sehingga dimensi hubungan dapat mengalami proses pemulihan.
Perkara pidana pada umumnya diselesaikan melalui jalur formal, yaitu lembaga peradilan litigasi. Jalur ini
terkenal dengan istilah
in court system.
Secara teori, ada tiga hal yang hendak dicapai dari hasil final yang akan
dikeluarkan suatu lembaga peradilan tersebut, yaitu; keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum
27
. Meskipun demikian, dalam praktek sangat sulit ketiganya dapat
terpenuhi sekaligus. Hasil yang akan tercipta dari proses penyelesaiannya dikenal dengan istilah
win lose solution,
yaitu akan ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah.
Penegakan hukum pidana yang tersedia di Indonesia dilaksanakan oleh instrumen-instrumen yang diberi
wewenang oleh Undang-undang. Pelaksanaan kewenangan dan kekuasaannya dilakukan dalam suatu upaya yang
sistematis. Upaya yang sistematis ini dilakukan dengan mempergunakan segenap unsur yang terlibat di dalamnya
27
Sudikno Mertokusumo, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1997, hlm. 98.
37 sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan
interelasi
, serta saling mempengaruhi satu sama lain. Upaya yang
demikian diwujudkan dalam sebuah sistem yang bertugas menjalankan penegakan hukum pidana yaitu Sistem
Peradilan Pidana
Criminal Justice Sytem
yang pada hakikatnya merupakan “sistem kekuasaan menegakkan
hukum pidana”
28
. Sistem peradilan pidana di Indonesia identik dengan
penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana ini sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-
undang RI Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dilaksanakan oleh 4 empat sub sistem yaitu:
a. Kekuasaan penyidikan oleh lembaga kepolisian.
b. Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum
atau kejaksaan. c.
Kekuasaan mengadili oleh badan peradilan atau hakim.
28
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan
, Bandung: Citra Adtya Bakti, 2001, hlm. 28.
38 d.
Kekuasaan pelaksanaan
hukuman oleh
aparat pelaksana
eksekusi jaksa
dan lembaga
pemasyarakatan
29
. Salah satu dari berbagai masalah yang menjadikan
proses peradilan pidana adalah dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis perkara
one for all mechanism
. Selain itu, dalam sistem peradilan pidana posisi korban dan keluarga korban tidak mendapat
perhatian. Hal ini berimplikasi pada dua hal yang fundamental, yaitu tidak adanya perlindungan hukum bagi
korban, dan putusan hakim tidak akan memenuhi rasa keadilan bagi korban
30
. Kenyataan ini pula yang mendorong sejumlah pakar hukum untuk mencari alternatif
penyelesaian perkara hukum di luar mekanisme peradilan. Salah satu instrumen
restorative justice
adalah mediasi yang untuk perkara pidana diistilahkan dengan
29
Keempat subsistem itu sebagai satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah integrated criminal
justice system atau sistem peradilan pidana terpadu. M. Hatta,
“Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dalam Konsepsi dan Implementasi; Kapita
Selecta”, Yogyakarta: Galang Press, 2008, hlm: 47.
30
Angkasa, dkk., “Kedudukan Korban Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Kajian Tentang Model Perlindungan Hukum Bagi Korban
Serta Pengembangan Model Pemidanaan dengan Mempertimbangkan Peranan Korban” dalam Jurnal Penelitian Hukum Supremasi Hukum, Vol.
12 Nomor 2, Agustus 2007, hlm. 119
39 mediasi penal
,
yang dikenal dengan istilah
victim offender mediation
mediasi antara korban dan pelaku. Mark Umbreit, salah seorang pakar mediasi penal memakai
istilah
humanistic mediation
pendekatan mediasi yang manusiasi
31
. Dikenal pula istilah
victim offender meeting
dan
victim offender conferencing.
Istilah
penal mediation
mediasi penal juga dipakai karena mediasi digunakan untuk mendamaikan perekara pidana, bukan perkara
perdata yang biasanya menjadi fungsi mediasi. Mediasi penal di Belanda diistilahkan
strafbemiddeling
dan di Prancis diistilahkan dengan
de mediation penale
32
.
Penelitian yang dilakukan oleh Umbreit menemukan bahwa mediasi penal memberikan tingkat kepuasan yang
31
Mark Umbreit, “Humanistic Mediation; A Transformative Journey of Peacemaking”, dalam Mark Umbreit, Ed., In the Handbook of Victim
Offender Mediation; An Essential Guide to Practice and Research, San
Fransisco, 2001, hlm. 9.
32
Mediasi penal pertama kali dikenalkan di Kitchener-Ontario, Kanada pada tahun 1974. Program ini kemudian menyebar ke Amerika Serikat,
Inggris dan negara Eropa lainnya. Amerika Serikat pertama kali mempraktekkan mediasi penal di Elkhart-Indiana pada tahun 1979, dan di
Inggris dipraktekkan oleh The Exeter Youth Support Team, juga pada tahun 1979. Setelah itu, program mediasi penal tersebar ke banyak negara di
dunia, dan yang paling berkembang adalah negara-negara di Eropa seperti Austria, Jerman, Belgia, Perancis, Polandia, Slovenia, Norwegia, Denmark,
dan Finlandia. DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak,
Depok: Indie Publishing, 2011, hlm. 66.
40 tinggi dan adil bagi para pihak dan menghasilkan lebih dari
90 kesepakatan yang sukses diraih untuk mengompensasi korban. Penelitian lain yang dilakukan oleh Umbreit dan
Armour mencatat tingkat keberhasilan yang cukup tinggi, yaitu 40-60 di mana para pihak mengikuti proses
mediasi penal33. Mediasi penal memberikan manfaat yang besar bagi
kedua belah pihak, yaitu korban dan pelaku yang dapat digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 2 Manfaat Mediasi dalam Penyelesaian Perkara Pidana
34
No. Bagi Korban
Bagi Pelaku
1 Mengenali
dan mempelajari pelaku
Mengenali korban
atau keluarga korban
2 Mencurahkan
perasaan dan kebutuhan akibat
kejahatan Mengetahui
akibat perbuatannya dan kerugian
yang diderita korban atau keluarganya
3 Menerima atau menolak
permintaan maaf, dan ganti rugi
Meminta maaf, menawarkan ganti rugi
4 Menyelesaikan konflik
Introspeksi 5
Melupakan kejahatan di masa yang akan datang
Tidak akan
mengulangi perbuatan
33
Mark Umbreit dan Mearilyn Peterson Armour, Restorative Justice Dialogue: An Essential Guide for Research and Practive,
New York: Springer Publishing, 2010, hlm. 129.
34
Ibid., telah dimodifikasi oleh penulis.
41 Sebagai sebuah menakisme penyelesaian tindak
pidana, mediasi penal juga memiliki kelemehan- kelemahan. Seperti disebutkan oleh Umbreit dan Coates
dari hasil penelitian, ditemukan beberapa faktor kelemahan mediasi penal yang membuat pihak korban mengalami
kekecewaan, yaitu: a. Kurangnya tindak lanjut pelaku terhadap kesepakatan
yang telah dibuat. b. Penundaan antara perbuatan kriminal yang telah
dilakukan dan solusinya karena proses mediasi penal. c. Banyaknya
waktu yang
dibutuhkan untuk
berpartisipasi dalam proses mediasi penal, apabila menggunakan
shuttle mediation
mediator bertemu kedua belah pihak di tempat yang terpisah atau
indirect mediation
mediasi tidak langsung. d. Sering kali pelaku yang melakukan tindak kriminal
karena miskin tidak mampu membayar ganti rugi yang diajukan oleh korban yang mengakibatkan gagal
tercapainya kesepakatan. e. Banyak pelaku yang hanya memanfaatkan mediasi
penal sebagai cara untuk menghindar dari peradilan
42 pidana, setelah tercapainya kesepakatan perdamaian,
mereka tidak mau melaksanakannya
35
. Potensi pendekatan
restorative justice
melalui pelembagaan mediasi penal ke depan sudah termuat dalam
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana RUU KUHP seperti disebutkan dalam Buku I Bab
IV Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana, Bagian Kesatu, Gugurnya Kewenangan Penuntutan
Pasal 153 hurup d. bahwa kewenangan penuntutan gugur jika … penyelesaian di luar proses ….
36
. Namun ketentuan tersebut perlu dipertegas atau diperjelas untuk jenis tindak
pidana apa dan di luar proses yang seperti apa, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak
dan aparat penegak hukum. Sesuai dengan perkembangan internasional, dengan
syarat-syarat tertentu asas
restorative justice peacefully solution
dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dari
retributive justice
. Hal ini
diversi
sudah diwajibkan dalam Undang-undang RI Nomor 11 tahun 2012 tentang
35
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, op.cit., hlm. 83-89.
36
Menurut Barda Nawawi Arief, rumsuan tersebut belum menyebutkan penyelesaian di luar proses secara spesifik dan dapat dikembangkan dalam
RUU KUHAP atau Undang-undang tersendiri. Hasil wawancara Tanggal 11 Pebruari 2015.
43 Sistem Peradilan Pidana Anak, dan dapat dikembangkan
dalam RUU KUHAP yang sudah termuat yaitu keseimbangan antara kepentingan pelaku, korban dan
masyarakat. Dengan memperjelas “penyelesaian di luar proses”,
maka mediasi penal dalam sistem peradilan pidana ke depan menjadi terlembagakan dan memiliki payung
hu kum. Maksud “penyelesaian di luar proses” dapat
diperjelas dengan menyerap ketentuan perdamaian yang ada dalam hukum pidana Islam.
Hukum pidana Islam menekankan penyelasaian perkara dengan cara perdamaian
şuhl. Bukan hanya perdata, tetapi juga pidana. Bahkan tindak pidana yang
sangat berat yaitu pembunuhan dan pelukaan yang diancam pidana
qişâş
-diyat.
Segala sengketa pada prinsipnya dapat didamaikan apabila ada kesepakatan, meskipun ada
pengecualian. Perdamaian şulh mengasumsikan bahwa
kejahatan yang berkaitan dengan hubungan pribadi antara orang dengan orang tertentu bukanlah sebuah masalah
yang berkaitan dengan publik
private
. Peran negara harus sebagai penjamin terlaksananya hasil perdamaian. Bukan
sebaliknya, mengambil alih atas nama korban yang justru yang keputusannya bertentangan dengan yang dibutuhkan
44 dan dikehendaki korban
37
. Proses penyelesaian perkara pidana melalui
şulh dimaksudkan agar dapat lebih fleksibel. Hasil dari proses
şuhl dapat berbeda tergantung dari tingkat kejahatannya, kerusakan yang disebabkan,
yaitu dapat berupa pemaafan dengan ganti kerugian dan pemaafan tanpa ganti kerugian. Bagi korban atau
keluarganya dapat menghasilkan kebesaran hati untuk memaafkan dan menerima ganti kerugian
38
. Seandainya korban atau keluarganya tetap tidak mau
memaafkan, dapat membuat pelaku merasakan apa yang dirasakannya. Hal yang seperti ini dinamakan dengan
qişâş atau yang biasa disebut dengan pembalasan sistematis.
Namun qişâş sedapat mungkin dihindari seperti disebutkan
dalam Q.S. al-Baqarah ayat 178: “… maka barang siapa
yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang
37
Seperti disebutkan oleh ND yang lebih memilih menyelesaikan perkara pidana terhadap nyawa melalui musyawarah di Pekalongan, dengan salah
satu pertimbangan lebih baik biaya yang akan dikeluarkan oleh TMD pelaku yang menabrak isterinya ND hingga meninggal jika menempuh
jalur hukum, disumbangkan untuk perawatan jenazah, mitoni dan uang duka. Hasil wawancara tanggal 30 Nopember 2013.
38
Mumtaz M. Qafisheh, “Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A
Contribution to the Global System”, dalam International Journal of Criminal Justice Sciences
, Volume 7, Issue 1, January – June 2012, hlm.
488.
45
baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat kepada yang member maaf dengan cara yang baik pula
…”
39
. Disebutkan pula dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ashab al-
Sunnah: “Setiap perkara yang dilaporkan kepada
Rasulullah yang berkaitan dengan hukuman qişâş, Rasulullah Saw. selalu memerintahkan pemaafan”
40
.
Sedangkan pelaku mendapatkan kesempatan untuk meminta maaf secara langsung pada korban atau ahli
warisnya, mengungkapkan penyesalan, dan bertanggung jawab dengan mengganti kerugian.
Konstruksi
restorative justice
berbasis qişâş
-diyat
adalah sebagai pengganti proses peradilan pidana di mana perkara
dialihkan
diverted
ke proses
mediasi. Kesepakatan yang berhasil diraih akan disahkan oleh
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Putusan
pengadilan sebagai
legitimator saja
atas kesapakatan damai setelah ganti rugi dibayar oleh pelaku,
atau atas jaminan ganti rugi akan segera dibayar. Hal ini
39
Tim Penyelenggara
Penterjemah al-
Qur‟an, al-Qur‟an, dan Terjemahnya,
Medinah: Mujamma‟ al-Malik Fadh li Thiba‟at al-Mushaf al- Syarif, 1418 H., hlm. 43.
40
Audah, Jilid II, op.cit., hlm. 287.
46 sesuai dengan ketentuan
qişâş
-diyat
dalam hukum pidana Islam, dan juga pengembangan yang sudah termuat dalam
RUU KUHP tentang penyelesaian di luar proses. Konstruksi ini juga merujuk pada praktek masyarakat
dalam menyelesaikan tindak pidana, dan juga dalam rangka menguruangi beban sistem peradilan pidana. Peran
mediator menjadi sangat penting, sehingga perlu dibentuk komisi atau lembaga pemaafan
al-i
ş
lah wa al-afwun
atau dengan istilah lain yang bertindak sebagai mediator sangat
diperlukan yang ada di setiap kabupaten-kota. Agar
mengikat dan
menjadi sistem
dalam penyelesaian perkarana pidana ke depan, maka harus
termuat di dalam KUHP dengan mengubah rumusan Pasal 153 bahwa kewenangan penuntutan gug
ur jika … d. penyelesaian di luar proses melalui lembaga perdamaian
atau pemaafan. Rumusan pasal-pasal dalam Buku II tentang Tindak
Pidana khususnya Bab XXIII Tindak Pidana terhadap Nyawa Bagian Kesatu, Pembunuhan, Pasal 585 juga
diubah seperti contoh berikut: 1 Setiap orang yang dengan sengaja, atau dengan
rencana terlebih dahulu merampas nyawa seorang lain, diancam karena pembunuhan
47 berencana, dipidana dengan pidana mati atau
pidana seumur hidup. 2 Pidana mati atau pidana seumur hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat gugur jika ahli waris korban memaafkan.
3 Jika ahli waris korban memaafkan, pidana mati atau pidana seumur hidup diganti dengan pidana
ganti rugi yang diberikan kepada ahli waris korban yang besarannya disepakati antara ahli
waris korban dengan pelaku dengan prinsip kebaikan, perhatian dan perlindungan.
4 Proses pemaafan dan penentuan jumlah ganti rugi dilakukan melalui lembaga pemaafan yang
hasilnya akan dilegitimasi oleh pengadilan sebagai
jaminan bahwa
kesapakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 akan
dilaksanakan.
Mekanisme kerja lembaga pemaafan adalah di luar proses peradilan, namun masih terintegrasi dalam sistem
peradilan sebagai pintukamar tersendiri. Untuk melihat alur penyelsaian perkara pidana melalui lembaga pemaafan
sebagai konstruksi pendekatan
restorative justice
berbasis qişâş
-diyat
dapat dilihat dalam ragaan berikut:
48 Ragaan
Konstruksi Pendekatan
Restorative Justice
Berbasis Qişâş
-Diyat
Lembaga pemaafan berfungsi agar perdamaian bisa tercapai dan nilai ganti kerugian disepakati dengan prinsip
bi al-
ma‟ruf kebaikan dan menghindari tuntutan ganti rugi yang melampaui batas atau komersialisasi ganti rugi.
Sedangkan legitimasi pengadilan diperlukan sebagai jaminan bahwa pelaku telah memberikan ganti kerugian
PELAKU
LAPORANTANPA LAPORAN
KORBAN
LEMBAGA PEMAAFAN
PENYIDIK POLISI
JAKSA PENUNTUT UMUM
PROSES PERDAMAIAN
LEGITIMASI PENGADILAN
KESEPAKATAN PERDAMAIAN
49 kepada korban atau ahli warisnya atau ada jaminan bahwa
ganti kerugian akan terbayar. Legitimasi pengadilan juga sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam memberikan
perhatian dan perlindungan terhadap pihak-pihak.
F. Penutup